Ulama-Ulama Pembela Dakwah Salafiyah Dahulu Hingga Sekarang (1)
Sesungguhnya segala puji milik Allah subhanahu wa ta’ala. Kami memohon pertolongan, ampunan, dan perlindungan kepada Allah dari keburukan-keburukan diri kami dan kejelekan-kejelekan amal perbuatan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya. Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kalamullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (tidak ada dasarnya di dalam agama). Setiap perkara baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. Amma ba’du:
Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki dakwah salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya dakwah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penuntut ilmu syar’i juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syarat terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga syarat-syarat lain, yang sekarang tidak kami sebutkan. Karena termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam dakwah salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah dakwah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masyayikhnya juga, adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayikhnya dan begitu seterusnya. Orang yang datang kemudian mengambil dari orang yang sebelumnya, seorang murid mengambil dari syaikhnya, anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan para ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majelis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majelis.
Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana-sini, mengaku bermanhaj salaf dan mengaku menjalankan sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan, dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah-masalah manhaj dan perkara-perkara aqidah. Di samping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal (terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang-kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih). Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan mereka, sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan dan pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara-saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik-baiknya.
Memang dakwah kita berdiri di atas mata rantai para ulama yang terpercaya, ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَ انْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَ تِأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu menentang perubahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang-orang yang berbuat kebatilan, penyimpangan makna orang-orang bodoh.”
Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَِ ; يَحْمِلُ adalah fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang dan akan datang), memberikan faidah terus-menerus dan berkesinambungan. Dan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: من كل خلف artinya من كل جيل (dari setiap generasi). Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi umat ini, sejak dahulu dan sesudahnya, tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah, orang yang menolong agama Allah ‘azza wa jalla dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَ لَا مَن خَذَلَهُمْ اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
“Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang-orang yang menghinakannya sampai terjadi kiamat dan mereka tetap dalam keadaan demikian.”
Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: لَا يَزَالُ (senantiasa) juga memberi faidah terus-menerus. Dan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ
“Sampai terjadi kiamat.” menguatkan kepada faidah tersebut.
Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang-kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang) dan kadang-kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang didakwahkan oleh ulama-ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar-pembesar kita di dalam dakwahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimat Allah dan menegakkan kebenaran.
Wahai saudara-saudaraku, sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama-ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.
Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majelis yang panjang, bahkan beberapa majelis, berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Tetapi, mukadimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian, bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan, pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Tetapi kita akan membicarakan dalam waktu yang singkat ini beberapa petikan yang berkaitan dengan ulama-ulama dakwah salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh berkah ini. Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka fondasi pertama dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh pensyair:
الضِّدُ يُظْهِرُ حُسْنَهُ ضِدُّهُ – وَبِضِدِّهَا تَتَمَيّزُ الْأَشْيَاءُ
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas
Pertama, Imam Besar Ahmad Bin Hambal -rahimahullah-
Dia hidup di masa bergelombangnya akidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat, dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah Khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al Quran adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Tetapi dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Tetapi dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!” Dia berkata: “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh?”
Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah ini. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari para imam kita dan mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia, dan menjaga mereka untuk kita ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimaman, dan amanahannya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan larangan dan perintah-Nya.
Pengaruh Imam Ahmad juga mempengaruhi imam Abul Hasan al Asy’ari. Di zaman ini banyak orang menisbatkan diri kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin, setelah menyebut aqidah Ahlu Sunah Ashabul Hadits “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal, saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya.” Atau seperti apa yang dia katakan. Di sini kami akan mengingatkan suatu hal, yaitu banyak sekali orang-orang khusus maupun orang-orang umum yang menisbatkan dirinya kepada Abul Hasan al Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya mereka tidak menisbatkan kepadanya dalam aqidah maupun manhaj.
Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata, “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian besaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini.” Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam menaati Allah.
Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudaraku, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Kebersihan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan, pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham mu’tazilah, imam Abul Hasan Al Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya. Setelah itu, di dalam kitabnya al Ibanah fi Ushulid Diyanah, di dalam kitabnya Maqalat yang sudah saya isyaratkan tadi, dan di dalam kitabnya Risalah ila Ahli Tsaghar, di dalam ketiga kitab ini, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia di atas aqidah salafiyah.
Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Ya, mereka itu tidak berada pada jalan mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul Hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abul Hasan dan menyelisihi aqidah salaf yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut. Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam cuplikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya, tetapi dia adalah ulama besar dakwah ini sepanjang sejarah ini di abad-abad pertama.
Kedua, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-
Adapun di abad-abad pertengahan, sebagaimana yang sudah saya katakan, di dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap ulama untuk setiap abad. Akan tetapi saya hanya akan menyebutkan orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol. Kami menyebutkan pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam, seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin abdul Halim bin Abdus Salam, Ibnu Taimiyah An Numairi Ad Dimasyqi Al Harrani rahimahullah. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan-tulisan, menempatkan kaidah-kaidah dan menjawab masalah-masalah.
Demi Allah, demi Allah dan demi Allah, hampir saya bersumpah secara khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini setelah delapan abad dari kematian Imam ini -wahai saudaraku yang mendapatkan taufik- di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk masalah-masalah ahli bid’ah lalu kamu mencarinya di dalam kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan risalah-risalahnya, atau fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya maka hal itu disebabkan ketidakmampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami secara baik sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya, keluasan akalnya, kejeniusan otaknya -semoga Allah memberi rahmat kepadanya.
Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran kejeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan: Al Mizzi, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid sahabat-sahabatnya dari kalangan Imam-imam besar yang memenuhi sejarah Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam saja, bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan, perjuangan, ilmu, akhlak, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi hal-hal lainnya.
Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup di masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah Tatar sampai fitnah Syiah, juga fitnah tersebarnya mazhab Asy’ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi, dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu Taimiyyah dengan membawa musuh-musuhnya yang memfitnah tentang dirinya, memenjara, menyakiti, mengusir dan menzhaliminya. Sulthan berkata kepadanya, “Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka?” Dia menjawab, “Saya memberi maaf kepada mereka.” Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata, “Wahai Ibnu Taimiyyah, kami menzhalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?” Dia menjawab, “Ini adalah akhlak orang-orang beriman.”
Memang, akhlak ini sebenarnya tidak di miliki kecuali oleh orang-orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada posisi yang tinggi, terlebih-lebih setelah banyak dizhalimi oleh orang yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca di dalam sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna’i kecuali karena Ibnu Taimiyyah telah membantah keduanya. Di mana nama Ibnu Taimiyyah selalu naik dan melambung sebagaimana firman Allah:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Alam Nasyrah: 4)
Imam Ibnul Qoyyim berkata tentang ayat ini, “Sesungguhnya setiap orang yang menolong sunah, meninggikan sunah, dan mendukung Ahlu Sunah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” (QS. Alam Nasyrah: 4) dan setiap orang yang merusak sunah dan menentang Ahlu Sunah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah,
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus.” (QS. Al Kautsar: 3)
Mereka (musuh-musuh sunah) itu terputus, sedangkan mereka (penolong-penolong sunah) dengan sunah mendapatkan pertolongan dan derajat ketinggian. Lihatlah anjuran dan jihad Ibnu Taimiyah terhadap bangsa Tatar dalam peperangan Syaqhab. Ada orang yang berkata, “Sesungguhnya kami pasti akan menang!” Maka Ibnu Taimiyah berkata kepadanya, “Katakanlah insya Allah!” Dia berkata: “Saya mengatakan insya Allah sebagai perwujudan bukan penundaan.” Karena dia percaya kepada pertolongan Allah, merasa tenang dengan taufik dari Allah, dan bertawakal kepada Allah. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah mencukupinya.
Inilah Ibnu Taimiyyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Di antaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Arrazi yang telah membangun mazhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab yang dinamakan dengan at-Ta’sis. Ibnu Taimiyyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman, dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dengan sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah kalamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah di cetak dan selebihnya -isya Allah- akan dicetak dalam waktu dekat.
Dia juga menulis bantahan kepada Al Amidi, Al Ghazali, dan lain-lainnya dalam sebuah kitab yang besar sekali yang diberi nama Dar’u Ta’arudil ‘Aql wan Naql. Kitab tersebut punya nama lain. Kedua nama tersebut adalah nama satu kitab dan sebagaian orang menyangka dua nama kitab itu nama untuk dua kitab. Yaitu kitab Muwafaqatu Shahihil Manqul li Shahihi Ma’qul yang di tulis untuk membantah kelompok di atas.
Dia juga menulis bantahan kepada kelompok Syi’ah yang buruk, dengan sebuah kitab yang di beri nama Minhajus Sunah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah. Dia menulis dalam 10 jilid sebagai bantahan kepada salah satu pembesar mereka yang bernama Al Muthahhar al Hilli atas kitabnya yang berjudul Minhajul Karamah. Dia membantahnya dalam 10 jilid. Kelompok Syiah sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka selalu mencari kesalahan apa saja yang dilihatnya. Bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa membantah dan menjawab hujah-hujah dan dalil-dalilnya. Oleh karena itu kamu melihat mereka diam, membisu, tidak mau berbicara. Kitab tersebut masih tetap terus dicetak, diterbitkan, bahkan diterjemah dan dipelajari. Orang-orang syiah tidak bisa bergerak di hadapan kitab tersebut. Inilah Ibnu Taimiyah, seorang Imam yang merupakan ulama terbesar bagi dakwah yang agung dan penuh berkah ini.
Dengan melihat sejarah dan riwayat hidupnya, akan didapatkan banyak hal tentang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang terlintas secara khusus dalam diri adalah suatu hal, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara karena tipu daya dan difitnah oleh musuh-musuhnya di hadapan sulthan (penguasa). Meskipun demikian, ahli sejarah mengatakan tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara dan dikeluarkan jenazahnya, maka semua penduduk Damaskus keluar, kecuali empat orang karena takut bila mereka keluar akan dibunuh oleh orang-orang, karena mereka adalah musuh-musuh Ibnu Taimiyah. Penduduk Damaskus semuanya keluar mengusung jenazahnya. Oleh karena itu perkataan yang masyhur dari Imam Besar Ahmad bin Hambal adalah, “Katakanlah kepada Ahli bid’ah: Perjanjian antara kami dan kalian adalah hari jenazah.”
Kalau kita melihat muridnya, Imam Ibnul Qoyyim yang saya katakan -dan saya berharap tidak berlebih-lebihan, “Dia adalah murid terbaik dari ulama terbaik sepanjang abad.” Karena dia memahami prinsip-prinsip dakwah Ibnu Taimiyah, mengolah kaidah-kaidahnya, kenyang dari semua sisi-sisinya, menimba dari semua sumber-sumbernya, dan melebihi syaikhnya dalam sesuatu yang tidak dicapai oleh syaikhnya, yaitu keindahan tutur katanya dalam menerangkan. Tetapi saya ingin mengoreksi kepada diri saya dengan mengatakan, bahwa kita tidak mendapatkan perkataan Ibnu Taimiyyah yang indah dalam karangannya, sebagaimana kita mendapatkan pada Ibnul Qayyim, yang sebagiannya telah di terangkan tadi, bukan berarti Ibnu Taimiyyah tidak memiliki kemampuan yang sempurna dari sekedar membuat karangan dan melebihi Ibnul Qayyim. Tetapi karena kemampuannya atau kehidupannya penuh dengan cobaan, beliau tidak memiliki waktu dan kesabaran yang cukup untuk menyusun makna-makna dan kata-kata sebagaimana yang dimiliki oleh muridnya Ibnul Qayyim. Ini adalah masalah yang sangat penting untuk dicermati.
Di antara hal-hal yang berkaitan dengan Ibnu Taimiyah, saya akan menyebutkan suatu yang penting yaitu bahwa Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memiliki perkataan yang indah, yang dia terapkan sendiri pada dirinya, dan disebarkan oleh murid-murid beliau. Sampai sekarang kita mengulang-ulanginya, karena perkataan itu diambil dari firman Allah. Perkataan itu adalah:
بِالصَّبْرِ وَ الْيَقِيْنِ تُنَالُ اْلإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ
“Dengan kesabaran dan keyakinan, keimaman dalam agama dicapai.”
Perkataan ini dibenarkan oleh firman Allah:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajadah: 24)
Inilah Ibnu Taimiyyah, seorang ulama yang sangat terkenal di medan dakwah untuk mentauhidkan Allah ‘azza wa jalla.
-bersambung insya Allah-
***
- Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari
- Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari, dari ceramah beliau di Surabaya, dengan judul A’lam Dakwah Salafiyyah
- Sumber: Majalah As Sunnah
- Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
Ulama-Ulama Pembela Dakwah Salafiyah Dahulu Hingga Sekarang (2)
Ketiga, Muhammad Bin Abdul Wahhab -rahimahullah-
Beliau hidup tiga abad yang lampau. Di saat itu dunia dipenuhi oleh syirik, bid’ah dan kesesatan. Orang-orang menghadapkan wajah mereka kepada selain Allah, kepada wali-wali Allah, berdoa dan beristighatsah kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain Allah. Mereka menggantungkan hati mereka kepada pohon, batu, kain-kain, pakaian-pakaian, dan peninggalan-peninggalan (yang dikeramatkan). Mereka mencari berkah dari semua hal di atas. Maka imam ini melaksanakan apa yang Allah ilhamkan kepadanya, dan apa yang Allah telah ilhamkan kepada imam lainnya, amir yang bersamanya. Sehingga bersatulah ilmu dan jihad, pena dan tombak, keduanya saling menguatkan dan saling menolong untuk membela tauhid dan aqidah yang lurus.
Beliau berdakwah di jalan Allah ta’ala dan menuju tauhid yang murni, membuang bid’ah dan khurafat, membantah syirik dan perkara baru dalam agama, dengan kekuatan yang Allah berikan kepada beliau. Maka terjadilah berbagai bantahan, perdebatan, dan diskusi antara beliau dengan musuh-musuh dakwah al-haq di zaman beliau. Beliau mendapatkan kemenangan yang nyata, dan kalimat beliau muncul. Allah meninggikan namanya, karena beliau telah meninggikan Sunnah, dan tauhid.
Beliau juga menyusun kitab-kitab yang mengagumkan, bagus, yang setiap rumah wajib tidak kosong dari kitab-kitab tersebut. Seorang thalibul ilmi -juga orang awam- jangan sampai tidak memilikinya, seperti Kitab Tauhid Alladzi Haqqullahi ‘Alal ‘Abid (Tauhid yang merupakan hak Allah atas para hamba-Nya). Kitab ini kitab yang diberkahi, mudah bahasanya, indah penjelasannya, kuat ungkapannya, yang ada hanyalah firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau sebutkan faedah-faedah yang dapat dipetik dari ayat-ayat atau dari hadits-hadits.
Sebagian ulama menyebutkan kisah yang mengandung pelajaran berkenaan dengan kitab ini dan penulisnya. Ada seorang di antara penduduk Afrika, yang di sana tersebar pemikiran Sufi yang menyelisihi kitab Allah dan Sunnah Nabi. Dia berkata: “Ada seorang Syaikh, di antara Syaikh thariqat Shufi. Setiap selesai melakukan shalat, dia mengangkat tangannya dan mendoakan kecelakaan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dia mohon kepada Allah, agar Allah berbuat menimpakan keburukan kepadanya,…dst doa. Doa yang menjadikan bergidik hati orang-orang yang bertauhid. Orang tadi berkata, “Suatu kali aku mendatanginya, aku membawa kitab Tauhid, tetapi aku melepaskan sampulnya dan aku buang judulnya. Aku menemuinya, duduk bersamanya, dan mulai mengobrol. Dia berkata kepadaku, “Kitab apa ini?” Aku jawab, “Kitab yang berisi ayat dan hadits, ditulis oleh seorang ulama.” Dia berkata, “Bolehkah aku membacanya.” Maka seolah-olah dia berharap agar dia tambah meminta dan penasaran. Dia lalu memberikannya, dan berkata, “Tetapi aku ingin engkau meringkaskan kitab ini untukku, karena aku tidaklah seperti anda, seorang ‘alim yang agung. Sehingga aku mendapatkan manfaat.” Maka besoknya dia kembali, lalu Syaikh itu mengatakan, “Kitab ini sangat bagus, kitab ini menjelaskan berdasarkan ayat dan hadits, bahwa kita berada di atas kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan. Di dalamnya hanya ada firman Allah dan sabda rasul. Siapakah yang menyusunnya?” Dia menjawab, “Inilah penyusunnya. Orang yang selalu engkau doakan kecelakaan di waktu malam dan siang.” Maka dia bertaubat kepada Allah di saat itu juga. Dahulu dia selalu mendoakan kecelakaan untuknya, tetapi dia lalu mendoakan kebaikan untuknya. Inilah imam Muhammad bin Abdul Wahhab.”
Dakwahnya yang diberkahi terus berlanjut, juga riwayat beliau yang semerbak wangi. Sampai sekarang, keturunan beliau masih meninggikan bendera Sunnah, membela manhaj yang haq, semampu mereka. Kita mohon kepada Allah ta’ala agar merahmati di antara mereka yang sudah wafat, dan menjaga dengan kebenaran di antara mereka yang masih hidup. Saudara-saudaraku, membahas secara sempurna tentang imam ini, karyanya, risalahnya, jawabannya, dan hidupnya, sangat luas. Akan tetapi ini -yang kami sampaikan ini- adalah inti yang menyinari untuk mendorong kita dengan cepat guna memahami riwayat imam-imam kita dan berita-berita pembesar kita.
Di zaman ini banyak ulama dan pembela dakwah. Alhamdulillah, karena dakwah ini membawa banyak kebaikan, keutamaan yang berlimpah, dan cahayanya menyebar ke seluruh dunia. Di Afrika, Asia, Amerika, Eropa, dan di segala tempat kita lihat muwahhidin (orang-orang yang bertauhid), kita lihat Ahlusunnah yang baik, kita lihat para da’i Salafi. Mereka tidaklah disatukan oleh hizb (kelompok), organisasi oleh thariqah, atau harakah. Tetapi mereka disatukan oleh tauhidullah. Maka tauhidullah, dan kalimat tauhid merupakan asas tauhidul kalimat (persatuan). Setiap kita menjauhi kalimat tauhid, kita menjauhi tauhidul kalimat.
Di zaman ini, mulai abad ini, terdapat ulama-ulama pembela dakwah yang diberkahi ini. Di antara mereka, yang pertama adalah, Imam, ‘Allamah Abdurrahman bin Yahya Al Mu’alimi Al Yamani. Kemudian ‘Allamah Mahmud Syakir Al-Mishri. Juga para saudara dan kawan mereka, Abdurrahman Al-Wakil, Abdurrazaq Hamzah, Muhammad Khalil Harras. Sampai perkara ini pada Syaikh Muhammad bin Ibrahim, beliau adalah salah satu keturunan imam Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sampai perkara ini pada muridnya, Imam, ‘Allamah, Al Bashir, Abu ‘Abdillah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Bersamanya juga ada saudaranya, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, imam, ‘Allamah, ustadz kami yang mulia, muhadits umat yang agung. Juga kawannya, saudaranya, temannya, yang serupa dengannya, imam, ‘Allamah, Abu Abdillah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ahli fikih yang teliti, memiliki pandangan yang dalam, yang diiringi taufik dan tahqiq. Aku katakan, bahwa beliau memiliki keistimewaan daripada seluruh ulama di zaman ini semuanya. Dengan sesuatu yang Allah anugerahkan kepadanya, yang tidak diberikan kepada orang lain. Yaitu bahwa ceramahnya merupakan karya. Hampir semua pembicaraannya, syarahnya, pelajarannya, seolah-olah beliau memegangi penanya, buku tulisnya, dan menulis dengan susunan yang bagus, penggabungan, pembagian, dengan gaya yang istimewa, luar biasa. Alhamdulillah, mereka semua di atas satu jalan, yang cemerlang dan bersih, di dalam membela Sunnah Nabi, dan meninggikan bendera aqidah Salafiyah. Mereka berjihad dalam hal itu dengan sebenar-benarnya, membelanya di kalangan hamba Allah dan di berbagai negeri. Kemudian mereka wafat pada satu rangkaian. Mereka telah menyelesaikan kewajiban mereka. Kita bersikap kurang jika kita berhenti di belakang mereka, tidak melanjutkan dakwah mereka, tidak mencari kemenangan dengan manhaj mereka, dan tidak mengangkat bendera mereka. Kalau demikian jadilah musibah yang besar, kita mohon perlindungan kepada Allah.
Tetapi dengan semua ini, kita mendengar orang bodoh dari sana-sini mencela para ulama kita. Engkau dengar salah seorang dari mereka mengatakan, “Ibnu Baz termasuk ulama penguasa.” Wahai miskin, apa yang kau maukan terhadap beliau, seorang laki-laki yang ‘alim, zuhud, banyak beribadah! Apa yang beliau kehendaki dari dunia ini, -sedangkan beliau menganggap remeh dunia ini, merasa cukup dengan sedikit dunia- sampai beliau menjilat penguasa, dan menjadi ulama untuk membela penguasa yang mengikuti hawa-nafsu!
Engkau lihat salah seorang dari mereka mengatakan: “Ibnu Utsaimin tidak memahami waqi’ (kenyataan/situasi dan kondisi).” Wahai miskin, Ibnu Utsaimin adalah seorang ‘alim, tegar bagaikan gunung, beliau mengetahui kaidah-kaidah ilmu, seperti perkataan ulama: “Hukum (keputusan) terhadap sesuatu merupakan cabang dari persepsi (ilmu) terhadap sesuatu itu.” Apakah mungkin, beliau akan atau telah memutuskan hukuman terhadap sesuatu masalah, tanpa memahami waqi’, tanpa melihat sisi-sisinya, dan tanpa meliputi detail-detailnya. Tetapi, memang istilah “memahami waqi’” yang dikehendaki oleh orang-orang bodoh itu adalah kondisi politik zaman ini, yang sumbernya hanyalah dari orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam. Apakah karena imam ini (Syaikh Ibnu Utsaimin) dan saudara-saudaranya (para ulama lainnya) berada di atas kebenaran, yang berupa pengambilan sumber yang baik, pemikiran yang baik, pengambilan pelajaran yang baik dari berita-berita yang ada, lalu hal itu berbalik menjadi tuduhan terhadap mereka (sebagaimana di atas)? Kita mohon perlindungan kepada Allah ta’ala. Kemudian, ada orang ketiga dari golongan yang mencela ulama kita itu, mungkin dia seorang yang bodoh, mungkin tolol, mungkin berakhlak buruk. Dia menuduh Syaikh Al-Albani, bahwa beliau Murji’ah. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, seandainya si bodoh ini hidup sepanjang waktunya, niscaya dia tidak mengetahui makna irja’ secara benar, makna yang tertolak, ataupun yang tidak tertolak. Demi Allah, sesungguhnya di zaman ini, Syaikh Al-Albani termasuk ulama yang pertama-tama membantah pemikiran, pendapat, kesesatan, dan penyimpangan Murji’ah. Bahkan beliau menyelisihi sebagian ulama yang menganggap perselisihan antara Ahlusunnah dengan para ahli fikih Murji’ah sebagai perselisihan semu, tidak sebenarnya. Syaikh Al-Albani menyatakan, perselisihan itu benar-benar ada, bukan hanya semu.
Bantahan-bantahan Syaikh Al-Albani terhadap Murji’ah tersebut telah berlalu 30 tahun yang lalu, bahkan lebih. Sedang orang yang membantah beliau, jika engkau tanya umurnya, aku hampir pasti bahwa umurnya tidak lebih 40 tahun. Maka ketika Syaikh Al-Albani membantah Murji’ah, engkau -wahai miskin- (yang membantah beliau) sedangkan bermain-main bersama anak-anak kecil di jalan-jalan. Di saat itu engkau sedang membaca alif, ba’, di Taman Kanak-kanak! Kemudian ketika tumbuh sebagian rambut di wajahmu, tiba-tiba engkau mencela dengan kebodohanmu, bersikap kurang dengan akalmu, engkau katakan bahwa Syaikh Al-Albani Murji’. Ini adalah musibah yang hebat, dan dosa besar yang gelap, kita mohon perlindungan kepada Allah ta’ala.
Tetapi ahlul haq selalu ditolong (oleh Allah), bendera mereka berkibar, kalimat mereka tinggi, baik kita suka atau tidak. Orang-orang yang menyelisihi suka atau tidak. Jika kita tidak membela mereka, niscaya Allah akan membela dengan saudara-saudara kita, murid-murid kita, anak-anak kita, atau cucu-cucu kita.
Kebaikan itu terus berlanjut. Walaupun ketiga ulama besar tersebut telah wafat, (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Al-Albani, dan Syaikh Utsaimin -pent) bukan berarti dakwah mereka juga berhenti. Karena sanad masih terus shahih (benar), seolah-olah mata rantai emas, seolah-olah mutiara yang dirangkaikan dengan kebenaran dan cahaya. Hendaklah kita lihat para ahli ilmu dan sunah yang mengiringi mereka. Hendaklah kita lihat Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Hushain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh Mereka semua ini berada di atas jalan dan kaidah yang sama. Kalimat mereka satu, manhaj mereka satu, dan aqidah mereka satu. Walaupun nampak perkara-perkara yang disangka oleh sebagian orang sebagai perselisihan di antara mereka. Padahal itu bukanlah perselisihan, dan kalimat mereka akan menjadi satu. Baik di dalam hakikat dan kenyataan, di dalam pandangan dan bentuk. Dan aku melihat hal itu dengan penuh keyakinan dan tawakal kepada Allah wahai saudara-saudaraku, sebagaimana Anda sekalian melihat.
Maka hinalah orang-orang Hizbiyyun, orang-orang zhalim, dan orang-orang bodoh. Dan teruslah dakwah ini dengan kemurniannya, kebersihannya, keindahannya, dan kesempurnaannya. Semoga kita pantas menjadi para pengikutnya, dan para pengembannya. Setelah itu kita berharap kita termasuk para pembelanya. Aku mohon taufik dan ketetapan, petunjuk dan ketepatan kepada Allah untuk diriku dan Anda semua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas hal itu. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, sahabatnya semua. Akhir ucapan kami, Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
***
- Oleh: Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al Atsari
- Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari, dari ceramah beliau di Surabaya, dengan judul A’lam Dakwah Salafiyyah
- Sumber: Majalah As Sunnah
Sekilas Tentang Kitab Riyadhus Shalihin
Sesungguhnya Allah telah mengutus Rasul-Nya Muhammad dengan membawa petunjuk dan menurunkan kepadanya Al Quran pedoman hidup umat yang kekal sampai hari kiamat serta memberikan tafsir Al Quran dan yang semisalnya bersama Al Quran tersebut, sehingga Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam baik berupa ucapan atau perbuatan adalah penjelas Al Quran dan penunjuk makna-maknanya.
Demikian juga para sahabat Rasulullah telah menghafal, mempelajari dan menulis Al Quran dan As Sunnah sedangkan Allah telah bertanggung jawab dalam menjaga kitab-Nya yang mulia dan menjadikan orang-orang yang menjaga dan memperhatikan As Sunnah An Nabawiyah sejak masa Rasulullah sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.
Dengan taufik dari Allah, Sunnah Rasulullah menjadi pusat perhatian para ulama di setiap masa dan tempat sehingga sempurnalah penjagaan, taqyiid dan penulisannya dalam kitab musnad, shihah, sunan dan mu’jam-mu’jam. Di antara para ulama yang memberikan perannya dalam menjaga dan menulis As Sunnah adalah Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawy ad-Dimasyqy (631-676 H) yang termasuk dalam jajaran ulama besar di abad ke-7 hijriah. Beliau memiliki hasil karya yang banyak lagi bermanfaat dalam pembahasan yang beraneka ragam. Karya-karya beliau telah mendapatkan pujian dan sanjungan serta perhatian yang besar dari para ulama sehingga mereka mempelajari, mengambil faedah dan menukil dari karya-karya beliau tersebut.
Di antara karya-karya beliau yang paling bermanfaat, terkenal dan tersebar di semua kalangan adalah kitab “Riyadhush Shalihin”. Hal itu terjadi setelah izin Allah, karena dua hal:
Pertama, isi kandungannya yang memuat bimbingan yang dapat menata dan menumbuhkan jiwa serta melahirkan satu kekuatan yang besar untuk berhias dengan ibadah yang menjadi tujuan diciptakannya jiwa tersebut dan mengantarnya kepada kebahagiaan dan kebaikan, karena kitab ini umum meliputi Targhib dan Tarhib serta kebutuhan seorang muslim dalam perkara agama, dunia dan akhiratnya. Kitab ini adalah kitab tarbiyah (pembinaan) yang baik yang menyentuh aneka ragam aspek kehidupan individual (pribadi) dan sosial kemasyarakatan dengan uslub (cara pemaparan) yang mudah lagi jelas yang dapat dipahami oleh orang khusus dan awam.
Dalam kitab ini penulis mengambil materinya dari kitab-kitab sunnah terpercaya seperti Shohih al-Bukhoriy, Muslim, Abu Daud, An Nasaa’i, At Tirmidziy, Ibnu Majah dan lain-lainnya. Beliau berjanji tidak memasukkan ke dalam bukunya ini kecuali hadits-hadits yang shohih dan beliau pun menunaikannya sehingga tidak didapatkan hadits yang lemah kecuali sedikit itu pun kemungkinan menurut pandangan dan ilmu beliau adalah shohih.
Kedua, tingginya kedudukan ilmiah yang dimiliki pengarang Riyadhush Shalihin ini diantara para ulama zamannya karena keluasan ilmu dan dalamnya pemahaman beliau terhadap sunnah Rasulullah.
Kitab Riyadhush Shalihin ini memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki kitab selainnya dari kitab-kitab Sunnah dan dia benar-benar bekal bagi penasihat, permata bagi yang menerima nasihat, pelita bagi orang yang mengambil petunjuk dan taman orang-orang sholih. Hal inilah yang menjadi sebab mendapatkan kedudukan yang tinggi di kalangan ulama sehingga mereka memberikan syarah, komentar dan mengajarkannya di halaqoh-halaqoh mereka.
Akhirnya tidak dapat dipungkiri, kitab ini termasuk kitab yang paling banyak tersebar dan dimiliki sehingga kemasyhurannya telah melangit dan mendapatkan kedudukan yang tinggi di kalangan orang-orang khusus dan awam, dan cukuplah (sebagai bukti) umumnya masjid menjadikannya sebagai bahan bacaan yang dibacakan kepada makmum setelah sholat atau sebelumnya.
Imam Nawawi memberikan keistimewaan dalam tertib dan pembuatan bab pembahasan, beliau membaginya menjadi beberapa kitab dan kitab-kitab ini dibagi menjadi beberapa bab lalu menjadikan kitab sebagai judul bagi hadits-hadits yang ada di dalam bab-bab yang banyak dari satu jenis dan menjadikan bab sebagai judul bagi sekelompok hadits yang menunjukkan satu permasalahan khusus.
Kitab ini terdiri dari 17 kitab, 265 bab dan 1897 hadits, beliau membuka mayoritas babnya dengan menyebut ayat-ayat dari Al Quran yang sesuai dengan pembahasan hadits yang ada lalu membuat tertib dan bab yang saling berhubungan sehingga kitab ini bisa mengalahkan selainnya dari kitab-kitab yang serupa dengannya. (Lihat Muqaddimah Syarhu Riyadhush Shalihin, karya: Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, oleh: Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thoyaar, cetakan pertama tahun 1415/1995).
Demikianlah keistimewaan kitab ini sehingga sudah selayaknya mendapatkan perhatian dari setiap muslim yang ingin membina dirinya menuju ketakwaan.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak dan tidak ada seorang pun yang lolos dari kesalahan. Oleh karena itu tegur sapa dan nasihat senantiasa diharapkan dan mudah-mudahan semua ini menjadi amal sholih dan bekal yang baik menuju hari pembalasan.
Sukoharjo, 22 Desember 2006 M
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: Kumpulan tulisan ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
Rujuk Kepada Ulama Jalan Keluar dari Fitnah
Penulis : Ustadz Qomar Suaidi.
Fitnah adalah sebuah ungkapan yang sangat ditakuti oleh segenap manusia. Hampir-hampir tak seorang pun kecuali akan berusaha menghindarinya.
Begitulah Allah menjadikan tabiat manusia ingin selalu terhindar
dari hal-hal yang menakutkan atau membahayakan. Lebih dari itu secara
umum dalam pandangan syariat Islam, fitnah adalah sesuatu yang harus
dihindari. Oleh karenanya ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam begitu banyak mewanti-wanti kita dari
fitnah sehingga tidak sedikit dari para ulama’ menulis buku khusus atau
meletakkan bab khusus dalam buku-buku mereka yang menjelaskan perkara
fitnah baik dari sisi makna atau bentuk dan gambarannya atau
sikap-sikap yang mesti diambil saat menghadapi fitnah. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja diantara kamu. (Al-Anfal: 25).
Juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintah Allah takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih. (An-Nur: 36).
Nabi bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
Zaman-zaman akan saling berdekatan, amalan akan berkurang, sifat
pelit akan diberikan, fitnah dan haraj akan banyak. Para shahabat
berkata, “Apakah itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan“.
Demikian pula Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu menceritakan apa
yang beliau alami dari peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
terhadap fitnah.
Kami dahulu duduk-duduk bersama Nabi maka beliau menyebut fitnah dan berulang kali menyebutnya. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Daud no 42431).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam juga menyatakan:
Segeralah beramal, fitnah-fitnah seakan potongan-potongan malam
yang gelap, seorang di waktu pagi sebagai mukmin dan masuk sore menjadi
kafir atau di waktu sore sebagai mukmin, di waktu pagi menjadi kafir,
ia menukar agamanya dengan harta benda dunia”. (HR. Muslim).
Demikian mengerikan fitnah-fitnah itu. Karenanya beliau bersabda:
Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah yang benar-benar dijauhkan dari fitnah-fitnah dan yang diberi cobaan lalu bersabar. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam As-Shahihah: 975).
Bahkan dalam lafadz yang lain beliau mengulang-ulang kalimat pertamanya sampai 3 kali.
Makna Fitnah
Apa yang dimaksud dengan fitnah? Apakah berarti tuduhan tanpa bukti
sebagaimana makna yang dipahami masyarakat? Untuk mengetahui maksudnya
kami akan menukilkan penjelasan salah seorang ulama ahli tafsir Al
Qur’an yaitu syaikh Muhammad As-Syinqity. Beliau berkata: “Penelitian
Al Qur’an menunjukkan bahwa kata fitnah dalam Al Qur’an jika disebut
secara mutlak memiliki 4 makna, yaitu membakar dengan api, cobaan dan
ujian, hasil yang jelek dari cobaan, dan hujjah. (Lihat Adhwa’ul Bayan
6: 254-255)
Disebut pula dalam kamus-kamus bahasa Arab yang artinya perbedaan-perbedaan pendapat manusia dan kegoncangan pemikiran mereka (Kamus Al-Muhith dan Mu’jam Al-Wasith).
Dari uraian makna fitnah di atas maka menjadi jelas gambaran-gambaran fitnah didunia ini, diantaranya:
Pertama, banyaknya kelompok-kelompok dan aliran-aliran yang menisbatkan diri mereka kepada Islam.
Kedua, pembantaian yang menimpa kaum muslimin di berbagai daerah di belahan dunia .
Ketiga, kedzaliman yang dilakukan oleh para umara (penguasa).
Keempat, simpang siur pendapat dalam perkara-perkara baru yang membutuhkan pembahasan para ulama’ dan lain-lain.
Dalam menghadapi fitnah-fitnah yang ada, Ahlu Sunnah wal Jamaah telah memberikan tuntunan-tuntunan berupa sikap yang bijaksana sehingga dapat menghalau fitnah-fitnah itu atau meminimalkannya. Diantara sikap yang sangat penting dalam hal ini adalah merujuk kepada para ulama, meminta bimbingannya dan pengarahan mereka dalam menghadapinya.
Mengapa demikian? Kenapa perkara ini tidak diserahkan kepada
masing-masing individu biar mereka menentukan sikap sendiri-sendiri?
Menjawab pertanyaan yang terkadang muncul itu, kita katakan bahwa
perkara fitnah bukan perkara biasa, bahkan perkara yang amat berbahaya
sebagaimana telah disinggung. Dan tidak setiap orang bisa menyikapinya
dengan tepat dan bijak sehingga kita kembalikan kepada para ulama
karena beberapa hal.
Pertama, karena fitnah pada awal munculnya tidak ada yang mengetahui
kecuali para ulama. Kalau sudah pergi baru orang-orang jahil ikut
mengetahuinya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud.
Kedua, menyikapi fitnah sangat diperlukan pertimbangan maslahat
(keuntungan) dan mafsadah (kerusakan) yang akan diakibatkan, terutama
yang berkaitan erat dengan syariat. Dan yang sangat mengerti dalam
masalah ini adalah para ulama. Juga peninjauan perkara itu dilihat dari
sekian banyak sisi syariat.yang tidak mungkin bagi orang awam bahkan
pemula thalibul ilmi untuk memahami perkara yang sifatnya umum dan
menyeluruh.
Sehubungan dengan ini Imam Nawawi menjelaskan, jika sebuah
kemungkaran ada pada masalah-masalah yang pelik baik dari perbuatan
atau perkataan dan membutuhkan ijtihad, maka tiada jalan bagi orang
awam untuk masuk padanya. Itu hanya hak para ulama
Ketiga, bahwa Islam telah memberikan tuntunan-tuntunan yang berkaitan
dengan fitnah dan yang mengetahuinya adalah para ulama.
Keempat, Islam memerintahkan dan menganjurkan untuk bertanya kepada
ahlu dzikir (ulama) pada permasalahan yang tidak diketahuinya. Allah
berfirman:
Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui. (An Nahl: 43)
Kelima, mengembalikan perkara ini kepada orang-orang awam akan
mengakibatkan terpecahnya persatuan kaum musliman. Syaikh Shaleh
Al-Fauzan menyatakan, “Allah menjadikan perkara-perkara perdamaian dan
peperangan serta urusan-urusan yang sifatnya umum dan menyeluruh
kembalinya kepada para umara dan ulama secara khusus dan tidak boleh
untuk masing-masing individu masuk dalam perkara ini, karena yang
demikian akan mengacaukan urusan dan memecah persatuan serta memberikan
peluang kepada orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan jahat yang
selalu menunggu-nunggu bencana untuk kaum muslimin. (Lihat Qowaid
fitta’amul ma’al ulama’: 120-122).
Keenam, yang mampu menganalisa hakekat akibat dari fitnah adalah para
ulama yang benar-benar kokoh dalam berilmu. Ibnu Qoyyim menjelaskan,
“Tidak setiap orang yang mengerti fiqh dalam bidang agama mengerti
takwil, hakekat yang berakhir padanya sebuah makna. Yang mengetahui
perkara ini khusus orang-orang yang kokoh dalam berilmu”. (I’lamul
Muwaqqi’in 1:332 dari Madarikun Nadhar:163)
Beberapa alasan tersebut sangat cukup untuk menjadi landasan dalam
berpijak di atas prinsip ini yaitu merujuk para ulama dalam perkara
fitnah. Dan alangkah baiknya kalau kita merenungi beberapa ayat atau
hadits yang memerintahkan atau mengandung anjuran untuk melakukan hal
ini sebagaimana telah diisyaratkan di atas.
Firman Allah:
“Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui”
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya: Bertanyalah
kepada ahli ilmu…… sesungguhnya Allah memerintahkan siapa saja yang
tidak mengetahui untuk rujuk kepada mereka dalam seluruh kejadian……
(Taisir Al-Karimir Rahman hal. 441).
Dan apabila datang kepada mereka suatu cerita tentang keamanan atau
ketakutan mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan ulil amri diantara mereka tentulah orang-orang yang
mampu menyimpulkan diantara mereka akan mengetahuinya. (An-Nisa :83).
Syaikh Abdurrahman As-Sa’ady menerangkan hukum-hukum yang terkandung
di dalamnya, katanya: “Ini adalah teguran dari Allah subhanahu wa
ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dari perbuatan yang tidak sepantasnya.
Seharusnya jika sampai kepada mereka suatu perkara dari perkara-perkara
yang penting dan maslahat yang bersifat menyeluruh yang berkaitan
dengan keamanan dan kebahagiaan kaum muslimin atau ketakutan yang
mengandung musibah, mereka mengecek dan tidak terburu-buru menyebarkan
kabar, tapi mengembalikan pada Rasul dan kepada Ulil Amri diantara
mereka. Orang-orang yang memiliki pendapat yang baik, ilmu, keinginan
yang baik, berakal dan memiliki kebijakan, yang memahami
perkara-perkara dan mengetahui maslahat serta mafsadah. Jika mereka
(ulil amri dan para ulama) memandang panyebarannya ada maslahat dan
memberi semangat kaum mukminin, kebahagiaan dan keselamatan dari musuh,
mereka akan melakukannya. Tapi jika mereka memandang tidak ada maslahat
atau ada tapi mudharatnya lebih besar mereka tidak akan menyiarkannya”.
Lalu beliau menyatakan: “Dalam penjelasan ini terkandung sebuah kaedah
beradab, yaitu jika terjadi sebuah pembahasan pada sebuah perkara,
hendaknya diserahkan kepada ahlinya (dalam hal ini ulama’) dan jangan
melancangi mereka. Itu lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat
dari kesalahan. Dan ayat itu mengandung larangan terburu-buru
menyebarkan berita saat mendengarnya. Di dalamnya juga terdapat
perintah untuk berfikir sebelum berbicara, bila ada maslahatnya maka
dia maju, bila tidak maka menahan diri. (Taisir Al Karimir-Rahman: 198).
Firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri diantara kalian” .(An Nisa :59).
Masalah fitnah biasanya mengundang kontroversial, makanya kita mesti
mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya yakni Al Kitab dan As
Sunnah. Dan yang memahami benar-benar hukum yang terkandung di dalamnya
adalah para ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
Tidakkah mereka bertanya ketika mereka tidak tahu, sesungguhnya obatnya bodoh itu hanya bertanya…
Telah dimaklumi bahwa kita diperintah untuk bertanya kepada Ahlu Dzikr yakni ulama, sebagaimana ayat yang lalu.
Dalam kisah seorang yang membunuh 99 jiwa, lalu ingin bertobat disebut di sana: Maka ia ditunjukkan kepada seorang ahli ibadah, lalu ia mendatanginya dan menyatakan bahwa telah membunuh 99 jiwa, bisakah bertaubat? Jawabnya: “Tidak”. Maka dibunuhnya sekalian sehingga genap menjadi 100. Kemudian ia mencari orang yang paling alim dimuka bumi ini, maka ditunjukkanlah dia kepada seorang ulama lalu ia katakan kepadanya bahwa telah membunuh 100 jiwa apakah bisa bertaubat? Jawabnya: “Ya, apa yang menghalangi antara kamu dengan taubat ?” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry).
Dalam hadits ini nampak jelas perbedaan antara seorang ulama dengan ahli ibadah. Fatwa seorang ulama membawa maslahat, sebaliknya fatwa seorang ahli ibadah tapi tanpa ilmu membawa mafsadah. Oleh karenanya Asy-Sya’by menyatakan: “Apa yang datang kepadamu dari para shahabat Nabi ambillah. Dan tinggalkan olehmu Sha’afiqah. Yakni yang tidak berilmu”.(Syarhus Sunnah Baghawi 1/318 lewat Madarikun-Nadhar: 162).
Atas dasar itu prinsip ini menjadi pilihan para ulama Ahlu Sunnah sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi: “Pilihan kami adalah apa yang dipilih oleh para imam Ahlus-Sunnah di berbagai negeri….pada masalah-masalah yang tidak terdapat padanya riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, para shahabat dan tabi’in dan meninggalkan (membuang) ide serta pendapat orang-orang yang mengkaburkan masalah (dan seakan) menghiasinya yaitu dari para pendusta.” (Syarh Ushul I’tiqad Al-Lalika’iy: 1/202-323)
Hal ini juga ditegaskan oleh Ibnul Qoyyim melalui penjelasannya: “Seorang yang memahami kitab Allah, Sunnah Rasulullah dan ucapan shahabat dialah yang berhak berijtihad pada perkara nawazil (kejadian atau masalah yang baru). Golongan inilah yang boleh berijtihad dan boleh diminta fatwa.” (I’lamul Muwaq’in 4/212 melalui Madharikun Nadhar).
Uraian di atas baik dari ayat, hadits serta penjelasan para ulama merupakan dasar yang sangat kuat yang melandasi tegaknya prinsip ini. Maka hendaknya kita berusaha keras untuk tidak bergeser darinya walaupun sejengkal.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=3
Menaruh Kepercayaan Pada Ulama
Penulis : Ustadz Qomar Suaidi.
Pembahasan masalah ini perlu dilakukan sebab tidak
sedikit orang-orang yang terdorong oleh ghirah dan semangat keagamaan
yang tinggi namun tidak terdidik di atas ilmu yang mapan dan di bawah
bimbingan Ahlus-Sunnah, menyangsikan fatwa para ulama dan pengarahannya
di saat tidak sesuai dengan keinginan mereka. Dalam pandangan mereka
bahwa para ulama tidak mengetahui realita, tidak mengerti makar-makar
musuh, ilmu mereka hanya sebatas haid dan nifas atau masalah thaharah
(bersuci). Sedang mereka merasa lebih tahu realita sehingga merasa
lebih berhak berfatwa dan dianggap ucapannya.
Komentar orang-orang semacam ini disamping mengandung
celaan terhadap para ulama yang jelas terlarang dalam agama, apapun
alasannya, juga menyelisihi aturan agama. Karena ayat, hadits dan
uraian para ulama yang lalu dalam hal perintah atau anjuran rujuk
kepada para ulama menyirat makna kepercayaan kepada mereka dalam
urusan-urusan ini. Sangat naif kalau tidak percaya kepada orang yang
telah dipercaya oleh Allah ta’ala serta Rasul-Nya.
Ada sebuah kejadian di zaman Nabi yang barang kali dari situ kita bisa mengambil ibrah. Saat terjadi perjanjian Hudaibiyyah yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan antara kaum muslimin dengan orang-orang musyrikin Quraisy diantaranya kaum muslimin harus menangguhkan keinginan umrah pada tahun itu, tidak sedikit dari shahabat merasa keberatan dengan perjanjian itu dan menampakkan ketidaksetujuannya. Padahal Rasulullah sendiri telah menyepakati perjanjian tersebut.
Para shahabat itu menilai ada diskriminasi dari pihak musuh sehingga merasa keberatan meski akhirnya mau menerima. Diantara shahabat itu adalah Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, orang terbaik setelah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Dan ternyata keputusan Nabi itu membawa manfaat sangat banyak di kemudian hari dan membawa kerugian besar bagi musyrikin, sehingga mereka sendirilah yang mengkhianatinya.
Kenyataan itu menyampaikan Umar bin Khatab – setelah taufiq dari Allah- untuk menyesali perbuatanya dan mengatakan:
“Wahai manusia, ragulah terhadap pendapat akal dalam masalah agama ,
sungguh aku telah melihat diriku pernah membantah keputusan Nabi dengan
pendapatku karena ijtihad. Demi Allah saya tidak akan pergi dari
kebenaran, dan kejadian itu pada pagi hari Abi jandal, yakni perjanjian
Hudaibiyyah”. (Marwiyah Ghazwah Hudaibiyyah hal. 301).
Perhatikan kisah ini, bagaimana Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
mesti menundukkan penilaian-penilaian pribadi di hadapan keputusan
agama. Tidak heran bila seorang ulama bernama Abu Bakar Turthusyi
setelah menyebutkan hadist:
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan dicabut dari
hati-hati manusia akan tetapi Allah mencabutnya dengan meninggalnya
para ulama sehingga tidak tersisa lagi seorang ulama, manusia akan
menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh, maka mereka akan ditanya
sehingga berfatwa tanpa ilmu akhirnya sesat dan menyesatkan.
Menyatakan: “Perhatian hadits ini! hadits ini menunjukkan bahwa manusia tidak akan tertimpa musibah disebabkan ulama mereka sama sekali, akan tetapi sebabnya jika ulama mereka meninggal, akhirnya yang bukan ulama berfatwa. Dari situlah musibah. (Al-Ba’its:179 lewat Madarikun- Nadhar :160).
Rabi’ah bin Abdurrahman, guru Imam Malik, ketika melihat tanda-tanda itu di masanya beliau menangis tersedu-sedu. Maka Imam Malik bertanya: “Apa yang menjadikanmu menangis. Apakah ada musibah yang menimpamu?” Beliau menjawab: “Tidak. Tapi karena orang-orang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa dan muncullah perkara besar dalam Islam”. (Al-Ba’its:179 lewat Madarik Nadhar :160)
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=5
Bahaya Menyelisihi Ulama
Penulis : Ustadz Qomar Suaidi.
Imam Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menyatakan: Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam berada di majelis dan bicara di hadapan
orang-orang, datang seorang Arab badui seraya menyatakan, kapan hari
kiamat? Tapi Rasul tetap meneruskan pembicaraannya, sehingga sebagian
orang yang ada menyatakan, beliau mendengar apa yang dikatakan tapi
beliau tidak suka dengan apa yang dikatakan. Sebagian yang lain
menyatakan beliau tidak mendengarnya. Sampai beliau menyudahi
pembicaraannya lalu berkata: “Dimana orang yang bertanya tentang hari
kiamat?” Maka penanya berkata: “Ini saya ya, Rasulullah”. Beliau
berkata: “Jika amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat”.
Ia menyatakan: “Bagaimana terlantarnya?” Jawabannya: “Jika sebuah
perkara diserahkan kepada selain ahlinya maka tunggulah hari kiamat”.
Dalam hadits lain terdapat ancaman kesesatan untuk yang tidak rujuk kepada ulama dalam fitnah. Sabdanya:
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari
hamba-hamba akan tetapi mencabutnya dengan mewafatkan para ulama
sehingga jika Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama manusia akan
menjadikan orang-orang bodoh sebagai pimpinan, maka ditanyalah
pimpinan-pimpinan itu sehingga berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka
sesat dan menyesatkan. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr).
Mudah-mudahan dua hadits ini bisa mencegah kelalaian banyak kaum muslimin terhadap perkara ini.
Fitnah Ibnu Muthi’
Sungguh benar-benar pada kisah mereka itu ada ibrah bagi orang-orang yang memiliki akal. (QS. Yusuf:111)
Dalam sejarah Islam kejadian Al-Harrah adalah kejadian yang sangat masyhur sekaligus sangat menyedihkan. Orang yang mendengarnya akan berlindung kepada Allah daripadanya. Mulanya ketika Yazid bin Muawiyah menjabat sebagai khalifah setelah ayahnya, terdengar berita-berita buruk tentangnya khususnya berita tentang maksiat-maksiat yang dilakukannya. Sampai berita itu kepada sebagian kaum muslimin, diantaranya Abdullah bin Muthi’. Mendengar hal itu, bangkit ghirah keagamaannya.
Ringkas cerita ia bertekad mencabut baiatnya terhadap Yazid dan melakukan kudeta. Maka ia mengirim utusan guna mengultimatum Yazid dan mengajaknya untuk taat kepada Allah dan diberi waktu sampai 3 hari. Sepulangnya mereka ke Madinah, Abdullah bin Muthi’ bersama rekan-rekannya mendatangi Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali bin Abi Thalib. Mereka menginginkan beliau untuk bersama-sama memberontak Yazid, tapi beliau menolaknya. Berkatalah Ibnu Muthi’: “Sesungguhnya Yazid minum Khamr, meninggalkan shalat dan melanggar hukum Al Qur’an”.
Muhammad bin Hanafiyah menjawab: “Saya tidak melihat padanya apa yang kalian sebutkan, dan saya pernah mendatanginya bahkan tinggal di sana, justru yang saya lihat dia selalu shalat, mencari kebaikan, bertanya masalah fiqh dan berpegang kuat dengan sunnah”.
Mereka menyatakan: “Itu dibuat-buat karena dia di hadapanmu”.
Jawabnya: “Apa yang dia takuti atau harapkan dariku sehingga dia perlu
menampakkan kekhusyu’annya dihadapanku? Apakah dia menampakkan kepada
kalian meminum khamr? Jika dia menampakkan kepada kalian yang demikian
berarti kalian sama dengan dia, tapi jika tidak maka tidak halal buat
kalian bersaksi tentangnya sesuatu yang kalian tidak ketahui”.
Mereka katakan: “Sesungguhnya menurut kami benar adanya walaupun kami tidak melihatnya”.
Beliau menjawab: “Allah menolak yang demikian pada orang yang besaksi. Firman-Nya:
Kecuali orang yang bersaksi dengan Al-Haq sedang mereka mengetahui.
Saya tidak ikut-ikutan urusan kalian sedikitpun”.
Mereka katakan: “Mungkin engkau tidak suka kalau yang memimpin selainmu, jika demikian kami jadikan engkau pimpinan kami”.
Beliau menjawab: “Saya tidak menghalalkan pemberontakan ini sebagaimana yang kalian inginkan dariku baik saya jadi pimpinan atau yang dipimpin”.
Mereka katakan: “Dulu engkau ikut bersama ayahmu berperang (yakni melawan Muawiyah, semoga Allah ridha pada mereka).
Jawabnya: “Datangkan kepada saya orang yang seperti ayahku, aku akan memerangi seperti yang diperangi ayahku”.
Mereka katakan: “Kalau begitu perintahkan 2 anakmu Abdul Qosim dan Qosim untuk berperang bersama kami”.
Beliau menjawab : “Kalau aku perintah keduanya aku juga akan berperang”.
Mereka katakan: “Kalau begitu bangkitlah bersama kami untuk sekedar menganjurkan orang berperang bersana kami”.
Beliau menjawab: “Subhanallah, apakah aku akan memerintahkan orang
sesuatu yang saya tidak melakukannya dan meridhainya, kalau begitu saya
tidak punya keinginan- keinginan baik pada hamba-hamba Allah”.
Mereka katakan: “Kalau begitu kami akan membencimu.
Beliau menjawab: “Kalau begitu aku akan memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah dan tidak mencari ridhanya mahkluk dengan kemurkaan Allah”. Lalu beliau pergi ke Makkah.
Datang Abdullah bin Umar kepada Abdullah bin Muthi’, maka Ibnu
Muthi’ menyatakan: “Berikan bantal kepada Abi Abdirahman (yakni Ibnu
Umar)”.
Ibnu Umar menjawab: “Saya tidak datang kepadamu untuk duduk, akan
tetapi aku datang untuk memberitakanmu sebuah hadits yang pernah saya
dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda:
Barangsiapa mencabut tangannya dari bai’at, ia akan bertemu Allah
dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal sedang
tiada bai’at dilehernya dia akan meninggal seperti meninggalnya
orang-orang jahiliyyah. (HR. Muslim bersama kisahnya).
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=6
Siapa Para Ulama ?
Penulis : Ustadz Qomar Suaidi.
Mungkin muncul pertanyaan, siapakah ulama itu? Hingga kini banyak perbedaan dalam menilai siapa ulama. Sehingga perlu dijelaskan siapa hakekat para ulama itu. Untuk itu kita akan merujuk kepada penjelasan para ulama Salafus Shaleh dan orang-orang yang menelusuri jalan mereka. Kata ulama itu sendiri merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yang artinya orang berilmu.
Untuk mengetahui siapa ulama, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu dalam istilah syariat, karena kata ilmu dalam bahasa yang berlaku sudah sangat meluas. Adapun makna ilmu dalam syariat lebih khusus yaitu mengetahui kandungan Al Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah dan ucapan para shahabat dalam menafsiri keduanya dengan mengamalkannya dan menimbulkan khasyah (takut) kepada Allah.
Imam Syafi’i berkata: “Seluruh ilmu selain Al Qur’an adalah hal yang menyibukkan kecuali hadits dan fiqh dan memahami agama. Ilmu adalah yang terdapat padanya haddatsana (telah mengkabarkan kepada kami – yakni ilmu hadits) dan selain dari padanya adalah bisikan-bisikan setan.”
Ibnu Qoyyim menyatakan: “Ilmu adalah berkata Allah, berkata Rasul-Nya, berkata para shahabat yang tiada menyelisihi akal sehat padanya.” (Al Haqidatusy-Syar’iyah: 119-120)
Dari penjelasan makna ilmu dalam syariat, maka orang alim atau ulama adalah orang yang menguasai ilmu tersebut serta mengamalkannya dan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahuwata’ala . Oleh karenanya dahulu sebagian ulama menyatakan ulama adalah orang yang mengetahui Allah Subhanahuwata’ala dan mengetahui perintah-Nya. Ia adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahuwata’ala dan mengetahui batasan-batasan syariat-Nya serta kewajiban-kewajiban-Nya. Rabi’ bin Anas menyatakan “Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah bukanlah seorang ulama.” Allah berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama .” (Fathir: 29)
Kesimpulannya, orang-orang yang pantas menjadi rujukan dalam masalah ini adalah yang berilmu tentang kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ucapan para shahabat. Dialah yang berhak berijtihad dalam hal-hal yang baru. (Ibnu Qoyyim, I’lam Muwaqqi’in 4/21, Madarikun Nadhar 155)
Ibnu Majisyun, salah seorang murid Imam Malik mengatakan: “Dahulu (para ulama) menyatakan, ‘Tidaklah seorang itu menjadi Imam dalam hal fiqh sehingga menjadi imam dalam hal Al Qur’an dan Hadits dan tidak menjadi imam dalam hal hadits sehingga menjadi imam dalam hal fiqh.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)
Imam Syafi’i menyatakan: “Jika datang sebuah perkara yang musykil (rumit) jangan mengajak musyawarah kecuali orang yang terpercaya dan berilmu tentang al Kitab dan Sunnah, ucapan para shahabat, pendapat para ulama’, qiyas dan bahasa Arab. (Jami’ Bayanil ‘Ilm: 2/818)
Merekalah ulama yang hakiki, bukan sekedar pemikir harakah, mubaligh penceramah, aktivis gerakan dakwah, ahli membaca kitabullah, ahli taqlid dalam madzhab fiqh, dan ulama shu’ (jahat), atau ahlu bid’ah. Tapi ulama hakiki yang istiqamah di atas Sunnah. Wallahu a’lam
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=4
Bagai Menggenggam Bara Api…
Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah al Atsary.
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Imam asy Syafi’i, “Wahai Abu Abdillah, manakah yang lebih baik bagi seseorang dibiarkan atau diuji?” Al Imam asy Syafi’i menjawab, “Tidak mungkin seseorang itu dibiarkan hingga ia diuji, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menguji Nabi Nuh, Ibrohim, Musa, ‘Isa, dan Nabi Muhammad sholawatullah ‘alaihim ajma’in. Maka tatkala mereka bersabar, Allah mengokohkan mereka. Tidak boleh seorang pun mengira akan lepas dari kesusahan.”
Al Allamah Ibnul Qoyyim mengatakan, “Ujian merupakan suatu keharusan yang menimpa manusia dan tidak ada seorang pun yang dapat mengelak darinya, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam Al Qur’an tentang keharusannya menguji manusia…” (Madarijus Salikin 2/283).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’ sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka,
maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. Ataukah orang-orang
yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari
(adzab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (QS Al Ankabuut: 1-4).
Allah juga berfirman,
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan yang sebenar-benarnya. Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan.” (QS Al Anbiyaa`: 35).
Para pembaca -sungguh saat ini kita tengah berada di zaman yang benar-benar menuntut kesabaran, dimana orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya bagaikan orang yang menggenggam bara api, jika dilepas maka akan membakar dirinya dan membahayakannya, namun bila tetap digenggamnya, maka ia membutuhkan kesabaran dan kekokohan yang luar biasa. Bagaimana pula tidak dikatakan demikian, sebab setiap kali nampak orang-orang yang ingin mengamalkan agama beribadah dengan syari’at Allah, akan berdiri ahli bid’ah, para pengekor hawa nafsu, dan orang-orang bodoh yang tidak mengerti agama kecuali dari nenek-nenek moyangnya siap menghadang di hadapannya, melemparkan cercaan, hinaan, tudingan, dan fitnah baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, benar-benar membuat mayoritas muslimin phobi untuk menjalankan tuntunan agamanya.
Betapa banyak para da’i-da’i Islam yang bungkam mulutnya tidak berani untuk berbicara yang haq, karena selalu mendapat tekanan dan intimidasi, terorislah, Islam garis keraslah, serta seabreg tudingan dan pelecehan yang lainnya, hanya da’i-da’i pramuka -yang di sana senang di sini senang, di sana senyum di sini senyum- yang aman-aman saja. Da’i-da’i ini tidak punya andil dalam memerangi ahli bid’ah dan syirik malah ikut berkecimpung dan ikut berperan mendukungnya, seolah-olah dirinya mengatakan, “No problem, take it easy man…!”
Para pembaca -keadaan seperti ini janganlah membuat kita surut langkah untuk tetap beramal dan menampakkan diri sebagai muslim sejati, seorang muslim yang berjenggot bersyukurlah dan tidak perlu merasa khawatir, justru ia harus bangga mendapat nikmat untuk melaksanakan perintah Nabi akan wajibnya memelihara jenggot. Seorang muslimah yang berhijab bersyukurlah dan berbangga dirilah di saat mayoritas para wanita lebih menyukai laknat dan siksa Allah dengan berbusana setengah telanjang bangga menampakkan auratnya yang murahan. Tetaplah kembali berpegang teguh kepada pemahaman salafush sholih muslimin periode pertama di kala banyak orang meninggalkannya, tetaplah konsisten terhadap sunnah di kala tak sedikit orang melupakannya, bersatulah untuk menghancurkan tirani kebid’ahan dan ahlinya, mendobrak belenggu kemusyrikan dan ahlinya, serta membungkam mulut-mulut ulama-ulama su` (jelek) dan pengekor hawa nafsu.
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiada seorang Nabi yang diutus sebelumku, melainkan mempunyai
sahabat-sahabat yang setia yang mengikuti benar-benar tuntunan
ajarannya. Kemudian timbullah di belakang mereka turunan yang hanya
banyak bicara dan tidak suka berbuat dan mengerjakan apa-apa yang tidak
diperintahkan. Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia
mu`min, dan siapa yang menentang mereka dengan lidahnya, ia mu`min, dan
siapa yang membenci mereka dengan hatinya, ia mu`min. Selain dari itu
tidak ada lagi iman walau seberat biji sawi.” (HR Muslim dalam Kitabul Iman no: 80, Ahmad 1/458-461 dari sahabat Abdullah ibnu Mas’ud).
Hendaknya kita mengetahui bahwa sudah menjadi hikmah Allah, mengadakan bagi tiap-tiap Nabi musuh-musuhnya.
Allah berfirman,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin…” (QS Al An’aam: 112).
Allah juga berfirman,
“Dan seperti itulah telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh
dari orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi
petunjuk dan penolong.” (QS Al Furqan: 31).
Jika seorang da’i menyeru kepada tauhid ia akan mendapatkan di hadapannya da’i-da’i kepada kesyirikan, jika seorang da’i mengajak kepada sunnah, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu, jika seorang da’i menuntun ummat mengamalkan agama sesuai syari’at Allah, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli syubhat dan ulama-ulama su’, jika seorang da’i menjauhkan umat dari kemungkaran dan kemaksiatan, ia akan mendapatkan di hadapannya ahli syahwat, orang-orang fasiq, dan sejenis mereka. Oleh karena itu, segala apa yang menimpa kita kaum muslimin dari berbagai macam intimidasi, eksploitasi, dan semua usaha-usaha Islamophobia adalah ujian tuk meraih janji Allah dan membuktikan keimanan di hadapanNya. Waroqoh bin Naufal pernah berkata kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tiada seorangpun yang datang membawa seperti apa yang telah engkau bawa melainkan ia akan diuji.”
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan “sabar” sebagai senjata ampuh kaum mu`minin dalam membendung bahaya syahwat, fitnah, dan segala macam ujian; dan yang telah menjadikan yakin sebagai tameng untuk membendung lajunya syubhat.
Allah berfirman,
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqoroh: 155).
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu…” (QS Muhammad: 31).
“Cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS Luqman: 17).
Dan Allah berfirman,
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hambaku yang beriman, bertakwalah kepada
Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh
kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az Zumar: 10).
Dan Allah juga berfirman,
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan
sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran
ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu”. (QS Ar Ruum: 60).
Tidak ada lagi yang patut dikhawatirkan bagi para pengemban al haq, walau bagai menggenggam bara api, kesabaran dan keyakinannya yang akan menghantarkan pada kedudukan yang tinggi menggapai janji dan karunia Allah.
Allah berfirman,
“Hai hamba-hambaku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan
tidak pula kamu bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman kepada
ayat-ayat Kami dan adalah mereka dahulu orang-orang yang berserah diri.
Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan.
Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas dan piala-piala dan di
dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap
(dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya. Dan itulah surga yang
diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.
Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang
sebahagiannya kamu makan.” (QS Az Zukhruf: 68-73).
Allah juga berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam tempat yang
aman. (Yaitu) di dalamnya taman-taman dan mata air-mata air. Mereka
memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal (duduk)
berhadap-hadapan. Demikianlah, dan Kami berikan kepada mereka bidadari.
Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari
segala kekhawatiran). Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya
kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka
sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu adalah keberuntungan
yang besar.” (QS Ad Dukhaan: 51-57).
Hasbunallah wa ni’mal wakil, wal ‘ilmu ‘indallah, wal hamdulillahi robbil ‘alamin.
Sumber: Buletin Al Wala’ wal bara’. Edisi ke-43 Tahun ke-1 / 10 Oktober 2003 M / 13 Sya’ban 1424 H