Musibah Antara Jalan ke Surga dan Jurang ke Neraka
Gempa mengguncang hebat bumi Jogjakarta. Dalam hitungan detik bangunan-bangunan yang tak kuat menahan gerakan lempeng bumi itu pun rubuh. Genteng-genteng rumah berhamburan jatuh. Teriakan bercampur tangis memecah keheningan suasana pagi. Darah-darah segar mengalir membasahi tanah. Rumah-rumah sakit kebanjiran pasien. Akhirnya, ribuan jiwa menjadi korban.
Begitulah gambaran Sabtu pagi, 27 Mei 2006, di propinsi miniatur Indonesia ini. Seakan belum hilang di dalam benak warga, bencana yang melanda saudara-saudara kita di Aceh, warga Jogja pun semburat ke luar rumah mencari tempat-tempat tinggi untuk menghindari gelombang laut pasang, tsunami. Belakangan diketahui, ternyata tsunami hanya isu belaka.
Musibah Datang Tak Terduga
Siapa yang mengira gempa bumi yang melanda hampir di sepanjang selatan pulau Jawa itu akan membawa dampak yang sangat parah. Inilah musibah. Allah telah menetapkannya 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi beserta isinya. Allah berfirman, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 22-23)
Ke Manakah Harus Berlari?
Panik. Itulah yang biasanya terjadi ketika bencana datang. Padahal justru karena itulah yang membuat banyak korban berjatuhan. Ketika isu tsunami merebak, kontan hampir semua berlari dan menyelamatkan diri. Tapi ke manakah harus berlari? “Ke utara! Cari tempat yang tinggi!” teriak orang-orang histeris. Namun adakah orang di sana yang berteriak, “Berlarilah kepada Allah! Tidak ada tempat berlindung selain kepada Allah!”
Allah berfirman, “Pada hari itu manusia berkata: ‘Ke mana tempat berlari?’ Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.” (QS. Al Qiyamah: 10-12)
Musibah, Jalan Menuju Surga
Kesedihan adalah reaksi yang wajar dan manusiawi ketika menghadapi sebuah musibah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika anaknya, Ibrahim, meninggal dunia. Semua musibah -apapun jenisnya- bagi orang-orang yang beriman, pada hakikatnya adalah tiket untuk masuk surga. Karena orang mukmin itu jika tertimpa bencana, dia bersabar dan ridho terhadap ketentuan Allah ini, maka ia akan mendapatkan ganjaran pahala yang besar. Allah berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah: 214). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapatkan musibah, melainkan Allah akan akan menghapus dosa-dosanya, walau hanya tertusuk duri sekalipun.” (HR. Al Bukhari)
Cara Menghadapi Musibah
Musibah menimpa manusia tanpa pandang bulu. Yang beriman ditimpa musibah, apalagi yang kufur. Pada hari kebangkitan kelak, masing-masing akan dibangkitkan dengan amalnya sendiri-sendiri. Yang menjadi tuntutan adalah bagaimana menghadapi musibah agar dapat berbuah pahala dan akhirnya masuk surga. Islam telah mengajarkan hal-hal yang harus dilakukan ketika tertimpa musibah.
1. Mengucapkan kalimat istirja’. Yaitu mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Allah berfirman, “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ( Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali)’.” (QS. Al Baqoroh: 156)
2. Berdo’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a setelah membaca istirja’, yaitu: Allaahumma’ jurnii fii mushiibatii, wa akhliflii khairon minha. (Ya Allah berilah pahala dalam musibahku ini, dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya).” (HR. Muslim)
3. Bersabar atas musibah yang menimpa. Allah berfirman, “Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS. Al Insan: 24). Yang dimaksud dengan sabar adalah tidak menggerutu di dalam hati, menahan lisan dari mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, dan menjaga tangan agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, menggundulkan rambut kepala, dan lain-lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka mereka akan mendapatkan keridhoan Allah. Dan siapa yang murka, maka akan mendapatkan murka Allah.” (Hasan, HR. At Tirmidzi)
4. Melakukan Muhasabah (Introspeksi Diri). Manusia adalah makhluk yang lemah. Terkadang berbuat dosa dan salah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam memiliki kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.” (Hasan, HR. At Tirmidzi). Biasanya orang lebih cepat tersadar ketika musibah telah menimpanya. Barangkali Allah hendak mengingatkan kita. Sudah berapa banyak dosa yang kita perbuat dan maksiat yang kita koleksi? Namun berapa lama lagi umur yang tersisa? Oleh karena itu tetaplah berbaik sangka kepada Allah. Jadikan ini kesempatan bagi kita yang masih hidup untuk segera bertaubat kepada Allah atas segala kesalahan dan dosa. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat.
Sebab Datangnya Musibah
Setelah membawakan ayat-ayat tentang musibah, Syeikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah adalah Maha Adil dan Bijaksana. Dia tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat, dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah.” (Minhaj Al Firqoh An Najiyah)
Pembaca yang budiman, perintah Allah yang terbesar adalah Tauhid dan larangan-Nya yang terkeras adalah Syirik. Jadi tidak diragukan lagi, musibah yang menimpa kaum muslimin saat ini adalah karena mereka tidak menunaikan hak Allah, yaitu hak peribadatan (mentauhidkan Allah). Hanya Allah sajalah yang berhak diibadahi dengan segala macam jenis ibadah dan pendekatan diri, seperti berdo’a, bernazar, menyembelih kurban, istighosah, dan lain-lain. Maka wajarlah Allah murka. Hamba-Nya malah berbuat berbagai macam bentuk kesyirikan, seperti lelaku sesaji untuk Ratu Laut Selatan, sedekah laut, tapa mbisu (keliling kampung tanpa berbicara -pen) untuk menolak bala dan berbagai ritual syirik yang lain.
Musibah, Azab yang Disegerakan
Berbeda dengan orang yang beriman, bagi orang yang durhaka kepada Allah -hidupnya bergelimang dengan dosa dan maksiat- musibah adalah azab yang disegerakan baginya di dunia. Belum lagi di akhirat. Al Qur’an memberikan banyak contoh, di antaranya kisah kaum Tsamud yang ‘menyulap’ gunung menjadi rumah-rumah tempat tinggal mereka (bisa dibayangkan betapa kokohnya rumah mereka-pen).
Allah memperingatkan, “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan. Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: ‘Tahukah kamu bahwa Shaleh diutus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya.’ Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: ‘Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.’ Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: ‘Hai Shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah).’ Karena itu mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” (QS. Al A’rof: 73-78)
Juga kisah Fir’aun dan bala tentaranya yang digulung gelombang laut dahsyat. Allah mengisahkan, “Lalu kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah kami dekatkan golongan yang lain. Dan kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan kami tenggelamkan golongan yang lain itu.” (QS. As Syu’ara: 63-66)
Di Balik Terjadinya Musibah
Setiap bencana datang, pasti mengundang perhatian. Tak pelak lagi, gempa yang berkekuatan 5,9 SR itu menjadi pusat perhatian dunia seketika. Sukarelawan baik lokal maupun internasional pun berduyun-duyun datang ke lokasi bencana. Ada yang murni membawa misi kemanusiaan, adapula yang membawa ‘udang di balik batu’ (baca: kristenisasi). Memang inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan upaya pemurtadan umat Islam. Sebut saja misalnya di Aceh, dikisahkan bahwa ada misionaris luar negeri yang jelas-jelas kafir mengenakan jilbab sambil membagi-bagikan sembako kepada para pengungsi. Aneh memang, tapi itulah racun yang memikat, namun mematikan.
Waspadai Bahaya Pemurtadan!
Allah berfirman, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqoroh: 160)
Petunjuk Allah itu adalah Islam itu sendiri. Walau berada dalam kondisi sulit bagaimanapun, agama kita tetap Islam. Jangan mengganti aqidah atau keyakinan, hanya karena desakan ekonomi dan sulitnya penghidupan. Allah berpesan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imron: 102)
Upaya lain yang tidak kalah pentingnya untuk membentengi umat dari bahaya pemurtadan ini adalah solidaritas sesama muslim harus ditingkatkan. Betapa banyak kaum muslimin korban bencana yang terkapar dan terlantar di rumah-rumah sakit, di barak-barak pengungsian, di posko-posko peduli bencana, yang membutuhkan uluran tangan saudara muslimnya yang lain! Tidak malukah kita didahului oleh orang-orang kafir dalam hal membantu saudara-saudara kita sendiri? Tegakah kita melihat saudara-saudara kita berpindah agama hanya karena musibah yang menimpanya di dunia? Wahai orang-orang yang masih memiliki mata hati! Ringankan tangan, sinkronkan langkah, hadapi cobaan dengan lapang dada, jadikan musibah sebagai jalan menuju surga. Jangan sampai kita tergelincir ke dalam jurang neraka. Wallahu a’lam.
(Disadur dari berbagai sumber)
***
Penulis: Nurdin Abu Yazid
Artikel www.muslim.or.id
Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah
Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada. Sholawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta keluarga dan sahabat juga seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam semesta. Amma ba’du.
Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
واعلم أن النصر مع الصبر ، وأن الفرج مع الكرب ، وأن مع العسر يسرا
“Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah cahaya yang panas. Dia memberikan keterangan di sekelilingnya akan tetapi memang terasa panas menyengat di dalam dada.
Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah).
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini:
“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syariat serta menjauhi larangan syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian dengan ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar artinya: “Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang. Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).
Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِيَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)
Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menginformasikan bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu di antara umat manusia, baik yang terkait dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya hanya bisa terjadi dengan sebab takdir dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak bisa dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini terjadi dengan ketetapan dan takdir Allah niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya sehingga mampu untuk merasa ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya karena yakin terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha mengetahui segala hal yang dapat membuat hamba-hambaNya menjadi baik. Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).
Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:
“Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ disebutkan dalam konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. ‘Niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni supaya bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya’ supaya tidak merasa marah dan tidak terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni untuk menunaikan berbagai macam ibadah. Oleh sebab itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan karena dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).
Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah:
- Keburukan itu juga termasuk perkara yang sudah ditakdirkan ada oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan.
- Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi sebab hati dapat meraih hidayah dan merasakan ketenteraman diri.
- Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
- Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.
- Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala.
(Al Jadiid, hal. 314).
Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:
“Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridho dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah. Adapun ridho memiliki dua sudut pandang yang berlainan:
Sudut pandang pertama, terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridho terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridho dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridho terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus ada).
Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunahkan).
Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha’ yakni merasa puas terhadap ketetapan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).
Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan
Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220).
Syaikhul Islam mengatakan:
“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa agamanya.
Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi sesuai dengan ketetapan Robb ‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah). Dan apabila dia memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-Nya.
أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)
Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).
Dari hadits di atas kita dapat memetik beberapa pelajaran berharga, yaitu:
- Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak), tentunya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
- Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan dari Allah ta’ala.
- Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda kebaikan. Selama hal itu tidak menimbulkan dirinya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan.
- Hendaknya kita merasa takut dan waspada terhadap nikmat dan kesehatan yang selama ini senantiasa kita rasakan.
- Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir tidak mengenakkan yang telah diputuskan-Nya terjadi pada diri kita.
- Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti berarti Allah meridhoi orang tersebut.
(Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit penyesuaian redaksional).
Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar
Allah ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ {155} الَّذِينَ إِذَآ أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا للهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ {156} أُوْلآئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُُ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلآئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan ucapan sholawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).
Allah ta’ala juga berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar: 10)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).
Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya yang sabar.
Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
***
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi (Staf Pengajar Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Abu Saad
Artikel www.muslim.or.id
Nasehat Ulama: Di Balik Musibah Gempa Bumi
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du:
[Gempa Bumi, Di Antara Tanda Kekuasaan Allah][1]
Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua yang dilaksanakan dan ditetapkan. Sebagaimana juga Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua syari’at dan semua yang diperintahkan. Allah menciptakan berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Dia pun menetapkannya untuk menakut-nakuti hamba-Nya. Dengan tanda-tanda tersebut, Allah mengingatkan kewajiban hamba-hamba-Nya, yang menjadi hak Allah ‘azza wa Jalla. Hal ini untuk mengingatkan para hamba dari perbuatan syirik dan melanggar perintah serta melakukan yang dilarang.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا نُرْسِلُ بِالآيَاتِ إِلا تَخْوِيفًا
“Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakut-nakuti.” (Qs. Al-Israa: 59)
Allah Ta’ala juga berfirman,
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (Qs. Fushilat: 53)
Allag Ta’ala pun berfirman,
قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Dia (Allah) Maha Berkuasa untuk mengirimkan adzab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), dan merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebahagian yang lain.” (Qs. Al-An’am: 65)
Imam Bukhari meriwayatkan di dalam kitab shahihnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala turun firman Allah Ta’ala dalam surat Al An’am [قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ], beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: “Aku berlindung dengan wajah-Mu.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan (membaca) [أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ], beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a lagi, “Aku berlindung dengan wajah-Mu.” [2]
Diriwayatkan oleh Abu Syaikh Al Ash-bahani, dari Mujahid tentang tafsir surat Al An’am ayat 65 [قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ], beliau mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah halilintar, hujan batu dan angin topan. Sedangkan firman Allah [أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ], yang dimaksudkan adalah gempa dan tanah longsor.
Jelaslah, bahwa musibah-musibah yang terjadi pada masa-masa ini di berbagai tempat termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah guna menakut-nakuti para hamba-Nya.
[Musibah Datang Dikarenakan Kesyirikan dan Maksiat yang Diperbuat]
(Perlu diketahui), semua musibah yang terjadi di alam ini, berupa gempa dan musibah lainnya yang menimbulkan bahaya bagi para hamba serta menimbulkan berbagai macam penderitaan, itu semua disebabkan oleh perbuatan syirik dan maksiat yang diperbuat. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)
Allah Ta’ala juga berfirman,
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri.” (Qs. An-Nisaa: 79)
Allah Ta’ala menceritakan tentang umat-umat terdahulu,
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Ankabut: 40)
[Kembali pada Allah Sebab Terlepas dari Musibah]
Oleh karena itu, wajib bagi setiap kaum muslimin yang telah dibebani syari’at dan kaum muslimin lainnya, agar bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, konsisten di atas agama, serta menjauhi larangan Allah yaitu kesyirikan dan maksiat. Sehingga dengan demikian, mereka akan selamat dari seluruh bahaya di dunia maupun di akhirat. Allah pun akan menghindarkan dari mereka berbagai adzab, dan menganugrahkan kepada mereka berbagai kebaikan. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raaf: 96)
Allah Ta’ala pun mengatakan tentang Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka.” (Qs. Al-Maidah: 66)
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ, أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ, أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-A’raaf: 97-99)
[Perkataan Para Salaf Ketika Terjadi Gempa]
Al ‘Allaamah Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan, “Pada sebagian waktu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan izin kepada bumi untuk bernafas, lalu terjadilah gempa yang dahsyat. Akhirnya, muncullah rasa takut yang mencekam pada hamba-hamba Allah. Ini semua sebagai peringatan agar mereka bersegera bertaubat, berhenti dari berbuat maksiat, tunduk kepada Allah dan menyesal atas dosa-dosa yang selama ini diperbuat. Sebagian salaf mengatakan ketika terjadi goncangan yang dahsyat, “Sesungguhnya Allah mencela kalian.” ‘Umar bin Khatthab -radhiyallahu ‘anhu-, pasca gemba di Madinah langsung menyampaikan khutbah dan wejangan. ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Jika terjadi gempa lagi, janganlah kalian tinggal di kota ini.” Demikian yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim -rahimahullah-. Para salaf memiliki perkataan yang banyak mengenai kejadian semacam ini.
[Bersegera Bertaubat dan Memohon Ampun pada Allah]
Saat terjadi gempa atau bencana lain seperti gerhana, angin ribut dan banjir, hendaklah setiap orang bersegera bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, merendahkan diri kepada-Nya dan memohon keselamatan dari-Nya, memperbanyak dzikir dan istighfar (memohon ampunan pada Allah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana bersabda, “Jika kalian melihat gerhana, maka bersegeralah berdzikir kepada Allah, memperbanyak do’a dan bacaan istighfar.”[3]
[Dianjurkan Memperbanyak Sedekah dan Menolong Fakir Miskin]
Begitu pula ketika terjadi musibah semacam itu, dianjurkan untuk menyayangi fakir miskin dan memberi sedekah kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ارْحَمُوا تُرْحَمُوا
“Sayangilah (saudara kalian), maka kalian akan disayangi.”[4]
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
“Orang yang menebar kasih sayang akan disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang di muka bumi, kalian pasti akan disayangi oleh Allah yang berada di atas langit.”[5]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Orang yang tidak memiliki kasih sayang, pasti tidak akan disayang.”[6]
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdul Aziz –rahimahullah- bahwasanya saat terjadi gempa, beliau menulis surat kepada pemerintahan daerah bawahannya agar memperbanyak shadaqah.
[Yang Mesti Diperintahkan Pemimpin Kaum Muslimin kepada Rakyatnya]
Di antara sebab terselamatkan dari berbagai kejelekan adalah hendakanya pemimpin kaum muslimin bersegera memerintahkan pada rakyat bawahannya agar berpegang teguh pada kebenaran, kembali berhukum dengan syari’at Allah, juga hendaklah mereka menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijakasana.” (Qs. At-Taubah: 71)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ, الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الأرْضِ أَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar ; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Qs. Al-Hajj : 40-41)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaaq: 2-3)
Ayat-ayat semacam ini amatlah banyak.
[Anjuran untuk Menolong Kaum Muslimin yang Tertimpa Musibah]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ
“Barangsiapa menolong saudaranya, maka Allah akan selalu menolongnya.”[7]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
“Barangsiapa yang membebaskan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan akhirat. Barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang kesulitan, maka Allah akan memudahkan dia di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan selalu menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”[8] Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.
Hadits-hadits yang mendorong untuk menolong sesama amatlah banyak.
Hanya kepada Allah kita memohon agar memperbaiki kondisi kaum Musimin, memberikan pemahaman agama, menganugrahkan keistiqomahan dalam agama, dan segera bertaubat kepada Allah dari setiap dosa. Semoga Allah memperbaiki kondisi para penguasa kaum Muslimin. Semoga Allah menolong dalam memperjuangkan kebenaran dan menghinakan kebathilan melalui para penguasa tersebut. Semoga Allah membimbing para penguasa tadi untuk menerapkan syari’at Allah bagi para hamba-Nya. Semoga Allah melindungi mereka dan seluruh kaum Muslimin dari berbagai cobaan dan jebakan setan. Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk hal itu.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari pembalasan.
Mufti ‘Aam Kerajaan Saudi Arabia
Ketua Hai-ah Kibaril ‘Ulama’, Penelitian Ilmiah dan Fatwa
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[9]
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 9/148-152, Majmu’ Fatawa wa Maqolaat Mutanawwi’ah Li Samahah As Syaikh Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’ (http://alifta.net)
Panggang, 14 Syawwal 1430 H
***
Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] Yang mengalami tanda kurung semacam ini “[…]” di awal paragraf adalah tambahan judul dari penerjemah untuk memudahkan pembaca dalam memahami tulisan.
[2] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Tafsir Al Qur’an no. 4262 dan At Tirmidzi dalam Tafsir Al Qur’an no. 2991
[3] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Jumu’ah no. 999 dan Muslim dalam Al Kusuf no. 1518
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya no. 6255.
[5] Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1847.
[6] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 5538 dan At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1834.
[7] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Al Mazholim dan Al Ghodhob no. 2262 dan Muslim no. 4677 dengan lafazh yang disepakati oleh keduanya.
[8] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Adz Dzikr, Ad Du’aa dan At Taubah no. 4867 dan At Tirmidzi dalam Al Birr wash Shilah no. 1853.
[9] Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz lahir pada tahun 1330 H di kota Riyadh. Dulunya beliau memiliki penglihatan. Kemudian beliau tertimpa penyakit pada matanya pada tahun 1346 H dan akhirnya lemahlah penglihatannya. Pada tahun 1350 H, beliau buta total. Beliau telah menghafalkan Al Qur’an sebelum baligh. Beliau sangat perhatian dengan hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu tersebut. Beliau pernah menjabat sebagai Mufti ‘Aam Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia). Beliau meninggal dunia pada hari Kamis, 27/1/1420 H pada umur 89 tahun. (Sumber: http://alifta.net/Fatawa/MoftyDetails.aspx?ID=2)
Musibah, Antara Pahala dan Dosa
Segala puji bagi Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Salawat dan salam semoga tercurah kepada teladan kaum beriman Muhammad bin Abdullah, dan juga para pengikutnya yang setia kepada ajaran-ajarannya di saat suka maupun duka. Amma ba’du.
Sesungguhnya musibah dan bencana merupakan bagian dari takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Allah ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah perintah-Nya yaitu ketetapan takdir dan kehendak-Nya. Beliau juga menjelaskan bahwa barang siapa yang tertimpa musibah lalu menyadari bahwa hal itu terjadi dengan takdir dari Allah kemudian dia pun bersabar, mengharapkan pahala, dan pasrah kepada takdir yang ditetapkan Allah niscaya Allah akan menunjuki hatinya. Allah akan gantikan kesenangan dunia yang luput darinya -dengan sesuatu yang lebih baik, pent- yaitu berupa hidayah di dalam hatinya dan keyakinan yang benar. Allah berikan ganti atas apa yang Allah ambil darinya, bahkan terkadang penggantinya itu lebih baik daripada yang diambil. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.” Maksudnya adalah Allah akan tunjuki hatinya untuk merasa yakin sehingga dia menyadari bahwa apa yang -ditakdirkan- menimpanya pasti tidak akan meleset darinya. Begitu pula segala yang ditakdirkan tidak menimpanya juga tidak akan pernah menimpa dirinya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Beliau -Ibnu Katsir- juga menukil keterangan al-A’masy yang meriwayatkan dari Abu Dhabyan, dia berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum untuk semua musibah, baik yang menimpa jiwa/nyawa, harta, anak, orang-orang yang dicintai, dan lain sebagainya. Maka segala musibah yang menimpa hamba adalah dengan ketentuan qadha’ dan qadar Allah. Ilmu Allah telah mendahuluinya, kejadian itu telah dicatat oleh pena takdir-Nya. Kehendak-Nya pasti terlaksana dan hikmah/kebijaksanaan Allah memang menuntut terjadinya hal itu. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah hamba yang tertimpa musibah itu menunaikan kewajiban dirinya ketika berada dalam kondisi semacam ini ataukah dia tidak menunaikannya? Apabila dia menunaikannya maka dia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah di dunia dan di akherat. Apabila dia mengimani bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah sehingga dia merasa ridha atasnya dan menyerahkan segala urusannya -kepada Allah, pent- niscaya Allah akan tunjuki hatinya. Dengan sebab itulah ketika musibah datang hatinya akan tetap tenang dan tidak tergoncang seperti yang biasa terjadi pada orang-orang yang tidak mendapat karunia hidayah Allah di dalam hatinya. Dalam keadaan seperti itu Allah karuniakan kepada dirinya -seorang mukmin- keteguhan ketika terjadinya musibah dan mampu menunaikan kewajiban untuk sabar. Dengan sebab itulah dia akan memperoleh pahala di dunia, di sisi lain ada juga balasan yang Allah simpan untuk-Nya dan akan diberikan kepadanya kelak di akherat. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya hanya akan disempurnakan balasan bagi orang-orang yang sabar itu dengan tanpa batas hitungan.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/867], software Maktabah asy-Syamilah)
Beliau melanjutkan, dari sinilah dapat dimengerti bahwa barang siapa yang tidak beriman terhadap takdir Allah ketika terjadinya musibah dan dia meyakini bahwa apa yang terjadi sekedar mengikuti fenomena alam dan sebab-sebab yang tampak niscaya orang semacam itu akan dibiarkan tanpa petunjuk dan dibuat bersandar kepada dirinya sendiri. Apabila seorang hamba disandarkan hanya kepada kekuatan dirinya sendiri maka tidak ada yang diperolehnya melainkan keluhan dan penyesalan yang hal itu merupakan hukuman yang disegerakan bagi seorang hamba sebelum hukuman di akherat akibat telah melalaikan kewajiban bersabar. Di sisi yang lain, ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya setiap orang yang beriman terhadap segala perkara yang diperintahkan untuk diimani, seperti iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, takdir yang baik dan yang buruk, dan melaksanakan konsekuensi keimanan itu dengan menunaikan berbagai kewajiban, maka sesungguhnya hal ini merupakan sebab paling utama untuk mendapatkan petunjuk Allah dalam menyikapi keadaan yang dialaminya sehingga dia bisa berucap dan bertindak dengan benar. Dia akan mendapatkan petunjuk ilmu maupun amalan. Inilah balasan paling utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman. Maka orang-orang beriman itulah orang yang hatinya paling mendapatkan petunjuk di saat-saat berbagai musibah dan bencana menggoncangkan jiwa kebanyakan manusia. Keteguhan itu ditimbulkan dari kokohnya keimanan yang tertanam di dalam jiwa mereka (dengan sedikit peringkasan dari Taisir al-Karim ar-Rahman [1/867], software Maktabah asy-Syamilah)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat di atas terkandung beberapa pelajaran yang agung, yaitu:
- Segala musibah yang menimpa itu terjadi dengan qadha’ dan qadar dari Allah ta’ala.
- Merasa ridha terhadap takdir tersebut dan bersabar dalam menghadapi musibah merupakan bagian dari nilai-nilai keimanan, sebab Allah menamakan sabar di sini dengan iman.
- Kesabaran itu akan membuahkan hidayah menuju kebaikan di dalam hati dan kekuatan iman dan keyakinan ((I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/140] software Maktabah asy-Syamilah)
Kedudukan Sabar dan Pengertiannya
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan,
الصَّبْرُ مِنَ الإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ ، فَإِذَا ذَهَبَ الصَّبْرُ ذَهَبَ الإِيمَانُ.
“Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40], bagian awal atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535], lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17/121] software Maktabah asy-Syamilah)
Walaupun secara sanad atsar ini dinilai lemah, namun secara makna bisa diterima. Hal itu dikarenakan cakupan sabar yang demikian luas dalam agama Islam. Ia mencakup sikap seorang hamba dalam menghadapi berbagai perintah dan larangan serta berbagai keadaan yang dialami manusia di dalam kehidupan, di saat senang maupun susah. Untuk itu, marilah kita cermati pengertian sabar ini agar jelas bagi kita bahwa hidup tanpa kesabaran pada akhirnya akan menyeret manusia dalam jurang kekafiran.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,
الصبر لغة: الحبْس، قال الله تعالى لنبيه: {وَاصْبرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ} أي: احبسها مع هؤلاء. وأما في الشرع فالصبر هو: حبس النفس على طاعة الله سبحانه وتعالى وترك معصيته. وذكر العلماء: أن الصبر له ثلاثة أنواع: صبرٌ على طاعة الله، وصبرٌ عن محارم الله، وصبرٌ على أقدار الله المؤلِمة.
“Sabar secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya (yang artinya), ‘Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabb mereka’. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk tetap bersama mereka. Adapun di dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan/kemaksiatan kepada-Nya. Para ulama menyebutkan bahwa sabar itu ada tiga macam: sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah, dan sabar saat menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/134] software Maktabah asy-Syamilah)
Ketika kesabaran lenyap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ
“Ada dua buah perkara dalam diri manusia yang merupakan bentuk kekafiran. Mencaci maki garis keturunan dan meratapi mayit.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
an-Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud hadits ini adalah kedua perbuatan ini tergolong perbuatan orang-orang kafir (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim [2/57] software Maktabah asy-Syamilah). Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menerangkan bahwa hadits ini mencakup dua makna. Yang pertama yang dimaksud kufur di sini adalah kufur nikmat -tidak sampai mengeluarkan dari agama, pent- sedangkan yang kedua yang dimaksud adalah keduanya digolongkan sebagai perbuatan orang-orang kafir (Kaysf al-Musykil min Hadits Shahihain [1/1025] software Maktabah asy-Syamilah).
Di antara pelajaran berharga yang bisa dipetik dari hadits ini adalah:
- Diharamkannya mencaci maka nasab/garis keturunan dan meratapi mayit.
- Isyarat yang menunjukkan bahwasanya kedua perbuatan ini akan tetap muncul di dalam umat ini.
- Bisa jadi di dalam diri seseorang terdapat sifat atau ciri kekafiran namun dia tidak bisa dicap sebagai orang kafir -semata-mata karena hal itu-
- Islam melarang segala sesuatu yang mengarah kepada perpecahan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi, hal. 272)
Hikmah di balik derita
Tidaklah kita ragukan barang sedikitpun bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Bijaksana, tidak sedikit pun Allah menganiaya hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ () الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ () أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya’. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat. Dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (Qs. al-Baqarah: 155-157)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَلَيْهِ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa ada kalanya Allah ta’ala memberikan musibah kepada hamba-Nya yang beriman dalam rangka membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya nantinya ketika dia berjumpa dengan Allah di akherat maka beban yang dibawanya semakin bertambah ringan. Demikian pula terkadang Allah memberikan musibah kepada sebagian orang akan tetapi bukan karena rasa cinta dan pemuliaan dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda hukuman mereka di alam dunia sehingga nanti pada akhirnya di akherat mereka akan menyesal dengan tumpukan dosa yang sedemikian besar dan begitu berat beban yang harus dipikulnya ketika menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan bahwa dirinya memang benar-benar layak menerima siksaan Allah. Allah memberikan karunia kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275)
Di antara pelajaran berharga bagi kehidupan kita dari hadits yang agung ini adalah:
- Allah memiliki kehendak yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan diri-Nya.
- Kebaikan dan keburukan semuanya ditakdirkan oleh Allah ta’ala.
- Cobaan/musibah yang menimpa orang-orang yang beriman merupakan salah satu tanda kebaikan baginya selama hal itu tidak menyebabkannya meninggalkan kewajiban atau terjatuh dalam perkara yang diharamkan.
- Semestinya seseorang merasa khawatir atas kenikmatan dan kesehatan yang selama ini senantiasa dia rasakan. Sebab boleh jadi itu adalah istidraj/bentuk penundaan hukuman baginya, sementara dia tahu betapa banyak maksiat yang telah dilakukannya, wal ‘iyadzu billah.
- Wajibnya untuk berprasangka baik kepada Allah atas segala perkara dunia yang tidak mengenakkan yang menimpa diri kita.
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa pemberian Allah kepada hamba-Nya tidak selalu mencerminkan bahwa Allah meridhai hal itu untuknya. Seperti contohnya orang yang setiap kali hendak minum khamr kemudian dia selalu mendapatkan kemudahan untuk mendapatkannya, atau bahkan memperolehnya secara gratis. Maka ini semua bukanlah bukti kalau Allah menyukai hal itu untuknya (diambil dari al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275 dengan sedikit tambahan keterangan dan contoh)
Inilah uraian ringkas yang bisa kami sajikan dalam tuisan yang sangat sederhana ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Sabtu 14 Syawwal 1430 H
Hamba yang mengharapkan ampunan Rabbnya
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel abu0muhslih.wordpress.com dipublikasi ulang oleh www.muslim.or.id
Sebab-sebab Terjadinya Musibah dan Cara Mengatasinya (Bag. 1)
Oleh : Al-Ustadz Abul Mundzir Dzul-Akmal As-Salafy
Al Quraanul Karim telah menyebutkan beberapa sebab terjadinya musibah, berikut ini juga Allah Subhaana wa Ta`aala menyebutkan bagaimana menghilangkan musibah tersebut dari pada hambanya.
Diantaranya firman Allah Jalla wa `Alaa :
ذَلِكَ بِأَنّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيّراً نّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىَ قَوْمٍ حَتّىَ يُغَيّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya : “Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah
sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah
dianugerahkanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang
ada pada diri mereka sendiri.” (QS : Al Anfaal : 53).
Berkata al Imam as Sa’diy dalam menafsirkan ayat ini sebagai berikut
: ذَلِكَ (yang demikian itu adalah) `adzab yang Allah Tabaaraka wa
Ta`aala timpakan kepada ummat yang mendustakan para Rasul `Alaihimus
Sholaatu was Salaam, kemudian Allah hilangkan segala bentuk ni`mat dan
kesenangan pada mereka, disebabkan dosa-dosa mereka, dan dikarenakan
perubahan-perubahan yang mereka lakukan atas diri-diri mereka sendiri,
(sebab Allah tidak akan pernah merobah ni`mat yang telah dianugrahkan
kepada suatu kaum), berupa keni`matan Din (Agama) dan dunia, bahkan
Allah Jalla wa `Alaa mengabadikannya serta menambahkan nikmat tersebut
bagi mereka jikalau mereka mau bersyukur kepadaNya, sebagaimana Allah
Subhaana wa Ta`aala berkata :
((وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد)). إبراهيم (7).
Artinya : Dan ingatlah juga, takkala Rabbmu mema`lumkan : “Sesungguhnya
jika kalian bersyukur , pasti Saya akan menambah ni`mat kepada kalian,
dan jika kalian mengingkari ni`matKu, maka sesungguhnya `adzabKu
sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim : 7).
Al Imam `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata : “Allah Ta`aala berkata pada mereka- memotivasi mereka untuk mensyukuri ni`mat-ni`mat-Nya : (Dan ingatlah takkala Rabbmu mema`lumkan), maksudnya : beritahukanlah dan janjikanlah, (Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Saya akan menambahkan kepada kalian), bentuk ni`mat- ni`mat-Ku, (dan jika kalian mengingkari ni`matKu, maka sesungguhnya `adzabku sangatlah pedih), diantaranya, akan dihilangkan atau dicabut dari mereka ni`mat tersebut, yang telah dianugrahkanNya atas mereka. Yang dimaksud dengan bersyukur ialah pengakuan hati dengan ni`mat Allah tersebut, lalu memuji-muji Allah `Azza wa Jalla, kemudian membelanjakannya pada jalan jalan yang diridhoi Allah Ta`aala. Sedangkan kufur ni`mat sebaliknya. [1]
((حتى يغيروا ما بأنفسهم))
(Hingga kaum itu merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri), bentuk
perobahan itu ilalah : dari keta`atan berubah kepada ma`siat, sehingga
mereka mengukufuri atau mengingkari ni`mat Allah, mereka ganti hal
tersebut dengan kekufuran, maka Allah membalikan mereka atas ni`mat
itu, dan merobah ni`mat tersebut atas mereka, sebagaimana mereka telah
merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan Allah memiliki hikmah dalam hal itu, ke`adilan dan kebajikan yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dimana Allah Ta`aala tidak menimpakan `adzab atas suatu kaum, melainkan disebabkan kezholiman mereka sendiri, sekira kira Allah menarik hati wali wali-Nya untuk kembali kepada-Nya, dengan cara merasakan kepada hamba-hamba-Nya malapetaka, bencana ketika mereka menyelisihi perintah-Nya. [2]
Dan juga Allah berfirman :
((وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِير)). الشورى: (30)
Artinya : ”Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema`afkan
sebagian besar (dari kesalahan kesalahanmu”. (QS. Asy Syuuraa: 30).
Berkata al Imam as Sa’diy Rahimahullahu Ta`aala dalam menafsirkan ayat ini :
“Allah mengkhabarkan bahwa tidaklah menimpa hamba-hamba tersebut satu
mushibah, pada badan-badan mereka, harta-harta dan anak-anak mereka
serta pada apa saja yang mereka cintai, itu adalah merupakan kemulian
atas mereka, kecuali disebabkan oleh apa-apa yang telah dihasilkan oleh
tangan-tangan mereka dari bentuk kejelekan, dan Allah telah banyak
mengampuni kesalahan, sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta`aala tidak
berbuat dzholim terhadap hamba-hamba-Nya, akan tetapi merekalah yang
telah berbuat dzholim atas diri mereka sendiri.” Sebagaimana Allah
Jalla wa `Alaa berfirman :
((وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّهُ النّاسَ بِمَا كَسَبُواْ مَا تَرَكَ عَلَىَ ظَهْرِهَا مِن دَآبّةٍ)). الفاطر: (45).
Artinya : “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan apa
yang mereka usahakan, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas
permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun.” (QS. Al Faathir : 45)
“Bukanlah kelalaian dari Allah Ta`aala meng-akhirkan siksaan, dan tidak pula karena lemah.” [3]
Dan Allah `Azza wa Jalla berkata :
((وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مّطْمَئِنّةً
يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَداً مّن كُلّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ
اللّهِ فَأَذَاقَهَا اللّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ
يَصْنَعُونَ)). النحل : (112).
Artinya : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya
melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari
ni`mat-ni`mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian
kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.”
(QS. Al-Nahl : 112)
Berkata al Imam as Sa’diy Rahimahullahu ketika menafsirkan ayat ini :
Negeri ini adalah Makkah yang mulia, dulunya aman, tentram dan tidak
ada seorangpun yang bangkit amarahnya didalam negeri Makkah tersebut,
orang-orang jahiliyah yang awampun menghormati Makkah, sampai-sampai
jika salah seorang dari mereka mendapatkan pembunuh bapaknya dan
saudaranya, tidak akan bangkit kemarahannya bersamaan kuatnya egoisme
pada mereka dan rasa cinta kesukuan `Arab (suku-isme), itu merupakan
hasil yang diperoleh dari negeri tersebut dalam bentuk keamanan yang
sempurna, tidak akan terdapat pada negeri- negeri lainnya, dalam bentuk
rezqi yang amat luas. Padahal negeri Makkah tidak ada pertanian dan
tidak pula pohon pohonan akan tetapi Allah Jalla wa `Alaa mudahkan bagi
negeri Makkah rezqi yang datang dari segala penjuru dunia.
Kemudian datanglah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam dari kalangan mereka sendiri, yang mereka sangat mengenal keamanahan dan kejujurannya, dia menyeru/mengajak mereka kepada perkara perkara yang paling sempurna, serta mencegah mereka dari segala perkara yang jelek, akan tetapi mereka mendustakannya, dan mengingkari ni`mat-ni`mat Allah atas mereka, lalu Allah Subhaana wa Ta`aala rasakan atas mereka kebalikan apa apa yang mereka ada padanya, Allah Ta`aala memakaikan pakaian lapar pada mereka, yang ia merupakan lawan dari rasa senang (kesenangan), rasa takut merupakan lawan dari rasa aman (keamanan), dan keseluruhan demikian disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri dan kekufuran mereka, dan tidak bersyukurnya mereka atas ni`mat Allah Tabaaraka wa Ta`aala.
((وما ظلمهم الله ولكن كانوا أنفسهم يظلمون)). آل عمران (117).
Artinya : “Tidaklah Allah menzholimi mereka akan tetapi mereka sendirilah yang berbuat zholim atas diri mereka.” (QS. Ali `Imraan : 117). [4]
Berkata al Imam al Baghawiy ketika menafsirkan ayat ini : “(Tidaklah Allah menzholimi mereka)”, dengan demikian, “(akan tetapi mereka sendirilah yang berbuat zholim atas diri mereka)”, disebabkan karena kekufuran dan ma`shiyat. [5]
Dan juga Allah berfirman disurat yang lain :
ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم بعض الذي عملوا لعلهم يرجعون
Artinya : “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.” (QS. Ar Ruum : 41).
Asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata dalam menafsirkan ayat ini : “Maksudnya : Telah jelas kerusakan di daratan dan di lautan, artinya : rusaknya kehidupan mereka dan kurangnya, dan diliputi oleh musibah-musibah. Pada diri mereka dalam bentuk penyakit serta penyakit menular, dan selainnya. Kesemua itu disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan mereka, dalam bentuk perbuatan perbuatan yang rusak dan merusak, pada dasarnya.
Ini disebutkan :
((ليذيقهم بعض الذي عملوا)).
“supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka”, maksudnya: agar mereka mengetahui bahwa akan dibalas
atas perbuatan-perbuatan mereka, maka disegerakan atas mereka balasan
itu sebagai contoh, dari bentuk balasan perbuatan mereka di dunia.
((لعلهم يرجعون)).
“semoga mereka kembali kepada jalan yang benar.” Maksudnya; dari
perbuatan-perbuatan mereka, telah menghasilkan dari bentuk kerusakan
apa-apa yang telah dihasilkan oleh perbuatan itu. Supaya baik dan
tenang keadaan mereka.
Maha Suci Dzat yang sangat Penyayang dengan cobaan-Nya, yang Maha Pemberi keutamaan pada musibah musibah-Nya, kalau tidak demikian, kalau seandainya Allah Subhaana wa Ta`aala menimpakan musibah atas mereka, dikarenakan apa apa yang telah mereka lakukan, sudah tentu Allah `Azza wa Jalla tidak akan menyisakan seekor hewanpun di permukaan bumi ini.” [6]
Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah
adalah Maha `Adil dan Maha Bijaksana, Ia tidak akan menurunkan bala dan
bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan ma`shiat, dosa serta
pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah, lebih lebih karena
jauhnya mereka dari tauhid serta tersebar luasnya berbagai perbuatan
syirik di banyak negara-negara Islam. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya banyak fitnah, cobaan, ujian dan berbagai musibah yang
diturunkan Allah Tabaaraka wa Ta`aala atas mereka. Kesemua itu tidak
akan hilang kecuali mereka kembali mentauhidkan Allah Jalla wa
`Alaa-dengan ber`ibadat kepada-Nya saja serta meninggalkan seluruh
bentuk kesyirikan, bid`ah, khurafat-khurafat dan tahayul serta
ma`shiat-ma`shiat. Dan juga menegakkan syari`at syari`at-Nya baik
terhadap pribadi maupun masyarakat.
———————————
[1] “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
[2] “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh asy Syaikh `Abdurrahman as Sa`diy.
[3] “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
[4] “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
[5] “Tafsiirul Baghawiy (Ma`aalimut Tanziil)”, oleh al Imam Muhyis Sunnah Abu Muhammad al Husein bin Mas`uud al Baghawiy, 516H, (1/408).
[6] “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiru Kalaamil Mannaan,” oleh asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
Sumber : Buletin Jum’at Ta’zhim As-Sunnah Edisi XII Ramadhan 1428 H
http://tazhimussunnah.com/buletin/15-sebab-sebab-terjadinya-musibah-dan-cara-mengatasinya-bag-1.html
Sebab-sebab Terjadinya Musibah dan Cara Mengatasinya (Bag. 2)
Oleh : Al-Ustadz Abul Mundzir Dzul-Akmal As-Salafy
Al Quran juga menjelaskan keadaan orang-orang musyrik yang berdo’a kepada Allah dengan meng Esakan-Nya saat mereka ditimpa musibah dan kesempitan, namun ketika Allah Jalla dzikruHu menyelamatkan mereka dari musibah dan kesempitan tersebut, mereka kembali lagi kepada perbuatan-perbuatan syirik mereka, dan berdo`a kepada selain Allah Tabaaraka wa Ta`aala diwaktu senang dan lapang; sedangkan diwaktu sempit mereka betul-betul meng-ikhlashkan seluruh bentuk per`ibadatan mereka kepada Allah `Azza wa Jalla. Allah Tabaaraka wa Ta`aala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُواْ فِي الْفُلْكِ دَعَوُاْ اللّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدّينَ فَلَمّا نَجّاهُمْ إِلَى الْبَرّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُون)).
العنكبوت : (65)
Artinya : “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendo`a kepada Allah
dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya; maka tatkkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke daratan, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan Allah.” (QS. Al ’Ankabut : 65).
Berkata asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy rahimahullahu Ta`aala ketika menafsirkan ayat ini : “Kemudian melazimkan Allah Ta`aala, terhadap orang orang musyrik keikhlashan mereka kepada Allah, dalam situasi sangat terdesak, tatkala mereka menaiki kapal di lautan, gelombangnya mulai saling berbenturan sama lain, timbul rasa takut mereka untuk binasa, maka ketika itulah mereka meninggalkan seluruh sekutu-sekutu mereka, lantas mereka mengikhlashkan do`a semata-mata hanya kepada Allah saja tidak ada sekutu baginya. Seketika hilang rasa kesusahan, dan selamat orang-orang yang mengikhlashkan do`a bagi-Nya ke daratan, lalu mereka kembali melakukan kesyirikan dengan meng`ibadati yang sama sekali tidak menyelamatkan mereka dari kesusahan, dan tidak sanggup menghilangkan dari mereka kesempitan.
Kenapa mereka tidak meng-ikhlashkan do`a kepada Allah Tabaaraka wa Ta`aala dalam keadaan senang dan susah, lapang dan sempit, supaya mereka betul menjadi orang mu`minin sebenarnya, yang akan berhak mendapatkan balasan-Nya, Allah akan menjauhkan dari mereka `adzab-Nya.
Akan tetapi kesyirikan yang mereka lakukan setelah ni`mat Kami atas mereka, dalam bentuk keselamatan dari lautan, akibatnya, kufur dengan apa yang telah Kami berikan pada mereka, ditukar keni`matan dengan kejelekan, supaya sempurna kesenangan kesenangan yang mereka ni`mati di dunia, sebagaimana bersenang senangnya binatang ternak, tidak ada bagi mereka kepentingan kecuali hanya untuk perut dan kemaluan mereka.” [1]
Kebanyakan dari ummat Islam pada hari ini, manakala ditimpa musibah, mereka memohon pertolongan kepada selain Allah Subhaana wa Ta`aala, mereka menyeru ya Rasulallahi!, ya asy Syaikh Jailani!, ya asy Syaikh Rifaa`iiy!, ya asy Syaikh Marghaniy!, ya asy Syaikh Badawiy!, ya ays Syaikh `Arob!…” dan sebagainya.
Mereka menyekutukan Allah Tabaaraka wa Ta`aala diwaktu sempit dan lapang, sangat berbeda sekali dengan ummat jahiliyah di zaman Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, dimana mereka melakukan kesyirikan kepada Allah `Azza wa Jalla diwaktu lapang saja; sedangkan diwaktu sempit dan terjepit mereka betul-betul meng-ikhlashkan per`ibadatan mereka kepada-Nya saja, sebagaimana yang kita saksikan pada ayat yang di atas (al `Ankabuut : 65). Mereka menyelisihi perkataan Rabb mereka dan perkataan Rasul mereka Shollallahu `alaihi wa Sallam!!
Sesungguhnya kaum muslimiin – para shohabat ketika diserang balik oleh kaum musyrikin diperang Uhud adalah disebabkan oleh sebahagian para pemanah yang tidak menta`ati perintah pemimpin mereka;-Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam, mereka heran atas kekalahan yang mereka derita, maka dengan tegas Allah Jalla wa `Alaa menjawab rasa ta`ajjub mereka tersebut :
قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
Artinya : “Kalian berkata : dari mana datangnya kekalahan ini?”
Katakanlah, itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”. ( QS. Ali’Imran
: 165).
Asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata dalam menafsirkan ayat
ini : “Maksudnya; dari mana menimpa kami apa-apa yang telah menimpa dan
dikalahkannya kami ini?”,
((قل هو من عند أنفسكم)).
“Katakanlah : itu dari (kesalahan diri kalian sendiri.” Ketika kalian
berselisih, dan melakukan ma`shiat dengan menyelisihi perintah Nabi
kalian Shollallahu `alaihi wa Sallam, setelah diperlihatkan kepada
kalian apa-apa yang kalian cintai, maka kembalikanlah celaan itu atas
diri diri kalian, dan hati hatilah dari sebab sebab yang merusak.” [2]
Dan demikian juga dipeperangan Hunein ketika berkata sebahagian kaum muslimiin : “Sekali-kali kita tidak akan dikalahkan oleh jumlah yang sedikit.”
Maka terjadilah serangan kuat dari musuh, Allah Tabaaraka wa Ta`aala juga mencela mereka atas perbuatan tersebut dengan perkataanNya :
((ويوم حنين إذ أعجبتكم كثرتكم فلم تغن عنكم شيئا)). التوبة (25).
Artinya : “Dan ingatlah peperangan Hunein, yaitu diwaktu kalian menjadi
congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu
tidak akan memberikan mamfa`at kepada kalian sedikitpun.” (QS. At
Taubah : 25).
Asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata : “Maksudnya; tidak akan memberi mamfa`at kepada kalian sedikitpun atau banyak.” [3]
`Umar bin al Khatthaab radhiallahu `anhu pernah menulis kepada pimpinan perang Sa`ad bin Abi Waqqash di al `Iraaq : “Janganlah kalian mengatakan sesungguhnya musuh kita lebih jelek dari kita maka sekali-kali tidak akan berkuasa atas kita, kadang-kadang bisa jadi dikuasakan atas satu qaum seseorang yang lebih jelek dari mereka, sebagaimana dikuasakan atas bani Israaiil kuffarul majuusi takkala mereka telah melakukan ma`aashiy (ma`shiat-ma`shiat), mintalah pertolongan kepada Allah atas diri diri kalian, sebagaimana kalian minta pertolongan kepada-Nya dari musuh kalian.”
Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy Lc
Rajab 1428H/Juli 2007M.
Sumber bacaan kitab : “Minhaajul Firqatun Naajiyah”, oleh as Syaikh Muhammad bin Jamiil Zainu.
—————————————
[1] “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
[2] “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
[3] “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh asy Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
Sumber : Buletin Jum’at Ta’zhim As-Sunnah Edisi XIII Ramadhan 1428 H
http://tazhimussunnah.com/buletin/16-sebab-sebab-terjadinya-musibah-dan-cara-mengatasinya-bag-2.html