Seruan dan Manhaj Kami
بسم الله الرّحمن الرّحيم
إن الحمد لله ، نحمده ، ونستعينه ، ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا ، من يهده الله ، فلا مضل له ، ومن يضلل ، فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفسٍ واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالاً كثيراً ونساءً واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولاً سديداً يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزاً عظيماً
فإن أصدق الحديث كتاب الله ، وأحسن الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة, وكل ضلالة في النار
Sesungguhnya segala puji (hanyalah) bagi Allah, Kami memujiNya, kami memohon pertolongan kepadaNya, dan kami memohon ampunan (hanyalah) kepadaNya. kami pun berlindung dari keburukan diri-diri kami dan kejelekan amal-amal kami.
Barangsiapa yang diberi petunjuk Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan maka tiada yang dapat menberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasannya tiada Ilah -yang berhak disembah- kecuali Allah saja, Yang tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaNya dan (sekaligus) utusanNya. Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada beliau dan keluarganya.
Allah berfirman (yang artinya) : “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan islam.” [Ali Imraan : 102]
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dair diri yang satu (Adam), dan daripadanya Allah menciptakan isterinya (Hawa); dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan ) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharaah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” [An-Nisaa' : 1]
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” [Al-Ahzab : 70-71]
amma ba’du :
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (perkara baru dalam agama), dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.
Alhamdulillah web Darussunnah hadir di hadapan pembaca sekalian yang budiman, mudah-mudahan bisa memberikan manfaat kepada kaum muslimin pada umumnya dan ahlussunnah/salafiyyin pada khususnya.
Segenap kaum muslimin, kami hadir di sini tiada lain kecuali untuk berpartisipasi dan turut andil dalam berdakwah mengajak kaum muslimin kepada ajaran agama kita yang mulia ini demi menggapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Seruan dan ajakan Darussunnah di sini tiada lain kecuali seruan Ahlussunnah wal Jama’ah at-Thaifah al-Manshurah (kelompok yang senantiasa mendapatkan pertolongan). Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berjalan di atas jalan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya berada di atasnya, yang mereka itu adalah ashabul hadits yang senantiasa menempuh jejak/atsar yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Adapun beberapa di antara seruan dan ajakan kami adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari, memahami, kemudian mengamalkan Kitabullah (Al-Qur’anul Karim) dan sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan pemahaman para shahabat beliau, tabi’in, atba’ut tabi’in, dan para ulama yang mengikuti jejak beliau dengan baik. Karena hanya dengan kembali kepada pemahaman mereka kita akan menjadi orang yang senantiasa mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga akan selamat dari kesalahan dan penyimpangan dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Berpegang teguh dengan tali Allah yang kuat (Al-Qur’an) dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan senantiasa komitmen mengamalkannya di tengah-tengah gelombang fitnah di zaman modern dan globalisasi ini, yang mayoritas manusia tidak kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah (hadits) beliau yang shahih.
3. Beraqidah dan berkeyakinan sesuai dengan apa yang diyakini oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Sehingga kita akan selamat dari berbagai keyakinan dan khurafat, yang banyak tersebar di tengah-tengah masyarakat yang tidak berlandaskan kepada ajaran Islam yang orisinil sesuai ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Memperingatkan dari bahaya bid’ah dan ahlul bid’ah (penyeru bid’ah), yaitu orang-orang yang menyeru kepada ajaran-ajaran yang diada-adakan dalam agama ini kemudian dia mengatasnamakan sebagai ajaran Islam, padahal sangat jauh bertentangan dengan Islam. Bahkan -na’udzubillah-, ajaran dan seruan tersebut adalah perkara-perkara yang dapat membatalkan keislaman seseorang, yaitu membatalkan persaksian terhadap kalimat tauhid Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah.
5. Mengajak untuk tidak mengkultuskan atau ta’ashub (fanatik buta) kepada seseorang kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menjauhi taklid dan ta’ashub kepada seseorang atau beberapa tokoh yang disebut ulama, da’i, atau ustadz, padahal mereka tidak mengajak kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Akan tetapi mereka menyeru kepada tendensi-tendensi tertentu, seperti mengajak kepada individu atau kelompok tertentu, yang mana individu atau kelompok tersebut memiliki prinsip, manhaj, akidah, dan dakwah yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Marilah kita mentadabburi dan mengamalkan nasehat para imam kita
seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i rahimahullah yang berkata:
“Apabila shahih suatu hadits maka itulah madzhabku (ajaranku)”
Dan Imam Malik berkata:
“Saya
hanyalah manusia (biasa) kadang salah kadang benar, maka lihatlah
pendapat saya, setiap yang sesuai dengan kitabullah (al-Qur’an) dan
sunnah (ajaran Rasulullah) maka ambillah, dan yang tidak sesuai
kitabullah dan sunnah maka tinggalkanlah.”
Demikian juga Imam Ahmad dan aimmah kita yang lainnya telah berkata yang semakna dengan ucapan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i rahimahumullahu jami’an.
6. Mengikhlaskan seluruh ibadah kita hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan tidak mencampurkannya dengan kesyirikan (beribadah kepada yang selain-Nya) baik syirik akbar (besar) maupun syirik ashghar (kecil).
Contoh syirik akbar adalah berdoa kepada selain Allah, bernadzar, menyembelih, untuk selain-Nya. Adapun syirik kecil seperti riya, melakukan amalan ibadah dengan niat untuk dilihat, disanjung dan dipuji oleh manusia. Maka dengan demikian, seseorang yang melakukan amalan yang bukan amalan ibadah murni, yang merupakan amalan dunia, seperti berusaha dan bekerja untuk ma’isyah (rejeki), apabila dia niatkan untuk mendapat pahala dari sisi Allah dengan mencari rizki supaya kebutuhan anak dan istrinya tercukupi dan jauh dari meminta-minta pada orang lain, maka akan mendapat pahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
7. Mengajak kaum muslimin pada umumnya dan salafiyyin (ahlussunnah wal jama’ah) pada khususnya untuk saling ta’awun (saling membantu) dan menyatukan kalimat di atas manhaj dan aqidah Rasulullah dan para shahabatnya. Dan memperingatkan umat dari bahayanya bid’ah, dan dari aqidah dan manhaj yang menyelisihi Rasulullah dan para shahabatnya. Sehingga dengan demikian kita tidak akan bekerjasama dengan ahlul bid’ah dan para da’i-da’inya yang menyerukan kepada aqidah, ajaran, dan manhaj yang menyelisihi Rasulullah dan para shahabatnya radhiyallahu’anhum.
Oleh karena itu, setelah kita bersatu di atas aqidah dan manhaj yang
shahih (benar) yang jauh dari penyelisihan dan penyimpangan, maka
marilah kita untuk saling lapang dada dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan dan khilaf yang bukan prinsipil yang para ulama
kita sejak jaman shahabat sampai sekarang berbeda pendapat dalam
permasalahan tersebut. Karena masalah khilaf di kalangan para ulama ada
dua:
1. Permasalahan yang tidak ada ijtihad padanya, di mana perkaranya
jelas yang tidak ada udzur bagi seseorang untuk menyelisihinya.
2. Permasalahan yang ulama atau seseorang boleh berijtihad padanya,
yang mana diberi udzur kepada seseorang yang yang berbeda pendapat di
dalamnya.
Berkata Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah (dalamKitab Al-Ilmu) :
“Adapun
orang-orang yang menyelisihi jalannya para salaf seperti permasalahan
aqidah, maka tidak diterima seseorang untuk menyelisihi apa yang
diyakini oleh salafush shalih (Rasulullah dan para shahabatnya). Akan
tetapi dalam permasalahan yang lain yang ada pendapat dan ijtihad
(ijtihad ulama) padanya, maka tidak sepantasnya dijadikan perbedaan
tersebut sebagai math’an (untuk mencela) yang lain (yang berbeda
pendapat dengannya) atau dijadikan sebagai sebab permusuhan dan
kebencian.”
Penutup.
Sebagai akhir dari ajakan kami kepada kaum muslimin pada umumnya dan salafiyyin/ahlussunnah
pada khususnya, marilah kita saling bahu membahu di dalam dakwah dan
bidang yang lainnya dan marilah kita saling nasehat-menasehati di atas
ketaqwaan dan kebenaran sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
dan saling tawadhu’ antara sesama kita. Oleh karena itu kami menerima saran dan kritik, selama saran dan kritik tersebut dibangun di atas ketaqwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, terhadap kegiatan yayasan pada umumnya dan web Darussunnah pada khususnya.
Kami meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberikan taufiq kepada kita semua di atas kebenaran dan beramal amalan yang diridhoi-Nya, dan memberikan kepada kita semua rahmat dan hikmah dari-Nya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pemberi dan kita meminta kepada-Nya supaya memberikan hidayah kepada kita dan ikhwanana (saudara kita) kepada shiratal mustaqim, jalannya orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah ’Azza wa Jalla, dari para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin.
Sya’ban 1429H (Agustus 2008),
Nashr Abdul Karim.
*Sambutan sekaligus mukaddimah web Darussunnah.or.id
**al Ustadz Nashrullah Abdul Karim Lc, pembina Yayasan Darussunnah Al Islamy, staff pengajar di Ma’had Al Madinah Boyolali
***Telusuri menu-menu web Darussunnah melalui http://darussunnah.or.id/sitemap/
Mengapa Harus Bermanhaj Salaf?
Penulis : Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari
Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.
Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj () dan salaf (). Manhaj () dalam bahasa Arab sama dengan minhaj (), yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).
Sedangkan salaf (), menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).
Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf () adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).
Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).
Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang
erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa?
Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan
demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada
kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)
Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)
Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).
Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan
bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka
itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak
menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan
“orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa
dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya
mereka dalam mengikutinya.
Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami
dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus,
sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka,
berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang
lurus pula.
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran,
dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia
leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam
Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’:
115)
Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.
Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam)
dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya.
Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.
Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).
Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup
sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh
karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan
sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat
dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR
Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat
Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).
Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan
perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan
jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan
mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al
Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh
dengannya.
Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
-sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al
Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara
konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…,
yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar
mengikuti sunnah nabi mereka atau mengikuti apa yang mereka pahami
dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global
maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al
I’tisham, 1/118).
2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa
tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang
yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam
keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).
Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).
Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).
Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk
ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia
wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa
yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi
dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat
Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).
Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits
ini sebagai nash (dalil–red) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia
dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:
- Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan
menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam
memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka
masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya
penjelasan dari Rabb Semesta Alam.
- Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan
mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya
takwil dan penyimpangan.
- Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan
golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu
dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut)
yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal
78-79).
Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam
memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para
sahabatnya berada di atasnya.
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu
kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus
diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan
untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah
Jahannam.
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti
mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh
dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala
bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami
dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam.
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok
dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa
mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang
selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh
Rasulullah dan para sahabatnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:
1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk
mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah
dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya
untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al
Ajurri, hal. 63).
2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu
untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan
hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia
adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya
nukil melalui kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).
3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah
adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang
diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya
Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).
4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa
menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak
ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil
melalui kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)
5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj
salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil
melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa
saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya,
bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf
pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149).
Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=82
Perkara Baru dalam Sorotan SyariahPenulis : Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari Ibadah itu pada asalnya haram untuk dikerjakan bila tidak ada dalil yang memerintahkannya. Inilah kaidah yang harus dipegang oleh setiap muslim sehingga tidak bermudah-mudah membuat amalan yang tidak ada perintahnya baik dari Allah maupun Rasulullah. Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur dalam haditsnya yang agung : Hadits yang dibawakan oleh istri beliau yang mulia Ummul Mukminin Aisyah radliallahu anha ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Ash Shulh, bab Idzaashthalahuu `ala shulhi jawrin fash shulhu marduud no. 2697 dan diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Al Aqdliyyah yang diberi judul bab oleh Imam Nawawi rahimahullah selaku pensyarah (yang memberi penjelasan) terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, bab Naqdlul ahkam al bathilah wa raddu muhdatsaati umuur, no. 1718. Imam Muslim rahimahullah juga membawakan lafaz yang lain dari hadits di atas, yaitu : Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam”. Beliau menambahkan lagi: “Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil”. ( Syarah Shahih Muslim) Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari, beliau berkomentar : “Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama”. (Fathul Bari) Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah dalam kitabnya Jami`ul Ulum wal Hikam juga memuji kedudukan hadits ini, beliau berkata : “Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimana hadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah tidaklah bagi pelakunya mendapatkan pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yang tidak ada padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176) Agama Ini telah Sempurna Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas : “Hal ini merupakan kenikmatan Allah ta`ala yang terbesar bagi umat ini, di mana Allah ta`ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka, hingga mereka tidak membutuhkan agama yang lainnya, tidak pula butuh kepada nabi yang selain nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam, karena itulah Allah ta`ala menjadikan beliau sebagai penutup para nabi dan Dia mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan apa yang beliau halalkan dan tidak ada yang haram melainkan apa yang beliau haramkan,. Tidak ada agama kecuali apa yang beliau syariatkan. Segala sesuatu yang beliau kabarkan maka kabar itu benar adanya dan jujur, tidak ada kedustaan dan penyelisihan di dalamnya” (Tafsir Ibnu Katsir 2/14) Dengan keadaan agama yang telah sempurna ini dalam setiap sisinya
maka seseorang tidak perlu lagi mengadakan perkara baru yang tidak
pernah dikenal sebelumnya, apakah berupa penambahan ataupun pengurangan
dari apa yang disampaikan dan diajarkan oleh beliau Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan dicontohkan serta diamalkan oleh salaf
(pendahulu) kita yang shalih dari kalangan shahabat, tabi`in, atbaut
tabi`in dan para imam yang memberikan bimbingan. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam sendiri juga telah memberi peringatan dari
perkara-perkara baru yang disandarkan kepada agama, sebagaimana dalam
hadits Abdullah ibnu Mas`ud radliallahu anhu beliau shallallahu alaihi
wasallam bersabda : Hadits yang semakna dengan ini datang pula dari shahabat Al Irbadh Ibnu Sariyah radliallahu anhu. Bila kita menemui seseorang yang mengadakan perkara baru dalam agama
ini dengan keterangan yang telah kita dapatkan di atas maka perkara itu
batil, tertolak dan tidak teranggap sama sekali berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam : Kata Imam Nawawi rahimahullah : “Hadits ini jelas sekali dalam membantah setiap bid`ah dan perkara yang diada-adakan dalam agama”. (Syarah Muslim, 12/16) Namun bila ada pelaku bid`ah dihadapkan padanya hadits ini, kemudian
dia mengatakan bahwa bid`ah tersebut bukanlah dia yang mengada-adakan
akan tetapi dia hanya melakukan apa yang telah diperbuat oleh
orang-orang sebelumnya sehingga ancaman hadits di atas tidak mengenai
pada dirinya. Maka terhadap orang seperti ini disampaikan padanya
hadits : Dengan hadits ini akan membantah apa yang ada pada orang tersebut dan akan menolak setiap amalan yang diada-adakan tanpa dasar syar`i. Sama saja apakah pelakunya yang membuat bid`ah tersebut adalah dia atau dia hanya sekedar melakukan bid`ah yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Demikian penerangan ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi dengan maknanya dalam kitab beliau Syarah Muslim (12/16) ketika menjelaskan hadits ini. Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : “Dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : Pembagian Amalan • Ibadah 2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya : 3. Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan. Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya : 4. Mengurangi terhadap amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka perlu dilihat dulu terhadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut). • Muamalah 2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat. Faidah hadits Wallahu ta`ala a`lam bishshawwab. Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=28
| Prinsip-prinsip Mengkaji AgamaPenulis : Al Ustadz Qomar Suaidi Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang! Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid. Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih
begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti.
Bahkan sepertinya makin bertambah parah. Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas. Makna Manhaj Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48) Kata minhaj , sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith). Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama: 1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Allah I berfirman: 2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi r: Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah. Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi
adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang
paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian,
yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan
sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62) Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78]. Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31) Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291) Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda: 3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab. Allah berfirman: “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7) Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50) Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah I dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95). Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).” Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab) 4. Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang
dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari
tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang
menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di
antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang
belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka.
Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para
pengikutnya. Allah berfirman: Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353] 5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya. Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut. Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya) Nabi r bersabda: Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud: Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas: “Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617). 6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya: Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah. Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya. Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka
tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit)
lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian
atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas
khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam
Shahih Sunan Abu Dawud no:162). Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti. Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas. Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99) Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam: 7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi r bersabda: Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94). Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313) Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya: Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62). Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172) Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=67
|