Syari'at Islam menjadikan al-khulu` (gugatan cerai ) sebagai satu alternatif penyelesaian konflik rumah tangga jika konflik itu tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik. Lalu bagaimanakah status al-khulu` bila telah ditetapkan? Cerai ataukah faskh (pembatalan akad nikah).
Dalam masalah ini, para ulama berselisih pendapat dalam tiga pandangan. Pendapat pertama menyatakan, al-khulu' adalah thalak bain, dan ini merupakan pendapat madzhab Abu Hanifah, Maalik dan Syafi'i dalam qaul jadid. Pendapat kedua menyatakan, al-khulu' adalah thalak raj'i, dan inilah pandapat Ibnu Hazm. Pendapat ketiga menyatakan, al-khulu'`adalah faskh (penghapusan akad nikah) dan bukan thalak. Pendapat ketiga ini merupakan pandapat Ibnu 'Abbâs, asy-Syâfi'i , Ishâq bin Rahuyah dan Dawud azh-Zhahiri.[1] Begitu pula zhahir madzhab Ahmad bin Hambal dan mayoritas ahli fiqih yang muhadits (Fuqahâ' al-Hadits).
Menurut Syaikhul-Islam, beliau rahimahullah menyatakan: "Masalah ini, terdapat perbedaan pendapat yang masyhur antara salaf dan khalaf. Zhahir madzhab Ahmad dan para sahabatnya menyatakan (al-khulu`) adalah faskh nikah dan bukan thalak yang tiga. Seandainya suami melakukan khulu` sepuluh kali pun, ia masih boleh menikahinya dengan akad nikah baru sebelum menikah dengan selainnya. Ini merupakan salah satu pendapat asy-Syâfi'i, dan mayoritas fuqahâ ahli hadits, seperti Ishâq bin Râhuyah, Abu Tsaur, Dawud, Ibnul-Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan yang benar dari pendapat Ibnu 'Abbas dan sahabat-sahabat beliau seperti Thaawûs dan 'Ikrimah.[2]
Pandapat yang râjih (kuat) ialah pendapat ketiga, dengan dalil sebagai berikut.
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khwatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim. Kemudian jika si suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Qs al-Baqarah/2:229-230).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan thalak dua kali, kemudian menyebutkan al-khulu` kemudian diakhiri dengan firman-Nya:
Seandainya al-khulu` adalah thalak, maka jumlah thalaknya menjadi empat, dan thalak yang tidak halal lagi kecuali menikah dengan suami yang lain adalah yang keempat.[3]
Demikianlah yang difahami Ibnu 'Abbas dari ayat di atas. Beliau pernah ditanya tentang seseorang yang menthalak istrinya dua kali kemudian sang istri melakukan gugatan cerai (al-khulu`), apakah ia boleh menikahinya lagi?
Beliau menjawab: "Allah l telah menyebutkan thalak di awal ayat dan di akhirnya, dan al-khulu` di antara keduanya. Sehingga al-khulu` bukanlah thalak. (Oleh karena itu), ia boleh menikahinya." Diriwayatkan oleh 'Abdur-Razaq dalam al-Mushannaf (6/487), dan Sa'id bin Manshûr (1455) dengan sanad shahîh.[4]
2. Hadits ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz yang berbunyi:
أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ
Beliau melakukan al-khulu` pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya, atau ia diperintahkan untuk menunggu satu kali haidh. (HR at-Tirmidzi dan dishahîhkan Syaikh al-Albaani dalam at-Ta'liqât ar-Radhiyah 'ala ar-Raudhah an-Nadiyah, 2/275). Seandainya al-khulu` adalah thalak, tentu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak cukup memerintahkannya untuk menunggu selama satu hadih.
3. Pernyataan Ibnu 'Abbas:
مَا أَجَازَهُ الْمَالُ فَلَيْسَ بِطَلاَقٍ
Semua yang harta menghalalkannya, maka ia bukan thalak. (Diriwayatkan oleh 'Abdur-Razaq dalam al-Mushannaf, no. 11767).[5]
4. Hal ini sesuai tuntutan kaidah syari'at. Karena iddah (masa menunggu wanita yang dithalak) dijadikan tiga kali haidh agar panjang masa tenggang untuk rujuk. Lalu memungkinkan bagi suami secara perlahan-lahan untuk berfikir dan memungkinkannya untuk rujuk dalam masa tenggang iddah tersebut. Apabila tidak ada pada al-khulu` bolehnya rujuk, maka maksudnya ialah sekedar untuk memastikan rahim tidak hamil, dan itu cukup dengan sekali haidh saja, seperti al-istibra`. [6]
5. Asy-Syaukâni membawakan keterangan Ibnul-Qayyim yang menyatakan, bahwa yang menunjukkan al-khulu` itu bukan thalak, adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan tiga hukum setelah thalak yang tidak ada dalam al-khulu`. Ketiga hukum yang dimaksud ialah:
a. Suami lebih berhak diterima rujuknya.
b. Dihitung tiga kali, sehingga tidak halal setelah sempurna bilangan tersebut hingga menikah dengan suami baru dan berhubungan suami istri dengannya.
c. Iddahnya tiga quru` (haidh).
Padahal telah ditetapkan dengan nash dan Ijma', bahwa tidak ada rujuk dalam al-khulu`.[7]
Pendapat ini dirâjihkan oleh Ibnu Taimiyyah,[8] Ibnul-Qayyim,[9] asy-Syaukâni,[10] Syaikh Muhammad bin Ibraahiim,[11] dan Syaikh 'Abdur-Rahman as-Sa'di,[12] serta Syaikh al-Albâni.[13]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Pendapat yang telah kami jelaskan, bahwasanya al-khulu` merupakan faskh yang memisahkan wanita dari suaminya dengan lafazh apa saja adalah shahîh, sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash dan ushul. Oleh karena itu, seandainya seorang lelaki memisahkan istrinya dengan tebusan (al-khulu`) beberapa kali, maka ia masih boleh menikahinya, baik dengan lafazh thalak maupun selainnya".[14]
Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nâshir as-Sa'di mengatakan: "Yang shahîh, bahwsanya al-khulu` tidak terhitung sebagai thalak, walaupun dengan lafazh thalak dan dengan niat. Karena Allah menjadikan tebusan bukan thalak, dan itu umum; baik dengan lafazh thalak secara khusus maupun dengan lafazh lainnya, dan juga karena yang dilihat adalah maksud dan kandungannya, bukan lafazh dan susunan katanya".[15]
Sedangkan Syaikh al-Albani menyatakan: "Yang benar adalah fasakh sebagaimana telah dijelaskan dan disampaikan argumentasinya oleh Syaikhul-Islam dalam al-Fatâwâ".[16]
HASIL DAN KONSEKWENSI AL-KHULU`
Masalah al-khulu` adalah faskh dan bukan thalak, sehingga akan memberikan beberapa hukum sebagai konsekwensinya. Di antaranya:
1. Tidak dianggap dalam hitungan thalak yang tiga. Sehingga, seandainya seorang mengkhulu` setelah melakukan dua kali thalak, maka ia masih diperbolehkan menikahi istrinya tersebut, walaupun al-khulu'nya terjadi lebih dari satu kali. Sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul-Islam di atas.
2. Iddah, atau masa menunggunya hanya sekali haidh, dengan dasar hadits ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz sebagaimana telah disampaikan di atas. Dikuatkan dengan hadits Ibnu 'Abbas yang berbunyi:
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِدَّتَهَا حَيْضَةً
Sesungguhnya istri Tsâbit bin Qais meminta thalak (al-khulu`) darinya, lalu Nabi n menetapkan iddahnya sekali haidh. (HR Abu Dawud, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Abu Dawud, no. 2229).
Inilah pendapat 'Utsman bin 'Affân, Ibnu 'Umar, Ibnu 'Abbas, Ishâq, Ibnul-Mundzir dan riwayat dari Ahmad bin Hambal. Inilah yang dirâjihkan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.[17]
3. Al-khulu` diperbolehkan setiap waktu, walaupun dalam keadaan haidh atau suci yang telah digauli, karena al-khulu` disyari'atkan untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa wanita, karena faktor tidak baiknya pergaulan sang suami, atau tinggal bersama orang yang dibenci dan tidak disukainya. Oleh karena itu, Nabi n tidak menanyakan keadaan wanita yang melakukan al-khulu`.
Demikianlah, beberapa hukum berkenaan dengan al-khulu` sebagai pelengkap pambahasan edisi sebelumnya. Mudah-mudahan bermanfaat.
Maraaji`:
1. Al-Adillah ar-Radhiyah li matni ad-Durar al-Bahiyyah fî Masâil al-Fiqhiyah, Muhammad asy-Syaukâni, Ditulis Oleh: Muhammad Shubhi Hallâf, Dâr al-Fikr, Beirut, Cetakan Tahun 1423 H.
2. Al-Mukhârât al-Jaliyyah min al-Masâ`il al-Fiqhiyyah, Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa'di, diterbitkan bersama kumpulan karya beliau dalam al-Majmu'ah al-Kâmilah li Mu'allafât asy-Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nâshir as-Sa'di, Markaz Shâlih bin Shâlih ats-Tsaqâfi, 'Unaizah, KSA, Cetakan Kedua, Tahun 1412H.
3. At-Ta'liqât ar-Radhiyah 'ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, Tahqîq: Ali Hasan al-Halabi, Dâr Ibnu 'Affân, Mesir, Cetakan Pertama, Tahun 1420H.
4. Nailul-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ` al-Akhbâr, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Tahqîq: Muhammad Sâlim Hâsyim, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
5. Shahîh Fiqih Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin Sayyid Sâlim, al-Maktabah al-Tauqifiyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun.
6. Taudhihul-Ahkâm min Bulughul-Marâm, Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur-Rahman al-Basâm, Maktabah al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H.
7. Zâdul-Ma'ad fî Hadyi Khairil-'Ibâd, Ibnul-Qayyim, Tahqîq: Syu'aib al-Arnâuth, Muassasah al-Risâlah, Beirut, Cetakan Ketiga, Tahun 1421 H.
[1] Taudhihul-Ahkâm min Bulughul-Marâm, 3/344-345.
[2] Majmu' Fatâwâ, 23/289.
[3] At-Ta'liqât ar-Radhiyah 'ala ar-Raudhah an-Nadiyah Shidiq Hasan Khan (2/275), Taudhihul-Ahkâm (5/473), dan Shahîh Fiqih Sunnah (3/3345).
[4] Dinukil dari Shahîh Fiqih Sunnah, 3/346.
[5] Ibid.
[6] Zâdul-Ma'ad fî Hadyi Khairil-'Ibâd, 5/179.
[7] Nailul-Authar min Ahadits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ` al-Akhbâr, 6/263.
[8] Majmu' al-Fatâwâ`, 23/289.
[9] Zâdul-Ma'ad, 5/179.
[10] Al-Adillah ar-Radhiyah li matni ad-Durar al-Bahiyyah fî Masâil al-Fiqhiyah, hlm. 129.
[11] Taudhîhul-Ahkâm, 5/473.
[12] Al-Mukhârât al-Jaliyyah min al-Masâ`il al-Fiqhiyyah, 2/173.
[13] At-Ta'liqât ar-Radhiyah 'ala ar-Raudhah an-Nadiyah, 2/273.
[14] Majmu' al-Fatâwâ, 23/290.
[15] Al-Mukhârât al-Jaliyyah min al-Masâ`il al-Fiqhiyyah, 2/173.
[16] At-Ta'liqât ar-Radhiyah 'ala ar-Raudhah an-Nadiyah, 2/273.
[17] Shahîh Fiqih Sunnah, 3/360.