Empat Kaidah Utama Dalam Memahami Tauhid
Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang agung semoga Dia melindungimu di dunia dan di akhirat. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi di manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu termasuk di antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa cobaan, dan meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah tonggak kebahagiaan.
Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya, Al Hanifiyah yaitu agama yang diajarkan oleh Ibrahim ialah beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama (amal) untuk-Nya. Itulah perintah yang Allah berikan kepada segenap umat manusia dan hikmah penciptaan mereka.
Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56). Apabila kamu telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak disertai dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka apabila syirik menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak. Sebagaimana apabila ada hadats yang muncul pada diri orang yang sudah bersuci.
Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila menyusupi ibadah akan menghancurkan ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi tergolong penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah mengerti bahwa perkara terpenting bagimu adalah memahami seluk beluknya. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari jebakan perangkap ini; yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman tentang syirik ini (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 48). Dan hal itu akan mudah kamu mengerti dengan mempelajari empat buah kaidah yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-Nya:
Kaidah Pertama
Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Sedangkan pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan. Dan siapakah yang mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan, maka pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’.” (QS. Yunus [10]: 31)
Kaidah Kedua
Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka (sesembahan selain Allah, pen) dan bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka melainkan hanya dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allah, pen) dan untuk mendapatkan syafa’at.”
Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong (sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena bermaksud agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah pasti akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang gemar berdusta dan suka berbuat kekafiran.” (QS. Az Zumar [39]: 3)
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat dengan kesyirikan yang mereka perbuat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain Allah; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (QS. Yunus [10]: 18)
Syafa’at ada dua macam:
Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.
- Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami berikan kepada kalian sebelum tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah [2]: 254)
- Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allah. Orang yang diperkenankan memberikan syafa’at berarti mendapatkan pemuliaan dari Allah dengan syafa’at tersebut. Adapun orang yang akan diberi syafa’at adalah orang yang ucapan dan perbuatannya diridhai Allah, dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari Allah, pen). Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Lalu siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al Baqarah [2]: 255)
Kaidah Ketiga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki peribadatan yang beraneka ragam. Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada pula yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan. Mereka semua sama-sama diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa sedikitpun membeda-bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya diperuntukkan kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya (yang artinya), “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada Allah yang menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya yang artinya, “Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.’.” (QS. Al Maa’idah [5]: 116)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang salih adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya), “Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb mereka; siapakah di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’ [17]: 57)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya), “Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53]: 19-20). Demikian juga ditunjukkan oleh hadits Abu Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar dari agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon yang mereka jadikan sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebatang Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath yang mereka miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181], Ahmad dalam Musnadnya [5/218]. Tirmidzi mengatakan: hadits hasan sahih)
Kaidah Keempat
Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang musyrik zaman dahulu. Sebab orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan beribadah (berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa kita melakukan syirik secara terus menerus, baik ketika lapang ataupun ketika terjepit. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan diterpa ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa) kepada Allah dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 65)
Selesai, semoga shalawat dan doa keselamatan senantiasa tercurah kepada Muhammad, segenap pengikutnya, dan terutama para sahabatnya.
***
Penulis: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Menggapai Ketentraman Hakiki Dengan Tauhid
Ketentraman, sesuatu yang sangat diinginkan oleh setiap insan. Tanpanya hidup akan terasa tersiksa, sempit dan diliputi kekalutan. Apalagi jika kekalutan itu menyebabkan penderitaan yang tiada akhirnya. Sungguh menakutkan. Lalu ketentraman manakah yang diharapkan oleh seorang hamba selain ketentraman hati di dunia dan selamat dari jilatan api neraka di akhirat kelak. Allah ta’ala yang Maha bijaksana dan Maha mengasihi hamba-hamba-Nya telah menunjukkan bagaimanakah cara supaya ketentraman hakiki bisa diraih oleh seorang hamba. Marilah kita buka lembaran Al Qur’an, niscaya permasalahan ini sudah ada jawabannya.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’aam: 82)
Siapakah Mereka ?
Di dalam ayat ini Allah memberikan janji yang sangat menggiurkan. Setiap insan tentu merasa ingin mendapatkan apa yang dijanjikan-Nya itu. Keamanan dan ketentraman, dan juga karunia petunjuk. Allahu akbar, adakah nikmat yang lebih manis dan lebih lezat daripada keduanya ? Akan tetapi sadarilah nikmat agung ini hanya akan diberikan-Nya kepada hamba-hamba yang memenuhi kriteria yang diberikan oleh-Nya, mereka bukan sembarang hamba. Ingatlah, yang akan meraihnya adalah “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman.”
Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang yang mentauhidkan Allah dan tidak menodai tauhidnya dengan kesyirikan. Mereka itulah yang mendapatkan keamanan. Sedangkan keamanan itu ada dua macam: Keamanan Mutlak dan Keamanan Muqayyad. Yang pertama itu ialah keamanan dari tertimpa azab. Keamanan ini diperuntukkan bagi orang yang meninggal di atas tauhid dan tidak terus menerus berkubang dalam dosa-dosa besar. Adapun yang kedua berlaku bagi orang yang meninggal di atas tauhid akan tetapi dia masih dalam keadaan berkubang dalam dosa-dosa besar. Maka dia akan memperoleh keamanan dari hukuman kekal di dalam neraka.” (Ibthalu Tandiid, hal. 19).
Dengan demikian, seorang muslim yang mati dalam keadaan bertauhid (ini juga berarti dia tidak melakukan pembatal keislaman, red) dan tidak berkubang dalam dosa-dosa besar niscaya akan meraih keamanan mutlak. Yaitu terbebas dari siksaan. Sedangkan seorang muslim yang mati dalam keadaan bertauhid akan tetapi bergelimang dalam dosa-dosa besar maka nilai keamanan yang akan diperolehnya lebih rendah dari keamanan yang pertama. Kalau yang pertama dia terbebas dari siksa, sedangkan yang kedua ini dia tidak akan disiksa terus-menerus alias akhirnya juga akan masuk surga. Jadi dia tidak akan kekal di dalam neraka, kalau Allah menyiksanya.
Bukankah Ayat Ini Umum ?
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Ketika turun ayat, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.’ (QS. Al An’aam: 82). Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, ‘Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami ini orang yang tidak menzalimi dirinya?’ Maka beliau menjawab, ‘Sesungguhnya maksud ayat itu bukanlah sebagaimana yang kalian sangka. Tidakkah kalian pernah mendengar perkataan seorang hamba yang shalih, ‘Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang sangat besar.’ (QS. Luqman: 13). Yang dimaksud dengan zalim dalam ayat itu adalah syirik.’” (HR. Al Bukhari (32), Muslim (124), Imam Ahmad (6/69/3589) cet. Ar Risalah, dikutip dari Ibthaalu Tandiid, hal. 19-20).
Inilah bukti kedalaman pemahaman para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum terhadap bahasa Arab. Di dalam bahasa Arab, apabila terdapat suatu kata benda yang nakirah (indefinitif, bertanwin) dalam konteks kalimat negatif (pe-nafian) seperti kata zulmin (kezaliman) di dalam ayat alladziina lam yalbisuu iimaanahum bizulmin (Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman) ini maka kata tersebut berlaku umum mencakup segala bentuk kezaliman. Baik kezaliman terhadap diri sendiri, kepada orang lain maupun kezaliman terhadap hak Pencipta. Sehingga wajar apabila turunnya ayat itu terasa berat bagi para sahabat, bukan karena mereka tidak mau melaksanakan isi ayat itu. Akan tetapi karena mereka menyangka syarat untuk bisa mendapatkan keamanan dan hidayah adalah harus bersih dari segala bentuk kezaliman. Sehingga merekapun merasa tidak ada seorangpun diantara mereka yang sanggup memenuhi syarat tersebut. Dengan spontan mereka berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami ini orang yang tidak menzalimi dirinya?”
Namun kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menjelaskan kepada mereka bahwa yang dimaksud kezaliman dalam ayat tersebut adalah syirik. Beliau pun berdalil dengan sebuah ayat yang menceritakan perkataan Luqman kepada puteranya “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezaliman yang sangat besar.” Hal itu beliau lakukan supaya mereka mengerti bahwa bukanlah syarat untuk bisa meraih ketentraman dan hidayah itu seseorang harus membersihkan dirinya dari semua bentuk kezaliman. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi Adam dan Hawa ‘alaihimas salaam saja pernah melakukan kezaliman dan berdo’a kepada Allah menyesali kezaliman mereka. Mereka berdua berdo’a “Rabbanaa zalamnaa anfusanaa wa inlam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khaasiriin.” (Wahai Rabb kami. Sesungguhnya kami ini telah berbuat zalim terhadap diri kami. Dan apabila paduka tidak mengampuni dosa kami dan tidak merahmati kami niscaya kami tergolong orang-orang yang merugi). (lihat QS. Al A’raaf: 23)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Hal yang membuat para sahabat merasa berat ialah karena mereka menyangka bahwa kezaliman yang dipersyaratkan harus dihilangkan di sini adalah kezaliman hamba terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira bahwa keamanan dan petunjuk tidak akan bisa diraih oleh orang yang menzalimi dirinya sendiri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerangkan kepada mereka bahwa di dalam Kitabullah syirik juga disebut sebagai kezaliman. Sehingga rasa aman dan petunjuk tidak akan diperoleh orang-orang yang mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman jenis ini. Karena sesungguhnya barangsiapa yang tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman ini (syirik) maka dia termasuk orang-orang yang berhak memperoleh keamanan dan petunjuk…” (Fathul Majiid, hal. 34).
Sehingga dari sini kita juga bisa memetik sebuah kaidah tafsir “An Nakiratu fi siyaaqi nafyi tufiidul ‘umuum” (kata benda nakirah dalam konteks kalimat negatif memberikan makna umum) (lihat Al Qawa’id Al Hisan karya Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah, hal. 22-23). Bagaimana kaidah ini bisa diambil dari kisah tersebut, bukankah Nabi menolak penafsiran para sahabat?! Benar, Nabi memang menolak penafsiran mereka terhadap maksud zalim di dalam ayat ini. Akan tetapi beliau tidak menolak kaidah mereka (kaidah bahasa Arab). Apa yang beliau lakukan ialah memberikan tambahan informasi bahwa yang dimaksud oleh ayat ini bukanlah keumuman lafaznya sebagaimana lafaz umum lain yang ada di dalam ayat atau hadits, akan tetapi yang dimaksud adalah salah satu kandungannya saja. Beliau tidak mengatakan, “Kaidah kalian itu salah” akan tetapi beliau mengatakan “Sesungguhnya maksud ayat itu bukanlah sebagaimana yang kalian sangka… Yang dimaksud dengan zalim dalam ayat itu adalah syirik.” Lafaz semacam ini di dalam istilah ilmu ushul fiqih disebut dengan al ‘umum urida bihi al khushush (lafazh umum tetapi maksud yang disimpan di baliknya ialah makna yang khusus).
Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullah mengatakan, “Di dalam ayat ini, kata zalim dalam keadaan nakirah dan berada di konteks kalimat negatif, yaitu firman Allah ta’ala, ‘Dan mereka tidak mencampuradukkan.’ Ini menunjukkan kepada seluruh macam kezaliman. Akan tetapi apakah lafaz umum di sini yang dimaksud adalah lafaz umum yang mengalami pengkhususan (umum al makhsush) ataukah ia termasuk lafaz umum tetapi makna yang dikehendaki adalah makna khusus (umum uriida bihi al khushush). ….” Kemudian beliau mengatakan bahwa yang dimaksud oleh penulis Kitab Tauhid tatkala membawakan ayat ini adalah umum uriida bihi al khushush. Kemudian beliau berkata, “Memang benar, kata zalim dalam ayat ini adalah nakirah dalam konteks pe-nafian (yaitu dengan adanya kata lam yang artinya tidak), sehingga ia menunjukkan makna umum. Namun ia termasuk lafaz umum yang menyimpan maksud makna khusus. Ia khusus hanya meliputi salah satu macam kezaliman yaitu syirik. Dengan demikian, letak keumumannya beralih kepada seluruh makna yang tercakup dalam macam-macam syirik, bukan pada segala bentuk kezaliman. Sebab kezaliman itu meliputi:
- Kezaliman hamba terhadap dirinya dengan berbuat maksiat,
- atau kezalimannya terhadap orang lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hak orang lain,
- dan termasuk juga di dalamnya kezaliman hamba terhadap hak Allah jalla wa ‘ala yaitu dengan melakukan syirik terhadap-Nya.
Nah, (syirik) inilah yang dimaksud dengan lafaz umum ini. Oleh karenanya lafaz tersebut bersifat umum mencakup semua jenis kesyirikan… Sehingga makna dari ayat ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka.’ ialah mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun.” (lihat At Tamhiid, hal. 24).
Demikianlah tafsiran yang diberikan oleh para ulama salaf terhadap ayat ini. Imam Ibnu Jarir membawakan sebuah riwayat dari Rabi’ bin Anas bahwa yang dimaksud iman di sini adalah ikhlash (memurnikan ibadah) untuk Allah saja. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah saja. Mereka tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya. Mereka itulah yang akan merasakan keamanan pada hari kiamat serta memperoleh hidayah di dunia maupun di akhirat.” (lihat Fathul Majiid, hal. 34).
Pentingnya Peranan Rasulullah Dalam Menjelaskan Ayat
Dari sini kita bisa memahami betapa pentingnya kedudukan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas kandungan ayat-ayat Al Qur’an. Seandainya diantara para sahabat tidak ada beliau niscaya ayat ini akan sangat sulit dimengerti oleh orang-orang. Namun inilah bukti kasih sayang Allah kepada umat manusia. Allah tidak membiarkan akal-akal mereka bebas (liberal) menafsirkan Al Qur’an menurut pemahaman mereka sendiri-sendiri. Akan tetapi Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan mereka guna menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan kepada mereka. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) Adz Dzikra (wahyu) supaya engkau menjelaskan kepada manusia wahyu yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44). Inilah salah satu peranan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai penafsir ayat Al Qur’an. Dengan demikian batillah dakwaan kaum yang mengaku hanya berpedoman dengan Al Qur’an tanpa Al Hadits, mereka itulah yang disebut Al Qur’aniyyuun atau di dalam negeri lebih kita kenal dengan nama Ingkarus Sunnah. Mereka racuni pemikiran para pemuda dengan tafsiran ala mereka sementara di sisi lain mereka mencampakkan tafsiran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, subhaanallah. Adakah tindakan congkak yang melebihi kelakuan mereka ini?! Wallahul musta’aan.
Sempurnakan Tauhid, Niscaya Balasannya Juga Sempurna
Tauhid yang sempurna hanya bisa diraih dengan membersihkan diri dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan (lihat Fathul Majiid, hal. 56). Inilah yang disebut dengan tahqiq tauhid (merealisasikan tauhid). Namun bukan berarti orang seperti ini tidak pernah berbuat dosa. Orang yang berhasil mentahqiq tauhid adalah yang apabila terjatuh di dalam dosa dia segera bertaubat dan kembali mentaati Allah subhanahu wa ta’ala. Dia bekerja keras mengikis segala bentuk maksiat, karena baginya kemaksiatan itu akan mengurangi kemurnian tauhidnya. Dia memandang dosa laksana sebuah gunung besar yang akan roboh menimpa dirinya. Demikianlah sifat seorang mukmin sejati. Dia tidak memandang kecilnya dosa. Akan tetapi yang selalu diperhatikannya ialah keagungan dan kebesaran Dzat yang dosa itu tertuju kepadanya. Sehingga pantaslah jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada Allah 70 kali sehari bahkan dalam riwayat lain disebutkan 100 kali. Inilah sosok manusia terbaik di muka bumi, inilah sosok pen-tahqiq tauhid terhebat sepanjang zaman. Lalu bagaimanakah dengan kita yang mengaku sebagai pengikut Nabi, bahkan mengaku salafi? Sudahkah istighfar dan taubat menghiasi lisan dan hati kita? Ataukah hati dan lisan kita justru telah pekat dengan rasa dengki dan kata-kata kotor lagi menjijikkan, bahkan lebih menjijikkan daripada tindakan melahap bangkai saudaranya? Wahai jiwa, telitilah dirimu sendiri dahulu…
Syaikhul Islam mengatakan, “Barangsiapa bisa menyelamatkan dirinya dari ketiga macam kezaliman: berbuat syirik, menzalimi sesama hamba dan menzalimi diri sendiri selain syirik maka dia berhak memperoleh rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna (al amnu al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq). Sedangkan orang (bertauhid) yang tidak bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan zalim terhadap dirinya sendiri maka dia hanya akan memperoleh rasa aman dan petunjuk sekadarnya (tidak sempurna, disebut juga muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida’, red). Dalam artian dia pasti akan masuk surga. Sebagaimana hal itu telah dijanjikan oleh Allah di dalam ayat lain. Dan Allah pun menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang pada akhirnya juga akan mengantarkannya menuju surga. Rasa aman dan petunjuk itu akan berkurang berbanding lurus dengan penurunan iman yang terjadi karena perbuatan zalimnya terhadap dirinya sendiri.”
Beliau melanjutkan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Sesungguhnya (yang dimaksud zalim dalam ayat) itu adalah syirik’ itu bukan berarti barangsiapa yang tidak berbuat syirik akbar pasti akan meraih rasa aman yang sempurna dan petunjuk yang sempurna. Sebab terdapat banyak sekali hadits serta nash-nash Al Qur’an yang menerangkan bahwa para pelaku dosa besar dihadapkan dengan cekaman rasa takut. Mereka tidak bisa memperoleh keamanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna; dua karunia yang bisa membuat mereka mendapatkan hidayah menempuh jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapatkan anugerah nikmat Allah, tanpa sedikitpun siksa yang harus mereka terima. Akan tetapi mereka itu memiliki pokok petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus ini. Mereka juga memiliki pokok kenikmatan yang dilimpahkan Allah kepada mereka, sehingga mereka juga pasti akan merasakan masuk surga.” (Fathul Majiid, hal. 35).
Kemudian beliau rahimahullah juga menjelaskan, “Apabila yang dimaksud dengan sabda Nabi, ‘Sesungguhnya yang dimaksud di sini adalah syirik’ adalah syirik akbar saja maka maksudnya ialah barangsiapa yang tidak melakukan syirik akbar maka dia kelak akan mendapatkan rasa aman dari siksaan dunia dan akhirat yang dijanjikan Allah untuk orang-orang musyrik (karena dengan terbebas dari syirik akbar dia bukan termasuk golongan orang musyrik, red). Dan apabila yang beliau maksud adalah jenis kesyirikan, maka perbuatan hamba dalam menzolimi dirinya sendiri seperti bersikap kikir karena demikian besar cintanya kepada harta sehingga tidak mau menunaikan kewajiban berinfak juga tergolong syirik ashghar. Begitu pula kecintaannya kepada sesuatu yang dibenci oleh Allah ta’ala sampai-sampai membuatnya lebih mendahulukan kepentingan hawa nafsunya di atas kecintaan kepada Allah juga termasuk syirik ashghar, dan lain sebagainya. Maka golongan orang semacam ini akan semakin kehilangan unsur keamanan dan petunjuk sesuai dengan banyaknya syirik ashghar yang dilakukannya. Berdasarkan sudut pandang inilah para ulama salaf dahulu juga mengkategorikan perbuatan-perbuatan dosa (selain syirik) ke dalam jenis syirik ini.” Demikian kata Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah.” (lihat Fathul Majiid, hal. 35).
Ketika mengomentari jawaban Nabi terhadap kemusykilan yang dilontarkan oleh para sahabat, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan, “Jawaban ini, demi Allah merupakan jawaban yang sangat memuaskan. Sesungguhnya kezaliman mutlak lagi sempurna adalah kezaliman yang ada pada perbuatan syirik. Sebab kesyirikan merupakan tindakan menempatkan ibadah bukan pada tempat yang semestinya. Sedangkan keamanan dan petunjuk yang mutlak mencakup keamanan di dunia dan akhirat serta petunjuk meniti jalan yang lurus. Maka kezaliman yang mutlak lagi sempurna itulah yang menjadi sebab terangkatnya rasa aman dan petunjuk yang mutlak lagi sempurna. Hal ini tidaklah menafikan adanya kezaliman yang bisa menjadi sebab seorang hamba meraih sekedar rasa aman (muthlaqul amn) dan sekedar petunjuk (muthlaqul huda). Maka cermatilah hal ini. Sekedar balasan (rasa aman dan petunjuk) tetap akan didapatkan oleh orang yang masih memiliki iman (tauhid yang tidak tercampuri syirik). Sedangkan balasan istimewa (yaitu rasa aman dan petunjuk yang sempurna) akan didapatkan oleh orang yang istimewa pula (yaitu yang tauhidnya bersih dari berbagai kezaliman).” Dinukil secara ringkas. Demikian kata Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah. (lihat Fathul Majiid, hal. 36, dengan sedikit penyesuaian redaksional).
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa kata zalim yang dimaksud oleh Nabi tatkala menyebutkan ayat tersebut adalah kesyirikan. Sehingga makna ayat tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih Alusy Syaikh bahwa makna “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka” ialah mereka tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik jenis apapun.” (lihat At Tamhiid, hal. 24). Ketentraman dan hidayah inilah yang disebut dengan al amn al muthlaq dan al ihtida’ al muthlaq (lihat Al Qaul Al Mufid I/35-36). Artinya seorang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik pasti memperoleh hidayah dan rasa aman. Hidayah di dunia dengan ditunjuki meniti jalan yang lurus (mendapat taufik untuk memeluk dan mengamalkan Islam sampai mati dan tidak melakukan pembatal keislaman). Sedangkan hidayah di akhirat berupa bimbingan untuk masuk surga. Adapun rasa aman di dunia berupa rasa tentram di dalam hati dan tidak bersedih karena selain Allah. Dan akhirnya adalah rasa aman di akhirat, yaitu diselamatkan dari terus menerus dalam siksaan api neraka (lihat At Tamhiid, hal. 25 dan Al Qaul Al Mufid, hal. 35-36) Inilah balasan yang akan didapatkan oleh semua orang yang bertauhid.
Perbedaan Kadar Rasa Aman dan Petunjuk
Sementara apabila dilihat dari sudut pandang balasan yang didapatkan hamba, maka rasa aman dan petunjuk itu ada dua macam:
Pertama; rasa aman dan petunjuk yang sempurna, atau dengan istilah lain bisa juga disebut memperoleh keamanan dan petunjuk dalam kadar yang maksimal. Balasan ini hanya akan didapatkan orang-orang khusus di kalangan orang-orang yang bertauhid. Keistimewaan mereka dibandingkan sesama muwahhid lainnya adalah karena mereka bisa membersihkan dirinya dari segala bentuk syirik, bid’ah dan maksiat. Karena di dalam bid’ah dan maksiat itu sendiri juga terkandung unsur syirik yaitu ketika pelakunya lebih mendahulukan kepentingan hawa nafsu di atas kecintaan kepada aturan Allah. Maka apabila yang dimaksud rasa aman ialah rasa aman yang sempurna maka makna kezaliman yang tepat ialah yang mencakup segala macam kezaliman, bukan hanya syirik. Sehingga semakin sempurna tauhid dalam diri seorang hamba maka semakin sempurna pulalah ketentraman dan hidayah yang didapatkannya. Sebaliknya, apabila semakin banyak kezaliman yang dilakukannya maka semakin berkuranglah kadar ketentraman dan hidayah yang bisa diraihnya.
Kedua; rasa aman dan petunjuk yang sekadarnya. Atau dengan istilah lain bisa juga disebut memperoleh keamanan dan petunjuk dalam kadar yang minimal. Inilah yang disebut dengan muthlaqul amn dan muthlaqul ihtida’. Balasan ini akan didapatkan oleh setiap hamba yang bertauhid, meskipun dia mati dalam keadaan masih berkubang dengan dosa-dosa besar (selain syirik). Yang demikian itu dikarenakan dia masih memiliki modal dasar keimanan atau tauhid yang lurus, sehingga dia tetap berhak untuk menikmati surga di akhirat kelak. Oleh karena itu apabila yang dimaksud dengan rasa aman adalah terbebas dari kekal di neraka maka makna kezaliman yang tepat ialah kesyirikan dan dosa-dosa lain yang setingkat dengannya. Dan inilah yang dimaksudkan oleh ayat dan diterangkan Nabi kepada para sahabat.
Dengan penjelasan ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa sebenarnya tidak terdapat pertentangan antara mereka yang menafsirkan zalim dalam ayat ini dengan syirik maupun yang tetap membiarkannya berlaku umum meliputi semua macam kezaliman. Tergantung dari sudut pandang mana mereka menafsirkannya. Sebab pada dasarnya mereka semua sepakat semua ahli tauhid pasti masuk surga, dan pelaku dosa-dosa besar mendapatkan ancaman siksa di dalam neraka meskipun mereka juga bertauhid. Seorang muwahhid yang terjerumus dalam syirik kecil juga akan mengalami penurunan kadar rasa aman dan hidayah sebanyak kesyirikan yang dilakukannya. Sebagaimana seorang muwahhid yang berbuat maksiat akan mengalami penurunan kadar rasa aman dan hidayah sebanyak maksiat yang dilakukannya. Sebagaimana seseorang yang mengeluarkan dirinya dari barisan kaum muwahhidin kelak akan merasa menyesal karena telah kehilangan seluruh rasa aman dan petunjuk dari-Nya. Lalu sekarang siapakah yang akan merasa aman dan membusungkan dada seraya berkata “Inilah saya, seorang muwahhid!”
Bahkan tinta sejarah dan pena wahyu telah membuktikan fenomena sebaliknya yang sangat mengagumkan dan luar biasa. Sehingga Al Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pun menorehkan ayat ini di dalam Bab Al Khauf minasy Syirk (merasa takut terjerumus dalam syirik) dalam Kitab Tauhid beliau. Inilah perkataan seorang pengibar bendera tauhid kelas satu, Ibrahim ‘alaihis salaam, “(Tuhanku) Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan arca-arca. Duhai Tuhanku, sesungguhnya mereka itu telah menyesatkan banyak manusia.” (QS. Ibrahim: 35-36). Lalu bagaimanakah rasa takut yang seharusnya menghinggapi hati orang yang kelasnya jauh di bawah Ibrahim? Sehingga salah seorang tokoh generasi tabi’in Ibrahim At Taimi rahimahullah mengatakan sesudah membaca ayat ini, “Lantas, siapakah orangnya yang merasa aman dari bencana (syirik) setelah Ibrahim?!!” (HR. Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim sebagaimana tercantum dalam Ad Durr Al Mantsur 5/46, dinukil dari At tamhiid, hal. 50).
Allahumma inni a’udzu bika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima la a’lam. Walhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
***
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Hakekat dan Kedudukan Tauhid
Tauhid merupakan kewajiban utama dan pertama yang diperintahkan Alloh kepada setiap hamba-Nya. Namun, sangat disayangkan kebanyakan kaum muslimin pada zaman sekarang ini tidak mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Padahal tauhid inilah yang merupakan dasar agama kita yang mulia ini. Oleh karena itu sangatlah urgen bagi kita kaum muslimin untuk mengerti hakekat dan kedudukan tauhid. Hakekat tauhid adalah mengesakan Alloh. Bentuk pengesaan ini terbagi menjadi tiga, berikut penjelasannya.
Mengesakan Alloh dalam Rububiyah-Nya
Maksudnya adalah kita meyakini keesaan Alloh dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Alloh, seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi rezeki, memberikan manfaat, menolak mudharat dan lainnya yang merupakan kekhususan bagi Alloh. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini, seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri. Hal ini sebagaimana firman Alloh “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).“ (Ath-Thur: 35-36)
Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rosululloh mengakui dan meyakini jenis tauhid ini. Sebagaimana firman Alloh, “Katakanlah: ‘Siapakah Yang memiliki langit yang tujuh dan Yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari -Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Alloh.’ Katakanlah: ‘Maka dari jalan manakah kamu ditipu?’” (Al-Mu’minun: 86-89). Dan yang amat sangat menyedihkan adalah kebanyakan kaum muslimin di zaman sekarang menganggap bahwa seseorang sudah dikatakan beragama Islam jika telah memiliki keyakinan seperti ini. Wallohul musta’an.
Mengesakan Alloh Dalam Uluhiyah-Nya
Maksudnya adalah kita mengesakan Alloh dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Alloh semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rosul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Alloh mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu Sesembahan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5). Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadah hanya ditujukan untuk Alloh semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Alloh dan Rosul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa Alloh adalah satu-satunya Pencipta alam semesta.
Mengesakan Alloh Dalam Nama dan Sifat-Nya
Maksudnya adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Alloh yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh. Dan kita juga meyakini bahwa hanya Alloh-lah yang pantas untuk memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Al-Qur’an dan Hadits tersebut (yang dikenal dengan Asmaul Husna). Sebagaimana firman-Nya “Dialah Alloh Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, hanya bagi Dialah Asmaaul Husna.” (Al-Hasyr: 24)
Seseorang baru dapat dikatakan seorang muslim yang tulen jika telah mengesakan Alloh dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut di atas. Barangsiapa yang menyekutukan Alloh (berbuat syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang musyrik.
Kedudukan Tauhid
Tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama ini. Pada kesempatan kali ini kami akan membawakan tentang kedudukan Tauhid Uluhiyah (ibadah), karena hal inilah yang banyak sekali dilanggar oleh mereka-mereka yang mengaku diri mereka sebagai seorang muslim namun pada kenyataannya mereka menujukan sebagian bentuk ibadah mereka kepada selain Alloh, baik itu kepada wali, orang shaleh, nabi, malaikat, jin dan sebagainya.
Tauhid Adalah Tujuan Penciptaan Manusia
Alloh berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56) maksud dari kata menyembah di ayat ini adalah mentauhidkan Alloh dalam segala macam bentuk ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Alloh saja. Tidaklah mereka diciptakan untuk menghabiskan waktu kalian untuk bermain-main dan bersenang-senang belaka. Sebagaimana firman Alloh “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian.” (Al Anbiya: 16-17). “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu’minun: 115)
Tauhid Adalah Tujuan Diutusnya Para Rosul
Alloh berfirman, “Dan sungguh Kami telah mengutus rosul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Alloh, dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36). Makna dari ayat ini adalah bahwa para Rosul mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi terakhir Nabi kita Muhammad shollallohu alaihi wa sallam diutus oleh Alloh untuk mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Alloh semata dan tidak memepersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Maka pertanyaan bagi kita sekarang adalah “Sudahkah kita memenuhi seruan Rosul kita Muhammad shollallohu alaihi wa sallam untuk beribadah hanya kepada Alloh semata? ataukah kita bersikap acuh tak acuh terhadap seruan Rosululloh ini?” Tanyakanlah hal ini pada masing-masing kita dan jujurlah…
Tauhid Merupakan Perintah Alloh yang Paling Utama dan Pertama
Alloh berfirman, “Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa: 36). Dalam ayat ini Alloh menyebutkan hal-hal yang Dia perintahkan. Dan hal pertama yang Dia perintahkan adalah untuk menyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Perintah ini didahulukan daripada berbuat baik kepada orang tua serta manusia-manusia pada umumnya. Maka sangatlah aneh jika seseorang bersikap sangat baik terhadap sesama manusia, namun dia banyak menyepelekan hak-hak Tuhannya terutama hak beribadah hanya kepada Alloh semata.
Itulah hakekat dan kedudukan tauhid di agama kita, dan setelah kita mengetahui besarnya hal ini akankah kita tetap bersikap acuh tak acuh untuk mempelajarinya?
***
Penulis: Abu Uzair Boris Tanesia
Artikel www.muslim.or.id
Urgensi Tauhid
Tauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang selama ini mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.
Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Adz-Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.
Tujuan Diutusnya Para Rasul Adalah untuk Mendakwahkan Tauhid
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Thoghut adalah sesembahan selain Allah. Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam umat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah kepada Allah saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya.” (Taisir Karimirrahman, Tafsir surat An-Nahl). Beribadah kepada Allah dan mengingkari thoghut itulah hakekat makna tauhid.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir
Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illAllah niscaya masuk surga.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Tauhid Adalah Kewajiban yang Paling Wajib
Allah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisaa’: 116)
Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (QS. An-Nisaa’: 36).
Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati. Allah berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا
“Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS. Luqman: 15)
Hati yang Saliim Adalah Hati yang Bertauhid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (٨٨)إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (selamat).” (QS. Asy Syu’araa’: 88-89)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’). Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.
Tauhid Adalah Hak Allah yang Harus Ditunaikan Hamba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (HR. Bukhori dan Muslim)
Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Allah dalam beribadah. Tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang yang beribadah kepada Allah saja (diringkas dari Fathul Majid).
Ibadah adalah hak Allah semata, maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid sebagai ruh perjuangan mereka.
Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat
Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridho kepada mereka dan merekapun telah ridho kepada Allah. Allah telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah mereka. Wallahu a’lam bish showaab.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Abu ‘Is
Artikel www.muslim.or.id
Tauhid: Tidak Ada yang Pantas Menjadi Sekutu Allah
Pembaca sekalian, seandainya seorang yang berakal menggantungkan harapannya kepada sesuatu yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa tentu saja ini merupakan sebuah kebodohan. Anehnya tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan dia rela mengorbankan harta dan nyawanya demi membela sesuatu yang tidak memiliki apa-apa itu. Tidakkah kita ingat bagaimana orang-orang kafir mengerahkan tenaga dan dana demi menyebarkan dakwah mereka yang sesat, dengan perang salib yang dahulu mereka kobarkan dan kristenisasi yang kini mereka lancarkan dan upaya meliberalkan ajaran Islam yang kini tengah marak di kalangan kaum cerdik cendekia. Itulah yang terjadi ketika mereka menjadikan selain Allah sebagai sekutu yang dibela dan dipuja-puja.
Tidak Punya Kok Diminta ?
Semua yang ada selain Allah sangat membutuhkan pertolongan Allah, sedangkan Allah sama sekali tidak membutuhkan hamba. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Apakah mereka mempersekutukan Allah dengan berhala-berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri adalah buatan manusia. Berhala-berhala itupun tidak mampu mampu memberi pertolongan kepada penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak sanggup memberikan pertolongan.” (QS. Al A’rof: 191-192)
Di dalam ayat di atas disebutkan 4 kelemahan sesembahan selain Allah, yaitu: Statusnya sebagai makhluk, tidak mampu mencipta, tidak mampu membela diri dan tidak mampu membantu para penyembahnya. Jika salah satu kelemahan ini saja ada maka itu menjadikannya tidak pantas untuk disembah lalu bagaimana lagi jika keempat-empatnya terkumpul? (Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid hal. 90)
Nabi Saja Tidak Berkuasa Apalagi yang Lainnya
Pada saat perang Uhud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka di bagian kepala dan gigi taringnya. Menyaksikan permusuhan dari kaumnya yang seperti itu beliau pun mengatakan, “Bagaimana mungkin bisa beruntung suatu kaum yang melukai Nabi mereka?” Tapi kemudian Allah menurunkan ayat (untuk menegur beliau), “Tidak ada kekuasaan sedikit pun bagimu dalam urusan mereka itu, atau Allah menerima taubat mereka, atau Allah akan mengadzab mereka karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zholim.” (QS. Ali Imron: 128) (HR. Al Bukhori secara mu’allaq). Kalau Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang merupakan makhluk termulia tidak mampu untuk menolak mudharat yang menimpa dirinya dan tidak memiliki campur tangan dalam urusan Allah sedikit pun maka yang selain Nabi tentu lebih tidak menguasai. Sebagaimana beliau tidak pantas untuk disembah maka yang lainnya pun lebih tidak pantas lagi (Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid hal. 92)
Di antara faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah:
(1). Para nabi juga mengalami sakit dan luka dan ini menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa, (2). Para nabi itu tidak memiliki kekuasaan apapun kecuali apa yang sudah ditaqdirkan Allah untuk mereka miliki lalu bagaimana lagi keadaan orang selain mereka (seperti para dukun dan paranormal yang sok pintar di jaman kita ini ?! -pen), (3). Tidak ada yang mengetahui penutup amal (hamba dalam hidupnya) kecuali Allah, (4). Taubat itu akan menghapus dosa yang dilakukan sebelumnya, (5). Kezholiman merupakan sebab turunnya adzab (Lihat Al Jadiid, hal. 140)
Bahkan Malaikat Pun Tidak Berdaya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Apabila Allah hendak mewahyukan perintah-Nya, maka difirmankan-Nya wahyu itu dan langit-langitpun bergetar dengan keras karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Lalu apabila para malaikat penghuni langit mendengar firman tersebut pingsanlah mereka dan mereka bersimpuh sujud kepada Allah…” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim di dalam As Sunnah, didho’ifkan Al Albani, sedangkan Al Arna’uth mengatakan derajat hadits ini hasan shohih)
Dalam Shohih Al Bukhori Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menetapkan perintah di atas langit maka para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya karena patuh akan firman-Nya, seakan-akan firman yang didengar itu seperti suara gemerincing rantai yang ditarik di atas batu rata, hal itu memekakkan pendengaran mereka sehingga mereka jatuh pingsan karena ketakutan…” (Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid hal. 93). Ini menunjukkan kepada kita bahwa para malaikat pun tidak memiliki kekuatan apa-apa tatkala harus berhadapan dengan kekuasaan Allah Ta’ala, mereka ketakutan bahkan pingsan hanya karena mendengar wahyu-Nya, lalu bagaimana lagi keadaan orang atau makhluk selain mereka? Maka sadarlah wahai para penyembah Ruhul Qudus betapa hinanya kalian menyembah sesuatu yang tidak menguasai apa-apa, adakah kejahilan yang lebih parah dari kejahilan semacam ini? Tidak ada artinya titel profesor dan doktor yang ada di depan nama kalian kalau masalah yang sudah amat gamblang ini pun kalian tidak bisa memahaminya.
Begitu pula orang-orang yang menjadikan wali yang telah mati sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah, yang memuja-muja batu yang bisu, yang mengeramatkan pohon karena katanya dulu pernah disinggahi orang sakti, yang merengek-rengek pada jin dengan olah kanuragan menggali tenaga dalam, yang rela membuang-buang harta di lautan untuk menghibur Ratu Laut Selatan supaya tidak marah. Siapakah sesembahan mereka itu, apakah mereka lebih mulia daripada para malaikat?! Tentu tidak, namun barangkali mereka lebih mencintai tradisi dan lebih mencari keridhoan tuan-tuan turis yang datang dari luar negeri, sehingga akidah yang suci ini pun rela mereka nodai. Wal ‘iyaadzu billah.
Kembalilah Kepada Akidah yang Murni
Saudaraku, semoga Allah merahmatimu, kita semua diciptakan Allah untuk mengabdi hanya kepada-Nya serta menolak sesembahan selain-Nya, karena segala yang dipuja dan disembah selain Allah adalah makhluk yang lemah dan tidak menguasai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bertauhid dan melarang kita dari perbuatan syirik. Allah ta’ala berfirman, “Sembahlah Allah (saja) dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. An Nisaa’: 36). Dengan beriman kepada Allah dan mengingkari sesembahan selain Allah maka kita telah berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan pernah terputus. Allah Ta’ala berfirman, “Maka barangsiapa yang mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah maka sungguh dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak tidak akan putus.” (QS. Al Baqoroh: 256)
Syirik Biang Permusuhan
Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Dzat yang Maha mengetahui.” (QS. Faathir: 13-14). Di antara faedah yang bisa dipetik dari ayat ini adalah: Bahwasanya kesyirikan itu merupakan penyebab terjadinya permusuhan antara para penyembah dengan sesembahan-sesembahan mereka (Lihat Al Jadiid, hal. 138). Lalu apa gunanya meredam murka Nyi Roro Kidul sekarang jika di hari kiamat nanti toh kalian akan menemuinya dalam permusuhan. Wallahu a’lam bish showaab.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Tauhid: Pentingnya Akidah Dalam Kehidupan Seorang Insan
Akidah secara bahasa artinya ikatan. Sedangkan secara istilah akidah artinya keyakinan hati dan pembenarannya terhadap sesuatu. Dalam pengertian agama maka pengertian akidah adalah kandungan rukun iman, yaitu:
- Beriman dengan Allah
- Beriman dengan para malaikat
- Beriman dengan kitab-kitab-Nya
- Beriman dengan para Rasul-Nya
- Beriman dengan hari akhir
- Beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk
Sehingga akidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang mantap tanpa disertai keraguan di dalam hati seseorang (lihat At Tauhid lis Shaffil Awwal Al ‘Aali hal. 9, Mujmal Ushul hal. 5)
Kedudukan Akidah yang Benar
Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh, apabila kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan perbaikan akidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka; menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya.
Hal ini telah diberitakan oleh Allah di dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)’” (QS. An Nahl: 36)
Bahkan setiap Rasul mengajak kepada kaumnya dengan seruan yang serupa yaitu, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang benar) bagi kalian selain Dia.” (lihat QS. Al A’raaf: 59, 65, 73 dan 85). Inilah seruan yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan seluruh Nabi-Nabi kepada kaum mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mekkah sesudah beliau diutus sebagai Rasul selama 13 tahun mengajak orang-orang supaya mau bertauhid (mengesakan Allah dalam beribadah) dan demi memperbaiki akidah. Hal itu dikarenakan akidah adalah fondasi tegaknya bangunan agama. Para dai penyeru kebaikan telah menempuh jalan sebagaimana jalannya para nabi dan Rasul dari jaman ke jaman. Mereka selalu memulai dakwah dengan ajaran tauhid dan perbaikan akidah kemudian sesudah itu mereka menyampaikan berbagai permasalahan agama yang lainnya (lihat At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 9-10).
Sebab-Sebab Penyimpangan dari Akidah yang Benar
Penyimpangan dari akidah yang benar adalah sumber petaka dan bencana. Seseorang yang tidak mempunyai akidah yang benar maka sangat rawan termakan oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran, sampai-sampai apabila mereka telah berputus asa maka mereka pun mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat mengenaskan yaitu dengan bunuh diri. Sebagaimana pernah kita dengar ada remaja atau pemuda yang gantung diri gara-gara diputus pacarnya.
Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi akidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran pemikiran materialisme (segala-galanya diukur dengan materi), sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri pengajian-pengajian yang membahas ilmu agama mereka pun malas karena menurut mereka hal itu tidak bisa menghasilkan keuntungan materi. Jadilah mereka budak-budak dunia, shalat pun mereka tinggalkan, masjid-masjid pun sepi seolah-olah kampung di mana masjid itu berada bukan kampungnya umat Islam. Alangkah memprihatinkan, wallaahul musta’aan (disadur dari At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12)
Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka kita juga harus mengetahui sebab-sebab penyimpangan dari akidah yang benar. Di antara penyebab itu adalah:
- Bodoh terhadap prinsip-prinsip akidah yang benar. Hal ini bisa terjadi karena sikap tidak mau mempelajarinya, tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya perhatian yang dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah generasi yang tidak memahami akidah yang benar dan tidak mengerti perkara-perkara yang bertentangan dengannya, sehingga yang benar dianggap batil dan yang batil pun dianggap benar. Hal ini sebagaimana pernah disinggung oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jalinan agama Islam itu akan terurai satu persatu, apabila di kalangan umat Islam tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti hakikat jahiliyah.”
- Ta’ashshub (fanatik) kepada nenek moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan semua ajaran yang bertentangan dengan ajaran nenek moyang walaupun hal itu termasuk kebenaran. Keadaan ini seperti keadaan orang-orang kafir yang dikisahkan Allah di dalam ayat-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada kalian!’ Mereka justru mengatakan, ‘Tidak, tetapi kami tetap akan mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan) Apakah mereka akan tetap mengikutinya meskipun nenek moyang mereka itu tidak memiliki pemahaman sedikit pun dan juga tidak mendapatkan hidayah?” (QS. Al Baqarah: 170)
- Taklid buta (mengikuti tanpa landasan dalil). Hal ini terjadi dengan mengambil pendapat-pendapat orang dalam permasalahan akidah tanpa mengetahui landasan dalil dan kebenarannya. Inilah kenyataan yang menimpa sekian banyak kelompok-kelompok sempalan seperti kaum Jahmiyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Mereka mengikuti saja perkataan tokoh-tokoh sebelum mereka padahal mereka itu sesat. Maka mereka juga ikut-ikutan menjadi tersesat, jauh dari pemahaman akidah yang benar.
- Berlebih-lebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. Mereka mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia. Hal ini benar-benar terjadi hingga ada di antara mereka yang meyakini bahwa tokoh yang dikaguminya bisa mengetahui perkara gaib, padahal ilmu gaib hanya Allah yang mengetahuinya. Ada juga di antara mereka yang berkeyakinan bahwa wali yang sudah mati bisa mendatangkan manfaat, melancarkan rezeki dan bisa juga menolak bala dan musibah. Jadilah kubur-kubur wali ramai dikunjungi orang untuk meminta-minta berbagai hajat mereka. Mereka beralasan hal itu mereka lakukan karena mereka merasa sebagai orang-orang yang banyak dosanya, sehingga tidak pantas menghadap Allah sendirian. Karena itulah mereka menjadikan wali-wali yang telah mati itu sebagai perantara. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari). Beliau memperingatkan umat agar tidak melakukan sebagaimana apa yang mereka lakukan Kalau kubur nabi-nabi saja tidak boleh lalu bagaimana lagi dengan kubur orang selain Nabi ?
- Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah. Ini terjadi karena terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang digembar-gemborkan orang barat. Sampai-sampai masyarakat mengira bahwa kemajuan itu diukur dengan sejauh mana kita bisa meniru gaya hidup mereka. Mereka menyangka kecanggihan dan kekayaan materi adalah ukuran kehebatan, sampai-sampai mereka terheran-heran atas kecerdasan mereka. Mereka lupa akan kekuasaan dan keluasan ilmu Allah yang telah menciptakan mereka dan memudahkan berbagai perkara untuk mencapai kemajuan fisik semacam itu. Ini sebagaimana perkataan Qarun yang menyombongkan dirinya di hadapan manusia, “Sesungguhnya aku mendapatkan hartaku ini hanya karena pengetahuan yang kumiliki.” (QS. Al Qashash: 78). Padahal apa yang bisa dicapai oleh manusia itu tidaklah seberapa apabila dibandingkan kebesaran alam semesta yang diciptakan Allah Ta’ala. Allah berfirman yang artinya, “Allah lah yang menciptakan kamu dan perbuatanmu.” (QS. Ash Shaffaat: 96)
- Kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Hal ini sebagaimana telah digariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari). Kita dapatkan anak-anak telah besar di bawah asuhan sebuah mesin yang disebut televisi. Mereka tiru busana artis idola, padahal busana sebagian mereka itu ketat, tipis dan menonjolkan aurat yang harusnya ditutupi. Setelah itu mereka pun lalai dari membaca Al Qur’an, merenungkan makna-maknanya dan malas menuntut ilmu agama.
- Kebanyakan media informasi dan penyiaran melalaikan tugas penting yang mereka emban. Sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan tidak memperhatikan aturan agama. Ini menimbulkan fasilitas-fasilitas itu berubah menjadi sarana perusak dan penghancur generasi umat Islam. Acara dan rubrik yang mereka suguhkan sedikit sekali menyuguhkan bimbingan akhlak mulia dan ajaran untuk menanamkan akidah yang benar. Hal itu muncul dalam bentuk siaran, bacaan maupun tayangan yang merusak. Sehingga hal ini menghasilkan tumbuhnya generasi penerus yang sangat asing dari ajaran Islam dan justru menjadi antek kebudayaan musuh-musuh Islam. Mereka berpikir dengan cara pikir aneh, mereka agungkan akalnya yang cupet, dan mereka jadikan dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits menuruti kemauan berpikir mereka. Mereka mengaku Islam akan tetapi menghancurkan Islam dari dalam. (disadur dengan penambahan dari At Tauhid li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12-13).
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Pentingnya Tauhid (1)
Tauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak
ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu
bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita
yang selama ini yang mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid
akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.
Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah untuk Bertauhid
Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz Dzariyaat: 56). Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Adz Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama salaf.
Tujuan Diutusnya Para Rasul Adalah untuk Mendakwahkan Tauhid
Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul (yang mengajak) sembahlah Allah dan tinggalkanlah thoghut.” (An Nahl: 36). Thoghut adalah sesembahan selain Allah. Syaikh As Sa’di berkata, Allah Ta’ala memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam umat tersebut seorang Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah kepada Allah saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya (Taisir Karimirrohman, Tafsir surat An Nahl). Beribadah kepada Allah dan mengingkari thoghut itulah hakekat makna tauhid.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir
Rasul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ta’ala ‘anhu, “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Allah.” (Riwayat Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (Riwayat Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).
Tauhid Adalah Kewajiban yang Paling Wajib
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Allah mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (An Nisaa’: 116). Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Allah menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba. Allah Ta’ala berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (An Nisaa’: 36)
Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati. Allah berfirman, “Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (Luqman: 15)
Hati yang Saliim Adalah Hati yang Bertauhid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (Riwayat Bukhori dan Muslim). Allah Ta’ala berfirman, “Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang saliim (selamat).” (Asy Syu’araa’: 88-89). Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’). Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.
Tauhid Adalah Hak Allah yang Harus Ditunaikan Hamba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (Riwayat Bukhori dan Muslim). Menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Allah dalam beribadah. Tidak boleh menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang yang beribadah kepada Allah saja (diringkas dari Fathul Majid).
Ibadah adalah hak Allah semata, maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid sebagai ruh perjuangan mereka.
Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat
Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor radhiyallahu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Allah serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Allah di dunia dan di akhirat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Orang-orang yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridho kepada mereka dan mereka pun telah ridho kepada Allah. Allah telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah: 100)
Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah. Wallahu A’lam bish showaab.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Pentingnya Tauhid (2)
Jika dilihat dari judulnya, mungkin banyak di antara kaum muslimin sendiri yang malas untuk membaca tulisan dengan judul ini. Karena menganggap bahwa masalah tauhid ini; anak kecil juga tahu kalau Allah subhanahu wa ta’ala itu Tuhan yang Satu (Esa), Dialah yang menciptakan alam semesta ini beserta segala isinya, jadi buat apa diperpanjang lebar?
Ketahuilah Bahwa Penghuni Surga Itu Sedikit
Yang jadi masalah adalah ketika penghuni surga jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah penghuni neraka sebagai mana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Allah berfirman: “Wahai Adam!” maka ia menjawab: “Labbaik wa sa’daik” kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah dari keturunanmu delegasi neraka!” maka Adam bertanya: “Ya Rabb, apakah itu delegasi neraka?” Allah berfirman: “Dari setiap 1000 orang 999 di neraka dan hanya 1 orang yang masuk surga.” Maka ketika itu para sahabat yang mendengar bergemuruh membicarakan hal tersebut. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah di antara kami yang menjadi satu orang tersebut?” Maka beliau bersabda: “Bergembiralah, karena kalian berada di dalam dua umat, tidaklah umat tersebut berbaur dengan umat yang lain melainkan akan memperbanyaknya, yaitu Ya’juj dan Ma’juj. Pada lafaz yang lain: “Dan tidaklah posisi kalian di antara manusia melainkan seperti rambut putih di kulit sapi yang hitam, atau seperti rambut hitam di kulit sapi yang putih.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Padahal kita ketahui bahwa kaum muslimin saat ini adalah hampir separuh penduduk dunia dan terus bertambah, sedangkan kaum kuffar di Eropa jumlahnya kian berkurang karena mereka ‘malas’ untuk menikah dan punya anak. Bahkan ada di antara negara-negara Eropa yang memberikan tunjangan agar penduduknya mau menikah dan punya anak.
Kabar yang sedikit menggembirakan kita adalah kenyataan bahwa Ya’juj dan Ma’juj yang akan keluar menjelang hari kiamat itu jumlahnya sangat banyak, hingga mampu meminum air danau thobariah hingga kering, sebagaimana dikabarkan dalam hadits yang shahih. Akan tetapi kita tidak mengetahui berapa perbandingan sebenarnya antara orang yang mengaku islam dengan orang-orang kafir. Sedangkan orang yang mengaku Islam dan mengucapkan kalimat syahadat belum tentu masuk surga. Sebab…
Mengucapkan Kalimat Syahadat Bukan Jaminan Masuk Surga
“Wah, ngawur ente!!” (berdasarkan hadits “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah akan masuk surga”). Mungkin itu komentar yang muncul, setelah membaca sub judul di atas. Akan tetapi yang kami maksudkan di sini adalah, bahwa hanya sekedar perkataan tidaklah bermanfaat bagi kita jika kita tidak memahami dan mengamalkan maknanya. Karena kaum munafik juga mengatakan kalimat tersebut, mereka juga sholat, puasa, mengeluarkan zakat, dan pergi haji seperti kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi, mengapa kaum munafik ditempatkan pada jurang neraka yang paling dasar? Allah berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيراً
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)
Yang lebih mengherankan, apa yang menyebabkan mereka tidak bisa menjawab 3 pertanyaan yang mudah (siapa Rabbmu? apa agamamu? dan siapa nabimu? di dalam kubur?).
Jawaban mereka adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هاه، هاه، لا أدري، سمعت الناس يقولون شئ فقلته
“Hah… hah… aku tidak tahu, aku mendengar orang mengatakan sesuatu, kemudian aku mengatakan hal tersebut.”
Pertanyaannya memang mudah, tetapi menjawabnya sangatlah sulit. Karena hati manusia di akhirat merupakan hasil dari perbuatannya di dunia. Jika di dunia dia meremehkan agamanya, maka dia tidak akan bisa mengatakan bahwa agamanya adalah Islam. Sekarang, jika kaum munafik yang mengucapkan syahadat kemudian mengamalkan sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak dianggap telah mengamalkan makna syahadat, maka apa sih makna syahadat yang (harus kita amalkan) sebenarnya?
Makna Kalimat Syahadat “Laa Ilaaha Illallah”
Makna kalimat syahadat tersebut bukanlah pengakuan bahwa Allah adalah pencipta, pemberi rezeki dan pengatur seluruh alam semesta ini. Karena orang Yahudi dan Nasrani juga mengakuinya. Akan tetapi mereka tetap dikatakan kafir. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meyakini hal tersebut. Sebagaimana difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat di Al Quran, di antaranya adalah:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنْ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنْ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
Katakanlah (wahai Muhammad): “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
Bahkan kaum musyrikin tersebut mengatakan bahwa penyembahan mereka terhadap berhala-berhala yang merupakan patung orang-orang shalih itu adalah dengan tujuan untuk mendapatkan syafaat mereka dan kedekatan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala (sebagaimana para penyembah kuburan para wali di sebagian negeri kaum muslimin). Hal tersebut dinyatakan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan mudarat dan manfaat bagi mereka, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah.” (QS. Yusuf: 106)
Yaitu mengimani, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah pencipta, pemberi rezeki dan pengatur alam semesta, akan tetapi mempersekutukan-Nya dalam peribadatan. Secara ringkas makna syahadat “Laa ilaaha illallah” adalah tidak ada sembahan yang haq (benar) kecuali Allah. Seorang yang bersaksi dengan kalimat tersebut harus meninggalkan pengabdian kepada selain Allah dan hanya beribadah kepada Allah saja secara lahir maupun batin. Sama saja, baik yang dijadikan sembahan selain Allah itu malaikat, nabi, wali, orang-orang shalih, matahari, bulan, bintang, batu, pohon, jin, patung dan gambar-gambar. Jika kita masih merasa tenang dengan menganggap diri kita adalah ahli tauhid serta memandang remeh untuk mendalami dan medakwahkannya maka perhatikanlah beberapa hal berikut:
Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia Adalah untuk Menauhidkan Allah
(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka (hanya) menyembahku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Seseorang tidaklah dianggap telah beribadah kepada Allah jika dia masih berbuat syirik, sebab amalan ibadah dari orang yang mempersekutukan Allah akan dihapuskan dan tidak bermanfaat sedikit pun di sisi Allah.
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Karena tauhid adalah menunggalkan Allah dalam peribadatan, maka syirik membatalkan tauhid sebagaimana berhadats dapat membatalkan wudhu. Jika sholatnya orang yang berhadats tidaklah sah, dalam arti kata belum dianggap telah melakukan sholat sehingga harus diulangi, maka begitu pun syirik jika mencampuri tauhid, akan merusak tauhid tersebut dan membatalkannya.
Tauhid Merupakan Tujuan Diutusnya Para Rasul
Sebelumnya manusia adalah umat yang satu, berasal dari Nabi Adam ‘alaihissalam. Mereka beriman dan menyembah hanya kepada Allah saja. Kemudian datanglah syaitan menggoda manusia untuk mengada-adakan bid’ah dalam agama mereka. Bid’ah-bid’ah kecil yang semula dianggap remah saat generasi berganti generasi, bid’ahnya pun semakin menjadi. Hingga pada akhirnya menggelincirkan mereka kepada bid’ah yang sangat besar, yaitu kemusyrikan.
Iblis terbilang cukup ’sabar’ dalam melancarkan aksinya selama sepuluh abad untuk menggelincirkan keturunan Adam ‘alaihissalam kepada kemusyrikan -sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu (lihat “Kisah Para Nabi”, Ibnu Katsir)- Hingga tatkala seluruhnya tenggelam dalam kemusyrikan, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh ‘alaihi salam.
Demikianlah, setiap kali kemusyrikan merajalela pada suatu kaum, maka Allah mengutus rasul-Nya untuk mengembalikan mereka kepada tauhid dan menjauhi syirik.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thoghut (sembahan selain Allah).” (QS. An Nahl: 36)
وَمَا أَرْسَلنَا مِن قَبلِكَ مِنْ رََسُولٍ إِلا نُوحِي إلَيهِ أنَّه لا إِلهَ إلا أنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwa tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al Anbiya: 25)
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, Allah subhanahu wa ta’ala tidak lagi mengutus rasul. Hal ini bukanlah dalil bahwa kemusyrikan tidak akan pernah terjadi lagi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dikatakan beberapa orang. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menjamin bahwa akan senantiasa ada segolongan dari umat ini yang berada di atas tauhid dan mendakwahkannya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim.
Tauhid Adalah Kewajiban Pertama Bagi Manusia Dewasa dan Berakal
Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mendahulukan perintah tauhid dan menjauhi syirik, sebelum memerintahkan yang lainnya dalam setiap firmannya di Al Quran.
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي القُرْبَى وَاليَتَامَى وَالمَسَاكِيْنَ وَالْجَارِ ذِي القُرْبَى وَالجَارِ الجُنُبِ والصَّاحِبِ بِالجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah pada kedua orang tua (ibu & bapak), karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabiil dan hamba sahayamu.” (QS. An Nisa: 36)
Pelanggaran Tauhid Adalah Keharaman yang Terbesar
قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا
“Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan suatu apapun dengan Dia, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua…” (QS. Al An’am: 151)
Allah mendahulukan penyebutan pengharaman syirik sebelum yang lainnya, karena keharaman syirik adalah yang terbesar.
Tauhid Harus Diajarkan Sejak Dini
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas tentang tauhid sejak beliau masih kecil.
إذا سألت فاسأل الله و إذ استعنت فستعن بالله
“Jika engkau hendak memohon, maka mintalah kepada Allah, jika engkau hendak memohon pertolongan, maka memohonlah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Tauhid Adalah Materi Dakwah yang Pertama Kali Harus Diserukan
Saat mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنك تأتي قوما من أهل الكتاب فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله – و في رواية : إلي أن يوحدوا الله
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illallah (dalam riwayat lain disebutkan: agar mereka menauhidkan Allah).” (HR. Bukhari, Muslim)
Jika kita masih menganggap bahwa, itu jika yang menjadi objek dakwah kita adalah orang kafir. Jika kaum muslimin maka tidak demikian. Maka ingatlah, betapa banyak kaum muslimin yang jika tidak mendapatkan kesembuhan dari penyakit secara medis mereka berbondong-bondong mengunjungi dukun atau yang dikenal dengan istilah sekarang sebagi paranormal. Ingatlah, betapa banyak kaum muslimin yang tinggal di pesisir pantai yang melakukan penyembelihan kurban kepada selain Allah (baca: Nyi Roro Kidul) yang mereka istilahkan dengan sedekah laut. Ingatlah, betapa banyak kaum muslimin yang menyembelih kerbau untuk ditanam kepalanya di bawah jembatan yang hendak mereka bangun, sebagai persembahan agar mereka tidak diganggu oleh jin penunggu daerah tersebut? Berapa banyak kemusyrikan-kemusyrikan yang merajalela di tengah umat ini, sedangkan sebagian kaum muslimin yang lain mengatakan bahwa hal tersebut adalah ‘kebudayaan’ bangsa yang harus dilestarikan? Betapa sedikitnya kaum muslimin yang memahami dan mengamalkan tauhid? Lahan dakwah tauhid masih terlalu luas, akankah kita berdiam diri dan tetap meremehkan masalah ini? Wallahu waliyyut taufiiq.
Rujukan:
- Firqotun Naajiyah (Syaikh Muhammad bin Jamil Zaini)
- Syarah Qowaidul Arba’ (Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Aalu Syaikh)
- Mutiara Faidah Kitab Tauhid (Ustadz Abu Isa Abdullah bin Salam)
***
Penulis: Abu Yahya Agus Wahyu (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ust. Afifi Abdul Wadud
Artikel www.muslim.or.id
Membekali Diri Dengan Tauhid
Pengertian Tauhid
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- memaparkan bahwa kata tauhid secara bahasa adalah kata benda yang berasal dari perubahan kata kerja wahhada – yuwahhidu yang bermakna menunggalkan sesuatu. Sedangkan dalam kacamata syari’at, tauhid bermakna mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan diri-Nya. Kekhususan itu meliputi perkara rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat (Al Qaul Al Mufid, 1/5)
Syaikh Hamad bin ‘Atiq menerangkan bahwa agama Islam disebut sebagai
agama tauhid disebabkan agama ini dibangun di atas pondasi pengakuan
bahwa Allah adalah Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, baik dalam hal
kekuasaan maupun tindakan-tindakan. Allah Maha Esa dalam hal Dzat dan
sifat-sifat-Nya, tiada sesuatu pun yang menyerupai diri-Nya. Allah Maha
Esa dalam urusan peribadatan, tidak ada yang berhak dijadikan sekutu
dan tandingan bagi-Nya. Tauhid yang diserukan oleh para Nabi dan Rasul
telah mencakup ketiga macam tauhid ini (rububiyah, uluhiyah dan asma’
wa shifat). Setiap jenis tauhid adalah bagian yang tidak bisa
dilepaskan dari jenis tauhid yang lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa
yang mewujudkan salah satu jenis tauhid saja tanpa disertai dengan
jenis tauhid lainnya maka hal itu tidak mungkin terjadi kecuali
disebabkan dia tidak melaksanakan tauhid dengan sempurna sebagaimana
yang dituntut oleh agama (Ibthal At Tandid, hal. 5-6)
Syaikh Muhammad bin Abdullah Al Habdan menjelaskan bahwa tauhid itu hanya akan terwujud dengan memadukan antara kedua pilar ajaran tauhid yaitu penolakan (nafi) dan penetapan (itsbat). ‘La ilaha’ adalah penafian/penolakan, maksudnya kita menolak segala sesembahan selain Allah. Sedangkan ‘illallah’ adalah itsbat/penetapan, maksudnya kita menetapkan bahwa Allah saja yang berhak disembah (At Taudhihat Al-Kasyifat, hal. 49)
Tauhid dan Iman Kepada Allah
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan –hafizhahullah- menjelaskan bahwa hakekat iman kepada Allah adalah tauhid itu sendiri. Sehingga iman kepada Allah itu mencakup ketiga macam tauhi yaitu tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat (Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad, hal. 29). Di samping itu, keimanan seseorang kepada Allah tidak akan dianggap benar kalau hanya terkait dengan tauhid rububiyah saja dan tidak menyertakan tauhid uluhiyah. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada kaum musyrikin dahulu yang juga mengakui tauhid rububiyah. Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerangi dan mengajak mereka untuk bertauhid. Hal itu dikarenakan mereka tidak mau melaksanakan tauhid uluhiyah.
Urgensi Tauhid Bagi Setiap Insan
Kepentingan manusia untuk bertauhid sungguh jauh berada di atas kepentingan mereka terhadap makanan, minuman atau tempat tinggal. Kalau seseorang tidak makan atau minum, akibat terburuk yang dialami hanyalah sekedar kematian. Namun, kalau seseorang tidak bertauhid barang sekejap saja dan pada saat itu dia meninggal dalam keadaan musyrik, maka siksaan yang kekal di neraka sudah siap menantinya.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّه ُمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah (dalam beribadah) maka sungguh Allah telah mengharamkan atasnya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka…” (QS. al-Ma’idah [5]: 72)
Bahkan amalnya yang bertumpuk-tumpuk selama hidup pun akan menjadi sia-sia apabila di akhir hidupnya dia telah berbuat syirik kepada Rabb-nya dan belum bertaubat darinya. Allah ta’ala berfirman,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh, jika kamu berbuat syirik, akan lenyaplah semua amalmu, dan kamu pasti akan tergolong orang yang merugi.” (QS. az-Zumar [39]: 65)
Dan, kalaulah kita mau merenungkan untuk apa kita diciptakan di alam dunia ini niscaya kita akan memahami betapa agung kedudukan tauhid dalam hidup ini. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56). Makna beribadah kepada Allah di sini adalah mentauhidkan Allah.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- mengatakan, “Apabila engkau telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan dirimu untuk beribadah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya ibadah tidak akan disebut sebagai ibadah (yang hakiki) apabila tanpa disertai tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sebagai sholat jika tidak disertai dengan thaharah (bersuci). Maka apabila syirik merasuk ke dalam suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi batal. Sebagaimana hadats jika terjadi pada (orang yang sudah melakukan) thaharah…” (Majmu’ah Tauhid, hal. 7)
Terkait dengan pentingnya tauhid ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya kebutuhan hamba untuk senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya merupakan kebutuhan yang tak tertandingi oleh apapun yang bisa dianalogikan dengannya. Akan tetapi, dari sebagian sisi ia bisa diserupakan dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan dan minuman. Di antara keduanya sebenarnya terdapat banyak sekali perbedaan. Karena sesungguhnya jati diri seorang hamba adalah pada hati dan ruhnya. Padahal, tidak ada kebaikan hati dan ruh kecuali dengan (pertolongan) Rabbnya, yang tiada ilah (sesembahan) yang benar untuk disembah selain Dia. Sehingga ia tidak akan bisa merasakan ketenangan kecuali dengan mengingat-Nya. Seandainya seorang hamba bisa memperoleh kelezatan dan kesenangan dengan selain Allah maka hal itu tidak akan terus menerus terasa. Akan tetapi, ia akan berpindah dari satu jenis ke jenis yang lain, dari satu individu ke individu yang lain. Adapun Rabbnya, maka dia pasti membutuhkan-Nya dalam setiap keadaan dan di setiap waktu. Di mana pun dia berada maka Dia (Allah) senantiasa menyertainya.” (Majmu’ Fatawa, I/24. Dikutip dengan perantara Kitab Tauhid Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 43)
Siapa yang merasa tauhidnya sudah hebat?!
Allah ta’ala mengisahkan do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam di dalam ayat-Nya
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada arca-arca.” (QS. Ibrahim [14]: 35)
Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah yang lebih merasa aman dari bencana kesyirikan selain Ibrahim[?]”
Syaikh Abdurrahman bin Hasan –rahimahullah- mengatakan, “Tidak ada lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan selain orang yang bodoh terhadap syirik dan juga tidak memahami sebab-sebab yang bisa menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya yaitu mentauhidkan-Nya serta larangan dari perbuatan syirik terhadapnya.” (Fathul Majid, hal. 72)
Demikianlah sekilas mengenai pentingnya tauhid dalam kehidupan kita. Semoga kita tergolong hamba-hamba yang mentauhidkan Allah dengan sebenar-benarnya. Kalau orang semulia Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja masih takut terjerumus syirik, lalu bagaimana lagi dengan orang seperti kita. Wallahul musta’an. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Selesai disusun ulang di Yogyakarta,
Senin 8 Jumadil Ula 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya,
kedua orang tuanya dan kaum muslimin semua
***
Penulis: Abu Mushlih Ari wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Tiga Landasan Utama (bag. 01)
Alhamdulillah, as-sholatu was salamu ‘ala man la nabiyya ba’dah. Amma ba’d.
“Risalah Tsalatsatul Ushul adalah sebuah risalah yang penting bagi setiap muslim.” (Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh. Menteri Urusan Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Keislaman Arab Saudi)
Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama) merupakan salah satu risalah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang tersebar luas di kalangan kaum muslimin. Risalah ini mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat penting dan mendasar demi terwujudnya pribadi muslim yang mentauhidkan Allah dalam segala sisi kehidupannya.
Telah banyak ulama yang membahas risalah ini dalam bentuk ceramah,
tulisan, yang ringkas maupun panjang lebar. Di antara mereka adalah
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, Syaikh Zaid bin Hadi hafizhahullah, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah, Syaikh Nu’man bin Abdul Karim al-Watr hafizhahullah, Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan hafizhahullah, Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih hafizhahullah dan para ulama lainnya.
Dan segala puji bagi Allah, bersama rekan-rekan yang lain saya mendapat kesempatan mengikuti pelajaran kitab tersebut bersama Ustadz Abu Isa Abdullah bin Salam hafizhahullah [1] dalam rangkaian daurah di Ma’had Jamilurrahman as-Salafy dan juga daurah yang diadakan oleh Lembaga Bimbingan Islam al-Atsary beberapa tahun yang silam. Sungguh ini merupakan kenikmatan yang sangat agung dan pengalaman yang sangat berharga dalam kehidupan kami, semoga Allah meneguhkan kami dan anda sekalian di atas akidah tauhid yang suci ini hingga bertemu dengan-Nya nanti.
Pada kesempatan ini kami insya Allah akan memulai pembahasan risalah/kitab ini dengan mengacu kepada beberapa kitab syarah yang ada dengan tambahan keterangan dari sumber lainnya semampu kami, dan Allah lah satu-satunya tempat bergantung bagi kami.
Judul Risalah
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberi nama risalahnya dengan judul:
ثلاثةُ الأُصُول
Artinya: “Tiga landasan utama.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengomentari:
هذه رسالة مهمة في العقيدة ألفها الشيخ أبو عبد الله الإمام محمد بن عبد الوهاب بن سليمان بن علي التميمي الحنبلي الإمام المشهور المجدد لِما اندرس من معالم الإسلام في النصف الثاني من القرن الثاني عشر ـ رحمه الله وأكرم مثواه ـ . وقد كان ـ رحمه الله ـ يلقن الطلبة والعامة هذه الأصول ليدرسوها ويحفظوها ، ولتستقر في قلوبهم لكونها قاعدة في العقيدة .
“Ini adalah risalah yang sangat penting dalam bidang akidah. Risalah yang ditulis oleh Syaikh Abu Abdillah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali at-Tamimi al-Hanbali. Seorang imam yang masyhur sekaligus seorang pembaharu yang mereformasi berbagai ajaran Islam yang mengalami kelunturan pada paruh kedua di abad keduabelas (hijriyah), semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya dan memuliakan tempat peristirahatannya. Beliau -semoga Allah merahmatinya- dahulu biasa mendiktekan kepada para murid dan masyarakat umum pokok-pokok -akidah- ini agar mereka mau mempelajari dan menghafalkannya dan supaya apa yang terdapat di dalamnya bisa tertanam di dalam hati mereka, dikarenakan perkara-perkara itu merupakan pondasi dalam hal akidah.” (Syarh Ushul Tsalatsah li Ibni Baz, hal. 1 software Maktabah asy-Syamilah)
Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih hafizhahullah menjelaskan:
وهذه الرسالة رسالة عظيمة كثيرة الفوائد ألفها رحمه الله لبيان ما يحتاج إليه كل مؤمن ومؤمنة، وكل مسلمٍ ومسلمة، وسمى هذه الرسالة (ثلاثة الأصول)، وهي معروفة بهذا الاسم، أو باسم (الأصول الثلاثة)، بين فيها ما يجب معرفته مما يتعلق بالله عز وجل، ومما يتعلق بالنبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، ومما يتعلق بدين الإسلام، وأكثر من ذكر الأدلة في ثنايا هذه الرسالة المباركة ليتبين بذلك أن ما يدعو إليه منبثق من الكتاب والسنة، وأنه معتمد عليهما…
“Risalah ini adalah risalah yang agung dan mengandung banyak pelajaran berharga. Risalah ini ditulis oleh beliau rahimahullah dalam rangka menjelaskan hal-hal yang dibutuhkan oleh setiap mukmin dan mukminah dan setiap muslim dan muslimah. Risalah ini diberi nama Tsalatsatu Ushul dan ia populer dengan nama ini. Atau ia juga dikenal dengan nama al-Ushul ats-Tsalatsah. Di dalamnya beliau menjelaskan berbagai perkara yang wajib diketahui yang meliputi keyakinan tentang Allah ‘azza wa jalla, keyakinan yang terkait dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dan keyakinan yang terkait dengan agama Islam. Di tengah-tengah risalah yang diberkahi ini beliau sering sekali menyebutkan dalil-dalil supaya tampak dengan jelas bahwa apa yang beliau dakwahkan benar-benar memiliki landasan dari al-Kitab dan as-Sunnah, dan demi membuktikan bahwasanya tulisan ini memang bersandar kepada keduanya…” (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 2 software Maktabah asy-Syamilah)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah juga menerangkan:
رسالة ثلاثة الأصول, رسالة مهمّة لكل مسلم، وكان العلماءُ -أعني علمائنا- يعتنون بها شرحا، في أول ما يشرحون من كتب أهل العلم، ذلك؛ لأن فيها الجواب عن أسئلة القبر الثلاث؛ ألا وهي سؤال الملكين العبد عن ربه، وعن دينه، وعن نبيه، وهي ثلاثة الأصول يعني معرفة العبد ربه؛ وهو معبوده، ومعرفة العبدِ دينه؛ دين الإسلام بالأدلة، ومعرفة العبد نبيه عليه الصلاة والسلام، فمن هاهنا جاءت أهمية هذه الرسالة؛ لأن فيها من أصول التوحيد والدين الشيء الكثير.
“Risalah Tsalatsatul Ushul adalah sebuah risalah yang penting bagi setiap muslim. Dahulu para ulama -maksud saya para ulama kita (ulama di Arab Saudi, pent)- memberikan perhatian besar dengan memberikan syarah/penjelasan atasnya dalam kesempatan pertama mereka membahas keterangan kitab-kitab ulama. Hal itu disebabkan di dalamnya terkandung jawaban terhadap tiga pertanyaan di alam kubur. Ketahuilah bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh dua malaikat kepada setiap hamba yang menanyakan tentang siapa Rabbnya, tentang agamanya, dan tentang nabinya. Itulah Tsalatsatul Ushul/tiga landasan utama: yaitu seorang hamba harus mengenali Rabbnya yaitu sesembahannya, mengenali agamanya yaitu agama Islam, dan mengenali nabinya ‘alaihis sholatu was salam. Di situlah terletak urgensi/nilai penting risalah ini. Karena di dalamnya terdapat banyak pokok-pokok ajaran tauhid dan agama…” (Syarh Tsalatsatul Ushul li Shalih ali Syaikh, hal. 2 software Maktabah asy-Syamilah)
Dalil Tentang Pertanyaan Kubur
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan:
حدثنا أبو الوليد حدثنا شعبة قال أخبرني علقمة بن مرثد قال سمعت سعد بن عبيدة عن البراء بن عازب : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال المسلم إذا سئل في القبر يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله . فذلك قوله يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة
Abul Walid menuturkan kepada kami. Dia berkata: Syu’bah menuturkan kepada kami. Dia berkata: ‘Alqomah bin Martsad mengabarkan kepadaku. Dia berkata: Aku mendengar Sa’d bin ‘Ubaidah -meriwayatkan- dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu, dia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim jika ditanya di dalam kubur maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Itulah maksud dari firman Allah (yang artinya), ‘Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan ketika di akherat.’” (QS. Ibrahim: 27).” (HR. Bukhari dalam Kitab Tafsir)
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارِ بْنِ عُثْمَانَ الْعَبْدِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ (يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ) قَالَ نَزَلَتْ فِى عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّىَ اللَّهُ وَنَبِيِّىَ مُحَمَّدٌ -صلى الله عليه وسلم-. فَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ
Muhammad bin Basyar bin Utsman al-Abdi menuturkan kepada kami. Dia berkata: Muhammad bin Ja’far menuturkan kepada kami. Dia berkata: Syu’bah menuturkan kepada kami dari ‘Alqomah bin Martsad dari Sa’d bin ‘Ubaidah dari al-Bara’ bin ‘Azib dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata (membaca ayat yang artinya), “Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh.” Beliau bersabda, “Ayat itu turun tentang siksa kubur, akan ditanyakan kepadanya, ‘Siapa Rabbmu’ maka dia akan bisa menjawab, ‘Rabbku adalah Allah, dan Nabiku adalah Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-’. Maka itulah makna firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), ‘Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh dalam kehidupan dunia dan ketika di akherat.’ (QS. Ibrahim: 27).” (HR. Muslim)
Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ح وَحَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِىِّ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ – وَهَذَا لَفْظُ هَنَّادٍ – عَنِ الأَعْمَشِ عَنِ الْمِنْهَالِ عَنْ زَاذَانَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى جَنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرُ وَفِى يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فِى الأَرْضِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ. مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا – زَادَ فِى حَدِيثِ جَرِيرٍ هَا هُنَا – وَقَالَ : وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفْقَ نِعَالِهِمْ إِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِينَ حِينَ يُقَالُ لَهُ : يَا هَذَا مَنْ رَبُّكَ وَمَا دِينُكَ وَمَنْ نَبِيُّكَ. قَالَ هَنَّادٌ قَالَ : وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولاَنِ لَهُ : مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ : رَبِّىَ اللَّهُ. فَيَقُولاَنِ لَهُ : مَا دِينُكَ فَيَقُولُ : دِينِى الإِسْلاَمُ. فَيَقُولاَنِ لَهُ : مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِى بُعِثَ فِيكُمْ قَالَ فَيَقُولُ : هُوَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَيَقُولاَنِ : وَمَا يُدْرِيكَ فَيَقُولُ : قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ. زَادَ فِى حَدِيثِ جَرِيرٍ : فَذَلِكَ قَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا). الآيَةَ…
Utsman bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata: Jarir menuturkan kepada kami (ha’). Hannad bin as-Sari juga menuturkan kepada kami. Dia berkata: Abu Mu’awiyah menuturkan kepada kami -dan ini merupakan lafazh yang dibawakan oleh Hannad- dari al-A’masy dari al-Minhal dari Zadan dari ak-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu’anhu. Dia berkata: Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengiringi jenazah salah seorang lelaki dari kaum Anshar. Ketika kami sampai di kubur dan jenazah itu telah dikuburkan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk dan kami pun ikut duduk di sekitar beliau, dan seolah-olah saat itu di atas kami ada burung. Di tangan beliau ada sebilah tongkat kayu yang beliau pukul-pukulkan ke tanah lalu beliau mengangkat kepalanya ke langit seraya mengatakan, “Mintalah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur.” Beliau mengucapkannya dua atau tiga kali. Di dalam hadits Jarir terdapat tambahan “Nah, di sinilah.” Dan beliau melanjutkan, “Sesungguhnya dia mampu mendengar suara sandal-sandal mereka saat mereka berbalik untuk pulang. Ketika itulah ditanyakan kepadanya, ‘Wahai orang ini, siapakah Rabbmu, apakah agamamu, dan siapa Nabimu?’” Hannad berkata: Beliau mengatakan, “Datanglah dua malaikat yang mendudukkannya lalu menanyakan kepadanya, ‘Siapa Rabbmu’ lalu dia pun menjawab, ‘Rabbku adalah Allah’. Lalu mereka berdua bertanya kepadanya, ‘Apa agamamu’ dan dia pun menjawab, ‘Agamaku Islam’. Lalu mereka kembali bertanya, ‘Siapakah lelaki ini yang telah diutus di tengah-tengah kalian’. Maka dia menjawab, ‘Dia adalah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.’ Lalu mereka berdua bertanya, ‘Ilmu apa yang kamu ketahui?’ Maka dia menjawab, ‘Aku membaca Kitabullah, aku beriman dan membenarkannya.’ Di dalam hadits Jarir terdapat tambahan, “Itulah maksud dari firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), ‘Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dst.’…” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Imam al-Baghawi rahimahullah menerangkan:
قوله تعالى: يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ – كلمة التوحيد، وهي قول: لا إله إلا الله فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا يعني قبل الموت، وَفِي الآخِرَةِ يعني في القبر. هذا قول أكثر أهل التفسير
“Firman Allah ta’ala ‘Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh’ yaitu dengan kalimat tauhid, maksudnya adalah ucapan la ilaha illallah. ‘di dalam kehidupan dunia’ yaitu sebelum meninggal. ‘dan ketika di akherat’ maksudnya adalah ketika berada di alam kubur. Inilah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [4/349] software Maktabah asy-Syamilah)
Imam al-’Aini rahimahullah menjelaskan:
والقول الثابت هو كلمة التوحيد لأنها راسخة في قلب المؤمن
“Yang dimaksud dengan ucapan yang kokoh itu adalah kalimat tauhid -la ilaha illallah, pent- dikarenakan kalimat itu tertancap kuat di dalam lubuk hati seorang mukmin.” (‘Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari [13/101] software Maktabah asy-Syamilah)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas:
يخبر تعالى أنه يثبت عباده المؤمنين، أي: الذين قاموا بما عليهم من إيمان القلب التام، الذي يستلزم أعمال الجوارح ويثمرها، فيثبتهم الله في الحياة الدنيا عند ورود الشبهات بالهداية إلى اليقين، وعند عروض الشهوات بالإرادة الجازمة على تقديم ما يحبه الله على هوى النفس ومراداتها. وفي الآخرة عند الموت بالثبات على الدين الإسلامي والخاتمة الحسنة، وفي القبر عند سؤال الملكين، للجواب الصحيح، إذا قيل للميت من ربك؟ وما دينك؟ ومن نبيك؟ ” هداهم للجواب الصحيح بأن يقول المؤمن: الله ربي والإسلام ديني ومحمد نبيي
“Allah ta’ala memberitakan bahwasanya Dia akan memberikan keteguhan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman yaitu orang-orang yang menunaikan kewajiban mereka berupa keimanan yang sempurna di dalam hatinya yang menuntut dan memunculkan berbagai amal anggota badan. Allah akan memberikan keteguhan kepada mereka di dalam kehidupan dunia ketika terpaan syubhat/keragu-raguan melanda dengan menganugerahkan petunjuk -kepada mereka- untuk tetap yakin, dan juga ketika hembusan syahwat menerpa dengan karunia kekuatan tekad sehingga membuatnya tetap mendahulukan apa yang dicintai Allah di atas hawa nafsu dan keinginan dirinya. Dan di akherat kelak ketika maut maka Allah berikan keteguhan kepadanya di atas agama Islam dan menjumpai husnul khatimah. Dan ketika berada di alam kubur maka Allah juga akan memberikan keteguhan kepadanya dengan bisa memberikan jawaban yang benar ketika ada dua malaikat yang bertanya kepada mayit itu: ‘Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Dan Siapa Nabimu?’ Ketika itulah Allah berikan bimbingan kepada mereka untuk bisa menjawab dengan benar yaitu dengan mengucapkan: ‘Allah Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad Nabiku.’” (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/425] asy-Syamilah)
Ringkasan
Dari penjelasan-penjelasan di atas kita dapat mengetahui letak pentingnya mempelajari risalah Tsalastatul Ushul ini. Sebab di dalam risalah ini terkandung berbagai perkara penting, antara lain:
- Pengenalan tentang sesembahan kita yaitu Allah ta’ala.
- Pengenalan tentang hakekat agama yang diterima di sisi Allah yaitu Islam.
- Pengenalan tentang panutan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang menjadi sumber akidah kita.
- Ilmu yang akan membentengi diri kita dari terpaan fitnah syubhat dan syahwat.
- Kunci keteguhan bagi seorang muslim untuk bisa menghadapi ujian di alam kubur kelak.
- Ilmu tauhid, yang itu merupakan sebab utama keselamatan dan kebahagiaan.
Pada pelajaran berikutnya insya Allah akan dijelaskan kandungan mukadimah risalah ini sedikit demi sedikit. Semoga Allah memudahkan kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan kemudian melakukan amal yang salih. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Sabtu 7 Syawwal 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Tiga Landasan Utama (bag. 02)
Alhamdulillah, as-Sholatu was salamu ‘ala man la nabiyya ba’dah. Amma ba’d.
Pada pertemuan sebelumnya telah dijelaskan mengenai judul risalah ini dan berbagai pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya, sehingga risalah ini menjadi sebuah risalah yang penting bagi setiap muslim dan muslimah. Hal itu dikarenakan di dalamnya terdapat penjelasan mengenai sebab keteguhan mereka dalam menghadapi cobaan di dunia yang berupa fitnah syubhat maupun syahwat, demikian juga keteguhan ketika menghadapi pertanyaan dua malaikat di dalam kubur. Nah, sekarang kita akan melanjutkan pembicaraan kita dengan membahas sebagian kandungan mukadimah kitab ini…
Setelah bismillahirrahmanirrahim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan,
اعْلمْ رَحِمَكَ اللهُ أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَع مَسَائِلَ
“Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu. Wajib bagi kita untuk mempelajari empat perkara…”
Makna doa rahmat adalah permohonan kepada Allah agar mendapatkan ampunan atas kesalahan di masa silam dan bimbingan untuk menjalani kehidupan di masa depan. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu artinya; semoga Allah melimpahkan kepadamu rahmat-Nya yang dengan itu kamu akan berhasil meraih cita-citamu dan kamu akan selamat dari apa yang kamu khawatirkan. Sehingga makna ungkapan ini adalah semoga Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan semoga Allah memberikan taufik kepadamu dan menjagamu dari dosa-dosa yang akan datang. Ini apabila doa rahmat disebutkan secara sendirian. Adapun apabila doa ini disertakan bersama doa ampunan maka doa ampunan ditujukan bagi dosa-dosa yang telah lalu, sedangkan rahmat dan taufik untuk mendapatkan kebaikan serta keselamatan di masa depan. Apa yang dilakukan oleh penulis rahimahullahu ta’ala menunjukkan perhatian beliau dan kasih sayangnya kepada orang yang diajak bicara serta menunjukkan bahwa beliau menginginkan kebaikan untuknya.” (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 19)
Syaikh Khalid bin Abdullah al-Mushlih hafizhahullah menjelaskan:
وهذا من لطفه وحسن تأليفه ورفقه بمن يتعلم، فدعا للمتعلّم سواءٌ أكان قارئًا أم مستمعاً بالرحمة، وهذا منهج مهم وطريق لابد من التنبه إليه، وهو أن يكون المعلِّم والداعية إلى دين الله عز وجل شفيقاً رحيماً، وأن يشعر من يدعوه أنه يريد به الخير والهدى، ويريد أن يخرجه من الظلمات إلى النور؛ فإن هذا الأسلوب من أسباب قبول الدعوة، ومن أسباب قبول العلم، ولذلك قال الله جل وعلا في رسوله: وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ . آل عمران:159، وينبغي أن يكون الداعية إلى دين الله عز وجل رءوفاً رحيماً، كما قال الله جل وعلا في حق نبيّه صلى الله عليه وسلم: لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ . [التوبة:128]…
“Ini merupakan kehalusan beliau dan gaya penulisan yang bagus yang menunjukkan kelembutan beliau kepada orang yang menimba ilmu. Beliau mendoakan curahan rahmat bagi orang yang menimba ilmu, baik dia adalah sebagai pembaca maupun pendengar pelajarannya. Ini merupakan metode yang sangat penting dan cara yang sudah semestinya diperhatikan. Yaitu semestinya seorang pengajar dan da’i yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla menjadi seorang yang lembut dan penyayang. Begitu pula seharusnya orang yang didakwahi merasa bahwa da’i tersebut menginginkan kebaikan dan hidayah baginya. Hendaknya dia merasa bahwa sang da’i menginginkan agar dia terkeluarkan dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Sesungguhnya metode semacam ini merupakan salah satu penyebab diterimanya dakwah dan diterimanya ilmu yang disampaikan. Oleh sebab itulah Allah jalla wa ‘ala berfirman mengenai rasul-Nya (yang artinya), ‘Seandainya kamu adalah orang yang berhati kasar niscaya mereka akan lari dari sisimu.’ (Qs. Ali Imran: 159). Dan semestinya seorang da’i yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla menjadi seorang yang lembut lagi penyayang. Sebagaimana yang difirmankan Allah jalla wa ‘ala tentang diri Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), ‘Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, terasa berat apa saja yang menyusahkan kalian, dan sangat bersemangat memberikan kebaikan untuk kalian dan kepada orang-orang yang beriman sangat lembut dan penyayang.’ (Qs. at-Taubah: 128)…. ” (Syarh al-Ushul ast-Tsalatsah, hal. 4 software Maktabah asy-Syamilah)
Perintah untuk menebar kasih sayang
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ
“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Dalam riwayat Tirmidzi dengan teks,
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاء
“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah yang di atas muka bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan sahih oleh Tirmidzi dan disahihkan al-Albani)
Di dalam riwayat Ahmad dengan lafazh,
الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا أهل الأرض يرحمكم أهل السماء
“Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya penduduk langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib al-Arna’uth)
al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan,
والمراد بأهل السماء الملائكة ومعنى رحمتهم لأهل الأرض دعاؤهم لهم بالرحمة والمغفرة
“Yang dimaksud dengan penduduk langit adalah para malaikat. Makna kasih sayang mereka kepada penduduk bumi adalah berupa doa yang mereka panjatkan demi kebaikan mereka -penduduk bumi- berupa curahan rahmat dan ampunan…” (Tuhfat al-Ahwadzi [6/43] software Maktabah asy-Syamilah)
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan,
وهذا لأن الجزاء من جنس العمل، فكما أنهم يَرحمون يُرحمون، فحينما حصلت منهم رحمة للخلق الذين يستحقون الرحمة فجزاؤهم أن يرحمهم الله تعالى.
“Hal ini dikarenakan balasan atas suatu amal sejenis dengan amal yang dilakukan. Sebagaimana mereka menyayangi maka mereka pun disayangi. Ketika muncul kasih sayang dari mereka kepada orang-orang yang memang berhak untuk disayangi maka balasan untuk mereka adalah Allah ta’ala pun menyayangi mereka…” (Syarh Sunan Abu Dawud [28/249] software Maktabah asy-Syamilah)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah menjelaskan:
قال العلماء سبب ذلك أن مبنى هذا العلم الرحمة، ونتيجته الرحمة في الدنيا، وغايته الرحمة في الآخرة، لهذا الشيخ رحمه الله نبه على ذلك تنبيها لطيفا دقيقا حيث قال (اعلمْ -رحمكَ اللهُ-)؛ دعاء للمتعلم بالرحمة, ذلك لأن مبنى التعلم بين المعلم والمتعلم هو التراحم كلٌّ بما يناسبه.
“Para ulama mengatakan -ketika menjelaskan kandungan hadits tersebut, pent- bahwa sebabnya adalah dikarenakan ilmu ini dibangun di atas landasan rahmat (kasih sayang). Buahnya adalah rahmat di dunia dan tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan rahmat di akherat. Oleh sebab itulah Syaikh -Muhammad bin Abdul Wahhab- rahimahullah memberikan perhatian atasnya dengan cara yang halus dan lembut yaitu ketika beliau mengutarakan -di dalam risalah ini- dengan ucapannya, ‘Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu’. Ini merupakan doa agar orang yang menimba ilmu memperoleh curahan rahmat. Hal itu dikarenakan kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan antara pengajar dengan pelajar dibangun di atas landasan sikap saling menyayangi, satu sama lain -disayangi- sesuai dengan kedudukannya.” (Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 4)
Catatan: Hadits di atas merupakan salah satu dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa Allah berada di atas langit, bukan di mana-mana sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “… niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” Bahkan, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kami mengimani bahwa Allah berada di atas Arsy-Nya, sebagaimana telah diberitakan di dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak mengatakan bahwa Dia berada di setiap tempat. Akan tetapi Dia berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya di setiap tempat. Tidak ada satu tempat pun yang lutput dari ilmu-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ‘Apakah kalian merasa aman dari hukuman Tuhan yang berada di atas langit?’ (Qs. al-Mulk: 16)…” (ad-Dala’il al-Wafiyah fi Tahqiq ‘Aqidati an-Nawawi a Salafiyah am Khalafiyah, transkrip ceramah Syaikh Masyhur Hasan Salman, hal. 42-43).
al-Munawi rahimahullah menyebutkan:
ذكر بعض العارفين من مشائخنا أن حجة الإسلام الغزالي رؤي في النوم فسئل ما فعل الله به فقال : أوقفني بين يديه وقال : بماذا جئت فذكرت أنواعا من العبادات فقال : ما قبلت منها شيئا ولكن غفرت لك هل تدري بماذا ؟ جلست تكتب يوما فسقطت ذبابة على القلم فتركتها تشرب من الحبر رحمة لها فكما رحمتها رحمتك اذهب فقد غفرت لك
“Sebagian orang arif di kalangan para guru kami pernah menceritakan bahwasanya ada orang yang bermimpi bertemu dengan Hujjatul Islam al-Ghazali -rahimahullah- dalam tidurnya. Ketika itu beliau ditanya, apa yang Allah lakukan kepadanya. Maka beliau menjawab, ‘Allah memberdirikanku di hadapan-Nya, dan bertanya: ‘Dengan membawa apa kamu datang?’ Maka aku pun menyebutkan berbagai jenis ibadah -yang pernah kukerjakan-, lalu Allah mengatakan, ‘Tidak ada yang Aku terima dari itu semua sedikitpun, akan tetapi Aku telah mengampunimu. Tahukah kamu apa sebabnya? Suatu hari kamu sedang duduk menulis tiba-tiba ada seekor lalat yang jatuh menimpa pena -bersama tintanya- kemudian kamu biarkan ia minum dari tinta itu karena kasihan/sayang kepadanya. Maka sebagaimana kamu telah mengasihinya maka sekarang kini Akupun mengasihimu. Pergilah, aku telah mengampunimu.’.” (Faidh al-Qadir [3/11] software Maktabah asy-Syamilah)
Ancaman bagi orang yang tidak punya rasa kasih sayang
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau meriwayatkan:
أَنَّ الأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ أَبْصَرَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُ الْحَسَنَ فَقَالَ إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ وَاحِدًا مِنْهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّهُ مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ ».
“al-Aqra’ bin Habis suatu ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mencium al-Hasan -cucu beliau-, maka dia berkata: ‘Saya memiliki sepuluh orang anak namun saya belum pernah melakukan hal ini kepada seorang pun di antara mereka.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Sesungguhnya barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi.’.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafazh Muslim)
Dalam riwayat Abu Dawud dengan teks,
أَنَّ الأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ أَبْصَرَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يُقَبِّلُ حُسَيْنًا فَقَالَ إِنَّ لِى عَشْرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا فَعَلْتُ هَذَا بِوَاحِدٍ مِنْهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ »
“al-Aqra’ bin Habis suatu ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mencium Husain -cucu beliau-, maka dia berkata: ‘Saya memiliki sepuluh orang anak namun saya belum pernah melakukan hal ini kepada seorang pun di antara mereka.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Barang siapa yang tidak menyayangi maka dia tidak akan disayangi.’.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ
“Sesungguhnya Allah hanya akan menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang.” (HR. Bukhari)
Ibnu Batthal rahimahullah mengatakan,
فى هذه الأحاديث الحض على استعمال الرحمة للخلق كلهم كافرهم ومؤمنهم ولجميع البهائم والرفق بها . وأن ذلك مما يغفر الله به الذنوب ويكفر به الخطايا ، فينبغى لكل مؤمن عاقل أن يرغب فى الأخذ بحظه من الرحمة ، ويستعملها فى أبناء جنسه وفى كل حيوان…وكذلك ينبغى أن يرحم كل بهيمة وإن كانت فى غير ملكه ، ألا ترى أن الذى سقى الكلب الذى وجده بالفلاة لم يكن له ملكًا فغفر الله له بتكلفة النزول في البئر وإخراجه الماء فى خفه وسقيه إياه…
“Di dalam hadits-hadits ini terkandung dorongan untuk bersikap kasih sayang kepada segenap makhluk, yang kafir maupun yang beriman dan juga kepada segenap hewan piaraan dan bersikap lembut kepadanya. Dan sesungguhnya hal itu merupakan salah satu penyebab Allah akan mengampuni dosa dan menutupi kesalahan-kesalahan. Oleh sebab itu sudah semestinya setiap mukmin yang berakal bersemangat dalam mengambil bagian dalam upaya mewujudkan rasa kasih sayang dalam dirinya dan menerapkannya kepada sesama jenisnya -manusia- dan juga kepada segala jenis hewan -kecuali yang membahayakan, pent-…”… “Demikian pula semestinya dia menyayangi setiap hewan piaraan meskipun bukan miliknya sendiri. Tidakkah kamu melihat bahwa orang yang memberikan minum kepada anjing tak berpemilik yang ditemukannya di tengah padang tandus sehingga Allah pun berkenan untuk mengampuninya disebabkan usahanya dengan bersusah payah turun ke sumur dan mengambil airnya dengan terompahnya dan kemudian memberikan air itu untuk minum si anjing…” (Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Batthal, [9/219-220] software Maktabah asy-Syamilah)
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abi Jamrah,
ويحتمل أن يكون المراد من لا يكون فيه رحمة الإيمان في الدنيا لا يرحم في الآخرة أو من لا يرحم نفسه بامتثال أوامر الله واجتناب نواهيه
“Bisa juga ditafsirkan maknanya adalah bahwa barang siapa yang pada dirinya ketika di dunia tidak terdapat rahmat keimanan maka dia tidak akan mendapat rahmat di akherat. Atau barang siapa yang tidak mengasihi dirinya sendiri dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya -maka Allah juga tidak akan mengasihinya kelak di akherat, pent-…” (Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari [10/440] software Maktabah asy-Syamilah)
Ringkasan
Nah, dengan mencermati penjelasan para ulama di atas jelaslah bagi kita bahwa di dalam doa rahmat yang dipanjatkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di awal mukadimah risalahnya ini terkandung banyak pelajaran berharga, di antaranya:
- Penyebaran ilmu ini dilandaskan oleh rasa kasih sayang kepada umat manusia.
- Semestinya seorang pengajar bersikap lemah lembut kepada orang yang diajarinya.
- Kelembutan merupakan unsur penting dalam dakwah dan salah satu sebab diterimanya dakwah.
- Hal ini juga menunjukkan hendaknya seorang da’i menempuh cara termudah agar orang yang didakwahi menerima dan memahami apa yang didakwahkannya. Salah satu caranya adalah dengan medoakan kebaikan atau hidayah baginya, sebagaimana kisah Abu Hurairah radhiyallahu’anhu yang meminta kepada Nabi untuk mendoakan ibunya yang tidak mau masuk Islam. Kemudian berkat doa beliau akhirnya ibunya masuk Islam.
- Barang siapa yang mengasihi sesama maka Allah pun akan mengasihinya.
- Kasih sayang yang sejati adalah yang membimbing manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan abadi di akherat nanti.
- Islam memuji orang-orang yang mempunyai rasa kasih sayang dan mencela orang yang tidak memilikinya.
- Orang yang paling jelek adalah yang tidak menyayangi dirinya sendiri yaitu dengan tidak beriman, tidak mau tunduk kepada perintah Allah dan tidak mau menjauhi larangan-larangan-Nya.
- Hendaknya bersikap kasih sayang kepada sesama manusia bahkan kepada hewan sekalipun.
- Balasan yang diberikan sejenis dengan bentuk amal yang dilakukan. Barang siapa yang menyayangi maka akan disayangi. Barang siapa yang mengingat Allah maka Allah akan mengingatnya. Barang siapa menjaga -aturan- Allah maka Allah pun akan menjaganya. Barang siapa yang membela -agama- Allah maka Allah pun akan menolongnya. Demikian seterusnya…
Demikianlah pembahasan ringkas yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini. Semoga Allah ta’ala berkenan untuk menerima amal ini dan menjadikannya bermanfaat bagi kami dan pembaca sekalian. Masih banyak pelajaran berharga yang tersimpan dalam risalah mungil ini, kita berharap kepada Allah agar memberikan kesempatan kepada kita untuk mengkajinya dan kemudian mengamalkan ilmu yang kita pahami darinya.
Allahumma inna nas’aluka ‘ilman naafi’an wa na’uudzubika min ‘ilmin yaa yanfa’ (Ya Allah, kami memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat). Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Rabu 11 Syawwal 1430 H
Hamba yang fakir kepada Rabbnya
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id