Fiqih Wudhu
Tanya: Niat apakah yang dimaksudkan dalam berwudhu dan mandi (wajib)? Apa hukum perbuatan yang dilakukan tanpa niat dan apa dalilnya?
Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib) adalah niat untuk menghilangkan hadats atau untuk menjadikan boleh suatu perbuatan yang diwajibkan bersuci, oleh karenanya amalan-amalan yang dilakukan tanpa niat tidak diterima. Dalilnya adalah firman Allah, “Dan mereka tidaklah diperintahkan melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan hadits dari Umar bin al-Khaththab, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.”
Tanya: Apakah wudhu itu? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu? Dan apa (serta berapa macam) yang mewajibkan wudhu?
Jawab: Yang dimaksud wudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara yang khusus di empat anggota badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki. Adapun sebab yang mewajibkan wudhu adalah hadats, yaitu apa saja yang mewajibkan wudhu atau mandi [terbagi menjadi dua macam, (Hadats Besar) yaitu segala yang mewajibkan mandi dan (Hadats Kecil) yaitu semua yang mewajibkan wudhu].
Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Tanya: Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban tersebut kalau lupa atau tidak tahu?
Jawab: Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas wudhunya.”
Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapkan basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah hadits, “Dimaafkan untuk umatku, kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan mengucapkan bismillah.
Tanya: Apa sajakah syarat-syarat wudhu itu?
Jawab: Syarat-syarat (sahnya) wudhu adalah sebagai berikut:
(1). Islam, (2). Berakal, (3). Tamyiz (dapat membedakan antara baik dan buruk), (4). Niat, (5). Istishab hukum niat, (6). Tidak adanya yang mewajibkan wudhu, (7). Istinja dan istijmar sebelumnya (bila setelah buang hajat), (8). Air yang thahur (suci lagi mensucikan), (9). Air yang mubah (bukan hasil curian -misalnya-), (10). Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air meresap dalam pori-pori.
Tanya: Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu? Dan apa saja?
Jawab: Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu:
- Membasuh muka (temasuk berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan).
- Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
- Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mengusap kedua daun telinga).
- Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
- Tertib (berurutan).
- Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).
Tanya: Sampai dimana batasan wajah (muka) itu? Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu yang tumbuh di (daerah) muka ketika berwudhu?
Jawab: Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Wajib membasuh semua bagian muka bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya) beserta kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak lebat). Karena anda lihat sendiri, kalau rambut jenggotnya lebat maka wajib membasuh bagian luarnya dan di sunnahkan menyela-nyelanya. Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan bagian bawah jenggot yang jarang bisa terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan tertib (urut)? Apa dalil yang mewajibkannya dari al-Qur’an dan As-Sunnah?
Jawab: Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang mulia. Yaitu membasuh wajah, kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki.
Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas (ayat 6 surat al-Maidah). Di dalam ayat tersebut telah dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak melakukan hal ini melainkan untuk suatu faedah tertentu yang tidak lain adalah tertib (urut).
Kedua, sabda Rasulullah, “Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya.”
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku tentang wudhu?” Rasulullah berkata, “Tidaklah salah seorang dari kalian mendekati air wudhunya, kemudian berkumur-kumur, memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga hidungnya bersama air wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya melalui ujung-ujung janggutnya bersama tetesan air wudhu, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya sampai ke siku, melainkan gugurlah dasa-dosa tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap kepalanya, melainkan gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui ujung-ujung rambutnya, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua kakinya, melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)
Dan dalam riwayat Ahmad terdapat ungkapan, “Kemudian mengusap kepalanya (sebagaimana yang Allah perintahkan),… kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki sebagaimana yang Allah perintahkan.”
Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu. Wallahu A’lam.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan muwalah dan apa dalilnya?
Jawab: Maksudnya adalah jangan mengakhirkan membasuh anggota wudhu sampai mengering anggota sebelumnya setelah beberapa saat.
Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Nabi, bahwa beliau melihat seorang laki-laki di kakinya ada bagian sebesar mata uang logam yang tidak terkena air wudhu, maka beliau memerintahkan untuk mengulangi wudhunya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin al-Khathab bahwa seorang laki-laki berwudhu, tetapi meninggalkan satu bagian sebesar kuku di kakinya (tidak membasahinya dengan air wudhu). Rasulullah melihatnya maka beliau berkata, “Berwudhulah kembali, kemudian shalatlah.” Sedangkan dalam riwayat Muslim tidak menyebutkan lafal, “Berwudhulah kembali.”
Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa yang dibasuh oleh orang yang buntung ketika berwudhu?
Jawab: Hendaknya berniat kemudian membaca basmalah dan membasuh tangannya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (lalu mengeluarkannya) sebanyak tiga kali dengan tiga kali cidukan. Kemudian, membasuh mukanya sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak tiga kali, kemudian mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu (membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya, kemudian membasuh kedua kakinya beserta mata kakinya tiga kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-bagian yang wajib (dari anggota tubuhnya) yang tersisa. Jika yang buntung adalah persendiannya maka memulainya dari bagian lengan yang terputus. Demikian pula jika yang buntung adalah dari persendian tumit kaki, maka membasuh ujung betisnya.
Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan dalil-dalil tersebut secara lengkap?
Jawab: Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan dalilnya di atas. Dan dalam riwayat Abdullah bin Zaid tentang tatacara wudhu (terdapat lafal), “Kemudian Rasulullah memasukkan tangannya, kemudian berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung dengan satu tangan sebanyak tiga kali.” (Mutafaq ‘alaih)
“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air wudhu, maka ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, …kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali, kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula, kemudian berkata, ‘Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini.’” (Mutafaq alaih)
Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia berkata, “Dan Rasulullah mengusap kepalanya, menyapukannya ke belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)
Dan lafal yang lain, “(Beliau) memulai dari bagian depan kepalanya sampai ke tengkuk, kemudian menariknya lagi ke bagian depan tempat semula memulai.”
Dan dalam riwayat Ibnu Amr tentang tata cara berwudhu, katanya, “Kemudian (Rasulullah) mengusap kepalanya, dan memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya, dan mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun telinganya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
Tanya: Apa saja yang termasuk sunnah-sunnah wudhu beserta dalilnya?
Jawab: Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu adalah:
- Menyempurnakan wudhu.
- Menyela-nyela antara jari jemari.
- Melebihkan dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi yang berpuasa.
- Mendahulukan anggota wudhu yang kanan.
- Bersiwak.
- Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali.
- Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali.
- Menyela-nyela jenggot yang lebat.
Dalil tentang siwak telah lalu penjelasannya. Adapun tentang membasuh dua telapak tangan sebelum berwudhu, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dari Aus bin Aus ats-Tsaqafi ia berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu, maka beliau mencuci dua telapak tangannya sebanyak tiga kali.”
Adapun tentang menyempurnakan wudhu, menyela-nyela jari jemari dan melebihkan (dalam memasukkan air ke hidung) kecuali bagi yang berpuasa, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Laqith bin Shabrah, katanya, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wudhu?’” Nabi berkata, “Sempurnakan wudhu-mu, dan sela-selalah antara jari-jemarimu, dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan berpuasa.” (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)
Dan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi suka mengawali sesuatu dengan yang kanan, dalam memakai terompah, bersisir, bersuci dan dalam segala sesuatu.” (Mutafaq alaih)
Adapun menyela-nyala jenggot, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Utsman, “Bahwa Nabi ada menyela-nyala jenggotnya.” (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi dan ia menshahihkannya). Cara menyela-nyela jenggot ini dengan mengambil seraup air dan meletakkannya dari bawahnya dengan jari-jemarinya atau dari dua sisinya dan menggosokkan keduanya. Dan dalam riwayat Abu Dawud dari Anas, “Bahwa Nabi jika berwudhu mengambil seraup air, kemudian meletakkannya di bawah dagunya dan berkata, ‘Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhan kepadaku.’”
Tanya: Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau mandi (junub)?
Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut ukuran orang Hijaz dan 2 liter menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Adapun untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas, katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih). Dan makruh (dibenci) berlebih-lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam berwudhu.
Tanya: Bacaan apa yang disunnahkan ketika selesai berwudhu?
Jawab: Bacaan yang disunnahkan adalah mengucapkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar, katanya, “Berkata Rasulullah, ‘Tidaklah salah seorang diantara kalian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian mengucapkan: asyhadu anlaa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rosuuluh (Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah semata; yang tidak ada sekutu baginya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya), melainkan dibukakan untuknya delapan pintu syurga, ia dapat masuk dari mana saja yang ia kehendaki.’” (HR. Muslim)
Dan Tirmidzi menambahkan: “Alloohummaj’alni minat tawwabiina waj’alnii minl mutathohhiriin (Ya Allah jadikan aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-orang yang suka mensucikan diri).”
***
Sumber: Majalah Fatawa
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
Seluk Beluk Wudhu
Wudhu merupakan salah satu amalan ibadah yang agung di dalam Islam. Secara bahasa, wudhu berasal dari kata Al-Wadha’ah, yang mempunyai arti kebersihan dan kecerahan. Sedangkan menurut istilah, wudhu adalah menggunakan air untuk anggota-anggota tubuh tertentu (yaitu wajah, dua tangan, kepala dan dua kaki) untuk menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat atau ibadah yang lain.
Dalil-Dalil Disyariatkannya Wudhu
Dalil dari Al-Qur’an
Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan taganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dalil dari As-Sunnah
- Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk berwudhu apabila hendak mengerjakan shalat.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i dengan derajad shahih)
- Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Tidak diterima shalat salah seorang dari kalian apabila ia berhadas, hingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalil Ijma’
Para ulama telah sepakat bahwa tidak sah shalat tanpa bersuci, jika dia mampu untuk melakukannya.
Begitu penting dan agungnya perkara wudhu ini, sampai-sampai dikatakan bahwa tidak sah shalat seseorang tanpa berwudhu, maka sudah selayaknya bagi setiap muslim untuk menaruh perhatian yang besar terhadap permasalahan ini dengan berusaha memperbagus wudhunya yaitu dengan memperhatikan syarat, kewajiban serta sunnah-sunnah wudhu.
Syarat-syarat Wudhu
Yang dimaksud dengan syarat-syarat wudhu adalah perkara-perkara yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak berwudhu. Di antara syarat-syarat wudhu adalah:
- Islam.
Wudhu merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam di mana orang yang melakukannya dengan ikhlas serta sesuai dengan tuntunan Allah akan diberi pahala. Adapun orang kafir, amalan-amalan mereka seperti debu yang beterbangan yang tidak akan diterima oleh Allah ta’ala. - Berakal
- Tamyiz (Dewasa)
- Niat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang diniatkannya. ” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, orang yang dhohirnya (secara kasat mata) berwudhu, akan tetapi niatnya hanya sekedar untuk mendinginkan badan atau menyegarkan badan tanpa diniati untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam berwudhu serta menghilangkan hadats, maka wudhunya tidak sah. Dan yang perlu untuk diperhatikan, bahwa niat di sini letaknya di dalam hati dan tidak perlu dilafazkan. - Tasmiyah
Yang dimaksud dengan tasmiyah adalah membaca “bismillah”. Boleh juga apabila ditambah dengan “Ar-Rohmanir Rohim“. Tasmiyah ketika hendak memulai shalat merupakan syarat sah wudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah (bertasmiyah, pen). ” (HR. Ibnu Majah, hasan) - Menggunakan air yang suci
Air dikatakan suci atau masih suci manakala tidak tercampur oleh zat/barang yang najis sehingga menjadi berubah salah satu dari tiga sifat, yaitu bau, rasa dan warnanya. Apabila air telah terkena najis, misalnya air kencing atau yang lainnya, kemudian menjadi berubah salah satu dari ketiga sifat di atas maka air tersebut telah menjadi tidak suci lagi berdasarkan ijma’. Apabila air tersebut tercampuri oleh sesuatu yang bukan najis, maka air tersebut masih boleh dipakai untuk berwudhu apabila campurannya hanya sedikit. Namun apabila campurannya cukup banyak sehingga menjadikan air tersebut tidak bisa dikatakan lagi sebagai air, maka air yang telah berubah ini tidak dapat dipakai untuk berwudhu lagi karena sudah tidak bisa dikatakan lagi sebagai air. Misalnya, ada air yang suci sebanyak 1 liter. Air ini kemudian dicampur dengan 5 sendok makan susu bubuk dan diaduk. Maka campuran air ini tidak bisa lagi dipakai untuk berwudhu karena sudah berubah namanya menjadi “susu” dan tidak dikatakan sebagai air lagi. - Menggunakan air yang mubah
Apabila air diperoleh dengan cara mencuri, maka tidak sah berwudhu dengan air tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Baik. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang baik.” (HR. Muslim). Sudah dimaklumi, bahwa mencuri merupakan perbuatan yang tidak baik dan keharamannya sudah jelas. Oleh karena itu, air hasil curian (yang merupakan barang yang tidak baik) tidak sah digunakan untuk berwudhu. - Menghilangkan sesuatu yang menghalangi sampainya air ke kulit.
Tidak sah wudhu seseorang yang memakai kutek atau yang lainnya yang dapat menghalangi sampainya air ke kulit.
Rukun-Rukun Wudhu
Rukun wudhu dikenal pula sebagai kewajiban wudhu yaitu perkara-perkara yang harus dilakukan oleh orang yang berwudhu agar wudhunya menjadi sah. Di antara rukun-rukun wudhu adalah:
1. Mencuci seluruh wajah
Wajah adalah sesuatu yang tampak pada saat berhadapan. Batasan wajah adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut bagian atas dahi hingga bagian paling bawah dari jenggot atau dagu (jika memang tidak punya jenggot). Ini bila ditinjau secara vertikal. Adapun batasan wajah secara horizontal adalah dari telinga hingga ke telinga yang lain.
Mencuci wajah merupakan salah satu rukan wudhu, artinya tidak sah wudhu tanpa mencuci wajah. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu.” (QS. Al-Maidah: 6)
Termasuk salah satu kewajiban dalam wudhu adalah menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot yang lebat berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, beliau mengambil setelapak air kemudian memasukkannya ke bawah dagunya selanjutnya menyela-nyela jenggotnya. Kemudian bersabda, “Demikianlah Rabbku memerintahkanku.” (HR. Abu Dawud, Al-Baihaqi, Al-Hakim dengan sanad shahih lighoirihi).
Perlu untuk diperhatikan bahwa pegertian mencuci wajah termasuk di dalamnya madhmadhoh (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dan menghirupnya hingga ke bagian dalam hidung). Hal ini karena mulut dan hidung juga termasuk bagian wajah yang harus dicuci. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian berwudhu hendaklah ia melakukan istinsyaq.” (HR. Muslim). Adapun tentang madhmadhoh, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau berwudhu, maka lakukanlah madhmadhoh.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu majah dengan sanad yang shahih)
Sehingga orang yang berwudhu tanpa disertai dengan madhmadhoh dan istinsyaq maka wudhunya tidak sah.
2. Mencuci kedua tangan hingga siku
Para ulama telah bersepakat tentang wajibnya mencuci kedua tangan ketika berwudhu. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan juga tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah: 6)
Perlu untuk diperhatikan bahwa siku adalah termasuk bagian tangan yang harus disertakan untuk dicuci.
3. Mengusap kepala serta kedua telinga
Allah berfirman yang artinya, “… dan usaplah kepalamu.” (QS. Al-Maidah: 6). Yang dimaksud dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh bagian kepala mulai dari depan hingga belakang. Adapun apabila seseorang mengenakan sorban, maka cukup baginya untuk mengusap rambut di bagian ubun-ubunnya kemudian mengusap sorbannya. Demikian pula bagi wanita yang mengenakan kerudung.
Adapun mengusap kedua telinga hukumnya juga wajib karena termasuk bagian dari kepala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua telinga termasuk kepala.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Mengusap kedua telinga ini dilakukan setelah mengusap kepala dengan tanpa mengambil air yang baru.
4. Mencuci kedua kaki hingga mata kaki.
Allah berfirman yang artinya,” dan (cucilah) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Perlu untuk diperhatikan bahwa kedua mata kaki adalah termasuk bagian kaki yang harus disertakan untuk dicuci. Adapun menyela-nyela jari-jari kaki hukumnya juga wajib apabila memungkinkan bagian antar jari tidak tercuci kecuali dengan menyela-nyelanya.
5. Muwalaat (berturut-turut)
Muwalat adalah berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu. Maksudnya adalah sebelum anggota tubuh yang dibasuhnya mengering, ia telah membasuh anggota tubuh yang lainnya.
Dalilnya adalah hadits Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang berwudhu dan meninggalkan bagian sebesar kuku pada kakinya yang belum tercuci. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya maka beliau bersabda, “Kembalilah dan perbaikilah wudhumu!” (HR. Muslim). Dalam suatu riwayat dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwasanya Nabi melihat seseorang sedang shalat, sementara di bagian atas kakinya terdapat bagian yang belum terkena air sebesar dirham. Maka Nabi memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya.” (HR. Abu dawud, shahih). Dari hadits di atas, dapat kita ketahui bahwa muwalaat merupakan salah satu rukun wudhu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mencukupkan diri dalam memerintahkan orang yang belum sempurna wudhunya untuk mencuci bagian yang belum tercuci sebelumnya, namun beliau memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi wudhunya.
Sunnah-sunnah Wudhu
Yang dimaksud sunnah-sunnah wudhu adalah hal-hal yang menyempurnakan wudhu. Di dalamnya terdapat tambahan pahala. Adapun jika hal-hal tersebut ditinggalkan, wudhunya tetap sah. Di antara sunnah-sunnah wudhu adalah:
1. Bersiwak
Siwak diambil dari kata saka, yang artinya adalah menggosok. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan bersiwak adalah menggunakan kayu siwak atau sejenisnya pada gigi untuk menghilangkan warna kuning atau yang lainnya.
Bersiwak ini sangat dianjurkan tatkala hendak berwudhu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku, niscaya telah kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Ahmad, dalam Shohihul jami’)
2. Mencuci kedua telapak tangan
Yang dimaksud adalah mencuci kedua telapak tangan sebelum wudhu ketika hendak mencuci wajah. Hal ini dilakukan masing-masing sebanyak tiga kali berdasarkan hadits Utsman tentang sifat (cara) wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “…lalu beliau menuangkan (air) di atas telapak tangannya tiga kali kemudian mencucinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Madhmadhoh (berkumur-kumr) dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) dari satu telapak tangan sebanyak tiga kali.
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang mengajarkan tentang sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ” Bahwasanya beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan. Beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim). Termasuk sunnah dalam wudhu adalah bersungguh-sungguh tatkala beristnsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali bagi orang yang bepuasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersungguh-sunguhlah dalam beristinsyaq, kecuali kamu dalam keadaan berpuasa. (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dengan sanad yang shahih)
Perlu untuk diketahui bahwa bermadhmadhoh serta beristinsyaq dalam wudhu hukumnya wajib (sebagaimana penjelasan yang terdahulu tentang rukun-rukun wudhu). Adapun bermadhmadhoh dan beristinsyaq dengan menggunakan satu telapak tangan serta melakukannya sebanyak tiga kali hukumnya hanyalah sunnah. Demikian pula bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq tatkala berwudhu selain bagi orang yang berpuasa, ini pun hukumnya hanyalah sunnah.
4. Tayamun
Yang dimaksud dengan tayamun adalah mencuci anggota wudhu dengan memulainya dari bagian anggota wudhu yang kanan dulu kemudian ke bagian yang kiri pada saat mencuci kedua tangan atau kaki.
Dalilnya adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tatkala menceritakan sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “…Kemudian beliau mengambil seciduk air lalu mencuci tangan kanannya, kemudian mengambil seciduk air lalu mencuci tangan kirinya. Kemudian beliau mengusap kepalanya. Selanjutnya beliau mengambil seciduk air lalu menyiramkannya pada kaki kanannya hingga mencucinya. Kemudian beliau mengambil seciduk air lagi lalu mencuci kaki kirinya.” (HR. Bukhari)
5. Mencuci anggota-anggota wudhu sebanyak tiga kali.
Hali ini merupakan cara wudhu yang paling sempurna berdasarkan hadits A’robi (arab badui) tatkala ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wudhu, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarinya tiga kali-tiga kali. Selanjutnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah cara berwudhu...” (HR. Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, shohih). Juga berdasarkan hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu yang suatu ketika memperlihatkan cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Utsman radhiyallahu ‘anhu berwudhu tiga kali tiga kali kemudian berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu seperti wudhuku ini…” (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun berwudhu sekali-sekali ataupun dua kali dua kali, ini pun juga diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah melakukannya.
6. Berdoa setelah wudhu
Berdoa setelah wudhu merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan, berdasarkan hadits dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah salah seorang di antara kalian berwudhu dengan sempurna, kemudian mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illallah wahdahu laa syarika lahu, wa asyhadu anna muhammdan abduhu wa rosuluhu‘ kecuali dibukakan baginya delapan pintu surga dan ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia suka.” (HR. Muslim). Di dalam lafadz Tirmidzi ada tambahan bacaan, “Allahumma ijnalni minattawwabiin wa ij’alni minal mutathohhiriin.” (HR. Tirmidzi, shahih)
7. Shalat dua rakaat setelah wudhu
Amalan ini mempunyai nilai yang sangat agung di dalam Islam berdasarkan hadits Utsman radhiyallahu ‘anhu. Tatkala Utsman radhiyallahu ‘anhu selesai mempraktekkan cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian shalat dua rakaat dengan penuh kekhusyukan, maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian beberapa syarat, rukun dan sunnah-sunnah wudhu yang hendaknya menjadi perhatian bagi kita semua untuk kita amalkan agar wudhu kita sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebenarnya ada beberapa permasalahan di atas yang masih menjadi perselisihan para ulama tentang pengelompokannya menjadi syarat, rukun atau sunnah wudhu, akan tetapi sengaja tidak kami tampilkan dan hanya dipilih yang paling kuat pendapatnya menurut penulis untuk mempermudah pembahasan. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada penulis dan menjadikan tulisan ini sebagai tabungan amal shalih bagi penulis di akhirat kelak serta bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
***
Penulis: Ibnu Sutopo
Artikel www.muslim.or.id
Beberapa Kesalahan Dalam Berwudhu
Wudhu memiliki kedudukan yang penting dalam agama kita. Tidak sahnya wudhu seseorang dapat menyebabkan sholat yang ia kerjakan menjadi tidak sah, sedangkan sholat adalah salah satu rukun Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk memperhatikan bagaimana dia berwudhu. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak diterima sholat yang dilakukan tanpa wudhu dan tidak diterima shodaqoh yang berasal dari harta yang didapat secara tidak halal.” (HR. Muslim)
Kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh kaum muslimin pada tata cara berwudhu diantaranya:
1. Melafazhkan niat. Kebiasaan salah yang sering dilakukan kaum muslimin ini bukan hanya dalam masalah wudhu saja, bahkan dalam berbagai macam ibadah. Rosululloh tidak pernah melafazhkan niat ketika berwudhu sedangkan orang yang mengamalkan perkara ibadah yang tidak pernah ada contohnya dari Rosululloh maka amalan itu tertolak (Lihat hadits Arba’in Nawawiyah no. 5) dan bahkan akan mendatangkan murka Alloh. Patokan dalam tata cara ibadah adalah mengikuti Rosululloh, bukan akal pikiran atau perasaaan kita sendiri yang akan menjadi hakim mana yang baik dan mana yang buruk. Andaikan itu adalah hal yang baik, mengapa Rosululloh tidak mengajarkannya atau tidak melakukannya? Apa mereka merasa lebih pintar, lebih sholih, lebih bertaqwa, lebih berilmu daripada Rosululloh? Apakah mereka merasa bahwa Rosululloh bodoh terhadap hal-hal yang baik sampai mereka berkarya sendiri? Maka siapakah yang kalian ikuti dalam ibadah ini wahai para pelafazh niat…???
2. Membaca doa-doa khusus dalam setiap gerakan wudhu seperti doa membasuh muka, do’a membasuh kepala dan lain-lain. Tidak ada riwayat shohih yang menjelaskan tentang hal tersebut.
3. Tidak membaca “bismillah” padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna wudhu’ sesorang yang tidak membaca basmallah.” (HR. Ahmad)
4. Hanya berkumur tanpa istinsyaq (memasukkan air ke hidung) padahal keduanya termasuk dalam membasuh wajah. Adapun yang sesuai sunnah adalah menyatukan antara berkumur-kumur dangan beristinsyaq dengan satu kali cidukan berdasarkan hadits Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang tata cara berwudhu. (HR. Bukhari, Muslim)
5. Tidak membasuh kedua tangan sampai siku, hal ini sering kita lihat pada orang yang berwudhu cepat bagaikan kilat sehingga tidak memperhatikan bahwa sikunya tidak terbasuh. Padahal Alloh Ta’ala berfirman, “Dan basuhlah kedua tanganmu hingga kedua siku.” (Al Maaidah: 6)
6. Memisah antara membasuh kepala dengan membasuh telinga padahal yang benar adalah membasuh kepala dan telinga dalam satu kali ciduk. Dan ini hanya dilakukan satu kali, bukan tiga kali seperti pada bagian lain, hal ini berdasarkan hadits dari Utsman bin Affan rodhiyallohu ‘anhu tentang tata cara berwudhu. (HR. Bukhari, Muslim)
7. Tidak memperhatikan kebagusan wudhunya sehingga terkadang ada anggota wudhunya yang seharusnya terbasuh tetapi belum terkena air. Rosululloh pernah melihat seorang yang sedang sholat sedangkan pada punggung telapak kakinya ada bagian seluas uang dirham yang belum terkena air, kemudian beliau memerintahkannya untuk mengulang wudhu dan sholatnya.
8. Was-was ketika berwudhu. Sering kita melihat ketika seseorang berwudhu hingga sampai ke tangannya, dia teringat bahwa lafazh niatnya belum mantap sehingga dia mengulang wudhunya dari awal bahkan kejadian ini terus berulang dalam wudhunya tersebut hingga iqomah dikumandangkan, hal seperti ini adalah was-was dari syaithon yang tidak berdasar. Wallahul musta’an.
Demikianlah sedikit paparan mengenai sekelumit kesalahan dalam berwudhu yang banyak kita jumpai pada kaum Muslimin khususnya di negeri kita ini, semoga bermanfaat dan menjadikan kita lebih memperhatikannya lagi. Wallohu a’lam bish showab.
***
Penulis: Abu Fatah Amrullah Al Bakasy
Artikel www.muslim.or.id
Tayammum Nabi
Sesungguhnya agama Islam ini adalah agama yang mudah. Allah Ta’ala tidaklah menghendaki kesulitan bagi para hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Dia (Allah) tidaklah sekali-kali menjadikan untuk kalian suatu kesempitan dalam agama.” (QS. Al Hajj: 78)
Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah, tidaklah seseorang mempersulit agama ini kecuali terkalahkan.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Salah satu bentuk kemudahan dalam Islam ini adalah diperbolehkan bagi seseorang yang hendak melaksanakan sholat untuk bertayammum dengan tanah yang suci ketika dia tidak mendapatkan air untuk berwudhu.
Apa yang Dimaksud dengan Tayammum?
Tayammum secara bahasa artinya menyengaja. Adapun menurut istilah syar’i adalah mengambil tanah yang suci untuk mengusap muka dan tangan dengan niat menghilangkan hadats karena tidak mendapatkan air atau berhalangan menggunakan air. (Lihat buku Thaharah Nabi, Tuntunan Bersuci Lengkap (terjemahan), karya Syaikh Said bin Ali bin wahf Qathani, Hal: 137).
Bagaimana Cara Bertayammum?
Cara bertayammum yang sesuai dengan sunah Rasullullah shollAllahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
1. Niat di dalam hati.
Seseorang yang akan melakukan tayammum wajib berniat di dalam hati terlebih dahulu. Berdasarkan sabda Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya, dan seseorang mendapat balasan sesuai dengan yang diniatkannya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
2. Membaca Bismillah.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Huroiroh rodhiyAllahu ‘anhu, bahwa Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
3. Menepukkan kedua tangan ke tanah yang suci, cukup sekali tepukan. Kemudian mengusap telapak tangan ke muka. Setelah itu mengusap telapak tangan yang satu dengan yang lain secara bergantian, dimulai dari ujung-ujung jari hingga pergelangan tangan.
Hal ini berdasarkan hadits Ammar rodhiyAllahu ‘anhu, “Rasulullah pernah mengutusku untuk suatu keperluan. Ketika itu saya sedang junub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling di tanah sebagaimana berguling-gulingnya seekor binatang. Lalu saya mendatangi Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam. Saya ceritakan kejadian itu kepada beliau. Kemudian beliau berkata, “Sebenarnya cukup bagimu untuk menepukkan telapak tangan demikian.” Kemudian beliau menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah sekali tepukan, lalu beliau tiup. Setelah itu beliau usapkan ke muka dan kedua telapak tangan beliau.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Anggapan yang Tidak Benar
Ada sebagian orang yang mempunyai anggapan bahwa tayammum itu hanya berlaku untuk sekali sholat. Misalnya, jika ada seseorang yang bertayammum untuk sholat zuhur kemudian masuk waktu sholat ahsar dan dia masih suci, maka dia harus bertayammum lagi.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tayammum ini adalah pengganti wudhu. Jika seseorang yang sudah berwudhu untuk sholat zuhur kemudian waktu sholat ashar tiba, maka dia tidak wajib berwudhu lagi apabila masih dalam keadaan suci. Demikian juga tayammum, barangsiapa yang membedakan antara kedua hal ini maka dia harus mendatangkan dalil yang mendukung pendapatnya tersebut.
Demikianlah penjelasan singkat tentang tayammum yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
***
Penulis: Abul Abbas Didik
Artikel www.muslim.or.id
Nawaqidul Wudhu
Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?
Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu, seperti sesuatu yang keluar dari dua jalan (kencing dan berak), makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan syahwat, semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan, obat-obat yang menghilangkan kesadaran, dan murtad/keluar dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.
Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah berhadats hingga dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132. Muslim, hadits no. 225)
Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang bertanya, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)
Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang temasuk perkara yang membatalkan wudhu adalah buang air besar, buang air kecil, dan tidur.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging kambing?” Beliau bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah kami (harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu bertanya, “Bolehkah shalat di kandang kambing?” Beliau bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no. 360)
Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan daging unta, maka beliau bersabda, ‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu karena makan daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan Abu Dawud hadits no. 184)
Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain dagingnya seperti, makan hati, limpa, jeroan, lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara pendapat yang kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara keseluruhan (tidak hanya dagingnya saja), maka demikian pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini, dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat dan paling berkah. Wallahu ‘alam.
Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu sementara tidur lama (pulas) membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda Rasulullah, ‘Mata adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu Majah Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits no. 203)
Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk membatalkan wudhu) adalah buang air besar, buang air kecil dan tidur.”
Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah dishahihkan Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku, Maimunah. Tatkala Rasulullah berdiri untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping kanannya. Lalu aku pun berada di samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila, mabuk, atau memakai obat-obatan yang menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?
Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah lalu penjelasannya. Kedua hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak sadarannya lebih parah kalau dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan. Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang akal lebih layak jika tidur lama saja membatalkan wudhu. Dan para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila, mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama. Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu bagi orang yang pingsan.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika diiringi dengan syahwat?
Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:
Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah, hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan Abu Zur’ah)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka janganlah melaksanakan shalat hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang paling shahih)
“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib atasnya untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan Ahmad Hadits no. 8199)
Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”
Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi bersabda, “Setiap laki-laki yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi ditanya tentang menyentuh kamaluan ketika shalat? Maka beliau bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata tubuhmu!?” (HR. Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni I/149, Majmu Zawaid I/244)
Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat hadits di atas, bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota tubuhnya yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa syahwat. Artinya ketika menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh daun telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits tersebut di atas diamalkan. Dan dengan cara penyatuan inilah yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah as-Habu Malik dan sebagian ulama hadits.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya tanpa pembatas dengan syahwat membatalkan wudhu?
Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil dari firman Allah, “Atau kalian menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa: 43)
Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil yang dijadikan pegangan bagi mereka yang berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa syahwat hanya pada ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang berpendapat seperti ini sebagai berikut:
Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah bermakna jima (senggama), dan sesuai dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah:
“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa mengulangi wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits no. 170)
Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku menyentuhnya, aku letakan tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi telah menshahihkan)
Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan syahwat itu tidak membatalkan wudhu dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang benar.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan bahwa riddah itu membatalkan wudhu?
Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam, baik dengan ucapan, keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk Islam (sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan berwudhu) dia tidak boleh shalat sebelum berwudhu lagi.
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. az-Zumar: 65)
Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah: 5)
Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats kemaluan. Hadits lisan lebih berat; dan dari keduanya mengharuskan wudhu.”
Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila hadats hingga berwudhu.” (Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554. Muslim hadits no. 225)
Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang memandikan mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti dilakukan orang yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak mengetahui ada dari kalangan sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan mayat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman inilah mereka yang memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang yang tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia perbuat, termasuk jika ia berhadats).
Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang memandikan mayit.” Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dan inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum wajib harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash) dalam hal ini dan tidak pula nash yang bermakna sebagaimana yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu kerena memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah sebenarnya sebab diperintahkan wudhu bagi orang yang memandian mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang berpendapat istihbab (disukai) berwudhu tidak sampai kepada wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa memandikan mayat maka hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan hadits di atas hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum tersebut menjadi wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan alasan adanya kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya karena itu merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah.
***
Sumber: Majalah Fatawa
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
Panduan Praktis Tata Cara Wudhu
Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
Kedudukan wudhu dalam sholat
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]
Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.
Pengertian wudhu
Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3]. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.
Tata Cara Wudhu secara Global
Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu[5],
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[7].
Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut[8],
- Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
- Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
- Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
- Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
- Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
- Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
- Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.
- Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.
Syarat-Syarat Wudhu[9]
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada tujuh[10], yaitu
- Islam,
- Berakal,
- Tamyiz[11],
- Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
- Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram,
- Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
- Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.
Wajib Wudhu
- Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ »
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]
- Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘azza wa jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ »
“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian beristintsarlah”.[21]
Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ »
“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]
- Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ
وَقَالَ « هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ »
“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].
Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].
- Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا »
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].
- Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28]. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ »
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].
Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,
« الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ »
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]
Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ »
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]
Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].
- Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.
(QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ »
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].
Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,
« إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ »
“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[37].
Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah[38].
- Muwalah
Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.) mengering dalam kondisi/waktu normal[40].
Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu
أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]
Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].
Sunnah Wudhu
- Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ »
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu”[45].
- Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ….. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].
Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
«وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ »
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.
Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama[48].
- Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا »
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].
- Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا تَطَهَّرَ »
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)”[51].
- Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”
Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ…. ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا…
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]
Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,
ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].
Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا
Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti ini”[56].
- Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,
أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[58].
- Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ ».
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].
At Tirmidzi menambahkan lafafdz,
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri”[60].
- Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu”[62].
Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam bish showab
Ketika rintik-rintik hujan membasahi ranah pogung, 1 Dzul Hijjah 1430 H
Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa]
[2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225.
[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 95/III. Hal senada juga dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.
[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah mengatakan, “Penyebut empat anggota wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan adalah seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan sebagai majas part pro toto dalam istilah bahasa Indonesia.
[5] Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.
[6] Akan datang penjelasannya insya Allah.
[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.
[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah.
[9] Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib) bukanlah berarti tidak ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal kita bisa memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allahu A’lam.
[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 24 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berumur 7 tahun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[12] Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu ‘alaihi was sallam, Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah lihat Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Muhammad Shulthon hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau isyaratkan dalam Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 50 dengan tahqiq dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo, Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami defenisi niat yang benar.
[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 127/I
[14] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 69/I ]
[15] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat Manjaahus Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh, KSA].
[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam Shohihul Jami’ no. 7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al Haitsami rohimahullah dalam Majmu’ Az Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadits ini.
[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I.
[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.
[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103 cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.
[21] HR. Muslim no. 237.
[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.
[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan ini.
[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226.
[27] Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.]
[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 102/III.
[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.
[31] Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.
[32] Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 117/I.
[33] HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalam Ash Shohihah no. 36. Lihat juga penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.
[34] HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.
[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].
[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235.
[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.
[38] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.
[40] Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]
[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.
[42] HR. Mulsim no. 243.
[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.
[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I], lihat juga tulisan kami di www.alhijroh.co.cc dengan judul “siwak dan mewarnai uban”.
[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.
[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.
[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.
[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.
[49] Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom hal. 218/I.
[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Adz Dzahabi.
[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.
[52] HR. Bukhori 158.
[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.
[54] HR. Bukhori 186.
[55] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal.11/I, demikian juga Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal. 41.
[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.
[58] HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[59] HR. Muslim no. 234.
[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.
[61] An Nawawi rohimahullah mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]
[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.
Air yang Digunakan untuk Berwudhu
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Kita telah mengetahui bersama bahwa di antara syarat sah shalat diharuskan untuk berwudhu terlebih dahulu. Untuk berwudhu tentu saja memerlukan air. Lalu air seperti saja yang boleh digunakan untuk berwudhu? Itulah yang akan kami angkat dalam pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat.
Ada Dua Macam Air
Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis.
Pertama: Air Muthlaq
Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan). Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air ini adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon: 48)
Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun, dan air sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak disebut lagi air muthlaq.
Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai air laut, beliau pun menjawab,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut tersebut thohur (suci lagi mensucikan), bahkan bangkainya pun halal.” [1]
Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi tanpa ada perselisihan pendapat antara para ulama.
Bagaimana jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci?
Di sini ada dua rincian, yaitu:
1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya sedikit, sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut air (air muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam bak yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm, maka tentu saja air tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk berwudhu.
2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air tersebut tidak lagi disebut air (air muthlaq), namun ada “embel-embel” (seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh, disebut air teh), maka air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi).
Kedua: Air Najis
Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu dari tiga sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum asal (yaitu suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu berubah warna, rasa atau baunya.
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
“Sesungguhnya air tidaklah dinajiskan oleh sesuatu pun selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya.”
Tambahan “selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya” adalah tambahan yang dho’if. Namun, An Nawawi mengatakan, “Para ulama telah sepakat untuk berhukum dengan tambahan ini.” Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak jika terkena najis dan berubah rasa, warna dan baunya, maka itu adalah air yang najis.” Ibnul Mulaqqin mengatakan, “Tiga pengecualian dalam hadits Abu Umamah di atas tambahan yang dho’if (lemah). Yang menjadi hujah (argumen) pada saat ini adalah ijma’ (kesepakatan kaum muslimin) sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i, Al Baihaqi, dll.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami tidak mengetahui terdapat satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak ada nashnya.”[2]
Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan untuk berwudhu.[3]
Bolehkah Air Musta’mal Digunakan untuk Bersuci?
Yang dimaksud air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota wudhu orang yang berwudhu. Atau gampangnya kita sebut air musta’mal dengan air bekas wudhu.
Para ulama berselisih pendapat apakah air ini masih disebut air yang bisa mensucikan (muthohhir) ataukah tidak.
Namun pendapat yang lebih kuat, air musta’mal termasuk air muthohhir (mensucikan, berarti bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi) selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau warnanya. Inilah pendapat yang dianut oleh ‘Ali bin Abi Tholib, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur dari Malikiyah, merupakan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[4]
Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta’mal masih termasuk air yang suci:
Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.”[5]
Ibnu Hajar Al ‘Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta’mal adalah air yang suci.”[6]
Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.”[7]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta’mal itu najis, lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air musta’mal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?”[8]
Ketiga: Dari Ar Rubayyi’, ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”[9]
Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى ، وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ، فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[10]
Kelima: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.”[11]
Keenam: Dari Ibnu ‘Abbas, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.”[12]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta’mal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.”[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air musta’mal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.”[14]
Sedangkan sebagian ulama semacam Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya, Imam Malik, Al Auza’i dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air musta’mal.[15] Namun pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu a’lam.
Catatan: Ada beberapa hadits yang melarang menggunakan air bekas bersucinya wanita semisal hadits dari Al Hakam bin ‘Amr. Beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu dari air bekar bersucinya wanita.”[16] Agar hadits ini tidak bertentangan dengan hadits, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah” atau hadits, “Dulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain”, maka kita bisa melalui jalan kompromi. Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al Hakam bin ‘Amr yang dimaksud adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak sampai diharamkan. Jadi menggunakan air bekas bersucinya wanita dihukumi makruh dan bukan haram. Wallahu a’lam.[17]
Apakah Air Kurang dari Dua Qullah Jika Kemasukan Najis Menjadi Najis?
Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75 sho’[18]. Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1 m x 0,2 m.
Sebagian ulama memiliki pendapat bahwa jika air kurang dari dua qullah dan kemasukan najis sedikit ataupun banyak, baik airnya berubah atau tidak, maka air tersebut menjadi najis. Alangkah bagusnya jika kita dapat melihat pembahasan berikut ini.
[Hadits Air Dua Qullah]
Adapun hadits mengenai air dua qullah adalah sebagai berikut.
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Ad Daruquthni)
Dalam riwayat lain disebutkan,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَىْءٌ
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak ada sesuatupun yang menajiskannya. ” (HR. Ibnu Majah” dan Ad Darimi)[19]
[Jika Air Lebih Dari Dua Qullah]
Dari hadits dua qullah ini, secara mantuq (tekstual), apabila air telah mencapai dua qullah maka ia sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika air tersebut berubah rasa, bau atau warnanya karena najis, maka dia menjadi najis berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Misalnya: air bak kamar mandi (jumlahnya kira-kira 300 liter –berarti lebih dari dua qullah-) kena percikan air kencing, maka air bak tersebut tetap dikatakan suci karena air dua qullah sulit dipengaruhi oleh najis. Namun, jika kencingnya itu banyak sehingga merubah warna air atau baunya, maka pada saat ini air tersebut najis.
Inilah mantuq (makna tekstual) dari hadits di atas. Namun secara mafhum dari hadits ini (makna inplisit yaitu bagaimana jika air tersebut kurang dari dua qullah lalu kemasukan najis), para ulama berselisih pendapat. Perhatikan penjelasan selanjutnya.
[Jika Air Kurang Dari Dua Qullah]
Sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan pengikut mereka menyatakan bahwa jika air kurang dari dua qullah, air tersebut menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis walaupun tidak berubah rasa, warna atau baunya.
Jadi menurut pendapat ini, jika air lima liter (ini relatif sedikit) kemasukan najis (misalnya percikan air kencing), walaupun tidak berubah rasa, bau atau warnanya; air tersebut tetap dinilai najis. Alasan mereka adalah berdasarkan mafhum (makna inplisit) dari hadits dua qullah ini yaitu jika air telah mencapai dua qullah tidak dipengaruhi najis maka kebalikannya jika air tersebut kurang dari dua qullah, jadilah najis.
Namun ulama lainnya seperti Imam Malik, ulama Zhohiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb dan ulama Najd menyatakan bahwa air tidaklah menjadi najis dengan hanya sekedar kemasukan najis. Air tersebut bisa menjadi najis apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu rasa, warna atau baunya.
Alasan pendapat pertama tadi kurang tepat. Karena ada sebuah hadits yang menyebutkan,
إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[20]
Hadits ini secara mantuq (makna tekstual), air asalnya adalah suci sampai berubah rasa, bau atau warnanya. Sedangkan pendapat pertama di atas berargumen dengan mafhum (makna inplisit). Padahal para ulama telah menggariskan suatu kaedah, “Makna mantuq lebih didahulukan daripada mafhum.” Maksudnya, makna yang dapat kita simpulkan secara tekstual (mantuq) lebih utama untuk diamalkan daripada makna yang kita simpulkan secara inplisit (mafhum). Inilah kaedah yang biasa digunakan oleh para ulama.
Alasan lainnya, hukum itu ada selama terdapat ‘illah (sebab). Jadi kalau ditemukan sesuatu benda suci berubah rasa, warna dan baunya karena benda najis, barulah benda suci tersebut menjadi najis. Jika tidak berubah salah satu dari tiga sifat ini, maka benda suci tersebut tidaklah menjadi najis. Oleh karena itu, dengan alasan inilah pendapat kedua lebih layak untuk dipilih dengan kita tetap menghormati pendapat ulama lainnya. Wallahu a’lam bish showab.[21]
Kesimpulannya: Najis atau tidaknya air bukanlah dilihat dari ukuran (sudah mencapai dua qullah ataukah belum). Jika air lebih dari dua qullah kemasukan najis, lalu berubah salah satu dari tiga sifat tadi, maka air tersebut dihukumi najis. Begitu pula jika air kurang dari dua qullah. Jika salah satu dari tiga sifat tadi berubah, maka air tersebut dihukumi najis. Jika tidak demikian, maka tetap dihukumi sebagaimana asalnya yaitu suci.
Bolehkah Menggunakan Air Musyammas (Air yang Terkena Terik Matahari)?
Komisi Fatwa di Saudi Arabia, yaitu Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ pernah ditanyakan mengenai hal ini, lalu para ulama yang duduk dalam komisi tersebut menjawab:
لا نعلم دليلا صحيحا يمنع من استعمال الماء المشمس.
“Kami tidak mengetahui satu dalil shahih yang melarang menggunakan air musyammas (air yang terkena terik matahari).”
Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan selaku anggota, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz selaku ketua. (Soal keenam dari Fatwa no. 7757)[22]
Intinya, air musyammas masih boleh digunakan untuk berwudhu.
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan berkat nikmat Allah di saat turun berkah hujan di Pangukan-Sleman, 3 Shofar 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Irwa’ul Gholil no. 9.
[2] Dinukil dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Ali Basam, 1/114, Darul Atsar
[3] Lihat penjelasan pembagian air ini di kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/103-104, Al Maktabah At Taufiqiyah. Pembagian seperti ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/104.
[5] HR. Bukhari no. 187.
[6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Ma’rifah, Beirut.
[7] HR. Bukhari no. 189.
[8] Fathul Bari, 1/296.
[9] HR. Abu Daud no. 130. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[10] HR. Bukhari no. 194.
[11] HR. Bukhari no. 193.
[12] HR. Muslim no. 323.
[13] Al Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi’ Jaami’ Al Hadits.
[14] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/519, Darul Wafa’.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/106.
[16] HR. Abu Daud no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[17] Cara kompromi dalil semacam ini ditempuh oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Abu Malik-. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/107, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[18] Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Ali Basam, 1/116, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H.
[19] Para ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air dua qullah. Sebagian ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib (termasuk dalam golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun matan (isi hadits).
Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih. Beliau
rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad Darimi,
Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy
dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath
Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An
Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Mayoritas
pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan berhujah dengan
hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada orang yang mencela
(melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116)
[20] HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ahmad. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478
[21] Pembahasan ini disarikan dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/118 dan Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/33-34, Dar Ibnil Haitsam.
[22] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 7/54, Darul Ifta’.
Panduan Tata Cara Tayammum
Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulul Islam, Muhammad bin Abdillah shollallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
Mungkin tidak jarang dari kita melihat sebagian dari saudara-saudara kita kalangan kaum muslimin yang masih asing dengan istilah tayammum atau pada sebagian lainnya hal ini tidak asing lagi akan tetapi belum mengetahui bagaimana tayammum yang Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ajarkan serta yang diinginkan oleh syari’at kita. Maka penulis mengajak pembaca sekalian untuk meluangkan waktu barang 5 menit untuk bersama mempelajari hal ini sehingga ketika tiba waktunya untuk diamalkan sudah dapat beramal dengan ilmu.
Pengertian Tayammum
Kami mulai pembahasan ini dengan mengemukakan pengertian tayammum. Tayammum secara bahasa diartikan sebagai Al Qosdu (القَصْدُ) yang berarti maksud. Sedangkan secara istilah dalam syari’at adalah sebuah peribadatan kepada Allah berupa mengusap wajah dan kedua tangan dengan menggunakan sho’id yang bersih[1]. Sho’id adalah seluruh permukaan bumi yang dapat digunakan untuk bertayammum baik yang terdapat tanah di atasnya ataupun tidak[2].
Dalil Disyari’atkannya Tayammum
Tayammum disyari’atkan dalam islam berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ (konsensus) kaum muslimin[3]. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”. (QS. Al Maidah [5] : 6).
Adapun dalil dari As Sunnah adalah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu,
« وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ »
“Dijadikan bagi kami (ummat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi was sallam ) permukaan bumi sebagai thohur/sesuatu yang digunakan untuk besuci[4] (tayammum) jika kami tidak menjumpai air”.[5]
Media yang dapat Digunakan untuk Tayammum
Media yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi yang bersih baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara khusus,
جُعِلَتِ الأَرْضُ كُلُّهَا لِى وَلأُمَّتِى مَسْجِداً وَطَهُوراً
“Dijadikan (permukaan, pent.) bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam) dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”.[6]
Jika ada orang yang mengatakan bukankah dalam sebuah hadits Hudzaifah ibnul Yaman[7] Nabi mengatakan tanah?! Maka kita katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ash Shon’ani rohimahullah, “Penyebutan sebagian anggota lafadz umum bukanlah pengkhususan”[8]. Hal ini merupakan pendapat Al Auzaa’i, Sufyan Ats Tsauri Imam Malik, Imam Abu Hanifah[9] demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Amir Ashon’ani[10], Syaikh Al Albani[11], Syaikh Abullah Alu Bassaam[12] -rohimahumullah-, Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan[13] dan Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahumallah[14].
Keadaan yang Dapat Menyebabkan Seseorang Bersuci dengan Tayammum
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum,
- Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak[15].
- Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.
- Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh dari sakit.
- Ketidakmapuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habisnya waktu sholat.
- Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air tersebut.
Tata Cara Tayammum Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
Tata cara tayammum Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dijelaskan hadits ‘Ammar bin Yasir rodhiyallahu ‘anhu,
بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.[16]
Dan dalam salah satu lafadz riwayat Bukhori,
وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.
Berdasarkan hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum beliau shallallahu ‘alaihi was sallam adalah sebagai berikut.
- Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan kemudian meniupnya.
- Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.
- Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.
- Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan saja.
- Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai pergelangan tangan saja atau dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu[17].
- Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah, demikian juga untuk hadats kecil.
- Tidak wajibnya urut/tertib dalam tayammum.
Pembatal Tayammum
Pembatal tayammum sebagaimana pembatal wudhu. Demikian juga tayammum tidak dibolehkan lagi apa bila telah ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena ketidakadaan air dan telah adanya kemampuan menggunakan air atau tidak sakit lagi bagi orang yang bertayammum karena ketidakmampuan menggunakan air[18]. Akan tetapi shalat atau ibadah lainnya[19] yang telah ia kerjakan sebelumnya sah dan tidak perlu mengulanginya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ ، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ – وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ – فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا ، فَصَلَّيَا ، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ ، وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ : أَصَبْت السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْك صَلَاتُك وَقَالَ لِلْآخَرِ : لَك الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala[20]”[21].
Juga hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
الصَّعِيدُ وُضُوءُ الْمُسْلِمِ ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ.فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ
“Seluruh permukaan bumi (tayammum) merupakan wudhu bagi seluruh muslim jika ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun (kiasan bukan pembatasan angka)[22], apabila ia telah menemukannya hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menggunakannya sebagai alat untuk besuci”.[23]
Tambahan :
Dari hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dapat kita katakan bahwa orang yang telah melakukan ibadah semisal sholat dengan bertayammum tidak perlu mengulangi sholatnya bahkan jika ia mengulangi sholatnya kita khawatirkan ia terjatuh dalam perbuatan bid’ah.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ia disunahkan untuk sholat lagi dengan berwudhu dengan dalil hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ini maka pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat karena sahabat yang dalam hadits yang mengulangi sholatnya dalam hadits ini ketika itu beliau rodhiyallahu ‘anhu belum mengetahui perkara mana yang sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sehingga ketika itu beliau berijtihad. Maka bagi orang yang telah tahu mana perkara yang sesuai sunnah tidak boleh baginya menyelisihinya. Demikian juga dalam hadits yang mulia ini terdapat faidah yang agung yaitu, “Mencocoki sunnah dalam ibadah lebih utama dari banyaknya amal”.[24] Allahu a’lam.
Di Antara Hikmah Disyari’atkannya Tayammum
Sebagai penutup kami sampaikan hikmah dan tujuan disyari’atkannya tayyamum adalah untuk menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur dengan syari’at ini serta tidaklah sama sekali untuk memberatkan kita, sebagaimana akhir firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 6,
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
Abul Faroj Ibnul Jauziy rohimahullah mengatakan ada empat penafsiran ahli tafsir tentang nikmat apa yang Allah maksudkan dalam ayat ini,
Pertama, nikmat berupa diampuninya dosa-dosa[25].
Kedua, nikmat berupa hidayah kepada iman, sempurnanya agama, ini merupakan pendapat Ibnu Zaid rohimahullah.
Ketiga, nikmat berupa keringanan untuk tayammum, ini merupakan pendapat Maqotil dan Sulaiman.
Keempat, nikmat berupa penjelasan hukum syari’at, ini merupakan pendapat sebagian ahli tafsir[26].
Demikianlah akhir tulisan ini mudah-mudahan menjadi tambahan ‘amal bagi penulis dan tambahan ilmu bagi pembaca sekalian. Allahumma Amiin.
Di waktu Dhuha, Ahad 12 Dzulhijjah 1430 H.
Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 231/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.
[2] Kami ringkas dengan penyesuaian redaksi dari Lisanul ‘Arob oleh Muhammad Al Mishriy rohimahullah hal. 251/III, terbitan Darush Shodir, Beirut, Lebanon.
[3] Sebagaimana dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah. [Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 279/IV cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa].
[4] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abdullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 412/I terbitan Maktabah Asaadiy, Mekkah, KSA.
[5] HR. Muslim no. 522.
[6] HR. Ahmad no. 22190, dinyatakan shohih lighoirihi oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Ta’liq beliau untuk Musnad Imam Ahmad, terbitan Muasa’sah Qurthubah, Kairo, Mesir.
[7] Yang kami maksud adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ »
Demikian juga hadits dari sahabat ‘Ali yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya no. 774 dinyatakan Shohih oleh Syaikh Ahmad Syakir,
« وَجُعِلَ اَلتُّرَابُ لِي طَهُورًا »
[8] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 354/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[9] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 280/IV.
[10] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 351-352/I.
[11] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 31/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[12] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom hal. 414/I.
[13] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 38 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[14] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adhim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 56 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[15] Asy Syaukani menambahkan keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum dengan jauhnya air, kemudian beliau menambahkan batasan suatu jarak dikatakan tidak jauh dalam hal ini dengan adanya kemungkinan seseorang dapat mendapatkan air kemudian berwudhu dengannya dan dapat sholat pada waktunya. [lihat As Saylul Jaror oleh Asy Syaukani rohimahullah hal. 129/I, terbitan Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon.] namun Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa batasan dikatakan tidak jauh itu adalah urf/penilaian masyarakat [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 235/I ].
Tambahan dari editor,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “…. Akan tetapi, mereka juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’ suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih afdhol (lebih utama). Walhamdulillah.”[ Majmu’ Al Fatawa, hal. 458/XXI.]
[16] HR. Bukhori no. 347, Muslim no. 368.
[17] Kami katakan demikian karena kemutlakan yang ada dalam ayat tayammum (وَأَيْدِيكُمْ ,”Dan sapulah tanganmu”. [QS. Al Maidah (5) : 6]) tidak bisa di dimuqoyyadkan dengan ayat wudhu (وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ, “Dan basuhlah tanganmu sampai dengan siku” [QS. Al Maidah (5) : 6]), karena hukum kedua masalah ini berbeda (yang satu masalah tayammum yang lainnya wudhu) walaupun sebabnya sama, hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah dalam Syarh Nadzmul Waroqot hal. 123, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh dan lihat juga Ma’alim Ushul Fiqh oleh Syaikh Muhammad Husain bin Hasan Al Jaizaniy, hal. 441, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
[18] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal.56.
[19] Karena tayammum merupakan badal/pengganti dari wudhu. Sehingga apa yang dibolehkan dengan berwudhu dibolehkan juga dengan tayammum. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 360/I ].
[20] Yaitu satu pahala untuk sholat yang pertama dan satu pahala untuk sholat yang kedua. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 362/I, Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom hal. 426/I].
[21] HR. Abu Dawud no. 338, An Nasa’i no. 433. Dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 3861.
[22] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom hal. 422/I.
[23] HR. Ahmad no. 21408, Tirmidzi no. 124, Abu Dawud no. 333, An Nasa’i no. 420, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dan dinyatakan shohih lighoirihi oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth.
[24] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 237 dengan perubahan redaksi penukilan dari kami.
[25] Dalil tentang hal ini hadits Humroon tentang wudhunya Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu.
[26] Lihat Zaadul Masiir hal. 108, Asy Syamilah.
Berwudhu dan Tata Caranya
Penulis : Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ، يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ
وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ مُخْلِصًا لَهُ الدِّيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الأَمِيْنُ، صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا،
أَمَّا بَعْدُ:
أََيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ واعْرِفُوْا مَا أَوْجَبَهُ اللهَ عَلَيْكُم مِنْ أَحْكَامِ دِيْنِكُمْ…
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa panjatkan puji syukur kita ke hadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala atas berbagai nikmat-Nya yang telah dikaruniakan
kepada kita. Terlebih nikmat yang paling besar, yaitu nikmat Islam.
Nikmat yang tidak tertandingi besarnya oleh nikmat-nikmat lainnya. Oleh
karena itu kita harus senantiasa bersemangat di dalam mempelajari dan
mengamalkannya dalam kehidupan kita. Sebagaimana juga kita harus
senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar
mengaruniakan kepada kita istiqamah di atas agama-Nya sampai ajal
mendatangi kita.
Hadirin rahimakumullah,
Di antara permasalahan penting dalam agama kita yang harus dipelajari
adalah perkara yang berkaitan dengan tata cara berwudhu. Karena hal ini
berkaitan dengan sah dan tidaknya pelaksanaan ibadah yang paling besar
setelah kewajiban dua kalimat syahadat, yaitu shalat lima waktu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَأَ
“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima shalat salah seorang
dari kalian apabila berhadats (kecil) sampai dia berwudhu.” (Muttafaqun
‘alaih)
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan dengan kewajiban berwudhu ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai dengan
siku, dan usaplah kepala dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua
mata kaki.” (Al-Ma`idah: 6)
Di dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada
orang yang terkena hadats kecil untuk berwudhu jika ingin menjalankan
shalat. Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan dalam ayat
tersebut bahwa anggota-anggota badan yang harus terkena wudhu adalah
wajah, kedua tangan sampai siku, kepala, serta kedua kaki sampai mata
kaki. Demikian pula diterangkan dalam ayat tersebut bahwa untuk bagian
wajah, kedua tangan dan kaki maka kewajibannya adalah dengan
membasuhnya, yaitu dengan mengalirkan air ke bagian tersebut. Adapun
untuk bagian kepala maka kewajibannya hanyalah dengan mengusapnya,
yaitu cukup dengan mengusapkan tangan yang telah dibasahi air ke kepala
dan tidak perlu dengan mengalirkan air wudhu ke kepala.
Walaupun perlu diketahui, jika ada seseorang yang tangannya atau
anggota wudhu lainnya terdapat luka dan tidak boleh terkena air maka
tidak perlu baginya untuk membasuhnya. Akan tetapi kewajibannya adalah
menutup bagian luka tersebut dengan kain atau semisalnya, dan
selanjutnya cukup baginya untuk mengusapnya. Namun tidak boleh baginya
untuk menutup lukanya lebih dari kebutuhan sehingga terlalu banyak
menutup bagian yang tidak ada lukanya.
Jama’ah jum’ah yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala
Berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berkaitan dengan wudhu, para ulama menyebutkan bahwa termasuk dari
kewajiban membasuh wajah adalah berkumur-kumur dan istinsyaq. Demikian
pula para ulama menjelaskan bahwa termasuk dari kewajiban mengusap
kepala adalah kewajiban untuk mengusap telinga. Oleh karena itu, sudah
semestinya bagi kita untuk menjalankan kewajiban ini dengan
bersungguh-sungguh. Baik dalam berkumur-kumur, yaitu dengan memasukkan
air dan memutarnya di dalam mulut maupun dalam melakukan istinsyaq
yaitu bersungguh-sungguh ketika memasukkan air ke hidung, kecuali
apabila dalam keadaan sedang berpuasa.
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui, bahwa yang dimaksud dengan kewajiban mengusap kepala
dalam berwudhu adalah mengusap seluruh bagian kepala dan bukan
sebagiannya saja. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْـمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ
“(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengusap kepala)
memulai dari bagian depan kepalanya dan kemudian menjalankan kedua
telapak tangannya sampai ke (batas) tengkuknya, kemudian mengembalikan
lagi kedua telapak tangannya ke tempat memulai mengusapnya (bagian
depan kepala).” (Muttafaqun ‘alaih)
Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin untuk mencontoh apa yang
dilakukan oleh suri teladannya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam mengusap kepala. Yaitu dengan mengusap seluruh kepalanya
dan bukan hanya sebagiannya saja.
Hadirin yang mudah-mudahan dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Keterangan tentang tata cara wudhu dengan lebih lengkap bisa kita
pelajari dalam beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
antaranya disebutkan dalam hadits:
أََنَّ عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
ثُمَّ تَمَضْمَضَ واسْتَنْشَقَ واسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ
ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ اليُمْنَى إِلَي الْـمِرْفَقِ
ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ اليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ اليُمْنَى إِلَى الكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
ثُمَّ اليُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِ هَذَا…
“Adalah ‘Ustman bin ‘Affan meminta untuk didatangkan padanya air wudhu,
maka kemudian beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali kemudian
berkumur-kumur sambil memasukkan air ke hidung serta mengeluarkannya,
kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya
sampai ke siku tiga kali dan setelah itu tangan yang kiri juga
demikian, selanjutnya mengusap seluruh kepalanya, membasuh kakinya yang
kanan tiga kali dan kemudian kaki yang kiri juga demikian. Setelah itu
beliau mengatakan: “Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berwudhu seperti wudhuku ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
Disebutkan dalam hadits yang lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ وُضُوءَ لـِمَنْ لَـمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala ketika melakukannya.” (HR. Ahmad dan yang lainnya dan dihasankan
oleh Al-Albani rahimahullahu di dalam kitabnya Al-Irwa`)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Untuk lebih jelasnya dalam tata cara menjalankan wudhu, maka kami
bawakan berikut ini keterangan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullahu dalam salah satu bukunya. Beliau
rahimahullahu menyebutkan bahwa tata cara wudhu adalah sebagai berikut:
1. Berniat untuk berwudhu di dalam hati dengan tidak mengucapkannya.
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melafadzkan
niatnya baik di dalam wudhu maupun shalatnya, dan juga seluruh
ibadahnya. Begitu pula karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa
yang ada di dalam hati sehingga tidak ada perlunya untuk diberitakan
lewat lisannya.
2. Kemudian menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membaca bismillah.
3. Kemudian mencuci telapak tangannya tiga kali.
4. Kemudian berkumur dan istinsyaq (yaitu memasukkan air ke hidung) tiga kali.
5. Kemudian membasuh wajahnya tiga kali. Yaitu secara melebar dari
telinga ke telinga dan memanjang dari mulai tempat biasanya tumbuhnya
rambut di kepala bagian atas sampai ke ujung dagu/jenggot.
6. Kemudian membasuh kedua tangannya tiga kali dari mulai ujung jari
tangan sampai ke siku, dimulai dari tangan yang kanan dan setelah itu
yang kiri.
7. Kemudian mengusap kepalanya sekali yaitu dengan membasahi kedua
telapak tangannya dan mengusapkannya dari mulai bagian depan kepala
terus ke belakang hingga batas tengkuknya dan kemudian dikembalikan ke
bagian depan kepala lagi.
8. Kemudian mengusap kedua telinganya sekali dengan memasukkan kedua
telunjuknya ke bagian dalam lubang telinga dan kedua ibu jarinya
mengusap bagian luar telinga.
9. Kemudian membasuh kakinya tiga kali dimulai dari ujung jari kaki
sampai ke kedua mata kaki. Dimulai dari kaki yang kanan dan setelah itu
kaki yang kiri.
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Selanjutnya dianjurkan bagi kita setelah berwudhu untuk membaca doa:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Dalam riwayat lainnya yang dishahihkan oleh Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu ada tambahan:
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ واجْعَلْنِيْ مِنَ الْـمُتَطهِّرِينَ
Maka dengan membaca doa tersebut kita berharap akan mendapatkan
keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana telah disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam
shahihnya. Yaitu bahwasanya orang yang berwudhu dengan sebaik-baiknya
dan kemudian dia berdoa dengan doa tersebut maka akan dibukakan baginya
pintu-pintu surga.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Sebagian ulama menjelaskan, bahwa di antara hikmah dijadikannya anggota
wudhu adalah wajah, tangan, kepala dan kaki adalah karena keempat
anggota badan inilah yang banyak digunakan untuk beramal. Sehingga kita
berharap dengan wudhu yang kita lakukan akan menjadi sebab dihapusnya
kesalahan-kesalahan kita yang muncul dari keempat anggota badan
tersebut. Baik yang berkaitan dengan wajah seperti kesalahan-kesalahan
mata dalam memandang maupun kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
lisan saat berbicara. Begitu pula yang berkaitan dengan kepala, seperti
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh telinga dalam mendengar.
Ataupun yang berkaitan dengan kesalahan-kesalahan kedua tangan maupun
kedua kaki. Oleh karena itu semestinya kita berusaha menghadirkan hati
ketika berwudhu untuk mendapatkan keutamaan tersebut. Mudah-mudahan
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemudahan kepada kita dalam
menjalankan perintah-perintah-Nya dan menerima amalan-amalan kita serta
mengaruniakan kepada kita berbagai keutamaan yang telah Allah Subhanahu
wa Ta’ala janjikan bagi hamba-hamba-Nya.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ حَقًا
وَ تُوْبُوْا إِليه صِدْقًا إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ عَلَى فَضْلِهِ وَإِحْسَانِهِ،
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَرْسَلَهُ
بِالْـهُدَى وَ دِيْنِ الْـحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ،
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
أََيُّهَا النَّاس، اتَّقُوْا اللهَ تَعَالىَ وَاعْلَمُوْا أَنَّ
التَّطَهُّرَ لِلصَّلاَةِ بِالوُضُوْءِ أَمَانَةٌ بَيْنَ العَبْدِ
وَرَبِّهِ، يُسْأَلُ عَنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita berupaya untuk menjalankan agama Islam ini dengan
sebaik-baiknya. Yaitu dengan mengikuti para sahabat dan para ulama yang
mengikuti mereka di dalam memahami petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala
di dalam kitab-Nya dan petunjuk Rasul-Nya di dalam hadits-hadits yang
shahih.
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Menunaikan wudhu adalah amanah yang seseorang akan dimintai
pertanggungjawabannya dalam pelaksanaannya di akhirat kelak. Oleh
karena itu, seorang yang beriman tentu akan menjalankan wudhu dengan
sebaik-baiknya. Karena orang yang beriman adalah orang yang memiliki
sifat amanah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Oleh karena itu tidak boleh bagi seseorang untuk bermudah-mudahan dalam
menunaikan wudhu. Seperti yang dilakukan sebagian orang yang hanya
menyiramkan air ke tangan atau kakinya. Sementara itu dia tidak
memerhatikan apakah airnya telah merata mengenai seluruh bagian yang
harus terkena air wudhu atau belum. Padahal apabila ada bagian anggota
wudhu yang harusnya terkena air namun tidak dikenakan padanya air, maka
wudhunya tidak sah. Sehingga bisa jadi seseorang selama bertahun-tahun
merasa telah menjalankan shalat namun pada kenyataannya dia belum
menjalankannya karena wudhu yang dia lakukan tidak sah.
Hadirin rahimakumullah
Begitu pula dalam menggunakan air, maka tidak boleh bagi kita untuk
berlebih-lebihan sehingga menyelisihi apa yang dicontohkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semestinya kita berusaha sebisa mungkin
untuk hemat dalam menggunakan air. Karena demikianlah yang dicontohkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana tersebut
dalam hadits:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأُ بِالْـمُدِّ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berwudhu hanya
menggunakan air sebanyak satu mud (secakupan 2 telapak tangan).”
(Muttafaqun ‘alaih)
Dari hadits tersebut kita mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh
sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam menggunakan air sehingga
terkadang untuk mencuci satu kaki saja menggunakan satu atau dua gayung
air adalah perbuatan yang menyelisihi apa yang dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saudara-saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah,
Demikianlah beberapa hal penting berkaitan dengan wudhu. Adapun untuk lebih rinci lagi, maka bisa kita dapatkan insyaallah melalui majelis-majelis ilmu. Akhirnya, marilah kita berusaha untuk benar-benar mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sebaik-baik kalam adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sejelek-jelek amalan adalah amalan ibadah yang diada-adakan dan amalan ibadah yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menunjukkan kepada kita jalan-Nya yang lurus dan memasukkan kita semua ke dalam surga-Nya. Amiin.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِه أَجْمَعِيْنَ. وَالْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالـَمِيْنَ
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=689