Bulan Suro Dalam Persepsi Islam dan Masyarakat (1)
Sekarang kita telah memasuki bulan Suro. Nama ini begitu populer di kalangan orang Jawa, meskipun tak menutup kemungkinan banyak penduduk Indonesia lainnya yang mengenalnya. Bulan yang dinamakan Suro ini, tak lain adalah bulan Muharram menurut kalender Islam. Terlebih dahulu marilah kita melihat, bagaimanakah penilaian Islam mengenai bulan Suro (bulan Muharram). Semoga Allah memudahkan urusan ini.
Islam Menilai Bulan Suro Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram atau bulan Suro, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah [9] : 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« …السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ »
“… satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan suci. Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3025)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; (4) Rojab. Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram ? Berikut penjelasan ulama mengenai hal ini.
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula sangat diagungkan jika dilakukan pada bulan haram ini.” (Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Islam Menyebut Bulan Muharram sebagai Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada
bulan Allah yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah
shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812)
Sangat mulianya bulan Muharram ini. Bulan ini betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 1/475)
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana pula kita menyebut ‘Baitullah‘ (rumah Allah) atau ‘Alullah‘ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah, sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram. Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, “Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, “Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ‘Iroqiy di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa. Selanjutnya kita melihat berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Muharram (bulan Suro).
Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro
Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: “Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)’, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ‘larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ‘Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.
Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengekuarka pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid berikut.
Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:
Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, “Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ‘alaihis salam,
هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
“Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)
Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.
Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ‘dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. –Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-
Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Artikel www.muslim.or.id
Bulan Suro Dalam Persepsi Islam dan Masyarakat (2)
Merasa Sial Dengan Waktu Tertentu
Inilah tinjauan kedua kita yaitu merasa sial dengan waktu tertentu. Merasa sial biasa muncul ketika seseorang mendapatkan bencana atau musibah. Ketika terjadi seperti ini barulah dia mengatakan, “Waduh! Bencana ini karena kesialan dari Si A atau kesialan pada bulan ini.” Itulah yang dicontohkan oleh Fir’aun. Ketika dia mendapatkan bencana barulah dia mengatakan bahwa ini semua disebabkan oleh Musa. Artinya Musa-lah yang mendatangkan kesialan.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini.
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 131)
Perhatikanlah ayat di atas. Ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah lalu mensyukuri-Nya.
Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.
Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala mereka ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).
Lihatlah pada penutup Al A’rof ayat 131 di atas. Terakhir, Allah Ta’ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka sebenarnya adalah ketetapan dari Allah.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ahli tafsir Qur’an, mengatakan: maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari ketetapan Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A’raaf ayat 131)
Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab yang kami ceritakan di atas. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.
Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »
“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ‘azza wa jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Berbagai Ritual di Bulan Suro
Terakhir, kita akan melihat berbagai macam ritual yang dilaksanakan di bulan Suro.
Di Solo akan diarak seekor Kebo (dinamakan Kyai Slamet) di tengah manusia lalu diambil berkah dari kotorannya. Ada yang menganggap bahwa kotoran ini –jika disimpan- akan mendatangkan banyak rizki dan memperlancar usaha.
Kami cuma bisa berkomentar, “Ini suatu yang tidak masuk akal. Kok hanya kotoran apalagi kotoran kebo bisa diambil berkahnya [?] Sunggguh sangat tidak logis! Apalagi ini adalah ngalap berkah yang termasuk kesyirikan karena di dalamnya terdapat ketergantungan pada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya. Na’udzubillahi min dzalik.”
Di tempat lain ketika memasuki bulan Suro yang dianggap sangat sakral, kita juga akan melihat orang-orang membersihkan pusaka atau benda-benda keramatnya seperti keris, kereta peninggalan leluhur dan lain sebagainya. Ada juga yang melakukan arak-arakan tumpeng lalu diambil berkahnya. Juga ada yang melakukan ritual kum-kum untuk penyucian diri. Dan masih banyak ritual lainnya ketika itu.
Bulan suro dianggap amatlah sakral, sehingga jadi ajang ritual-ritual tadi. Yang jelas, ritual-ritual tadi tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah (sesuatu yang diada-adakan). Agama Islam tidak pernah mengajarkan ritual-ritual semacam itu. Ritual-ritual tadi hanya warisan leluhur yang turun temurun yang tidak pernah diajarkan sama sekali oleh agama ini. Seorang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya dengan benar tentu tidak akan melakukan ritual-ritual semacam ini apalagi ritual ini tidak terlepas dari kesyirikan dan bid’ah. Maka seharusnya seorang muslim berpikir berulang kali untuk melakukan ritual-ritual tadi karena akibat syirik dan bid’ah yang sangat besar.
Di antara bahaya syirik adalah akan menghapus seluruh amalan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am[6]: 88)
Apabila orang seperti ini tidak bertaubat, maka diharamkan baginya surga. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al Maidah [5]: 72)
Subhanallah, sungguh sangat mengerikan sekali dampak dari berbuat syirik.
Begitu juga dampak dari berbuat bid’ah. Pelaku bid’ah tidak akan merasakan nikmatnya meminum air di telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat nanti dan mereka tidak akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’” (HR. Bukhari no. 7049)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى
“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari no. 7051)
Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang berbuat bid’ah. Seharusnya ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang kita ikutilah dan itu akan membuat kita merasa cukup. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Sebagaimana yang telah kami jelaskan di awal bahwa bulan Muharram adalah bulan yang mulia. Bulan ini disebut bulan haram karena berbagai macam keharaman seperti pembunuhan dilarang ketika itu. Ini berarti keharaman yang lebih besar dari pembunuhan lebih keras lagi untuk dilarang. Jadi, perbuatan syirik dan bid’ah lebih keras pelarangannya ketika dilakukan pada bulan haram termasuk bulan Suro (bulan Muharram). Wallahu a’lam bish showab.
Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari berbuat syirik dan bid’ah.
Semoga Allah memperbaiki aqidah dan keyakinan kaum muslimin. Semoga Allah memudahkan dalam setiap hajat kita. Da semoga kita termasuk orang-orang yang bersabar ketika menghadapi musibah dan setiap takdir Allah.
Allahumman fa’ana bima ‘alamtanaa, wa ‘alimnaa maa yanfa’una wa zidna ‘ilma. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Diselesaikan di rumah tercinta Pangukan, Sleman pada pagi hari yang diberkahi, 28 Dzulhijah 1429 H
Referensi:
- Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Maktabah Al ‘Ilmi
- Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Abdur Rouf Al Manawi, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir
- I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
- Syarh As Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abdur Rahman bin Abi Bakr Abul Fadhl As Suyuthi, Asy Syamilah
- Syarh Masa’il Jahiliyyah, Syaikh Sholih bin Fauzan
- Syarh Shohih Muslim, An Nawawi, Asy Syamilah
- Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi, Muhammad Abdur Rahman bin Abdur Rohim Al Mubarokfuri Abul ‘Ala, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut
- Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, Asy Syamilah
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Artikel www.muslim.or.id
Sunnah Dan Bid’ah Dalam Bulan Allah: Muharrom
Oleh: Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhohullaah
Salah satu kemuliaan bulan pertama dalam bulan-bulan tahun qomariyah adalah bahwa Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam menisbahkan bulan ini kepada Allah, dan menyifatkannya sedemikian dalam hadis beliau shollallahu’alayhiwasallam: “Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah, al muharrom”. [1]
Dan telah diketahui bahwa Allah tidak menisbahkan sesuatu kepada diri-Nya melainkan makhluk-makhluk-Nya yang khusus sebagai pemuliaan dan pengutamaan. As Suyuuthiy -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Aku ditanya: kenapa Muharrom dikhususkan dengan dikatakan sebagai bulan Allah -tabaaroka wa ta’aalaa- sedang bulan-bulan yang lain tidak. Padahal di antara bulan-bulan yang lain itu ada yang menyamainya atau melebihinya dalam hal keutamaan seperti bulan Romadhon? Dan aku mendapatkan jawabannya: bahwa nama Muharrom ini islami sedang nama bulan-bulan lain tidak islami pada masa jahiliyah. Nama bulan Muharrom pada masa jahiliyah adalah Shofar Awal. Dan bulan berikutnya adalah Shofar Tsani. Ketika Islam datang, Allah menamainya al Muharrom. Maka bulan ini dinisbahkan kepada Allah dengan pertimbangan seperti ini. Ini adalah suatu faidah lembut yang aku lihat di “Al Jamharoh”. [2]
“Dan dimakruhkan menyebut Muharrom dengan nama Shofar karena itu merupakan kebiasaan jahiliyyah”. Sebagaimana yang disebutkan oleh An Nawawiy. [3]
Dan boleh jadi, salah satu kebiasaan mereka adalah menyebut bulan Muharrom dan Shofar dengan lafal “Shofaroyn” (dua Shofar -pent) sebagai sebuah taghliib (mengunggulkan nama Shofar atas nama Muharrom, sehingga kemudian disebut dengan “dua Shofar” -pent) bukan karena Muharrom itu nama baru yang muncul belakangan. Syaikh Bakr Abu Zaid -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Sesungguhnya nama bulan Muharrom, pada waktu jahiliyyah dulu, dinamai Shofar Awal. Dan penamaannya dengan Muharrom merupakan peristilahan dalam Islam. Sebagian pakar bahasa ada yang berpendapat demikian. Sedang aku memandangnya sebagai suatu hal yang masih belum jelas. Karena merubah nama-nama yang berkaitan dengan perkara-perkara umum akan menyebabkan kesamaran bagi orang banyak yang hal ini tentu tidak dikehendaki oleh pensyari’at. Tidakkah kau perhatikan ketika Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam berkhutbah pada Haji Perpisahan, beliau berkata: “Hari apa ini? Periwayat (yaitu Sahabat Nafi’ bin Al Harits rodhiyallaahu’anhu) berkata: maka kami diam sampai-sampai kami mengira beliau akan menamainya dengan nama lain. Beliau berkata” “Bukankah Dzulhijjah?”. Kami berkata: Benar. Beliau berkata: “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram di antara kalian. Sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negri kalian..”. [4]
Kemudian beliau menyebutkan bulan-bulan haram di tengah-tengah khutbah: dzulqo’dah, dzulhijjah, al muharrom dan rajabnya Mudhor, yang terletak antara bulan Jumaadaa dan Sya’ban. Kalau nama Al Muharrom itu adalah nama baru, maka tentu beliau akan menerangkannya untuk orang-orang yang hadir ketika itu, yang mereka itu datang dari berbagai penjuru. Ditambah lagi, kejadian seperti ini kalau memang benar-benar terjadi, tentu akan diceritakan oleh orang banyak. Jadi, mereka menamai Muharrom dan Shofar dengan lafal “shofaroyn” (dua shofar) hanya sebagai taghliib”. [5]
Demikianlah, dan tidak ada nash syar’iy shahih yang menetapkan pengkhususan bulan Allah al Muharrom dengan dzikir, do’a, umroh atau puasa pada hari pertama tahun baru dengan niat mengawali tahun hijriyah dengan puasa. Juga tidak ada nash syar’iy untuk berakhir tahun dengan berpuasa pada akhir tahun dengan niat meninggalkan tahun hijriy. Hadis-hadis yang berkaitan dengan perkara ini adalah palsu dan diada-adakan terhadap Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam. [6]
Sebagaimana tidak ada dalil dalam syari’at untuk menghidupkan malam hari pertama bulan Muharrom dengan sholat, dzikir, doa dan sebagainya. Abu Syaamah -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Dan tidak ada satu pun keterangan tentang malam pertama bulan Muharrom. Dan aku telah memeriksa seluruh atsar yang diriwayatkan, baik yang shahih ataupun yang dho’if, juga dalam hadis-hadis palsu, namun aku tidak menemukan seorang pun menyebutkan suatu keterangan tentangnya. Sungguh aku khawatir -dan perlindungan itu hanya kepada Allah- terhadap pendusta yang mengada-adakannya. [7]
Dalam bulan Allah al Muharrom, terdapat suatu hari agung yaitu hari ‘asyuro yang diberkahi. Kemuliaannya sudah sejak lama. Karena pada hari inilah Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘alayhiwssalam beserta Bani Israil dari kezaliman Fir’aun dan bala tentaranya. Dan Allah tenggelamkan Fir’ain dengan kaumnya. Dalam Shahih Bukhori dan Muslim terdapat keterangan dari hadis Ibnu Abbas rodhiyallaahu’anhuma, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam tiba di Madinah dan ia mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘asyuro. Maka beliau berkata kepada mereka: “Hari apakah ini yang kalian berpuasa padanya?” Mereka berkata: “Ini adalah hari agung di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai suatu kesyukuran, dan kami pun berpuasa padanya”. Lalu Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih pantas terhadap Musa daripada kalian”. Beliaupun berpuasa pada hari ini dan menyuruh untuk berpuasa padanya. [8]
Salah satu keutamaan hari ‘asyuro adalah bahwa berpuasa pada hari ini menggugurkan dosa setahun yang lalu berdasarkan sabda Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam: “Aku mengharapkan balasan semoga Allah menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu”. [9]
Dan di-mustahab-kan untuk berpuasa -beserta hari ‘asyuro- pada hari kesembilannya. Karena ini merupakan perintah terakhir Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam di mana beliau bersabda: “Kalau saja aku masih hidup sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilannya” [10], untuk menyelisihi orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘asyuro saja.
Salah satu hukum berkenaan dengan hari ‘asyuro adalah dinasakhnya kewajiban puasa ‘asyuro menjadi mustahab berdasarkan hadis Ibnu Umar rodhiyallaahu’anhumaa, ia berkata: “Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam berpuasa pada hari ‘asyuro dan menyuruh untuk berpuasa pada hari tersebut, maka ketika diwajibkan puasa romadhon, puasa ‘asyuro ditinggalkan”. [11]
Dan dalam hadis ‘Aisyah rodhiyallaahu’anhaa: “..maka ketika diwajibkan puasa romadhon, beliau meninggalkan hari ‘asyuro, maka barangsiapa yang ingin berpuasa pada hari itu, dia boleh berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak ingin, ia boleh meninggalkannya”. [12]
Al Hafizh Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Dengan diketahui bahwa ke-mustahab-an puasa ‘asyuro itu tidak dihapus, melainkan tetap, maka ini menunjukkan bahwa yang dihapus adalah kewajibannya. Bahkan hukum sangatdi-mustahab-kannya puasa ‘asyuro itu tetap berlaku, apalagi dengan senantiasa adanya perhatian terhadapnya sampai pada tahun wafatnya Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam, di mana beliau bersabda: “Seandainya aku masih hidup, maka aku akan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh”, dan karena anjuran beliau untuk berpuasa pada hari ‘asyuro dan bahwa ia menggugurkan dosa-dosa setahun. Penegasan manakah yang lebih kuat dari ini? [13]
Oleh karena itu tidak benar meyakini wajibnya puasa hari ‘asyuro, juga tidak benar meyakini wajibnya atau mustahabnya mengqodho puasa ‘asyuro bagi orang yang tidak melakukannya. Begitu juga mengkhususkan berpuasa pada hari kesembilan tanpa hari kesepuluh. Sebagaimana tidak ada riwayat dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam atau dari Sahabat beliau rodhiyallaahu’anhum tentang hari ini kecuali berpuasa padanya. Karena pada hari ‘asyuro tidak ada satu pun syi’ar hari raya atau syi’ar berdukacita ataupun acara memberi keleluasaan (berupa uang misalnya -pent) kepada anak-anak, juga tidak ada acara memukul-mukul dada, mencabuti rambut, mengoyak-ngoyak pakaian atau menumpahkan darah. Semua itu bertentangan dengan sunnah nabawiyyah yang suci. Syaikh Bakr Abu Zayd -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Yang dijadikan sandaran menurut penganut agama Islam adalah bahwa tidak ada satupun hadis tentang (amalan-amalan -pent) hari ‘asyuro, baik pada siang harinya atau pada malam harinya, yang shahih. Dan semua hadis yang diriwayatkan tentang hal tersebut dan tentang memberi keleluasaan kepada anak-anak pada hari ‘asyuro`, adalah palsu dan tidak shahih. Tidak ada yang valid kecuali yang berkenaan dengan berpuasa pada hari ‘asyuro dan sehari sebelumnya. Karena itu adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi-Nya Musa ‘alayhissalaam. [14]
Aku katakan: dan telah tsabit dari Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam perkara agama kami ini, yang tidak termasuk di dalamnya, maka ia tertolak”. [15]
Dan Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam juga bersabda: “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. [16]
Dan benar-benar sangat disayangkan, bahwa kaum muslimin tidak beriltizam dengan mengikuti hal yang disyari’atkan dan mereka bersegera menjadikan awal bulan Allah al muharrom ini sebagai hari raya yang dikaitkan dengan masuknya tahun hijriyah seperti tahun masehi. Dan mereka menjadikan itu sebagai sarana untuk mengadakan peringatan penanggalan tahunan dan menghidupkannya -sebagai pengagungan terhadapnya- dengan berdzikir dan mengadakan acara-acara peringatan, khutbah-khutbah, kajian-kajian dan ceramah-ceramah, serta pembacaan syair dan penyelenggaran acara-acara seni, musik, budaya, dan saling bertukar ucapan selamat dan selainnya yang termasuk perkara-perkara yang diada-adakan oleh orang banyak, dan yang jelas-jelas merupakan peniruan terhadap orang-orang ahlul kitab.
Dari sudut lain, sesungguhnya peristiwa-peristiwa besar dan momen-momen penting yang terhimpun dalam siroh Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam yang sedemikian harum, seperti diutusnya beliau shollallaahu’alayhiwasallam kepada seluruh umat manusia sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, turunnya wahyu kepada beliau, mukjizat Al Quran dan mukjizat-mukjizat yang lain, malam isro` mi’roj, hijrahnya beliau dari Makkah ke Madinah, dan terjadinya beberapa peperangan dan pertempuran, didirikannya dawlah Islam, dan meningginya bendera jihad di jalan Allah, dan tersebarnya dakwah menuju Allah di segala penjuru dan peristiwa-peristiwa besar lainnya yang terjadi di masa Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam, tidaklah memberikan sifat kemasyru’an pada acara peringatan hijrah nabawiyyah di hari pertama dalam bulan Allah al Muharrom setiap tahun baru, sebagai sebuah hari raya dan hari libur untuk kaum muslimin yang dilakukan secara rutin. Hal tersebut karena telah diketahui secara syari’at, bahwa hari-hari raya dan musim-musim keagamaan itu terhitung sebagai masalah-masalah ibadah. Dan ibadah itu, dari segi hukumnya, merupakan perkara yang tawqiifiyyah, yaitu yang membutuhkan dalil syar’iy yang memberikan tuntunan tentangnya, sebagaimana yang telah disepakati dalam kaidah-kaidah syar’iy. Berdasarkan firman Allah:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Q.S.45:18)
Dan firman-Nya juga:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya
tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih.” (Q.S.42:21)
Juga berdasarkan hadis Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari oleh
perintah kami, maka amalan itu tertolak”. [17]
Dan peringatan awal bulan Muharrom itu tidak disokong oleh satu pun dalil dari kitab Allah, juga tidak dari Sunnah Rasulullah shollallahu’alayhwasallam. Dan tidak ada satupun riwayat dari para Sahabat yang mulia atau para Tabi’in tentang peringatan tersebut.
Juga tidak pada tempatnya, menjadikan perayaan dan peringatan hari-hari seperti ini sebagai sebuah kesyukuran kepada Allah ta’ala atau sebagai pengagungan terhadap Rasul-Nya shollallahu’alayhiwasallam. Karena bersyukur kepada Allah bukanlah dengan cara menyekutui-Nya dalam membuat suatu syari’at atau hukum. Sedang Allah telah berfirman:
“…dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (Q.S.18:26).
Akan tetapi bersyukur kepada Allah itu dengan cara mentaati-Nya dan menyembah-Nya sesuai dengan syari’at-Nya dan mengagungkan Rasul-Nya shollallahu’alayhiwasallam adalah dengan cara mengikuti sunnah-sunnahnya dan mentaatinya dalam hal yang ia perintahkan dan yang ia larang, serta tunduk kepada hukum-hukumnya, bersuritauladan kepadanya dalam hal yang zahir dan yang batin dan tidak membuat suatu bid’ah dalam agama ini. Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Q.S.33:21)
Dan Allah berfirman:
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S.3:31)
Ibnu Katsir -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Ayat ini merupakan hakim bagi semua orang yang mengklaim mencintai Allah namun tidak berada di atas jalan Rasul-Nya Muhammad shollallahu’alayhiwasallam. Maka sesungguhnya orang seperti itu adalah pendusta sampai ia mengikuti syari’at Muhammad dan agama nabawiy di setiap perkataan dan perbuatannya. Sebagaimana yang telah tsabit dalam hadis shahih, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bahwa beliau bersabda: barangsiapa yang mengamalkan sesuatu yang tidak didasari oleh perintah kami maka amalan tersebut tertolak. … dan al Hasan al Bashriy serta yang lain berkata: suatu kaum mengaku-ngaku bahwa mereka mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini: “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” [18]
Kemudian, dari sudut ketiga, sangat jelas bahwa awal bulan Allah al Muharrom adalah permulaan penanggalan tahun islamiy sebagai penanggalan hijriy. Demikian jugalah penanggalan yang dilakukan oleh para Sahabat rodhiyallaahu’anhum dengan ijma’ pada masa kekhalifahan Umar [19]. Dalam hal ini mereka menyelisihi permulaan penanggalan tahunan milik kaum Nasrani yang mengawali penanggalan mereka dari hari kelahiran Al Masih Isa ‘alayhissalaam. Meskipun demikian, hijrah Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bukanlah pada bulan Muharrom. Hijrah beliau dari Makkah ke Madinah dimulai pada awal-awal bulan Robii’ul Awwal pada tahun ketigabelas sejak beliau diangkat menjadi Rasul. Dan beliau sampai di Quba` pada tanggal 12 Robi’ul Awal, hari Senin sebagaimana yang diterangkan oleh para pakar hadis dan sejarah. [20]
Dengan demikian menjadi jelas bahwa bulan Muharrom bukanlah waktu hijrah Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam. Hanya saja, awal rencana untuk melakukan hijrah adalah pada bulan tersebut menurut pendapat yang paling kuat sebagaimana yang diterangkan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir -semoga Allah merahmatinya- dengan perkataannya: “Akan tetapi mereka mengakhirkannya pada bulan Robii’ul Awwal. Karena permulaan rencana untuk hijrah adalah pada bulan Muharrom. Karena bai’at terjadi pada pertengahan Dzulhijjah sedang bai’at ini adalah pendahuluan hijrah. Maka hilal pertama yang terlihat setelah peristiwa bai’at, dan rencana untuk melakukan hijrah adalah pada hilal Muharrom, maka ia tepat untuk dijadikan sebagai permulaan. Ini adalah pendapat paling kuat yang aku ketahui tentang alasan dimulainya hitungan tahun hijriyah dengan bulan Muharrom. [21]
Dari sudut keempat, sesungguhnya yang benar dan yang adil adalah bahwa kaum muslimin hendaknya meneladani Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam, mengambil pelajaran dari siroh perjalanan hidup beliau, memetik faidah dari peristiwa-peristiwa agung dan kejadian-kejadian penting yang terjadi di masa beliau, menarik pelajaran dan ibroh darinya selama sepanjang tahun, yang makna spirituil dari pelajaran-pelajaran itu terwujud dalam kenyataan sebenarnya, meluruskan perjalanan hidup seorang muslim, perilakunya dan akhlaknya dengan mengambil cahaya dari pelita nubuwwah. Bukan dengan membatasi siroh Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam dan mengambil faidah dari peristiwa-peristiwa di dalamnya, pada perayaan-perayaan dan ceramah-ceramah di waktu-waktu tertentu dalam satu tahun, yang kemudian lewat begitu saja sebagai sekedar peringatan belaka, yang berulang setiap tahun sebagai suatu adat kebiasaan dan begitu cepatnya dilupakan bersama lewatnya hari-hari tersebut tanpa ada perhatian atas pengaruh keimanan ataupun moralnya, terhadap perilaku dan perjalanan hidup kaum muslimin. Bahkan sebaliknya, engkau lihat sekian banyak orang yang saling berdesakan pindah dari negara-negara Islam ke negara-negara kafir untuk bisa tinggal bersama orang-orang kafir dan mencari rizki dengan cara mereka, serta hidup di negri-negri mereka dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya seperti bebasnya hewan, menyerupai mereka dalam kebiasaan, adat, perayaan hari besar dan gaya hidup mereka. Maka di manakah pengaruh keimanan dan pengamalan dalam peringatan hijrah Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam, yang beliau itu telah berhijrah dari negri kemusyrikan ke negri iman dan islam?!!
Sesungguhnya perhatian Salafush Sholih dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, terhadap siroh Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam yang begitu harum, dan peristiwa-peristiwa besar di dalamnya, tidak lain adalah dengan mempelajarinya dan mengambil ibroh darinya. Dan pengambilan faidah dan pelajaran tersebut nampak jelas sepanjang tahun. Nilai-nilai tingginya terwujudkan -sebagai upaya membangun pondasi- dalam suluk dan perjalan hidup mereka, sebagai bentuk meneladani Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam dalam ajaran-ajaran beliau, dan menempuh jalan beliau, serta mencontoh beliau dalam berdakwah untuk mentauhidkan Allah dan mentauhidkan ittiba’ kepada Rasul-Nya, dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh syari’at dan menjauhi apa yang dilarang, sebagai bentuk pengamalan atas sabda Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah” [22]. Dan dalam hadis lain: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan keburukan-keburukan” [23]. Disertai dengan sikap menepati syari’at dalam hal-hal yang dicintai dan disenangi, juga dalam hal yang dibenci dan tidak ia sukai berkaitan dengan perkataan, perbuatan, keyakinan dan suatu barang sebagaimana yang diketahui dalam aqidah al walaa wal baroo`. Dan ini termasuk konsekwensi dari syahadatain dan merupakan salah satu syaratnya. Allah berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka…” (Q.S.3:28)
Dan Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S.5:51)
Dan Allah berfirman:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka..” (Q.S.58:22)
Dan ayat-ayat yang lain.
Itulah hijrah batin di dalam qalbu yang selalu menyertai seorang muslim dan tidak pernah terlepas darinya, yang diiringi dengan -secara amaliah- hijrah badaniyah yang bersifat zahir dan mencakup hijrah qalbu, yaitu hijrahnya seorang muslim dari negri-negri kemusyrikan ke negri-negri Islam yang hukumnya adalah wajib bagi mereka yang tidak mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam di negri-negri kafir atau tidak mampu bersikap wala dan baro`, dan mereka itu bukanlah tergolong orang-orang yang mustadh’afuun yang tidak mampu berhijrah atau orang-orang yang terhalang oleh kondisi politik atau geografis untuk melakukan hijrah.
Keduanya adalah dua hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, berdasarkan sabda Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam: “Maka barangsiapa yang hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya”. [24]
Ibnul Qoyyim -semoga Allah merahmatinya- berkata tentang hijrah: bahwa hijrah itu ada dua:
- Hijrah kepada Allah dengan do’a, cinta, peribadahan, tawakal, taubat, tunduk, berserah diri, takut, berharap, menghadapkan hati kepada-Nya, bersungguh-sungguh dalam bergantung dan berhajat kepada-Nya di setiap nafas.
- Hijrah kepada Rasul-Nya shollallaahu’alayhiwasallam dalam setiap gerak dan diam, yang zahir dan yang batin, di mana semua itu berkesesuaian dengan syari’atnya yang tidak lain adalah mengutamakan kecintaan Allah dan keridhoan-Nya, dan yang tidak akan Allah terima kecuali darinya. [25]
Dan ilmu itu ada pada Allah.
Wa aakhiru da’waanaa anil hamdu lillaahi robbil ‘aalamiina.
Wa shollallaahu ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shohbihii wa ikhwaanihii ilaa yawmid diini, wa sallil tasliimaa.
Catatan Kaki:
[1] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab “puasa”: (520/1), nomor: (1163). Dan Abu Dawud, kitab “puasa”, bab tentang puasa Muharrom: (2429). Dan At Tirmidziy, kitab “sholat” bab riwayat-riwayat tentang keutamaan sholat malam: (438). Dan Ahmad dalam musnadnya: (344/2), dari hadis Abu Huroiroh rodhiyallaahu’anhu.
[2] Ad Diibaaj Syarh Shohiih Muslim bin Al Hajjaaj, karangan As Suyuuthiy: (352/3)
[3] Al Adzkaar, karangan An Nawawiy: (364)
[4] Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab “al ‘ilmu”, bab sabda Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam “rubba muballaghin aw’aa min saami’in” (25/1), dan oleh Muslim, kitab “al qosaamatu wal muhaaribiin wal qishoosh” (799/2) nomor (1679), dari hadis Abu Bakroh dan namanya adalah Nafii’ bin Al Harits rodhiyallaahu’anhu.
[5] Mu’jam Al Manaahiy Al Lafzhiyyah, karangan Bakr bin Abdullah Abu Zayd, (341-342), dengan perubahan.
[6] Salah satunya adalah hadis palsu: barangsiapa yang berpuasa pada hari terakhir bulan dzulhijjah dan hari pertama bulan Muharrom, ia mengakhiri tahun sebelumnya dan memulai tahun berikutnya dengan puasa, akan Allah jadikan untuknya penghapusan dosa 50 tahun. Lihat Al La`ali` Al Mashnuu’ah, karangan As Suyuthiy: (2:108). Tanziihusy Syarii’ah, karangan Al Kannaaniy: (2:148). Al Fawaa`id Al Majmuu’ah, karangan Asy Syawkaaniy (96).
[7] Al Baa’its ‘ala inkaaril bida’ wal hawaadits, karangan Abu Syaamah (239).
[8] Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab “puasa”, bab puasa pada hari ‘asyuro (1/478). Dan oleh Muslim di “Ash Shiaam” (1/504) nomor (1130), dari hadis Ibnu Abbas rodhiyallaahu’anhumaa.
[9] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab “ash shiyaam”: (1/519), nomor: (1162). Dan oleh Abu Dawud, kitab “ash shiyaam”, bab tentang sunnah puasa dahr: (2425). Dan oleh Ahmad dalam musnadnya: (5:297), dari hadis Abu Qotadah al Anshooriy rodhiyallaahu’anhu.
[10] Dikeluarkan oleh Muslim kitab “ash shiaam”: (1/505) nomor: (1134). Dan oleh Ahmad dalam musnadnya: (1/236), dari hadis Ibnu Abbas rodhiyallaahu’anhuma.
[11] Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab “ash shoum”, bab wajibnya puasa romadhon: (1/453). Dan oleh Ahmad dalam musnadnya: (2/4), dari hadis Ibnu Umar rodhiyallaahu’anhumaa.
[12] Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab “ash shoum”, bab puasa hari ‘asyuro: (1/478), dan oleh Muslim, kitab “ash shiaam”: (1/501), nomor: (1125), dari hadis ‘Aisyah rodhiyallaahu’anhaa.
[13] Fathul Baarii, karangan Ibnu Hajar: (4/247)
[14] Tashhiihud du’aa`, karangan Bakr Abu Zayd: (109)
[15] Muttafaqun ‘alayhi. Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab “ashshulhu”, bab apabila mereka mengadakan perdamaian dengan perjanjian curan, maka perdamaian tersebut tertolak: (2/5). Dan oleh Muslim, kitab “al aqdhiyah”: (2/821) nomor (1718), dari hadis Aisyah rodhiyallaahu’anhaa.
[16] Dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab “as sunnah” bab tentang melazimi as sunnah: (4607). Dan oleh At Tirmdiziy, kitab “al ‘ilmu” bab riwayat-riwayat tentang mengambil as sunnah dan menjauhi bid’ah: (2676). Dan oleh Ahmad dalam Musnadnya: (4/126), dari hadis Al ‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallaahu’anhu. Dan hadis ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqon dalam “al badrul muniir”: (9/582), dan oleh Ibnu Hajar dalam “muwaafaqotul khubri al khobaro”: (1/136). Dan oleh Al Albani dalam “as silsilah ash shohiihah”: (2735). Dan dihasankan oleh Al Waadi’iy dalam “ash shohiihul musnad”: (938)
[17] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab “al Aqdhiyah”: (2/822) nomor: (1718), dari hadis Aisyah rodhiyallaahu’anhaa.
[18] Tafsirul Qur`aanil ‘Azhiim, karangan Ibnu Katsir: (1/358)
[19] Al Bidaayah Wan Nihaayah, karangan Ibnu Katsir: (3/177).
[20] Lihat “Al Bidaayah Wan Nihaayah, karangan Ibnu Katsir: (3/177, 190), “Fushuul Fi Siirotir Rosuul” karangan Ibnu Katsir: (80), “Mukhtashor Siirotur Rosuul” karangan Muhammad bin Abdil Wahab: (2/166)
[21] Fathul Baariy, karangan Ibnu Hajar: (7/268).
[22] Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab “al iimaan”, bab: seorang muslim adalah yang orang muslim lainnya selamat dari tangan dan lidahnya: (1/9) dari hadis Abdullah bin Amr rodhiyallaahu’anhuma.
[23] Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya: (196), dan oleh Abd bin Humaid dalam Musnadnya: (338), dan Al ‘Adaniy dalam “al iimaan”: (26), dan oleh Ibnu Mandah dalam “al iimaan”: (318), dan oleh Al Muruuziy dalam “Ta’zhiim Qodrish Sholaati”: (545), dari hadis Abdullah bin Amr rodhiyallaahu’anhuma. Dan dishashihkan oleh Al Albani dalam tahqiq kita “al iimaan” karya Ibnu Taimiyyah (3).
[24] Dikeluarkan oleh Bukhori, kitab “bad`ul wahyi” bab bagaimanakah awal mula wahyu diturunkan kepada Rasulullah shollallahu’alayhiwasallam: (1/3). Dan oleh Muslim, kitab “al imaaroh”: (2/920), nomor: (1907) dari hadis Umar bin Khoththob rodhiyallaahu’anhu.
[25] Thoriiqul hijrotayni, karangan Ibnul Qoyyim: (20)
Diterjemahkan oleh Abu Abdil Halim Zulkarnain, dari tautan: http://www.ferkous.com/rep/M46.php
Bulan Muharam Bukan Bulan Sial
“Bulan Muharram telah tiba, jangan mengadakan
hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Begitulah kata sebagian
sebagian orang di negeri ini. Ketika hendak mengadakan hajatan, mereka
memilih hari/bulan yang dianggap sebagai hari/bulan baik yang bisa
mendatangkan keselamatan atau barakah. Dan sebaliknya, mereka
menghindari hari/bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk yang bisa
mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram (Suro) yang
sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan.
Bahkan kebanyakan mereka meyakininya sebagai prinsip dari agama Islam.
Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh
agama?
Maka simaklah kajian kali ini, dengan penuh tawadhu’ untuk senantiasa
menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai yang
telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.
Apa Dasar Mereka Menentukan Bulan Suro Sebagai Pantangan Untuk Hajatan?
Kebanyakan mereka sebatas ikut-ikutan (mengekor) sesuai tradisi yang
biasa berjalan di suatu tempat. Ketika ditanyakan kepada mereka,
“Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab
bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus
menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang
kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang
tua”, demikianlah kenyataannya.
Para pembaca sekalian, dalil “apa kata orang tua”, bukanlah jawaban
ilmiah yang pantas dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi
permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka
permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As
Sunnah, benarkah atau justru dilarang oleh agama?
Sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak
memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela.
Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru
oleh Rasulullah ? untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa kata
mereka? (artinya):
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut
suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.”
(Az Zukhruf: 22)
Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum
Nabi Ibrahim ? ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan
kepada selain Allah.
“Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala, pen).” (Asy Syu’ara’: 74)
Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di
lautan? Ya, mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, mereka
mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …” (Yunus: 78)
Kaum ‘Aad yang telah Allah ? binasakan juga mengatakan sama. Ketika
Nabi Hud ? menyeru mereka untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan
kesyirikan, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami, agar kami menyembah Allah saja dan
meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?” (Al A’raf:
70)
Apa pula yang dikatakan oleh kaum Tsamud dan kaum Madyan kepada nabi mereka, nabi Shalih dan nabi Syu’aib?
Mereka berkata: “Apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?…” (Hud: 62)
“Wahai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kami agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami …” (Hud: 87)
Demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari
kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan
nenek moyang mereka.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Al
Baqarah: 170)
Lihatlah, wahai pembaca sekalian, mereka menjadikan perbuatan yang
dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk
beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada
mereka.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al
Baqarah: 170)
Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam,
telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan
mengamalkan agama ini di atas bimbingan Allah ? dan Rasul-Nya ?. Allah
berfirman (artinya):
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raf: 3)
Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyyah
Mengapa sebagian kaum muslimin enggan untuk mengadakan hajatan
(walimah, dan sebagainya) pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu
lainnya?
Ya, karena mereka menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa
mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan
hajatan pada bulan tersebut, Subhanallah. Keyakinan seperti ini biasa
disebut dengan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni
suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan
pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu.
Misalnya seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia
melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan
perjalanannya karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan
membawa kerugian dalam usahanya.
Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat
mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang,
keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus
dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali keyakinan bahwa
segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah dan membebaskan hati ini
dari ketergantungan kepada selain-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al A’raf: 131)
Tathayyur Termasuk Kesyirikan Kepada Allah
Seseorang yang meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara
walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa
kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam
kesyirikan kepada Allah ?.
Rasulullah ? yang telah mengkabarkan demikian, dalam sabdanya:
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Para pembaca, ketahuilah bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya:
1. Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya
kepada Allah ?. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang
Allah ? perintahkan kepada hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya,
keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari
Allah ?.
Allah berfirman (artinya):
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada
suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya
(menguasai sepenuhnya).” (Hud: 56)
2. Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan
sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk
dijadikan tempat bergantung). Ketika seseorang menggantungkan
keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan
yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak
bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah
satu-satunya tempat bergantung. Allah berfirman (artinya):
“Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)
Para pembaca, orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan;
Pertama: meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
Bagaimana Menghilangkannya?
Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan
hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur,
maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.
‘Abdullah bin Mas’ud, salah seorang shahabat Rasulullah telah
membimbing kita bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal
kepada Allah.
Tawakkal yang sempurna, dengan benar-benar menggantungkan diri kepada
Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan
mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang,
baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, dia yakin bahwa
itu semua merupakan kehendak-Nya yang penuh dengan keadilan dan hikmah.
Rasulullah juga mengajarkan do’a kepada kita:
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.” (HR. Ahmad)
Hakekat Musibah
Suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah
tertentu. Ketahuilah bahwasanya musibah itu bukan karena hajatan yang
dilakukan pada bulan Muharram, tetapi musibah itu merupakan ujian dari
Allah.
Orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah
keimanannya karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” (HR. Al Bukhari)
Ketahuilah, wahai pembaca, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu
juga merupakan akibat perbuatannya sendiri. Allah berfirman (artinya):
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …” (Asy Syura: 30)
Yakni disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan manusia.
Tinggalkan Tathayyur, Masuk Al Jannah Tanpa Hisab dan Tanpa Adzab
Salah satu keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa orang yang mentauhidkan
Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk
ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari mereka akan merasakan
adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang
dilakukannya.
Namun di antara mereka ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam
Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah
mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa
70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta
dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang
sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada
Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Meraka dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab
karena kesempurnaan tauhid mereka. Ketika ditimpa kesialan atau
kesusahan tidak disandarkan kepada hari/bulan tertentu atau tanda-tanda
tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah.
Semoga tulisan yang singkat ini, dapat memberikan nuansa baru bagi
saudara-saudaraku yang sebelumnya tidak mengetahui bahaya tathayyur dan
semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.
(Dikutip dari tulisan redaksi buletin Al Ilmu Jember, judul asli BULAN MUHARRAM BUKAN BULAN SIAL. URL Sumber http://www.assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah3)
Sunnahnya Puasa Asyura di bulan Muharam
Penulis: Al Ustadz Ja’far Shalih
Puasa selain merupakan ibadah yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengandung sekian banyak manfaat yang lain. Dengan berpuasa seseorang dapat mengendalikan syahwat dan hawa nafsunya. Dan puasa juga menjadi perisai dari api neraka. Puasa juga dapat menghapus dosa-dosa dan memberi syafaat di hari kiamat. Dan puasa juga dapat membangkitkan rasa solidaritas kemanusiaan, serta manfaat lainnya yang sudah dimaklumi terkandung pada ibadah yang mulia ini.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari
‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi
sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah
Subhanahu wa Ta’ala selamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari kejaran
Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepadanya, Nabi Musa ‘alaihissalam akhirnya berpuasa pada hari
ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi
wassalam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau
bersabda,
فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi)”.
Yang demikian karena pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
sampai di Madinah, beliau mendapati Yahudi Madinah berpuasa pada hari
ini, maka beliau sampaikan sabdanya sebagaimana di atas. Semenjak itu
beliau Saw memerintahkan ummatnya untuk berpuasa, sehingga jadilah
puasa ‘Asyura diantara ibadah yang disukai di dalam Islam. Dan ketika
itu puasa Ramadhan belum diwajibkan.
Adalah Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhu yang menceritakan kisah ini
kepada kita sebagaimana yang terdapat di dalam Shahih Bukhari No 1900,
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِيْنَةَ فَرَأَى
اليَهُوْدَ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاء فَقَالَ:ماَ هَذَا؟ قَالُوْا
هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ
مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوْسَى. قَالَ: فَأَناَ أَحَقُّ بِمُوْسَى
مِنْكُمْ. فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Tatkala Nabi Saw datang ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi
melakukan puasa di hari ‘Asyura. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam
bertanya, “Hari apa ini?”. Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah
hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya,
maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini. Nabi Saw bersabda,
“Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi). Maka
beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk
melakukannya”. HR Al Bukhari
Dan dari Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengisahkan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ
يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ
وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk
puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan,
barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan
barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka”. HR Al
Bukhari No 1897
Keutamaan puasa ‘Asyura di dalam Islam.
Di masa hidupnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam berpuasa di hari
‘Asyura. Kebiasaan ini bahkan sudah dilakukan beliau Shallallahu
‘alaihi wassalam sejak sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan dan terus
berlangsung sampai akhir hayatnyaShallallahu ‘alaihi wassalam . Al Imam
Al Bukhari (No 1902) dan Al Imam Muslim (No 1132) meriwayatkan di dalam
shahih mereka dari Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى
صِيَامَ يَومَ فَضْلِهِ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا اليَوْمِ يَوْمُ
عَاشُوْرَاءَ وَهذَا الشَّهْرُ يَعْنِي شَهْرُ رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah mendapati Rasulullah menjaga puasa suatu hari karena
keutamaannya dibandingkan hari-hari yang lain kecuali hari ini yaitu
hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan”.
Hal ini menandakan akan keutamaan besar yang terkandung pada puasa di
hari ini. Oleh karena itu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam
ditanya pada satu kesempatan tentang puasa yang paling afdhal setelah
Ramadhan, beliau menjawab bulan Allah Muharram. Dan Al Imam Muslim
serta yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ. وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيْضَةَ، صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah
Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah
shalat malam”.
Dan puasa ‘Asyura menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu. Al Imam
Abu Daud meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari Abu Qatadah Ra,
وَصَوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ إنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَنَة َالتِيْ قَبْلَهُ
“Dan puasa di hari ‘Asyura, sungguh saya mengharap kepada Allah bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu”.
Hukum Puasa ‘Asyura
Sebagian ulama salaf menganggap puasa ‘Asyura hukumnya wajib akan
tetapi hadits ‘Aisyah di atas menegaskan bahwa kewajibannya telah
dihapus dan menjadi ibadah yang mustahab (sunnah). Dan Al Imam Ibnu
Abdilbarr menukil ijma’ ulama bahwa hukumnya adalah mustahab.
Waktu Pelaksanaan Puasa ‘Asyura
Jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari
‘Asyura adalah hari ke-10 di bulan Muharram. Di antara mereka adalah
Said bin Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Malik, Ahmad, Ishaq dan yang
lainnya. Dan dikalangan ulama kontemporer seperti Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah. Pada hari inilah Rasullah Saw
semasa hidupnya melaksanakan puasa ‘Asyura. Dan kurang lebih setahun
sebelum wafatnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ َلأَصُوْمَنَّ التَاسِعَ
“Jikalau masih ada umurku tahun depan, aku akan berpuasa tanggal sembilan (Muharram)”
Para ulama berpendapat perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , “…aku akan berpuasa tanggal sembilan (Muharram)”, mengandung kemungkinan beliau ingin memindahkan puasa tanggal 10 ke tanggal 9 Muharram dan beliau ingin menggabungkan keduanya dalam pelaksanaan puasa ‘Asyura. Tapi ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ternyata wafat sebelum itu maka yang paling selamat adalah puasa pada kedua hari tersebut sekaligus, tanggal 9 dan 10 Muharram..
Dan Al Imam Asy-Syaukani dan Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan puasa ‘Asyura ada tiga tingkatan. Yang pertama puasa di hari ke 10 saja, tingkatan kedua puasa di hari ke 9 dan ke 10 dan tingkatan ketiga puasa di hari 9,10 dan 11. Wallahua’lam.
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Ja’far Shalih. Judul asli SUNNAH PUASA ‘ASYURA. URL Sumber http://www.ahlussunnah-jakarta.org/detail.php?no=176)