Kiat Menggapai Akhlak Mulia (1)
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para pengikutnya, segenap sahabatnya dan orang-orang yang setia kepadanya. Amma ba’du.
Sesungguhnya kemuliaan akhlak itu terwujud dengan memberikan apa yang dipunyai kepada orang lain, menahan diri sehingga tidak menyakiti, dan menghadapi gangguan atau tekanan dengan penuh kesabaran. Hal itu akan bisa digapai dengan membersihkan jiwa dari sifat-sifat rendah lagi tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Simpul kemuliaan akhlak itu adalah: kamu tetap menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberikan kebaikan kepada orang yang tidak mau berbuat baik kepadamu, dan memaafkan kesalahan orang lain yang menzalimi dirimu.
Akhlak yang mulia memiliki berbagai keutamaan. Ia merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kemuliaan akhlak seorang akan memperoleh ketinggian derajat. Dengan sebab kemuliaan akhlak pula berbagai problema akan menjadi mudah, aib-aib akan tertutupi dan hati manusia akan tunduk dan menyukai sang pemilik akhlak yang mulia ini. Dengan akhlak yang mulia juga, seorang akan terbebas dari pengaruh negatif tindakan jelek orang lain. Dia pandai menunaikan kewajibannya dan melengkapinya dengan hal-hal yang disunnahkan. Sebagaimana ia akan terjauhkan dari akibat buruk sikap tergesa-gesa dan serampangan. Dengan akhlak yang mulia pikiran akan tenteram dan kehidupan terasa nikmat.
Tidak diragukan bahwa mengubah kebiasaan memang perkara yang sangat berat dilakukan orang. Meskipun demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dan mustahil dilakukan. Terdapat banyak jalan dan sarana yang bisa ditempuh oleh manusia untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak. Sebagian di antara jalan-jalan tersebut adalah:
1. Memiliki Aqidah yang Selamat
Aqidah adalah urusan yang sangat agung dan mulia. Perilaku merupakan hasil dari pikiran dan keyakinan di dalam jiwa. Penyimpangan perilaku biasanya muncul akibat penyimpangan aqidah. Aqidah itulah iman. Sementara orang yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. Apabila aqidah seseorang baik maka akan baik pula akhlaknya. Sehingga aqidah yang benar akan menuntun pemiliknya untuk bisa memiliki akhlak yang mulia seperti: berlaku jujur, dermawan, lemah lembut, berani, dan lain sebagainya. Sebagaimana kemuliaan akhlak juga akan menghalangi dirinya dari melakukan perilaku-perilaku yang jelek seperti; berdusta, bakhil (pelit), bertindak bodoh, serampangan, dan lain sebagainya.
2. Senantiasa Berdoa Memohon Akhlak Mulia
Doa merupakan pintu (kebaikan) yang sangat agung. Apabila pintu ini telah dibukakan untuk seorang hamba maka berbagai kebaikan pasti akan dia dapatkan dan keberkahan akan tercurah kepadanya. Barangsiapa yang ingin memiliki kemuliaan akhlak dan terbebas dari akhlak yang jelek hendaknya dia mengembalikan urusannya kepada Rabbnya. Hendaknya dia ‘menengadahkan telapak tangannya’ dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada-Nya agar Allah melimpahkan kepadanya akhlak yang mulia dan menyingkirkan akhlak-akhlak yang buruk darinya. Oleh karena itulah Nabi ‘alaihish shalatu was salam adalah orang yang sangat banyak memohon kepada Rabbnya untuk mengaruniakan kepada beliau kemuliaan akhlak. Beliau biasa memanjatkan permohonan di dalam doa istiftah, “Ya Allah tunjukkanlah aku kepada akhlak mulia. Tidak ada yang bisa menunjukkan kepada kemuliaan itu kecuali Engkau. Dan singkirkanlah akhlak yang jelek dari diriku. Tidak ada yang bisa menyingkirkan kejelekan akhlak itu kecuali Engkau.” (HR. Muslim: 771). Salah satu doa yang beliau ucapkan juga, “Ya Allah, jauhkanlah dari diriku kemungkaran dalam akhlak, hawa nafsu, amal, dan penyakit.” (HR. Al Hakim [1/532] dan disahihkan olehnya serta disepakati Adz Dzahabi). Beliau juga berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, kemalasan, sifat pengecut, pikun, sifat pelit. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari [7/159] dan Muslim [2706]).
3. Bersungguh-Sungguh/Mujahadah Dalam Memperbaiki Diri
Kesungguh-sungguhan akan banyak berguna di dalam upaya untuk mendapatkan hal ini. Sebab kemuliaan akhlak tergolong hidayah yang akan diperoleh oleh seseorang dengan jalan bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka akan Kami mudahkan untuknya jalan-jalan menuju keridhaan Kami. Dan sesungguhnya Allah pasti bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69). Barangsiapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk bisa berhias diri dengan sifat-sifat keutamaan, serta menundukkannya untuk menyingkirkan akhlak-akhlak yang tercela niscaya dia akan mendapatkan banyak kebaikan dan akan tersingkir darinya kejelekan-kejelekan. Akhlak ada yang didapatkan secara bawaan dan ada pula yang dimiliki setelah melatih diri dan membiasakannya. Mujahadah tidaklah cukup sekali atau dua kali, namun ia harus dilakukan sepanjang hayat hingga menjelang kematiannya. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman yang artinya, “Sembahlah Rabbmu hingga datang kematian kepadamu.” (QS. Al Hijr: 99).
4. Introspeksi/Muhasabah
Yakni dengan cara mengoreksi diri ketika melakukan akhlak yang tercela dan melatih diri agar tidak terjerumus kembali dalam perilaku akhlak yang tercela itu. Namun hendaknya tidak terlalu berlebihan dalam mengintrospeksi karena hal itu akan menimbulkan patah semangat.
5. Merenungkan Dampak Positif Akhlak yang Mulia
Sesungguhnya memikirkan dampak positif dan akibat baik dari segala sesuatu akan memunculkan motivasi yang sangat kuat untuk melakukan dan mewujudkannya. Maka setiap kali hawa nafsu mulai terasa sulit untuk ditundukkan hendaknya ia mengingat-ingat dampak positif tersebut. Hendaknya dia mengingat betapa indah buah dari kesabaran, niscaya pada saat itu nafsunya akan kembali tunduk dan kembali ke jalur ketaatan dengan lapang. Sebab apabila seseorang menginginkan kemuliaan akhlak dan dia menyadari bahwa hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga dan perbendaharaan yang paling mahal bagi jiwa manusia niscaya akan terasa mudah baginya untuk menggapainya.
6. Memikirkan Dampak Buruk Akhlak yang Jelek
Yaitu dengan memperhatikan baik-baik dampak negatif yang timbul akibat akhlak yang jelek berupa penyesalan yang terus menerus, kesedihan yang berkepanjangan, rasa tidak senang di hati orang lain kepadanya. Dengan demikian seorang akan terdorong untuk mengurangi perilakunya yang buruk dan terpacu untuk memiliki akhlak yang mulia.
7. Tidak Putus Asa untuk Memperbaiki Diri
Sebagian orang yang berakhlak jelek mengira bahwa perilakunya sudah tidak mungkin untuk diperbaiki dan mustahil untuk diubah. Sebagian orang ketika berusaha sekali atau beberapa kali untuk memperbaiki dirinya namun menjumpai kegagalan maka dia pun berputus asa. Hingga akhirnya dia tidak mau lagi memperbaiki dirinya. Sikap semacam ini benar-benar tidak layak dimiliki seorang muslim. Dia tidak boleh barang sedikit pun merasa senang dengan kehinaan yang sedang dialaminya lantas tidak mau lagi menempa diri karena menurutnya perubahan keadaan merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada dirinya. Namun semestinya dia memperkuat tekad dan terus berupaya untuk menyempurnakan diri, dan bersungguh-sungguh dalam mengikis aib-aib dirinya. Betapa banyak orang yang berhasil berubah keadaan dirinya, jiwanya menjadi mulia, dan aib-aibnya lambat laun menghilang akibat keseriusannya dalam menempa diri dan kesungguhannya dalam menaklukkan tabiat buruknya.
8. Memiliki Cita-Cita yang Tinggi
Cita-cita tinggi akan melahirkan kesungguhan, memompa semangat untuk maju dan tidak mau tercecer di barisan orang-orang yang rendah dan hina. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang memiliki cita-cita yang tinggi dan jiwanya memiliki kekhusyukan maka dia telah memiliki (sumber) segala akhlak mulia. Sedangkan orang yang rendah cita-citanya dan hawa nafsunya telah melampaui batas maka itu artinya dia telah bersifat dengan setiap akhlak yang rendah dan tercela.” Jiwa-jiwa yang mulia tidak merasa ridha kecuali terhadap perkara-perkara yang mulia, tinggi, dan baik dampaknya. Sedangkan jiwa-jiwa yang kerdil dan hina menyukai perkara-perkara yang rendah dan kotor sebagaimana halnya seekor lalat yang senang hinggap di barang-barang yang kotor. Jiwa-jiwa yang mulia tidak akan merasa ridha terhadap kezaliman, perbuatan keji, mencuri, demikian pula tindakan pengkhianatan, sebab jiwanya lebih agung dan lebih mulia daripada harus melakukan itu semua. Sedangkan jiwa-jiwa yang hina justru memiliki karakter yang bertolak belakang dengan sifat-sifat yang mulia itu.
9. Bersabar
Sabar merupakan fondasi bangunan kemuliaan akhlak. Kesabaran akan melahirkan ketabahan, menahan amarah, tidak menyakiti, kelemahlembutan dan tidak tergesa-gesa, dan tidak suka bersikap kasar.
10. Menjaga Kehormatan/Iffah
Sifat ini akan membawa pelakunya untuk senantiasa menjauhi perkara-perkara yang rendah dan buruk, baik yang berupa ucapan ataupun perbuatan. Dia akan memiliki rasa malu yang itu merupakan sumber segala kebaikan. Sikap ini akan mencegah dari melakukan perbuatan keji, bakhil, dusta, ghibah maupun namimah/adu domba.
11. Keberanian
Hal ini akan membawa pelakunya untuk memiliki jiwa yang tangguh dan mulia. Selain itu keberanian akan menuntun untuk senantiasa mengutamakan akhlak mulia, berusaha untuk mengerahkan kebaikan yang bisa dilakukannya dalam rangka memberikan manfaat kepada orang lain. Keberanian juga akan menggembleng jiwa untuk rela meninggalkan sesuatu yang disukai dan menyingkirkannya. Keberanian akan menuntun kepada sifat suka menahan amarah dan berlaku lembut.
12. Bersikap Adil
Sikap adil akan menuntun kepada ketepatan perilaku. Tidak melampaui batas dan tidak meremehkan. Adil akan melahirkan kedermawanan yang berada di antara sikap boros dan pelit. Adil akan melahirkan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang berada di antara sikap rendah diri dan kesombongan. Adil juga akan melahirkan sikap berani yang berada di antara sikap pengecut dan serampangan. Adil pun akan melahirkan kelemahlembutan yang berada di antara sikap suka marah dengan sifat hina dan menjatuhkan harga diri.
13. Bersikap Ramah dan Menjauhi Bermuka Masam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu kepada saudaramu (sesama muslim) adalah sedekah untukmu.” (HR. Tirmidzi, disahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah: 272). Beliau juga bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan meskipun ringan. Walaupun hanya dengan berwajah yang ramah ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim). Senyuman akan mencairkan suasana dan meringankan beban pikiran. Orang yang murah senyum akan ringan dalam menunaikan tanggung jawabnya. Kesulitan baginya merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tenang dan pikiran positif. Berbeda dengan orang yang suka bermuka masam. Dia akan menghadapi segala sesuatu dengan penuh kerepotan dan pandangan yang sempit. Apabila menemui kesulitan maka nyalinya mengecil dan semangatnya menurun. Akhirnya dia mencela kondisi yang ada dan merasa tidak puas dengan ketentuan (takdir) Allah lantas dia pun melarikan diri dari kenyataan.
14. Mudah Memaafkan
Mudah memaafkan dan mengabaikan ketidaksantunan orang lain merupakan akhlak orang-orang besar dan mulia. Sikap inilah yang akan melestarikan rasa cinta dan kasih sayang dalam pergaulan. Sikap inilah yang akan bisa memadamkan api permusuhan dan kebencian. Inilah bukti ketinggian budi pekerti seseorang dan sikap yang akan senantiasa mengangkat kedudukannya.
15. Tidak Mudah Melampiaskan Amarah
Hilm atau tidak suka marah merupakan akhlak yang sangat mulia. Akhlak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang memiliki akal pikiran. Dengan akhlak inilah kehormatan diri akan terpelihara, badan akan terjaga dari gangguan orang lain, dan sanjungan akan mengalir atas kemuliaan perilakunya. Hakikat dari hilm adalah kemampuan mengendalikan diri ketika keinginan untuk melampiaskan kemarahan bergejolak. Bukanlah artinya seorang yang memiliki sifat ini sama sekali tidak pernah marah. Namun tatkala perkara yang memicu kemarahannya terjadi maka ia bisa menguasai dirinya dan meredakan emosinya dengan sikap yang bijaksana.
16. Meninggalkan Orang-Orang Bodoh
Berpaling dari tindakan orang-orang jahil akan menyelamatkan harga diri dan menjaga kehormatan. Jiwanya akan menjadi tenang dan telinganya akan terbebas dari mendengarkan hal-hal yang menyakitkannya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berikanlah maaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199). Orang Arab mengatakan, “Menjauhi kejelekan adalah bagian dari upaya untuk mencari kebaikan.”
17. Tidak Suka Mencela
Hal ini menunjukkan kemuliaan diri seseorang dan ketinggian cita-citanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang bijak, “Kemuliaan diri yaitu ketika kamu dapat menanggung hal-hal yang tidak menyenangkanmu sebagaimana kamu sanggup menghadapi hal-hal yang memuliakanmu.” Diriwayatkan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang pergi berangkat ke masjid pada waktu menjelang subuh (waktu sahur, suasana masih gelap). Ketika itu dia berangkat dengan disertai seorang pengawal. Ketika melewati suatu jalan mereka berdua berpapasan dengan seorang lelaki yang tidur di tengah jalan, sehingga Umar pun terpeleset karena tersandung tubuhnya. Maka lelaki itu pun berkata kepada Umar, “Kamu ini orang gila ya?”. Umar pun menjawab, “Bukan.”Maka sang pengawal pun merasa geram terhadap sang lelaki. Lantas Umar berkata kepadanya, “Ada apa memangnya! Dia hanya bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu gila?’ lalu kujawab bahwa aku bukan orang gila.”
18. Mengabaikan Orang yang Berbuat Jelek Kepada Kita
Orang yang suka menyakiti tidak perlu ditanggapi. Ini merupakan bukti kemuliaan pribadi dan ketinggian harga diri. Suatu ketika ada orang yang mencaci maki Al Ahnaf bin Qais berulang-ulang namun sama sekali tidak digubris olehnya. Maka si pencela mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang menghalanginya untuk membalas celaanku selain kehinaan diriku dalam pandangannya.”
19. Melupakan Kelakuan Orang Lain yang Menyakiti Dirinya
Yaitu dengan cara anda melupakan orang lain yang pernah melakukan perbuatan buruk kepada anda. Agar hati anda menjadi bersih dan tidak gelisah karena ulahnya. Orang yang terus mengingat-ingat perbuatan jelek saudaranya kepada dirinya maka kecintaan dirinya kepada saudaranya tidak akan bisa bersih (dari kepentingan dunia). Orang yang senantiasa mengenang kejelekan orang lain kepada dirinya niscaya tidak akan bisa merasakan kenikmatan hidup bersama mereka.
20. Mudah Memberikan Maaf dan Membalas Kejelekan Dengan Kebaikan
Hal ini merupakan sebab untuk meraih kedudukan yang tinggi dan derajat yang mulia. Dengan sikap inilah akan didapatkan ketenangan hati, manisnya iman, dan kemuliaan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah akan menambahkan kepada seorang hamba dengan sifat pemaaf yang dimilikinya kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim). Ibnul Qayyim menceritakan, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih bisa memadukan sifat-sifat ini -berakhlak mulia, pemaaf, dan suka berbuat baik kepada orang lain- daripada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah menyucikan ruhnya- ketika itu sebagian para sahabatnya yang senior mengatakan, ‘Aku sangat ingin bersikap kepada para sahabatku sebagaimana beliau bersikap kepada musuh-musuhnya.’ Aku tidak pernah melihat beliau mendoakan kejelekan kepada salah seorang di antara musuhnya itu. Bahkan beliau biasa mendoakan kebaikan bagi mereka.” [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Kiat Menggapai Akhlak Mulia (2)
21. Dermawan
Kedermawanan merupakan sifat yang dicintai dan terpuji. Sebagaimana sifat bakhil (pelit) adalah sifat yang tercela dan mengundang kebencian orang lain. Sifat dermawan akan menumbuhkan kecintaan dan menyingkirkan permusuhan. Dengan sifat itulah nama baik akan terjaga dan aib-aib akan tertutupi. Apabila seseorang telah menghiasi dirinya dengan sifat dermawan maka akan sucilah jiwanya. Dengan demikian akan mengangkat dirinya untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak, keutamaan yang tinggi. Maka orang yang dermawan amat sangat dekat dengan segala kebaikan dan kebajikan.
22. Melupakan Perbuatan Baiknya Kepada Orang Lain
Ini merupakan tingkatan yang tinggi serta mulia. Yaitu dengan cara melupakan kebaikan yang pernah anda lakukan kepada orang lain hingga sepertinya hal itu tidak pernah anda lakukan. Barangsiapa yang ingin meraih kemuliaan akhlak hendaknya dia berusaha melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya kepada orang lain. Hal itu supaya dia terbebas dari perasaan berjasa dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain. Dan juga supaya dia semakin meningkat menuju kemuliaan akhlak yang lebih tinggi lagi.
23. Merasa Senang Dengan Perlakuan Baik Orang Lain Meski Hanya Sedikit
Yaitu dengan menerima kebaikan orang lain meskipun hanya sepele. Dan tidak menuntut mereka untuk membalas kebaikannya dengan persis serupa. Sehingga dia tidak akan menyulitkan orang lain. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berikanlah maaf, perintahkanlah yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 199). Abdullah bin Az-Zubair mengatakan, “Allah memerintahkan Nabinya untuk suka memberikan maaf dan toleransi terhadap kekurangan akhlak orang lain.”
24. Mengharapkan Pahala Dari Allah
Perkara ini merupakan salah satu sebab utama untuk bisa menggapai akhlak yang mulia. Dengan hal ini orang akan mudah untuk bersabar, beramal dengan sungguh-sungguh, dan tabah dalam menghadapi gangguan orang lain. Apabila seorang muslim meyakini bahwa Allah pasti akan membalas kebaikan akhlaknya, niscaya dia akan bersemangat untuk memiliki akhlak-akhlak yang mulia, dan rintangan yang dijumpainya akan terasa ringan.
25. Menjauhi Sebab-Sebab Marah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, suatu ketika ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah! Berikanlah wasiat kepadaku.” Maka beliau mengatakan, “Jangan marah!.” (HR. Bukhari)
26. Menjauhi Perdebatan
Perdebatan akan memunculkan permusuhan serta menyisakan perpecahan. Bahkan perdebatan juga terkadang menyebabkan kedustaan. Kalaupun memang terpaksa harus berdebat maka hendaknya berdebat dengan cara yang santun serta didasari niat untuk mencari kebenaran dan menggunakan cara yang lebih baik dan lebih lembut. Allah berfirman yang artinya, “Dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin sebuah rumah di surga bagian bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia berada di pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bergurau. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga yang tinggi bagi orang yang berakhlak baik.” (HR. Abu Dawud)
27. Saling Menasihati Agar Berakhlak Baik
Yaitu dengan mengingat-ingat keutamaan akhlak mulia dan memberikan peringatan keras dari keburukan akhlak. Dan juga memberikan nasihat kepada orang yang berakhlak buruk agar menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia termasuk kebenaran yang harus dipesankan kepada yang lain. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 3).
28. Menerima Nasihat yang Sopan dan Kritikan yang Membangun
Hal ini termasuk sebab yang dapat memudahkan untuk bisa memiliki akhlak yang mulia dan mengikis akhlak yang jelek. Bagi orang yang diberi nasihat maka hendaknya dia menerimanya dengan lapang dada. Bahkan sudah semestinya bagi orang-orang yang merindukan kesempurnaan -apalagi yang berkedudukan sebagai pemimpin- untuk meminta saran kepada orang-orang tertentu yang dia percayai untuk mengetahui dan mengoreksi kesalahan dan kekurangan dirinya. Dan hendaknya dia menyambut nasihat dan koreksi yang mereka berikan dengan perasaan senang dan gembira.
29. Menunaikan Tugasnya Dengan Sebaik-Baiknya
Dengan melakukan yang demikian dia akan terbebas dari celaan dan kehinaan diri akibat suka mencari-cari alasan demi menutupi kekeliruannya.
30. Mengakui Kesalahan
Ini merupakan salah satu ciri akhlak yang mulia dan karakter orang yang memiliki cita-cita yang tinggi. Dengan mengakui kesalahan maka dirinya akan bersih dari tindakan dusta dan suka mengobarkan pertikaian. Karena itulah mengakui kesalahan adalah sebuah keutamaan yang akan mengangkat derajat pelakunya.
31. Senantiasa Bersikap Lemah Lembut dan Tidak Tergesa-Gesa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan pasti akan memperindahnya. Dan tidaklah dia dicabut dari sesuatu melainkan dia akan memperburuknya.” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
32. Rendah hati
Kerendahan hati merupakan tanda kebesaran jiwa seseorang, cita-citanya yang tinggi dan merupakan jalan untuk menggapai kemuliaan-kemuliaan. Hal itu merupakan akhlak yang akan mengangkat kedudukan pemiliknya dan membuahkan keridaan orang-orang yang baik dan memiliki keutamaan kepada dirinya. Sehingga hal itu akan memudahkan dan memotivasi dirinya untuk bisa mengambil pelajaran dari siapapun. Dan sifat itulah yang akan menghalangi dirinya dari karakter sombong dan tinggi hati.
33. Mudarah/bersikap ramah
Umat manusia diciptakan untuk berkumpul bukan untuk saling mengasingkan diri. Mereka diciptakan untuk saling mengenal bukan untuk saling memusuhi. Dan mereka juga diciptakan untuk saling menolong bukan untuk mengurusi segala keperluan hidupnya sendirian. Salah satu kebijaksanaan aturan Allah yang dapat menjaga manusia dari sikap saling memutuskan hubungan dan kasih sayang adalah adanya ajaran mudarah yaitu menyikap orang dengan tetap ramah dan sopan. Karena mudarah akan menumbuhkan kedekatan dan kecintaan. Dengannya pendapat yang saling berseberangan akan bisa disatukan dan hati yang saling menjauhi bisa direkatkan. Bentuk mudarah ialah dengan menjumpai orang dalam kondisi yang baik, ucapan yang lembut serta menjauhi sebab-sebab terpicunya kemarahan dan kebencian kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang menuntut hal itu memang harus ditampakkan. Di antara bentuk mudarah yaitu anda bersikap ramah dan mau duduk bersama orang yang sebenarnya anda musuhi, anda berbicara dengannya dengan santun dan menghormati keberadaannya. Bahkan terkadang dengan mudarah itulah permusuhan akan padam dan berubah menjadi persahabatan. Al-Hasan mengatakan, “Pertanyaan yang bagus adalah separuh ilmu. Bersikap mudarah kepada orang lain adalah separuh akal…”
34. Jujur
Kejujuran akan mengantarkan kepada kemuliaan dan membebaskan manusia dari nistanya kedustaan. Selain itu kejujuran pula akan membentengi dirinya dari kejelekan orang lain kepadanya. Sebagaimana ia akan membuatnya memiliki harga diri dan kewibawaan yang tinggi, keberanian dan percaya diri. Sesungguhnya dengan kejujuran itulah orang akan terbimbing menuju kebaikan dan salah satu bentuk kebaikan itu adalah akhlak yang mulia.
35. Menjauhi Sikap Terlalu Banyak Mencela Orang yang Berbuat Jelek
Sudah selayaknya orang yang berakal menjauhi sikap berlebihan dalam mencaci orang lain yang berlaku buruk kepadanya. Apalagi jika dia adalah orang yang masih belum mengerti apa-apa. Atau dia adalah orang yang jarang sekali berbuat jelek. Terlalu banyak mencaci akan mengobarkan kemarahan dan mengeraskan tabiat. Orang yang pandai tentu tidak akan mudah mencela setiap kali saudaranya melakukan kekeliruan baik yang kecil ataupun besar. Bahkan sudah semestinya dia mencari alasan untuk bisa memaklumi dan menutupi aibnya tersebut. Kalaupun memang ada sebab yang mengharuskan celaan maka hendaknya dia mencela dengan cara yang baik dan lembut.
36. Tidak Suka Mencaci Maki Orang Lain
Sikap suka mencaci orang akan memicu permusuhan dan membuat gelisah hati dan pikiran. Dan secara otomatis akhlaknya akan memburuk akibat kebiasaan yang dilakukannya itu.
37. Memosisikan Diri Sebagaimana Lawannya
Dengan pandangan seperti ini maka kita akan mudah memberikan toleransi atas kesalahan orang lain, sehingga kita akan lebih kuat menahan luapan amarah, dan jauh dari berprasangka buruk kepadanya. Hendaknya kita menyikapi orang lain sebagaimana sikap yang kita sukai dilakukan oleh orang lain kepada kita.
38. Menjadikan Orang Lain Sebagai Cerminan Bagi Dirinya Sendiri
Hal ini sangat layak untuk dilakukan oleh setiap individu. Segala ucapan dan perbuatan yang tidak disukainya dari orang lain maka hendaknya dia jauhi. Dan apa saja yang disukainya dari perkara-perkara itu hendaknya dia lakukan.
39. Bersahabat Dengan Orang Baik-Baik yang Berakhlak Mulia
Hal ini termasuk sebab terbesar yang akan bisa menempa seseorang agar bisa berakhlak mulia. Persahabatan banyak memberikan pengaruh kepada diri seseorang. Maka sudah semestinya setiap orang mencari teman yang baik dan dapat membantu dirinya dalam berbuat kebaikan dan menghalanginya dari kejelekan.
40. Sering-Sering Mengunjungi Orang yang Berakhlak Mulia
Diriwayatkan dari Al-Ahnaf bin Qais, dia mengatakan, “Dahulu kami bolak-balik mengunjungi Qais bin ‘Ashim dalam rangka mempelajari sikap lembut (hilm) sebagaimana halnya kami belajar ilmu fikih.” Walaupun bisa jadi orang yang berakhlak mulia itu bukan orang yang berilmu tinggi dan hanya orang biasa saja, hendaknya sering mengunjunginya untuk mempelajari akhlaknya. [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Kiat Menggapai Akhlak Mulia (3)
41. Memetik Pelajaran dari Orang-Orang yang Bergaul Dengannya
Orang yang memiliki ketajaman berpikir dan cita-cita yang mulia tentunya selalu berusaha untuk bisa memetik pelajaran dari setiap orang yang bergaul dengannya. Banyak orang yang dapat mempelajari tentang bagaimana seharusnya menjaga kehormatan dan berakhlak mulia ketika dia menjumpai orang-orang yang justru memiliki perilaku yang buruk dan tercela. Bahkan terkadang orang akan bisa belajar dari perilaku hewan yang dilihatnya.
42. Melatih Diri untuk Tetap Bersikap Adil Ketika Mengalami Sesuatu yang Menyenangkan
Sudah semestinya bagi orang yang berakal dan mendambakan akhlak yang mulia untuk berusaha untuk tetap bersikap adil dalam kondisi senang maupun susah. Sebab salah satu adab yang harus dipunyai oleh orang yang terhormat adalah senantiasa berbuat adil dalam kondisi senang ataupun susah.
43. Memahami Kondisi Orang Lain dan Menyesuaikan Dengan Akal Mereka
Hal ini merupakan bukti kecermatan orang dalam menilai dan mengatur urusan yang dihadapinya. Dan hal ini juga menunjukkan tentang baiknya sikap yang dia tempuh dalam memilih sarana kebaikan yang dia gunakan. Dengan sikap semacam ini maka seorang akan mudah menggapai keluhuran akhlak dan akan disenangi oleh orang lain. Manusia yang dihadapi itu beraneka ragam, oleh sebab itu masing-masing perlu disikapi dengan sikap yang tepat dan sesuai dengan kondisi orang yang bersangkutan. Tentu saja dengan batasan, selama hal itu tidak menyebabkan kebenaran dicampakkan dan kebatilan dipertahankan.
44. Menjaga Adab Berbicara dan Adab Majelis
Di antara adab yang harus diperhatikan adalah mendengarkan dengan baik ketika orang lain berbicara. Jangan memotong pembicaraannya sebelum selesai, langsung mendustakannya, atau meremehkannya, atau terburu-buru melengkapi ucapannya yang dianggap kurang sempurna. Selain itu hendaknya juga dijauhi membicarakan tentang diri sendiri dalam rangka membangga-banggakan dirinya di hadapan orang. Hendaknya juga tidak mudah-mudah melontarkan komentar terhadap pembicaraan orang lain. Atau memberikan celaan secara merata kepada setiap orang. Atau mengulang-ulang pembicaraan tanpa ada faktor yang menuntut hal itu harus dilakukan. Termasuk sikap yang harus dijauhi adalah bertanya berlebihan atau terlalu berdalam-dalam dalam menanyakan suatu perkara tanpa keperluan. Selain itu hendaknya berbicara dengan menyesuaikan kondisi atau konteks pembicaraan. Hendaknya bersikap rendah hati terhadap orang yang diajak bicara. Begitu pula hendaknya mengucapkan salam ketika masuk ke dalam majelis atau ketika meninggalkannya. Tidak menyuruh orang lain yang sedang duduk untuk berdiri kemudian dia duduk di tempat tersebut. Tidak duduk di antara dua orang yang berdekatan kecuali dengan izin keduanya. Dan adab-adab yang lainnya.
45. Menjaga Shalat
Memelihara shalat adalah sebab yang sangat agung untuk menggapai akhlak yang mulia, wajah yang berseri-seri dan jiwa yang tenang serta akan menjauhkan dari sifat-sifat rendah dan hina. Sebagaimana shalat juga dapat menghalangi pelakunya dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Dengan melakukan shalat secara benar maka akhlak yang buruk akan dapat dikendalikan. Shalat akan dapat menyembuhkan penyakit-penyakit hati semacam: pelit, dengki, suka mengeluh dan mencela, dan lain sebagainya.
46. Berpuasa
Melakukan puasa akan menyucikan jiwa. Puasa akan memperbaiki perilaku. Puasa akan menumbuhkan berbagai akhlak yang mulia dan terpuji semacam: penyayang, dermawan, suka berbuat baik, menyambung persaudaraan, bermuka ramah, dan lain sebagainya. Puasa akan meningkatkan cita-cita di dalam hati dan mengokohkan tekad serta mewujudkan ketenteraman. Puasa merupakan ajang untuk melatih diri menanggung sesuatu yang tidak disenangi oleh nafsu. Sebuah media untuk memanajemen diri. Puasa juga akan menggerakkan diri menuju kebaikan dan mengekang pelakunya dari perbuatan buruk.
47. Membaca Al-Qur’an Dengan Merenungkan Isinya
Al-Qur’an mengandung petunjuk dan cahaya. Ia merupakan pedoman akhlak yang paling utama. Ia akan menuntun kepada kebenaran dan kebaikan. Kemuliaan akhlak merupakan bagian dari kebaikan yang ditunjukkan oleh al-Qur’an. Bahkan di dalamnya terdapat ayat yang merangkum berbagai macam akhlak yang mulia yaitu firman-Nya yang artinya, “Jadilah pemaaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 199). Al-Qur’an akan mendorong jiwa manusia untuk memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan mengisinya dengan cita-cita yang agung.
48. Menyucikan Jiwa Dengan Melakukan Ketaatan
Menyucikan jiwa dengan senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah adalah sarana terbesar untuk meraih akhlak yang mulia. Allah berfirman yang artinya, “Sungguh beruntung orang-orang yang membersihkan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9).
49. Senantiasa Menyimpan Rasa Malu
Rasa malu akan menjaga diri agar tidak melakukan perbuatan buruk dan mendorongnya untuk senantiasa melakukan kebaikan. Apabila seseorang menghiasi diri dengan sifat ini maka dia akan terpacu untuk meraih keutamaan-keutamaan dan terhambat dari perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina. Rasa malu akan senantiasa melahirkan kebaikan. Ia merupakan bagian penting dari keimanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu tidaklah memunculkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga menyatakan, “Rasa malu adalah cabang keimanan.” (HR. Ibnu Majah). Beliau juga bersabda, “Salah satu ucapan pertama kali yang diperoleh manusia dari ajaran para nabi terdahulu adalah jika kamu tidak malu berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
50. Menebarkan Salam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan sempurna) kecuali kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian, sesuatu yang apabila kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai, yaitu sebarkanlah salam di antara sesama kalian.” (HR. Muslim). Umar bin Khattab mengatakan, “Salah satu sebab yang akan memurnikan rasa suka saudaramu kepadamu ialah kamu selalu berusaha memulai mengucapkan salam kepadanya apabila bersua. Hendaknya kamu memanggilnya dengan panggilan yang paling disukai olehnya. Kamu lapangkan tempat duduk untuk menyambut kehadirannya.”
51. Selalu Memperhatikan Perjalanan Hidup Nabi
Kisah perjalanan hidup Nabi akan menyajikan di hadapan pembacanya suatu gambaran yang indah mengenai petunjuk yang paling baik dan akhlak yang paling mulia untuk diterapkan oleh segenap umat manusia.
52. Selalu Memperhatikan Perjalanan Hidup Para Sahabat
Para sahabat adalah orang-orang yang mewarisi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga akhlaknya. Dengan melihat kisah perjalanan hidup mereka akan dapat memacu jiwa untuk meneladani dan meniru kebaikan-kebaikan mereka.
53. Membaca Sejarah Hidup Orang-Orang yang Memiliki Keutamaan
Betapa sering orang terpacu dan bertekad kuat untuk memperbaiki akhlaknya karena membaca teladan perjalanan hidup orang-orang yang mulia. Karena dengan membaca biografi dan kisah perjalanan hidup mereka akan menggerakkan jiwa untuk meniru dan meneladani kebaikan mereka.
54. Membaca Buku-Buku Tentang Sifat-Sifat Baik dan Akhlak
Dengan membaca buku-buku semacam itu maka orang akan selalu teringat dan terpacu untuk berakhlak mulia. Begitu pula sebaliknya, dia akan berusaha untuk menjauhi akhlak-akhlak yang tercela. Buku-buku seperti ini banyak sekali, di antaranya adalah:
- Syama’il Muhammadiyah karya At-Tirmidzi
- Kitab Adab yang ada di dalam kitab-kitab Sahih dan Sunan
- Adabu Dunya wa Din karya Al-Mawardi
- Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala’ karya Ibnu Hiban
- Dan lain-lain
55. Membaca Kata-Kata Bijak dari Ulama Terdahulu
Hikmah/kata-kata bijak adalah ucapan yang diriwayatkan dari ulama terdahulu, singkat akan tetapi membawa pengaruh yang dalam. Kata-kata bijak (hikmah) akan mendorong untuk berakhlak yang mulia dan memandunya dalam melangkah. Qais bin ‘Ashim suatu ketika pernah ditanya, “Apa yang mendorong kaummu menjadikanmu sebagai pemimpin?”. Beliau menjawab, “Karena tidak suka menyakiti, suka memberi, dan berjuang membela (agama) Allah.”
56. Mengenal Ungkapan dan Perumpamaan yang Indah
Ungkapan dan perumpamaan-perumpamaan yang indah memiliki pengaruh kuat terhadap jiwa manusia. Ia akan membangkitkan semangat untuk beramal dan memperhalus perilakunya. Perumpamaan tidak susah untuk dihafal dan mudah untuk dipahami. Ia mudah untuk diselipkan dalam suasana serius dengan sedikit bercanda. Dengan kata-kata yang ringkas orang lain akan mudah mengambil pelajaran dan terpacu untuk memperbaiki diri. [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihaat
Selesai disarikan dari teks aslinya, Yogyakarta 17 Sya’ban 1429 H
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Sudahkah Kita Meneladani Akhlak Salafus Shalih?
Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga termasuk cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairairah radhiyallahu’anhu ini lafaz Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan ikutilah perbuatan dosa dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya. Dan pergaulilah orang dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, hadits hasan sahih).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Rasulullah menyebutkan perintah berakhlak secara terpisah (padahal ia termasuk bagian dari takwa, pen) dikarenakan kebanyakan orang mengira bahwa ketakwaan itu hanya berkutat dengan masalah pemenuhan hak-hak Allah dan tidak berurusan dengan pemenuhan hak hamba-hamba-Nya…” “Dan orang yang menunaikan hak-hak Allah sekaligus hak-hak sesama hamba dengan baik adalah sesuatu yang sangat jarang ditemukan, kecuali pada diri para nabi dan orang-orang yang shidiq/benar…” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 237)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga? Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlaq mulia.” Beliau juga ditanya tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘Hadits hasan shahih.’)
Dua macam akhlak mulia
Imam an-Nawawi rahimahullah membuat sebuah bab khusus di dalam kitab Riyadhush Shalihin yang berjudul Bab Husnul Khuluq (Akhlak mulia). Maksud penyusunan bab ini oleh beliau ialah dalam rangka memotivasi agar kita memiliki akhlak yang mulia. Di dalam bab ini beliau juga hendak menerangkan keutamaan-keutamaannya serta siapa sajakah di antara hamba-hamba Allah yang memiliki sifat-sifat mulia itu. Husnul khuluq meliputi berakhlaq mulia kepada Allah dan berakhlaq mulia kepada hamba-hamba Allah.
Berakhlaq mulia kepada Allah yaitu senantiasa ridha terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang berupa aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang lapang tanpa keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila Allah menakdirkan sesuatu yang tidak disukai menimpa seorang muslim maka hendaknya dia ridha terhadapnya, pasrah dan sabar dalam menghadapinya. Dia ucapkan dengan lisan dan hatinya: radhiitu billaahi rabban ‘Aku ridha Allah sebagai Rabb’. Apabila Allah menetapkan keputusan hukum syar’i kepadanya maka dia menerimanya dengan ridha dan pasrah, tunduk patuh melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla dengan dada yang lapang dan hati yang tenang, inilah makna berakhlak mulia terhadap Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini:
- Kafful adza (menahan diri dari mengganggu): yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya.
- Badzlu nada (memberikan kebaikan yang dipunyai): yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya.
- Thalaqatul wajhi (bermuka berseri-seri, ramah): dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi, inilah husnul khuluq.
Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa bersabar menghadapi gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab bersabar menghadapi gangguan mereka termasuk husnul khuluq juga. Bahkan jika dia mengharapkan pahala dari Allah atas kesabarannya tentulah itu akan membuahkan kebaikan di sisi Allah Ta’ala (semua paragraf di atas disarikan dari Syarah Riyadhush Shalihin Syaikh al-Utsaimin, II/387)
Bagaimana berakhlak mulia kepada sesama?
Di dalam sebuah ayat Allah telah menghimpun beberapa kunci pokok untuk bisa meraih akhlak yang mulia kepada sesama. Barangsiapa mempraktekkannya niscaya akan merasakan kenikmatan buahnya. Allah Ta’ala berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Qs. al-A’raaf: 199)
Ayat yang mulia ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul khuluq kepada sesama serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang hamba dalam hal mu’amalah dan pergaulan hidup mereka. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk melakukan tiga hal:
- Menjadi pema’af.
- Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf.
- Berpaling dari orang-orang yang bodoh.
Pengertian pema’af di sini luas. Ia mencakup segala bentuk perbuatan dan akhlak yang dapat membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan untuk orang lain. Sehingga dia tidak membebankan perkara-perkara sulit yang tidak sesuai dengan tabi’at mereka. Bahkan dia mampu mensyukuri (berterima kasih) terhadap apa saja yang mereka berikan baik berwujud ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan yang lebih rendah darinya. Hal itu juga disertai dengan sikap memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri orang lain. Dia tidak menyombongkan diri di hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena kelemahan-kelemahan mereka. Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin disebabkan kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi dengan semuanya dengan lemah lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang tepat menurut situasi dan kondisi yang ada.
Pengertian mengerjakan yang ma’ruf adalah segala ucapan dan perbuatan yang baik, budi pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki hubungan dekat maupun jauh. Hendaknya kamu bersikap baik kepada mereka dengan mengajarkan ilmu yang kamu miliki, menganjurkan kebaikan, menyambung tali silaturahim, berbakti kepada kedua orang tua, mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau menyumbangkan nasihat yang bermanfaat, pendapat yang jitu, memberikan bantuan demi kebaikan dan takwa, menghalangi terjadinya suatu keburukan atau dengan memberikan arahan untuk meraih kebaikan diniyah (agama) maupun duniawiyah (dunia).
Berpaling dari orang-orang yang bodoh artinya tidak melayani atau ikut larut dalam kebodohan mereka. Jika mereka mengusik anda dengan kata-kata atau dengan tindakan bodoh maka menyingkirlah. Anda tidak perlu membalas dendam dengan mengganggu mereka pula. Barangsiapa yang memutuskan hubungan dengan anda maka sambunglah hubungan dengannya. Dan barangsiapa yang menzhalimi anda maka berbuat adillah kepadanya. Dengan cara itulah anda akan memperoleh limpahan pahala dari Allah, hati menjadi tentram dan tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan dengan cara itu dapat merubah orang yang semula musuh menjadi teman (diramu dari Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 313 dan Taisir Lathif al-Mannan hal. 83-84)
Orang yang paling dekat dengan Nabi di hari kiamat
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya Rasulullah… kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini hasan gharib’. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Tirmidzi)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak Anda semakin mulia niscaya kedudukan anda di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan selain Anda. Sedangkan orang yang terjauh posisinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun (Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 396-397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna tsartsarun adalah orang yang banyak bicara dan suka menyerobot pembicaraan orang lain. Apabila dia duduk ngobrol dalam suatu majelis dia sering menyerobot pembicaraan orang lain, sehingga seolah-olah tidak boleh ada yang bicara dalam majelis itu selain dia. Dia berbicara tanpa membiarkan orang lain leluasa berkata-kata. Perbuatan seperti ini tidak diragukan lagi termasuk kesombongan. Yang dimaksud majelis dalam konteks ini adalah pembicaraan-pembicaraan sehari-hari bukan majelis ilmu atau pengajian, sebab jika suatu saat Anda mendapat kesempatan untuk memberikan nasihat atau mengisi kajian di depan mereka lalu Anda sendirian yang lebih banyak berbicara maka hal ini tidaklah mengapa (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa makna mutasyaddiqun adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara yang meremehkan orang lain seolah-olah dia adalah orang paling fasih, itu dilakukannya karena kesombongan dan bangga diri yang berlebihan. Seperti contohnya berbicara dengan menggunakan bahasa Arab di hadapan orang-orang awam, sebab kebanyakan orang awam tidak paham bahasa Arab. Seandainya Anda mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab maka tentulah hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam pembicaraan. Adapun jika Anda sedang mengajar di hadapan para penuntut ilmu maka biasakanlah berbicara dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik dan melatih mereka agar sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun terhadap orang awam maka tidak selayaknya Anda berbicara dengan mereka dengan bahasa Arab, tetapi bicaralah dengan mereka dengan bahasa yang mereka pahami dan jangan banyak memakai istilah-istilah asing, artinya janganlah Anda menggunakan kata-kata asing yang sulit mereka mengerti, karena hal itu termasuk berlebihan dan angkuh dalam pembicaraan (lihat Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan makna mutafaihiqun: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong. Orang sombong ini bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan seolah-olah dia berjalan di atas helaian daun (dengan langkah kaki yang dibuat-buat –pent) karena adanya kesombongan di dalam dirinya. Perilaku ini tak diragukan lagi termasuk akhlak yang sangat tercela, wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya sendiri. Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta, kedalaman ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Allah, seyogyanya dia merendahkan diri (tawadhu’). Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah harta, ilmu, atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada tawadhu’nya orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu terdapat dalam sebuah hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat, diantara mereka adalah: “Orang miskin yang sombong” Sebab orang miskin tidak mempunyai faktor pendorong (modal) untuk sombong…. Sudah semestinya orang-orang yang diberi anugerah nikmat oleh Allah semakin meningkatkan syukurnya kepada Allah serta semakin tambah tawadhu’ kepada sesama, semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan seluruh umat Islam untuk memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik, dan semoga Allah menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal yang jelek, sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia (lihat Syarah Riyadhush Shalihin, hal. 397-398)
Ahlus Sunnah dan Akhlak Mulia
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari Golongan Yang Selamat?” Maka beliau menjawab: “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah (interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka:
Adapun dalam hal akidah, Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
Adapun dalam hal ibadah, Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga Anda tidak akan menjumpai adanya perbuatan menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diizinkan oleh Allah.
Sedangkan dalam hal akhlak, Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka tampil istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya: mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.
Dan dalam hal mu’amalah, Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Hakim bin Hizam radhiyallahu’anhu)
Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat.
Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari Golongan Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini, meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.
Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala kepada kita di dalam firman-Nya,
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
“Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya.” (Qs. asy-Syura: 13)
Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (Qs. al-An’am: 159)
Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat –Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka. Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.
Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja memakan daging onta. Sang imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan sang makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya –dan mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil ini.
Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik kejelasan perkaranya.
Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 22-26)
Ilmu melahirkan akhlak tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (Qs. an-Naml: 40)
Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا
“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (Qs. al-Fajr: 15-17)
Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (al-Fawa’id, hal. 149)
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id