Waktu Berpuasa dan yang berkaitan tentangnya
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly
Pada awalnya, para sahabat Nabiyul Ummi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berpuasa dan hadir waktu berbuka mereka makan serta menjima’i isterinya selama belum tidur. Namun jika seseorang dari mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka), dia tidak boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara di atas.
Kemudian Allah dengan keluasan rahmat-Nya memberikan rukhshah (keringanan) hingga orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur. Hal ini diterangkan dengan rinci dalam hadits berikut.
Dari Barra’ bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Dahulu
sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam jika salah seorang diantara
mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka,
tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore hari lagi.
Sungguh Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, ketika tiba waktu
berbuka beliau mendatangi isterinya kemudian berkata : “Apakah engkau
punya makanan ?” Isterinya menjawab : “Tidak, namun aku akan pergi
mencarikan untukmu” Dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk
dan tertidur, ketika isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun
berkata ” Khaibah”[1] untukmu” . Ketika pertengahan hari diapun
terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga turunlah ayat ini, (yang artinya)
: “Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur (berjima’)
dengan isteri-isterimu” [Al-Baqarah : 187]
Dan turun pula firman Allah (yang artinya) : “Dan makan minumlah
sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”
[Al-Baqarah : 187] [Hadits Riwayat Bukhari 4/911].
Inilah rahmat Rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata : “Kami mendengar dan kami taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami kembali” (yakni) dengan memberikan batasan waktu puasa : dimulainya puasa dan waktu berakhirnya. (puasa) dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.
1. Benang Putih dan Benang Hitam
Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabi Shalallalahu ‘alaihi
wa sallam sengaja mengambil iqal (tali) hitam dan putih [2] kemudian
mereka letakkan di bawah bantal-bantal mereka, atau mereka ikatkan di
kaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam
melihat kedua iqal tersebut (yakni dapat membedakan antara yang putih
dari yang hitam-pent).
Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu berkata : Ketika turun ayat (yang artinya) : “Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” [Al-Baqarah : 187]. Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Beliaupun bersabda “Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang” [3].
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Ketika turun ayat “Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam”. Ada seorang pria jika ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan ayat : “(Karena) terbitnya fajar” , mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang. [Hadits Riwayat Bukhari 4/114 dan Muslim 1091]
Setelah penjelasan Qur’ani, sungguh telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya batasan (untuk membedakan) serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.
Bagi Allah-lah mutiara penyair
Tidak benar sedikitpun dalam akal jikalau
siang butuh bukti.
2. Fajar ada dua
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu ada dua.
Fajar kadzib : Tidak dibolehkan ketika itu shalat shubuh dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
Fajar shadiq : Yang mengharamkan makan bagi yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat shubuh.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Fajar itu ada dua : Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/210, Al-Hakim 1/191 dan 495, Daruquthni 2/165, Baihaqi 4/261 dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha dari Ibnu Abbas, Sanadnya SHAHIH. Juga ada syahid dari Jabir, diriwayatkan oleh Hakim 1/191, Baihaqi 4/215, Daruquthni 2/165, Diikhtilafkan maushil atau mursal, dan syahid dari Tsauban, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/27]
Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :
1. Fajar Kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
2. Fajar Shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar dan tampak di
atas puncak bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di
jalan raya serta di atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan
hukum-hukum puasa dan shalat.
Dari Samurah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan
jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas sampai
melintang” [Hadits Riwayat Muslim 1094]
Dari Thalq bin Ali, (bahwasanya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar
yang memancar ke atas. Makan dan minumlah sampai warna merang
membentang” [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/76, Abu Daud 2/304, Ahmad 4/66,
Ibnu Khuzaimah 3/211 dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin
Thalaq dari bapaknya, sanadnya Shahih. Abdullah bin Nu'man dianggap
tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Hibban dan Al-Ajali. Ibnu Khuzaimah tidak
tahu keadilannya. Ibnu Hajar berkata Maqbul!!].
Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq untuk mentaati
Rabbmu- bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan
dengan ayat yang mulia.
(yang artinya) : “Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar”
Karena cahaya fajar jika membentang di ufuk atas lembah dan
gunung-ghunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di
atasnya benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi
menghilang.
Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan berjima’. Kalau di tanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang, karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa. Minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya” [Hadits Riwayat Abu Daud 235, Ibnu Jarir 3115. Al-Hakim 1/426, Al-Baihaqi 2/218, Ahmad 3/423 dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amir dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, sanadnya HASAN. Ada jalan lain diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Hakim 1/203,205 dari jalan Hammad dari Amr bin Abi Amaran dari Abu Hurairah, sanadnya shahih].
Yang dimaksud adzan dalam hadits di atas adalah adzan subuh yang
kedua karena telah terbitnya Fajar Shadiq dengan dalil tambahan
riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir At-Thabari
2/102 dan selain keduanya setelah hadits di atas.
(yang artinya) : “Dahulu seorang muadzin melakukan adzan ketika terbit
fajar” [Riwayat tambahan ini membatalkan ta'liq Syaikh Habiburrahman
Al-Adhami Al-Hanafi terhadap Mushannaf Abdur Razaq 4/173 ketika berkata
: "Ini dimungkinkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya
muadzin adzan sebelum terbit fajar!!" Walhamdulillahi wahdah].
Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu.
“Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar masih
ada gelas, dia berkata : ‘Boleh aku meminumnya ya Rasulullah ?’
Rasulullah bersabda : “Ya’ minumlah” [Hadits Riwayat Ibnu Jarir 2/102
dari dua jalan dari Abu Umamah]
Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit Fajar Shadiq dengan dalih hati-hati adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata dalam Al-Fath 4/199 : “Termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa, mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ikhtiyath (hati-hati) dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan mereka- mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur hingga menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak tersebar kejahatan pada mereka. Allahul musta’an”.
Kami katakan : Bid’ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini. Kepada Allah-lah kita mengadu.
3. Menyempurnakan puasa hingga malam
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah
barat dan matahari telah terbenam bebukalah orang yang puasa.
Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan terbenam matahari, telah berbukalah orang yang puasa” [Hadits Riwayat Bukhari 4/171, Muslim 1100. Perkataannya : "Telah berbuka orang yang puasa" yakni dari sisi hukum bukan kenyataan karena telah masuk puasa].
Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada. Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika orang itu berkata : “Matahari telah terbenam”, beliaupun berbuka [Hadits Riwayat Al-Hakim 1/434, Ibnu Khuzaimah 2061, di SHAHIH kan oleh Al-Hakim menurut syarat Bukhari-Muslim. Perkataan Aufa : Yakni naik atau melihat.]
Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi pada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.
Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu ‘anhu : “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar (perjalanan), ketika itu kami sedang berpuasa (di bulan Ramadhan). Ketika terbenam matahari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sebagian kaum : “Wahai Fulan (dalam riwayat Abu Daud : Wahai Bilal) berdirilah, ambilkan kami air”. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, kalau engkau tunggu hingga sore”, dalam riwayat lain : matahari). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turun, ambilkan air”. Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda, “Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas onta, yakni matahari”. Kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat lain : berisyarat dengan tangannya) (Dalam riwayat Bukhari- Muslim : berisyarat dengan telunjuknya ke arah kiblat) kemudian berkata : “Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa”. [Hadits Riwayat Bukhari 4/199, Muslim 1101, Ahmad 4/381, Abu Daud 2352. Tambahan pertama dalam riwayat Muslim 1101. Tambahan kedua dalam riwayat Abdur Razaq 4/226. Perkataan beliau : "Ambilkan segelas air" yakni : siapkan untuk kami minuman dan makanan. Ashal Jadh : (mengaduk) menggerakkan tepung atau susu dengan air dengan menggunakan tongkat (kayu)]
Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Said Al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. [Diriwayatkan oleh Bukhari dengan mu'allaq 4/196 dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 3/12 dan Siad bin Manshur sebagaimana dalam Al-Fath 4/196, Umdatul Qari 9/130, lihat Taghliqut Ta'liq 3/195]
Peringatan :
Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan dengan pandangan mata
manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan mengintai hilal
dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru atau berpegangan
dengan penanggalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga menjadi sebab
sedikitnya kebaikan pada mereka [Barangsiapa yang ingin tambahan
penjelasan dan rincian yang baik akan dia temukan dalam kitab : Majmu'
Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/126-202, Al-Majmu' Syarhul
Muhadzab 6/279 karya Imam Nawawi, Talkhisul Kabir 2/187-188 karya Ibnu
Hajar] Wallahu a’alam.
Peringatan Kedua :
Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan jadwal-jadwal waktu
shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun !! Hingga mereka
mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka
menentang petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar’i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib. Camkanlah ini dan pahamilah.!
——————————————————————————–
Footnote :
1. Dari Al-Khaibah yaitu yang diharamkan, dikatakan khoba yakhibu jika tidak mendapat permintaannya mencapai tujuannya.
2. Iqal yaitu tali yang dipakai untuk mengikat unta, Mashabih 2/422
3. Hadits Riwayat Bukhari 4/113 dan Muslim 1090, dhahir ayat ini bahwa
Adi dulunya hadirs ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tetapi
tidak demikian, karena diwajibkannya puasa tahun kedua dari hijrah, Adi
masuk Islam tahun sembilan atau kesepuluh, adapun tafsir Adi ketika
turun : yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku,
inilah yang rajih sebagaimana riwayat Ahmad 4/377 : “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari shalat dan puasa, beliau
berkata : “Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam
matahari makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang
hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal
sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan
putih….hadits” Al-Fathul 4/132-133 dengan perubahan.
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H.
Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh
terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Niat dalam berpuasa wajib di bulan Ramadhan
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly
1. Wajibnya Niat Puasa Wajib Sebelum Terbit Fajar
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau
persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi
tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat
puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa yang tidak
niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”
[Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari
jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin
Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari
bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi
dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan
dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari
jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) :
“Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka
tidak ada puasa baginya” [Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi
4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari
Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an-anah Ibnu Juraij, akan
tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya].
Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid’ah yang
sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik.
Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa
wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda
(yang artinya) : “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak
ada aku akan berpuasa” [Hadits Riwayat Muslim 1154].
Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda’, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147]
Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta’ala a’lam
2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari’at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu
sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus
menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya,
-ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha’).
Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk
bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari,
karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah
masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari’at yang telah
ditetapkan : “Kemampuan adalah dasar pembebanan syari’at.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia berkata) (yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan” [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135]
Dan dari Salamah bin Al-Akwa’ Radhiyallahu, ia berkata (yang artinya) : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura” [Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135].
Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.
3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa
Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut
sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi
karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang
makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits
Salamah bin Akwa’ tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami pada hari
Asyura kemudian beliau bersabda : “Apakah kalian puasa pada hari ini ?”
sebagian mereka menjawab : “Ya” dan sebagian yang lainnya menjawab :
“Tidak” (Kemduian) beliau bersabda : “Sempurnakanlah puasa hari pada
sisa hari ini”. Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk
Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka” [Hadits
Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu Majah
1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya'bi darinya,
dengan sanad yang Shahih]
Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud [Hadits Riwayat Muslim 1127] : “Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura”.
Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : “Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent)
Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a’lam.
Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib
telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang
menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura
menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
1. Wajibnya puasa Asyura
2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum
terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan
3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut, maka tidak wajib mengqadha’
Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a’lam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata : “Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : “Kalian puasa hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha’lah kalian”.
Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu :
1. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.Adz-Dzahabi
berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567 : “(Dia) tidak dikenal”
Al-Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239 : “Keduanya majhul”. Dibawakan
oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta’dil 5/288, tidak disebutkan
padanya Jarh atau Ta’dil.
2. Ada ‘an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=305
Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa
Penulis: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.
Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak
berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran
karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang
berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila
tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi.
Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa
dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau
adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.”
(Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh
pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik
baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah
sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan
syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
… يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي …
“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar
rumah dengan memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari
suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau
menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan
pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada
yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi
dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak
terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun
seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka
tidak membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu)
kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu
bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788,
An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa,
hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298
Jima’ Saat Puasa Ramadhan
Penulis: Al-Ustadz Usamah Mahri, Lc
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِيْ رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقْبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ فَأَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ: أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Orang itu menjawab: “Aku telah menggauli (berjima’-pen) istriku di siang Ramadhan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyatakan: “Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau memberi makan enampuluh orang miskin?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian iapun duduk dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi satu wadah kurma (sebanyak enampuluh mudd-pen) dan beliau berkata: “Shadaqahkan ini.” Orang itu bertanya: “Kepada yang lebih fakir dari kami? Sungguh di kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini dari kami.” Mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) dari jalan Az-Zuhri Muhamad bin Muslim dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.
Dari Az-Zuhri diriwayatkan dari sembilan jalan:
1. Ibrahim bin Sa’d dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat Fathul Bari, 10/519) dan Ahmad bin Yunus (Al-Fath, 9/423).
2. Sufyan bin ‘Uyainah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (Al-Fath, 11/604) dan Al-Qa’nabi (Al-Fath, 11/605), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair (7/224), sementara Abu Dawud dari jalan Musaddad dan Muhamad bin ‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara At-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu ‘Ammar Al-Husain bin Huraits dan beliau menyatakan: hasan shahih (Al-‘Aridhah, 3/198). Juga Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).
3. Syu’aib bin Abi Hamzah dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Abul Yaman (Al-Fath, 4/193).
4. Manshur dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (Al-Fath, 4/204), sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).
5. Al-Laits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Qutaibah (Al-Fath, 5/264), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah dan Muhamad bin Rumh (7/226).
6. Ma’mar dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Mahbub dari Abdul Wahid (11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq (7/227), sementara Abu Dawud dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq (‘Aunul Ma’bud, 7/16)
7. Al-Auza’i dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Muqatil dari Abdullah (10/568).
8. Ibnu Juraij dikeluarkan Muslim dari jalan Muhamad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq (7/227).
9. Malik dikeluarkan Abu Dawud dari jalan Al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).
Hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin radiyallahu ‘anha:
Hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anhuma semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas dan dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai, diriwayatkan dari jalan Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha.
Dari Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:
1. Abdurrahman bin Harits dikeluarkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhamad bin Auf dari Sa’id bin Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman bin Al-Harits.
بِعَرَقٍ فِيْهِ عِشْرُوْنَ صَاعًا
(Al-‘Aun, 7/20).
2. Abdurrahman bin Qasim dan darinya diriwayatkan dari dua jalan:
1). ‘Amr bin Harits dikeluarkan Al-Bukhari secara mu’allaq dari Al-Laits (Al-Fath, 12/134) dan disebutkan secara maushul oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta’liq (5/237). Sementara Muslim dari jalan Abu Thahir bin Sarh dari Ibn Wahb (7/229), dan Abu Dawud dari jalan Sulaiman bin Dawud Al-Mahri dari Ibn Wahb (Al-‘Aun, 7/20)
2). Yahya bin Sa’id dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Abdullah
bin Numair dari Yazid bin Harun (Al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari
jalan Muhammad bin Rumh dari Al-Laits (7/228) dan dari Muhammad bin
Mutsanna dari Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi (7/228).
Fiqhul (kandungan) Hadits:
1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.
2. Hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anha di atas dikeluarkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya pada bab:
إِذَا جَامَعَ فِيْ رَمَضَانَ
Menurut Al-Hafidz, yang dimaksud adalah orang tersebut telah melakukan jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja dan ia tahu keharamannya sehingga ia wajib membayar kaffarah.
Al-Imam Al-Bukhari dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan sighah tamridh:
وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضَهُ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ
Disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
“Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena sakit maka ia tidak bisa membayarnya dengan puasa selamanya kalaupun ia lakukan.”
Al-Hafidz berkata: “Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka dan dishahihkan Ibnu Hazm dari jalan Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah, keduanya dari Habib bin Abi Tsabit dari ‘Ammarah bin Umair dari Abul Muthawwas dari ayahnya dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan lafadz:
فِيْ غَيْرِ رَخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ تَعَالَى لَهُ لَمْ يُقْضَ عَنْهُ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“… Tanpa rukhshah yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa membayarnya walaupun ia puasa sepanjang masa.”
3. Lafadz
هَلَكْتُ
yang dimaksud adalah “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha dengan lafadz
احْتَرَقْتُ
: “Aku telah terbakar”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: “Mengapa?” Jawabnya: “Karena aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadhan.”
4. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak bahayanya dosa.
5. Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa itu.
6. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari jima’.
7. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red).
Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib, karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur hukumnya.
8. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.
9. Susunan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan secara berurutan dan tidak dengan pilihan secara bebas, demikian menurut pendapat mayoritas ulama.
10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah- dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-. Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.
11. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat berturut-turut.
12. Sabda Rasulullah n:
اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Pergi dan berikan ini pada keluargamu”
Artinya yang paling benar menurut Ibnul ‘Arabi, Al-Baghawi, Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Daqiqil ‘Ied adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada keluarganya karena kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap dalam tanggungannya dan harus ia bayar ketika mampu. Ini adalah madzhab Malik bin Anas.
Oleh sebab itu Al-Bukhari memberi judul bab:
إِذَا جَامَعَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ فَتُصَدِّقُ عَلَيْهِ فَلْيُكَفِّرْ
Jika berjima’ dan tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka hendaknya ia membayar kaffarah.
Kata Al-Hafidz, ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan seseorang tidaklah menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, namun hal itu tetap menjadi tanggungannya.(Al-Fath, 4/204)
13. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.
14. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat buruknya.
15. Bolehnya duduk di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan lainnya seperti belajar dan mengajar.
16. Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.
17. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui kecuali dari dirinya.
18. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.
19. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.
20. Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (meng-qodho) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.
Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya.
Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.
Termasuk yang menguatkan pendapat yang mewajibkan membayar puasa bersama dengan kaffarah adalah lafadz
صُمْ يَوْمًا مَكَانَهُ
: “Dan puasalah sehari sebagai gantinya.” Dari riwayat Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, juga tersebut pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar dan Hisyam bin Sa’d, semuanya dari Az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair, Hasan dan Muhamad bin Ka’b. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar, dari keseluruhan jalan di atas diketahui bahwa tambahan perintah untuk bayar puasa memiliki asal (ada benarnya) (Al-Fath: 4/204)
21. Hadits dan atsar ini menurut Ibnu Hajar sengaja dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’ maka wajib membayar kaffarah, sementara hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengisyaratkan kelemahannya dengan sighah tamridh (bentuk pasif). Kalaupun shahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan qadha (membayar puasa) bagi yang membatalkan puasanya dengan makan, tetapi tetap hal itu menjadi tanggungannya sebagai tambahan balasan baginya. Hal ini karena dengan diqadha berarti terhapus dosa darinya, namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti gugur pula kewajiban membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’, dan pembatalan karena jima’ berbeda jelas dengan pembatalan karena makan.
22. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang dengannya gugur suatu hukum darinya atau berhak dengannya mengambil sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak dibebani untuk mendatangkan bukti, karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir dan mengaku telah merusak puasanya.
23. Hadits ini ditulis sebagai sebuah karya secara tersendiri tentang penjelasan dan keterangannya oleh Al-Imam Abdurrahim bin Hussain Al-‘Iraqi, dimana beliau membahas dan meng-istimbath tentang 1001 masalah dalam satu hadits ini. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menyatakan bahwa ulama hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan tentang sanad, al-jarh wat-ta’dil dan sejenisnya, dan tidak mengerti tentang fiqh hadits.
وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Sumber Bacaan:
1. Al-I’lam bi Fawa ‘id ‘Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin
2. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfury
3. Sunan Ibnu Majah
4. ‘Aridhotul Ahwadzi, Ibnul ‘Arabi Al-Maliki
5. ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al-Adzimi Abadi
6. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalani
7. Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi
( http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=299)
Targhib (Penyemangat) Bagi yang Puasa Ramadhan
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly
1. Pengampunan Dosa
Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa
Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa,
dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di
lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan
diberkahi ini.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (mengharap wajah ALLAH) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” [Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759, makna "Penuh iman dan Ihtisab' yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga, -Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “ Shalat yang lima waktu, Jum’at ke Jum’at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar” [Hadits Riwayat Muslim 233].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin” Ditanyakan kepadanya : “Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?” Beliau bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya Jibril ‘Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata : “Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan “Amin”, maka akupun mengucapkan Amin….” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin].
2. Dikabulkannya Do’a dan Pembebasan Api Neraka
Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka
setiap siang dan malam dalam bulan Ramadhan, dan semua orang muslim
yang berdo’a akan dikabulkan do’anya” [Hadits Riwayat Bazzar 3142,
Ahmad 2/254 dari jalan A'mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan
oleh Ibnu Majah 1643 darinya secara ringkas dari jalan yang lain,
haditsnya shahih. Do'a yang dikabulkan itu ketika berbuka, sebagaimana
akan datang penjelasannya, lihat Misbahuh Azzujajah no. 60 karya
Al-Bushri]
3. Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada
Dari ‘Amr bin Murrah Al-Juhani[1] Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
Datang seorang pria kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
berkata : “Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang hak kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah, aku
shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan
shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku ?”
Beliau menjawab (yang artinya) : “ Termasuk dari shidiqin dan syuhada”
[Hadits Riwayat Ibnu Hibban (no.11 zawaidnya) sanadnya Shahih]
Footnote :
[1]. Lihat Al-Ansab 3/394 karya As-Sam’ani, Al-Lubab 1/317 karya Ibnul Atsir
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=302
Ancaman bagi yang Membatalkan Puasa Ramadhan
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly
Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dhabaya[1], membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik”. Aku katakan, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, ‘Suara apakah ini?’. Mereka berkata, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka.[2] .” [Riwayat An-Nasa'i dalam Al-Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 4/166 dan Ibnu Hibban (no.1800-zawaidnya) dan Al-Hakim 1/430 dari jalan Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin 'Amir dari Abu Umamah. Sanadnya shahih].
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa berbuka satu hari saja
pada bulan Ramadhan dengan sengaja, tidak akan bisa diganti walau
dengan puasa sepanjang zaman kalau dia lakukan”
Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan di bahas di akhir kitab ini.
Footnote:
[1]. Yakni : dua lenganku
[2]. Sebelum tiba waktu berbuka puasa
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)
Hukum Ringkas Puasa Ramadhan
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi
Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Diantara
acara tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan
meski syariat tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara
tertentu menyambut datangnya bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang
ditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah.
Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.
Keutamaan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).”
(Al-Baqarah: 185)
Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النِّيْرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan dibelenggulah para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)
Penghapus Dosa
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu
Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لَمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Rukun Berpuasa
a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam :
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu ‘anhu )
Juga hadits Hafshah radiyallahu ‘anha, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:
مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.
Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah,
‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dan tidak ada yang menyelisihinya dari
kalangan para shahabat.
Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah n pernah datang kepada ‘Aisyah radiyallahu ‘anha pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim)
Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abud-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman rahimahumullah. Ini adalah pendapat jumhur.
Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam.
Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama [1]
b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits
dari ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak
dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang
diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR.
Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu
‘Abbas c dan bukan sabda Nabi n). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi,
Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya
(1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga
diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara
diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
Wallahu a’lam.
Footnote :
1. Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red
Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?
Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat
tertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang
muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanita
maka harus bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, orang
gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orang
tua yang lemah serta wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di
dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia
menjadi seorang muslim dan ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban
beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radiyallahu ‘anha:
“Utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mengumumkan di pagi
hari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklah
dia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia
makan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami
mempuasakan kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami
buatkan mereka mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangis
karena (ingin) makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanya
hingga mendekati buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Berkata Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma:
“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa
dan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha
atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)
Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan) sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib
atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orang
yang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa
menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari
yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap
janinnya atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha
puasanya dan bukan membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat
dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi z, bersabda Rasulullah n:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi
orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.”
(HR. An-Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haidh dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya
untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia
telah melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.
Diantara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah radiyallahu ‘anha:
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Adalah kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam
(http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=295)