Kalimat Syahadat Dalam Sorotan (1)
Masih terngiang-ngiang di telinga kita apa yang dikatakan guru agama kita di bangku sekolah dasar ketika menerangkan mengenai makna kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Guru kita akan mengajarkan bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’ itu bermakna ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat yang mulia ini sudah benar? Sudahkah penafsiran ini sesuai dengan yang diinginkan al-Qur’an dan Al Hadits? Pertanyaan seperti ini seharusnya kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang benar yang selaras dengan al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salafush sholih).
Sebelumnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu keutamaan kalimat ‘laa ilaha illallah’ agar kita mengetahui kedudukannya dalam agama yang hanif ini.
KEUTAMAAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’
Ibnu Rajab dalam Kalimatul Ikhlas mengatakan, “Kalimat Tauhid (yaitu Laa Ilaha Illallah, pen) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Lalu beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keutamaan kalimat yang mulia ini. Di antara yang beliau sebutkan:
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surga
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar muazin mengucapkan ‘Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau mengatakan pada muazin tadi,
{ خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ }
“Engkau terbebas dari neraka.” (HR. Muslim no. 873)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
{ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ }
“Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling utama
Abu Dzar berkata,
قُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَلِّمْنِي بِعَمَلٍ يُقَرِّبُنِي مِنَ الجَنَّةِ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ، قَالَ إِذاَ عَمَلْتَ سَيِّئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً فَإِنَّهَا عَشْرَ أَمْثَالِهَا، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ ، قَالَ هِيَ أَحْسَنُ الحَسَنَاتِ وَهِيَ تَمْحُوْ الذُّنُوْبَ وَالْخَطَايَا
“Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi, “Wahai Rasulullah, apakah ‘laa ilaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah dzikir yang paling utama
Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits marfu’),
{ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ }
“Dzikir yang paling utama adalah bacaan ‘laa ilaha illallah’.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 62)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah amal yang paling utama, paling banyak ganjarannya, menyamai pahala memerdekakan budak dan merupakan pelindung dari gangguan setan
Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
{ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِىَ ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ ، إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ }
“Barangsiapa mengucapkan ‘laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syay-in qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.” (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah Kunci 8 Pintu Surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk lewat pintu mana saja yang dia sukai
Dari ‘Ubadah bin Shomit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ
“Barang siapa mengucapkan ’saya bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya,
dan (bersaksi) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya,
dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan
(bersaksi pula) bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar
adanya, maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan
pintu surga yang mana saja yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 149)
(Lihat Kalimatul Ikhlas, 52-66. Sebagian dalil yang ada sengaja ditakhrij sendiri semampu kami)
Inilah sebagian di antara keutamaan kalimat syahadat laa ilaha illallah dan masih banyak keutamaan yang lain. Namun, penjelasan ini bukanlah inti dari pembahasan kami kali ini. Di sini kami akan menyajikan pembahasan mengenai tafsiran laa ilaha illallah yang keliru yang telah menyebar luas di tengah-tengah kaum muslimin dan juga pemahaman kaum muslimin yang salah tentang kalimat ini.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Mengapa sih terlalu membesar-besarkan masalah ini?” Lha wong hanya berkaitan dengan penafsiran saja kok dipermasalahkan!” Apa tidak ada pembahasan yang lain?
Ingat!! Masalah ini bukanlah masalah yang remeh karena berkaitan dengan penafsiran kalimat yang paling mulia yang merupakan kunci untuk masuk Islam dan perkataan terakhir yang seharusnya diucapkan oleh setiap muslim sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir! Masalah ini berkaitan dengan penafsiran kalimat agung ‘laa ilaha illallah’.
Selanjutnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu pemahaman yang keliru mengenai tafsiran kalimat ini yang telah tersebar di tengah-tengah masyarakat. Yaitu kalimat yang mulia ini ditafsirkan dengan “Tiada Tuhan selain Allah.” Semoga Allah memudahkannya.
TAFSIRAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’ = ‘TIADA TUHAN SELAIN ALLAH’
Selama ini diketahui bahwa tafsiran kalimat ‘laa ilaha illallah’ yang telah diajarkan sejak bangku SD sampai perguruan tinggi adalah ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Yang perlu kita tanyakan, apakah tafsiran ‘laa ilaha illallah’ seperti ini sudah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits ?
Jika kita perhatikan, Ilah dalam kalimat yang mulia ini diartikan dengan kata Tuhan. Apakah tafsiran seperti ini sudah tepat? Mari kita tinjau.
MAKNA ILAH ADALAH TUHAN?
Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat tersebut berarti Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam penggunaan keseharian bisa memiliki dua makna.
Makna pertama, kata Tuhan berarti pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan (yang merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah).
Makna kedua, kata Tuhan berarti sesembahan (Sucikan Iman Anda, hal. 17).
Selanjutnya perhatikanlah firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ‘Raa’ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan ‘dengarlah’.” (QS. Al Baqarah [2] : 104).
Dalam ayat ini, Allah melarang para sahabat untuk menyebut ra’ina yang artinya perhatikanlah kami, tetapi hendaknya menggunakan unzhurna. Mengapa demikian? Karena kata ra’ina juga sering digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam rangka mengejek, ra’ina dalam penggunaan orang-orang Yahudi bermakna tolol/bodoh. Karena kata tersebut mengandung dua makna (bisa bermakna baik dan bisa bermakna buruk), maka Allah melarang yang demikian. (Lihat Tafsir Surat Al Baqarah, Al ‘Utsaimin)
Begitu juga dengan kalimat ‘laa ilaha illallah’. Karena kalimat ini merupakan kunci surga, dzikir dan amalan yang utama, serta paling banyak ganjarannya ketika diucapkan; maka seorang muslim selayaknya tidak mengartikan kalimat yang mulia ini dengan kata yang memiliki penafsiran ganda yang di dalamnya kemungkinan bermakna salah. Dari mana kita bisa menyatakan kata Tuhan pada kalimat ini bermakna keliru dan salah? Silakan menyimak tulisan selanjutnya.
ILAH = PENCIPTA, PEMBERI RIZKI, DAN PENGATUR ALAM SEMESTA
Pembahasan pertama, bagaimana kalau ilah pada kalimat ‘laa ilaha illallah’ bermakna Tuhan yang berarti pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta (disebut dengan sifat Rububiyah)?
Sebelumnya perlu kami sebutkan di sini bahwasanya keyakinan tentang Allah sebagai satu-satunya pencipta, satu-satunya penguasa, satu-satunya pemberi rezeki dan satu-satunya pengatur alam semesta adalah keyakinan yang benar dan tidak ada keraguan tentangnya. Namun, perlu diketahui bahwa keyakinan seperti ini juga diakui oleh orang-orang musyrik sebagaimana terdapat dalam banyak ayat/dalil. Mari kita membuka mushaf dan melihat dalil-dalil tersebut.
Dalil pertama, Allah ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)
Dalil kedua, firman Allah ta’ala,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. az-Zukhruf [43]: 87)
Dalil ketiga, firman Allah ta’ala,
لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. al-’Ankabut [29]: 63)
Dalil keempat, firman Allah ta’ala,
أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. an-Naml [27]: 62)
Perhatikanlah! Dalam ayat-ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12]: 106)
Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”
‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan kepada orang-orang musyrik: siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan menjawab: Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah, namun mereka menyembah selain-Nya juga.” (Lihat Al-Mukhtashor Al-Mufid, 10-11)
Dari ayat-ayat di atas, terlihat jelas bahwa keyakinan tentang Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan juga merupakan keyakinan orang-orang musyrik. Bagaimana jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan tidak ada Tuhan selain Allah yang bisa bermakna ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada penguasa selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’?
Kalau diartikan demikian, lalu apa yang membedakan seorang muslim dan orang-orang musyrik? Apa yang membedakan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam dan setelah masuk Islam? Dan perhatikanlah tafsiran semacam ini akan membuka berbagai pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Kenapa demikian?
Karena kaum muslimin akan menyangka bahwa ketika seseorang sudah mengakui ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’, maka mereka sudah disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Walaupun mereka berdoa dengan mengambil perantaraan selain Allah, bernazar dengan ditujukan kepada kyai fulan, itu tidaklah mengapa. Ini sungguh kekeliruan yang sangat fatal. Berarti keyakinan mereka sama saja dengan keyakinan orang-orang musyrik dahulu yang mengakui sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam ibadah seperti doa dan nazar. Orang-orang musyrik tidak mengingkari sifat rububiyyah semacam ini sebagaimana terdapat pada ayat-ayat di atas.
Jelaslah pada pembahasan pertama ini kesalahan tafsiran ‘laa ilaha illallah’ dengan tiada Tuhan selain Allah yang bermakna tidak ada pencipta selain Allah atau tiada penguasa selain Allah. Letak kesalahannya adalah karena mengartikan kalimat syahadat ini dengan sebagian maknanya saja yaitu makna rububiyyah. Sedangkan makna rububiyyah jelas-jelas juga diakui oleh kaum musyrikin, walaupun kalimat tidak ada pencipta selain Allah dan semacamnya, pada dasarnya bermakna benar.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Kalimat Syahadat Dalam Sorotan (2)
HANYA ALLAH SAJA SESEMBAHAN YANG BENAR
Pembahasan kedua adalah bagaimana jika ‘laa ilaha illallah’ ditafsirkan dengan pengertian Tuhan yang kedua yaitu sesembahan, maka makna ‘laa ilaha illallah’ menjadi ‘tidak ada sesembahan selain Allah’.
Sebenarnya pengertian ilah pada tafsiran kedua sudah benar karena kata ‘ilah‘ secara bahasa berarti sesembahan (ma’bud atau ma’luh). Dan para ulama juga menafsirkan kata ilah juga dengan sesembahan. Lihat sedikit penjelasan berikut ini.
Bukti bahwa ilah bermakna sesembahan (sesuatu yang diibadahi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu ‘anhuma memiliki qiro’ah tersendiri pada ayat,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآَلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu dan ilah-ilahmu?”. Fir’aun menjawab: “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.” (QS. Al A’raaf [7] : 127)
Ibnu Abbas sendiri membacanya (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) dengan mengasroh hamzah, menfathahkan lam, dan sesudahnya huruf alif. Alasannya, Fir’aun sendiri disembah oleh kaumnya, namun dia tidak menyembah berhala. Maka qiro’ah yang benar adalah (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) sebagaimana yang dibaca oleh Ibnu Abbas.
Ibnul Ambariy mengatakan bahwa para ahli bahasa mengatakan: al ilahah (الإِلاهة) bermakna al ‘ibadah (العبادة) yaitu peribadahan. Sehingga maksud ayat ‘meninggalkanmu, wahai Fir’aun dan peribadahan manusia kepadamu’.
Kesimpulannya: Karena ilahah (الإِلاهة) bermakna ibadah maka ilah bermakna ma’bud (yang diibadahi/sesembahan).
(Lihat penjelasan Ibnul Jauziy dalam Zadul Masir, tafsir basmalah dan Al A’raf ayat 127, begitu pula penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam At Tamhid hal. 74-75). Sebagai tambahan penjelasan, makna ilah ini, dapat dilihat pula pada penjelasan ulama tafsir di pembahasan selanjutnya.
Kita lanjutkan pembahasan di atas. Namun, jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah. Maka Isa putra Maryam adalah Allah karena merupakan sesembahan kaum Nashrani. Patung-patung kaum musyrikin yaitu Lata, Uzza dan Manat adalah Allah karena merupakan sesembahan mereka sebagai perantara kepada Allah. Para wali yang dijadikan perantara dalam berdo’a juga Allah karena merupakan sesembahan para penyembah kubur. Ini berarti seluruh sesembahan yang ada adalah Allah. Maka tafsiran yang kedua ini jelas-jelas merupakan tafsiran yang bathil dan keliru.
Penjelasan di atas bukan kami rekayasa. Sebagai bukti, pembaca dapat melihat apa yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami berikut.
“Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang ada kecuali Allah, maka hal ini mengonsekuensikan seluruh sesembahan yang benar dan bathil (salah dan keliru) adalah Allah. Maka jadilah segala yang disembah kaum musyrik baik matahari, rembulan, bintang, pohon, batu, malaikat, para nabi, orang-orang sholih dan selainnya adalah Allah. Dan bisa jadi dengan menyembahnya dikatakan telah bertauhid. Dan ini -wal’iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari keyakinan semacam ini)- adalah kekufuran yang paling besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam ini berarti telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul, berarti telah kufur (mengingkari) seluruh kitab dan menentang/ mendustakan seluruh syari’at. Ini juga berarti telah merekomendasi seluruh orang kafir karena segala makhluk yang mereka sembah adalah Allah. Maka tidak ada lagi pada embel-embel syirik tetapi sebaliknya mereka bisa disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Maha Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim dan orang-orang yang menentang ini.
Jika kita sudah memahami demikian, maka tidak boleh kita katakan ‘tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah.”Kecuali kita menambahkan kalimat ‘dengan benar’ pada tafsiran tersebut maka ini tidaklah mengapa. Jadi tafsiran laa ilaha illallah (yang tepat) menjadi ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’.” -Demikian yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami dengan sedikit perubahan redaksi- (Lihat Ma’arijul Qobul, I/325). (Di samping itu, pemaknaan di atas adalah keliru karena tidak sesuai dengan kenyataan. Realita menunjukkan terdapat banyak sesembahan selain Allah. Maka bagaimana mungkin kita katakan tidak ada sesembahan melainkan Allah?! Sungguh ini adalah kebohongan yang sangat-sangat nyata, ed)
Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al Hafizh di atas, makna laa ilaha illallah yang tepat adalah ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’. Kenapa perlu ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’?
Jawabnya, karena kenyatannya banyak sesembahan selain Allah di muka bumi ini. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan itu tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah semata.
Bukti harus ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’ dapat dilihat pada firman Allah ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS. Luqman [31]: 30)
Ayat ini menunjukkan bahwa sesembahan selain Allah adalah sesembahan yang batil, sesembahan yang tidak berhak untuk diibadahi dan Allah-lah sesembahan yang benar. Maka tafsiran ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah ‘laa ma’buda haqqun illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah].
TAFSIRAN KALIMAT ‘laa ilaha illallah’ MENURUT PARA ULAMA
Untuk mendukung pendapat di atas, selanjutnya kami akan membawakan perkataan para pakar tafsir mengenai tafsiran ‘laa ilaha illallah’ ini, agar kami tidak dianggap membuat-buat tafsiran tersebut.
Ath Thobary dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an tatkala menafsirkan firman Allah ta’ala,
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada ilah selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am [6]: 106)
Pada kalimat tidak ada ilah selain Dia beliau mengatakan,
لا معبود يستحق عليك إخلاص العبادة له إلا الله
‘Tidak ada sesembahan yang berhak bagimu untuk mengikhlaskan ibadah kecuali Allah’.
Begitu juga pada firman Allah ta’ala,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi.” (QS. Az Zukhruf [43]: 84)
Beliau mengatakan,
والله الذي له الألوهة في السماء معبود، وفي الأرض معبود كما هو في السماء معبود، لا شيء سواه تصلح عبادته;
“Allah-lah yang memiliki keberhakan uluhiyyah, Dia-lah satu-satunya sesembahan di langit. Dia-lah pula satu-satunya sesembahan di bumi sebagaimana Dia adalah satu-satunya sesembahan di langit. Tidak ada satu pun selain Allah yang boleh disembah.”
Juga dapat pula dilihat tafsiran beliau pada firman Allah,
وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Bahwasanya tidak ada ilah selain Dia, … “ (QS. Hud [11]: 14)
Beliau mengatakan,
أن لا معبود يستحق الألوهة على الخلق إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang berhak mendapatkan uluhiyyah (disembah oleh makhluk) kecuali Allah.”
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim mengatakan tentang tafsir firman Allah:
وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Dan Dialah Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (QS. Qashash [28]: 70)
هو المنفرد بالإلهية، فلا معبود سواه، كما لا رب يخلق ويختار سواه
“Maksudnya adalah Allah bersendirian dalam uluhiyyah, tidak ada sesembahan selain Dia, sebagaimana tidak ada pencipta selain Dia.”
Asy Syaukani dalam Fathul Qodhir mengatakan tentang firman Allah pada awal ayat kursi,
{ لاَ إله إِلاَّ هُوَ } أي : لا معبود بحق إلا هو
“Laa ilaha illa huw’ bermakna ‘laa ma’buda bihaqqin illa huw’ [tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah].
Begitu juga pada firman Allah,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi.” (QS. Az Zukhruf [43]: 84)
Beliau menafsirkan ilah adalah,
معبود ، أو مستحق للعبادة
“Ma’bud (sesembahan) atau yang berhak diibadahi.”
Fakhruddin Ar Rozi -yang merupakan ulama Syafi’iyyah-, dalam Mafatihul Ghoib mengatakan tentang tafsir ayat,
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Rabb kamu; tidak ada ilah selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia.” (QS. Al An’am [6]: 102), di mana tidak ada ilah selain Dia adalah,
لا يستحق العبادة إلا هو ، وقوله : { فاعبدوه } أي لا تعبدوا غيره
“Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, sedangkan yang dimaksudkan oleh ayat ‘maka sembahlah Dia’ adalah jangan menyembah kepada selain-Nya.”
As Suyuthi dalam Tafsir Al Jalalain ketika menafsirkan surat Al Baqarah ayat 255,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Allah, tidak ada ilah melainkan Dia.”
Beliau langsung menafsirkannya dengan berkata,
لا معبود بحق في الوجود
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah di alam semesta ini selain Allah.”
Itulah tafsiran para ulama yang sangat mendalam ilmunya. Tafsiran mereka terhadap kalimat yang mulia ini walaupun dengan berbagai lafadz, namun kembali pada satu makna. Kesimpulannya, makna ‘laa ilaha illallah’ adalah tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah.
ORANG-ORANG MUSYRIK LEBIH PAHAM MAKNA LAA ILAHA ILLALLAH
Setelah kita melihat tafsiran yang tepat dari kalimat laa ilaha
illallah. Kita dapat melihat bahwasanya orang-orang musyrik dahulu
sebenarnya lebih paham tentang laa ilaha illallah daripada umat Islam
saat ini khusunya para da’inya.
Pernyataan ini dapat dilihat dalam perkataan Syaikh Muhammad At Tamimi dalam kitab beliau Kasyfu Syubuhat. Beliau rahimahullah berkata,”Orang kafir jahiliyyah mengetahui bahwa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dengan kalimat (laa ilaha illallah,
pen) adalah mengesakan Allah dengan menyandarkan hati kepada-Nya dan
kufur (mengingkari) serta berlepas diri dari sesembahan selain-Nya.”
Apa yang membuktikan bahwa orang-orang kafir memahami kalimat laa ilaha illallah?
Beliau rahimahullah melanjutkan perkataan di atas, “Yaitu ketika dikatakan kepada mereka, ‘Katakanlah laa ilaha illallah.’ Mereka menjawab,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu menjadi ilah (sesembahan) yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad [38]: 5)”
Lihatlah orang-orang musyrik sudah memahami bahwa laa ilaha illallah adalah laa ma’buda bihaqqin illallah [tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah] dan mereka mengingkari yang demikian, namun mereka sama sekali tidak mengingkari bahwa Allah adalah pencipta dan pemberi rizki.
Syaikh Muhammad At Tamimi melanjutkan lagi, “Jika kamu sudah mengetahui bahwa orang musyrik mengetahui yang demikian (bahwa laa ilaha illallah bermakna tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, pen); maka sungguh sangat mengherankan di mana para da’i yang mendakwahkan islam tidak mengetahui tafsiran kalimat laa ilaha illallah sebagaimana yang diketahui oleh orang kafir jahiliyyah. Bahkan orang-orang tersebut mengira bahwa laa ilaha illallah cukup diucapkan saja tanpa meyakini maknanya. Dan pakar ahli (orang-orang pintar dari ahli kalam dan ahli bid’ah, pen) di antara mereka pun menyangka bahwa makna laa ilaha illallah adalah tidak ada pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta kecuali Allah. Maka tidak ada satu pun kebaikan pada seseorang di mana orang kafir jahiliyyah lebih mengetahui dari dirinya mengenai makna laa ilaha illallah.” (Lihat Syarh Kasyfi Syubuhaat Al ‘Utsaimin, hal. 27-28 dan Ad Dalail wal Isyarot, hal. 48-51).
Demikianlah sangat disayangkan sekali, para cendekiawan muslim dan para da’i yang mengajari umat tentang islam banyak yang tidak memahami laa ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang musyrik. Dan kebanyakan pakar Islam sendiri -yang kebanyakan adalah ahli kalam serta tertular virus Asya’iroh dan Mathuridiyyah- hanya memaknai kalimat laa ilaha illallah dengan ‘tidak ada pencipta selain Allah’, atau ‘tidak ada pengatur alam semesta selain Allah’, atau ‘tidak ada pemberi rizki selain Allah’ di mana tafsiran tersebut hanya terbatas pada sifat rububiyyah Allah saja. Lalu apa kelebihan mereka dari orang-orang musyrik dahulu?! Renungkanlah hal ini!!
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’ BUKAN HANYA DI LISAN
Pada awal tulisan ini kami telah menjelaskan mengenai keutamaan laa ilaha illallah, di mana kalimat ini adalah sebaik-baik dzikir dan akan mendapatkan buah yang akan diperoleh di dunia dan di akhirat. Namun, perlu diketahui bahwasanya kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima dengan hanya diucapkan semata. Banyak orang yang salah dan keliru dalam memahami hadits-hadits tentang keutamaan laa ilaha illallah. Mereka menganggap bahwa cukup mengucapkannya di akhir kehidupan -misalnya-, maka seseorang akan masuk surga dan terbebas dari siksa neraka. Hal ini tidaklah demikian.
Semua muslim pasti telah memahami bahwa segala macam bentuk ibadah tidaklah diterima begitu saja kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya. Misalnya saja shalat. Ibadah ini tidak akan diterima kecuali jika terpenuhi syaratnya seperti wudhu. Begitu juga dengan puasa, haji dan ibadah lainnya, semua ibadah tersebut tidak akan diterima kecuali dengan memenuhi syarat-syaratnya. Maka begitu juga dengan kalimat yang mulia ini. Kalimat laa ilaha illallah tidak akan diterima kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya.
Oleh karena itu, para ulama terdahulu (baca: ulama salaf) telah mengisyaratkan kepada kita mengenai pentingnya memperhatikan syarat laa ilaha illallah. Lihatlah di antara perkataan mereka berikut ini.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah diberitahukan bahwa orang-orang mengatakan, “Barang siapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia akan masuk surga.” Lalu beliau rahimahullah mengatakan, “Barang siapa menunaikan hak kalimat tersebut dan juga kewajibannya, maka dia akan masuk surga.”
Wahab bin Munabbih telah ditanyakan, “Bukankah kunci surga adalah laa ilaha illallah?” Beliau rahimahullah menjawab, “Iya betul. Namun, setiap kunci itu pasti punya gerigi. Jika kamu memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, pintu tersebut akan terbuka. Jika tidak demikian, pintu tersebut tidak akan terbuka.” Beliau rahimahullah mengisyaratkan bahwa gerigi tersebut adalah syarat-syarat kalimat laa ilaha illallah. (Lihat Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar, I/179-180)
MENGENAL SYARAT laa ilaha illallah
Dari hasil penelusuran dan penelitian terhadap al-Qur’an dan As Sunnah, para ulama akhirnya menyimpulkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidaklah diterima kecuali dengan memenuhi tujuh syarat berikut :
[1] Mengilmui maknanya yang meniadakan kejahilan (bodoh)
[2] Yakin yang meniadakan keragu-raguan
[3] Menerima yang meniadakan sikap menentang
[4] Patuh yang meniadakan sikap meninggalkan
[5] Jujur yang meniadakan dusta
[6] Ikhlas yang meniadakan syirik dan riya’
[7] Cinta yang meniadakan benci
Penjelasan ketujuh syarat di atas adalah sebagai berikut:
Syarat pertama adalah mengilmui makna laa ilaha illallah
Maksudnya adalah menafikan peribadahan (penghambaan) kepada selain Allah dan menetapkan bahwa Allah satu-satunya yang patut diibadahi dengan benar serta menghilangkan sifat kejahilan (bodoh) terhadap makna ini.
Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Begitu juga Allah ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha illallah) dan mereka meyakini(nya).” (QS. Az Zukhruf: 86)
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39]: 9)
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Dalam kitab shohih dari ‘Utsman, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim no. 145)
Syarat kedua adalah meyakini kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang harus meyakini kalimat ini seyakin-yakinnya tanpa boleh ada keraguan sama sekali. Yakin adalah ilmu yang sempurna.
Allah ta’ala memberikan syarat benarnya keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan sifat tidak ada keragu-raguan. Sebagaimana dapat dilihat pada firman Allah,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat [49]: 15)
Apabila seseorang ragu-ragu dalam keimanannya, maka termasuklah dia dalam orang-orang munafik -wal ‘iyadzu billah [semoga Allah melindungi kita dari sifat semacam ini]. Allah ta’ala mengatakan kepada orang-orang munafik tersebut,
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ
“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.” (QS. At Taubah: 45)
Dalam beberapa hadits, Allah mengatakan bahwa orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan masuk surga dengan syarat yakin dan tanpa ada keraguan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan memasukkannya ke surga.” (HR. Muslim no. 147)
Dari Abu Hurairah juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ عَنِ الْجَنَّةِ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Seorang hamba yang bertemu Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu, Allah tidak akan menghalanginya untuk masuk surga.” (HR. Muslim no. 148)
Syarat ketiga adalah menerima kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang menerima kalimat tauhid ini dengan hati dan lisan, tanpa menolaknya.
Allah telah mengisahkan kebinasaan orang-orang sebelum kita dikarenakan menolak kalimat ini. Lihatlah pada firman Allah ta’ala,
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”.(Rasul itu) berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS. Az Zukhruf [43]: 23-25)
Dalam kitab shohih dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti air hujan lebat yang turun ke tanah. Di antara tanah itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan menumbuhkan rerumputan. Juga ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman), namun dapat menahan air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia (melalui tanah tadi, pen); mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan ternaknya, pen) dan bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan apa yang aku bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalah orang yang menolak (petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.” (HR. Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2093. Lihat juga Syarh An Nawawi, 7/483 dan Fathul Bari , 1/130)
Syarat keempat adalah inqiyad (patuh) kepada syari’at Allah
Maksudnya adalah meniadakan sikap meninggalkan yaitu seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah haruslah patuh terhadap syari’at Allah serta tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Karena dengan inilah, seseorang akan berpegang teguh dengan kalimat laa ilaha illallah.
Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman [31]: 22)
Yang dimaksudkan dengan ‘telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh’ adalah telah berpegang dengan laa ilaha illallah.
Dalam ayat ini, Allah mempersyaratkan untuk berserah diri (patuh) pada syari’at Allah dan inilah yang disebut muwahhid (orang yang bertauhid) yang berbuat ihsan (kebaikan). Maka barangsiapa tidak berserah diri kepada Allah maka dia bukanlah orang yang berbuat ihsan sehingga dia bukanlah orang yang berpegang teguh dengan buhul tali yang kuat yaitu kalimat laa ilaha illallah. Inilah makna firman Allah pada ayat selanjutnya,
وَمَنْ كَفَرَ فَلَا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (23) نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ (24)
“Dan barang siapa kafir (tidak patuh) maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (QS. Luqman [31]: 23-24)
(Jadi perbedaan qobul (menerima, syarat ketiga) dengan inqiyad (patuh, syarat keempat) adalah sebagai berikut. Qobul itu terkait dengan hati dan lisan. Sedangkan inqiyad terkait dengan ketundukkan anggota badan, ed).
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Syarat kelima adalah jujur dalam mengucapkannya
Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ikhlas laa ilaha illallah harus benar-benar jujur (tidak ada dusta) dalam hatinya dan juga diikuti dengan pembenaran dalam lisannya.
Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang munafik -karena kedustaan mereka- pada firman-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian ,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit , lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah [2]: 8-10)
Begitu juga pada firman-Nya,
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ (1)
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al Munafiqun [63]: 1)
Untuk mendapatkan keselamatan dari api neraka tidak hanya cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid tersebut, tetapi juga harus disertai dengan pembenaran (kejujuran) dalam hati. Maka semata-mata diucapkan tanpa disertai dengan kejujuran dalam hati, tidaklah bermanfaat.
Lihatlah hadits dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka baginya.” (HR. Bukhari no. 128)
Syarat keenam adalah ikhlas dalam beramal
Maksudnya adalah seseorang harus membersihkan amal -dengan benarnya niat- dari segala macam kotoran syirik. Allah ta’ala berfirman,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah ketaatan (baca: ibadah) yang ikhlas (bersih dari syirik).” (QS. Az Zumar [39]: 3)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98]: 5)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nya.” (QS. Az Zumar [39]: 2)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang berbahagia karena mendapat syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya atau dirinya.” (HR. Bukhari no. 99)
Syarat ketujuh adalah mencintai kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan kalimat ini mencintai (tidak benci pada) Allah, Rasul dan agama Islam serta mencintai pula kaum muslimin yang menegakkan kalimat ini dan menahan diri dari larangan-Nya. Dia juga membenci orang yang menyelisihi kalimat laa ilaha illallah, dengan melakukan kesyirikan dan kekufuran yang merupakan pembatal kalimat ini.
Yang menunjukkan adanya syarat ini pada keimanan seorang muslim adalah firman Allah ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah [2]: 165)
Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa orang-orang mukmin sangat cinta kepada Allah. Hal ini dikarenakan mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam cinta ibadah. Sedangkan orang-orang musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda kecintaan seseorang kepada Allah adalah mendahulukan kecintaan kepada-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya dan juga membenci apa yang dibenci Allah walaupun dia condong padanya. Sebagai bentuk cinta pada Allah adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta membenci musuhnya, juga mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencocoki jalan hidupnya dan menerima petunjuknya.
(Pembahasan syarat laa ilaha illallah ini diringkas dari dua kitab: (1) Ma’arijul Qobul, I/ 327-332 dan (2) Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar, I/180-184)
Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang bisa mendapatkan keutamaan laa ilaha illallah. Jadi, untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan laa ilaha illallah bukanlah hanyalah di lisan saja, namun hendaknya seseorang memenuhi syarat-syarat ini dengan amalan/ praktek (tanpa mesti dihafal). Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mampu meyakini makna kalimat tauhid, mengamalkan konsekuensi-konsekuensinya dalam perkataan maupun perbuatan, dan semoga kita mati dalam keadaan mu’min.
MENGUCAPKAN laa ilaha illallah SAAT MAUT MENJEMPUT
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
“Barang siapa yang akhir perkataannya adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Melihat hadits tersebut, kami teringat pada sebuah kisah yang sangat menarik dan menakjubkan. Kisah ini diceritakan oleh Al Khotib Al Baghdadi, dalam Tarikh Bagdad 10/335. Berikut kisah tersebut.
Abu Ja’far At Tusturi mengatakan, “Kami pernah mendatangi Abu Zur’ah Ar Rozi yang dalam keadaan sakaratul maut di Masyahron. Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Al Munzir bin Syadzan dan sekumpulan ulama lainnya. Mereka ingin mentalqinkan Abu Zur’ah dengan mengajari hadits talqin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan meninggal di antara kalian dengan bacaan: ‘laa ilaha illallah’.” (HR. Muslim no. 2162)
Namun mereka malu dan takut pada Abu Zur’ah untuk mentalqinkannya. Lalu mereka berkata, “Mari kita menyebutkan haditsnya (dengan sanadnya/ jalur periwayatannya).”
Muhammad bin Muslim lalu mengatakan, “Adh Dhohak bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Sholih” Kemudian Muhammad tidak meneruskannya.
Abu Hatim kemudian mengatakan, “Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ‘Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Sholih.” Lalu Abu Hatim juga tidak meneruskannya dan mereka semua diam.
Kemudian Abu Zur’ah yang berada dalam sakaratul maut mengatakan, “Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ‘Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Sholih bin Abu ‘Arib, (beliau berkata), dari Katsir bin Murroh Al Hadhromiy, (beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia.
Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 264 H.
Lihatlah kisah Abu Zur’ah. Akhir nafasnya, dia tutup dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan beliau rahimahullah mengucapkan kalimat tersebut sambil membawakan sanad dan matan hadits, yang hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan orang-orang yang berada dalam sakaratul maut.
Oleh karena itu, marilah kita persiapkan bekal ini untuk menghadapi kematian kita. Tidak ada bekal yang lebih baik daripada bekal kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’ ini. Namun ingat! Tentu saja kalimat laa ilaha illallah bisa bermanfaat dengan memenuhi syarat-syaratnya, dengan selalu memohon pertolongan dan hidayah Allah.
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Yogyakarta,
saat musim haji (21 Dzulhijjah 1428 H)
bertepatan dengan 30 Desember 2007
Semoga Allah meneriman dan membalas amalan ini.
Sumber Rujukan:
- Ad Dalail wal Isyarot ‘ala Kasyfi Syubuhat, Syaikh Sholih bin Muhammad Al Asmariy, Adhwa’us salaf
- Al Mukhtashor Al Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid, Abdur Rozaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Dar Al Imam Ahmad
- At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Sholih Alu Syaikh, Darut Tauhid
- Fathul Bari, Ibnu Hajar, Mawqi’ul Islam – Maktabah Syamilah 5
- Fathul Qodhir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir – Maktabah Syamilah 5
- Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar – Al Qismul Awwal, Abdur Rozaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Dar Ibni ‘Affan
- Imam Syafi’i Menggugat Syirik, Abdullah Zaen, Maktabah Al Hanif
- Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Muhammad bin Jarir Abu Ja’far Ath Thobary, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Mawqi’ Majma’ Al Mulk Fahd Li Thoba’atil Mush-haf Syarif – Maktabah Syamilah 5
- Kalimatul Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, Ibnu Rojab Al Hanbali, Tahqiq: Zuhair Asy Syaqisy, Al Maktab Al Islamiy Beirut – Maktabah Syamilah 5
- Kalimatul Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, Ibnu Rojab Al Hanbali, Tahqiq dan Takhrij: Al ‘Alamah Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albany, Maktabah Syamilah 5
- Ma’arijul Qobul bi Syarhi Sullamil Wushul ila ‘Ilmil Ushul fit Tauhid: Juz I, Asy Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakamiy, Darul Hadits Al Qohiroh
- Mafatihul Ghoib, Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Al Hasan bin Al Husain At Taimiy Ar Roziy (Fakhruddin Ar Rozi), Mawqi’ut Tafsir – Maktabah Syamilah 5
- Misykatul Mashobih, Muhammad bin Abdillah Al Khotib At Tibriziy, Tahqiq: Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islamiy Beirut-Maktabah Syamilah 5
- Shohih Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mugiroh Al Bukhari Abu Abdillah, Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah Syamilah 5
- Shohih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairiy An Naisaburi, Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah Syamilah 5
- Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan, Abu ‘Isa Abdullah bin Salam, Pustaka Muslim
- Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, Mawqi’ul Islam – Maktabah Syamilah 5
- Syarh Kasyfi Syubuhaat, Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Tahqiq: Haniy Al Hajj, Maktabah Al ‘Ilmi
- Tafsir Al ‘Alamah Muhammad Al ‘Utsaimin, Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Mawqi’ Al ‘Alamah Al ‘Utsaimin-Maktabah Syamilah 5
- Tafsir Al Jalalain, Al Mahalli As Suyuthiy, Mawqi’ At Tafasir – Maktabah Syamilah 5
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurasyi Ad Dimasyqi, Maktabah Syamilah 5
- Tarikh Bagdad-Al Khotib Al Bagdadi, Ahmad bin Ali Abu Bakr Al Khotib Al Bagdadi, Darul Kutub Ilmiyyah Beirut – Maktabah Syamilah 5
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Syarat Syahadat Laa Ilaaha Illallah
Setiap ibadah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar ibadah tersebut sah. Seseorang yang hendak sholat tentu akan berwudhu terlebih dahulu, karena suci adalah syarat sah sholat. Begitu pula ibadah yang lain seperti haji, puasa dan zakat juga memiliki rukun-rukun dan syarat yang tidak boleh tidak harus dipenuhi. Segala sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan sesuatu yang lain disebut syarat. Lalu bagaimana pula dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illalloh? Tidak diragukan lagi bahwa syahadat adalah setinggi-tingginya derajat keimanan dan rukun islam yang paling utama. Di sana ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kalimat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ucapkan dianggap sah.
Para ulama menjelaskan bahwa syahadat Laa Ilaaha Illalloh memiliki delapan syarat:
1. Ilmu
Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengucapkan kalimat syahadat ini dengan mengilmui makna dari kalimat tersebut. Alloh berfirman, “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az Zukhruf: 86). Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengilmui Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk surga.” (HR. Al Bukhori dan Muslim). Dan makna yang benar dari kalimat Laa Ilaaha Illalloh yaitu tidak ada sesembahan yang haq melainkan Alloh Ta’ala.
2. Yakin
Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai cobaan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat: 15)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang engkau jumpai dari balik dinding ini dia bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dengan keyakinan hatinya sampaikanlah kabar gembira untuknya bahwa dia masuk surga.” (HR. Muslim)
3. Menerima
Alloh menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak menerima dakwah Nabi Muhammad dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha Illalloh’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’.” (As Shoffat: 35-36)
Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Inilah sifat orang kafir, tidak menerima kebenaran kalimat Laa ilaaha Illalloh. Sungguh hanya Alloh lah yang berhak disembah dan diibadahi.
4. Tunduk
Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin. Alloh berfirman, “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Alloh-lah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)
Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaranku.” (HR. Thabrani)
5. Jujur
Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar (jujur) dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut: 2-3)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan Muhammad hamba Alloh dan rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Alloh mengharamkan neraka untuk menyentuhnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah bagaimana syahadat orang munafik ditolak oleh Alloh karena tidak jujur. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh.’ Dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (Al Munafiqun: 1)
6. Ikhlas
Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Alloh saja, tidak kepada selain-Nya. Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Apa yang dimaksud dengan ikhlas?
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Alloh mengharamkan bagi neraka menyentuh orang yang mengatakan Laa Ilaaha Illalloh karena semata-mata mencari wajah Alloh.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
7. Cinta
Alloh berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh semuanya dan bahwa Alloh amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al Baqoroh: 165)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal barangsiapa memilikinya pasti akan merasakan kelezatan iman: Alloh dan rasul-Nya lebih dia cintai dibanding selain keduanya, dia mencintai seseorang karena Alloh, dan dia benci untuk kembali kafir sebagaimana kebenciannya jika dilempar ke dalam api.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
8. Mengingkari peribadatan kepada Thoghut.
Thoghut adalah segala sesuatu selain Alloh yang ridho disembah/diibadahi. Alloh berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqoroh: 256)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh dan mengingkari sesembahan selain Alloh, haramlah harta dan darahnya sedang perhitungannya adalah terserah kepada Alloh Azza Wa Jalla.” (HR. Muslim)
Perlu diperhatikan, syarat-syarat ini tidak bermanfaat sama sekali jika sekedar dihafalkan, tanpa diamalkan. apakah kita sudah mengevaluasi syahadat kita? Sudahkah terpenuhi delapan syarat ini dalam syahadat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ikrarkan? Belum terlambat. Berbenahlah! Semoga kita bertemu dengan Alloh sebagai seorang yang bertauhid, bukan sebagai seorang musyrik. Wal ‘iyaadzu billah.
***
Penulis: Nurdin Abu Yazid
Artikel www.muslim.or.id
Menyoal Pemaknaan Syahadat
Tulisan ini disusun untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang saudara kita dan juga untuk menanggapi komentar yang diberikan oleh seorang pembaca website yang lainnya. Di dalam tulisan ini, sengaja saya tidak menyebutkan nama orang yang mengajukan pertanyaan dan berkomentar dengan harapan semakin banyak orang yang bisa mengambil faidah dari penjelasan para ulama dan pemaparan yang nanti insya Allah saya bawakan.
Berikut ini rangkaian pertanyaan sekaligus komentar yang beliau utarakan:
“Mohon maaf kalau saya masih ingin mengirim komentar lagi karena rasa penasaran dan rasa ingin tahu akan kebenaran makna kalimat syahadat, karena pembahasan yang seperti ini baru kali ini saya temui. Alhamdulillah saya jadi belajar banyak tentang kalimat syahadat ini, membaca dan source dari Al Quran. Kalau boleh saya simpulkan perbedaan antara kita adalah:
“1. Saya percaya ilah= rububiyah dan uluhiyah; anda percaya ilah hanya uluhiyah, jadi saya percaya ada hanya satu tuhan ; anda percaya ada banyak tuhan-tuhan maka menurut saya terjemahan tiada tuhan selain Allah adalah benar sedangkan menurut anda harus tiada sesembahan yang haq kecuali Allah…”
Polemik Pemaknaan Kata Ilah
Pembaca sekalian, semoga Allah melimpahkan petunjuk-Nya kepada kita.
Sebagaimana kita ketahui bersama sebagai umat Islam bahwa agama Islam
ini dibangun di atas pilar yang sangat agung yaitu syahadat
(persaksian) la ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Rasul bersabda yang artinya, “Islam
dibangun di atas 5 perkara; [1] syahadat la ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, [2] menegakkan shalat dst.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian, dalam memaknai syahadat la ilaha illallah memang terjadi perselisihan di antara kaum muslimin. Sehingga hal ini menyeret sebagian di antara mereka ke dalam penyimpangan pemahaman. Salah satu sebab penyimpangan pemahaman ini adalah perbedaan penafsiran kata ilah yang terdapat dalam kalimat la ilaha illallah. Ada di antara mereka yang mengartikan ilah sebagai al qadir ‘alal ikhtira’/dzat yang maha berkuasa untuk mencipta. Hal itu sebagaimana penafsiran kaum Asya’irah (orang-orang yang mengaku menganut pemahaman Imam Abul Hasan Al Asy’ari), seperti dinukilkan oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh dalam kitab At Tamhid (hal. 75-76).
Nah, singkatnya mereka memaknai kata ilah dengan makna rububiyah; ilah bermakna pencipta, pengatur dan penguasa. Sehingga kalimat la ilaha illallah
menurut versi mereka artinya ‘tidak ada pencipta, pengatur dan penguasa
alam ini selain Allah’. Apakah pemaknaan ini benar? (Bedakan dengan
pertanyaan; apakah
makna ini benar?). Untuk menjawab hal ini kita harus mengerti secara
persis apakah makna kata ilah menurut bahasa Arab, sebab Al Qur’an
turun dalam bahasa ini. Dan kita juga harus memperhatikan kandungan
ayat-ayat yang berbicara tentang hal ini. Baiklah satu persatu akan
kami paparkan, insya Allah.
Makna Kata Ilah Secara Bahasa
Kata ilah berasal dari kata alaha. Dalam kitab Ash Shihah fi Lughah diterangkan bahwa alaha artinya ‘abada (menyembah). Dalam Mukhtar Ash Shihah diterangkan bahwa alaha-ya’lahu artinya ‘abada (menyembah). Sedangkan kata ilah itu mengikuti pola/rumus fi’al yang bermakna maf’ul (objek). Sehingga ilah bermakna
ma’luh/objek yang disembah (lihat Mukhtar Ash Shihah bab Hamzah. Islamspirit.com). Di dalam Kamus Al Mu’jam Al Wasith (Jilid 1 hal. 25) disebutkan bahwa ilah adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai sesembahan. Apabila diungkapkan dalam bentuk jamak/plural maka disebut alihah (sesembahan-sesembahan). Sesembahan di dalam bahasa Arab juga disebut dengan ma’bud. Oleh sebab itu para ulama kita menafsirkan la ilaha illallah dengan la ma’buda bihaqqin atau la ma’buda haqqun illallah (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul Ibnu Utsaimin, hal. 71).
Makna Kata Ilah Secara Terminologi
Dalam terminologi akidah makna kata ilah tidak berbeda dengan pengertiannya secara bahasa. Ibnu Rajab Al Hanbali mengatakan, Ilah adalah segala sesuatu yang ditaati dan tidak didurhakai yang hal itu muncul karena rasa penghormatan dan pengagungan kepadanya, yang dilandasi rasa cinta dan kekhawatiran, diiringi dengan harapan dan ketergantungan hati kepadanya, permohonan dan doa kepada-Nya. Dan hal itu semua tidaklah pantas kecuali diserahkan kepada Allah ‘azza wa jalla… (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, dinukil dari Hushul al Ma’mul, hal. 111).
Artinya ilah mengandung makna sesembahan/sesuatu yang diibadahi. Apa yang disebutkan oleh Ibnu Rajab di atas merupakan contoh-contoh ibadah, seperti; ketaatan, pengagungan, kecintaan, kekhawatiran, harapan, dan sebagainya. Jadi ilah artinya sesembahan. Demikianlah penafsiran para ulama tafsir, sebagaimana disampaikan oleh Imamnya ahli tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari (lihat Tafsir Ath Thabari QS. Muhammad ayat 19) dan para ulama yang lainnya. Hal ini akan semakin jelas jika kita meninjau makna ilah yang terdapat di dalam ayat-ayat Al Qur’an berikut ini.
Makna Kata Ilah Menurut Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman menceritakan sikap orang-orang musyrikin Quraisy ketika menyambut dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Sesungguhnya mereka dahulu apabila diserukan kepada mereka (untuk mengucapkan) la ilaha illallah, mereka menyombongkan diri dan mengatakan, ”Akankah kami
meninggalkan ‘alihah’ (sesembahan-sesembahan) kami hanya karena mengikuti ajakan penyair gila.” (QS. Ash Shaffaat: 35-36)
Perhatikanlah ayat yang mulia ini. Ketika Nabi mengajak mereka untuk mengikrarkan la ilaha ilallah mereka menjawab, “Akankah kami meninggalkan sesembahan (ilah-ilah) kami…” Hal ini menunjukkan bahwa kata ilah menurut mereka berarti sesembahan, bukan pencipta dan semacamnya. Hal ini semakin jelas jika kita bandingkan penolakan mereka ini dengan pengakuan mereka tentang keesaan Allah dalam hal rububiyah yang juga dikisahkan oleh Allah di dalam Al Qur’an.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: Siapakah yang
memberikan rezki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang
kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari
yang hidup, dan siapakah
yang mengatur segala urusan. Maka niscaya mereka akan menjawab: Allah.” (QS. Yunus: 31)
Yang dimaksud dengan ‘mereka’ di dalam ayat di atas adalah
orang-orang yang mempersekutukan Allah. Demikianlah keterangan ulama
tafsir (lihat Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 363). Ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa mereka -orang-orang musyrik- telah mengakui tauhid rububiyah. Allah menjadikan
pengakuan mereka terhadap tauhid rububiyah untuk mewajibkan mereka
melaksanakan konsekuensi tauhid rububiyah yaitu tauhid uluhiyah.
Demikian keterangan Syaikh As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 363).
Oleh sebab itulah para ulama mengingkari penafsiran la ilaha illallah atau tauhid ke dalam makna tauhid rububiyah semata. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dan bukanlah yang dimaksud dengan tauhid sekedar mencakup tauhid rububiyah saja, yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan sebagian orang dari kalangan ahli kalam/filsafat dan penganut ajaran tasawuf. Mereka mengira apabila telah berhasil menetapkan tauhid rububiyah itu dengan membawakan dalil atau bukti yang kuat maka mereka telah berhasil menetapkan puncak hakekat ketauhidan…” (Sebagaimana dinukil oleh penulis Fathul Masjid, hal. 15-16).
Kesimpulannya, kata ilah bermakna sesembahan atau ma’bud/yang diibadahi. Hal ini telah terbukti berdasarkan tinjauan bahasa, realita dan juga menurut Al Qur’an sendiri. Sehingga sangat keliru jika la ilaha illallah dimaknai dengan tiada pencipta, pengatur dan penguasa selain Allah alias tauhid rububiyah. Sebagaimana sudah ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di atas. Walaupun, pernyataan bahwa pencipta, pengatur dan penguasa alam ini adalah Allah semata merupakan pernyataan yang benar. Hanya saja menggunakan pernyataan-pernyataan tersebut untuk menafsirkan la ilaha illallah adalah sebuah kekeliruan.
Asal-Usul Penyimpangan Penafsiran
Lalu bagaimana dengan penafsiran ilah dengan makna rububiyah yaitu sebagai dzat yang berkuasa menciptakan? Dari manakah asalnya dan mengapa bisa muncul?
Syaikh Shalih Alusy Syaikh memaparkan, “Sesungguhnya kaum Mutakallimin, Asya’irah dan Mu’tazilah serta orang-orang yang mewarisi ilmu bangsa Yunani memiliki pendapat bahwa kata ilah di situ (dalam kalimat la ilaha illallah) bermakna fa’il (berarti pelaku). Memang, dalam bahasa Arab kata yang mengikuti pola fi’al (sepola dengan kata ilah) terkadang bermakna fa’il (seperti kata alih yang mengikuti pola fail) dan terkadang bermakna maf’ul (sehingga artinya menjadi ma’luh/yang disembah). Nah, dari celah itulah mereka mengatakan bahwa kata ilah bermakna alih. Sedangkan kata alih itu berarti Yang Maha Berkuasa (Al-Qadir). Oleh sebab itulah, mereka menafsirkan kata ilah dengan Al-Qadir ‘alal ikhtiraa (Dzat Yang Berkuasa menciptakan). Ini bisa kalian jumpai dalam buku-buku Akidah kaum Asya’irah, sebagaimana tercantum dalam buku Syarah Aqidah Sanusiyah yang mereka namai dengan istilah Ummul Barahin. Di dalamnya dinyatakan bahwa kata ilah artinya “Dzat Yang Maha tidak membutuhkan segala sesuatu, Dzat yang dibutuhkan oleh segala sesuatu selain diri-Nya”. Sehingga dia mengatakan: la ilaha illallah artinya; “Tidak ada Dzat yang Maha Kaya dan menjadi sumber terpenuhinya kebutuhan segala sesuatu kecuali Allah”. Ini artinya mereka telah menafsirkan tauhid uluhiyah dengan makna tauhid rububiyah…” (At Tamhid, hal. 75-76).
Penjelasan beliau di atas memang agak sukar dicerna bagi orang yang belum belajar kaidah bahasa Arab sama sekali. Kalau boleh saya perjelas, maka maksud keterangan beliau adalah sebagai berikut:
- Ada 2 pemaknaan kata ilah berdasarkan tinjauan bahasa Arab.
- Makna pertama; ilah dengan makna ma’luh, sedangkan yang kedua; ilah dengan makna alih.
- Ma’luh artinya al ma’bud = sesembahan, dalam bahasa kita disebut ‘tuhan’.
- Alih artinya al Qadir = yang maha kuasa, dalam bahasa kita disebut ‘tuhan’. Makna kedua ini lemah sebab tidak didukung bukti yang kuat.
- Karena mereka (Asya’irah dkk) mengambil makna kedua (ilah dengan makna alih) maka konsekuensinya makna la ilaha illallah adalah tauhid rububiyah. Penafsiran ini jelas salah berdasarkan tinjauan ayat Al Qur’an dan kenyataan orang-orang musyrik jaman dulu, sebagaimana sudah kami paparkan di atas (lihat lagi Makna kata ilah menurut Al Qur’an)
- Sedangkan tafsiran yang benar la ilaha illallah adalah tauhid uluhiyah; yaitu tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah; atau tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.
Apa Kaitan Antara Tauhid Uluhiyah Dengan Tauhid Rububiyah ?
Kaitan antara kedua macam tauhid ini satu dengan yang lainnya adalah: tauhid rububiyah melahirkan konsekuensi tauhid uluhiyah. Dalam artian pengakuan terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuan terhadap tauhid uluhiyah dan kewajiban untuk tunduk mengerjakannya (beribadah kepada Allah semata, pent). Barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah adalah Rabb, pencipta, dan pengatur urusan-urusannya maka wajib baginya untuk menyembah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sedangkan tauhid uluhiyah sudah mencakup tauhid rububiyah. Dalam artian tauhid rububiyah terkandung di dalam tauhid uluhiyah; sebab setiap orang yang menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun maka itu berarti orang tersebut pasti telah meyakini bahwa Dia (Allah) adalah Rabb dan pencipta dirinya. Demikian keterangan Syaikh Shalih Al Fauzan (Al Irsyad ila Sahihil I’tiqad, hal. 39).
Dari penjelasan di atas kita bisa mengetahui bahwa perkataan saudara kita yang menyatakan: “Saya percaya ilah= rububiyah dan uluhiyah; anda percaya ilah hanya uluhiyah...” adalah pernyataan yang di satu sisi mengandung kebenaran, namun di sisi yang lain ia mengandung kesalahpahaman. Yang pertama; ungkapan bahwa ilah sama dengan rububiyah dan uluhiyah adalah jelas keliru berdasarkan tinjauan makna bahasa dan juga terminologi Al Qur’an yang telah dipaparkan di atas. Namun, apabila dikatakan bahwa tauhid uluhiyah sudah mengandung tauhid rububiyah maka ini memang benar, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al Fauzan di atas. Maka ungkapan ilah sama dengan rububiyah dan uluhiyah dalam artian orang yang bertauhid uluhiyah (melaksanakan kandungan la ilaha illallah) secara otomatis bertauhid rububiyah, maka ini adalah makna yang benar namun ungkapan yang dipakai kurang tepat.
Singkatnya, makna la ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah. Maka semua orang yang benar-benar melaksanakan kandungan syahadat -dengan pemaknaan ini- tentu saja dia telah mengakui tauhid rububiyah secara otomatis. Berbeda halnya jika kita artikan la ilaha illallah tidak ada pencipta selain Allah, maka orang yang mengucapkan itu belum tentu bertauhid uluhiyah, sebagaimana sudah dipaparkan di atas tentang kondisi orang-orang musyrik di zaman Nabi. Wallahu a’lam.
Apakah Pernyataan “Tidak Ada Tuhan Selain Allah” Itu Keliru?
Kata ‘tuhan’ memiliki makna ganda. Terkadang orang menafsirkan dengan pencipta, terkadang dengan sesembahan.
Bukti yang menunjukkan penggunaan kata tuhan untuk makna yang
pertama adalah sila pertama Pancasila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sila ini disetujui oleh bangsa Indonesia
yang notabene penduduknya memeluk agama yang berbeda-beda. Yang kita
juga tahu bahwa masing-masing agama memiliki sesembahan yang tidak sama
alias berbeda-beda. Maka tentu saja arti ‘tuhan’ di
sini bukan sesembahan tetapi pencipta. Inilah makna yang disepakati
oleh seluruh pemeluk agama di negara kita, yaitu hanya ada satu
pencipta alam ini yang mereka sebut dengan istilah Tuhan Yang Maha Esa.
Maka kata tuhan dalam konteks ini semakna dengan kata rabb dalam bahasa
arab. Oleh sebab itu dalam terjemah Depag ayat alhamdulillahirabbil’alamin
diartikan ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam’. Dan
penerjemahan rabb dengan ‘tuhan’ banyak sekali kita temukan di dalam
terjemahan Depag, ini sesungguhnya perlu diperjelas lagi sebab kata
tuhan menyimpan makna ganda.
Bukti yang menunjukkan penggunaan kata tuhan untuk makna yang kedua adalah penerjemahan kata ilah menjadi tuhan, sebagaimana terdapat di dalam terjemah Al Qur’an versi Depag berikut ini. “Adakah
kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia
berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”
Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 133). Kata ilah di dalam ayat tersebut (yang aslinya berbahasa arab) diterjemahkan menjadi tuhan. Dan ini sekali lagi memerlukan penjelasan tambahan (bahwa tuhan di sini
maknanya sesembahan), sebab sebagaimana sudah kami terangkan bahwa kata ilah bermakna ganda.
Dengan demikian, menurut hemat kami demi terjaganya pemahaman yang benar tentang tauhid maka sudah semestinya kata ilah diterjemahkan menjadi ’sesembahan’ atau ‘yang diibadahi’, sedangkan kata rabb, baari’ dan semacamnya diartikan sebagaimana adanya yaitu pemelihara, pencipta, dsb. Sehingga tidak perlu lagi digunakan kata ‘tuhan’ dalam menerjemahkan kata ilah atau rabb demi menjaga akidah umat dari ketergelinciran penafsiran. Namun, karena kata tuhan ini sudah terlanjur tersebar di lisan masyarakat maka hendaknya kita pandai-pandai menangkap maksud mereka ketika menggunakan kata itu. Jika mereka memaknai tuhan sebagai sesembahan maka kita katakan bahwa la ilaha illallah artinya tidak ada tuhan yang benar selain Allah. Akan tetapi jika mereka memaknai tuhan sebagai pencipta maka hendaknya kita katakan bahwa la ilaha illallah maknanya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Nah, daripada kita harus mengambil resiko umat salah paham maka langsung saja dipertegas bahwa makna la ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah atau tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Wallahu a’lam (Penjelasan ini banyak kami dapatkan dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhahullah).
Berdasarkan penjelasan di atas maka kita akan bisa menjawab pertanyaan; apakah pernyataan ‘tidak ada tuhan selain Allah itu keliru?’ Jawabnya adalah:
Jika yang dimaksud dengan ‘tuhan’ adalah pencipta, penguasa, pengatur, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan dsb, (sehingga artinya tidak ada pencipta selain Allah/tauhid rububiyah) maka kita katakan bahwa makna pernyataan itu benar. Namun hendaknya penggunaan pernyataan ‘tidak ada tuhan selain Allah’ untuk mengartikan syahadat dihindari sebab sering menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat akibat keberadaan kata ‘tuhan’ yang bermakna ganda, sebagaimana sudah kami terangkan di atas.
Jika yang dimaksud dengan ‘tuhan’ adalah sesembahan (uluhiyah) maka
dengan tegas kita katakan bahwa sesembahan yang benar adalah Allah.
Adapun sesembahan selain Allah memang ada (ini bukan berarti
membenarkan) akan tetapi sesembahan yang batil. Hal ini sebagaimana
sudah ditegaskan Allah dalam firman-Nya yang artinya, “Demikian
itulah kuasa Allah, karena sesungguhnya Allah adalah (sesembahan) yang
haq sedangkan segala sesembahan selain-Nya adalah batil.” (QS.
Luqman: 30). Sehingga kalau maksud dari ungkapan ‘tidak ada tuhan
selain Allah’ adalah sesembahan yang benar hanya Allah, maka kita
benarkan maksud ini. Sebagaimana yang dimaksudkan oleh terjemah Depag
pada sebuah ayat yang artinya, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha
Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 163). Namun, jika
yang dimaksud adalah sesembahan yang ada hanya Allah, maka ini kita
tolak berdasarkan realita dan juga ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan
bahwa ada banyak sesembahan selain Allah. Ketika kita mengakui
sesembahan selain Allah memang ada maka itu bukan berarti kita
membenarkannya. Sebagaimana kita mengakui adanya kekafiran dan orang
kafir, namun itu bukan berarti kita membenarkannya. Kita mengakui
keberadaannya sebab yang disembah orang selain Allah itu memang ada,
hanya saja kita wajib menolak dan membatilkan
peribadahan kepada mereka. Semoga bisa dipahami…
Berarti Ilah Selain Allah Itu Ada ?
Ya, memang demikian. Hal ini terbukti berdasarkan ayat Al Qur’an
maupun realita. Telah dipaparkan di muka bahwa kata ilah dengan
maknanya yang benar secara bahasa dan menurut Al Qur’an berarti
sesembahan. Perhatikanlah terjemah ayat berikut ini. Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “Kemudian mereka mengambil
sesembahan-sesembahan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang
sesembahan mereka itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri
diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari
dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan
(juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula)
membangkitkan.” (QS. Al Furqan:
3). Di dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa orang-orang musyrik mengangkat selain Allah sebagai alihah (bentuk jamak dari ilah yang artinya sesembahan). Berarti ilah selain Allah itu ada.
Perhatikan juga firman Allah ketika membawakan ucapan seorang lelaki yang mendakwahi kaumnya yang artinya, “Mengapa aku akan menyembah sesembahan-sesembahan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?” (QS. Yasin: 23). Di dalam ayat ini dia menyebutkan bahwa ada ilah selain Allah, dan Allah tidak mengingkari perkataan orang ini. Ini menunjukkan bahwa ilah selain Allah memang ada, namun ilah yang batil. Oleh sebab itu dia mengatakan di kelanjutan ayat tersebut, “Kalau aku demikian (menyembah sesembahan-sesembahan selain-Nya) tentu saja aku akan berada di dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yasin: 24)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir di tengah-tengah kaum yang memiliki
ibadah yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang menyembah
(beribadah kepada) malaikat, ada yang menyembah nabi dan orang-orang
shalih, ada pula yang menyembah pohon dan bebatuan, dan ada juga yang
menyembah matahari dan bulan…” (Al
Qawa’id Al Arba’, Majmu’ah Tauhid, hal. 10). Inilah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun, sesembahan/ilah jumlahnya banyak.
Lantas Apa Maksud Peniadaan Ilah Selain Allah di Dalam Al Qur’an ?
Ini adalah pertanyaan cerdas. Di dalam ayat-ayat Al Qur’an ternyata kita juga menemukan adanya penafian sesembahan/ilah selain Allah. Padahal tadi sudah kita tetapkan bahwa ilah selain Allah memang ada akan tetapi ilah yang batil, lantas apa maksud dari ayat-ayat yang seolah-olah bertentangan kandungannya ini? Salah satu contoh ayat semacam ini adalah firman Allah yang artinya, “Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui.” Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)” (QS. Al An’am: 19). Berdasarkan ayat ini maka si penanya mengajukan keberatannya atas pernyataan para ulama bahwa sesembahan atau ilah selain Allah itu memang ada, beliau mengatakan: Lalu bagaimana pertanggungjawaban kita dengan surat Al Anam 19 , bahwa tidak ada tuhan-tuhan lain, tuhan itu esa yaitu hanya Allah…
Pembaca sekalian, di dalam bahasa Arab ungkapan semacam ini sudah biasa digunakan. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu hal dinafikan namun yang dimaksudkan adalah keabsahannya bukan keberadaannya. Contohnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Imam yang lima; Ahmad,
Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan An Nasa’i). Apakah ini artinya
orang tidak mungkin melakukan shalat tanpa membaca Fatihah, tentu saja
bukan. Mungkin saja orang yang belum mengerti melakukannya. Sehingga
shalat tanpa Al Fatihah itu benar-benar ada alias terjadi dalam alam
kenyataan. Lalu apa maksud beliau dengan mengatakan, “Tidak ada shalat.”
Maksudnya adalah meniadakan keabsahan shalat tanpa Al Fatihah. Artinya
tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat Al Fatihah
(lihatlah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ dalam pembahasan sifat shalat Nabi). Maka demikian pula dengan penafian ilah selain Allah yang ada di dalam ayat-ayat Al Qur’an. Ilah selain Allah itu ada akan tetapi ilah yang tidak berhak untuk disembah alias batil. Wallahu a’lam.
Soal Kata yang Terhapus
Beliau mengatakan di dalam rangkaian pertanyaannya: Saya baru
tahu kalau makna Laa ilaha illallah menyimpan kata yang terhapus. Saya
belum pernah mendengarnya dan membacanya (maaf atas keterbatasan ilmu
saya). Kalau boleh mohon diberikan hadits yang menyatakan tentang
terhapusnya
kata haqqun dari kalimat ini dengan jelas, sehingga saya lebih mantap
atas agama ini. Bagaimana QS Yusuf: 39 apakah tuhan-tuhan ini
(menggunakan rob) dalam arti penyembahan atau tuhan-tuhan yang mencipta.
Pembaca sekalian, menafsirkan la ilaha illallah dengan la ma’buda haqqun illallah atau la ilaha haqqun illallah
(tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah) bukanlah takwil yang
tercela (seperti pernah dilontarkan oleh salah seorang pengunjung situs
ini). Hal ini dikarenakan dalam bahasa Arab suatu kata
atau ungkapan bisa saja dibuang dari pembicaraan karena faktor-faktor tertentu yang membolehkannya. Sehingga menyebutkan kata bihaqqin atau haq sesudah kata ilah atau ma’bud
adalah bukanlah takwil. Buktinya, di dalam kitab-kitab Ilmu Kaidah
Bahasa Arab (Nahwu) anda bisa menemukan penafsiran semacam ini.
Contohnya di dalam kitab Mu’jam Mufashshal fil I’rab disebutkan bahwa kata ilah adalah isim la (sebuah jabatan kata yang pada asalnya merupakan subjek pembicaraan, pent) mempunyai khabar (predikat kalimat) yang dihapus (tidak disebutkan). Sesuatu yang dihapus itu adalah kata maujud (yang ada). Sehingga ungkapan la ilaha illallah bila disebutkan secara lengkap maka bunyinya la ilaha maujud illallah. Artinya tidak ada ilah yang benar-benar ada kecuali Allah (lihat Mu’jam Mufashshal, hal. 374). Namun perlu kami tegaskan di sini bahwa penentuan kata yang dihapus di sini dengan kata maujud adalah sebuah kekeliruan besar!!
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa khabar (predikat kalimat) nya dihapus. Apabila kata yang dihapus itu dimunculkan maka kalimatnya menjadi la ilaha haqqun illallah (artinya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah). Dan beliau menyalahkan orang yang menyebutkan kata maujud sebagai pelengkap kalimat tersebut sehingga menelorkan pemaknaan la ilaha illallah menjadi la ilaha maujudun illallah (tidak ada sesembahan di alam nyata kecuali Allah). Beliau mengomentari pemaknaan mereka itu dengan mengatakan, “Ini adalah kekeliruan yang sangat besar.” (At Ta’liqat Al Jaliyah, hal.
682). Kalau penyebutan kata yang dihapus ini merupakan perkara yang
tidak dikenal dalam bahasa Arab lalu untuk apa para ulama bahasa
menyebutkan kata yang dihapus itu dalam kitab-kitab mereka?
Untuk memenuhi permintaan penanya yang menginginkan hadits yang menyatakan tentang dihapusnya kata haqqun, maka berikut ini kami sebutkan hadits semakna yang menyatakan bahwa ilah/sesembahan itu memang banyak. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tatkala mengisahkan kejadian di hari kiamat, “Kemudian ada penyeru yang memanggil agar setiap kaum menemui apa saja yang mereka sembah (sewaktu di dunia). Maka para pemuja salib pun menuju salib mereka. Penyembah berhala juga pergi menuju berhala mereka. Dan setiap penyembah ilah-ilah itu pergi bersama dengan ilah-ilah mereka masing-masing…” (HR. Bukhari). Kalau dalam hadits ini Rasulullah menyebutkan ada banyak ilah, maka kesimpulan yang bisa kita ambil adalah ilah selain Allah adalah ilah yang batil. Dan ilah yang benar hanya Allah. Otomatis la ilaha illallah tidak bisa kita artikan tidak ada ilah selain Allah, tapi harus diartikan tidak ada ilah yang haq selain Allah.
Dan juga silakan perhatikan ayat yang artinya, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al Furqan: 43). Di dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa ada manusia yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah. Ini menunjukkan dengan jelas kepada kita bahwa ilah selain Allah itu ada, salah satunya adalah hawa nafsu manusia itu sendiri. Dan itu adalah ilah yang batil.
Al Qur’an memang sempurna, dan salah satu kesempurnaan Al Qur’an
ialah Al Qur’an turun dengan bahasa Arab. Itu artinya Al Qur’an hanya
bisa dipahami dengan mengikuti kaidah bahasa Arab. Dan di antara kaidah
bahasa Arab ialah apabila terdapat penggunaan kata la nafiyatu lil jinsi (seperti dalam la ilaha
illallah) maka harus ada isim (subjek) dan khabar (predikat) nya. Isim la yaitu kata ilah, sedangkan khabarnya adalah kata haqqun
yang tidak dinampakkan karena maksudnya sudah jelas dimengerti oleh
orang Arab dahulu. Maka dari sini kita mengetahui betapa tidak tepatnya
komentar pengunjung website yang lain yang mengatakan:
“Kalau ilah di kalimat tauhid ini hanya dipahami secari uluhiyah
maka kita terpaksa meletakkan Allah sejajar dengan ilah2 yang lain dan
terpaksa kita menambah kata haq supaya maksud ini tercapai. Padahal
Allah telah membuat kalimat ini tanpa kata haq sedikitpun, dan yang
pasti kalimat ini adalah kalimat
yang sempurna dan tidak pernah berubah sedikitpun sejak jaman dulu
sampai sekarang yang dari nabi pertama sampai nabi terakhir diutus
untuk kalimat ini. Memang ada ide yang mengatakan Allah menyembunyikan
kata haq, tapi saya pikir hal ini tidak mungkin karena kalimat ini
seharusnya sudah sempurna mengingat ketinggiannya di atas kalimat lain.
Dan penambahan kata haq ini adalah sesuatu
tambahan, yang tidak ada keterangan sedikitpun di dalam quran dan
hadist. Penambahan ini juga mungkin terjadi setelah ada ilmu nahwu dan
shorof yang dibuat setelah jaman nabi. Dengan adanya ilmu ini maka
mereka menganganggap bahwa kalimat yang datang dari Allah dan telah
disampaikan semua nabi dan
termasuk nabi Muhammad saw ini tidak sempurna dan perlu tambahan kata haq sebagai syarat kesempurnaan kalimat ini.”
Kalaulah pola berpikir semacam ini kita terapkan, maka kita juga ‘terpaksa’ harus mengatakan bahwa ilmu-ilmu syar’i semacam Mushthalah Hadits, Qawa’id Fiqhiyah, Jarh wa Ta’dil, Ushul Fiqih, dan lain sebagainya adalah tidak diperlukan alias sia-sia saja. Kenapa? Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakannya. Begitu pula penyebutan rukun shalat, syarat-syaratnya, pembatal-pembatalnya, tidak pernah dibakukan oleh mereka ke dalam satu pembahasan disiplin ilmu.
Penggunaan Kata Rabb Dengan Makna Ilah
Memang terkadang di dalam Al Qur’an atau As Sunnah kata rabb dipakai
dalam konteks pembicaraan tertentu sementara yang dimaksudkan adalah
makna ilah, bukan semata-mata rabb dalam artian rububiyah. Seperti ayat
yang disebutkan oleh penanya yaitu surat Yusuf ayat 39. Di dalam ayat
itu disebutkan perkataan Nabi Yusuf ketika berdakwah di dalam penjara, “Hai dua orang temanku di penjara.
Manakah yang lebih baik; rabb-rabb yang bermacam-macam itu ataukah Allah ilah yang esa lagi Maha Kuasa?” Kata rabb dalam ayat ini digunakan dengan makna ilah. Untuk membuktikan hal ini marilah kita lihat sebuah hadits yang menceritakan perbincangan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
salah seorang sahabatnya yang dulunya Nasrani yaitu Adi bin Hatim.
Dari Adi bin Hatim, suatu ketika dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini, “Mereka (ahli kitab) telah menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka itu sebagai rabb-rabb selain Allah.” (QS. At Taubah: 31). Maka aku (Adi) berkata kepada beliau, “Sesungguhnya kami dahulu tidak menyembah mereka.” Nabi menjawab, “Bukankah dahulu mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah kemudian kalian pun ikut mengharamkannya. Dan mereka juga menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan kalian pun ikut menghalalkannya?” Lalu kukatakan, “Iya, betul demikian.” Maka Nabi bersabda, “Itulah yang dimaksud penyembahan kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Tirmidzi meng-hasan-kannya).
Hadits yang mulia ini menunjukkan banyak pelajaran yang sangat berharga kepada
kita, di antaranya:
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan penjelas Al Qur’an, maka untuk memahami Al Qur’an kita harus mengikuti metode pemahaman beliau.
- Adi bin Hatim memahami makna ayat ‘menjadikan pendeta dan rahib sebagai rabb’ ialah menyembah mereka. Ini menunjukkan bahwa kata rabb di sini digunakan dan dipahami dengan makna ilah/sesembahan bukan rabb dalam artian pencipta, dsb.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pemahaman Adi bin Hatim bahwa makna ‘menjadikan pendeta dan rahib sebagai rabb’ adalah menyembah mereka, bukan dalam artian menjadikan mereka sebagai pencipta, penguasa dan pengatur alam ini. Sehingga Nabi dan Adi bin Hati sepakat tentang makna rabb dalam ayat ini adalah dipahami dengan makna ilah.
- Salah satu bentuk ibadah/penyembahan adalah ketaatan. Maka barangsiapa yang menaati orang lain dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan syari’at sesungguhnya dia telah menyembahnya.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa kata rabb di dalam ayat di atas (QS. Yusuf: 39) adalah dipakai dan harus dipahami dengan makna ilah, berdasarkan realita dan pemahaman terhadap kandungan ayat-ayat Al Qur’an yang lain dan juga tafsiran dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut.
Apakah Orang Musyrikin Bertauhid Rububiyah ?
Penanya mengatakan:
“Mengapa orang musryik menyembah Nyi roro kidul? Mereka pasti punya alasan mengapa sampai memutuskan untuk menyembahnya. Bukankah karena percaya bahwa Nyi Roro Kidul bisa memberi keamanan, memberi rejeki, sebagai pemelihara di laut (mempunyai kekuatan rububiyah). Demikian juga dengan adanya dewa padi, dewa hujan, dewa rejeki/pemberi. Bukankah ini menyatakan mereka percaya ada rob lain. Berarti mereka masih bermasalah/tidak paham dalam pemahaman rububiyah. Jadi kalau orang musyrik hanya percaya satu rob dan mereka lebih paham dari da’i Islam kelihatannya perlu DIKAJI ULANG.”
Apabila yang dimaksud adalah orang-orang musyrik jaman dahulu dan mayoritas musyrikin zaman sekarang, maka jelaslah bagi kita memang seperti itulah kenyataannya. Mereka memahami tauhid rububiyah secara global. Sebagaimana diungkapkan oleh Allah dalam banyak ayat-Nya. Adapun kaum musyrikin jaman sekarang, maka bisa jadi mereka terjerumus dalam penyimpangan dalam hal cabang-cabang tauhid rububiyah. Dan ini juga realita yang tidak kita pungkiri, meskipun hal ini relatif jarang terjadi kecuali pada diri orang yang memang sudah benar-benar rusak fitrahnya.
Lalu Mengapa Orang Musyrik Zaman Sekarang Menyembah Nyi Roro Kidul ?
Bisa jadi karena mereka punya anggapan bahwa Nyi Roro Kidul bisa memberi keamanan, rezeki dll sebagaimana dikatakan oleh penanya. Dan ini merupakan kenyataan. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan bahwa salah satu sebab lebih parahnya kesyirikan masa kini apabila dibandingkan dengan masa silam adalah kesyirikan jaman sekarang sudah melebar ke dalam masalah rububiyah, tidak hanya uluhiyah saja. Berbeda dengan musyrikin jaman dulu yang masih paham tauhid rububiyah. Buktinya ketika mereka terhempas ombak lautan dan khawatir tenggelam mereka pun berdoa hanya kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, “Maka ketika mereka telah naik kapal (dan dihempas ombak lautan) mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan amal. Namun ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan tiba-tiba mereka kembali melakukan kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabut: 65)
Walaupun sebenarnya alasan orang musyrik -secara umum- ketika
menyembah selain Allah adalah karena ingin menjadikan sosok-sosok
tersebut sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
menyampaikan hajat mereka kepada Allah. Sebagaimana telah diungkap
dalam banyak ayat Al Qur’an. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai
penolong/sesembahan, mereka beralasan, ‘Kami tidaklah menyembah mereka melainkan
hanya untuk mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’…” (QS. Az Zumar: 3). Allah juga berfirman yang artinya, “Dan
mereka menyembah selain Allah sesuatu yang jelas tidak bisa memberikan
manfaat dan tidak sanggup menolak mudarat bagi mereka, mereka
beralasan, ‘Mereka itu adalah pemberi
syafa’at bagi kami di sisi Allah…” (QS. Yunus: 18). Dan inilah bentuk kesyirikan kaum musyrikin masa silam dan masa kini yang banyak merebak di masyarakat.
Kesimpulannya, orang-orang musyrik -secara umum- telah memahami tauhid rububiyah secara global yaitu keyakinan bahwa pencipta seluruh alam ini hanya Allah. Dan tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali segelintir manusia, itupun karena keangkuhannya. Walaupun dalam tataran praktis -yaitu perincian tauhid rububiyah- bisa jadi banyak orang yang terjerumus dalam syirik rububiyah. Sebagaimana yang diutarakan oleh penanya tentang fenomena Nyi Roro Kidul tersebut.
Demikianlah sedikit pemaparan yang bisa kami ketengahkan di sini. Sebenarnya masih ada hal-hal lain yang bisa ditambahkan dan disempurnakan, namun karena keterbatasan kami dan juga keterbatasan waktu yang ada maka kami berharap penjelasan ini sudah memadai dan menambah iman dan takwa kita kepada Allah, amin. Allah lah pemberi petunjuk dan pemberi pertolongan. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Dhuha 5 Rajab 1429/ 9 Juli 2008
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Makna dan Kandungan La Ilaha Illallah
Penulis : Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.
KHUTBAH PERTAMA
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَه وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Segala puji kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabb yang
mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta. Kita senantiasa memuji
Allah Subhanahu wa Ta’ala karena keagungan dan kesempurnaan-Nya, serta
karena keadilan hukum-hukum-Nya dan hikmah yang ada di balik
ketentuan-ketentuan-Nya.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita sentiasa menjaga diri kita dari adzab api neraka. Yaitu
dengan menjalankan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Terlebih perintah yang paling besar
yaitu tauhid, dan larangan yang paling besar yaitu berbuat syirik.
Karena pentingnya hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan tauhid
sebagi perintah yang pertama di dalam Al-Qur`an. Yaitu di dalam
firman-Nya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabbmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 21)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengiringkan perintah tauhid ini
dengan larangan yang pertama di dalam Al-Qur`an, yaitu perbuatan
syirik. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya:
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Maka, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 22)
Hadirin jamaah jum’ah rahimakumullah,
Sungguh merupakan pemandangan yang sangat memprihatinkan, ketika kita
dapati ternyata banyak di antara kaum muslimin yang masih melakukan
perbuatan syirik ini. Di antara perbuatan syirik yang dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin adalah menjadikan orang-orang yang sudah
meninggal dunia sebagai perantara dalam meminta kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, sehingga iapun meminta dan berdoa kepadanya. Sebagian mereka
menganggap bahwa perbuatan yang mereka lakukan bukanlah syirik. Karena
mereka menyangka bahwa syirik adalah beribadah kepada patung. Sementara
mereka berdoa kepada orang yang dianggap shalih yang telah meninggal
dunia, dan itupun hanya sebatas menjadikan mereka sebagai perantara.
Tidak meyakini bahwa orang shalih yang telah meninggal tersebut bisa
menghilangkan kesulitan atau mengabulkan apa yang mereka butuhkan.
Bahkan mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah
satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Ketahuilah, bahwa orang-orang kafir di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bukanlah orang-orang yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah satu-satunya pencipta, penguasa, dan pengatur alam
semesta ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang mereka dalam
firman-Nya:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’.”
(Luqman: 25)
Orang-orang musyrikin dahulu, juga bukan orang-orang yang hanya
beribadah pada patung saja. Mereka juga beribadah kepada kuburan
orang-orang yang dianggap shalih. Bahkan perbuatan syirik yang pertama
kali terjadi di muka bumi ini adalah berupa peribadatan kepada orang
shalih yang telah meninggal dunia, sebagaimana yang tersebut dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kalian meninggalkan
sesembahan-sesembahan yang kalian ibadahi dan jangan pula sekali-kali
kalian meninggalkan (sesembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts,
Ya’uq, dan Nasr’.” (Nuh: 23)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwa sahabat Abdullah ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma menerangkan berkaitan dengan ayat tersebut:
“Nama-nama yang disebutkan di dalam ayat tersebut adalah nama-nama
orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika mereka meninggal
dunia, setan membisikkan kepada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam untuk
meletakkan pada majelis-majelis mereka patung/prasasti untuk mengenang
orang shalih tersebut. Dan (setan membisikkan) agar mereka memberi nama
patung-patung tersebut dengan nama-nama orang shalih (yang telah
meninggal) tadi. Merekapun mengikuti bisikan setan tersebut. Pada
awalnya patung-patung tersebut tidak mereka ibadahi. Namun ketika
datang generasi setelah mereka dan juga setelah ilmu dilupakan,
akhirnya patung/prasasti tersebut diibadahi.”
Adapun keyakinan mereka bahwa orang shalih yang telah meninggal dunia
tersebut sekadar dijadikan perantara, tanpa meyakini bahwa mereka bisa
menghilangkan musibah dan yang lainnya, adalah keyakinan yang tidak
berbeda dengan keyakinan orang-orang musyrikin di zaman dahulu. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang mereka di dalam firman-Nya:
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاَءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللهِ
“Dan mereka beribadah kepada selain Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan,
dan mereka berkata: ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada Kami di
sisi Allah’.” (Yunus: 18)
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Dari ayat-ayat tersebut kita mengetahui bahwa perbuatan menjadikan
orang yang telah meninggal dunia sebagai perantara dalam meminta kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah agama orang-orang musyrikin. Bukan
agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan
itu adalah agama Abu Jahl dan Abu Lahab serta orang-orang musyrikin
dahulu. Bahkan bisa jadi, orang-orang musyrikin zaman sekarang lebih
jelek dibandingkan orang-orang musyrikin di zaman dahulu. Karena mereka
meminta pertolongan kepada orang yang meninggal dunia tersebut bukan
hanya ketika dalam keadaan tenang saja. Bahkan ketika ditimpa
musibahpun mereka masih melakukan hal itu. Sementara orang-orang
musyrikin di zaman dahulu, ketika ditimpa bencana mereka meninggalkan
segala yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun ketika
diselamatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari bencana, mereka
kembali berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada
selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam firman-Nya:
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلاَّ
إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ
الْإِنْسَانُ كَفُورًا
“Dan apabila menimpa kalian (orang-orang kafir) suatu bahaya di lautan,
niscaya hilanglah seluruh yang kalian ibadahi kecuali Allah, maka
tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian pun berpaling. Dan
manusia itu adalah banyak mengingkari nikmat Allah.” (Al-Isra`: 67)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Yang sangat mengherankan adalah bahwa perbuatan syirik ini justru
dilakukan oleh orang-orang yang dianggap sebagai tokoh Islam. Akibat
dari perbuatan mereka ini, syirik atau hal-hal yang akan menyeret
kepada perbuatan syirikpun menjadi lebih tersebar di kalangan
masyarakat. Masjid-masjid yang dibangun kuburan di dalamnya tersebar di
mana-mana. Begitu pula kuburan-kuburan yang dikeramatkan dibangun
sedemikian rupa sehingga menyerupai rumah atau bahkan masjid. Hal ini
adalah perkara yang tidak diajarkan oleh Islam, bahkan akan menyeret
pada perbuatan syirik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tersebut dalam
hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, telah
mengingatkan dalam sabdanya:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ؛ يُحَذِّرُ مَا صَنَعُوْا
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat Yahudi dan Nashara, mereka
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat beribadah.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan (umatnya) dari apa yang
mereka lakukan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya juga
memerintahkan agar setiap kuburan yang tingginya melebihi satu jengkal
untuk diratakan, sehingga tingginya tidak lebih dari satu jengkal.
Sebagaimana tersebut dalam hadits:
أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ
وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ
“Maukah engkau aku utus dengan sesuatu yang aku diutus dengannya oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jangan engkau biarkan patung
(makhluk yang bernyawa) kecuali engkau harus menghilangkannya, dan
(jangan engkau biarkan) kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan
(menjadi satu jengkal).” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk hati-hati dan waspada terhadap
orang-orang yang menyampaikan agama ini tanpa ilmu. Janganlah kita
tertipu dengan mereka yang berdalih dalam rangka mencintai orang
shalih. Padahal yang mereka lakukan adalah perkara yang dilarang dalam
Islam, yaitu berlebih-lebihan terhadap orang shalih yang akan menyeret
pada perbuatan syirik. Mudah-mudahan ini bisa menjadi peringatan bagi
kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه أَجْمَعِيْنَ
KHUTBAH KEDUA
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى
الظَّالِمِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Hadirin yang mudah-mudahan dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Marilah kita berusaha untuk senantiasa mempelajari agama Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan mengamalkannya. Karena ilmu adalah cahaya.
Barangsiapa mencarinya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mudahkan
jalannya menuju surga. Sedangkan kebodohan adalah kegelapan yang akan
menyeret seseorang ke dalam kesesatan di dunia dan kesengsaraan di
akhirat.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Ketahuilah, bahwa seseorang tidaklah dikatakan beriman kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan mentauhidkan-Nya. Sementara itu
tidaklah seseorang dikatakan bertauhid kecuali dengan berlepas diri
dari syirik. Sehingga apabila seseorang belum meninggalkan syirik, maka
ibadah dan kebaikan sebanyak apapun yang dilakukannya tidak akan ada
nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sebagaimana yang
disebutkan di dalam firman-Nya:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (yaitu amalan
orang-orang yang tidak beriman), lalu Kami jadikan amal itu bagaikan
debu yang beterbangan.” (Al-Furqan: 23)
Hadirin yang mudah-mudahan dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Ketahuilah bahwa tauhid adalah makna yang terkandung dalam dalam
kalimat Laa ilaaha illallah yang senantiasa kita ucapkan. Sehingga
orang yang telah menyatakan dirinya bersaksi dengan kalimat ini, harus
mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu dengan mengarahkan
seluruh bentuk ibadahnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
harus meninggalkan segala peribadatan kepada selain-Nya. Karena kalau
dia berbuat syirik, maka seluruh ibadah yang dilakukan baik berupa
shalat, puasa, zakat, haji, shadaqah, membaca Al-Qur`an dan yang
lainnya, akan gugur dan tidak ada manfaatnya. Hal ini sebagaimana
terekam dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Tauhid inilah yang tidak diterima oleh orang-orang kafir Quraisy ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu diutus kepada mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan jawaban mereka ketika diperintah
untuk mengucapkannya di dalam firman-Nya:
أَجَعَلَ اْلآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.”
(Shad: 5)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir Quraisy tidak mau
mengucapkannya karena mereka mengetahui makna kalimat ini. Yaitu,
mereka harus meninggalkan segala yang diibadahi selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Hal inilah yang tidak mau mereka terima.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Maka sungguh sangat memprihatinkan, ketika ada seorang muslim yang
tidak mengetahui makna Laa ilaaha illallah. Apa kelebihannya dari kafir
Quraisy, apabila dia mengucapkan kalimat yang agung ini namun tidak
mengetahui maknanya? Maka dari itu, wajib bagi kita semuanya untuk
memahami dan mengamalkan kandungan kalimat Laa ilaaha illallah ini.
Janganlah kita menyangka bahwa kalimat ini cukup dan sudah bermanfaat
dengan hanya diucapkan saja dan tidak perlu dipahami maknanya. Bukankah
dahulu orang-orang munafiq juga mengucapkannya di hadapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Namun di mana akhir keberadaan mereka?
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa mereka nantinya akan
dimasukkan ke dasar api neraka. Nas`alullah as-salamah (Kita memohon
keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari terkena api neraka).
Jamaah jum’ah rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita menjauhi dan berlepas diri dari perbuatan
syirik, sebagai bentuk pengamalan kita dari kalimat yang agung ini.
Begitu pula, marilah kita berusaha menjalankan perintah-perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang lainnya dan menjauhi seluruh larangan-Nya
sehingga kita akan semakin sempurna dalam menjalankan kalimat tauhid
ini.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pertolongan kepada
kita semua agar dijadikan sebagai hamba-hamba-Nya yang bertakwa untuk
kemudian mendapatkan kenikmatan surga yang dijanjikan-Nya. Wallahu
a’lam bish-shawab.
وَالحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=665
Laa Ilaaha Illallaah Makna, Rukun dan Konsekuensinya
Penulis: Abu Abdirrahman.
Jadi, segala sesuatu yang di jadikan sesembahan oleh manusia, baik itu berupa berhala-berhala atau patung-patung, pepohonan, batu-batuan atau kuburan-kuburan yang di keramatkan, jin-jin dan setan, atau orang-orang sholih yang telah mati baik berupa para Nabi atau para Wali, maka itu semua adalah sesembahan yang bhatil (salah).
Sudah selayaknya bagi setiap muslim untuk memahami apa makna (pengertian) kalimat Laa ilaaha illalloh yang benar itu, juga paham rukun-rukunnya dan konsekuensi (tanggung jawab moral) bagi orang yang mengucapkan atau mengikrarkan kalimat tersebut. Insya Allah, uraian ringkas ini memberikan jawaban atas tiga masalah tersebut di atas.
Saudaraku kaum muslimin, bila anda ditanya apa makna kalimat Laa ilaaha illallah itu, maka jawablah dengan tegas “Tidak ada yang berhak di sembah kecuali Allah” atau “ Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah “.
Jadi, segala sesuatu yang di jadikan sesembahan oleh manusia, baik itu berupa berhala-berhala atau patung-patung, pepohonan, batu-batuan atau kuburan-kuburan yang di keramatkan, jin-jin dan setan, atau orang-orang sholih yang telah mati baik berupa para Nabi atau para Wali, maka itu semua adalah sesembahan yang bhatil (salah).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dalam firman Nya :
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah Dia-lah (sesembahan) yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka sembah selain Allah itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Hajj : 62 dan Luqman : 30).
Dan Allah Ta’ala juga berfirman :
“Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada yang berhak di sembah kecuali Allah.” (QS. Muhammad : 19).
Syaikh Sholih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafidhahullah menjelaskan bahwa makna kalimat tersebut secara global adalah “Tidak ada sesembahan yang haq (benar) selain Allah !” Hal ini karena khobar “Laa” dalam kalimat Laa ilaaha illalloh harus di takdirkan dengan “Bi haqqin” (Yang haq), tidak boleh hanya di takdirkan dengan “Maujuudun” (Ada). Karena kalau hanya ditafsirkan dengan “Tidak ada sesembahan lain selain Allah”, hal ini menyalahi kenyataan yang ada, karena kenyataannya justru tuhan-tuhan selain Allah yang di sembah oleh manusia itu banyak sekali. Hal itu juga akan mengandung arti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah beribadah juga untuk Allah, hal ini tentu merupakan kbathilan yang nyata !.
Kemudian, kalimat Laa ilaaha illalloh itu ternyata telah di tafsirkan dengan beberapa penafsiran yang bathil di antaranya :
Pertama : Laa ilaaha illalloh di artikan dengan “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Ini adalah penafsiran yang bathil, karena hal itu mengandung pengertian : Sesungguhnya setiap yang di sembah atau di ibadahi, baik yang haq atau yang bathil, hal itu adalah Allah. Tentu hal ini tidak bisa di terima !
Kedua : Laa ilaaha illalloh di artikan dengan “Tidak ada pencipta selain Allah”. Sesungguhnya ini adalah sebagian saja dari arti kalimat laa ilaaha illalloh tersebut. Akan tetapi bukan ini yang di maksud, karena arti ini hanya mengakui Tauhid Rububiyyah saja, dan hal ini belum cukup.
Ketiga : Laa ilaaha illalloh di artikan dengan “Tidak ada Hakim (Penentu Hukum) selain Allah”. Ini juga sebagian saja dari makna kalimat Laa ilaaha illalloh, tetapi bukan itu yang di maksud, karena makna tersebut belum cukup.
Jadi semua tafsiran tersebut diatas adalah bathil atau kurang sempurna. Sedang tafsir ( penjelasan makna ) yang benar menurut para ulama salaf dan para Muhaqqiq (Ulama peneliti) adalah “Laa Ma’budu bii haqqin illalloh” (Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah atau Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah) Wallahu a’lamu bish showwab.
Kemudian, jika ditanya juga tentang apa Rukun Laa ilaaha illalloh itu ? Maka jawablah dengan tegas : Laa ilaaha illalloh itu mempunyai dua rukun :
Pertama : An-Nafyu (peniadaan / meniadaan), yaitu meniadakan atau meninggalkan seluruh bentuk sesembahan yang di agungkan dan di puja oleh umat manusia selain Allah. Hal ini tercermin dalam lafadz “Laa ilaaha” (Tidak ada sesembahan yang benar),
Kedua : Al-Istbaat (Menetapkan), yaitu menetapkan dengan penuh keyakinan bahwa satu- satunya yang berhak di ibadahi atau di sembah hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hal ini tercermin dalam lafadz “illalloh” (kecuali Allah).
Dua rukun tersebut diatas, banyak di sebut-sebut dalam Al-Qur’an, misalnya firman Allah Ta’ala :
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat. Karena itu barang siapa ingkar kepada thoghut (yakni setan atau apa saja yang di sembah selain Allah, ed) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat (yakni kalimat Laa ilaaha illalloh) yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh : 256).
Dalam ayat tersebut diatas, firman Allah yang berbunyi “Barang siapa ingkar kepada thoghut” ini adalah makna dari “Laa ilaaha”, sebagai rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah “Dan beriman kepada Allah”, ini adalah makna dari “illalloh”, sebagai rukun yang kedua.
Contoh lainnya adalah seperti dalam ucapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang diabadikan dalam firman Allah :
“…….sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kalian sembah, tetapi (aku hanya menyembah) kepada Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia yang memberi hidayah kepadaku.” (QS. Az-Zuhruf : 26-27).
Dalam ayat tersebut, firman Allah yang berbunyi “Sesungguhnya aku berlepas diri”, ini adalah makna An-Nafyu (peniadaan), sebagai rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah “Tetapi (aku hanyalah menyembah) Tuhan yang menjadikanku”, ini adalah makna Al-Istbaat (penetapan), sebagai rukun yang kedua ! Wallahu a’lam.
Kemudian, apa konsekuensi (tanggung jawab moral) bagi orang yang mengucapkan kalimat tersebut ? Jawabannya pasti, yaitu wajib baginya untuk meninggalkan semua bentuk peribadatan kepada selain Allah, dan hanya beribadah secara murni kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyatakan : “Dengan demikian jelaslah, bahwa mengucapkan Laa ilaaha illalloh itu haruslah yakin dengan kewajiban ibadah yang hanya di tujukan kepada Allah Ta’ala saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mengikrarkannya baik secara lisan maupun keyakinan. Disamping keharusan ibadah kepada Allah saja, tunduk dan taat kepada-Nya juga harus baro’ ( berlepas diri ) kepada selain-Nya dalam hal ibadah, ketaatan dan ketundukan…..”
Walhasil, orang yang telah mengikrarkan kalimat Laa ilaaha illalloh, dia adalah orang yang mantap ibadanya kepada Allah, tidak punya keinginan sedikitpun untuk beribadah kepada selain- Nya. Dan orang seperti ini, akan di jamin masuk surganya Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illalloh, lalu mengingkari apa saja yang di sembah selain Allah, maka dia akan masuk surga.” (HR. Muslim, Ahmad dan Thabrani).
Saudaraku muslimin, semoga kita semua di jadikan-Nya termasuk orang-orang yang di sabdakan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadist tersbut diatas.
Wallahu waliyyut taufiq.
Maraji’ :
1. Makna Laa ilaaha illallah, karya syaikh Dr. Sholih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
2. At-tauhid, lish Shoffil Awwal Al-‘Aliyya, karya syaikh Dr. Sholih Fauzan
3. Al-Qoulus Sadid fii Adillatit Tauhid, karya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
4. Al-Qaulul Mufid fii Adillatit Tauhid, karya Syaikh Muhammad bin Abdil Ali Al-Washobi.
[Sumber :BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 10 / Dzulhijjah / 1424]