Jawaban Telak Untuk Quburiyyun (1)
Segala puji bagi Allah Robbul ‘Alamiin. Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amma ba’du.
Ketahuilah! Semoga Allah merahmati kita semua bahwa jalan menuju ridho Allah memiliki musuh-musuh yang pandai bersilat lidah, berilmu dan memiliki argumen. Oleh karena itu kita wajib mempelajari agama Allah yang bisa menjadi senjata bagi kita untuk memerangi syaitan-syaitan ini, yang pemimpin dan pendahulu mereka (baca: iblis) berkata kepada Robb-mu ‘azza wa jalla:
لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ثُمَّ لاَتِيَنَّهُم مِّنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَآئِلِهِمْ وَلاَتَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau akan mendapati mereka kebanyakan tidak bersyukur (ta’at).” (QS. Al A’raaf: 16-17)
Ketahuilah, sesungguhnya tentara Allah akan senantiasa menang dalam argumen dan perdebatan sebagaimana mereka menang dengan pedang dan senjata. Seorang muwahhid (orang yang bertauhid) yang menempuh jalan (Allah) namun tanpa senjata (ilmu untuk membela diri) amatlah mengkhawatirkan.
Allah ta’ala telah memberi nikmat kepada kita dengan menurunkan kitab-Nya yang Dia jadikan:
تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Sebagai penjelas atas segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin.” (QS. An Nahl: 89)
Tidak ada seorang pun pembawa kebatilan datang dengan membawakan hujjah (demi membela kebatilannya) melainkan di dalam Al Quran terdapat dalil yang membantahnya dan menjelaskan kebatilannya, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَلاَيَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّجِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang (ganjil), melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al Furqon: 33)
Termasuk ahlul bathil adalah ahlul bid’ah dan para quburiyyin yang sesat mereka tinggalkan kewajiban ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan menyekutukan Allah dengan selain-Nya yaitu para nabi dan wali. Mereka memiliki dalih-dalih. Untuk menjawabnya dapat ditempuh dua metode, secara global dan rinci.
Jawaban Global
Allah ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتُُ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتُُ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغُُ فَيَتَّبِعُونَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ
“Dialah yang menurunkan Al Quran kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutsyabihaat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (QS. Ali Imron: 7)
(Ayat muhkamat adalah Ayat yang jelas dan tegas maksudnya dapat dipahami dengan mudah. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah. Termasuk pengertian ayat mutasyaabih adalah ayat yang sukar untuk dipahami walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang dapat memahami karena ilmunya lebih mumpuni -pent).
Dalam hadits shohih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فألئك الذين سمى الله فاحذرهم
“Jika engkau melihat ada orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabih dari Al Quran, maka mereka itulah yang disebutkan Allah (dalam ayat itu), maka jauhilah mereka.” (HR. Bukhari 4547 dan Muslim 2665)
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita agar menjauhi orang yang mengikuti ayat mutasyabih dari Al Quran atau sunnah kemudian membungkus kebatilannya dengan hal itu. Mereka inilah yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
“Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada zaigh (condong kepada kesesatan).”
Sebab peringatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kekhawatiran beliau andai mereka menyesatkan kita dari jalan Allah disebabkan mengikuti ayat mutasyaabih, maka beliau memperingatkan kita untuk menjauhi mereka dan menjauhi jalan mereka.
Jawaban Rinci
1. Syubhat Pertama
“Kami tidaklah menyekutukan Allah. Kami bersaksi bahwasanya tidak ada yang dapat menciptakan, memberi rezeki, memberi manfaat dan menimpakan bahaya melainkan Allah semata tidak ada sekutu baginya. Kami juga bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat memberi manfaat dan mencegah bahaya bagi dirinya. Akan tetapi kami ini adalah orang yang bergelimang dosa, dan orang-orang shalih ini memiliki kedudukan di sisi Allah, maka kami memohon ampunan Allah dengan perantara mereka.”
Jawaban:
Sesungguhnya orang-orang yang diperangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam darahnya boleh ditumpahkan dan wanita-wanitanya boleh diperbudak, mengakui hal tersebut. Mereka mengakui bahwa berhala-berhala mereka tidak dapat mengatur sesuatu pun. Tetapi mereka hanya menginginkan jah (kedudukan) dan syafaat mereka. Ternyata tauhid ini tidak berguna sedikit pun bagi mereka.
Dan Allah ‘azza wa jalla mengatakan dalam kitab-Nya:
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah Aku (semata).” (QS. Al Anbiyaa’: 25)
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (semata).” (QS. Adz Dzaariyaat: 56)
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُوا الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak selain Dia. Dan para malaikat, orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu) dengan keadilan. Tidak ada sesembahan yang hak melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imron: 18)
وَإِلاَهُكُمْ إِلَهُُ وَاحِدُُ لآَّإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحَمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sesembahan yang hak melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqoroh: 163)
فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونَ
“Maka sembahlah aku semata.” (QS. Al Ankabut: 56)
Masih terdapat berbagai ayat lain yang menunjukkan kewajiban mengesakan Allah ‘azza wa jalla dalam ibadah dan tidak beribadah kepada seorang pun selain-Nya.
2. Syubhat Kedua
“Ayat-ayat yang telah disebutkan itu diturunkan kepada mereka yang beribadah/menyembah patung/berhala. Sedangkan orang-orang yang kami maksudkan adalah para wali bukan patung/berhala.”
Jawaban:
Seorang yang beribadah kepada selain Allah maka dia telah menjadikan sesembahannya tersebut watsan (berhala). Maka apakah perbedaan antara orang yang beribadah kepada patung-patung dengan yang beribadah kepada para nabi dan wali?!
Di antara orang-orang kafir terdapat orang yang berdoa kepada patung untuk mendapatkan syafaat, dan di antara mereka juga ada yang beribadah kepada para wali.
Dalil bahwa mereka beribadah/berdoa kepada wali adalah perkataan mereka,
ُأوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Isra: 57)
Begitu pula mereka menyembah para nabi sebagaimana kaum Nashara beribadah terhadap Al Masih Ibn Maryam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
وَإِذْ قَالَ اللهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّىَ إِلاَهَيْنِ مِن دُونِ اللهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَايَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَالَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلآَأَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai sesembahan selain Allah?’ ‘Isa menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghoib.’” (QS. Al Maaidah: 116)
Demikian pula mereka menyembah para malaikat, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا ثُمَّ يَقُولُ لِلْمَلاَئِكَةِ أَهَؤُلآءِ إِيَّاكُمْ كَانُوا يَعْبُدُونَ
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semua, kemudian Allah berfirman kepada malaikat: Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” (QS. As Saba’: 40)
Berdasarkan keterangan di atas tersingkaplah kerancuan mereka yang beranggapan bahwa kaum musyrikin berdoa kepada patung-patung sedangkan mereka berdoa kepada para wali dan orang shalih dari dua sisi:
Sisi pertama: Anggapan mereka sama sekali tidak benar, karena di antara kaum musyrikin pun ada yang berdoa/beribadah kepada para wali dan orang shalih.
Sisi kedua: Sekiranya kita menganggap kaum musyrikin tidak menyembah melainkan kepada patung semata, maka tidak ada bedanya antara mereka yang menyembah para wali dan orang shalih dengan para musyrikin karena mereka semua menyembah kepada sesuatu yang sama sekali tidak dapat mendatangkan manfaat sama sekali.
Dari sini kita mengetahui bahwa Allah mengkafirkan orang yang memiliki keyakinan yang aneh-aneh tentang patung atau dengan orang shalih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka karena kesyirikan ini, dan sesembahan mereka yaitu para wali Allah dan orang shalih tidak mampu memberi manfaat kepada mereka (Yakni memberi mereka pertolongan saat mereka diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
3. Syubhat Ketiga
“Kaum kuffar menghendaki dari patung-patung itu untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudhorot dari mereka. Sedangkan kami tidak mengharapkan yang demikian itu kecuali kepada Allah dan orang-orang shalih pun tidak memiliki kekuasaan dalam hal ini sedikit pun. Dan kami tidak beri’tiqod kepada mereka, akan tetapi kami mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan perantaraan mereka agar mereka menjadi pemberi syafaat bagi kami.”
Jawaban:
Ucapan ini sama persis dengan ucapan orang-orang kafir ketika Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى اللهِ زُلْفَى
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az Zumar: 3)
هَاؤُلآءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللهِ
“Mereka inilah pemberi-pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
4. Syubhat Keempat
“Kami tidak menyembah melainkan kepada Allah semata, sedangkan iltija’ (berlindung) kepada orang shalih dan berdoa kepada mereka bukanlah termasuk ibadah.”
Jawaban:
Ketahuilah bahwa Allah mewajibkanmu untuk memaksudkan ibadah hanya kepada-Nya semata dan ini merupakan hak Allah yang menjadi kewajiban manusia, Allah ta’ala berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Robb-mu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lirih. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raaf: 55)
Doa adalah ibadah. Apabila doa termasuk ibadah maka sesungguhnya berdoa kepada selain Allah adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Yang berhak untuk diseru, disembah dan disandarkan harapan adalah Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya.
Jika kita telah mengetahui bahwa doa adalah ibadah, dan kita berdoa kepada-Nya siang dan malam dengan penuh harap dan takut kemudian kita berdoa kepada nabi atau selainnya agar memenuhi hajat kita, maka sungguh kita telah menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam ibadah.
Allah ta’ala berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka tegakkanlah shalat dan berkurbanlah!” (QS. Al Kautsar: 2)
Apabila kita menaati Allah dan berkurban untuk-Nya, maka ini adalah ibadah kepada Allah. Sehingga jika kita berkurban kepada makhluk, baik itu nabi, jin atau yang lainnya maka sungguh kita telah menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam masalah ibadah.
Kaum musyrikin yang Al Quran diturunkan di tengah-tengah mereka, menyembah para malaikat, orang-orang shalih dan Latta. Sedangkan bentuk peribadatan mereka kepada sesembahan mereka hanyalah dalam bentuk doa, sembelihan, iltija’ (meminta perlindungan) dan semacamnya (dari perkara ibadah). Sedangkan mereka sendiri mengakui bahwa mereka adalah hamba Allah dan di bawah kuasa-Nya serta Allahlah yang mengatur segala urusan. Akan tetapi, mereka berdoa dan berlindung kepada sesembahan selain Allah karena kedudukan orang shalih tersebut di sisi Allah dan mengharapkan syafaat mereka. Ini adalah sangat jelas.
5. Syubhat Kelima
Perkataan mereka terhadap ahli tauhid:
“Kalian mengingkari syafaat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Jawaban:
Kami tidak mengingkari syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami tidak berlepas diri darinya, bahkan Beliau shallallahu ”alaihi wa sallam adalah syaafi’ (pemberi syafa’at), musyaffa’ (yang diizinkan memberi syafa’at oleh Allah) dan aku berharap bisa mendapatkan syafaat Beliau. Akan tetapi seluruh bentuk syafaat adalah milik Allah, sebagaimana firman Allah ta’ala,
قُلِ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا
“Katakanlah! Hanya kepunyaan Allahlah syafaat itu semuanya.” (QS. Az Zumar: 44)
Syafaat itu tidak akan diberikan melainkan setelah diizinkan oleh Allah ta’ala, sebagaimana firman Allah ta’ala,
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Siapakah yang dapat memberikan syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (QS. Al Baqarah: 255)
Nabi tidak bisa memberi syafaat kepada seseorang melainkan setelah Allah mengizinkannya, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى
“Dan mereka tidak dapat memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhoi Allah.” (QS. Al Anbiyaa’: 28)
Sedangkan Allah hanya ridho terhadap tauhid, firman ‘azza wa jalla,
يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ
“(Barang siapa) yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.” (QS. Ali Imron: 85)
Apabila seluruh bentuk syafaat itu milik Allah, dan tidak akan diberikan melainkan setelah (ada) izin dari-Nya, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain beliau tidak dapat memberi syafaat kepada seorang pun hingga Allah mengizinkan mereka, padahal Allah tidak akan mengizinkannya kecuali untuk orang yang bertauhid. Oleh karena itu mohonlah syafaat kepada Allah dan panjatkan doa, “Ya Allah janganlah Engkau halangi aku untuk mendapatkan syafaat beliau, Ya Allah berikanlah syafaat beliau kepadaku” atau kalimat semisal dengannya.
-bersambung insya Allah-
***
Diterjemahkan dari artikel 13 Syubhati lil Quburiyyin wal Jawabi ‘alaiha oleh Abdullah ibn Humaid Al Falasi sebagai ringkasan dari kitab Kasyfusy-Syubuhat karya Al Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab rahimahullah
****
Penerjemah: Abu Muhammad M Ikhwan Nur Muslim
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Jawaban Telak Untuk Quburiyyun (2)
6. Syubhat Keenam
“Sesungguhnya Allah telah memberikan syafaat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kami hanya meminta kepada beliau syafaat yang telah diberikan Allah kepadanya.”
Jawaban:
Sesungguhnya Allah memberikan syafaat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun melarang kita dari meminta syafaat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman,
فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا
“Maka janganlah kamu menyembah (beribadah) seorang pun di dalamnya di samping menyembah Allah.” (QS. Al Jin: 18)
Ketahuilah sesungguhnya Allah ta’ala memberikan syafaat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi beliau tidak mampu memberi syafaat melainkan dengan izin Allah dan syafaat tidak diberikan melainkan hanya kepada orang yang diridhoi Allah, sedangkan Allah tidak akan meridhoi orang musyrik dan tidak akan mengizinkan syafaat diberikan kepadanya. Allah ta’ala berfirman,
وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى
“Dan mereka tidak dapat memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhoi Allah.” (QS. Al Anbiyaa’: 28)
Sesungguhnya Allah memberikan syafaat kepada selain nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Malaikat, anak-anak yang meninggal semasa kecil dan para wali Allah juga memberi syafaat. Apakah kita meminta syafaat kepada mereka?
Jika engkau ingin memperoleh syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapkanlah, “Ya Allah berikanlah syafaat Nabimu shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku.”
Bagaimana mungkin engkau menginginkan syafaat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan engkau berdoa meminta syafaat kepada beliau secara langsung, sedangkan berdoa kepada selain Allah adalah syirik akbar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam !!!
7. Syubhat Ketujuh
“Kami tidak mempersekutukan Allah sedikit pun, dan berlindung kepada orang shalih bukanlah kesyirikan.”
Jawaban:
Allah lebih mengharamkan kesyirikan daripada zina, dan Allah tidak akan mengampuninya (Ini berlaku selama pelakunya belum bertaubat. Adapun jika dia bertaubat dengan sebenarnya maka dia dapat diampuni. Wallahu a’lam -pent). Jika demikian apakah itu syirik itu?
Sesungguhnya mereka ini tidak mengetahui hakikat syirik selama mereka beranggapan bahwa meminta syafaat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah bentuk kesyirikan. Ini adalah dalil bahwa mereka tidak mengetahui hakikat syirik yang sangat diharamkan Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang amat besar.” (QS. Luqman: 13)
Bagaimana mungkin engkau bisa melepaskan diri dari kesyirikan dengan berlindung kepada orang shalih, sedangkan engkau tidak mengetahuinya! Menilai suatu penilaian adalah derivat dari persepsi tentangnya. Penilaian kalian yang menyatakan terbebasnya kalian dari syirik sedangkan kalian tidak mengetahui hakikat syirik adalah penilaian yang tidak dilandasi ilmu, sehingga penilaian itu tertolak, tidak dapat diterima.
Mengapa engkau tidak bertanya tentang kesyirikan yang sangat Allah haramkan lebih daripada pengharaman membunuh dan berzina. Pelaku syirik pasti masuk neraka dan surga haram baginya. Apakah engkau mengira Allah mengharamkan syirik atas hamba-hambaNya kemudian Dia tidak menjelaskan hakikat syirik kepada mereka? Sungguh mustahil.
8. Syubhat Kedelapan
“Syirik itu adalah menyembah (beribadah) kepada patung sedangkan kami tidak menyembah patung.”
Jawaban:
Sesungguhnya para penyembah patung itu tidak berkeyakinan bahwa patung itu mampu menciptakan, memberi rezeki dan mengatur segala urusan orang yang beribadah kepadanya. Al Quran mendustakan orang yang mengatakan bahwa mereka tidak berkeyakinan seperti itu.
Sesungguhnya peribadatan kepada patung adalah menambatkan hati kepada patung kayu, batu atau bangunan di atas kubur dan selainnya, kemudian mereka berdoa dan menyembelih untuknya seraya mengatakan sesungguhnya sesembahan kami ini akan mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya, serta Allah akan menolak bahaya dari kami dan memberi manfaat kepada kami dengan sebab keberkahannya.
Sesungguhnya perbuatan kalian di sisi batu-batu, bangunan-bangunan di atas kubur dan selainnya adalah semodel dengan perbuatan mereka. Atas dasar inilah maka perbuatan kalian adalah peribadatan kepada patung (berhala).
Sedangkan perkataan kalian “kesyirikan adalah beribadah kepada patung (berhala)”, maka apakah yang dimaksudkan kesyirikan itu hanya khusus hal itu saja, dan apakah ketergantungan hati kepada orang shalih dan berdoa kepada mereka tidak termasuk di dalamnya?
Hal inilah yang diinginkan tatkala Allah menyebutkan dalam kitab-Nya, bahwa termasuk kekufuran adalah menggantungkan hati kepada malaikat, Isa atau orang-orang shalih.
9. Syubhat Kesembilan
“Sesungguhnya orang-orang yang Al Quran diturunkan di tengah-tengah mereka itu tidak bersaksi/mengucapkan “Laa ilaha illallah”, dan mereka mendustakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari hari kebangkitan dan mendustakan Al Quran dan menjadikannya bahan olok-olokan. Sedangkan kami bersaksi/mengucapkan “Laa ilaha illallah” dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, membenarkan Al Quran, beriman kepada hari kebangkitan, kami sholat dan berpuasa. Bagaimana mungkin kalian samakan kami dengan mereka?”
Jawaban:
Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa barang siapa mengingkari dan mendustakan sebagian ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia seperti orang yang mendustakan dan mengingkarinya secara keseluruhan. Barang siapa yang mengingkari salah seorang nabi, maka dia seperti mengingkari seluruh para nabi, karena Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً أُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membeda-bedakan antara Allah dan rasul-Nya dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada sebagian (dari rasul-rasul itu) dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain).’ Serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (lain) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.” (QS. An Nisaa’: 150-151)
Firman Allah ta’ala kepada Bani Israil,
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَاجَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيُُفيِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلىَ أَشَدِّ الْعَذَابِ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (taurat) dan kafir terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian (itu) dari (golongan) kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat.” (QS. Al Baqoroh: 85)
Jadi barang siapa mengakui tauhid kemudian mengingkari kewajiban sholat maka dia kafir. Barang siapa mengakui tauhid dan kewajiban sholat kemudian dia menentang kewajiban zakat, maka sesungguhnya dia itu kafir. Barang siapa mengakui kewajiban-kewajiban tadi namun dia menentang kewajiban puasa, maka dia adalah kafir. Barang siapa mengakui seluruh kewajiban di atas namun dia mengingkari kewajiban haji, maka dia juga kafir. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa yang mengingkari/kafir (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari semesta alam.” (QS. Ali Imron: 97)
Barang siapa mengakui seluruh kewajiban tersebut, namun dia mengingkari hari kebangkitan, maka dia kafir menurut ijma’, karena Allah ta’ala berfirman,
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ
“Orang-orang kafir menyangka, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: ‘Tidak, bahkan demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu amalkan.’ Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At Taghaabun: 7)
Jadi jika kamu mengakui semua kewajiban tersebut, maka ketahuilah bahwa kewajiban terpenting yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tauhid, lebih penting dari sholat, zakat, puasa dan haji.
Maka bagaimana mungkin seorang yang menentang salah satu perkara tersebut dikafirkan walaupun dia mengamalkan yang lain, sedangkan bila menentang tauhid yang merupakan inti agama para rasul tidak dikafirkan? Maha Suci Allah, betapa mengherankannya kebodohan ini! Maka jelaslah bahwa pengingkar tauhid kekufurannya itu lebih keterlaluan.
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Bani Hanifah yang berislam, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mereka mengumandangkan azan dan menjalankan sholat. Namun mereka mengangkat seseorang ke martabat seorang nabi, maka bagaimana dengan seseorang yang mengangkat seseorang ke martabat Yang Maha Kuasa atas langit dan bumi? Bukankah orang itu lebih berhak untuk dikafirkan daripada yang mengangkat seorang makhluk ke kedudukan makhluk yang lain?
Orang-orang yang dibakar oleh Ali ibn Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu itu mengaku Islam, mereka adalah sahabat Ali ibn Abi Thalib serta belajar dari pada sahabat akan tetapi mereka berkeyakinan terhadap Ali sebagaimana keyakinan banyak orang terhadap Yusuf, Syamsan (Nama berhala di masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -pent) dan semisal mereka. Jika demikian, mengapa para sahabat sepakat memerangi dan mengkafirkan mereka?
Apakah engkau mengira bahwa para sahabat mengkafirkan kaum muslimin? Ataukah kalian mengira tidak mengapa berkeyakinan kepada Al Husain, Badawi dan semisalnya sedangkan berkeyakinan kepada Ali ibn Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu dikafirkan?
Sungguh para ulama sepakat atas kafirnya Bani ‘Ubaid Al Qoddah yang menguasai Maroko dan Mesir. Mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mereka sholat Jumat dan berjama’ah serta mengaku sebagai kaum muslimin, akan tetapi itu semua menghalangi vonis murtad untuk mereka oleh kaum muslimin tatkala mereka menyelisihi kaum muslimin dalam beberapa perkara yang tidak termasuk tauhid sehingga mereka akhirnya diperangi dan harta mereka dijadikan rampasan perang.
Jika orang-orang terdahulu tidaklah dikafirkan kecuali setelah terkumpul seluruh jenis kekufuran pada mereka berupa kesyirikan, pendustaan dan sikap menyombongkan diri, lalu apakah makna disebutkannya bentuk-bentuk kekufuran dalam “bab hukum murtad” yang terdapat kitab-kitab fikih? Semua perbuatan tersebut dikafirkan, hingga disebutkan beberapa hal yang kecil ketika seseorang itu mengerjakannya, misal mengucapkan kalimat kekufuran dengan lisannya tanpa meyakininya dengan hati, atau mengucapkan kalimat kekufuran dengan tujuan bersenda gurau dan bermain-main. Jika sekiranya pelaku perbuatan tersebut tidak dikafirkan dengan mengerjakan salah satu dari perbuatan tersebut karena dia mengerjakan kewajiban yang lain, maka tentunya penyebutan jenis-jenis kekufuran dalam bab hukum murtad itu sama sekali tidak bermanfaat.
Sesungguhnya Allah ta’ala mengkafirkan orang-orang munafik yang mengucapkan kalimat kekufuran sedangkan mereka menyertai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sholat, zakat, berhaji dan berjihad bersama beliau serta mereka bertauhid, Allah ta’ala berkata tentang mereka,
يَحْلِفُونَ بِاللهِ مَاقَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلاَمِهِمْ
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak akan mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran dan telah kafir sesudah (menjadi) Islam.” (QS. At Taubah: 74)
Allah ta’ala mengkafirkan orang-orang munafik yang mengucapkan suatu kalimat yang menurut mereka sekedar untuk bergurau. Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan rasul-Nya kamu selalu bersenda gurau?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah: 65-66)
Di antara dalil bahwa seseorang terkadang mengucapkan dan mengerjakan perbuatan yang merupakan kekufuran di saat dia tidak menyadarinya, adalah perkataan Bani Israil kepada Musa ‘alahis shalatu was salam:
“Buatkanlah sesembahan bagi kami seperti sesembahan mereka!” (QS. Al A’raaf: 138)
dan juga perkataan sebagian sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Buatkanlah Dzata Anwath bagi kami sebagaimana yang mereka miliki” maka beliau berkata:
“Allahu Akbar, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya sesungguhnya sunnah (tradisi) apa yang kamu katakan tadi seperti yang dikatakan kalangan Bani Isra’il kepada Musa: ‘Buatkanlah sesembahan bagi kami seperti sesembahan mereka!’, maka sungguh kalian akan mengikuti sunnah (tradisi) orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad (5/218), Tirmidzi (2180), Nasa’i dalam Al Kubra (11185), Thabrani dalam Al Kabir (3290), Ibnu Abi Syaibah (15/101), Ibnu Hibban (6702))
Hal ini menunjukkan bahwa Musa dan Muhammad ‘alaihimash shalatu was salam mengingkari perbuatan itu dengan keras.
-bersambung insya Allah-
***
Diterjemahkan dari artikel 13 Syubhati lil Quburiyyin wal Jawabi ‘alaiha oleh Abdullah ibn Humaid Al Falasi sebagai ringkasan dari kitab Kasyfusy-Syubuhat karya Al Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab rahimahullah
****
Penerjemah: Abu Muhammad M Ikhwan Nur Muslim
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
www.muslim.or.id
Jawaban Telak Atas Quburiyyun (3)
10. Syubhat Kesepuluh
“Perkataan Bani Isra’il kepada Musa (Buatkanlah sesembahan bagi kami seperti sesembahan mereka!) dan perkataan sebagian sahabat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Buatkanlah Dzata Anwath bagi kami sebagaimana yang mereka miliki’, tidak membuat sahabat dan Bani Isra’il dikafirkan.”
Jawaban:
Sesungguhnya para sahabat dan Bani Isra’il tidak melakukan yang mereka katakan itu ketika para rasul mengingkarinya. Tidak ada perselisihan jika sekiranya Bani Isra’il melakukan yang mereka katakan tersebut maka mereka telah kafir, dan demikian pula mereka yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika mereka tidak menaati beliau dan membuat Dzata Anwath setelah beliau melarang maka mereka itu kafir.
11. Syubhat Kesebelas
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Usamah yang membunuh seseorang yang telah mengucapkan “Laa ilaha illallah.”(HR. Bukhari dan Muslim), dan demikian pula sabda Beliau: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan “Laa ilaha illallah.” (HR. Bukhari dalam Kitab Al Iman (25), Muslim dalam Kitab Al Iman (22,23)), dan hadits-hadits lain yang melarang memerangi orang yang mengatakannya.”
Jawaban:
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi dan menawan kaum Yahudi sedangkan mereka mengucapkan “Laa ilaha illallah.” Sesungguhnya para sahabat telah memerangi Bani Hanifah sedangkan mereka bersaksi “Laa ilaha illallah” dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka sholat dan mengaku sebagai bagian dari kaum muslimin. Sesungguhnya orang-orang yang dibakar oleh Ali ibn Abi Thalib bersyahadat “Laa ilaha illallah.”
Barang siapa mengingkari hari kebangkitan adalah kafir dan dibunuh, walau mengucapkan “Laa ilaha illallah.” Sesungguhnya barang siapa yang menentang salah satu rukun Islam maka dia kafir dan dibunuh, walau dia mengucapkannya.
Maka bagaimana bisa kalimat “Laa ilaha illallah” tidak bermanfaat baginya apabila dia menentang salah satu furu’, kemudian kalimat itu itu bermanfaat baginya sehingga tidak dikafirkan tatkala dia menentang tauhid yang merupakan pokok dan inti agama para rasul?!
Adapun Usamah yang membunuh seseorang yang mengucapkan “Laa ilaha illallah”, tatkala dia berhadapan dengannya. Orang itu sebelumnya adalah seorang musyrik kemudian mengucapkan “Laa ilaha illallah”, maka Usamah membunuhnya karena mengira orang tersebut tidak ikhlas dalam mengucapkannya untuk menyelamatkan diri. Jadi tidak ada dalil yang menyatakan semua orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah” adalah seorang muslim yang terjaga darahnya, akan tetapi yang ada adalah dalil wajibnya menahan diri dari orang yang mengatakan “Laa ilaha illallah”, kemudian setelah itu keadaan orang tersebut dilihat apakah pengakuannya benar atau tidak. Dalil hal ini adalah firman Allah ta’ala,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي َسِبيلِ اللهِ فَتَبَيَّنُوا
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah.” (QS. An Nisaa: 94)
Artinya pastikan terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan jika telah jelas perkara tersebut menyelisihi zhahirnya, maka wajib melakukan tindakan sesuai dengan senyatanya orang tersebut. Apabila dengan jelas orang tersebut melakukan sesuatu yang menyelisihi Islam (baca: tauhid) maka orang tersebut boleh dibunuh. Oleh karena itu sekiranya semua orang yang mengucapkannya (kalimat “Laa ilaha illallah”) tidak diperangi/dibunuh secara mutlak, maka perintah untuk “memastikan” dalam ayat tersebut tidak memiliki faedah.
Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah”, makna hadits ini adalah barang siapa yang menampakkan keislaman maka tidak boleh diganggu sampai diketahui apakah orang tersebut bersungguh-sungguh berislam ataukah tidak, Allah ta’ala berfirman, “…maka telitilah.”
Perintah meneliti terlebih dahulu dibutuhkan tatkala seseorang dalam keraguan tentang suatu perkara. Jika orang yang hanya mengucapkan “Laa ilaha illallah” terlindungi sehingga tidak boleh diperangi/dibunuh, maka tentunya tidak diperlukan sikap tabayyun (meneliti terlebih dahulu).
Sesungguhnya orang yang mengatakan kepada Usamah (Yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -pent), “Apakah engkau membunuhnya sesudah dia mengucapkan Laa ilaha illAllah?!”, dan yang mengatakan, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilah illallah dan Muhammad adalah utusan Allah”, …adalah orang yang memerintahkan untuk membunuh/memerangi kaum Khawarij dan bersabda,
أينما لقيتموهم فاقتلوهم
“Di manapun kalian menemui mereka, maka bunuhlah mereka!” (HR. Bukhari (6930 dan 6931) dan Muslim (1066) dari Ali ibn Abi Thalib rodhiallahu ‘anhu)
Padahal kaum Khawarij ini menegakkan shalat, berzikir kepada Allah, membaca Al Quran dan belajar kepada para sahabat rodhiallahu ‘anhum akan tetapi semuanya itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikit pun, karena keimanan tidak menghujam dalam hati mereka sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنه لا يجاوز حناجرهم
“Sesungguhnya (bacaan Al Quran mereka) itu tidak melewati kerongkongan-kerongkongan mereka (sehingga menetap dalam hati).” (HR. Bukhari (8/67, 10/552, 13/415-416, 535- Fath), Muslim (7/169, 171-173, 174-Nawawi)
12. Syubhat Kedua belas
“Sesungguhnya manusia pada hari kiamat kelak akan beristighatsah (meminta pertolongan) kepada Adam, kemudian kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan mereka semua tidak mampu melakukannya, kemudian terakhir mereka beristighotsah pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal ini menunjukkan istighotsah kepada selain Allah bukanlah suatu kesyirikan.”
Jawaban:
Kami tidak mengingkari istighatsah kepada makhluk dalam perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam kisah Musa,
فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ
“Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang menjadi musuhnya.” (QS. Al Qashash: 15)
Sebenarnya mereka tidak meminta pertolongan kepada para nabi untuk menghilangkan kesusahan mereka, akan tetapi mereka meminta pertolongan kepada Allah melalui mereka agar Allah menghilangkan kesulitan mereka. Terdapat perbedaan antara orang yang meminta pertolongan kepada makhluk agar mereka menghilangkan bahaya dan keburukan, dengan orang yang meminta kepada Allah agar menghilangkan kesulitan ini melalui mereka. Meminta pertolongan kepada Allah melalui makhluk boleh, sebagaimana para sahabat yang meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdoa kepada Allah bagi mereka tatkala Beliau masih hidup. Adapun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal ini terlarang dan mereka sama sekali tidak pernah meminta hal itu kepada Beliau di samping kubur Beliau, bahkan para salafush shalih mengingkari orang yang bersengaja berdoa kepada Allah di samping kubur Beliau, maka bagaimana dengan berdoa kepada diri Beliau?
Tidak mengapa engkau mendatangi seorang yang shalih yang engkau mengenal diri dan keshalihannya, kemudian engkau memintanya untuk berdoa kepada Allah bagimu. Hal ini adalah boleh, namun tidak sepatutnya menganggap hal ini sebagai bagian dari agama (dalam artian) setiap kali melihat orang shalih, (maka) dia berkata “Berdoalah kepada Allah bagiku!” Hal ini bukanlah termasuk perilaku para pendahulu kita (sahabat) rodhiallahu ‘anhum, dan perbuatan itu merupakan sikap berpangku tangan. Apabila seseorang berdoa sendiri kepada Robbnya, itu merupakan kebaikan baginya karena dia melakukan ibadah yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla.
13. Syubhat Ketiga belas
“Sesungguhnya dalam kisah Ibrahim ‘alaihish shalatu wa salaam, ketika beliau dilemparkan ke dalam api, Jibril menawarkan kepada beliau bantuan dan berkata, ‘Apakah engkau butuh bantuan?’ Maka Ibrahim berkata, ‘Adapun kepadamu, (aku) tidak (memerlukan bantuan).’” (HR. Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tafsir-nya (17/45) dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (3/193)), (ini adalah) dalil sekiranya beristighatsah kepada Jibril adalah syirik, maka tentu dia tidak akan menawarkannya kepada Ibrahim.”
Jawaban:
Sesungguhnya Jibril hanya menawarkan bantuan dalam hal yang dia mampu melakukannya. Seandainya Allah mengizinkan dia, maka dia akan menyelamatkan Ibrahim dengan kekuatan yang diberikan oleh Allah. Dan sesungguhnya Jibril sebagaimana yang disifatkan oleh Allah ta’ala,
شَدِيدُ الْقُوَى
“(yang) sangat kuat.” (QS. An Najm: 5)
Maka seandainya Allah memerintahkannya untuk memindahkan api (yang membakar) Ibrahim dan melemparkannya ke timur atau ke barat, maka dia (akan mampu) melakukannya. Seandainya Allah memerintahkannya untuk memindahkan Ibrahim ke tempat yang jauh, maka dia akan mampu mengerjakannya, dan seandainya dia diperintahkan untuk mengangkat beliau ke atas langit, tentu dia akan mampu melakukannya.
Hal ini serupa dengan orang kaya yang mendatangi seorang yang fakir, dan berkata, “Apakah kamu memerlukan bantuan harta, berupa pinjaman, utang atau selain itu?” Hal ini merupakan perkara yang mampu dilakukannya, dan tidak dianggap sebagai suatu kesyirikan apabila si fakir mengatakan “Iya, aku keperluan, beri aku pinjaman.” Atau dia mengatakan “Bantulah aku!”, maka dia bukanlah seorang musyrik.
Penutup
Setelah kita mengetahui jawaban syubhat ini, maka sesungguhnya seseorang dituntut untuk bertauhid dengan hati, perkataan dan perbuatannya. Apabila dia bertauhid dengan hatinya, akan tetapi tidak bertauhid dengan perkataan atau perbuatannya maka pengakuannya adalah dusta, karena tauhid dalam hati akan diikuti oleh keduanya (tauhid dalam perkataan dan perbuatan), sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, apabila dia baik maka baiklah jasad itu, jika dia rusak maka rusaklah jasad itu. Ketahuilah dia adalah hati.” (HR. Bukhari dalam Kitab Al Iman (52), Muslim dalam Kitab Al Musaaqaat (107, 1599). Yang dimaksudkan dengan qolb disini adalah secara maknawi)
Jika ada orang yang menauhidkan Allah dengan hatinya, akan tetapi tidak menauhidkan-Nya dengan perkataan dan perbuatan, maka sungguh dia termasuk pengikut Fir’aun yang meyakini dengan benar dan mengetahui keesaan Allah, akan tetapi menyombongkan diri, mengingkari dan tetap mengakui bahwa dia memiliki kekuasaan rububiyyah, Allah ta’ala berfirman,
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya.” (QS. An Naml: 14)
Firman Allah ta’ala tatkala Musa berkata kepada Fir’aun,
لَقَدْ عَلِمْتَ مَآأَنزَلَ هَآؤُلآءِ إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي لأَظُنُّكَ يَافِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
“Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Robb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata.” (QS. Al Isro’: 102)
Tidaklah dimaafkan orang yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak mengerjakannya karena takut menyelisihi kaum di negerinya dan alasan-alasan lain yang semisal. Alasan ini tidak bermanfaat baginya di sisi Allah ‘azza wa jalla, karena wajib bagi seseorang untuk mencari keridhaan Allah ‘azza wa jalla walaupun manusia murka (terhadapnya). Mayoritas gembong-gembong kekafiran mengetahui kebenaran tetapi mengingkarinya dan menyelisihi kebenaran tersebut, sebagaimana firman Allah ta’ala,
الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anak mereka sendiri.” (QS. Al Baqoroh: 146)
Allah ta’ala berkata tentang mereka, “Mereka menjual (menukar) ayat-ayat Allah dengan harga yang rendah.”
Mereka beralasan dengan berbagai alasan yang tidak bermanfaat bagi mereka seperti takut kehilangan jabatan, dipersilakan duduk di depan bila ada acara dan semisalnya.
Mengenal kebenaran tanpa mengamalkannya lebih buruk daripada tidak tahu kebenaran, karena orang yang tidak mengetahui kebenaran dapat dimaafkan dan terkadang dia mengetahui kemudian dia mengerti dan belajar tidak seperti mereka yang menentang dan sombong. Oleh karena itu Yahudi menjadi kaum yang dimurkai karena mereka mengetahui kebenaran kemudian mereka meninggalkannya. Sedangkan Nashara menjadi kaum yang sesat karena mereka tidak mengenal kebenaran, akan tetapi sesudah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengenal kebenaran tersebut sehingga mereka menjadi orang-orang yang dimurkai Allah seperti Yahudi.
Melakukan amalan lahiriah yang merupakan konsekuensi tauhid (seperti sholat, zakat, dll), tanpa memahaminya atau meyakininya dengan hati, adalah kemunafikan yang lebih buruk dari kekufuran, karena Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ اْلأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (QS. An Nisaa: 145)
Selesai diterjemahkan dengan bebas di Jogjakarta 1 Syawal 1427 H oleh Muhammad As Salafy dengan beberapa tambahan.
***
Diterjemahkan dari artikel 13 Syubhati lil Quburiyyin wal Jawabi ‘alaiha oleh Abdullah ibn Humaid Al Falasi sebagai ringkasan dari kitab Kasyfusy-Syubuhat karya Al Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab rahimahullah
****
Penerjemah: Abu Muhammad M Ikhwan Nur Muslim
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Liang Kubur Awal Perjalanan Kita di Akhirat
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على نبيه المصطفى، أما بعد
Khalifah kaum muslimin yang keempat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.
Suatu hari ada seorang yang bertanya:
تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟
“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد منه
“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)
Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur? Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:
Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.
Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’
Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.
Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.
Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.
Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:
لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط
“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)
Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:
وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ
“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)
Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.
Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)
Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.
Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:
- Ikhlas
- Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan landasan dua syarat di atas.
Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))
Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, amin.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)
***
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Safar ke Kuburan (1)
Muqaddimah
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:
Artikel berikut merupakan lanjutan dari artikel kami sebelumnya, “Ada Apa dengan Ziarah Kubur?”. Artikel ini merupakan “pelunas janji” yang telah kami utarakan pada artikel sebelumnya, sekaligus upaya untuk memahamkan kaum muslimin terhadap ajaran agamanya yang bersih dari noda-noda kesyirikan. Tidak lupa, kami ucapkan kepada ustadzuna tercinta, Abu Umamah Aris Munandar Hafizhhahullah ta’ala atas segala upaya dan jasa beliau terhadap diri kami, terutama dalam penulisan artikel ini.
Safar ke Kuburan
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:
Tidak dapat disangsikan lagi berbagai fenomena kesyirikan telah menyebar di bumi pertiwi yang kita cintai ini. Apa yang dilakukan para pengultus kubur di sisi kuburan para wali hanyalah secuil dari fenomena ini. Anggapan sebagian orang bahwa berdoa di samping kuburan wali lebih mustajab ketimbang berdoa di masjid Allah pun merebak, atau bahkan yang lebih parah dari itu mereka justru berdoa (meminta) kepada penghuni kubur tersebut agar hajatnya terpenuhi atau menyembelih untuk para wali atau ngalap berkah dengan kuburan tersebut dan berbagai perbuatan menggelikan lainnya.
Fenomena kesyirikan yang mereka lakukan tidak lepas dari pengultusan yang berlebihan terhadap para wali. Lumrah jika para wali patut dihormati, namun yang ganjil dan keliru adalah mengultuskan wali tersebut secara berlebihan dan mensejajarkannya dengan kedudukan Rabbul ‘Alamin. Padahal penghulu para wali, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya untuk berlebih-lebihan terhadap beliau dalam sabdanya,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam (puncak pengultusan kaum Nasrani kepada nabi ‘Isa adalah menuhankan ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam, pen-). Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari nomor 3261)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan,
قوله لا تطروني لا تمدحوني كمدح النصارى حتى غلا بعضهم في عيسى فجعله إلها مع الله وبعضهم ادعى أنه هو الله وبعضهم بن الله
“Maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘لا تطروني’ adalah janganlah kalian memujiku seperti perbuatan kaum Nasrani yang mengultuskan ‘Isa bin Maryam kemudian menjadikannya sesembahan di samping Allah atau bahkan lebih dari itu sebagian dari mereka mengklaim ‘Isa adalah Allah atau anak Allah.” (Fathul Baari, 12/149)
Pengultusan inilah yang mendorong sebagian besar kaum muslimin untuk berkunjung ke kuburan para wali. Wisata religi, penamaan sebagian orang atas kegiatan ini. Meski kegiatan tersebut membuat masyarakat merogoh kocek dalam-dalam, menempuh perjalanan yang jauh serta berpeluh, toh mereka tidak peduli karena mereka berkeyakinan mengunjungi kuburan para wali adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, apalagi fenomena ini telah berlangsung sekian lama dan rutin dilakukan oleh sebagian besar penduduk negeri.
Pada kesempatan ini, kami akan mengetengahkan berbagai penjelasan ulama terhadap hadits syaddur rihal yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu.
Penjelasan hadits ini kami pandang penting karena memiliki kaitan yang erat dengan fenomena ziarah kubur wali atau yang dibungkus dengan label wisata religi sehingga menjadi komoditi yang dapat mempertebal kantong sebagian orang, tidak terkecuali mereka yang dipanggil dengan sebutan ‘Pak Kyai’.
Dalam menyusun risalah dan menerangkan pendapat yang benar dalam permasalahan ini, penyusun banyak mengambil faedah dari tulisan Muhadditsul ‘Ashr al Allamah Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah, yaitu Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha. Kami memohon kepada Allah agar risalah ini bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin seluruhnya. Aamin.
Hadits Syaddur Rihal
Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي
“Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Bukhari nomor 1197)
Terdapat hadits yang semakna dengan hadits di atas, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم ومسجد الأقصى
“Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari nomor 1139)
Hadits di atas datang dalam bentuk penafian (negasi), namun mengandung larangan. Gaya bahasa yang demikian lebih tegas pelarangannya, sebagaimana dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tatkala membawakan perkataan ath Thibi rahimahullah (Al Fath 3/64). Namun, terdapat hadits lain yang menunjukkan bahwa penafian tersebut mengandung larangan. Hadits yang juga berasal dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشدوا الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى
“Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar), kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Muslim nomor 827)
Hadits Nabi yang mulia di atas menyatakan keutamaan dan nilai lebih ketiga masjid tersebut daripada masjid yang lain. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan masjid para nabi ‘alaihius salam. Masjidil Haram merupakan kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha adalah kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi merupakan masjid yang terbangun d atas fondasi ketakwaan (Al Fath 3/64).
Silang Pendapat Mengenai Kandungan Hadits
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai kandungan larangan yang tertera dalam hadits di atas. Al Hafizh menyebutkan terdapat dua pendapat dalam permasalahan ini (Al Fath, 3/65). Beliau menyatakan para ulama Syafi’iyyah sendiri terbagi menjadi dua kutub yang saling bertentangan.
Pendapat pertama adalah apa yang dikemukakan oleh Imam Abu Muhammad Al Juwaini dan didukung oleh Al Qadli Husain, Al Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lainnya. Beliau berpendapat bahwa bersafar ke tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan atau berziarah ke kuburan orang shalih selain ketiga masjid di atas termasuk dalam larangan tanpa terkecualikan. Mereka berdalil dengan pengingkaran Abu Basrah Al Ghifari terhadap tindakan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana (HR. Ahmad nomor 23901, Syaikh Syu’aib al Arnauth menshahihkan hadits ini). Abu Basrah radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada beliau, “Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana”. Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya. Pengingkaran Abu Basrah terhadap apa yang diperbuat oleh Abu Hurairah merupakan indikasi bahwa larangan yang terkandung dalam hadits bersifat umum, mencakup seluruh tempat yang diyakini memiliki keutamaan dan dapat mendatangkan berkah.
Pendapat kedua menyatakan bersafar ke tempat-tempat tersebut tidak tercakup dalam larangan, sehingga hal tersebut diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat Imam Al Haramain dan ulama Syafi’iyyah lainnya termasuk Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dan pendapat ini juga didukung oleh imam An Nawawi dalam kitab beliau Al Minhaj Syarh Shahih Muslim. Mereka mengemukakan berbagai alasan untuk mendukung pendapat ini, diantaranya adalah:
1. Maksud dari hadits tersebut adalah keutamaan yang sempurna hanya diperoleh dalam bersafar menuju ketiga masjid tersebut, tidak ke tempat lainnya karena bersafar ke tempat-tempat selain ketiganya hukumnya boleh. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Ahmad nomor 11627 dengan lafaz,
لا ينبغي للمطي أن تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut…….”
2. Mereka mengemukakan bahwa lafazh “لا ينبغي ” dalam hadits di atas tidaklah menunjukkan larangan, karena lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu.
3. Larangan yang terkandung dalam hadits tersebut hanya berlaku bagi orang yang bernazar untuk shalat di suatu masjid selain ketiga masjid di atas. Mereka mengatakan nazar tersebut tidak perlu ditunaikan sebagaimana pendapat Ibnu Baththal.
4. Larangan dalam hadits tersebut hanya mencakup masjid semata sehingga makna hadits tersebut adalah, “Tidak boleh bersafar ke suatu masjid selain ketiga masjid di atas untuk melaksanakan shalat”. Hal ini berarti sengaja bersafar ke suatu tempat yang diyakini memiliki berkah dan keutamaan tidak tercakup dalam larangan tersebut. Alasan ini dikuatkan oleh riwayat dari imam Ahmad dari jalur Syahr bin Hausyab yang telah lalu. Syahr mengatakan, “Aku mendengar Abu Sa’id tatkala ditanya mengenai hukum sengaja bepergian ke bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana. Maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut……….” (HR. Ahmad nomor 11627)
Pendapat yang Rajih
Pendapat kedua yang disebutkan di atas merupakan pendapat yang dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah ta’ala. Beliau menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa larangan yang tertera dalam hadits tersebut hanya berlaku pada masjid semata, sedangkan bersafar ke tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti bersafar dalam rangka menziarahi kuburan orang shalih tidak termasuk dalam larangan tersebut (Lihat Fathul Baari 3/64-65), kemudian beliau membawakan beberapa alasan untuk menguatkan pendapat yang kedua sebagaimana telah tersebut di atas.
Pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar rahimahullah ta’ala merupakan pendapat yang jauh dari kebenaran. Beliau tidak menghiraukan riwayat yang shahih dari sahabat Abu Basrah al Ghifari yang berhujjah dengan hadits Abu Khudri untuk mengingkari perbuatan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hal ini menunjukkan bahwa larangan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id di atas mencakup seluruh tempat yang dipandang memiliki keutamaan walaupun tempat tersebut bukan masjid.
Di antara riwayat yang menguatkan keumuman larangan tersebut adalah riwayat yang shahih dari Qaz’ah. Dia berkata, “Aku berkeinginan untuk pergi menuju bukit Thursina maka aku pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar mengenai keinginanku tersebut.” Ibnu ‘Umar pun mengatakan, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد النبي صلى الله عليه وسلم ومسجد الأقصى
“Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha”?! Urungkan niatmu tersebut dan janganlah engkau mendatangi bukit Thursina! (HR. Al Azraqi dalam Akhbaru Makkah hal. 304 dengan sanad yang shahih)
Bantahan Bagi Pendapat Kedua
Berbagai alasan yang telah dikemukakan oleh para ulama dalam mendukung pendapat kedua pun dapat dijawab dengan jawaban sebagai berikut:
- Anggapan bahwa larangan tersebut hanya mencakup masjid-masjid selain ketiga masjid tersebut adalah anggapan yang lemah (yaitu alasan nomor tiga yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah).
- Hadits yang dijadikan hujjah adalah hadits Syahr bin Hausyab di atas. Hadits tersebut merupakan hadits yang lemah ditinjau dari segi sanad dan matan hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani.
Ditinjau dari segi sanad, maka hadits Syahr bin Hausyab merupakan hadits yang lemah sebagaimana yang akan kami terangkan.
Perlu diketahui hadits Syahr yang dimaksud merupakan jalur periwayatan yang lain dari hadits sahabat Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu yang menjadi pokok pembicaraan kita. Terdapat dua rawi yang meriwayatkan hadits Abu Sa’id ini dari Syahr, yaitu,
a. Laits bin Abi Sulaim dari Syahr bin Hausyab, dia berkata,
لقينا أبا سعيد ونحن نريد الطور فقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لا تشد المطي إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد المدينة وبيت المقدس
“Kami berpapasan dengan Abu Sa’id sedang kami hendak bepergian menuju bukit Thursina. (Tatkala beliau mengetahuinya), maka beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang melaksanakan perjalanan ke suatu tempat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, “Masjidil Haram, Masjid Madinah (Nabawi) dan Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha)” (HR. Ahmad nomor 11901)
Jalur periwayatan ini lemah disebabkan kelemahan Laits bin Abi Sulaim atau Ibnu Zanim Al Laits. Abu Hatim dalam Al Majruuhiin (2/231) mengatakan bahwa hadits yang Laits bin Abi Sulaim hafal telah tercampur di masa tuanya. Terkadang beliau tidak mengetahui riwayat yang sedang beliau utarakan, sehingga beliau mencampuradukkan berbagai sanad, memarfu’kan hadits-hadits mursal dan menyandarkan beberapa hadits kepada perawi-perawi tsiqat, padahal mereka tidak meriwayatkan hadits tersebut. Kemudian Abu Hatim menyebutkan bahwa riwayat beliau (Laits bin Abi Sulaim) ditinggalkan oleh para imam ahli hadits semisal Yahya al Qahthan, Ibnu Mahdi dan Ahmad bin Hambal. Hal yang senada dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahdzib (1/464). Syaikh Syu’aib al Arnauth rahimahullah melemahkan jalur periwayatan ini dalam ta’liq beliau terhadap Musnad Ahmad bin Hambal.
b. Rawi kedua yang meriwayatkan dari Syahr adalah Abdul Hamid bin Bahram dengan lafazh لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي . Jalur periwayatan inilah yang dijadikan hujjah oleh ulama yang berpendapat larangan dalam hadits Abu Sa’id al Khudri hanya berlaku pada masjid semata. Keabsahan riwayat ini juga didukung oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/65. Beliau menilai Syahr bin Hausyab hasanul hadits
Syaikh al Albani rahimahullah mengatakan bahwa penilaian Ibnu Hajar rahimahullah terlalu terburu-buru. Beliau mengemukakan berbagai alasan sebagai berikut:
- Dalam riwayat ini terdapat tambahan “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة “. Syahr bin Hausyab bersendirian dalam meriwayatkan tambahan ini. Karena dalam jalur periwayatan lain dari Abu Sa’id al Khudri yang shahih, tidak terdapat tambahan tersebut, bahkan tidak ditemukan dalam riwayat Laits dari Syahr yang telah dijelaskan kelemahannya! Hal ini menunjukkan tambahan tersebut adalah mungkar karena tidak tercantum dalam berbagai jalur periwayatan lain dari Abu Sa’id al Khudri, padahal jalur periwayatan dari Abu Sa’id al Khudri sangat banyak, namun tidak satu pun yang mencantumkan lafazh tambahan tersebut.
- Penilaian Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah yang menyatakan Syahr bin Hausyab hasanul hadits merupakan penilaian yang bertentangan dengan perkataan beliau di Taqribut Tahdzib 1/269. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan bahwa Syahr bin Hausyab termasuk rawi shaduqun katsirul irsal wal auham, yaitu seorang yang tepercaya namun sering keliru dan meriwayatkan hadits-hadits mursal?! Padahal hadits yang dibawakan oleh rawi dengan kondisi demikian adalah hadits yang dhaif dan tidak patut dijadikan hujjah! (Lihat Ma’rifatu Ushulil Hadits 1/70 karya al Hakim, Syuruthul Aimmah 1/32 karya Ibnu Manduh dan al Masaa-il 3/307 karya al Ustadz Abdul Hakim bin ‘Amir Abdat).
- Anggaplah beliau, yakni Syahr bin Hausyab merupakan rawi yang hasanul hadits. Maka hadits yang dibawakan oleh seorang rawi dengan tingkatan hasanul hadits
dapat dijadikan hujjah jika tidak menyelisihi riwayat lain yang lebih
shahih. Namun tambahan hadits yang beliau (Syahr bin Hausyab) bawakan
di atas telah menyelisihi riwayat yang lebih shahih dari para rawi yang
juga meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri. Oleh karena itu, bagaimana
mungkin beliau dikatakan sebagai seorang rawi yang hasanul hadits dengan adanya penyelisihan ini?! Bahkan beliau termasuk tingkatan rawi matrukul hadits
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Albani, dan Syaikh Albani tidak
sendiri dalam mengkritik beliau (Syahr bin Hausyab). Terdapat beberapa
kritikan terhadap Syahr bin Hausyab, diantaranya adalah sebagai
berikut:
- Ahmad bin Syu’aib An Nasaa-i dalam Adl Dlu’afa wal Matrukiin menyatakan Syahr bin Hausyab ليس بالقوي (tidak kuat hafalannya).
- Ibnul Jauzi dalam Adl Dlu’afaa wal Matrukiin 2/43 membawakan perkataan Ibnu Hibban bahwa Syahr meriwayatkan berbagai hadits mu’dhol dari para perawi tsiqat.
- Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh wat Ta’dil (1/144) menyatakan bahwa Syu’bah meninggalkan hadits yang diriwayatkan oleh beliau (Syahr bin Hausyab). Dalam Tarikh Dimasyq 23/235 Syu’bah menyatakan و لقد لقيت شهرا فلم أعتد به (aku telah bertemu dengan Syahr, namun aku tidak mempedulikan riwayatnya).
- Terdapat kisah yang menyatakan kecacatan pada diri beliau (Syahr bin Hausyab). Disebutkan bahwa beliau telah mencuri sekantong uang dari Baitul Maal, sehingga tersebarlah perkataan لقد باع شهر دينه بخريطة فمن يأمن القراء بعدك يا شهر atas diri beliau (Lihat Al ‘Ilal wa Ma’rifatir Rijal 3/26 karya Ahmad bin Hambal, Tahdzibul Kamal 12/582 karya Al Maziy, Tahdzibut Tahdzib 4/324 karya Ibnu Hajar Al Asqalani dan Al Majruuhiin 1/361 karya Abu Hatim).
Dari segi matan, terdapat bukti lain yang menunjukkan kebatilan tambahan lafazh “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة “. Dalam riwayat yang dibawakan oleh Syahr bin Hausyab, disebutkan bahwa sahabat Abu Sa’id melarangnya untuk pergi ke bukit Thursina dan Abu Sa’id berhujjah dengan riwayat tersebut.
Syaikh Al Albani mengatakan, “Jika tambahan tersebut merupakan dalil yang mengkhususkan bahwa larangan bersafar dalam hadits Abu Sa’id hanya mencakup masjid dan bukan tempat-tempat yang memiliki keutamaan, maka pendalilan sahabat Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu tidaklah tepat. Karena bukit Thursina bukan masjid tetapi sebuah bukit! Tempat di mana Allah ta’ala berbicara dengan Musa ‘alaihis salam. Jika tambahan lafazh tersebut shahih, maka bukit Thursina tidak tercakup dalam larangan sehingga pendalilan Abu Sa’id al Khudri keliru dan Syahr tidak akan mungkin menerima pendalilan Abu Sa’id tersebut.” (Ahkaamul Janaaiz wa Bidaa’uha hal. 290 dengan sedikit peringkasan).
Inilah kontradiksi para ulama yang berdalil dengan hadits Syahr bin Hausyab. Mereka berdalil dengan hadits ini untuk mendukung pendapat yang menyatakan larangan bepergian hanya berlaku pada masjid semata. Namun, mereka tidak merenungkan bahwa hadits tersebut justru bumerang bagi mereka. Karena dalam riwayat tersebut, Abu Sa’id melarang Syahr untuk pergi menuju bukit Thursina. Padahal sebagaimana yang dimaklumi bahwa bukit Thursina bukanlah masjid!
Hal ini menjadi dalil tambahan bahwa tambahan lafazh “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة ” merupakan tambahan yang mungkar. Kalaulah tambahan itu shahih, maka mereka yang berpendapat bahwa larangan bersafar hanya mencakup masjid semata telah tenggelam dalam kontradiksi yang sangat jelas sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Al Albani.
Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan bolehnya bersafar ke tempat-tempat yang memiliki keutamaan adalah apa yang mereka sebutkan pada poin pertama di atas, yaitu maksud hadits adalah keutamaan yang sempurna hanya diperoleh dalam bersafar ketiga masjid tersebut, tidak ke tempat lainnya karena bersafar ke tempat-tempat selain ketiganya hukumnya boleh. Kemudian untuk menguatkan alasan ini mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad nomor 11627 dengan lafazh,
لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي
“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, ….”
Mereka mengemukakan bahwa lafazh “لا ينبغي ” dalam hadits di atas tidaklah menunjukkan larangan, karena lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu.
Jawaban atas pendapat ini sebagai berikut,
1. Riwayat yang mereka pergunakan sebagai hujjah tidaklah shahih sebagaimana telah lalu penjelasannya.
2. Anggaplah riwayat tersebut shahih, maka anggapan mereka bahwa lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu merupakan anggapan yang keliru. Bahkan sebaliknya lafazh “لا ينبغي ” dalam Al Qur-an dan sunnah digunakan untuk sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang mustahil (I’laamul Muwaqqi’in 1/43) diantaranya adalah firman Allah ta’ala dalam surat Maryam ayat 92,
وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)
“Dan tidak layak bagi Rabb yang Maha Pemurah apabila memiliki anak.”
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لا ينبغي لعبد أن يقول إنه خير من يونس بن متى
“Tidak boleh bagi seseorang menyatakan bahwa dirinya lebih baik daripada Yunus bin Matta.” (HR. Bukhari 3067)
Contoh yang lain dapat dilihat pada Ahkaamul Janaaiz hal. 291 dan I’laamul Muwaqqi’in 1/43.
Anggaplah sangkaan mereka bahwa lafazh “لا ينبغي ” tidak menyatakan keharaman, maka kita mengatakan minimal kandungan lafazh tersebut menyatakan kemakruhan. Akan tetapi anehnya mereka juga tidak menyatakannya, bahkan imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 9/106 menyatakan secara tegas dengan perkataannya,
والصحيح عند أصحابنا وهو الذي اختاره امام الحرمين والمحققون أنه لا يحرم ولا يكره
“Pendapat yang benar dalam permasalahan ini adalah sesuai dengan pendapat yang dipilih imam Al Haramain dan para peneliti bahwa hal tersebut (bersafar ke kuburan orang shalih atau tempat yang diyakini memiliki keutamaan- peny) tidaklah diharamkan dan dimakruhkan.”!!!
Rentetan jawaban yang diberikan di atas menjelaskan bahwa hadits yang digunakan justru menjadi hujjah bagi mereka dan sedikitpun tidak dapat dipakai untuk mendukung alasan yang mereka kemukakan.
Alasan yang tersisa sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah adalah sangkaan mereka bahwa larangan yang terkandung dalam hadits tersebut ditujukan bagi orang yang bernazar untuk shalat di suatu masjid selain ketiga masjid di atas. Di tempat yang sama, Al Hafizh juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ditujukan bagi mereka yang sengaja hendak beri’tikaf di suatu masjid selain ketiga masjid. Alasan ini sangat lemah, karena hal tersebut merupakan pengkhususan tanpa dilandasi dengan dalil sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Al Fath 3/65) dengan perkataan beliau, وَلَمْ أَرَ عَلَيْهِ دَلِيلًا (aku tidak melihat satu dalil pun untuk mendukung pengkhususan ini -peny). Oleh karena itu, alasan ini sangat lemah dan tidak berdasar.
Dari uraian di atas, wajib memberlakukan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id tersebut. Larangan bersafar yang dimaksudkan adalah larangan untuk sengaja bersafar ke seluruh tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan baik itu masjid, kuburan orang shalih dan semisalnya. Terkecualikan dari larangan tersebut, tiga masjid yang telah dinyatakan dalam hadits, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Safar ke Kuburan (2)
Kesimpulan
Uraian panjang di atas, mengenai perbedaan pendapat dalam permasalahan ini membawa kita pada kesimpulan berikut:
1. Wajib memberlakukan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Larangan yang tercantum dalam hadits tersebut ditujukan bagi mereka yang sengaja bersafar ke suatu tempat yang diyakini memiliki keutamaan. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan Abu Basrah yang mengingkari Abu Hurairah yang mengunjungi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana untuk mendapat berkah. Tindakan serupa dilakukan oleh sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melarang Qaz’ah tatkala hendak pergi menuju bukit Thursina.
2. Hadits Abu Basrah dan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas merupakan dalil yang mengkuhususkan hadits Abu Sa’id Al Khudri dan yang semisalnya. Larangan tersebut hanya berlaku bagi orang yang sengaja bersafar ke suatu tempat selain masjid yang tiga dalam rangka beribadah. Sehingga larangan bersafar hanya berlaku pada tempat-tempat yang akan digunakan untuk peribadatan, seperti masjid selain masjid yang tiga atau tempat-tempat semisal yang diyakini memiliki keutamaan apabila seorang beribadah di sana seperti bukit Thursina yang dikunjungi oleh Abu Hurairah lalu diingkari oleh sahabat Abu Basrah.
Adapun safar ke suatu tempat dengan tujuan untuk menuntut ilmu, berjual-beli atau safar ke suatu tempat tanpa kepentingan melakukan ibadah disana, maka hal ini tidak tercakup dalam larangan tersebut. Bersafar dengan tujuan menuntut ilmu, berdagang atau mengunjungi saudara jauh karena Allah ta’ala dilakukan untuk menunaikan berbagai hajat tersebut bukan dikarenakan keistimewaan tempat yang akan dikunjungi. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang yang rela bersafar jauh untuk mengunjungi kuburan para wali atau yang semisalnya. Motif yang melatarbelakangi perbuatan tersebut adalah keyakinan yang terpatri di dada mereka bahwa tempat yang akan dikunjungi memiliki keistimewaan dan keutamaan (Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 292). Bagi mereka yang merenungkan hal ini dengan teliti akan mampu membedakannya!
3. Uraian di atas menunjukkan kekeliruan pendapat yang menyatakan maksud larangan dalam hadits Abu Sa’id adalah larangan untuk bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, dan kekeliruan pendapat yang membolehkan untuk bersafar ke kuburan para wali dan tempat-tempat semisal. Berbagai penjelasan akan kekeliruan tersebut telah diuraikan di atas.
Terdapat kontradiksi lain yang muncul jika larangan bersafar hanya ditujukan untuk masjid. Telah kita ketahui bahwa beribadah di masjid lebih utama ketimbang beribadah di tempat lain, misalnya seorang yang shalat di masjid tentulah lebih utama dibandingkan orang yang shalat di rumah sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
أحب البقاع إلى الله المساجد
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjid.” (Musnad Asy Syihab nomor 1301 dan Shahihut Targhib nomor 322)
Jika larangan dalam hadits Abu Sa’id hanya mencakup larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, walaupun masjid tersebut dibangun di atas fondasi ketakwaan seperti Masjid Quba, maka pertanyaan yang patut disodorkan bagi mereka yang berpendapat demikian adalah,
- Mengapa anda justru membolehkan manusia untuk bersafar menziarahi kuburan orang shalih atau tempat-tempat semisal padahal keutamaan tempat-tempat tersebut tentulah tidak lebih utama daripada Masjid Quba dan masjid-masjid lain secara umum?
- Ketika anda berpendapat bahwa maksud larangan tersebut adalah larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, bukankah larangan tersebut lebih berhak diberlakukan kepada mereka yang bersafar ke kuburan para wali atau tempat-tempat semisal?
- Anggaplah tempat-tempat tersebut memiliki keutamaan yang ditunjukkan oleh nash syari’at, tentulah tidak melebihi keutamaan yang dimiliki masjid-masjid Allah, terlebih masjid Quba yang telah Allah puji dalam firman-Nya dan sabda rasul-Nya. Apakah dapat dinalar, jika syari’at yang bijaksana ini memberikan toleransi bagi pemeluknya untuk bersafar ke kuburan para wali atau tempat semisalnya kemudian melarang bersafar ke masjid Quba?! (Lihat Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha hal. 292, terdapat penjelasan serupa dalam Majmu’ul Fatawa 27/8)
Inilah kontradiksi lain sekaligus sebagai dalil tambahan untuk menggambarkan kekeliruan pendapat para ulama yang berpendapat bahwa maksud larangan dalam hadits Abu Sa’id adalah larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga kemudian mereka membolehkan untuk bersafar ke kuburan orang shalih dan tempat-tempat semisal.
4. Hikmah keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu adalah untuk menutup berbagai jalan yang dapat menghantarkan umat ini ke dalam kubangan kesyirikan. Diantaranya adalah pengultusan individu sehingga menempatkannya sejajar dengan kedudukan Allah ta’ala. Bukankah termasuk tindakan pengultusan dan berlebihan, ketika seorang sengaja bepergian ke suatu tempat yang jauh karena meyakini kuburan fulan bin fulan mampu mendatangkan berkah, atau dengan anggapan beribadah di sana lebih khusyuk ketimbang di masjid Allah, atau meyakini berdoa di tempat tersebut lebih mustajab padahal tidak terdapat dalil yang membenarkan keyakinan mereka tersebut?! Atau justru lebih parah dari itu, seorang bepergian ke sana dalam rangka mengadukan dan meminta berbagai hajatnya kepada penghuni kubur tersebut?! Hal inilah yang terjadi pada umat ini sebagaimana yang dikemukakan Syaikh Waliyullah Adh Dhahawi, beliau menyatakan,
كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَقْصِدُونَ مَوَاضِع مُعَظَّمَة بِزَعْمِهِمْ يَزُورُونَهَا وَيَتَبَرَّكُونَ بِهَا ، وَفِيهِ مِنْ التَّحْرِيف وَالْفَسَاد مَا لَا يَخْفَى ، فَسَدَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَسَاد لِئَلَّا يَلْتَحِق غَيْر الشَّعَائِر بِالشَّعَائِرِ وَلِئَلَّا يَصِير ذَرِيعَة لِعِبَادَةِ غَيْر اللَّه وَالْحَقّ عِنْدِي أَنَّ الْقَبْر وَمَحَلّ عِبَادَة وَلِيّ مِنْ أَوْلِيَاء اللَّه وَالطُّور كُلّ ذَلِكَ سَوَاء فِي النَّهْي
“Dahulu kaum musyrikin jahiliyah sering bepergian ke tempat-tempat yang dianggap keramat menurut anggapan mereka. Mereka berziarah ke sana dan bertabarruk dengan tempat-tempat tersebut. Di tempat-tempat itu terjadi berbagai bentuk pelanggaran dan kerusakan secara jelas, tidak tersembunyi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah kerusakan yang terjadi sehingga syi’ar-syi’ar Islam tidak ternodai dan tercampuri dengan sesuatu yang asing. Tindakan beliau juga bertujuan agar kerusakan yang timbul di berbagai tempat tersebut tidak menjadi sarana yang dapat menghantarkan manusia untuk beribadah kepada selain Allah. Pendapat yang benar menurutku adalah kuburan dan berbagai tempat peribadatan para wali Allah termasuk bukit Thursina, seluruhnya tercakup dalam larangan tersebut.” (Aunul Ma’bud 6/13)
Imam Asy Syafi’i sendiri pernah menyatakan bahwa beliau tidak suka seseorang dikultuskan sehingga kuburnya pun ikut diagungkan. Beliau berkata,
وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس
“Dan aku membenci seorang makhluk dikultuskan sehingga kuburnya dijadikan sebagai tempat peribadatan (masjid) karena aku khawatir fitnah menimpa dirinya dan orang-orang yang hidup setelahnya.” (Al Majmu’ 5/314)
Untuk melihat berbagai kekeliruan dan kemungkaran yang sering dilakukan peziarah kubur, silakan melihat artikel kami “Berbagai kekeliruan dalam Berziarah Kubur”, semoga Allah ta’ala memudahkan kami untuk menyelesaikannya.
Tarjih haramnya sengaja bersafar ke selain masjid yang tiga merupakan pendapat imam Malik rahimahullah dan juga ulama selain beliau seperti imam Abu Muhammad Al Juwaini, Al Qadhi Husain, Al Qadhi ‘Iyadh dan lainnya rahimahumullah . Bahkan imam Malik rahimahullah menganggap makruh penggunaan kata ziarah, seperti seorang yang bersafar ke makam nabi lalu mengatakan, “Aku menziarahi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al Mudawwanatul Kubra 2/132, dinukil dari Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur-an dan As Sunnah jilid 1 hal. 426, dengan sedikit perubahan; Lihat pula Majmu’ul Fatawa 27/245)
Ucapan imam Malik tersebut, secara implisit menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara safar ke kuburan dengan ziarah kubur secara syar’i. Sebagian orang terkadang menyamakan kedua hal tersebut tanpa meneliti secara detail.
Patut dicamkan bahwa hal ini bukan berarti melarang kaum muslimin untuk menziarahi kubur beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ziarah kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang disyari’atkan dan pelaksanaannya pun harus sesuai dengan syari’at. Diantaranya adalah tidak mengadakan safar untuk menziarahi makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri yang menjadi pokok pembicaraan kita.
Sebagian orang kurang teliti dalam membahas permasalahan ini dan menuding bahwa mereka yang berpegang dengan keumuman larangan dalam hadits tersebut dengan tuduhan yang tidak berdasar, yaitu menuduh bahwa mereka telah melarang umat Islam untuk berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tuduhan tersebut tidak berdasar karena yang terlarang adalah jika seseorang sengaja bersafar ke kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini berdasarkan keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id. Namun jika seorang bersafar dengan niat beribadah di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia mengunjungi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam kepada beliau maka hal ini disyari’atkan dan tidak terlarang sebagaimana perkataan para ulama.
Pangkal permasalahannya adalah mereka tidak mampu membedakan antara dorongan dan anjuran untuk berziarah kubur tanpa bersafar dengan bersafar ke kuburan tertentu. Perkara yang pertama dianjurkan oleh syariat dan telah ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lakukanlah ziarah kubur! Karena hal itu mengingatkan kalian kepada kematian.” (HR. Muslim kitab Al Janaaiz 7/46, dengan Syarh An Nawawi). Adapun perkara yang kedua merupakan perkara yang terlarang sebagaimana yang telah ditegaskan dalam hadits yang memuat larangan untuk melakukan safar yang jauh dan melelahkan ke suatu tempat tertentu selain tiga masjid dengan tujuan bertaqarrub (mendekatkan diri -ed), seperti wisata-wisata sejarah atau yang dikenal dengan sebutan wisata rohani pada saat ini.
Imam Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Hadi mengatakan, “Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bersafar untuk melakukan ziarah kubur dengan berziarah kubur tanpa bersafar. Barang siapa yang keliru, menyamakan status dan hukum kedua permasalahan tersebut, mencela golongan yang membedakan keduanya serta menakut-nakuti manusia agar membenci golongan tersebut, maka (pada hakikatnya dirinyalah) yang diharamkan untuk mendapatkan taufik dan telah menyimpang dari jalan yang lurus.”(Ash Sharimul Manky hal. 27, dinukil dari Khashaishul Musthafa bainal Ghuluw wal Jafa’ hal. 161)
Khusus terkait dengan poin ini, semoga Allah memberi kemampuan bagi penulis untuk menyusun sebuah uraian dalam rangka membantah tuduhan sebagian kalangan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang turut memegang keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Tuduhan yang mereka lancarkan hanyalah didasari kedengkian dan diwarnai kedustaan sekaligus menunjukkan ketidakmampuan untuk membedakan antara berziarah kubur tanpa melakukan safar dengan bersafar untuk berziarah kubur.
Demikianlah uraian yang kami ketengahkan berikut pendapat yang benar dalam permasalahan ini. Semoga Allah memberikan manfaat bagi penulis dan mereka yang menelaah tulisan ini. Semoga Allah menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharap Wajah-Nya dan memberikan pahala kepada berbagai pihak yang telah membantu.
والله أعلم, وصلى الله على نبينا محمد وآله وسلم. و الحمد لله رب العالمين.
Segala puji bagi Allah. Selesai disusun pada bulan Dzulhijjah 1428 H
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id