Syuura VS Demokrasi (1)
Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah Ta’ala yang telah menyempurnakan agama Islam dan telah melengkapkan nikmat-Nya atas kita semua. Shalawat beserta salam untuk nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta dan suri tauladan bagi kaum muslimin.
Amma ba’du:
Di tengah kedholiman yang menyelubungi manyoritas tatanan kehidupan masyarakat di seluruh belahan dunia, manusia berlomba-lomba untuk mecari suatu tatanan dan konsep hidup yang bisa mengeluarkan mereka dari kegelapan kedholiman tersebut kepada cahaya keadilan yang merupakan dambaan dan impian setiap insan yang memiliki akal sehat dan fitroh yang lurus, masing-masing mencari dan memilih sistem yang sesuai dengan ideologi yang diyakini dan komunitas yang di hadapi; ada yang memilih kudeta dan demontrasi untuk mencapai keadilan, ada yang memilih kebebasan beragama, barfikir dan berbuat demi keadilan, ada yang membentuk bermacam lembaga yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia (!) dengan akronim (HAM) dan ada pula yang sibuk dengan mendirikan partai-partai politik untuk memperoleh jabatan dan kedudukan demi keadilan.
Semua sistem di atas termasuk ke dalam istilah DEMOKRASI yang di dengung-dengungkan oleh semua partai-partai politik (‘Islam’ dan non Islam) dengan persepsi bahwa inilah satu-satunya konsep dan sistem yang bisa mewujudkan keadilan dan kedamaian, bahkan ada yang berkeyakinan bahwa demokrasi adalah hakekat dari syuura yang di perintahkan dan dijunjung tinggi oleh agama Islam.
Sementara mereka menyadari (atau tidak?) bahwa perbedaan antara syuura dengan demokrasi bagaikan malam dan siang dan jarak antara keduanya bagaikan timur dan barat. Keadilan itu hanya ada dalam syari’at Islam, bukan dalam demokrasi yang diproduksi oleh non Islam dan di adopsi oleh mayoritas kaum muslimin di zaman kontemporer ini.
Beranjak dari fenomena di atas, saya ingin menyampaikan beberapa nasehat kepada saudara-sadaraku seiman sambil mengajak kita semua untuk bisa mencermati apa yang akan dikemukakan, semoga Allah Ta’ala senantiasa membukakan pintu hati kita untuk menerima kebenaran dan memberikan pertolongan untuk bisa mengamalkannya.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman –rahimani warahimakumullah jami’an-, bahwa syuura (musyawarah) adalah salah satu prinsip syari’at Islam dan karakter orang-orang yang beriman, sebagaimana yang di jelaskan oleh Al Qur’an dan Sunnah serta yang dipahami dan diamalkan oleh para salafus sholeh. Bahkan di dalam Al Qur’an terdapat satu surat yang di namakan dengan surat Asy-syuura.
Allah Ta’ala berfirman memerintahkan nabi-Nya untuk bermusyawarah dengan para sahabat:
وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ
“…Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam (seluruh) urusan…” (Qs. Ali Imron: 159)
Dan Firman Allah Ta’ala:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“…Dan urusan mereka (orang-orang yang beriman, pent.) diputuskan dengan musyawarat antara mereka…” (Qs. Asy-Syuura: 38)
Di dalam kitab Al I’thisam bil Kitab was Sunnah dalam shohih Imam Bukhari beliau membawakan bab sebagai berikut:
(باب قول الله تعالى { وأمرهم شورى بينهم } { وشاورهم في الأمر } وأن
المشاورة قبل العزم والتبيُّن لقوله {فإذا عزمت فتوكل على الله} فإذا عزم
الرسول صلى الله عليه و سلم لم يكن لبشر التقدم على الله ورسوله. وشاور
النبي صلى الله عليه و سلم أصحابه يوم أحد في المقام والخروج، فرأوا له
الخروج فلما لبس لأْمَتَه وعزم قالوا: أقم، فلم يمِلْ إليهم بعد العزم،
وقال: (لا ينبغي لنبي يلبس لأمته فيضعها حتى يحكم الله). وشاور عليا
وأسامة فيما رمى به أهل الإفك عائشة فسمع منهما، حتى نزل القرآن فجلد
الرامين، ولم يلتفت إلى تنازعهم ولكن حكم بما أمره الله.
وكانت الأئمة بعد النبي صلى الله عليه و سلم يستشيرون الأمناء من أهل
العلم في الأمور المباحة ليأخذوا بأسهلها، فإذا وضح الكتاب أو السنة لم
يتعدوه إلى غيره اقتداء بالنبي صلى الله عليه و سلم. ورأى أبو بكر قتال من
منع الزكاة فقال عمر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه و
سلم : (أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوا لا إله
إلا الله عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها وحسابهم على الله) فقال أبو
بكر: والله لأقاتلنَّ من فرق بين ما جمع رسول الله صلى الله عليه و سلم
ثم تابعه بعد عمر، فلم يلتفت أبو بكر إلى مشورة إذ كان عنده حكم رسول الله
صلى الله عليه و سلم في الذين فرقوا بين الصلاة والزكاة وأرادوا تبديل
الدين وأحكامه، وقال النبي صلى الله عليه و سلم : (من بدل دينه فاقتلوه).
وكان القراء أصحاب مشورة عمر كهولاً أو شبَّانًا، وكان وقَّافًا عند كتاب
الله عز وجل). (فتح الباري 13/339).
“Bab: firman Allah Ta’ala (artinya): ‘Dan urusan mereka (orang-orang yang beriman, pent.) diputuskan dengan musyawarat antara mereka.’ dan firman-Nya (artinya) ‘Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam (seluruh) urusan.’ Dan sesungguhnya musyawarat (dilakukan) sebelum membulatkan tekad dan (ada) kejelasan, sebagaimana firman Allah (artinya): ‘Kemudian apabilah kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.’ Apabilah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membulatkan tekad tidak boleh bagi seorangpun untuk mendahului Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bermusyawarat dengan para sahabat di waktu perang Uhud tentang tetap tinggal di dalam Madinah atau keluar (menghadapi musuh, pent.) maka para sahabat berpendapat untuk keluar, tatkala beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memakai baju perangnya dan telah membulatkan tekad, para sahabat berkata: ‘Tetaplah (wahai Rasulullah, pent.)’ akan tetapi beliau tidak menerima (usulan itu) setelah beliau membulatkan tekad seraya berkata: ‘Tidak pantas bagi seorang Nabi apabilah ia telah memakai baju perangnya untuk melepaskannya hingga datang keputusan dari Allah.’
Dan beliau telah bermusyawarah dengan Ali dan Usamah tentang tudingan palsu yang dilontarkan oleh orang-orang munafik terhadap ‘Aisyah dan beliau mendengar dari mereka berdua, hingga turun Al Quran, lalu beliau mencambuk mereka (provokator tudingan itu, pent.) dan tidak menghiraukan perselisihan (pendapat) mereka, akan tetapi beliau melaksanakan hukum yang telah diperintahkan oleh Allah.
Dan begitu juga para Imam (pemimpin) sepeniggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka mengajak orang-orang yang terpercaya dari kalangan ulama’ untuk bermusyawarat tentang permasalahan yang diperbolehkan agar mereka bisa mengambil yang termudah. Akan tetapi apabilah telah jelas (dalilnya) dari Al Qur’an dan sunnah mereka tidak akan meninggalkannya demi mencari yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Bakr berpendapat untuk memerangi orang-orang yang tidak mau mambanyar zakat, lalu Umar berkata: ‘Bagaimana kamu memerangi mereka, sedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan (La ilaha illallah), apabila mereka telah mengatakannya maka akan terpelihara (selamat) dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya, dan urusan mereka hanya diserakan kepada Allah.’ Lalu Abu Bakr berkata: ‘Demi Allah, saya akan perangi orang yang memisahkan antara apa yang telah disatukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Kemudian Umar mengikuti pendapat beliau. Maka Abu Bakr tidak menghiraukan musyawarat (pendapat) apabila ia mengetahui hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang memisahkan antara sholat dan zakat dan ingin merobah agama dan hukum-hukumnya, sedang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Barangsiapa yang merobah agamanya maka bunuhlah ia.’
Dan para ulama baik dari kalangan orang tua atau pemuda adalah anggota (majelis) syura Umar, dan beliau orang yang selalu berpegang kepada Al Quran.” (lihat: Fathul Bari 13/339)
Syekh Abdul Muhsin Al Abbad –salah seorang ulama hadits di Madinah An-Nabawiyah- hafidhahullah setelah membawakan hadits-hadits dan menukil perkataan ulama salaf tentang syuura dan prakteknya di kalangan para khulafaur rosyidin dan ulama salaf, beliau berkata: “Dari apa yang telah dikemukakan jelaslah beberapa perkara berikut ini:
- Sesungguhnya syuura (musyawarah) berlandaskan atas Al Qur’an dan Sunnah serta amalan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, diantara surat Al Qur’an adalah surat Asy-syura’.
- Sesungguhnya musyawarah dilakukan dalam hal yang tidak ada nash (dalil yang nyata) dalam Al Qur’an dan Sunnah. Dan sesuatu yang ada nashnya tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana Allah berfirman (artinya): “Tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan yang beriman apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu masalah untuk memilih yang lain dari urusan mereka, barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
- Seorang imam (pemimpin) memilih anggota majelis musyawarah dari tokoh-tokoh masyarakat dan para ulama.
- Hasil musyawarah tidak mutlak berlaku dan dijalankan oleh pimpinan.
Inilah (empat) prinsip dasar musyawarat dalam Islam, adapun demokrasi yang diadopsi oleh mayoritas kaum muslimin dari orang-orang non Islam adalah berbeda (menyelisihi) seluruh prinsip di atas. Menurut mereka (orang-orang demokrat, pent.) bahwa majelis perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sebagai wakil mereka, berhak membuat undang-undang yang tidak berasaskan agama dan undang-undang yang dibuat oleh majelis tersebut mutlak berlaku’. (Al ‘Adlu fi Syari’ah al Islam, hal: 30-31)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Muhammad Nur Ihsan, M.A. (Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia)
Artikel www.muslim.or.id
Syuura VS Demokrasi (2)
Perbedaan Antara Syuura dan Demokrasi
Adapun perbedaan antara syuura dengan demokrasi yang dianggap oleh para politikus sebagai aplikasi syuura dalam Islam sebagai berikut:
Pertama:
Demokrasi dibangun di atas partai-partai politik dan perpecahan. Sementara Islam datang untuk mengajak kepada persatuan dan mencela serta melarang dari perpecahan dikalangan kaum muslimin, sebab perpecahan adalah salah-satu dari karakter, watak dan warisan orang-orang jahiliyah.
Allah berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah (Al Qur’an dan Sunnah, pent.) dan jangan bercerai-berai.” (Qs. Ali Imron: 103)
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ
الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah datang penjelasan/kebenaran kepada mereka, dan bagi mereka adalah azab yang besar.” (Qs. Ali imron: 105)
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعاً لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mencerai-beraikan agama mereka sedang mereka bergolong-golongan, kamu (wahai Muhammad pent.) bukanlah dari golongan mereka dalam sesuatu apapun, urusan mereka hanya dikembalikan kepada Allah kemudian Dialah yang akan mengabarkan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan (di dunia).” (Qs. Al An’aam: 159)
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Janganlah kalian menjadi orang-orang Musyrikin yang mencerai-beraikan agama mereka sedang mereka bergolong-golongan, masing-masing golongan (partai, pent.) bangga dengan apa yang ada pada mereka.” (Qs. Ar Ruum: 31, 32)
وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُل فَتَفَرَّقَ بِكُم عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَْ َ
“Sesungguhnya inilah (agama Islam) jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan jangan kalian ikuti jalan-jalan selainnya niscaya akan mencerai-beraikan kalian dari mengikuti jalan-Nya, yang demikian itu Dia telah wasiatkan/perintahkan kalian dengannya, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertaqwa.” (Qs. Al An’aam: 153)
وقال النبي صلى الله عليه و سلم : (إن الله يرضى لكم ثلاثا ويكره لكم ثلاثا، فيرضى لكم أن تعبدوه ولا تشركوا به شيئا، وأن تعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا ويكره لكم قيل وقال، وكثرة السؤال، وإضاعة المال). (مسلم رقم: 1715).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhoi bagi kalian tiga perkara dan membenci tiga perkara (pula), Dia meridhoi agar kalian mengibadati-Nya dan tidak mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, kalian semua berpegang teguh dengan tali-Nya (Al Qur’an dan Sunnah, pent.) dan tidak bercerai-berai. Dan Dia membenci bagi kalian Qil wa Qal (omong kosong) banyak bertanya (dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, pent.) dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim, no. 1715)
Diantara kontardiksi nyata yang dilihat oleh orang-orang yang pemikirannya belum ternodai oleh partai dan politik yaitu mereka yang sibuk dengan politik dan loyal kepada partai-partai yang mereka anggap berasaskan Islam -sedang Islam berlepas diri partai tersebut-, mereka selalu mengajak untuk menjalin tali persatuan di kalangan kaum muslimin karena mereka bersaudara, sementara disadari atau tidak bahwa partai yang mereka buat merupakan penyebab utama perpecahan umat, karena diyakini atau tidak bahwa setiap orang yang loyal kepada partai tersebut mereka akan bersatu dan bekerja sama dengan setiap anggota partai sekalipun non muslim, sebaliknya jika seorang tidak ikut bergabung dengan partai tersebut dan tidak loyal kepadanya, maka mereka akan bara’ (berlepas diri) dan meninggalkannya sekalipun ia seorang muslim yang sejati dan loyal kepada Sunnah dan Aqidah yang benar.
Jadi praktek prinsip (aqidah) wala’ dan bara’ menurut mereka berlandaskan atas partai dan kepentingan partai, bukan atas aqidah, keimanan dan sunnah. Inilah hakekat dari perpecahan yang dilarang dan dicela oleh Islam.
Kedua:
Hak pembentukkan undang-undang (hukum) dalam demokrasi ditangani oleh golongan tertentu.
Sementara dalam Islam at tasyri’
(pembentukan hukum dan undang-undang, pent.) hanya hak Allah dan
Rasul-Nya yang bertugas menyampaikan wahyu, sebagaimana firman Allah
Ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
“Tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan yang beriman apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu masalah untuk memilih yang lain dari urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al Ahzaab: 36)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah takut orang-orang yang menyelisihi perintanya (Rasulullah ) akan ditimpa fitnah (kesesatan) atau azab yang pedih.” (Qs. An Nuur: 63)
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs. Asy-Syuura: 21)
Hal ini tidak kontradiksi bila ada kaum muslimin menentukan dan membuat peraturan untuk mengatur urusan dunia mereka yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah.
Sedangkan dalam demokrasi hak membentuk undang-undang ditangani oleh pihak tertentu yang di pilih oleh masyarakat sebagai perwakilan mereka di parlemen, lalu mereka dengan semena-mena dan sesuka hati membuat undang-undang yang tidak berlandaskan kepada Islam.
Ketiga:
Dalam demokrasi, cara yang digunakan untuk mencapai kedudukan dan kursi kepemimpinan dengan banyaknya suara yang memilih dari semua lapisan masyarakat.
Sedangkan dalam Islam pemilihan khalifah atau pemimpin berdasarkan kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi (para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang terkemuka) dalam memilihnya dan dengan wasiat khalifah atau pemimpin yang pertama kepada yang sesudahnya, sebagaimana yang dilakukan dalam pemilihan Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Umar dan yang lain.
Dalam Islam pemilihan pemimpin bukan hak setiap individu dan seluruh masyarakat tetapi hak para ulama dan pemuka masyarkat, sedangkan selainya mengikuti mereka. Adapun dalam demokrasi hak memilih diserahkan kepada semua lapisan masyarakat yang heterogen, yang berakal sehat akan memilih yang sejenisnya, yang gila akan memilih yang gila, yang pemabuk akan memilih pemabuk, begitu seterusnya.
Keempat:
Dalam demokrasi terdapat kerakusan dan ambisi yang kuat untuk menjabat sebagai pemimpin dan berusaha sekuat tenaga dengan segala cara untuk memperoleh kursi kepemimpinan, baik dengan cara sogok menyogok, janji-janji yang palsu dan iming-iming yang menggiurkan.
Sementara dalam Islam motifasi pertama untuk menjabat sebagai pemimpin adalah memperjuangkan Islam dan menegakkan syari’at Islam. Oleh karena itu Islam melarang dari mencari kepemimpinan dan meminta jabatan karena di khawatirkan jikalau amanah dan tanggung jawab tersebut tidak bisa dipikul dan dilaksanakan.
Dari Abdurrahman Bin Samurah radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, ‘Wahai Addurrahman! jangan kamu meminta jabatan, jika kamu diberi jabatan karena memintanya kamu akan diserahkan kepada jabatan tersebut (tidak akan mendapatkan pertolongan dari Allah, pent.) dan jika kamu diberi jabatan bukan karena meminta, kamu akan ditolong (oleh Allah dalam menjalani kepemimpinan tersebut, pent.).’” (HR. Bukhari no. 6622 dan Muslim no. 1652)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu berkata: “Saya dengan dua orang anak pamanku masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah seorang dari mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam angkat kami sebagai amir (pimpinan) atas sebagian apa yang telah Allah menjadikan kamu sebagai pimpinannya!’ Dan yang kedua mengatakan ucapan yang sama, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Demi Allah sesungguhnya kami tidak akan mengangkat seseorang yang meminta jabatan ini sebagai pimpinan dan yang berambisi untuk itu.’” (HR, Bukhari no.7149 dan Muslim no. 1733)
Adapun dalam demokrasi yang dibangun di atas partai politik yang berlomba-lomba demi jabatan dan kursi kepemimpinan, mereka akan melakukan segala cara untuk mendapatkan suara dan dukungan yang terbanyak, disertai dengan janji-janji dan iming-iming yang menggiurkan untuk sampai kepada kursi kepemimpinan tersebut, beruntunglah orang yang berhasil dan merugilah orang yang gagal.
Kelima:
Demokrasi dibangun atas kebebasan mutlak dalam berpendapat sekalipun kebatilan dan kekufuran. Sedangkan dalam Islam kebebasan itu dibatasi dengan norma-norma agama dan aturan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Allah berfirman:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ
“Wahai Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani, pent.) janganlah kalian melampaui batas dalam beragama dan jangan kalian mengatakan kepada Allah kecuali kebenaran.” (Qs. An Nisaa: 171)
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
“Demikianlah, Kami menjadikan kalian (orang-orang yang beriman, pent.) sebagai umat yang wasath (adil) agar menjadi saksi terhadap manusia dan rasul menjadi sebagai saksi atas kalian.” (Qs. Al Baqarah: 143)
Adapun dalam demokrasi adanya kebebasan mutlak yang tidak dibatasi oleh akhlak (moral) dan agama, bahkan setiap individu memiliki kebebasan untuk beragama, berkata, berpendapat sekalipun kebatilan dan kekufuran serta melakukan apa saja yang diinginkan sekalipun berenang dalam lautan maksiat dan dosa secara terang-terangan, sehingga hati mayoritas para politikus dan demokrat telah dikotori oleh dua penyakit yang kronis yaitu penyakit syahawat dan penyakit syubuhat.
Keenam:
Dalam demokrasi terdapat persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan tanpa memperhatikan perbedaan fithrah, fisik, akhlak dan agama.
Sedangkan syari’at Islam yang sempurna menyamakan laki-laki dan perempuan dalam sebagian hukum dan membedakan diantara mereka dalam sebagian yang lainnya, seperti dalam kepemimpinan, warisan, memerdekan (budak), saksi, diyah (denda), aqiqah, dan mewajibkan sholat jum’at dan jama’ah atas laki-laki serta membolehkan bagi perempuan memakai kain sutra dan emas dll.
Ketujuh:
Dalam demokrasi terdapat kebebasan yang tidak ada batasnya bagi perempuan untuk melakukan apa saja yang diinginkan.
Sedangkan dalam Islam kebebasan bagi laki-laki dan perempuan dibatasi dengan syari’at, mereka dibolehkan menyakini suatu aqidah dan berkata serta melakukan perbuatan yang sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah yang diamalkan dan dipahami oleh generasi terbaik umat ini yaitu para salafus sholeh.
Aktifitas perempuan dalam Islam berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh keluar dari syari’at yang telah diturunkan oleh Allah.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
“Tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan yang beriman apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu masalah untuk memilih yang lain dari urusan mereka, barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al Ahzaab: 36)
Islam telah mengangkat martabat perempuan dan memelihara kehormatan diri dan hak-hak asasi mereka dengan memerintahkan mereka untuk melaksanakan hal-hal yang akan mewujudkan dan menjamin kebahagian dunia dan akherat.
Islam memerintahkan mereka untuk berhijab dari laki-laki yang bukan mahramnya dan untuk menjauhkan diri dari campur baur antara lawan jenis, tidak boleh bepergian dan berduaan dengan laki-laki tanpa muhrim, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al Qur’an dan Sunnah.
Kesemuanya itu merupakan pemuliaan Islam terhadap perempuan dan untuk menjaga kehormatan diri mereka serta mencegah muculnya bermacam fitnah dan kejahatan yang menghancurkan moral, akhlak dan agama.
Terlebih lagi larangan tentang campur baur antara perempuan dengan laki-laki, karena hal ini merupakan sumber segala fitnah, kejahatan, azab dan cobaan dari Allah, oleh karena itu Islam tidak sekedar mengharamkan campur baur saja tetapi melarang dan menutupi segala celah-celah yang akan membawa kepada hal itu, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai sholat jama’ah beliau duduk sejenak di tempatnya sehingga perempuan yang ikut sholat berjama’ah bersama beliau keluar terlebih dahulu dari laki-laki untuk menghindari terjadinya campur baur antara lawan jenis, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al bukhari dalam shohihnya’ no. 870 dan Imam Nasa’i dalam sunannya no. 1333.
Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan: diantara tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin adalah melarang campur baur antara laki-laki dan perempuan, beliau berkata:
(ومن ذلك: أن ولي الأمر يجب عليه أن يمنع اختلاط الرجال بالنساء في الأسواق والفج ومجامع الرجال). (الطرق الحكمية ص 280، ط/ دار الكتب العلمية).
“Diantaranya: bahwa seorang pemimpin wajib atasnya untuk melarang campur baur antara laki-laki dengan perempuan di pasar, jalan-jalan dan tempat perkumpulan laki-laki.”
Selanjutnya beliau menambahkan:
(ولا ريب أن تمكين النساء من اختلاطهن بالرجال أصل كل بلية وشر، وهو من أعظم أسباب نزول العقوبات العامة، كما أنه من أسباب فساد أمور العامة والخاصة، واختلاط الرجال بالنساء سبب لكثرة الفواحش والزنا، وهو من أسباب الموت العام والطواعين المتصلة… فمن أعظم أسباب الموت العام كثرة الزنا بسبب تمكين النساء من اختلاطهن بالرجال والمشي بينهم متبرجات متجملات، ولو علم أولياء الأمر ما في ذلك من فساد الدنيا والرعية قبل الدين لكانوا أشد شيء منعا لذلك. قال عبد الله بن مسعود رضي الله عنه : (إذا ظهر الزنا في قرية أذن الله بهلاكها). (الطرق الحكمية ص 281).
“Tidak diragukan lagi bahwa memberi kesempatan kepada perempuan untuk bercampur baur dengan laki-laki adalah sumber segala petaka dan kejahatan, hal ini adalah penyebab utama turunnya azab yang merata begitu juga merupakan penyebab rusaknya urusan (kehidupan) masyarkat umum dan kalangan tertentu. Percampurbauran antara laki-laki dan perempuan adalah penyebab banyaknya terjadi kemaksiatan dan perzinaan dan ini adalah penyebab kematian yang merata dan tha’un (wabah/penyakit menular, pent.) yang berkepanjangan.
Diantara penyebab kematian yang merata banyaknya perzinaan disebabkan oleh memberi kesempatan (membiarkan) perempuan untuk bercampur baur dengan laki-laki dan berjalan dihapapan mereka dengan bersolek dan berhias. Jika para pemimpin dan orang tua mengetahui bahwa hal itu merupakan kejahatan yang merusak dunia (negara) dan masyarakat -sebelum merusak agama- tentu mereka akan melarangnya dengan keras.
Ibnu Mas’ud berkata: ‘Apabila muncul perzinaan pada suatu daerah maka Allah telah mengizinkan kehancurannya.’
Berbeda dengan demokrasi yang diperjuangkan oleh partai-partai politik yang memberikan kebebasan mutlak kepada perempuan untuk berbuat sekehendak hatinya, ia akan pergi kemana saja dan berjalan dengan siapa saja yang diinginkan tanpa mahram, dia akan bercampur baur dengan laki-laki yang disukai dan akan berbuat dan beraktifitas sesuka hatinya tanpa ada yang mengontrol dan mengkritik sekalipun akan menimbulkan fitnah dan kerusakan. Dan jika ada orang yang berusaha membatasi kebebasan tersebut dan melarangnya dari tindakan-tindakan yang tidak bermoral yang merugikan akhlak dan agama itu, maka akan bermunculan bermacam teror dari antek-antek/budak-budak demokrasi dengan alasan kebebasan dan hak-hak asasi manusia yang mereka dengungkan. Wallahul musta’an.
Ketuju poin diatas adalah perebedaan yang esensial antara syuura dan demokrasi, kami ringkas dari kitab Syekh Al Allamah Al Muhaddits Abdul Muhsin Al Abbad –hafidhahullah- yang berjudul Al Adlu fi Syari’atil Islam wa Laisa fi Ad Dimoqrathiyah Al Maz’umah dari hal: 36-51 dengan sedikit tambahan.
Dari apa yang beliau utarakan jelaslah bagi kita, bahwa apa yang didengungkan oleh sebagian kaum muslimiin, para politikus dan demokrat bahwa demokrasi adalah hakekat syuura dalam Islam merupakan kesalahan dan kebatilan yang bertentangan dengan prisip Islam dan syuura itu sendiri. Dan keadilan yang mereka dambakan serta pelaksanaan syari’at Islam yang diinginkan di bawah naungan payung demokrasi hanya sekedar mimpi dan khayalan saja. Sejarah sebagai bukti yang otentik telah mencatat bahwa tidak pernah ada dalam sejarah Islam bahwa daulah Islamiyah dan pelaksanaan syari’at Islam diwujudkan dengan cara demokrasi dan partai politik.
Keadilan itu hanya ada dalam syari’at Islam, dan daulah Islamiyah atau pelaksaan syari’at Islam hanya akan bisa tewujud apabilah kaum muslimin telah kembali kepada agama mereka secarah kaffah, memahami keadilan yang paling utama yaitu aqidah yang benar dan mentauhidkan Allah dalam seluruh Ibadah yang mereka lakukan serta berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mempraktekkannya dalam segala aspek kehidupan, dimulai dari diri pribadi, keluarga, masyarkat dan semua jajaran pemerintahan.
Imam Ibnu Qoyyim –rahimahullah- berkata:
(أخبر سبحانه أن القصد بالخلق والأمر أن يعرف بأسمائه وصفاته، ويعبد وحده لا يشرك به، وأن يقوم الناس بالقسط، وهو العدل الذي قامت به السموات والأرض، كما قال تعالى: {لقد أرسلنا رسلنا بالبينات وأنزلنا معهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط} [الحديد: 25] فأخبر سبحانه أنه أرسل رسله وأنزل كتبه ليقوم الناس بالقسط، وهو العدل، ومن أعظم القسط التوحيد بل هو رأس العدل وقوامه وأن الشرك ظلم كما قال تعالى: {إن الشرك لظلم عظيم} فالشرك أظلم الظلم والتوحيد أعدل العدل…). (الجواب الكافي ص 190-191 ط/دار الكتاب العربي).
“Allah Subhanah telah mengabarkan bahwa tujuan penciptaan dan (diturunkanya) syariat adalah untuk mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, untuk mengibadati dan tidak mempersekutukan-Nya serta agar manusia menegakkan (melaksanakan) Al Qisth yaitu keadilan yang merupakan (landasan) berdirinya langit dan bumi, sebagaimana firman Allah (artinya): ‘Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan kepada mereka Al Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.’ Maka Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengutus para rasul dan menurukan kitab-kitab agar manusia melakukan Al Qisth yaitu keadilan. Dan neraca (keadilan) yang paling utama adalah tauhid yang merupakan kepala dan tiang (landasan) keadilan tersebut. Dan sesungguhnya syirik adalah kedholiman sebagaimana firman Allah (artinya): ‘Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedholiman yang besar.’ Maka kesyirikan adalah kedholiman yang paling besar dan tauhid adalah keadilan yang paling adil (utama)…”
Apabilah kaum muslimin telah memahami keadilan yang paling utama ini yaitu aqidah yang benar dan mengaplikasikannya dalam ibadah mereka serta mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakinlah bahwa penerapan syari’at Islam atau berdirinya daulah Islamiyah yang merupakan dambaan dan impian setiap muslim akan terwujud di permukaan bumi ini sebagai bukti kebenaran janji Allah Ta’ala sebagaimana yang telah terwujud di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman (artinya):
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia
akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku
dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa
yang (tetap)kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang
yang fasik.” (Qs. An Nuur: 55)
Akan tetapi bila permasalahan tauhid dan aqidah diabaikan dan keadilan yang utama ini tidak ditegakkan, sehingga kesyirikan menjamur dan merajalela serta tidak ada usaha untuk memberantasnya, dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinggalkan dan tidak ada usaha untuk menyebarkan, mengajarkan dan memperjuangkannya, bahkan bid’ah dilakukan, diabadikan dan tidak diingkari, maka keadilan hanya tinggal sebuah impian dan penerapan syari’at Islam hanya tinggal sekedar khayalan, serta usaha untuk mendirikan daulah Islamiyah hanya sekedar slogan yang didengung-dengunkan, bahkan kedholiman, kejahatan dan krisis yang berkepanjangan akan tetap menyelubungi bumi nusantara yang tercinta ini.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
(وبالجملة: فالشرك والدعوة إلى غير الله وإقامة معبود غيره، أو مطاع متبع غير الرسول صلى الله عليه و سلم هو أعظم الفساد في الأرض، ولا صلاح لها ولأهلها إلا أن يكون الله وحده هو المعبود والدعوة له هو لا لغيره، والطاعة والإتباع لرسول الله صلى الله عليه و سلم ، وغيره إنما تجب طاعته إذا أمر بطاعة الرسول فإن أمر بمعصيته فلا سمع ولا طاعة، فإن الله أصلح الأرض برسوله ودينه، وبالأمر بالتوحيد، ونهى عن فسادها بالشرك به ومخالفة رسوله صلى الله عليه و سلم. ومن تدبر أحوال العالم وجد كل صلاح في الأرض فسببه توحيد الله وعبادته وطاعة رسوله صلى الله عليه و سلم ، وكل شر في العالم وفتنة وبلاء وقحط وتسليط عدو وغير ذلك، فسببه مخالفة الرسول والدعوة إلى غير الله، ومن تدبر هذا حق التدبر وجد هذا الأمر كذلك في خاصة نفسه وفي غيره عمومًا وخصوصًا، ولا حول ولا قوة إلا بالله).
“Kesimpulannya: kesyirikan, menyeru kepada selain Allah dan menjadikan sembahan selain-Nya atau meta’ati dan mengikuti selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kerusakan yang paling besar di permukaan bumi. Tidak akan baik (aman sentusa dan stabil, pent.) bumi dan penduduknya kecuali bila Allah satu-satunya yang diibadati dan beribadah hanya kepada-Nya bukan kepada selain-Nya dan keta’atan serta mengikuti hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun selain beliau hanya wajib dita’ati apabila ia menyuruh untuk ta’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , jika ia menyuruh kepada maksiat maka tidak wajib didengar dan dita’ati. Sesungguhnya Allah telah memperbaiki bumi ini dengan (mengutus) rasul-Nya dan memerintahkan kepada tauhid dan melarang dari merusaknya dengan (melakukan) kesyirikan dan meyelisihi rasul-Nya. Dan barangsiapa yang memperhatikan keadaan dunia niscaya ia akan dapatkan bahwa seluruh kebaikkan di permukaan bumi ini penyebabnya adalah mentauhidkan Allah dan mengibadati-Nya serta menta’ati rasul-Nya dan seluruh kerusakan (kejahatan), fitnah, cobaan (azab), kemarau, dikuasai musuh dan selainya yang terjadi di dunia ini, penyebabnya adalah menyelisihi (tidak menta’ati) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beribadah kepada selain Allah (kesyirikan, pent.). Dan barangsiapa memperhatikan hal ini dengan cermat maka ia juga akan dapatkan permasalahan ini pada dirinya sendiri dan orang lain secara umum dan khusus, tiada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Allah.”
Saudarku seiman yang dirahmati Allah!!
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita tentang hakekat syuura dan
demokrasi serta perbedaan antara keduanya, demikian pula kedudukkan
tauhid dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam mewujudkan keadilan, kedamaian, penerapan syari’at Islamiyah dan
mendirikan daulah Islamiyah. Jadi bukanlah dengan berlomba-lomba
mendirikan partai politik yang dilandasi atas kerakusan terhadap dunia
dan jabatan dan didirikan di atas kebohongan dan kebebasan mutlak yang
tiada batasannya.
Demikian yang bisa kami sampaikan dalam makalah yang sederhana ini, semoga bermanfat bagi penulis dan para pembaca.
Terakhir kami berdo’a semoga kita semua selalu dibimbing oleh Allah Ta’ala untuk mengenal kebenaran dan diberi taufiq untuk mengamalkannya serta istiqomah di atasnya sampai ajal menjemput kita. Amiiin.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Nur Ihsan, M.A. (Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia)
Artikel www.muslim.or.id
Fatwa Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani Tentang Pemilu
Tanya (Abdullah bin Taslim): Sehubungan dengan Pemilu untuk memilih presiden yang sebentar lagi akan diadakan di Indonesia, dimana Majelis Ulama Indonesia mewajibkan masyarakat Indonesia untuk memilih dan mengharamkan golput, bagaimana sikap kaum muslimin dalam menghadapi masalah ini?
Syaikh Abdul Malik: Segala puji bagi Allah, serta salawat, salam dan keberkahan semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang setia mengikuti jalannya, amma ba’du:
Saat ini mayoritas negara-negara Islam menghadapi cobaan (berat) dalam memilih pemimpin (kepala negara) mereka melalui cara pemilihan umum, yang ini merupakan (penerapan) sistem demokrasi yang sudah dikenal. Padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sistem demokrasi dan (syariat) Islam (dalam memilih pemimpin), yang ini dijelaskan oleh banyak ulama (ahlus sunnah wal jama’ah). Untuk penjelasan masalah ini, saudara-saudaraku (sesama ahlus sunnah) bisa merujuk kepada sebuah kitab ringkas yang ditulis oleh seorang ulama besar dan mulia, yaitu kitab “al-’Adlu fil Islaam wa laisa fi dimokratiyyah al maz’uumah” (Keadilan yang hakiki ada pada syariat Islam dan bukan pada sistem demokrasi yang dielu-elukan), tulisan guru kami syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-’Abbaad al-Badr –semoga Allah menjaga beliau dan memanjangkan umur beliau dalam ketaatan kepada-Nya –.
‘Ala kulli hal, pemilihan umum dalam sistem demokrasi telah diketahui, yaitu dilakukan dengan cara seorang muslim atau kafir memilih seseorang atau beberapa orang tertentu (sebagai calon presiden). Semua perempuan dan laki-laki juga ikut memilih, tanpa mempertimbangkan/membedakan orang yang banyak berbuat maksiat atau orang shaleh yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semua ini (jelas) merupakan pelanggaran terhadap (syariat) Islam. Sesungguhnya para sahabat yang membai’at (memilih) Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu (sebagai khalifah/pemimpin kaum muslimin sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di saqiifah (ruangan besar beratap tempat pertemuan) milik (suku) Bani Saa’idah, tidak ada seorang perempuan pun yang ikut serta dalam pemilihan tersebut. Karena urusan siyasah (politik) tidak sesuai dengan tabiat (fitrah) kaum perempuan, sehingga mereka tidak boleh ikut berkecimpung di dalamnya. Dan ini termasuk pelanggaran (syariat Islam), padahal Allah Ta’ala berfirman:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (Qs. Ali ‘Imraan: 36)
Maka bagaimana kalian (wahai para penganut sistem demorasi) menyamakan antara laki-laki dan perempuan, padahal Allah yang menciptakan dua jenis manusia ini membedakan antara keduanya?! Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Qs. al-Qashash: 68)
Di sisi lain Allah Ta’ala berfirman:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. al-Qalam: 35 – 36)
Sementara kalian (wahai para penganut sistem demokrasi) menyamakan antara orang muslim dan orang kafir?! Maka ini tidak mungkin untuk…(kalimat yang kurang jelas). Masalah ini (butuh) penjelasan yang panjang lebar.
Akan tetapi (bersamaan dengan itu), sebagian dari para ulama zaman sekarang berpendapat bolehnya ikut serta dalam pemilihan umum dalam rangka untuk memperkecil kerusakan (dalam keadaan terpaksa). Meskipun mereka mengatakan bahwa (hukum) asal (ikut dalam pemilihan umum) adalah tidak boleh (haram). Mereka mengatakan: Kalau seandainya semua orang diharuskan ikut serta dalam pemilu, maka apakah anda ikut memilih atau tidak? Mereka berkata: anda ikut memilih dan pilihlah orang yang paling sedikit keburukannya di antara mereka (para kandidat yang ada). Karena umumnya mereka yang akan dipilih adalah orang-orang yang memasukkkan (mencalonkan) diri mereka dalam pemilihan tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu:
“Janganlah engkau (berambisi) mencari kepemimpinan, karena sesungguhnya hal itu adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat nanti.” (Gabungan dua hadits shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 6248) dan Muslim (no. 1652), dan riwayat Muslim (no. 1825))
Maka orang yang terpilih dalam pemilu adalah orang yang (berambisi) mencari kepemimpinan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang (berambisi) mencari kepemimpinan maka dia akan diserahkan kepada dirinya sendiri (tidak ditolong oleh Allah dalam menjalankan kepemimpinannya).” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani dalam “adh-Dha’iifah” (no. 1154). Lafazh hadits yang shahih Riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Jika engkau menjadi pemimpin karena (berambisi) mencarinya maka engkau akan diserahkan kepadanya (tidak akan ditolong oleh Allah).”
Allah akan meninggalkannya (tidak menolongnya), dan barangsiapa yang diserahkan kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah diserahkan kepada kelemahan, ketidakmampuan dan kesia-siaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh salah seorang ulama salaf – semoga Allah meridhai mereka–.
‘Ala kulli hal, mereka berpendapat seperti ini dalam rangka menghindari atau memperkecil kerusakan (yang lebih besar). Ini kalau keadaannya memaksa kita terjeremus ke dalam dua keburukan (jika kita tidak memilih). Adapun jika ada dua orang calon (pemimpin yang baik), maka kita memilih yang paling berhak di antara keduanya.
Akan tetapi jika seseorang tidak mengatahui siapa yang lebih baik (agamanya) di antara para kandidat yang ada, maka bagaimana mungkin kita mewajibkan dia untuk memilih, padahal dia sendiri mengatakan: aku tidak mengetahui siapa yang paling baik (agamanya) di antara mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Qs. al-Israa’: 36)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menipu/mengkhianati kami maka dia bukan termasuk golongan kami.” (HSR Muslim (no. 101)). Jika anda memilih orang yang anda tidak ketahui keadaannya maka ini adalah penipuan/pengkhianatan.
Demikian pula, jika ada seorang yang tidak merasa puas dengan kondisi pemilu (tidak memandang bolehnya ikut serta dalam pemilu) secara mutlak, baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak, maka bagaimana mungkin kita mewajibkan dia melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam?!
Maka ‘ala kulli hal, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Dialah yang memilih untuk umat ini pemimpin-pemimpin mereka. Kalau umat ini baik maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang baik pula, (sabaliknya) kalau mereka buruk maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang buruk pula. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Qs. al-An’aam: 129)
Maka orang yang zhalim akan menjadi pemimpin bagi masyarakat yang zhalim, demikianlah keadaannya.
Kalau demikian, upayakanlah untuk menghilangkan kezhaliman dari umat ini, dengan mendidik mereka mengamalkan ajaran Islam (yang benar), agar Allah memberikan untuk kalian pemimpin yang kalian idam-idamkan, yaitu seorang pemimpin yang shaleh. Karena Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Dalam ayat ini) Allah tidak mengatakan “…sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada pemimpin-pemimpin mereka”, akan tetapi (yang Allah katakan): “…sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Aku telah menulis sebuah kitab tentang masalah ini, yang sebenarnya kitab ini khusus untuk para juru dakwah, yang mengajak (manusia) ke jalan Allah Ta’ala, yang aku beri judul “Kamaa takuunuu yuwallaa ‘alaikum” (sebagaimana keadaanmu maka begitupulalah keadaan orang yang menjadi pemimpinmu). Aku jelaskan dalam kitab ini bahwa watak para penguasa selalu berasal dari watak masyarakatnya, maka jika masyarakatnya (berwatak) baik penguasanya pun akan (berwatak) baik, dan sebaliknya.
Maka orang-orang yang menyangka bahwa (yang terpenting dalam) masalah ini adalah bersegera untuk merebut kekuasaan, sungguh mereka telah melakukan kesalahan yang fatal dalam hal ini, dan mereka tidak mungkin mencapai hasil apapun (dengan cara-cara seperti ini). Allah Ta’ala ketika melihat kerusakan pada Bani Israil disebabkan (perbuatan) Fir’aun, maka Allah membinasakan Fir’aun dan memberikan kepada Bani Israil apa yang mereka inginkan, dengan Allah menjadikan Nabi Musa ‘alaihissalam sebagai pemimpin mereka. (Akan tetapi) bersamaan dengan itu, kondisi (akhlak dan perbuatan) mereka tidak menjadi baik, sebagaimana yang Allah kisahkan dalam al-Qur’an. Mereka tidak menjadi baik meskipun pemimpin mereka adalah kaliimullah (orang yang langsung berbicara dengan Allah Ta’ala), yaitu Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana yang sudah kita ketahui. Bahkan sewaktu Allah berfirman (menghukum) sebagian dari Bani Israil:
كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Jadilah kamu kera yang hina.” (Qs. al-Baqarah: 65)
Kejadian ini bukanlah di zaman kekuasaan Fir’aun. Akan tetapi hukuman Allah ini (menimpa) sebagian mereka (karena mereka melanggar perintah Allah) ketika mereka di bawah kepemimpinan Nabi Musa ‘alaihissalam dan para Nabi Bani Israil ‘alaihimussalam sepeninggal Nabi Musa ‘alaihissalam, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi ‘alaihimussalam, setiap seorang Nabi wafat maka akan digantikan oleh Nabi berikutnya.” (HSR al-Bukhari dan Muslim)
Dan hanya Allah-lah yang mampu memberikan taufik (kepada manusia).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Madinah Nabawiyyah, 15 Rabi’ul awal 1430 H / 11 Maret 2009 M
***
Penulis: Abdullah bin Taslim al-Buthani, Lc.
Artikel www.muslim.or.id