Reformasi Akhlak Melalui Ibadah Haji (1)
Agama islam adalah agama yang mengajarkan akhlak mulia, norma-norma kemanusiaan dan keadilan. Ia menanamkan pada jiwa setiap muslim, kewajiban untuk berbudi pekerti baik, bertindak dengan bijak. Jikalau kita mengamati syariat agama kita ini, dari amalan yang paling kecil hingga yang paling besar, niscaya kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa setiap ajaran yang diajarkan, bertujuan mewujudkan kemuliaan akhlak dan kesucian jiwa. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan akan hakikat ini dengan jelas dalam sabdanya:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.” (HR. Ahmad)
Bila kita membaca siroh (perjalanan hidup) beliau, niscaya akan kita dapatkan wujud nyata dari sabda beliau ini, beliau benar-benar sebagai uswah paling bagus dalam menerapkan akhlak karimah. Sebagai seorang hamba, beliau adalah hamba Allah yang paling mulia akhlaknya, sebagai seorang pemimpin, beliau adalah pemimpin yang paling adil, bijak, dan sabar, sebagai seorang suami, beliau adalah suami yang paling baik terhadap istrinya.
Allah telah memberikan persaksian-Nya akan hal ini dengan berfirman:
وإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sungguh-sungguh engkau berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam: 4)
Bila kita hendak menghitung satu persatu akhlak beliau, niscaya kita akan menghadapi kesulitan, oleh karena itu Aisyah memberikan gambaran yang sangat jelas akan akhlak beliau dengan mengatakan:
كَانَ خُلُقُهُ القُرْآن
“Akhlak beliau adalah Al Quran.”
Kalau kita mempelajari makna “akhlak” lebih mendalam, dengan mengumpulkan dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah yang berhubungan dengan akhlak hasanah, maka kita akan dapatkan bahwa kata “akhlak” memiliki kandungan makna yang sangat luas. Kita akan mendapatkan penjelasan kewajiban berakhlak hasanah dengan Allah ‘azza wa jalla, berakhlak hasanah dengan sesama manusia dengan berbagai macam bentuk dan keyakinan mereka,, berakhlak hasanah dengan diri sendiri, dan berakhlak hasanah dengan makhluk lain, seperti malaikat, jin, binatang dan lain sebagainya.
Inilah hakikat agama islam, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, sehingga banyak dari mereka beranggapan, bahwa agama islam identik dengan kekerasan, teroris, kaku, dll. Dan untuk lebih jelasnya, mari kita renungkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Al Hakim dll)
Manasik Haji Cerminan Bagi Akhlak Mulia
Haji adalah salah satu rukun islam, haji adalah ibadah yang tergabung padanya antara amalan badan dan pengorbanan harta, dan haji adalah salah satu ibadah yang paling agung, yang memiliki kandungan makna, dan hikmah yang sangat luas lagi mendalam. Para ulama menyatakan, bahwa haji adalah salah satu madrasah yang sangat agung, untuk menggembleng keimanan seorang muslim.
وأَذِّن فِي النَّاسِ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُم وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِيْ أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِنْ بَهِيمَة الأَنْعَام
“Dan kumandangkanlah ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan agar mereka menyebut Nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan, atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al Haj: 27-28)
Ulama mengomentari bahwa yang dimaksudkan dengan kata “menyaksikan manfaat” adalah mendapatkannya, bukan sekedar melihat, akan tetapi mendapatkannya.
Ibnu Abbas menafsiri kata ( مَنَافع ) ayat ini dengan mengatakan: “Manfaat di dunia dan manfaat di akhirat, adapun manfaat di akhirat adalah keridhoan Allah ‘azza wa jalla, dan manfaat di dunia adalah mendapatkan pembagian daging korban, sesembelihan, dan perdagangan.” (Ad Durrul Mantsur 6/37)
Dan Al Mujahid menafsirkan dengan berkata: “Manfaat adalah perdagangan dan setiap hal yang menjadikan Allah ridho dari urusan dunia dan akhirat.” (Tafsir At Thobari 17/147)
Ibadah haji bukan hanya sebuah rentetan amalan sakral yang tidak diketahui manfaat dan hikmah dari pelaksanaannya. Akan tetapi ibadah haji –sebagaimana ibadah-ibadah lainnya- penuh dengan maksud-maksud dan hikmah-hikmah yang sangat indah dan besar. Kalau kita perhatikan fakta yang ada pada jamaah haji pada umumnya, dan pada diri kita saat melaksanakan ibadah yang mulia ini, akan kita lihat terjadinya perbedaan antara sesama mereka dalam mengambil hikmah, dan menyelami kandungan makna ibadah ini.
Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah, bila setiap muslim memikirkan, dan memberikan sebagian perhatiannya agar semakin banyak rahasia-rahasia, atau hikmah-hikmah dari amalan-amalan ibadah ini, yang kita dapatkan
Sebagaimana telah disebutkan dalam Muqaddimah, bahwa agama islam adalah agama akhlak, yang menjadikan kesucian jiwa, atau yang sering disebut dengan akhlak –dengan berbagai macamnya, sebagai tujuan dari setiap syariatnya. Dan kalau kita amati, dan renungkan setiap amalan-amalan yang terdapat pada ibadah haji, niscaya masing-masing amalan adalah bukti kuat akan kebenaran apa yang telah diisyaratkan di atas.
Berikut ini saya akan berusaha untuk sedikit memaparkan beberapa hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang terpendam dibalik amalan-amalan ibadah haji, dengan harapan menjadi pilar bagi jamah haji Indonesia untuk lebih mendalami dan menghayati akan makna-makna yang terkandung di dalamnya; sehingga amalan ibadah mereka semakin baik dan semakin besar peluang untuk menjadi haji yang mabrur, dan ibadah haji benar-benar dapat terwujud dalam kepribadian dan budi pekerti setiap bapak dan ibu haji. Dan ulasan saya ini, akan saya urutkan sesuai dengan urutan pembagian akhlak yang telah saya sebutkan pada awal makalah ini.
1. Akhlak Dengan Allah
Ibadah haji, dari amalan paling pertama, yaitu talbiyyah, hingga amalan paling akhir, yaitu thawaf wada’, penuh dengan pendidikan akhlak dengan Allah, Sang Pencipta ‘azza wa jalla.
Ucapan Talbiyyah
لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك، لا شريك لك
“Kusambut panggilan-Mu, Ya Allah, kusambut panggilan-Mu, Kusambut
panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, Kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya
segala puji, karunia, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, tiada sekutu
bagi-Mu.”
Talbiyyah ini adalah puncak pengikraran iman dan tauhid, di mana hakikat iman dan tauhid adalah pengagungan Allah dengan sebenar-benarnya. Pada talbiyyah ini, kita mengikrarkan bahwa segala pujian, kenikmatan dengan berbagai macam dan wujudnya, dan segala kekuasaan, termasuk ke dalamnya mengatur alam semesta ini, hanya milik Allah, tiada satu pun yang menjadi sekutu bagi Allah dalam semua hal-hal tersebut. Oleh karena itu sebagai kelaziman dari ikrar, kita hanya bersyukur dengan menujukan segala macam ibadah kepada-Nya semata.
Dan sikap yang demikian ini, merupakan puncak akhlak yang mulia dengan Allah, di mana kita mengakui bahwa Allah-lah yang menciptakan, mengatur, dan hanya Dia-lah yang berhak disembah. Untuk lebih mengetahui bahwa ucapan talbiyyah ini adalah wujud nyata dari akhlak mulia dengan Allah, maka mari kita bandingkan ucapan ini dengan talbiyyah orang-orang musyrikin pada zaman dahulu. Mereka mengucapkan:
لَبَّيكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ إلاَّ شَرِيكاً هُوَ لَكَ، تَمْلِكُهُ وَمَا مَلَكَ
“Kusambut panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang Engkau miliki, Engkau menguasainya dan apa yang ia miliki.”
Betapa rendahnya akhlak mereka kepada Allah, mereka mengakui bahwa sekutu yang mereka sembah di bawah kekuasaan Allah, akan tetapi mereka tetap mendudukkannya sejajar dengan Allah. Oleh karena itu Allah, berfirman tentang mereka:
وَمَا قَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ والأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُه يَومَ القِيَامَة والسَمَاواتُ مَطْوِيَّات بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari qiyamat, dan langit-langit digulung dengan Tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah, dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az Zumar: 67)
Thawaf
Setiba jamaah haji di kota Mekkah, maka pertama yang dilakukan adalah bersuci, lalu thawaf mengelilingi ka’bah. Thawaf adalah amalan yang sangat agung dan dicintai Allah ta’ala:
وَعَهِدنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وإسمَاعيل أَنْ طَهِّرا بَيتِيَ للطَّائِفِين وَالعاكِفِين والرُكَّع السُّجود.
“Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Sucikanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf , yang I’tikaf, yang ruku’ dan sujud.” (QS Al Baqoroh: 125)
Tatkala seorang muslim menjalankan ibadah yang agung, niscaya ia akan mendapatkan pelajaran penting, yaitu keyakinan bahwa ibadah thawaf, hanya ia lakukan di ka’bah, sehingga ia tidak akan melakukannya di tempat lain, baik di kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kuburan wali.
Imam An Nawawi berkata: “Tidak diperbolehkan untuk berthawaf mengelilingi kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga dimakruhkan untuk menempelkan punggung atau perut kepada dinding kuburan beliau, … Dan tidak boleh kita terpengaruh oleh pelanggaran dan perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam. Karena sesungguhnya kita hanya mencontoh, dan mengamalkan apa yang disebutkan dalam hadits yang shohih, dan yang disebutkan oleh para ulama. Dan tidak sepantasnya kita menoleh kepada perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap bodoh yang mereka lakukan.”
Beliau menukilkan ungkapan Al Fudlail bin ‘Iyadl: “Ikutilah jalan-jalan hidayah, dan jangan engkau merasa takut karena sedikitnya penempuh jalan tersebut. Dan hati-hatilah engkau dari jalan-jalan kesesatan, dan jangan terperdaya oleh banyaknya penempuh jalan tersebut.” (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 8/203)
Dan di antara amalan yang disunahkan dalam ibadah thawaf adalah mencium Hajar Aswad. Sahabat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu mengisahkan: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau tiba di Mekkah, dan menjalankan thawaf pertama kali, beliau menyentuh Hajar Aswad, lalu berlari-lari kecil sebanyak tiga kali putaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikianlah disunahkan bagi setiap kaum muslimin untuk mencium Hajar Aswad, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjalankan sunnah-sunnahnya, bukan karena meyakini bahwa Hajar Aswad memiliki kekuasaan untuk memberi manfaat atau memberi madharat, atau khasiat tertentu.
Oleh karena itu Khalifah Umar bin Khatthab ketika mencium Hajar Aswad, beliau berkata: “Sungguh demi Allah aku menyadari bahwa engkau adalah sebuah batu yang tidak bisa memberi manfaat atau madharat, dan seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian yang disyariatkan untuk disentuh/diusap hanyalah Hajar Aswad dan Rukun Yamani, selain keduanya, yaitu kedua Rukun Syami (kedua sudut Hijir Ismail) dan juga tempat-tempat lainnya tidak diperbolehkan untuk diusap atau dicium, baik maqom Ibrahim, kuburan Nabi, atau Wali, atau masjid, atau yang lainnya.
Imam Ahmad meriwayatkan: bahwa suatu saat sahabat Muawiyah radhiallahu ‘anhu sedang menjalankan thawaf bersama dengan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, dan ketika Muawiyah melintasi kedua sudut Hijir Ismail, beliau mengusap keduanya, maka sekonyong-konyong Ibnu Abbas menegurnya dan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengusap kedua sudut ini.”
Imam An Nawawi tatkala membahas adab berziarah kepada kuburan Nabi, beliau berkata: “Dan dimakruhkan mengusap dinding kuburan, atau menciumnya, akan tetapi adab yang benar adalah kita menjaga jarak dari kuburan, sebagaimana kita menjaga jarak dari beliau, bila kita berhadapan dengannya semasa hidupnya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan inilah adab yang benar, yang dinyatakan oleh para ulama, dan mereka bersepakat atasnya… Dan barang siapa yang terbetik dalam benaknya, bahwa mengusap-usap dinding kuburan Nabi, atau yang serupa akan lebih mendapatkan barokah, maka anggapan yang demikian ini adalah bagian dari kebodohan dan kelalaiannya; karena keberkahan hanyalah didapatkan pada perbuatan yang sesuai dengan syariat. Dan bagaimana mungkin keberuntungan bisa didapatkan dari sikap menentang kebenaran.” (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 8/203)
Setelah melaksanakan ibadah thawaf, orang yang menjalankan ibadah haji akan berbondong-bondong menuju gunung Shafa dan Marwah, guna menjalankan ibadah sa’i tujuh kali. Ibadah ini mengingatkan kita kepada kisah sebuah keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Allah, mereka menjalankan perintah Allah, dengan penuh keimanan, yaitu keluarga Abul Anbiya’ Ibrahim ‘alaihi sallam.
Tatkala Allah memerintahkan Nabi Ibrahim agar menempatkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail (yang kala itu masih menyusu), di Mekkah (yang dahulu bernamakan pegunungan Faran), maka beliau menaati perintah ini. Beliau menempatkan keduanya di atas sebuah batu besar, yang terletak diatas sumur zam-zam (kala itu di tempat tersebut tidak ada air, juga tidak ada penghuninya). Lalu Nabi Ibrahim hanya memberikan bekal untuk keduanya sekantung kurma, dan sebejana air.
Kemudian Nabi Ibrahim pergi meninggalkan keduanya, sehingga Hajar mengikutinya dari belakang, dan berkata: “Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi, apakah engkau akan tinggalkan kami di lembah ini, yang tidak ada seorang manusia pun, juga tidak ada sesuatu.” Ia mengulang-ulang perkataannya ini, akan tetapi Nabi Ibrahim tidak menoleh sedikit pun.
Lalu Hajar berkata: “Apakah Allah yang memerintahkan engkau dengan hal ini?” maka Nabi Ibrahim menjawab: Ya. Maka Hajar berkata: “Kalau demikian, Ia tidak akan menyia-siakan kami.” (HR. Bukhari)
Ini adalah sebuah gambaran bagi sebuah keluarga yang iman dan tawakal telah tertanam dan menyatu dengan hati mereka, sehingga dalam keadaan seperti disebut, Hajar yakin bahwa Allah pasti memberikan jalan keluar dari segala apa yang akan ia hadapi. Ini adalah sebuah pelajaran penting yang seharusnya selalu diingat-ingat oleh setiap orang yang sedang menjalankan ibadah ini, kemudian ia jadikan kisah ini sebagai pilar dalam kehidupannya. Terutama pada di saat menghadapi berbagai problema dalam kehidupan di dunia ini, tidak ada kata putus asa, patah semangat, atau kecil hati.
Oleh karena itu, setelah Nabi mengisahkan kisah perjuangan Hajar mencari air, dan berlari-lari antara gunung Shafa dan Marwah, beliau bersabda:
فَذَلِكَ سَعَيُ النَّاسِ
“Itulah kisah kenapa manusia bersa’i, (berlari).” (HR. Bukhari)
Wukuf Pada Hari Arafah
Hari Arafah, adalah hari yang paling agung, hari yang padanya kaum muslimin dengan jumlah yang sangat besar berkumpul di satu tempat, dengan pakaian yang sama, amalan sama, tujuan sama. Hari yang padanya turun berbagai rahmat Allah, dan diampunkan padanya dosa-dosa manusia, dan hari yang padanya pula Allah paling banyak membebaskan manusia dari neraka. Pada hari ini pula Allah menyempurnakan agama dan kenikmatan bagi umat ini:
اليَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُم دينكم وأتممتُ عليكمْ نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al Maaidah: 3)
Oleh karena itu, pada hari ini setiap jamaah haji menunjukkan sikap tunduk, merendahkan diri, banyak berdoa, menggantungkan segala harapannya hanya kepada Allah ta’ala, banyak berzikir, berdoa, meninggalkan segala kegiatan selain menghadapkan jiwa dan hatinya hanya kepada Allah; agar ia termasuk orang yang dibebaskan dari neraka pada hari ini. Mari kita perhatikan bersama sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
(خَيْرُ الدُّعَاء دُعَاءُ يَومَ عَرَفَةَ، وخَيْرَ مَا قُلْتُ أَنَا والنَّبيُّون مِنْ قَبْلِي: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيئٍ قَدِيْر).
“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari arafah, dan sebaik-baik doa yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah doa: LA ILAHA ILLALLAHU WAHDAHU LA SYARIKA LAHU LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QODIR (Tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah kekuasaan, dan milik-Nyalah segala pujian, sedangkan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa).” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Ini adalah doa paling utama, yang diucapkan pada hari yang paling utama, hari yang padanya disempurnakan agama kita ini, sehingga sangatlah sesuai bila pada hari yang demikian agungnya, kita mengucapkan doa yang paling agung. Sungguh sebuah akhlak seorang hamba yang sempurna, betapa tidak, pada hari yang paling agung, beliau mengucapkan doa yang paling agung, yang bermaknakan: mengesakan Allah dengan segala macam ibadah, dan berlepas diri dari segala macam bentuk kesyirikan, dan sesembahan selain Allah.
Doa ini adalah dasar dari agama ini, kunci untuk membuka pintu surga, dan dengan kalimat inilah para rasul diutus, oleh karena itu hendaknya setiap jamaah haji dianjurkan memperbanyak ucapan doa ini. Akan tetapi, adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk mengetahui bahwa ucapan ini tidaklah akan diterima, bila tidak disertai oleh penghayatan dan pengamalan makna dan kandungannya
Hal ini sangat penting sekali, dikarenakan orang yang mengucapkan kalimat ini, kemudian tanpa meyakini akan maknanya, maka ia disebut munafik, dan orang yang mengucapkannya, akan tetapi amalannya bertentangan dengan makna kalimat ini, maka ia adalah orang musyrik, termasuk di dalamnya orang yang mengucapkannya, akan tetapi ia menujukan sebagian ibadah, seperti meminta rezeki, kesembuhan, tawassul, istighotsah, pertolongan, tawakal, kepada selain Allah.
Di antara akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dari amalan-amalan haji, adalah sikap mencontoh sunnah-sunnah beliau dalam menjalankan ibadah agung ini. Beliau telah menekankan akan kewajiban berpegang teguh dengan akhlak ini dalam sabda beliau:
لِتَأخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِّي لاَ أَدْرِي لَعَلَّي لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
“Hendaknya kalian mencontoh (dalam menunaikan) manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak tahu, mungkin aku tidak berhaji lagi setelah hajiku ini.” (HR. Muslim)
Beribadah kepada Allah dengan cara mencontoh sunnah-sunnah Rasulullah, adalah akhlak yang wajib untuk dimiliki oleh setiap muslim, bukan hanya selama menjalankan ibadah haji, akan tetapi untuk selama-lamanya.
Sebagai seorang yang beriman kepada Allah, kita bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah, akan tetapi beribadah kepada Allah dengan cara yang Allah ajarkan melalui lisan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِين آمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ واتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيْم
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujuraat: 1)
Ayat ini merupakan adab yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-Nya kaum mukminin, dalam bermuamalah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu agar mereka tidak berburu-buru dalam segala sesuatu dan mendahului kehendak beliau, akan tetapi mereka diharuskan mengikuti perintah beliau dalam segala hal, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/205)
Sahabat Ibnu Abbas tatkala menafsiri ayat ini beliau mengatakan: “Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya”, maksudnya adalah janganlah kalian mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan Al Kitab dan As Sunnah.
Oleh karena itu adalah wajib hukumnya bagi setiap jamaah haji, untuk mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan manasiknya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas, dan ini adalah perwujudan dari akhlak, penghormatan dan pengagungan kita sebagai seorang mukmin terhadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini merupakan tolok ukur akan keimanan setiap muslim:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, sedangkan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Reformasi Akhlak Melalui Ibadah Haji (2)
2. Akhlak Dengan Sesama Manusia
Semenjak Allah menurunkan agama islam ini kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah telah mewajibkan kepada umat ini untuk berprilaku baik, berakhlak mulia, dan menghormati sesama manusia, terlebih-lebih sesama kaum mukminin. Bahkan islam menjadikan pergaulan, dan muamalah yang baik sebagai tolok ukur bagi keimanan seseorang:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dll)
Seorang muslim yang sedang menjalankan ibadah haji, pada hakikatnya
sedang menjalani penggemblengan akhlak, sehingga bila ia benar-benar
menjalani ibadah ini dengan baik, niscaya akan ada perubahan pada
kepribadian dan perilakunya. Semenjak pertama kali seseorang memasuki
ibadah haji, yaitu dengan berihram, maka ia tidak dibenarkan untuk
berkata-kata jelek, atau melakukan kezaliman terhadap orang lain. Bukan
hanya perbuatan kezaliman, bahkan hal yang akan mendatangkan kata-kata
jelek, dan perbuatan zalim dilarang pula. Hal ini untuk membiasakan
kita agar bisa menjauhi perbuatan-perbuatan tersebut.
الحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُوْمَاتُ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الحَجِّ
“(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang telah diketahui, maka barang siapa yang telah menetapkan niat pada bulan ini untuk menunaikan haji, maka tidak boleh berbuat rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam melaksanakan haji.” (QS. Al Baqoroh: 197)
Rafats adalah berjima’ atau melakukan hal-hal yang mengundang timbulnya birahi, atau berbicara tentangnya di hadapan wanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/236-237)
Adalah salah satu bagian dari kepribadian seorang muslim yang sejati, ia meninggalkan segala hal yang tidak berguna bagi dirinya, termasuk dalamnya perdebatan yang tidak bermanfaat, terlebih-lebih bila perdebatan tersebut hanya akan mendatangkan timbulnya hal yang tidak terpuji. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ رَبَضِ الجَنَّة لِمَنْ تَرَكَ المِرَاء وَإِنْ كَان مُحِقّاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin, akan mendapatkan sebuah rumah di surga bagian bawah, bagi orang yang meninggalkan perdebatan, walaupun ia benar, dan sebuah rumah di tengah-tengah surga, bagi orang meninggalkan perbuatan dusta, walau hanya bergurau, dan sebuah rumah di surga paling tinggi, bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR. Abu Dawud, At Thabrani, Al Baihaqi dll, dan dihasankan oleh Al Haitsami)
Ditambah lagi, ketika jamaah haji berada di kota Mekkah, maka ia akan selalu mengingat firman Allah:
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحِادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ
“Dan barang siapa yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya (Mekkah), niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian azab yang pedih.” (QS. Al Haj 25)
Para ulama menyebutkan, bahwa termasuk keistimewaan kota Mekkah, adalah barang siapa yang berniat untuk berbuat kejahatan di kota Mekkah, maka ia akan mendapatkan azabnya, walaupun ia belum melaksanakannya. Sahabat Ibnu Mas’ud menyatakan: “Seandainya ada orang di kota Aden (Yaman) yang berniat berbuat kejahatan di kota Mekkah dengan semena-mena, niscaya Allah akan menimpakan kepadanya sebagian azab yang pedih.” (diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Hakim). Seandainya selama jamaah haji berada di kota Mekkah, benar-benar menghayati akan makna ayat ini, -Insya Allah- hatinya akan suci, dan akhlaknya menjadi mulia.
Di antara salah satu pelajaran penting yang bisa diambil oleh jamaah haji, dari amalan wukuf di padang Arafah, di mana seluruh jamaah haji mengenakan pakaian yang sama, berpenampilan sama, sehingga tidak kelihatan perbedaan derajat, kedudukan, kekayaan, yang ada di antara mereka. Ini adalah sebuah pemandangan yang mengingatkan akan satu hakikat yang telah dilalaikan oleh kebanyakan manusia; yaitu: Bahwa tidaklah ada perbedaan antara manusia di hadapan Allah, kecuali dengan ketakwaan.
Hakikat ini telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan dalam salah satu khotbah beliau pada hajjatul wada’ dengan bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ، أَلاَ إِنَّ رَبَّكم وَاحِدٌ وإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ لأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ لأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Wahai para manusia! Ketahuilah, bahwasanya Tuhan kalian adalah satu, dan ayah kalian adalah satu. Ketahuilah! Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang ‘ajam (non Arab), dan juga tidak bagi orang ‘ajam atas orang Arab, juga tidak bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan juga tidak bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad)
Sebagai salah satu praktek nyata yang pernah Rasulullah ajarkan kepada umatnya, adalah sabda beliau kepada sahabat Umar bin Khottob:
يَا عُمَرُ، إِنَّكَ رَجُلٌ قَوِيٌّ، لاَ تُؤْذِ الضَّعِيْفَ إِذا أَرَدْتَ اسْتِلاَمَ الحَجَرَ، فَإِنْ خَلاَ فَاسْتَلِمْهُ وَإلاَّ فاسْتَقْبِلْهُ وَكَبِّرْ
“Wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah lelaki yang kuat, maka janganlah engkau menyakiti orang yang lemah, bila engkau hendak mengusap hajar (aswad), bila engkau mendapatkan kesempatan senggang, maka silakan engkau mengusap, dan bila tidak, maka silakan engkau menghadap kepada hajar aswad, lalu bertakbirlah.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqy)
Marilah kita bandingkan hadits ini dengan kenyataan yang terjadi di sekitar Hajar Aswad, niscaya akan kita dapatkan praktek-praktek yang sangat bertentangan dengan maksud-maksud ibadah haji. Pendidikan ini, tidak terbatas hanya semasa jamaah haji berada di kota Mekkah saja, bahkan di saat mereka berkunjung ke kota Madinah pun akan mendapatkan hal yang sama, karena kedua kota ini memiliki banyak persamaan, keduanya adalah tanah haram.
المَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عِيْرٍ وثَوْرٍ فَمَنْ أحْدَثَ فِيْهَا حَدَثاً أَوْ آوَى مُحْدِثاً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ والمَلاَئِكَةِ والنَّاسِ أَجْمَعِيْن، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفاً وَلاَ عَدْلاً
“Madinah adalah tanah haram, antara gunung ‘Ir dan Tsaur, maka barang siapa yang berbuat kesalahan di dalamnya, atau melindungi orang yang berbuat kesalahan, maka ia ditimpa laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia, Allah tidak akan menerima darinya pengganti atau tebusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bila hal ini benar-benar dihayati oleh setiap jamaah haji, berarti ia benar-benar menjalani pendidikan akhlak, dan penyucian jiwa, sehingga perangai baik dan budi luhur yang ia lakukan selama satu bulan lebih, akan menyatu dengan darah dagingnya.
3. Akhlak Dengan Diri Sendiri
Bila kita renungkan dan kita pelajari apa yang terjadi di sekitar kita, dari kejahatan dan perbuatan yang tidak terpuji, niscaya kita akan berkesimpulan, bahwa yang menyebabkan mereka melakukan perbuatan tersebut adalah dua hal:
- Hawa nafsu yang tidak dikendalikan.
- Kebodohan.
Pada ibadah haji, terdapat banyak hal yang kalau kita pikirkan dengan baik, ternyata merupakan ajaran yang mengajak dan membina umat agar bisa terlindung dari dua penyebab kemaksiatan tersebut. Marilah kita bersama-sama perhatikan sebagian manasik haji, untuk membuktikan kebenaran ungkapan ini.
Larangan-Larangan Ihram
Semenjak seseorang memulai ihramnya, yaitu dengan berniat menjalankan ibadah haji, dan telah mengenakan pakaian ihram, maka ia diharamkan melakukan beberapa hal, yang sebelumnya diperbolehkan. Ia tidak boleh berjima’ atau melakukan hal yang membangkitkan syahwat, memakai wewangian, mengenakan pakaian yang berjahit, memotong kuku, rambut dll.
Para ulama menyebutkan alasan dilarangnya memotong rambut, kuku, menggunakan wewangian, adalah untuk meninggalkan perbuatan taraffuh (berfoya-foya), sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab fikih. Ini semua adalah merupakan latihan, yang dijalani oleh jamaah haji, untuk mendidik jiwa dan nafsunya, sehingga ia bisa mengendalikan hawa nafsunya, dan mengarahkannya kepada yang dihalalkan dalam syariat.
Wukuf di Arafah
Pemandangan wukuf di Arafah adalah sebuah pemandangan yang sarat dengan hikmah, di antaranya, mengingatkan kita semua akan adanya hari kebangkitan, di mana semua manusia akan dibangkitkan dari alam kuburnya, dan menghadap kepada Allah ta’ala. Bangkit dalam keadaan tidak ada perbedaan derajat, kekayaan, pangkat, kecuali perbedaan iman dan takwa.
Semua jamaah haji memanjatkan doa dan hajatnya langsung kepada Allah tanpa ada perantara atau penerjemah, demikian pulalah halnya yang akan terjadi kelak pada hari kiamat. Kita akan menghadap kepada Allah dan mempertanggung jawabkan seluruh amalan kita selama di dunia, tanpa ada penerjemah atau perantara. Penghayatan yang demikian ini, akan menimbulkan rasa tawadhu’, dan mengikis habis kesombongan dari hati manusia.
Melempar Jumrah
Salah satu amalan dalam ibadah haji yang penuh dengan hikmah adalah amalan melempar jumrah, dikarenakan ini adalah salah satu simbol permusuhan antara manusia dan syaitan. Amalan ini mengingatkan kita kepada kisah Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail, tatkala Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih anaknya Ismail, serta usaha syaitan untuk menggoda keduanya.
Oleh karena itu, hendaknya amalan ini tidak berhenti sebatas sebuah simbol, dan tidak dilanjutkan pada amalan nyata. Sebagai salah satu perwujudan dari pengamalan dari simbol ini, adalah tata cara melempar jumrah, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita cara melempar yang benar, yaitu dengan menggunakan batu yang kecil, tidak terlalu kecil, dan juga tidak terlalu besar. Ukuran batu lempar jumrah ini adalah sebuah contoh untuk kita, agar selalu menjauhi sikap berlebih-lebihan/ekstrem (ghuluw’ ) dalam segala hal.
بِأَمْثَالِ هَؤُلاَءِ بِأَمْثَالِ هَؤُلاَءِ، وإيَّاكُمْ وَالغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فإِنَّما هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم بِالْغُلُوِّ فِيْ الدِّين
“Dengan menggunakan bebatuan seperti itu, Dengan menggunakan bebatuan seperti itu, dan hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw’ (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa, dikarenakan sikap ghuluw’ dalam agama.” (HR. Ahmad, An Nasa’i, Al Hakim dll)
4. Akhlak Dengan Makhluk Lain
Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk membawa kerahmatan kepada alam semesta, bukan hanya manusia saja yang mendapatkan perhatian dalam islam, bahkan semua yang ada di alam ini mendapatkan bagiannya. Oleh karena itu, makhluk selain manusia akan mendoakan orang-orang yang menerapkan syariat-syariat islam, juga orang-orang yang mengajarkannya.
إِنَّ اللهَ ومَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلُ السَّمَاوَات والأَرَضِيْنَ حَتى النَّمْلَةُ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الحُوتُ فِي البَحْرِ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِي النَّاسَ خَيْراً. رواه الترمذي والطبراني.
“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut dalam lubangnya dan ikan di lautan, mendoakan kebaikan untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi dan Thabrani)
Di saat menunaikan ibadah haji (di saat berihram), kita dilarang berburu, mengganggu atau menghalau binatang liar yang kita jumpai, ini adalah salah satu wujud nyata dari kerahmatan yang Allah turunkan kepada alam semesta, termasuk binatang buruan, Dan termasuk akhlak yang diajarkan kepada kita, agar tidak membunuh, atau mengganggu binatang, kecuali kalau ada alasan yang dibenarkan, mari kita renungkan bersama kisah berikut:
Dikisahkan dalam sebuah hadits bahwa ada seorang wanita penzina yang diampuni dosanya, karena ia memberi minum seekor anjir yang hampir mati kehausan. Akan tetapi sebaliknya, ada seorang wanita yang dimasukkan neraka gara-gara mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan. Kedua kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Tidak berhenti sampai di sini akhlak baik yang diajarkan kepada kita dengan binatang, bahkan sampai saat menyembelih pun kita diajarkan untuk tetap berpegang teguh dengan akhlak yang mulia.
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيئٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا القِتْلَةَ، وَإذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. رواه مسلم
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan perbuatan (ihsan) baik dalam segala sesuatu, maka bila engkau membunuh, hendaknya kalian membunuh dengan cara yang baik, dan bila menyembelih, hendaknya menyembelih dengan cara yang baik, hendaknya kalian menajamkan pisau sembelihannya, dan hendaknya ia membiarkan binatang sembelihannya hingga tenang (benar-benar mati, baru dikuliti, dan dipotong-potong)” (HR. Muslim)
Ini sebagian dari hikmah-hikmah yang bisa kita ambil dari amalan haji, yang kalau kita bisa mengamalkannya, insya Allah haji kita menjadi haji yang mabrur, karena kita menjalankannya penuh dengan penghayatan akan apa yang kita amalkan. Bukan hanya sekedar amalan sakral yang kita jalani tanpa ada penghayatan dan hikmah yang kita dapatkan.
Pada akhirnya, saya tidak memiliki kata yang lebih indah dari doa: semoga Allah memberikan taufik dan ‘inayah-Nya kepada pemerintah, dan kepada kaum muslimin di negeri kita secara umum, jamaah haji secara khusus, dan semoga ibadah haji mereka menjadi haji yang mabrur, yang pahalanya adalah surga. Kemudian, saya mengucapkan puja dan puji syukur kepada Allah ta’ala, dan sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya hingga hari kiamat. Wallahu a’lam bisshowwab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.muslim.or.id
Tanda-Tanda Haji Mabrur
Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan maqashid syari’ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits qudsi),
قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
“Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan untuk hamba-hambaKu yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terdetik di hati manusia.” [1]
Untuk haji secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.”[2]
Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu dengan ulama dan keuntungan berdagang.
Di samping itu, Allah juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga ia bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.
Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur
Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala.
Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.” [3]
Tanda-Tanda Haji Mabrur
Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.
Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal,[4] karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik. [5]
Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair [6]:
Jika anda haji dengan harta tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.
Allah tidak terima kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang haji mabrur hajinya.
Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam . Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.” [7]
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah.[8]
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.[9]
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ
“Memberi makan dan berkata-kata baik.” [10]
Keempat: Tidak berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.” [11]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.” [12]
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.[13]
Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.
Kelima: Setelah haji menjadi lebih baik
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.[14]
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.
Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrur.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.
Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.”[15] Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”[16]
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.” [17]
Penutup
Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah, dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda. Wallahu a’lam.
Referensi:
- Al-Quran al-Karim.
- Shahih al-Bukhari, Tahqiq Musthofa al-Bugha, Dar Ibn Katsir.
- Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ Turats.
- Musnad Imam Ahmad, Tahqiq Syu’aib al-Arnauth, Muassasah Qurthubah.
- Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
- Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
- At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an-Nadawi, Darul Fikr.
- Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali, Darul Ma’rifah Beirut.
- Lathaiful Ma’arif fima li Mawasil ‘Am minal Wazhaif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syamilah.
- Qutul Qulub, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Maktabah asy-Syamilah.
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. al-Bukhari (3073) dan Muslim (2824).
[2] HR. al-Bukhari (1683) dan Muslim (1349).
[3] Lathaiful Ma’arif Fima Li Mawasimil ‘Am Minal Wazhaif 1/68.
[4] Lihat: Ihya Ulumiddin 1/261.
[5] HR. Muslim (1015).
[6] Lathaiful Ma’arif 2/49.
[7] Lathaiful Ma’arif 1/257
[8] Ibid.
[9] Lathaiful Ma’arif 1/67.
[10] HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahih oleh al-Hakim dan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 3/262 (no. 1264)
[11] QS. Al-Baqarah 197.
[12] HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad di Musnad (7136)
[13] Ihya Ulumiddin 1/261
[14] Lathaiful Ma’arif 1/68.
[15] At-Tarikh al-Kabir 3/238.
[16] Lathaiful Ma’arif 1/67.
[17] Qutul Qulub 2/44.
Keutamaan Bulan Dzulhijjah
Penulis : Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ
تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. [آل عمران: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً
كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ
وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا [النساء: 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً
سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا
[الأحزاب: 70-71]
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ
الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ
اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اللَّهُمَّ صَلِّ
وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ،
أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita, serta
dengan menjauhi segala larangan-Nya. Dan marilah kita senantiasa
mengingat bahwa dunia yang kita tempati ini bukanlah tempat tinggal
selamanya. Bahkan sebenarnya kita sedang dalam suatu perjalanan menuju
tempat tinggal yang sesungguhnya di alam akhirat nanti. Telah banyak
orang yang dulunya bersama kita atau bahkan dahulu tinggal satu rumah
dengan kita, telah melewati dan meninggalkan dunia ini. Mereka telah
meninggalkan tempat beramal di dunia ini menuju tempat perhitungan dan
pembalasan amalan. Akan segera datang pula saatnya kita menyusul
mereka. Maka, marilah kita manfaatkan dunia ini sebagai tempat mencari
bekal untuk kehidupan akhirat kita. Sungguh seseorang akan menyesal
ketika pada hari perhitungan amal nanti dia datang dalam keadaan tidak
membawa amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ اْلإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى. يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi
mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku
dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku (di akhirat) ini’.”
(Al-Fajr: 23-24)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Di dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita akan menjumpai hari-hari
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan keutamaan di dalamnya. Yaitu
dengan dilipatgandakannya balasan amalan dengan pahala yang berlipat,
tidak seperti hari-hari biasanya. Di antara hari-hari tersebut adalah
sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana tersebut
di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ
هَذِهِ اْلأَيَّامِ – يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي
سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ
يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidaklah ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh
Allah dari hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah).” Para sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah
jihad di jalan Allah tidak lebih utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata: “Tidaklah jihad lebih utama (dari beramal di
hari-hari tersebut), kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa
dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan keduanya (karena mati
syahid).” (HR. Al-Bukhari)
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Pada sepuluh hari yang pertama ini, kita juga disyariatkan untuk banyak
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik itu berupa ucapan
takbir, tahmid, maupun tahlil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ
“Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28)
Diterangkan oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan pada ayat
tersebut adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan
ayat tadi menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya
rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala masih memberikan kesempatan bagi orang yang belum
mampu menjalankan ibadah haji untuk mendapatkan keutamaan yang besar
pula, yaitu beramal shalih pada sepuluh hari pertama di bulan
Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum muslimin memanfaatkan
sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan ibadah, seperti berdoa,
dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal ibadah yang disyariatkan
untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut –kecuali hari yang kesepuluh–
adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah, yaitu hari
kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum muslimin
untuk berpuasa yang dikenal dengan istilah puasa Arafah, kecuali bagi
jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah. Hal ini sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya
tentang puasa hari Arafah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)
Adapun bagi para jamaah haji, mereka tidak diperbolehkan untuk
berpuasa, karena pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Karena
mereka memerlukan cukup kekuatan untuk memperbanyak dzikir dan doa pada
saat wukuf di Arafah. Sehingga pada hari tersebut kita semua berharap
untuk mendapatkan keutamaan yang sangat besar serta ampunan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan bahwa hari itu adalah hari pengampunan dosa-dosa dan hari
dibebaskannya hamba-hamba yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari
api neraka. Sebagaimana dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api neraka, lebih banyak daripada di hari Arafah.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Pada bulan Dzulhijjah juga ada hari yang sangat istimewa yang dikenal
dengan istilah hari nahr. Yaitu hari kesepuluh di bulan tersebut, di
saat kaum muslimin merayakan Idul Adha dan menjalankan shalat Id serta
memulai ibadah penyembelihan qurbannya, sementara para jamaah haji
menyempurnakan amalan hajinya. Begitu pula hari-hari yang datang
setelahnya, yang dikenal dengan istilah hari tasyriq, yaitu hari yang
kesebelas, keduabelas, dan ketigabelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengkhususkan hari-hari tersebut sebagai hari-hari untuk makan, minum,
dan berdzikir. Dan hari-hari itulah yang menurut keterangan para ulama
adalah hari yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُوْدَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan tentang hari-hari tersebut:
أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Hari-hari Mina (hari nahr dan tasyriq) adalah hari-hari makan dan
minum serta berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan dengan dzikir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kaum
muslimin untuk banyak mengucapkannya pada hari-hari tasyriq dan
hari-hari sebelumnya di awal bulan Dzulhijjah, para ulama dalam
Al-Lajnah Ad-Da`imah menyebutkan fatwa sebagai berikut:
“Disyariatkan pada Idul Adha takbir mutlak dan takbir muqayyad. Adapun
takbir mutlak maka (disyariatkan untuk dilakukan) pada seluruh waktu
dari mulai awal masuknya bulan Dzulhijjah sampai hari yang terakhir
dari hari-hari tasyriq. Sedangkan takbir muqayyad (disyariatkan untuk
dilakukan) pada setiap selesai shalat wajib mulai dari setelah selesai
shalat subuh pada hari Arafah sampai setelah shalat ‘Ashr pada akhir
hari tasyriq. Dan pensyariatkan hal tersebut ditunjukkan oleh ijma’ dan
perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum.”
Sebagaimana ibadah lainnya, dzikir juga merupakan suatu amalan yang
tata caranya tidak boleh menyimpang dari petunjuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sehingga para ulama juga memberikan peringatan dari
dilakukannya takbir secara jama’i, karena hal itu tidak pernah
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa`
Ar-Rasyidin. Yang dimaksud di sini adalah takbir yang diucapkan secara
bersama-sama dengan satu suara dan dipimpin oleh seseorang. Hal ini
sebagaimana tersebut dalam fatwa para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah
yang isinya: “(Yang benar) adalah setiap orang melakukan takbir
sendiri-sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya takbir dengan
cara bersama-sama (dengan satu suara yang dipimpin oleh seseorang)
tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita berusaha memanfaatkan hari-hari yang penuh
dengan keutamaan untuk menambah dan meningkatkan amal shalih kita.
Begitu pula kita manfaatkan waktu yang ada untuk memperbanyak dzikir
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita akan menjadi orang yang
mendapatkan kelapangan hati, senantiasa takut kepada-Nya dan terjaga
dari gangguan setan, serta faedah lainnya dari amalan berdzikir kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. {فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ}.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ.
أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ
وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ
إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ
صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ
الْجَحِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْمُبِيْنَ
وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا
عَنْهُ الدِّيْنَ وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا،
أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan selalu menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Di antara
bentuk ketaatan yang sangat besar keutamaannya dan sangat penting untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menyembelih
binatang qurban. Amalan ini merupakan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka seorang
muslim yang memiliki kemampuan semestinya menjalankan amal ibadah yang
mulia ini, yaitu menyembelih hewan qurban, baik dia lakukan sendiri dan
ini lebih afdhal, atau meminta orang lain yang mengetahui hukum dan
cara penyembelihan yang syar’i untuk melakukan penyembelihannya. Namun
tidak boleh baginya untuk membayar upah penyembelihannya dengan
sebagian dari hewan qurbannya, baik itu kepalanya, kulitnya, atau yang
semisalnya. Meskipun boleh baginya untuk memberinya sebagai sedekah
sebagaimana diberikan kepada yang lainnya dari kalangan fakir miskin.
Atau bisa pula dia memberikan sebagian dari hewan qurbannya sebagai
hadiah, sebagaimana dia berikan pula kepada yang lainnya baik tetangga
ataupun kerabatnya meskipun mereka orang yang kaya. Dan disunnahkan
bagi orang yang berqurban untuk memakan hewan sembelihannya, namun
tidak boleh baginya untuk menjual bagian apapun dari hewan
sembelihannya. Begitu pula tidak boleh bagi orang yang berqurban untuk
memotong rambut dan kukunya dari mulai masuknya awal bulan Dzulhijjah
sampai dia melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban. Yang demikian
tadi disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Disebutkan pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
untuk melaksanakan ibadah qurban ini, tujuh orang atau kurang bisa
bergabung secara bersama-sama dengan menyembelih seekor onta atau sapi.
Begitu pula bisa dengan menyembelih seekor kambing, namun itu hanya
mencukupi untuk satu orang. Namun dengan menyembelih satu ekor kambing
sudah mencukupi untuk diri dan keluarganya, baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal dunia. Dengan cara dia niatkan pahalanya
untuk dirinya dan seluruh keluarganya baik yang hidup maupun yang telah
meninggal dunia1. Maka semua akan mendapat keutamaan dan pahala yang
sangat besar. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hadirin rahimakumullah,
Ibadah menyembelih qurban ini harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang telah disyariatkan. Baik yang berkaitan dengan waktu penyembelihan
maupun yang berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat hewan yang bisa
dijadikan sebagai hewan qurban. Adapun yang berkaitan dengan waktu
penyembelihan, waktunya adalah dimulai dari setelah selesai shalat Idul
Adha dan berakhir waktunya menurut pendapat yang benar hingga
tenggelamnya matahari pada hari ketiga belas di bulan Dzulhijjah. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah (lagi)
kambing untuk menggantikan kambing (yang disembelih sebelum saatnya)
tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Adapun berkaitan dengan syarat hewan yang akan dijadikan sebagai hewan
qurban, hewan tersebut harus sudah mencapai umur yang telah ditentukan.
Juga sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, hewan itu bukanlah hewan yang buta satu matanya dan sangat
jelas butanya, serta bukan pula hewan yang terkena sakit dan sangat
jelas sakitnya. Bukan pula hewan yang pincang sehingga tidak bisa
berjalan mengikuti lainnya, serta bukan hewan yang sudah sangat tua
sehingga tidak pantas untuk dikonsumsi dagingnya. Oleh karena itu,
wajib bagi kaum muslimin untuk belajar dan bertanya kepada ahlinya
tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah qurban ini.
Hadirin rahimakumullah,
Semestinya seseorang yang berqurban berusaha untuk mencari sebaik-baik
hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban. Hewan yang tinggi
nilai/harganya, seperti yang banyak dagingnya, bagus warnanya, dan
kuat/sehat tubuhnya, atau yang semisalnya. Karena, yang demikian
termasuk bentuk pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang menunjukkan besarnya ketakwaan dirinya. Hal ini sebagaimana
tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan
kepada kita petunjuk-Nya sehingga kita bisa menjalankan ibadah
sebagaimana yang disyariatkan-Nya. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak menjadikan kita menjadi orang yang sia-sia amalannya,
karena beribadah dengan tidak ikhlas atau tidak sesuai dengan petunjuk
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin.
Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً. الَّذِيْنَ ضَلَّ
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang
yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (Al-Kahfi: 103-104)
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ
وَعَلِيٍّ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ
وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ
الْمُوَحِّدِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ في
كُلِّ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ
وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ … اذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ الْجَلِيْلَ يَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ،
وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
1 Tentang qurban bagi yang telah meninggal dunia, bisa dilihat penjelasannya dalam Kajian Utama, red.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=581
IBADAH HAJI Perwujudan Tauhid kepada Allah dan Ukhuwwah Sesama Hamba
Al-‘Allamah Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
Segala puji khusus bagi Allah yang telah menjadikan Ka’bah sebagai tempat berkumpul bagi umat manusia dan tempat yang aman, serta menjadikannya penuh barakah dan sebagai hidayah bagi alam semesta. Allah memerintahkan hamba dan rasul-Nya sekaligus khalil-Nya Ibrahim imamnya para hunafa’ (ahlut tauhid), ayah para nabi setelahnya, untuk mengarahkan dan mengumumkan kepada manusia dengan ibadah haji, setelah beliau menyiapkan Ka’bah tersebut agar manusia mendatanginya dari segenap penjuru dan lembah, sehingga mereka bisa menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka, dan mengingat Allah pada hari-hari yang telah ditentukan. [1]
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia adalah ilahnya orang-orang terdahulu maupun kemudian. Dzat yang telah mengutus para rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya dalam rangka menegakkan hujjah dan menjelaskan bahwa Allah Dialah Dzat Yang Maha Tunggal dan Esa, Yang berhak untuk diibadahi, yang berhak untuk para hamba bersatu dalam ketaatan kepada-Nya, mengikuti syari’at-Nya, dan meninggalkan segala yang bertentangan dengan syari’at-Nya.
Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, sekaligus sebagai khalil-Nya yang Allah utus sebagai rahmat bagi alam semesta dan hujjah atas segenap hamba-Nya. Allah mengutusnya dengan membawa hidayah dan agama yang benar, agar Allah menangkan atas segenap agama. Allah perintahkan untuk menyampaikan kepada umat manusia cara-cara manasik, maka beliau pun melaksanakan perintah tersebut baik dalam bentuk ucapan maupun amalan/praktek langsung. Semoga shalat dan salam tercurahkan kepada beliau dari Rabbnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksankana haji, yaitu pada haji wada’, yang di situ beliau menyampaikan cara-cara manasik kepada umat manusia, secara ucapan maupun amalan/praktek langsung. Beliau bersabda kepada umat manusia :
« خذوا عني مناسككم فلعلي لا ألقاكم بعد عامي هذا »
Ambillah dariku cara manasik haji kalian. bisa jadi aku tidak bertemu kalian lagi setelah tahun ini. HR. An-Nasa`i 3062
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umat manusia segala yang diamalkan dan diucapkan dalam ibadah haji, serta seluruh manasik haji, dengan sabda dan perbuatan-perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad sampai ajal menjemput beliau.
Kemudian para khalifah ar-rasyidin dan para shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum berjalan di atas manhaj (metode dan jalan) beliau yang lurus, dan menjelaskan kepada umat manusia risalah yang agung ini dengan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan, serta mereka menukilkan segala sabda dan perbuatan-perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia dengan penuh amanah dan kejujuran. Radhiyallahu ‘anhum.
Di antara tujuan terbesar dari ibadah haji adalah menyatukan barisan kaum muslimin di atas al-haq dan membimbingnya mereka kepada al-haq, agar mereka istiqamah di atas agama Allah, beribadah hanya kepada Allah satu-satu-Nya, dan tunduk patuh terhadap syari’at-Nya.
Wahai saudara-saudaraku di jalan Allah
Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala telah mensyari’atkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya, dan menjadikannya sebagai rukun Islam yang kelima, karena adanya hikmah yang banyak dan rahasia yang agung, di samping manfaat yang tak terhitung.
Allah Jalla wa ‘Ala telah menunjukkan hal itu dalam kitab-Nya yang agung ketika Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ * إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ * فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ *
Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, adalah Baitullah yang di Bakkah (Makah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Ali ‘Imran : 95-97)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Baitullah (Ka’bah) adalah rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia, yakni di muka bumi, untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang diridhai-Nya. Sebagaimana telah sah dalam Ash-Shahihain dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu dia berkata :
“Aku bertanya, wahai Rasulullah, beritakan kepadaku tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Al-Masjidil Haram.” Aku bertanya lagi, “Kemudian masjid mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Al-Masjidil Aqsha.” Aku lalu bertanya lagi, “Berapa lama jarak antara keduanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “40 tahun,” Aku bertanya, “Kemudian mana lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kemudian di mana pun waktu shalat tiba, maka shalatlah di situ, karena itu adalah masjid.” (HR. Al-Bukhari 3186, Muslim 520)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa rumah pertama yang dibangun untuk umat manusia adalah Al-Masjidil Haram, yaitu rumah yang dibangun untuk ibadah dan bertaqarrub kepada Allah, sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama. Sebelumnya sudah ada rumah-rumah untuk dihuni/tempat tinggal, namun yang dimaksud di sini adalah rumah pertama yang dibangun untuk ibadah, ketaatan, dan taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ucapan dan amalan yang diridhai-Nya.
Kemudian setelah itu adalah Al-Masjidil Aqsha yang dibangun oleh cucu Nabi Ibrahim, yaitu Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihimush shalatu was salam. Kemudian diperbarui lagi pada akhir zaman setelah itu dengan jarak/jeda waktu yang sangat lama oleh Nabi Sulaiman ‘alaihish shalatu was salam.
Lalu setelah itu seluruh permukaan bumi adalah masjid. Kemudian datanglah Masjid Nabawi, yang itu merupakan masjid ketiga pada akhir zaman yang dibangun oleh Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad ‘alaihish shalatu was salam. Beliau membangunnya setelah berhijrah ke Madinah, beliau membangunnya bersama-sama para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau memberitakan bahwa Masjid Nabawi tersebut merupakan masjid paling utama (afdhal) setelah Al-Masjidil Haram.
Jadi masjid yang paling utama ada tiga. Yang terbesar dan paling utama adalah Al-Masjidil Haram, kemudian Masjid Nabawi, dan Al-Masjidil Aqsha.
Shalat di ketiga masjid tersebut dilipatgandakan pahalanya. Terdapat dalam hadits yang shahih :
« أنها في المسجد الحرام بمائة ألف صلاة »
Shalat di Al-Masjidil Haram sama dengan 100.000 (seratus ribu) kali shalat. (HR. Ibnu Majah 1413)
Tentang Masjid Nabawi :
« الصلاة في مسجده خير من ألف صلاة فيما سواه , إلا المسجد الحرام »
Shalat di masjidku lebih baik daripada 1000 (seribu) kali shalat di selainnya, kecuali di al-masjidil haram.. HR. Al-Bukhari 1133, Muslim 1394
Dan tentang Al-Masjidil Aqsha :
« أنها بخمسمائة صلاة »
Sebanding dengan 500 kali shalat.
Jadi tiga masjid tersebut merupakan masjid yang agung dan utama, itu merupakan masjidnya para nabi ‘alahimush shalatu was salam.
Allah Jalla wa ‘Ala mensyari’atkan ibadah haji kepada hamba-hamba-Nya karena padanya terdapat kemashlahatan yang sangat besar. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa haji itu wajib atas para hamba yang mukallaf dan mampu menempuh perjalanan kepadanya. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Atas manusia terdapat kewajiban haji untuk Allah semata, barangsiapa yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah. (Al-‘Imran : 97)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan umat manusia :
« أيها الناس إن الله كتب عليكم الحج فحجوا . فقيل : يا رسول الله أفي كل عام ؟ فقال : الحج مرة فمن زاد فهو تطوع »
Wahai umat manusia, sesungguhnya Allah telah menuliskan kewajiban haji atas kalian. maka berhajilah kalian! Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah apakah setiap tahun (kewajiban tersebut)?” Nabi menjawab, “(Kewajiban) haji sekali saja. Barangsiapa yang menambah (berhaji lagi) maka itu sunnah.” (HR. Muslim 1337)
Jadi kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Adapun selebihnya maka itu sunnah. Kewajiban ini berlaku kepada kaum pria maupun kaum wanita, yang mukallaf dan mampu melakukan perjalanan ke Baitullah.
Adapun setelah itu, maka itu merupakan ibadah sunnah dan taqarrub yang agung. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
« العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة »
‘Umrah ke ‘umrah berikut merupakan penebus dosa (yang terjadi) antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali al-jannah. (HR. Al-Bukhari 1683, Muslim 1349)
Keutamaan ini berlaku pada ‘umrah dan haji yang wajib maupun yang sunnah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
« من أتى هذا البيت فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه »
Barangsiapa yang mendatangi Baitullah ini, tidak berbuat rafats dan fasiq, ia akan kembali (ke negerinya) seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya. (HR. Muslim 1350)
Dalam riwayat lain dengan lafazh :
« من حج هذا البيت فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه »
Barangsiapa yang berhaji ke Baitullah ini, tidak tidak berbuat rafats dan fasiq, ia akan kembali (ke negerinya) seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya. (HR. Al-Bukhari 1324)
Hadits ini menujukkan atas keutamaan yang besar bagi ibadah haji dan ‘umrah, bahwa ‘umrah ke ‘umrah berikutnya merupakan penebus dosa (yang terjadi) antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali al-jannah.
Maka sangat ditekankan bagi orang-orang yang beriman, untuk bersegera melaksanakan haji ke Baitullah, dan segera menunaian kewajiban besar ini di manapun mereka berada apabila telah mampu menempuh perjalanan menuju Baitullah. Adapun pelaksanaan haji setelahnya, maka itu adalah ibadah sunnah, bukan ibadah wajib. Namun tetap padanya terdapat keutamaan yang sangat besar, sebagaimana dalam hadits shahih :
« قيل : يا رسول الله أي العمل أفضل ؟ قال : إيمان بالله ورسوله ، قيل : ثم أي ؟ قال : الجهاد في سبيل الله ، قيل : ثم أي ؟ قال : حج مبرور »
Ada shahabat yang bertanya, “Wahai Rasulullah amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian bertanya lagi, “Kemudian amalan apa lagi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berjihad di jalan Allah.” Kemudian bertanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR. Al-Bukhari 26, Muslim 83)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan haji wada’, beliau mensyari’atkan untuk umat manusia cara-cara manasik haji dengan sabda dan perbuatan beliau. Dalam haji wada’ tersebut, beliau berkhuthbah pada hari ‘Arafah dengan khuthbah yang agung, di dalamnya beliau mengingatkan umat manusia terhadap hak-hak Allah dan tauhid kepada-Nya, beliau memberitakan kepada umat bahwa perkara-perkara jahiliyyah telah dimusnahkan, riba telah dibasmi, demikian juga darah-darah jahiliyyah sudah dihilangkan. Dalam kesempatan tersebut beliau juga mewasiatkan kepada umat dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah serta untuk berpegang teguh dengan keduanya, mereka tidak akan tersesat selama mereka mau berpegang teguh terhadap keduanya. Beliau juga menjelaskan hak-hak suami terhadap istri dan hak-hak istri terhadap suami, serta beliau menjelaskan berbagai masalah yang sangat banyak, ‘alahi afdhalush shalatu was salam. Kemudian beliau bersabda :
« وأنتم تسألون عني فما أنت قائلون ؟ قالوا : نشهد أنك قد بلغت وأديت ونصحت ، فجعل يرفع أصبعه إلى السماء ثم ينكبها إلى الأرض ويقول : اللهم اشهد اللهم اشهد »
Kalian bertanya tentang aku, apa yang kalian katakan? Para shahabat bekata : “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, melaksanakan, dan berbuat terbaik.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jarinya ke arah langit kemudian mengarahkannya ke bumi seraya beliau berkata, “Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah.” (HR. Muslim 1218)
Tidak diragukan bahwa beliau telah menyampaikan risalah dan menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya. Kita mempersaksikan demikian terhadap beliau, sebagaimana para shahabat beliau telah mempersaksikannya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan cara-cara manasik haji dengan sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau. Beliau keluar (berangkat) dari Madinah pada akhir bulan Dzulqa’dah tahun ke-10, beliau berihram haji qiran (yaitu memadukan antara haji dan ‘umrah secara bersamaan) dari Dzulhulaifah, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyiapkan hewan sembelihannya. Beliau tiba di Makkah pada waktu Shubuh hari ke-4 bulan Dzulhijjah. Beliau terus mengucapkan talbiyah semenjak dari miqat Dzulhilaifah setelah beliau berihram, dengan mengucapkan kalimat talbiyah yang terkenal :
« لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك »
Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan kenikmatan adalah milik-Mu demikian juga kerajaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu.
Yaitu setelah beliau bertalbiyah dengan haji dan ‘umrah sekaligus. Dan di Dzulhulaifah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepada para shahabatnya dengan tiga jenis manasik haji, (yakni haji qiran, ifrad, atau tamattu’). Di antara mereka ada yang bertalbiyah untuk ‘umrah saja (yakni haji tamattu’), di antara mereka ada yang bertalbiyah untuk ‘umrah dan haji sekaligus (qiran).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan bacaan talbiyahnya, demikian juga para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau terus mengumandangkan talbiyyah hingga tiba di Baitullah Al-‘Atiq (yakni Ka’bah). Beliau menjelaskan kepada umat dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang diucapkan dalam thawaf dan sa’i mereka, demikian juga ketika di ‘Arafah, Muzdalifah, dan ketika di Mina. Allah Jalla wa ‘Ala telah menjelaskan hal itu dalam Kitab-Nya yang agung ketika Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ * ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ * فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آَبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ * وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ * أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ * وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ *
Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb kalian. Maka apabila kalian telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram (yakni Muzdalifah). Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kaliam; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (’Arafah) [2] dan mohonlah ampun kepada Allah; aesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak/lebih kuat dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah bagi mereka bagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa neraka”. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang tertentu (yaitu pada hari-hari Tasyriq : 11,12,13 Dzulhijjah). Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertaqwa. dan bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya. (Al-Baqarah : 198-203)
Dzikir termasuk manfaat-manfaat haji yang tersebut dalam firman Allah Ta’ala :
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.
Penyebutan dzikir setelah penyebutan “berbagai manfaat” merupakan penyebutan sesuatu yang khusus setelah penyebutan sesuatu yang umum.
Diriwayatkan dari Nabi ‘alahish shalatu was salam :
« إنما جعل الطواف بالبيت والسعي بين الصفا والمروة ورمي الجمار لإقامة ذكر الله »
Hanyalah dijadikan thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan dzikrullah. (HR. At-Tirmidzi 902, Abu Dawud 1888, dan Ahmad VI/64)
Nabi mensyari’atkan untuk umat manusia dzikrullah ketika menyembelih sebagaimana tersebut dalam Kitabullah, beliau juga mensyari’atkan untuk umat manusia dzikrullah ketika melempar jumrah. Seluruh praktek manasik adalah bentuk dzikrullah, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Ibadah haji dengan segala praktek dan bacaan-bacaannya semuanya adalah dzikir kepada Allah, semuanya adalah ajakan kepada tauhid, istiqamah di atas agama-Nya, dan kokoh di atas jalan yang dibawa oleh Rasul-Nya Muhammad ‘alahish shalatu was salam.
Maka tujuan terbesar dari ibadah haji adalah membimbing umat manusia agar bertauhid kepada Allah, dan ikhlash kepada-Nya, serta berittiba (mengikuti) Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam risalah yang beliau bawa berupa kebenaran dan hidayah dalam ibadah haji dan lainnya.
Talbiyah ucapan pertama yang dikumandang oleh seorang yang berhaji dan ber’umrah, yaitu ucapan : Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik la syarika laka labbaik (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu).
(dengan kalimat tersebut) seorang yang berhaji/ber’umrah telah mengumumkan tauhidnya terhadap Allah, keikhlasannya karena Allah, dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya.
Demikian juga dalam thawaf yang ia lakukan, adalah untuk dzikir kepada Allah, mengagungkan-Nya, dan beribadah hanya kepada-Nya dengan berthawaf.
Kemudian sa’i, dia beribadah kepada-Nya dengan sa’i, hanya kepada-Nya tanpa selain-Nya. Demikian juga beribadah kepada Allah dengan mencukur rambut atau memendekkannya, demikian juga dengan menyembelih hewan qurban, demikian dengan bacaan-bacaan dzikir yang ia baca di ‘Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina semuanya adalah dzikir kepada Allah, tauhid terhadap-Nya, ajakan kepada al-Haq, dan bimbingan bagi para hamba, bahwa wajib atas mereka untuk beribadah hanya Allah semata, bersatu dan saling menolong dalam mewujudkannya, dan wajib bagi mereka untuk saling berwasiat dengan hal tersebut, sedangkan mereka datang dari berbagai berbagai penjuru supaya mereka bisa menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.
Manfaat-manfaat tersebut sangat banyak, Allah sebutkan pada satu ayat secara global dan Allah rinci pada tempat-tempat lainnya. Di antaranya Thawaf. Itu merupakan ibadah yang besar dan di antara sebab terbesar untuk terhapusnya dosa-dosanya dan dihilangkannya kesalahan-kesalahan. Demikian juga Sa’i, dan rangkaian ibadah yang ada pada keduanya (thawaf dan sa’i) berupa dzikir dan do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Demikian juga dzikir dan do’a yang ada di ‘Arafah dan Muzdalifah. Demikian juga pada menyembelih kurban terdapat dzikir, takbir, dan pengagungan terhadap Allah. Demikian juga takbir dan pengagungan terhadap Allah yang diucapkan ketika melempar jumrah. Dan semua amalan haji mengingatkan kepada Allah satu-satu-Nya dan mengajak kaum muslimin semuanya agar mereka menjadi jasad yang satu, bangunan yang satu dalam mengikuti kebenaran, teguh di atasnya, berdakwah kepadanya, dan ikhlash karena Allah dalam seluruh ucapan dan perbuatan. Mereka saling bertemu di bumi penuh barakah ini menginginkan taqarrub dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meminta ampunan-Nya dan memohon agar dibebaskan dari api neraka.
Tidak diragukan, bahwa hal ini di antara yang bisa menyatukan hati dan mengumpulkannya di atas ketaatan kepada Allah, ikhlash kepadanya, mengikuti syari’at-Nya, dan mengagungkan perintah dan larangan-Nya.
Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
Sesungguhnya rumah pertama yang dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang ada di Bakkah (Makah) yang dibarakahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Ka’bah ini Mubarak (dibarakahi), yaitu dengan apa yang didapat oleh para peziarah dan para haji yang datang kepadanya berupa kebaikan yang sangat besar dari thawaf dan sa’i serta seluruh amalan haji dan ‘umrah yang Allah syari’atkan. Baitullah tersebut Mubarak, di sisinya dihapuskanlah kesalahan-kesalahan, dilipatgandakan kebaikan, dan diangkat derajat. Allah mengangkat derajat para peziarahnya yang ikhlash dan jujur, Allah ampuni dosa-dosa mereka serta Allah masukkan mereka ke Jannah sebagai bentuk keutamaan dari Allah dan kebaikan dari-Nya, apabila mereka ikhlash karena-Nya, istiqamah di atas perintah-Nya, meninggalkan perbuatan rafats dan fasiq.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
« من حج فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه »
Barangsiapa berhaji, tidak berbuat rafats dan fasiq, maka ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.
ar-rafats adalah melakukan jima’ (bersenggama) dengan istri dan segala hal yang bisa mengantarkan kepadanya baik ucapan maupun perbuatan, sebelum tahallul (selesai berihram/berhaji).
Adapun perbuatan fasiq adalah segala bentuk kemaksiatan baik ucapan maupun perbuatan, wajib atas seorang yang berhaji untuk meninggalkan dan menjauhinya. Demikian juga jidal (berdebat/cekcok) wajib ditinggalkan kecuali dalam kebaikan. Sebagaimana firman Allah Jalla wa ‘Ala :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَج
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi [3], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.(Al-Baqarah : 197)
Ibadah haji semuanya adalah ajakan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, ajakan untuk mengagungkan dan mengingat Allah, ajakan untuk meninggalkan kemaksiatan dan kefasikan, ajakan untuk meninggalkan jidal (bantah-bantahan/cekcok) yang menyebabkan kekerasan hati dan permusuhan serta perpecahan antara kaum muslimin. Adapun jidal (berdebat) dengan cara yang lebih baik maka itu diperintahkan dalam semua kondisi dan tempat, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Berdakwahlah ke jalan Rabbmu dengan hikmah, nasehat yang baik, dan berjidal dengan cara yang lebih baik. (An-Nahl : 128)
Ini merupakan cara berdakwah di segala waktu dan tempat, baik di Ka’bah maupun selainnya. Berdakwah kepada saudara-saudaranya dengan hikmah, yaitu ilmu, (katakan) bahwa “Allah telah berfirman demikan, Rasulullah telah bersabda demikian.”
Juga berdakwah dengan mau’izhah hasanah (nasehat yang baik), bagus dan lembut tidak adanya pada sikap kaku dan kezhaliman. Demikian juga berdebat dengan cara lebih baik jika diperlukan untuk menghilangkan syubhat dan menjelaskan kebenaran. Lakukan debat dengan cara yang lebih baik, dengan kata-kata dan cara yang bagus dan bermanfaat yang bisa menjawab syubhat dan membimbing kepada kebenaran, tanpa sikap kasar dan keras.
Maka para jama’ah haji sangat butuh kepada dakwah dan arahan kepada kebaikan dan bantuan kepada kebenaran. Apabila mereka bertemu dengan segenap saudaranya dari berbagai penjuru dunia kemudian mereka saling mengingatkan tentang kewajiban Allah atas mereka maka itu merupakan sebab terbesar untuk menyatukan barisan mereka dan istiqamah di atas agama Allah, sekaligus sebab terbesar untuk mereka saling mengenal dan saling bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan.
Jadi ibadah haji padanya terdapat banyak manfaat yang besar, kebaikan yang sangat banyak; padanya terdapat dakwah menuju jalan Allah, taklim (pengajaran ilmu), bimbingan, saling mengenal dan saling bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan, baik dengan ucapan maupun perbuatan, dengan maknawi maupun materi. Demikianlah disyari’atkan kepada segenap jama’ah haji dan ‘umrah agar mereka saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan, saling menasehati dan bersemangat dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, dan menjauhi segala yang Allah haramkan.
Kewajiban terbesar yang Allah tetapkan adalah mentauhidkan-Nya dan memurnikan ibadah hanya untuk-Nya, di semua tempat dan semua waktu, termasuk ditempat agung nan penuh barakah ini. Sesungguhnya termasuk kewajiban terbesar adalah memurnikan peribadahan untuk Allah semata di semua tempat dan di semua waktu, maka di tempat ini (di Makkah) kewajiban tersebut lebih besar dan lebih wajib lagi. Maka wajib memurnikan (ibadah) hanya untuk Allah semata dalam ucapan maupun perbuatan, baik berupa thawaf, sa’i, do’a, dan yang lainnya. Demikian juga amalan-amalan lainnya, semuanya harus murni untuk Allah Jalla wa ‘Ala semata dan harus menjauhi segala kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjauhi perbuatan menzhalimi dan mengganggu hamba baik dengan ucapan maupun penbuatan. Seorang mukmin itu sangat bersemangat untuk memberikan manfaat terhadap saudara-saudaranya, berbuat baik kepada mereka, dan mengarahkan mereka kepada kebaikan, serta menjelaskan hal-hal yang belum mereka ketahui dari perintah dan syari’at Allah, dengan waspada dari mengganggu mereka, menzhalimi mereka baik terkait darah/nyawa, harta, maupun kehormatan mereka. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzhaliminya, tidak menghinakannya, dan tidak menyia-nyiakannya, sebaliknya ia mencintai untuk saudaranya segala kebaikan dan membenci kejelekan untuk saudaranya, di mana pun berada, terlebih lagi di Baitullah, di tanah haram, dan di negeri Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya Allah telah menjadikan tanah haram ini sebagai tempat yang aman, Allah jadikan aman dari segala hal yang ditakuti oleh manusia. Maka seorang muslim harus benar-benar perhatian, agar dirinya menjadi orang yang terpercaya terhadap saudaranya, menasehati, dan mengarahkannya. Tidak malah menipunya, atau mengkhianati dan mengganggunya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Allah telah menjadikan tanah haram ini sebagai tempat yang aman, sebagaimana firman-Nya :
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا
Ingatlah ketika Kami menjadikan Ka’bah ini sebagai tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.
Allah Jalla wa ‘Ala juga berfirman :
أَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَهُمْ حَرَمًا آمِنًا يُجْبَى إِلَيْهِ ثَمَرَاتُ كُلِّ شَيْءٍ رِزْقًا مِنْ لَدُنَّا
Bukankah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam Tanah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh- tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami? (Al-Qashash : 57)
Maka seorang mukmin harus benar-benar bersemangat untuk mewujudkan keamanan tersebut. Hendaknya dirinya berupaya serius untuk memberikan kebaikan kepada saudaranya, membimbing mereka kepada sesuatu yang bermanfaat, membantu mereka dalam urusan dunia maupun urusan agama, kepada segala yang membuat hatinya lapang, dan membantunya untuk menunaikan manasik. Sebagaimana ia juga berupaya serius untuk menjauhi dari berbagai maksiat yang Allah haramkan. Di antara kemaksiatan tersebut adalah mengganggu manusia yang lain. Sesungguhnya itu di antara perbuatan haram yang terbesar. Apabila gangguan tersebut dilakukan terhadap para jama’ah dan ‘umrah Baitullah Al-Haram, maka menjadi kezhaliman yang lebih besar lagi dosanya, lebih keras hukumannya, dan lebih parah akibatnya.
Haji dan ‘Umrah merupakan dua ibadah besar, termasuk ibadah yang terbesar, yang terdapat di belakangnya pahala yang sangat besar, manfaat yang sangat banyak, hasil-hasil yang baik, untuk segenap kaum muslimin di segala penjuru dunia.
Shalat lima waktu, para hamba di masing-masing negeri berkumpul padanya, saling mengenal, saling menasehati, dan saling bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan. Namun pada ibadah haji, berkumpul padanya seluruh kaum muslimin di alam ini dari segala tempat. Apabila pada ibadah shalat lima waktu terdapat kebaikan yang besar padanya karena berkumpulnya kaum muslimin padanya sehari lima kali, maka demikian pula pada ibadah haji kaum muslimin berkumpul setiap tahun, padanya kebaikan yang besar, bahkan dalam ibadah haji kebaikan tersebut lebih besar lagi, yaitu dari sisi adanya ajakan terhadap umat kepada kebaikan karena mereka datang dari segenap penjuru. Bisa jadi engkau tidak bertemu lagi dengan saudaramu yang engkau jumpai sekarang. Demikian juga kaum wanita, hendaknya mereka juga bersemangat untuk mencurahkan upayanya dalam membimbing saudara-saudaranya di jalan Allah kepada amalan yang telah Allah ajarkan.
Maka seorang pria, hendaknya ia membimbing saudara-saudara maupun saudari-saudarinya di jalan Allah dari kalangan para jama’ah haji Baitullah Al-Haram dan para peziarah Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian juga seorang wanita membimbing saudara-saudara maupan saudari-saudarinya di jalan Allah hal-hal yang ia ketahui terkait ibadah haji dan ‘umrah.
Demikianlah semestinya ibadah haji, dan demikianlah semestinya ibadah ‘umrah. Pada keduanya terdapat kerja sama, saling berwasiat dengan al-haq, saling menasehati, dan bimbingan kepada kebaikan, mencurahkan kebaikan dan tidak mengganggu di mana para jama’ah haji dan ‘umrah tersebut berada, baik di dalam Masjidil Haram maupun di luarnya, baik ketika thawaf, sa’i, melempar jumrah, maupun lainnya. Masing-masing bersemangat untuk memberikan manfaat kepada saudaranya dan mencegah timbulnya gangguan di segenap penjuru negeri yang mulia tersebut dan di semua masya’iril haj. Mengharap pahala dari Allah, takut dari akibat jelek kezhaliman dan gangguan terhadap saudara-saudaranya sesama muslim.
Ini semua masuk dalam firman Allah Ta’ala :
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِين
Sesungguhnya rumah (untuk ibadah) pertama yang dibangun bagi umat manusia adalah Ka’bah yang ada di Makkah, yang penuh barakah dan petunjuk bagi alam semesta. (Ali ‘Imran : 96)
Ka’bah tersebut dinyatakan sebagai rumah yang penuh barakah dan petunjuk bagi alam semesta, karena kebaikan besar yang diperoleh bagi orang-orang yang datang kepadanya di rumah mulia tersebut, berupa thawaf, sa’i, talbiyah, dan dzikir-dzikir yang agung, yang denganya mereka mendapat bimbingan ke arah tauhid kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Mereka juga bisa saling mengenal , saling bertemu, saling berwasiat, dan saling menasehati yang dengan itu mereka mendapat bimbingan kepada kebenaran.
Oleh karena itu Allah nyatakan Ka’bah ini sebagai rumah yang mubarak (penuh barakah) dan petunjuk bagi alam semesta, karena padanya diperoleh berbagai kebaikan besar berupa talbiyah, dzikir-dzikir, ketaatan yang agung, mengenalkan dan membimbing hamba kepada Rabb-nya, tauhid kepada-Nya, menginggatkan mereka dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap-Nya dan terhadap Rasul-Nya, serta mengingatkan mereka terhadap kewajiban-kewajiban mereka terhadap saudara-saudaranya para jama’ah haji dan ‘umrah, berupa saling menasehati, saling bekerja sama, saling berwasiat dengan al-haq, membantu para fuqara’, membela orang yang terzhalimi, mencegah orang zhalim (dari kezhalimannya), dan membantu (untuk bisa melakukan) berbagai kebaikan.
Demikianlah yang semestinya bagi para jama’ah haji dan ‘umrah Baitullah Al-Haram, hendaknya mereka menyiapkan diri masing-masing untuk kebaikan yang sangat besar ini. bersiap untuk memberikan kebaikan kepada saudara-saudaranya, bersemangat dalam mencurahkan kebaikan dan mencegah kejelekan/gangguan. Masing-masing bertanggung jawab atas beban yang Allah berikan kepadanya sebatas kemampuannya, sebaimana firman Allah
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Bertaqwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian. (At-Taghabun : 16)
Saya memohon kepada Allah dengan Asma`ul Husna-Nya dan Sifat-sifat-Nya yang tinggi, agar memberikan taufiq segenap kaum muslimin kepada segala yang padanya terdapat keridhaan-Nya dan kebiakan hamba-hamba-Nya. Semoga Allah memberikan taufiq seluruh jama’ah haji dan ‘umrah kepada segala yang padanya terdapat kebaikan dan keselamatan untuk mereka, yang padanya bisa menyebabkan diterimanya ibadah haji dan ‘umrah mereka, serta kepada segala yang padanya terdapat kebaikan untuk agama dan dunia mereka.
Sebagaimana pula, aku memohon kepada Allah agar mengembalikan para jama’ah haji ke negerinya masing-masing dalam keadaan selamat, mendapat taufiq, telah terbimbing, dan mengambil manfaat dari ibadah haji mereka yang itu menyebabkan mereka terselamatkan dari api neraka dan menyebabkan mereka masuk ke jannah serta menyebabkan mereka istiqamah di atas kebenaran di manapun mereka berada.
Aku juga memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pemerintah kita di negeri ini kepada semua kebaikan, dan segala yang bisa membantu para jama’ah haji menunaikan manasik haji mereka dalam bentuk yang Allah ridhai. Sungguh pemerintah negeri ini (Kerajaan Saudi Arabia) telah berbuat banyak berupa berbagai proyek dan program yang bisa membantu para jama’ah haji menunaikan manasik haji mereka dan memberikan kelancaran kepada mereka dengan memperluas bangunan masjid ini. Semoga Allah membalas Pemerintah negeri dengan kebaikan dan melipatgandakan pahalanya.
Tidak diragukan, bahwa wajib atas para jama’ah untuk menghindari segala hal yang bisa menimbulkan gangguan dan kekacauan dengan segala bentuknya, seperti demonstrasi, orasi-orasi, provokasi-provokasi menyesatkan, maupun turun ke jalan-jalan yang menyempitkan para jama’ah haji dan mengganggu mereka, dan berbagai berbagai bentuk gangguan lainnya yang wajib dijauhi oleh para jama’ah haji.
Telah lewat kita jelaskan di atas, bahwa wajib bagi jama’ah haji agar masing-masing bersemangat untuk memberikan manfaat kepada saudaranya dan memudahkan mereka menunaikan manasik hajinya. Tidak mengganggu mereka baik di jalan ataupun lainnya.
Aku memohon pula kepada Allah agar memberikan taufik pemerintah dan membantu mereka mewujudkan segala hal yang bermanfaat bagi para jama’ah haji dan memudahkan penunaikan manasik haji mereka. Semoga Allah memberikan barakah pada jerih payah dan upaya keras mereka. Semoga Allah memberikan taufiq para penanggung jawab urusan haji kepada segala hal yang memudahkan urusan-urusan haji dan segala hal yang bisa membantu terlaksananya manasik haji sebaik-baiknya.
Sebagaimana aku memohon kepada Allah agar memberikan taufik seluruh pemerintah negeri muslimin di setiap tempat, kepada segala hal yang padanya terdapat keridhaan-Nya. Semoga Allah memperbaika hati mereka dan amal-amal mereka, semoga Allah memperbaiki orang-orang/teman-teman dekat mereka, membantu mereka dalam mewujudkan penerapan hukum dengan syari’at Allah terhadap hamba-hamba-Nya.
Semoga Allah melindung kita dan mereka dari memperturutkan hawa nafsu dan menjaga kita dari kesesatan-kesesatan fitnah.
Sesungguh Allah Jalla wa ‘Ala Maha Pemurah dan Maha Pemberi.
وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان
(dari muhadharah (ceramah) yang disampikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pada Sabtu sore 28 Dzulqa’dah 1409 / 2 Juli 1989. Termasuk dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah V/130-141)
[1] Sebagaimana firman Allah :
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ * وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ * لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kalian menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah (wahai Ibrahim) kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan (Al-Hajj : 26-28)
[2] Ada juga ‘ulama tafsir yang berpendapat maksudnya adalah dari Muzdalifah.
[3] Yaitu bulan Syawwal, Dzulqa`dah dan Dzulhijjah
Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=385#more-385