Muamalah Ribawi dan Bahayanya (1)
Muqaddimah
Muamalah Maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh tangan-tangan manusia sejak jaman klasik, bahkan jaman purbakala. Setiap orang membutuhkan harta yang ada di tangan orang lain. Hal ini membuat manusia berusaha membuat beragam cara pertukaran, bermula dengan kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang disebut barter, berkembang menjadi sebuah sistem jual beli yang kompleks dan multidimensional.
Bagaimana tidak, karena semua pihak yang terlibat berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, dengan karakter dan pola pemikiran yang bermacam-macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik itu pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewaan, yang berhutang dan berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau juru tulis, hingga calo atau broker, kesemuanya adalah majemuk dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang sosial dan pendidikannya yang variatif. Selain itu, transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Sarana atau media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian hari kian canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin konsumtif dan semakin terikat tuntutan jaman yang juga kian berkembang.
Oleh sebab itu, muamalah maliyah yang sangat erat dengan perekonomian islam ini akan tampak urgensinya bila kita melihat salah satu bagiannya yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level menengah ke atas. Seorang yang memasuki dunia perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi, feeling yang kuat dan keterampilan yang matang serta pengetahuan yang komplit terhadap berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen, akuntansi, perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia perniagaan modern, seperti komunikasi, informatika, operasi komputer, dan lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan businessman (orang yang berwirausaha) secara umum.
Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyaratan lebih untuk menjadi bisnisman dan pengelola modal yang berhasil. Karena seorang muslim selalu terikat –selain dengan kode etik ilmu perdagangan secara umum– dengan aturan dan syariat Islam dengan hukum-hukumnya yang komprehensif. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang muslim memasuki dunia bisnis dengan pengetahuan kosong terhadap ajaran syariat, dalam soal jual beli misalnya. Karena yang demikian itu merupakan sasaran empuk ambisi syetan pada diri manusia untuk menjerumuskan seorang muslim dalam kehinaan.
Diantara permasalahan yang sering terjadi dan menimpa kaum muslimin dalam muamalah maliyah adalah permasalahan Riba. Sehingga sudah menjadi kewajiban orang yang masuk dalam muamalah ini untuk mengetahui permasalahan ini dengan baik dan jelas.
Pengharaman Riba
Diharamkannya riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama. Bahkan bisa dikatakan keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam ini.
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari Al-Qur’an
Al-Qur’an telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah; salah satunya adalah Ayat Makkiyyah, sementara tiga lainnya adalah Ayat-ayat Madaniyyah.
Dalam surat Ar-Ruum Allah ta’ala berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena kala riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Hanya saja ini mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum haramnya riba yang terlanjur membudaya kala itu.
Dalam surat An-Nisaa, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا – وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Ayat di atas menjelaskan diharamkannya riba terhadap orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gamblang, untuk kemudian baru diharamkan terhadap kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Al-Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.
Dalam surat Ali Imran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imraan: 130)
Baru kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥)يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦)إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٧)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 275-279)
Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam Al-Qur’an Al-Karim.
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba dari As-Sunnah
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ }
“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. “
Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu bahwa ia menceritakan: Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{ رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا }
“Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kamipun berangkat sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga terpaksa lelaki itu kembali ke dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya: “Apa ini?” Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab: “Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba.”
Ijma’ yang Mengharamkan Riba
Kaum muslimin seluruhnya telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama sekali riba pinjaman atau hutang. Bahkan mereka telah berkonsensus dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama Ahli Fikih seluruh madzhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk aplikasinya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.
Ijma’ akan pengharamannya dinukilkan Ibnu Hazm dalam Maratib Al Ijma’ hal 103, Ibnu Rusyd dalam Al Muqaddimah wal Mumahadah 2/8, Al Mawardi dalam Al Haawi Al Kabir 5/74, An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 9/391, dan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al fatawa 29/419.
Pengharaman Riba tidak terbatas hanya pada syari’at islam bahkan juga ada dalam syari’at agama sebelumnya.
Balasan Pemakan Riba
Imam Al Sarkhosi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba yang ada dalam ayat-ayat ini (Al Baqarah: 275-279) yaitu:
1. Kesurupan, seperti dalam firman Allah ta’ala:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)
2. Dihapus (Barokahnya), seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا
“Allah memusnahkan Riba…” (QS. Al Baqarah: 276)
3. Kufur, bagi yang menghalalkannya. dijelaskan dalam firman-Nya Subhanahu wa ta’ala:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيم
“Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al Baqarah: 276)
4. Kekal di Neraka. Ini ada dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“…orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(QS. Al Baqarah: 275)
5. Allah Ta’ala memerangi pemakan riba. Seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah: 278-279)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Muamalah Ribawi dan Bahayanya (2)
Bahaya dan Implikasi Buruk Riba
Syari’at islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang dari sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat.
Demikian juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia, diantaranya:
1. Berbahaya bagi akhlak dan kejiwaan manusia.
Didapatkan orang yang bermuamalah ribawi adalah orang yang memiliki tabi’at bakhil, sempir, hati yang keras dan menyembah harta serta yang lain-lainnya dari sifat-sifat rendahan.
Bila melihat kepada aturan dan system riba didapatkan hal itu menyelisihi akhlak yang luhur dan menghancurkan karekteristik pembentukan masyarakat islam. System ini mencabut dari hati seseorang perasaan sayang dan rahmat terhadap saudaranya. Lihatlah kreditor (pemilik harta) senantiasa menunggu dan mencari-cari serta berharap kesusahan menimpa orang lain sehingga dapat mengambil hutang darinya. Tentunya hal ini menampakkan kekerasan, tidak adanya rasa sayang dan penyembahan terhadap harta. Hingga tampak sekali Muraabi (pemberi pinjaman ribawi) seakan-akan melepas pakaian kemanusiaannya, sikap persaudaraan dan kerja sama saling tolong menolong.
Riba tidak akan didapatkan pada seorang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan infaq, shodaqah, berbuat baikpun tidak ada pada masyarakat ribawi. Hal ini karena pelaku ribawi (Muraabi) mencari celah kebutuhan manusia dan memakan harta mereka dengan batil. Ini merupakan dosa besar yang telah diperingatkan Allah dan RasulNya.
Diantara dalil adalah ayat-ayat riba selalu didahului atau diikuti dengan ayat-ayat anjuran berinfaq dan shodaqah.
2. bahaya dalam kemasyarakatan dan sosial.
Riba memiliki implikasi buruk terhadap sosial kemasyarakatan, karena masyarakat yang bermuamalah dengan riba tidak akan terjadi adanya saling bantu-membantu dan seandainya adapun karena berharap sesuatu dibaliknya sehingga kalangan orang kaya akan berlawanan dan menganiaya yang tidak punya.
Kemudian dapat menumbuhkan kedengkian dan kebencian di masing-masing individu masyarakat. Demikian juga menjadi sebab tersebarnya kejahatan dan penyakit jiwa. Hal ini disebabkan karena individu masyarakat yang bermuamalah dengan riba bermuamalah dengan sistem menang sendiri dan tidak membantu yang lainnya kecuali dengan imbalan keuntungan tertentu, sehingga kesulitan dan kesempitan orang lain menjadi kesempatan emas dan peluang bagi yang kaya untuk mengembangkan hartanya dan mengambil manfaat sesuai hitungannya. Tentunya ini akan memutus dan menghilangkan persaudaraan dan sifat gotong-royong dan menimbulkan kebencian dan permusuhan diantara mereka.
Seorang dokter ahli penyakit dalam bernama dr. Abdulaziz Ismail dalam kitabnya berjudul Islam wa al-Thib al-Hadits (Islam dan kedokteran modern) menyatakan bahwa Riba adalah sebab dalam banyaknya penyakit jantung. (Al-Riba Wa Mua’malat al-Mashrofiyah hal. 172)
3. Bahaya terhadap perekonomian.
Krisis ekonomi yang menimpa dunia ini bersumber secara umum kepada hutang-hutang riba yang berlipat-lipat pada banyak perusahaan besar dan kecil. Lalu banyak Negara modern mengetahui hal itu sehingga mereka membatasi persentase bunga ribawi. Namun hal itu tidak menghapus bahaya riba.
Sudah dimaklumi bahwa maslahat dunia ini tidak akan teratur dan baik kecuali –setelah izin Allah- dengan perniagaan, keahlian, industri dan pengembangan harta dalam proyek-proyek umum yang bermanfaat, karena dengan demikian harta akan keluar dari pemiliknya dan berputar. Dengan berputarnya harta tersebut maka sejumlah umat ini dapat mengambil manfaat, sehingga terwujudlah kemakmuran. Padahal Muraabi duduk dan tidak melakukan usaha mengembangkan fungsi hartanya untuk kemanfaatan orang lain
Riba juga menjadi sarana kolonial (penjajahan). Telah dimaklumi bahwa perang ekonomi dibangun di atas muamalah riba. Cara pembuka yang efektif untuk penjajahan yang membuat runtuh banyak Negara timur adalah dengan riba. Ketika Pemerintah Negara timur berhutang dengan riba dan membuka pintu bagi para muraabi asing maka tidak lama kemudian dalam hitungan tahun tidak terasa kekayaan mereka telah berpindah dari tangan warga Negaranya ke tangan orang-orang asing tersebut, hingga ketika pemerintah tersebut sadar dan ingin melepas diri dan hartanya, maka orang-orang asing tersebut meminta campur tangan negaranya dengan nama menjaga hak dan kepentingannya. Oleh karena itu pantaslah bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Melihat bahaya dan implikasi buruk riba ini, maka sudah menjadi satu kewajiban bagi kita untuk mengetahui hakikat Riba, agar tidak terjerumus padanya.
Definisi Riba
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian “tambahan atau pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:
فَعَصَوْا رَسُولَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَابِيَةً
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (QS. Al-Haaqqah: 10), yakni siksa yang bertambah terus.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
“kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah…” (QS. Al-Hajj: 5)
2. Pengertian Secara Istilah
Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya:
tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitif
a. Tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhl: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komoditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.
b. Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.
c. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan ulama lain memberikan definisi:
تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْضُ
“Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya”
Ada juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.”
Sedangkan Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu ta’ala mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
“Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at.” (Syarhul Mumti’8/387)
Jenis Riba
Para ulama membagi Riba mejadi 2, yaitu:
1. Riba Jahiliyah atau Riba Al Qard (hutang), yaitu pertambahan dalam hutag sebagai imbalan tempo pembayaran (Ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran (Al Hawafiz Al Taswiqiyah 39). Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)
Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا). Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam:
وَ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
“Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdil mutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus.” (HR Muslim).
Demikianlah Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang tanpa imbalan.(Lihat Majmu’ fatawa 29/419, I’lam Al Muwaqi’in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40)
Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyyah
Pada masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, diantaranya adalah:
Bentuk Pertama: Riba pinjaman
Yakni yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya.”
Misalnya, seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan.” Yakni: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Qatadah menyatakan: “Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah bentuknya sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”
Atha’ menuturkan: “Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani Al-Mughirah pada masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata: “Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya.” Maka turunlah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali Imran: 130)
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I’laamul Muwaqqi’in: “Adapun riba yang jelas adalah riba nasii-ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.” (Lihat I’laamul Muwaqqi’ien oleh Ibnul Qayyim 2/ 135)
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab: “Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia berkata: “Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?” Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Al-Jashash menyatakan: “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.” (Ahkaamul Qur’aan 1/ 465) Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya.” (Ahkaamul Qur’aan 1/ 67)
Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan (kredit bulanan)
Fakhruddin Ar-Razi menyatakan “Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah.” (Tafsir Ar-Raazi 4/ 92)
Ibnu Hajar Al-Haitsami menyatakan: “Riba nasii-ah adalah riba yang populer di masa jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.” (Az-Zawajir ‘aiq Tiraafil Kabaa-ir 1/222)
2. Riba jual beli. Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhl. Komoditi riba fadhl yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.
Riba jual beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhl dan riba nasii-ah.
1. Riba Fadhl
Kata Fadhl dalam bahasa Arab bermakna Tambahan, sedangkan dalam terminologi ulama adalah
الزيادة في أحد الربويين المتحدي الجنس الحالين
(Tambahan pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan).
Atau ada yang mendefinisikan dengan:
Kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhl atau tambahan pada salah satu alat pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya. Seperti menukar 20 gram emas dengan 23 gram emas juga. Sebab kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian juga dengan segala kelebihan yang disertakan dalam jual beli komoditi riba fadhl.
Riba Fadhl ini dilarang dalam syariat islam dengan dasar:
a. Hadits Ubadah bin Shaamit radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ }
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”. (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)
b. Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
{ لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ }
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan bera,t dan jangan menjual yang tidak ada (di tempat transaksi) dengan yang ada.” (HR Al Bukhari)
Sedangkan dalam Shahih Muslim berbunyi:
{ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ }
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya, dan harus diserahterimakan secara langsung. Barang siapa yang menambah atau minta tambahan maka telah berbuat riba, yang mengambil dan memberi hukumnya sama.”
c. Hadits Al Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata:
نَهَي رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melarang jual beli perak dengan emas secara tempo (hutang)”. (HR Al Bukhari).
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam banyak hadits dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan oleh As-Subki dalam Takmiltul Majmu’, yakni sejumlah dua puluh dua hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhl. Ada yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Muamalah Ribawi dan Bahayanya (3)
Hikmah Diharamkannya Riba Fadhl
Hikmah diharamkannya riba fadhl tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.
Kalau satu shaa’ kurma bagus dibeli dengan dua shaa’ kurma jelek, secara logika tidak ada hal yang salah. Lalu di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut?
Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui berbagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa : 65)
Setelah pendahuluan ini, baru kita tegaskan: Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhl ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram. Karena riba fadhl ini seringkali menggiring kepada riba nasii-ah. Bahkan juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat. Karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk suatu saat menjualnya dengan pembayaran tertunda, bersama bunganya.
Itulah yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:
{ لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا شَيْئًا غَائِبًا مِنْهَا بِنَاجِزٍ فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ }
“Janganlah emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, kecuali hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah satu di antaranya, dan jangan kalian menjual yang belum ada dengan yang sudah ada. Karena aku khawatir kalian melakukan rama’. (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya III : 4, dan sanadnya shahih)
Rama’ yaitu riba. Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual beli komoditi riba fadhl secara langsung, padahal kelebihan itu karena kwalitas, kriteria, bentuk dan sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.
Komoditi Ribawi
Para ulama sepakat riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, Asy Sya’ir (gandum), Al Burr (Gandum merah) dan garam. Sehingga tidak boleh menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama berat dan kontan (cash) di majelis akad transaksi.
Namun mereka berselisih apakah di sana ada illat (sebab pelarangan) yang menjadikannya menjadi komoditi ribawi atau tidak ada? Dalam dua pendapat:
Pertama: Riba tidak berlaku pada selain enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan selainnya. Inilah pendapat madzhab Azh Zhahiriyah.
Kedua: Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi sehingga dapat dianalogikan selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.
Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syari’at secara umum tidak mungkin membedakan antara yang serupa.
Mayoritas Ahli Fikih menyetarakan dengan enam komoditi itu segala komoditi yang sama fungsinya (ilaat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan ilaah ribawi pada komoditi tersebut.
Ilaat Ribawi pada emas dan perak
Yang rojih dari pendapat para ulama tentang illat ribawi dalam emas dan perak adalah bernilainya (Ats Tsamaniyah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pengertian ats-Tsamaniyah dengan menyatakan: Yang dimaksud di sini adalah pembicaraan tentang illat ribawi pada dinar dan dirham. Yang rojih illatnya adalah ats-Tsamaniyah bukan timbangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama –sehingga beliau menyatakan- : penentuan illat (ta’liel) dengan ats-Tsamaniyah adalah ta’liel dengan sifat yang pas, karena maksud dari al-Atsmaan adalah untuk dijadikan standar ukuran harta benda yang mengantar kepada pengenalan ukuran harta benda bukan untuk dimanfaatkan jenisnya.
Ilaat Ribawi pada selain emas dan perak
Sedangkan pada selain emas dan perak maka illat ribawi adalah makanan pokok yang dapat disimpan (Muddakhor), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama.(Al Fiqih Al Muyassar –Qismul Muamalat -78) Sehingga yang menjadi standar adalah keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi riba fadhl, dan diberlakukan segala hukum yang berkaitan dengannya.
Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan kedua kriteria ini padanya.
Kedua: Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual beli mereka, maka hal itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.
Inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar ilaat ribawi pada enam komoditi tersebut, beliau menyatakan: “Inilah pendapat yang paling rajih dari selainnya.” (Majmu’ Fatawa 29/470-471, lihat juga Taisir Al Fiqhi Al Jaami‘ Lil Ikhtiyaraat Al Fiqhiyah Lisyeikhil Islam Ibnu Taimiyah, Ahmad Muwafi, 2/1022-1025)
Dengan demikian menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:
1. Barang yang dibarter (ditukar menukarkan) keduanya dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Maka disyaratkan dua syarat:
- sama dalam kuantitas, inilah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam :
- Pembayaran cash (kontan) di majelis akad. Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:
{ مِثلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ }
{ يَداً بِيَدٍ }
Ini berlaku juga pada jual beli emas dan perak dengan sejenisnya, sebagaimana ditunjukkan hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
{ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ }
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
إذا بيع ربوي بجِنْسِهِ وَجَبَ التَّمَاثُلُ وَالتَّقَابُضُ
2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum, garam dengan gandum, -keduanya berbeda jenis namun satu ilaat-nya yaitu makanan pokok dan ditakar- atau emas dengan perak -keduanya berbeda jenis, namun satu ilaat-nya yaitu bernilai tukar (Ats Tsamniyah). Maka diwajibkan padanya pembayaran cash (kontan) di majelis akad dan tidak disyaratkan kesamaan kuantitas. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan:
{ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ }
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga..” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254)
Dengan demikian bila berbeda jenisnya, namun satu ilaat ribawinya, maka hanya diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad. Inilah yang dikenal dalam kaidah riba Fadhl:
وَبِغَيْرِ جِنْسِهِ وَجَبَ التَّقَابُضُ فَقَطْ
Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan ilaat-nya, seperti emas dengan gandum atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan ilaat-nya maka tidak diwajibkan kesamaan kuantitas dan pembayaran tunai (cash). Inilah yang dimaksud kaidah:
وَإِذَا اخْتَلَفَتْ العِلَلُ لَمْ يَجِبْ شَيْءٌ
2. Riba Nasii-ah ( ربا النسيئة )
Definisi Riba Nasii-ah
Nasii-ah dalam etimologi bahasa Arab bermakna Pengakhiran. Sedangkan dalam pengertian etimologi ahli fikih adalah pengakhiran serah terima pada salah satu komoditi ribawi yang satu illaat-nya pada riba fadhl (تأخير القبض في أحد الربويين المتحدين في علة ربا الفضل ) atau penerimaan salah satu dari barang yang dibarter atau dijual secara tertunda dalam jual beli komoditi riba fadhl. Kalau salah satu komoditi riba fadhl dijual dengan barang riba fadhl lain, seperti emas dijual dengan perak atau sebaliknya, atau satu mata uang dijual dengan mata uang lain, dibolehkan adanya ketidaksamaan, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Perhatian !
Nash-nash pengharaman riba mencakup semua jenis riba yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, jelaslah keberadaan riba dalam muamalah menjadi sebab pengharamannya dan larangannya secara syar’i. Namun menghukumi banyak keadaan sebagai muamalah ribawi atau bukan butuh penelitian dan kehati-hatian. Ibnu katsir rahimahullah memberikan peringatan dalam hal ini:
“Bab (pembahasan) Riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/327)
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imron Ayat 130: Riba Jahiliah
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.
Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.
Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)
Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.
Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.
Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”
Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ’sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
***
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Riba dan Dampaknya (1)
Muqaddimah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memperingatkan umatnya akan fitnah harta yang akan menimpa mereka. Bukanlah kefakiran yang beliau takutkan, namun sebaliknya beliau justru khawatir jika fitnah harta duniawi menimpa umatnya sehingga melalaikan mereka dari urusan akhirat.
Tengoklah peringatan beliau tatkala mengucapkan,
ليأتين على الناس زمان لا يبالي المرء بما أخذ المال أمِن الحلال أم مِنَ الحرام
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli darimana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari -Al Fath 4/296 nomor 2059; 4/313 nomor 2083)
Ibnu At Tiin mengatakan, “Sabda beliau ini merupakan peringatan terhadap fitnah harta sekaligus salah satu bukti kenabian beliau, karena memberitakan sesuatu yang tidak terjadi di masa beliau. Segi celaan dari hadits ini adalah penyamaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap dua perkara (yaitu perkara halal dan haram -pen), jika tidak demikian, tentunya memperoleh harta dari jalan yang halal tidaklah tercela. Wallahu a’lam.” (Fathul Baari 6/362)
Kenyataan pun membenarkan apa yang beliau sabdakan di atas, bukankah tidak sedikit kaum muslimin yang terfitnah dengan harta sehingga melegalkan segala cara demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang mereka inginkan. Salah satu bukti adalah maraknya praktek ribawi yang dilakukan oleh komunitas muslim, lagi-lagi alasannya berujung pangkal pada ketamakan terhadap dunia.
Permasalahan riba inilah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Hal ini mengingat betapa pentingnya masalah ini. Kaum muslimin perlu mengetahui hakikat riba serta keburukan yang terkandung di dalamnya sehingga dapat membentengi dan tidak menjerumuskan diri ke dalam berbagai transaksi ribawi. Risalah ini juga merupakan penjelasan dan peringatan bagi mereka yang telah bergelut dan pernah berinteraksi dengan riba agar segera menyadari kesalahannya, bertaubat dan “mencuci tangan” dari transaksi ribawi.
Definisi Riba
Secara etimologi riba berarti tambahan, baik yang terdapat pada sesuatu atau tambahan tersebut sebagai ganti terhadap sesuatu tersebut, seperti menukar satu dirham dengan dua dirham. Lafadz ini juga digunakan atas segala bentuk jual beli yang diharamkan (Syarh An Nawawi ‘alaa Shahih Muslim 11/8, Fathul Baari 4/312)
Adapun secara terminologi, riba berarti adanya tambahan dalam suatu barang yang khusus dan istilah ini digunakan pada dua bentuk riba, yaitu riba fadl dan riba nasiah (Lihat Al Mughni 6/52, Fathul Qadir 1/294; dinukil dari Ar Ribaa Adraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah). Al Ustadz Aunur Rofiq Ghufron mengatakan, “Maksud tambahan secara khusus,ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.” (Majalah As Sunnah edisi 3 tahun VII)
Dalil-dalil yang Mengharamkan Riba
Riba haram berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Bahkan seluruh agama samawi selain Islam pun mengharamkannya.
Disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama, “Jika engkau meminjamkan harta kepada salah seorang dari kalangan bangsaku, janganlah engkau bersikap seperti rentenir dan janganlah engkau mengambil keuntungan dari piutangmu.” (Safarul Khuruj pasal 22 ayat 25; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/130)
Masih dalam kitab yang sama disebutkan, “Apabila saudara kalian sedang kesulitan, maka bantulah ia. Janganlah dirimu mengambil keuntungan dan manfaat darinya.” (Safarul Khuruj pasal 25 ayat 35; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/130)
Dalam Perjanjian Baru disebutkan, “Jika kalian memberikan pinjaman kepada orang yang kalian harapkan imbalan darinya, maka keutamaan apakah yang akan kalian peroleh? Lakukanlah kebajikan dan berilah pinjaman tanpa mengharapkan adanya imbalan sehingga kalian memperoleh pahala yang besar.” (Injil Lukas pasal 6 ayat 34-35; dinukil dari Fiqhus Sunnah 3/131)
Bahkan para ahli agama mereka telah sepakat akan keharaman riba,
Sakubar mengatakan, “Sesungguhnya orang yang mengatakan riba tidak termasuk kemaksiatan, maka dia termasuk kafir dan keluar dari agama.”
Di kesempatan lain Pastur Buni mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan transaksi ribawi tidak memiliki kehormatan di dunia dan mereka tidak layak dikafani ketika mereka mati.” (Fiqhus Sunnah 3/131-132)
Demikianlah perkataan kaum kuffar yang menyatakan akan keharaman riba.
Adapun islam, maka agama yang mulia ini melarangnya dengan berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas.
Dalil dari al-Qur’an, Allah ta’ala berfirman,
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah telah mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Dalil dari As-Sunnah:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba dan dua orang saksinya. Kedudukan mereka itu semuanya sama.” (HR. Muslim nomor 2995)
Kaum muslimin pun telah sepakat untuk mengharamkannya dan meyakini bahwa hal tersebut termasuk dosa besar.
Di sisi lain, riba merupakan salah satu bentuk kezhaliman sedangkan keadilan yang terkandung dalam syari’at yang adil tentunya mengharamkan kezhaliman (Taudhihul Ahkam 4/367)
Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana bisa transaksi ribawi dikatakan sebagai bentuk kezhaliman padahal mereka yang berhutang, ridha terhadap bentuk muamalah ini?”
Maka jawabannya adalah sebagai berikut:
Pertama, sesungguhnya bentuk kezhaliman dalam bentuk muamalah ribawi sangat nyata, yaitu mengambil harta milik orang lain secara batil. (Karena) sesungguhnya kewajiban bagi orang yang menghutangi adalah memberikan kelonggaran dan tambahan waktu bagi pihak yang berhutang tatkala kesulitan untuk melunasi hutangnya (sebagaimana firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 280-pen). Apabila terdapat tambahan dalam transaksi tersebut lalu diambil, maka hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan mengambil harta orang lain tanpa hak. Yang patut diperhatikan pula, bahwa seluruh hamba di bawah aturan yang telah ditetapkan Allah, mereka tidak boleh ridha terhadap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah. Oleh karenanya, ridha dari pihak yang berhutang terhadap transaksi ribawi tidak dapat dijadikan alasan untuk melegalkan praktek ribawi.
Kedua, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya pihak yang berhutang tidak ridla terhadap transaksi tersebut sehingga statusnya layaknya orang yang tengah dipaksa, karena dirinya takut kepada pihak yang menghutangi apabila tidak menuruti dan mengikuti bentuk mu’amalah ini, mereka akan memenjarakan dan melukai dirinya atau menghalanginya dari bentuk mu’amalah yang lain. Maka secara lisan (dirinya) menyatakan ridla, namun sebenarnya dirinya tidaklah ridla, karena seorang yang berakal tentunya tidak akan ridla hutangnya dinaikkan tanpa ada manfaat yang dia peroleh (Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 10 dengan beberapa penyesuaian)
Dampak Negatif Riba
Selayaknya bagi seorang muslim untuk taat dan patuh tatkala Allah dan rasul-Nya melarang manusia dari sesuatu. Bukanlah sifat seorang muslim, tatkala berhadapan dengan larangan Rabb-nya atau rasul-Nya dirinya malah berpaling dan memilih untuk menuruti apa yang diinginkan oleh nafsunya.
Tidak diragukan lagi bahwasanya riba memiliki bahaya yang sangat besar dan dampak yang sangat merugikan sekaligus sulit untuk dilenyapkan. Tentunya tatkala Islam memerintahkan umatnya untuk menjauhi riba pastilah disana terkandung suatu hikmah, sebab dinul Islam tidaklah memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu melainkan disana terkandung sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, bila syari’at ini melarang akan sesuatu, tentulah sesuatu tersebut mengandung kerusakan dan berbagai keburukan yang dapat menghantarkan manusia kepada kerugian di dunia dan akhirat.
Dalam permasalahan riba ini pun tidak jauh berbeda, cukuplah nash-nash yang telah lewat menggambarkan keburukan riba. Namun, tatkala kesadaran mulai melemah dan rendahnya keinginan untuk merenungi nash-nash syar’i telah menyebar di kalangan kaum muslimin, perlu kiranya menjelaskan berbagai keburukan dan dampak negatif yang dihasilkan oleh berbagai transaksi ribawi.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Riba dan Dampaknya (2)
Berikut ini diantara dampak negatif riba yang kami sarikan dari Ar Riba Adlraruhu wa Atsaruhu fii Dlauil Kitabi was Sunnah karya Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthani.
a. Dampak Negatif Bagi Individu
- Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan, maka kita akan menemukan bahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah individu yang secara alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.
- Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi. Allah ta’ala berfirman:
- Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang melakukannya, maka sungguh dia telah menyamakan dirinya dengan mereka.
- Pelaku (baca: pemakan) riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman:
- Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 161)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
- “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279). Maka keuntungan apakah yang akan diraih bagi mereka yang telah mengikrarkan dirinya sebagai musuh Allah dan akankah mereka meraih kemenangan jika yang mereka hadapi adalah Allah dan rasul-Nya?!
- Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa dalam diri pelakunya. Hal ini menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ . وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
- “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imran: 130-132)
- Memakan riba menyebabkan pelakunya mendapat laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah. Rasulullah pun melaknat pemakan riba, yang memberi riba, juru tulisnya dan kedua saksinya, beliau berkata, “Mereka semua sama saja.” (HR. Muslim: 2995)
- Setelah meninggal, pemakan riba akan di adzab dengan berenang di sungai darah sembari mulutnya dilempari dengan bebatuan sehingga dirinya tidak mampu untuk keluar dari sungai tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan dalah hadits Samurah radliallahu ‘anhu (HR. Bukhari 3/11 nomor 2085)
- Memakan riba merupakan salah satu perbuatan yang dapat menghantarkan kepada kebinasaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Apa sajakah perkara tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik, sihir, membunuh jiwa yan diharamkan Allah kecuali dengan cara yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan pertempuran dan menuduh wanita mukminah berzina.” (HR. Bukhari nomor 2615, Muslim nomor 89)
- Riba merupakan perbuatan maksiat kepada Allah dan rasul-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
- “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nuur: 63)
- Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An Nisaa: 14)
- “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzaab: 36)
- “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka Sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jin: 23)
- Pemakan riba diancam dengan neraka jika tidak bertaubat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
- padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)
- Allah tidak akan menerima sedekah yang diperoleh dari riba, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim 2/3 nomor 1014)
- Do’a seorang pemakan riba tidak akan terkabul. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa ada seorang yang bersafar kemudian menengadahkan tangannya ke langit seraya berdo’a, “Ya Rabbi, ya Rabbi!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang yang haram. Maka bagaimana bisa do’anya akan dikabulkan?! (HR. Muslim nomor 1014)
- Memakan riba menyebabkan hati membatu dan memasukkan “ar raan” ke dalam hati. Allah ta’ala berfirman,
- “Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 14)
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam jasad terdapat sepotong daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh badan. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh badan. Ketahuilah sepotong daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari 1/19 nomor 52, Muslim nomor 1599)
- Memakan riba adalah bentuk kezhaliman dan kezhaliman merupakan kegelapan di hari kiamat. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الأبْصَارُ . مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُءُوسِهِمْ لا يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاءٌ
- “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mangangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.” (QS. Ibrahim: 42-43)
- Pelaku riba biasanya jarang melakukan berbagai kebajikan, karena dirinya tidak memberikan pinjaman dengan cara yang baik, tidak memperhatikan orang yang kesulitan, tidak pula meringankan kesulitannya bahkan dirinya mempersulit dengan pemberian pinjaman yang disertai tambahan bunga. Padahal Allah telah menerangkan keutamaan seorang yang meringankan kesulitan seorang mukmin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa meringankan satu kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitannya di dunia , maka Allah akan meringankan kesulitan dari berbagai kesulitan yang akan dihadapinya pada hari kiamat kelak. Barangsiapa yang memeri keringanan bagi orang yang kesulitan, maka Allah akan memberi keringanan baginya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menyembunyikan aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat.” (HR. Muslim nomor 2699)
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa memperhatikan orang yang ditimpa kesulitan dan menghilangkannya, maka Allah akan menaunginya dalam naungan-Nya.” (HR. Muslim nomor 3006)
- Riba melunturkan rasa simpati dan kasih sayang dari diri seseorang. Karena seorang rentenir tidak akan ragu untuk mengambil seluruh harta orang yang berhutang kepadanya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
- “Tidaklah sifat kasih sayang itu diangkat kecuali dari seorang yang celaka.” (HR. Abu Dawud nomor 4942, Tirmidzi nomor 1923 dan hadits ini dishahihkan oleh al ‘Allamah Al Albani dalam Shahih Tirmidzi, 2/180)
- Rasulullah juga bersabda, “Allah tidak akan menyayangi seseorang yang tidak sayang kepada sesama manusia.” (HR. Bukhari nomor 7376, Muslim nomor 2319)
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang yang memiliki sifat kasih sayang akan disayangi oleh Ar-Rahman. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud nomor 1941, Tirmidzi nomor 924 dan hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/180)
لا تنزع الرحمة إلا من شقي
b. Dampak Negatif Bagi Masyarakat dan Perekonomian
- Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar individu dan masyarakat serta menumbuhkembangkan fitnah dan terputusnya jalinan persaudaraan.
- Masyarakat yang berinteraksi dengan riba adalah masyarakat yang miskin, tidak memiliki rasa simpatik. Mereka tidak akan saling tolong menolong dan membantu sesama manusia kecuali ada keinginan tertentu yang tersembunyi di balik bantuan yang mereka berikan. Masyarakat seperti ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan ketenangan. Bahkan kekacauan dan kesenjangan akan senantiasa terjadi di setiap saat.
- Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan).
- Riba mengakibatkan harta kaum muslimin berada dalam genggaman musuh dan hal ini salah satu musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin. Karena, mereka telah menitipkan sebagian besar harta mereka kepada bank-bank ribawi yang terletak di berbagai negara kafir. Hal ini akan melunturkan dan menghilangkan sifat ulet dan kerajinan dari kaum muslimin serta membantu kaum kuffar atau pelaku riba dalam melemahkan kaum muslimin dan mengambil manfaat dari harta mereka.
- Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
- Riba merupakan perantara untuk menjajah negeri Islam, oleh karenanya terdapat pepatah,
- Memakan riba merupakan sebab yang akan menghalangi suatu masyarakat dari berbagai kebaikan. Allah ta’ala berfirman,
- Maraknya praktek riba sekaligus menunjukkan rendahnya rasa simpatik antara sesama muslim, sehingga seorang muslim yang sedang kesulitan dan membutuhkan lebih “rela” pergi ke lembaga keuangan ribawi karena sulit menemukan saudara seiman yang dapat membantunya.
- Maraknya praktek riba juga menunjukkan semakin tingginya gaya hidup konsumtif dan kapitalis di kalangan kaum muslimin, mengingat tidak sedikit kaum muslimin yang terjerat dengan hutang ribawi disebabkan menuruti hawa nafsu mereka untuk mendapatkan kebutuhan yang tidak mendesak.
إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim 2/37, beliau menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini dalam Ghayatul Maram fii Takhrij Ahaditsil Halal wal Haram hal. 203 nomor 344)
الاستعمار يسير وراء تاجر أو قسيس
“Penjajahan itu senantiasa berjalan mengikuti para pedagang dan tukang fitnah.”
Kita pun telah mengetahui bagaimana riba dan dampak yang ditimbulkannya telah merajalela dan menguasai berbagai negeri kaum muslimin.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا . وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang lain dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 160-161)
Tinggalkan Riba!
Setelah memperhatikan berbagai dalil yang mengharamkan riba dan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan olehnya, selayaknya kaum muslimin untuk menjauhi dan segera meninggalkan transaksi yang mempraktekkan riba. Bukankah keselamatan dan kesuksesan akan diperoleh ketika menaati Allah dan rasul-Nya. Ketahuilah tolok ukur kesuksesan bukan terletak pada kekayaan! Anggapan yang keliru semacam inilah yang mendorong manusia melakukan berbagai macam penyimpangan dalam agama demi mendapatkan kekayaan, walau itu diperoleh dengan praktek ribawi misalnya.
Bukankah telah cukup laknat Allah dan rasul-Nya sebagai peringatan bagi kaum muslimin? Tentu akal yang sehat dan fitrah yang lurus akan menggiring pemiliknya untuk menjauhi dan meninggalkan transaksi ribawi. Suatu keanehan jika ternyata di antara kaum muslimin yang mengetahui keharaman dan keburukan riba kemudian nekat menjerumuskan diri ke dalamnya demi memperoleh bagian dunia yang sedikit, renungilah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشدُّ من ستٍّ وثلاثين زنية
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dan buruk dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad 5/225. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih berdasarkan syarat syaikhain.” Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 2/29 nomor 1033. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata dalam catatan kaki Syarhus Sunnah karya Al Baghawi 2/55, “Shahihul Isnad.”
Demikianlah apa yang bisa kami hadirkan pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat bagi kami pribadi dan kaum muslimin. Semoga Allah ‘azza wa jalla menolong kaum muslimin untuk terlepas dari jeratan riba dan beralih kepada bentuk-bentuk muamalah yang sesuai dengan syariat. Amin. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beliau, para sahabat dan mereka yang berjalan di atas sunnahnya.
-bagian terakhir dari 2 tulisan-
***
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id