Perjalanan Menuju Akhirat
Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan.
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al Fajr: 24)
Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18)
Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qotadah berkata: “Senantiasa tuhanmu (Allah) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok.” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfan (hal. 152 – Mawaaridul Amaan). Beliau (Abu Qatadah) adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409)
Semoga Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan)
Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah (saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (hal. 461)).
Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…
Dunia tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053)
Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.
Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan))
Dalam mengungkapkan makna ini Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:
Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?
(Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462))
Sikap hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)
Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).
Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى
Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa
Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))
Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.
Inilah diantara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457))
Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.
Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)
Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871))
Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya). Dalam hadits yang shahih (Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh Az Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)
Beliau (Ibnu Abdil Barr) adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul Huffaazh (3/1128).
Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa
Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs. An Naazi’aat: 37-41).
Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)
Penutup
Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.
Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)
Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:
Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Shafar 1430 H
***
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Akhir Kehidupan Yang Jelek
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وبعد
Dari Sahl bin Sa`ad as Saa`idiy radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata :
إن العبد ليعمل- فيما يرى الناس- عمل أهل الجنة، وإنه لمن أهل النار، ويعمل فيما يرى الناس عمل أهل النار وهو من أهل الحنة، وإنما الأعمال بخواتيمها
Artinya : “Sesungguhnya seorang hamba betul-betul mengamalkan amalan ahli surga sebagaimana dilihat oleh manusia, padahal dia salah seorang dari penghuni neraka, dan seorang hamba mengerjakan amalan penghuni neraka sebagaimana yang disaksikan oleh manusia, padahal dia salah seorang penghuni sorga, sesungguhnya amalan tersebut dinilai dikala penutupnya”.[1]
Berkata Ibnu Bathol mengenai hadist diatas:
“Tersembunyinya penutup amalan dari seorang hamba merupakan hikmah yang tepat sekali. Hal ini merupakan pengaturan yang lembut. Sebab kalau seandainya seorang hamba mengetahui dia selamat dalam keadaan menakjubkan, ini akan menjadikan ia malas. Dan kalau seandainya dia mengetahui bahwa ia akan binasa, maka akan bertambah kedurhakaannya. Maka dihijab darinya yang demikian itu (penutup amalannya) supaya dia berada diantara takut dan harap (harap-harap cemas)”.[2]
Oleh karena itu, orang-orang shalih sangat khawatir akan akhir dari kehidupan yang jelek. Diantara mereka berkata : kekhawatiran orang-orang shalih dari akhir kehidupan yang jelek senantiasa di setiap saat dan gerakan. Dan berkata Abu Darda` : “Tidak seorangpun merasa aman atas tidak dicabutnya keimanannya ketika kematian, kecuali akan dicabut dari dirinya[3]. Tatkala kematian mendatangi Imam Sufyan ats Tsauriy rahimahullahu Ta`ala mulailah beliau menangis, maka berkata salah seorang yang hadir kepada beliau : “Wahai Abu `Abdillah apakah dikarenakan banyaknya dosa tangisan ini?” Maka beliau menjawab : “Tidak, akan tetapi saya khawatir akan dicabutnya keimanan ini sebelum kematian.[4]”
Maka dikarenakan inilah takutnya kaum salaf dari dosa-dosa yang akan menjadi hijab (penghalang) diantara mereka dengan akhir kehidupan yang baik.
Berkata al imam Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta`ala : “Ini merupakan fiqh yang sangat besar, dimana takutnya seseorang akan ditipu oleh dosa-dosanya ketika menjelang kematian, yang akan menjadi penghalang diantara dia dengan husnul khatimah”.[5]
Berkata al Haafizh `Abdul Haq al Asybeeliy : “Bagi su’ul khatimah, semoga Allah Tabaaraka wa Ta`ala melindungi kita darinya, mempunyai sebab-sebab. Su’ul khatimah itu ada jalan-jalan dan pintu-pintu, dan penyebabnya yang paling terbesar ialah jungkir balik dengan dunia, mencari dunia dan tamak dengannya. Kemudian berpaling dari akhirat lalu menghadap dan berani melakukan maksiat kepada Allah. Satu sisi dalam bentuk berpaling, dan satu bagian dari bentuk keberanian dan menghadap kepada maksiyat, lalu dia menguasai hatinya dan menahan akalnya, kemungkinan saja kematian mendatanginya ketika dia dalam keadaan demikian. Su’ul khatimah tidak akan terjadi bagi orang-orang yang zhahirnya istiqomah dan bathinnya shalih dan hal ini tidak pernah didengar dan diketahui, segala puji bagi Allah Jalla wa `Alaa. Hanya saja, su’ul khaatimah itu terjadi bagi orang-orang yang rusak dalam akidah, atau larut dalam dosa-dosa besar, dan selalu mengerjakan maksiat yang besar. Sehingga mungkin saja perbuatan dosa itu mengalahkan dia, sampai datang kepadanya kematian sementara dia belum taubat darinya.”[6]
Kadang-kadang nampak ketika seseorang dalam keadaan sakaratul maut apa-apa yang menunjukan su’ul khatimah pada dirinya. Seperti susah baginya untuk mengucapkan syahadatain, bahkan dia menolak kalimat tersebut. Dan ada juga yang selalu berbicara tentang kejelekan dan yang haram-haram, dan menampakan ketergantungan dia dengan maksiat tersebut dan sejenisnya dari bentuk ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang menunjukan berpalingnya dia dari din (agama) Allah Tabaaraka wa Ta`ala dan ia pesimis sampai turunnya qadha (keputusan) Allah Subhaana wa Ta`ala.[7]
Berkata al Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta`ala : “Dan apabila kamu memperhatikan keadaan kebanyakan orang-orang yang sedang sekarat, maka kamu akan mendapatkan diantara mereka dihalangi dengan husnul khatimah, sebagai adzab bagi mereka atas amalan-amalan mereka yang jelek”.[8]
Berkata Ibnu Rajab : “Sesungguhnya su’ul khatimah adalah merupakan sesuatu yang tersembunyi bagi seorang hamba, yang tidak akan bisa dilihat oleh manusia. Kadang-kadang dari sisi bentuk amalan yang jelek dan semisalnya. Maka sifat yang tersembunyi tersebut yang akan menyebabkan terjadinya su’ul khatimah ketika kematian, dan demikian juga kadang-kadang seorang lelaki mengamalkan amalan ahli naar (penduduk neraka), namun dibatinnya terdapat sifat tersembunyi dari sifat-sifat kebajikan, lalu dominan atasnya sifat yang baik itu sampai akhir hayatnya, maka diwajibkan atasnya husnul khatimah”.[9]
Sesungguhnya sebagian ahli ilmu telah menyebutkan beberapa sebab dari su’ul khatimah :
Pertama : Berangan-angan dalam bertaubat, dan terus-menerus larut dalam maksiat, serta bermudah-mudah dalam mengerjakan hal-hal yang wajib, dan sebagian mereka menyembunyikan bahwa dia akan taubat.
Akan tetapi kapan??? Berkata seorang pemuda : “Saya akan taubat ketika saya nikah”, kemudian berkata penuntut ilmu : “Saya akan taubat setelah dari menuntut ilmu”, berkata si miskin: “Saya akan taubat kalau saya sudah jadi pegawai”, berkata si kecil : “Saya akan taubat ketika sudah besar”. Dan beginilah setiap orang menetapkan janji tentang taubatnya, lalu dikatakan kepada mereka seluruhnya : “Siapa yang akan menjamin sampainya kalian kepada angan-angan tersebut? Apakah kalian tidak takut pada ajal yang mendahului kalian sebelum sampai pada angan-angan tersebut? Kemudian kalaupun kalian sampai kepadanya, apakah kalian bisa menjamin bahwa kalian akan diberi taufiq untuk taubat, sementara kalian telah menghabiskan umur kalian dalam kesesatan dan kerusakan, dan larut dalam syahwat yang diharamkan, yang mana keseluruhan itu kebanyakan sebagai penyebab untuk terputar baliknya dan rusaknya hati”. Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”. (QS. Al Anfaal : 24 )
As Syaikh `Abdurrahman as Sa`diy berkata dalam menafsirkan ayat ini : “Allah Ta`ala memerintahkan hamba-hambaNya mukminin kepada apa yang diharuskan oleh keimanan dari mereka, yaitu ketundukan kepada Allah dan RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam. Maksudnya ketundukan terhadap apa yang diperintahkan dan bersegera untuk menunaikannya serta berdakwah kepadanya, lalu menjauhi apa yang dilarang darinya, berhenti dan menahan diri darinya. Sesuai dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta`ala :
(إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ )
Yang artinya : “apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”
Maksudnya di sini adalah sifat yang melazimkan bagi setiap apapun yang diserukan oleh Allah Ta`ala dan RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam kepadanya dan penjelasan tentang faidah dan hikmahnya. Sesungguhnya hidupnya hati dan ruh ini dengan beribadah kepada Allah Ta`ala dan selalu mentaati-Nya serta mentaati Rasul-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam terus-menerus. Kemudian diwanti-wanti dari tidak tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah berfirman:
(وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ )
Yang artinya : “Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya.”
Hati-hati kalian dari menolak perintah Allah awal pertama kali datang kepada kalian, maka dihalangi diantara kalian dengannya ketika kalian ingin melaksanakannya, dan bercerai berai hati–hati kalian. Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa Ta`ala akan membatasi diantara seseorang dengan hatinya. Dia yang akan membolak-balikkan hati sesuai dengan kehendak-Nya, dan memalingkannya kemana yang Dia ingin palingkan. Maka hendaklah seorang hamba memperbanyak ucapan : Wahai Dzat yang membolak-balikan hati-hati ini ! Tetapkan hati saya ini diatas Din Engkau. Wahai
Dzat yang memalingkan hati-hati ini! Palingkan hati saya ini untuk mentaati Engkau. [10]
( وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ )
Yang artinya : “dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”
Maksudnya kalian akan dikumpulkan pada hari yang tidak diragukan lagi adanya, maka dibalas seseorang yang berbuat baik dengan kebajikan dan yang melakukan kejelekan juga dibalas dengan kejelekannya. [11]
Dan Allah Subhaanahu wa Ta`ala berfirman :
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat“. (QS. Al An`aam : 110).
Kemudian Allah Tabaaraka wa Ta`ala menjelaskan sebab-sebab berpalingnya hati ini, maka Allah Jalla wa `Alaa berfirman :
( كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ )
artinya : “Seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya”, yang maksudnya disebabkan menolak kebenaran pada awal kebenaran itu datang kepada mereka, kemudian Allah berfirman:
( وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ )
artinya : “Dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat”,
As Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy rahimahullahu Ta`ala menafsirkan ayat ini sebagai berikut : “Kami akan mengadzab mereka apabila mereka tidak beriman ketika awal datangnya seorang penyeru kepada mereka dan ditegakkanlah atas mereka hujjah dengan bentuk diputar-balikkannya hati mereka dan penghalang diantara mereka dengan keimanan, serta tidak diberi taufiq untuk melalui jalan yang lurus. Dan ini merupakan bentuk keadilan dan hikmah Allah Subhaanahu wa Ta`ala terhadap hamba hambanya. Sesungguhnya mereka sendiri yang mengusahakan atas diri-diri mereka sendiri, dibukakan untuk mereka pintu namun mereka tidak mau masuk kedalamnya, lalu dijelaskan kepada mereka jalan, lantas mereka juga tidak mau untuk mengikutinya. Maka setelah demikian bila telah diharamkan atas mereka taufiq, itulah yang cocok dengan keadaan mereka.[12]
Sungguh Allah telah mencela satu kaum yang memiliki angan-angan yang panjang sampai melalaikan mereka dari beramal untuk akhirat mereka, maka datanglah kepada mereka ajal secara tiba-tiba sementara mereka dalam keadaan lalai. Allah `Azza wa Jalla berfirman:
رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ (2) ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
Yang artinya : “Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” (QS. Al-Hijr : 2-3)
Al Imam As Syaikh `Abdurrahman as Sa`diy menafsirkan ayat ini :
“Dan ini merupakan diantara apa-apa yang diwajibkan atas makhluk ini agar tunduk kepada-Nya dan menyerahkan diri pada hokum-Nya dan hendaknya mereka menerima dengan senang hati dan gembira. Adapun seseorang yang membalas nikmat yang agung ini dengan bentuk menolaknya dan mengingkarinya, sesungguhnya dia tergolong kepada orang-orang yang berdusta lagi sesat, yang akan datang kepada mereka waktu dimana mereka berangan-angan bahwa mereka muslimin. Mereka tunduk terhadap hukum Allah Jalla wa `Alaa, demikian itu takkala sudah dibukakan penutup dan nampak sudah awal-awal kehidupan akhirat dan pendahuluan dari kematian. Sesungguhnya mereka ketika berada dalam situasi kehidupan akhirat mereka keseluruhannya berangan-angan bahwa mereka muslimin, sungguh telah berlalu waktu demikian, akan tetapi mereka ketika di dunia termasuk orang-orang yang tertipu.”
Kemudian Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman :
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا
Maksudnya : biarkanlah mereka makan dan bersenang senang dengan kelezatan mereka,
وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ
Maksudnya : Dan mereka dilalaikan oleh angan-angan, artinya : berangan-angan mereka untuk kekal di dunia lantas mereka lalai dari akhirat. Maka mereka akan mengetahui, bahwa apa-apa yang mereka ada padanya merupakan kebathilan, dan amalan-amalan mereka pupus habis dengan keadaan mereka manusia yang merugi. Jangan sekali-kali mereka tertipu dengan bentuk melalaikan perintah Allah `Azza wa Jalla, maka sesungguhnya ini merupakan sunnatullah pada setiap ummat.[13]
Berkata `Ali bin Abi Tholib radhiallahu `anhu : “Sesungguhnya yang saya takutkan atas kalian dua saja, yakni panjang angan-angan dan pengekoran terhadap hawa. Adapun panjang angan-angan akan melupakan akhirat, dan adapun pengekoran terhadap hawa akan menghalangi seseorang dari kebenaran”.
Kedua : Mencintai maksiat
Sesungguhnya seorang manusia apabila dia terus-menerus dalam maksiat dan tidak bersegera untuk bertaubat dari padanya, maka hatinya akan mengikatkan dia dengan maksiat tersebut sampai maksiat itu menguasai pemikirannya menjelang akhir-akhir dari kehidupannya, lalu dia meninggal di atas maksiat dan dibangkitkan di atasnya.
Dari Jabir bin `Abdillah radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Salla bersabda :
“يبعث كل عبد على ما مات عليه”.
Yang artinya : “Setiap hamba akan dibangkitkan di atas apa dia mati padanya”.[14]
Berkata Ibnu Katsir : “Dosa-dosa dan maksiat serta syahwat akan menghancurkan pelakunya disaat menjelang kematiannya, dibarengi dengan penyesatan syaitan terhadapnya, maka terkumpullah atasnya tipu daya syaitan dan lemahnya iman, lalu terjatuhlah dia dalam su’ul khatimah”.[15]
Berkata `Abdul `Aziiz bin Abi Rawwaad rahimahullahu Ta`ala : “Saya pernah menghadiri seseorang menjelang kematiannya, kemudian ditalqin kepadanya kalimat Laa Ilaaha Illallahu, maka diakhir perkataannya dia berkata bahwa dia mengingkari dengan apa-apa yang kamu katakan, lalu dia meninggalkan atas demikian. Berkata ibnu Abi Rawwad : maka saya menanyakan tentang dia, dan ternyata dia adalah pecandu khomar. Kemudian `Abdul `Aziz berkata : “Takutlah kalian akan dosa-dosa, sesungguhnya dosa tersebutlah yang menghancurkan dia” Dan ada lagi seseorang yang sedang sakaratul maut, lalu dikatakan padanya : “Ucapkanlah kalimat Laa Ilaaha Illallah !” Maka mulailah dia melantunkan lagu-lagu sampai dicabut ruhnya. : “Aaah…aaah saya tidak sanggup untuk mengucapkannya” Kisah tentang kejadian seperti ini sangat banyak”.[16]
Berkata al Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu Ta`ala : “Apabila kamu mengetahui arti dari su’ul khatimah maka hati-hatilah kamu dari sebab-sebabnya, dan persiapkanlah apa yang bisa memperbaikinya, jauhilah sifat menunda-nunda dengan selalu mempersiapkan diri. Sesungguhnya umur ini pendek dan setiap jiwa dari jiwa-jiwa engkau tergantung dengan akhir dari kehidupan kamu. Karena mungkin saja dicabut padanya ruh engkau, sedangkan manusia akan mati atas apa yang dia hidup atasnya, dan akan dibangkitkan atas apa yang dia mati atasnya”.[17]
Maka diwajibkan atas seorang hamba hendaklah dia selalu melazimkan dirinya untuk taat dan taqwa, lalu menjauhkan dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Kemudian bersegera untuk bertaubat dari perbuatan maksiat. Selanjutnya hendaklah dia senantiasa dalam do`anya kepada Allah supaya ditutup kehidupannya dengan akhir yang baik. Dan hendaklah dia berbaik sangka terhadap Rabbnya `Azza wa Jalla. Dari `Abdullah bin `Amrin radhiallahu `anhu bahwa dia mendengar Nabiy Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
“إن قلوب بني آدم كلها بين أصبعين من أصابع الرحمن عز وجل كقلب واحد يصرفه حيث شاء”
Yang artinya : “Sesungguhnya hati-hati anak cucu Adam keseluruhannya berada diantara jari-jemari ar Rahman seperti satu hati. Dia akan palingkan sekira-kira kemana Dia inginkan”.[18] Kemudian Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata :
“اللهم مصرف القلوب صرف قلوبنا على طاعتك”.
“Ya Allah yang memutar balikan hati-hati ini, palingkan hati kami ini untuk menaati Engkau”.[19]
والحمد لله رب العالمين, وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abul Mundzir Dzul Akmal bin Muhammad Kamal As Salafiy dari kitab : “Ad Durarul Muntaqoot minal Kalimaatil Mulqoot Duruusun Yaumiyyah”, karya Ad Doktor Amiin bin `Abdillah As Syaqaawiy, .
[1] Al Bukhaariy (6493), Muslim (2651), dan lafazh hadist ini dishohih al Bukhaariy
[2] Fathul Baariy (11/338).
[3] Mukhtashor Minhaajul Qaashidiin hal. 391.
[4] Mukhtashor Minhaajul Qaashidiin hal. 391.
[5] Al Jawaabul Kaafiy liman sa ala `anid Dawaais Syaafiy hal. 148.
[6] Al Jawaabul Kaafiy liman sa ala `anid Dawaais Syaafiy hal. 146,148.
[7] Masyaahidul Ihtidhor hal. 75.
[8] Al Jawaabul Kaafiy liman sa ala `anid Dawaais Syaafiy hal. 146.
[9] Jaami`ul `Uluumi wal Hikam hal. 172-173.
[10] Sebagaimana dalam “al Musnad” (3/112), at Tirmidziy (2140), Ibnu Maajah (3834), dan dishohihkan oleh al Imam al Albaaniy fi “as Sunnah” oleh Ibnu Abi `Aashim (225) dan lafazh : “يا مصرف القلوب اصرف قلبي على طاعتك” disisi Muslim (6254), dengan sedikit perbedaan.
[11] Lihat : “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiir Kalaamil Mannaan”, As Syaikh As Sa`diy rahimahullahu Ta`ala.
[12] Tafsir “As Sa`diy” rahimahullahu Ta`ala.
[13] Tafsir “As Sa`diy” rahimahullahu Ta`ala.
[14] HR. Muslim (2878).
[15] “al Bidaayah wan Nihaayah”, (9/163).
[16] Lihat : “Jaami`ul `uluumu wal Hikam” ( hal. 173), “al Jawaabul Kaafiy” (hal.147).
[17] “Mukhtashor Minhaajul Qaashidiin” (hal. 393).
[18] “Shohih Muslim” (2654).
[19] “Shohih Muslim” (2654).
Sumber: http://tazhimussunnah.com/buletin/57-akhir-kehidupan-yang-jelek.html