HUKUM REKREASI KE CANDI
Soal :
Bagaimana hukum rekreasi ke candi misalnya ? Mohon penjelasannya
08193182xxxx
Jawab:
Pada asalnya, hukum rekreasi adalah mubah (boleh dilakukan). Akan tetapi, rekreasi tidak boleh menuju tempat-tempat maksiat. Karena umat Islam berkewajiban merubah kemungkaran jika melihatnya, dan menjauhi para pelaku maksiat. Jika umat Islam justru bergabung dengan para pelaku kemungkaran, dikhawatirkan tertimpa adzab yang Allah Azza wa Jalla turunkan kepada mereka.
Rekreasi ke candi termasuk mendatangi kemungkaran. Karena di sana ada patung-patung yang disembah dan gambar-gambar makhluk bernyawa, pengunjung pun dibuat terkagum-kagum dengan tempat-tempat peribadahan orang-orang musyrik. Tempat semacam ini tidak pantas untuk didatangi dan dilestarikan. Sebab, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu mengusahakan supaya sarana-sarana (simbol-simbol) kemungkaran, terutama syirik lenyap. Pernah, beliau enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau patung makhluk bernyawa, sebagaimana para malaikat juga tidak mau memasukinya.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيهَا تَصَاوِيرُ فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَى الْبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ فَعَرَفَتْ فِي وَجْهِهِ الْكَرَاهِيَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ مَاذَا أَذْنَبْتُ قَالَ مَا بَالُ هَذِهِ النُّمْرُقَةِ فَقَالَتْ اشْتَرَيْتُهَا لِتَقْعُدَ عَلَيْهَا وَتَوَسَّدَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ وَقَالَ إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لاَ تَدْخُلُهُ الْمَلاَئِكَةُ
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau memberitakan bahwa beliau Radhiyallahu 'anhma membeli bantal duduk yang terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa-pen). Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di depan pintu saja, tidak masuk. ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha pun melihat ketidaksukaan pada wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha bekata: “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, aku bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dosa apakah yang telah aku lakukan?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apa pentingnya bantal duduk ini?” ‘Aisyah menjawab: “Aku membelinya agar engkau bisa duduk dan menggunakannya sebagai bantal”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya para pembuat gambar ini akan disiksa pada hari Kiamat. Dan akan dikatakan kepada mereka: Hidupkan apa yang telah ciptakan“. Dan beliau bersabda: “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar (patung-patung) tidak akan dimasuki oleh para malaikat”. (HR.Al-Bukhâri, no: 5957)
Oleh karena itu, di antara kewajiban pemerintah muslim adalah membersihkan wilayahnya dari kemungkaran-kemungkaran, termasuk menghancurkan patung-patung dan menghapus gambar-gambar bernyawa. Sebagaimana ditunjukkan hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الاََسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلاَّ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إلاَّ سَوَّيْتَهُ (وَلاَ صُورَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا)
Dari Abul Hayyâj al-Asadî, dia berkata: ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu berkata kepadaku: “Maukah engkau aku utus kamu untuk melakukan tugas yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengutusku dengannya; yaitu janganlah kamu membiarkan patung/gambar itu melainkan kamu hancurkan; dan janganlah kamu membiarkan kubur itu ditinggikan melainkan harus kamu ratakan”. (Pada lafazh lain: dan tidak pula gambar melainkan kamu hilangkan). (HR.Muslim: 969)
Adapun bagi masyarakat, kewajiban mereka hanyalah memberikan nasehat dan peringatan, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk merubah kemungkaran dengan kekuatan, dan jika masyarakat bertindak tanpa izin pemerintah, kemungkinan akan timbul kemungkaran yang lebih besar. Wallâhu a’lam.
Agar Perjalanan Anda Penuh Makna
Melakukan perjalanan mungkin sudah menjadi kebiasaan sebagian besar di antara kita. Mulai dari berjalan ke sekolah, kampus, pasar, sekedar berjalan kaki ke warnet bahkan hingga safar ke luar kota. Selama perjalanan tersebut tentunya membutuhkan waktu. Namun pernahkah terpikir oleh kita untuk memanfaatkan waktu selama perjalanan tersebut dengan amalan-amalan yang akan mendatangkan manfaat bagi kita? Semoga tulisan berikut ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi kita semua untuk memanfaatkan waktu perjalanan agar semakin bermakna.
Perbanyak Berzikir
Berzikir adalah ibadah yang sangat mudah. Bisa dilakukan kapan pun dan tanpa mengeluarkan banyak biaya. Namun Alloh menjanjikan ganjaran yang sangat besar bagi orang yang lisannya selalu basah dengan zikir. Apapun kendaraan yang kita gunakan, serta selama apapun kita melakukan perjalanan, berzikir dapat kita lakukan setiap saat. Ketika sedang memegang setang motor atau memegang kemudi roda empat. Ketika berjalan cepat di jalan tol atau kondisi kendaraan kita terjebak macet. Ketika hendak pergi ke kampus atau ketika mudik lebaran ke pulau seberang.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا . وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al Ahzab: 41, 42)
أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingati Alloh-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d: 28)
Dari Abdulloh bin Basr rodhiallohu ‘anhu ia berkata, “Seorang laki-laki pernah berkata kepada Rosululloh, ‘Wahai Rosululloh, sesungguhnya syariat Islam itu banyak maka beri tahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan pegangan!’ Maka Rosul menjawab,
لا يزال لسانك رطبا من ذكر الله
“Hendaklah lisanmu senantiasa basah dengan berzikir pada Alloh.” (HR. Tirmidzi)
Adapun lafal zikir yang dapat kita baca saat perjalanan sangat banyak sekali. Kita dapat membaca tasbih (Subhanalloh), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allohu Akbar), tahlil (Laa ilaha illalloh) ataupun lafal-lafal lainnya yang telah dicontohkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam,
كلمتان خفيفتان على اللسان, ثقيلتان في المزان, حبيبتان الى الرحمان: سبحان الله و بحمده سبحان الله العظيم
“Dua buah kalimat yang ringan di lisan, berat dalam timbangan (mizan) dan dicintai oleh Ar Rohman: Subhanalloh wa bihamdih, Subhanallohil ‘azhiim.” (HR. Bukhori Muslim)
Demikian pula, kita dapat mengucapkan lafal-lafal lainnya seperti ucapan istigfar (Astaghfirulloh) sebagaimana Rosululloh menyebutkan bahwa beliau beristigfar lebih dari 70 kali setiap harinya. Seorang salaf pernah berkata, “Perbanyaklah istigfar di rumah kalian, di depan hidangan kalian, di jalan, di pasar dan dalam majelis-majelis kalian dan di mana saja kalian berada! Karena kalian tidak tahu kapan turunnya ampunan!!”
Kita juga dapat membaca sholawat Nabi yang berasal dari dalil yang shohih sebagaimana sabda beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan dan bersholawatlah untukku karena sesungguhnya sholawat yang engkau ucapkan akan sampai kepadaku di mana saja engkau berada.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Mengulang Hafalan Al Quran
Terkadang waktu perjalanan yang kita lakukan bisa memakan waktu yang cukup lama. Terlebih lagi jika kita perjalanan yang kita lakukan cukup jauh. Hal lain yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu tersebut adalah dengan mengulang-ulang kembali hafalan Al Quran kita.
Sebagai contoh misalnya, perjalanan dari rumah ke sekolah, kampus atau kantor bisa memakan waktu setengah sampai satu jam. Apalagi jika terjebak kemacetan lalu lintas. Waktu setengah jam dapat kita gunakan untuk mengulang hafalan Al Quran setengah sampai satu juz.
Sebenarnya bukan hanya hafalan Al Quran saja yang bisa kita ulang-ulang saat perjalanan. Bagi Anda yang telah menghafal beberapa hadits Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam bisa juga mengulangnya selama perjalanan. Mengulang hafalan hadits Arba’in misalnya.
Mengulang hafalan ini sangat bermanfaat bagi kita. Membaca Al Quran merupakan sebuah amal ibadah dan para salafushalih terdahulu amat semangat dalam membaca Al Quran, menghafalnya, memahaminya dan mengamalkannya. Maka sudah sepantasnya kita sebagai orang yang menisbatkan diri pada manhaj salaf juga turut menghafal Al Quran dengan bersemangat. Namun sangat disayangkan sekali banyak di antara kita yang belum melakukannya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan (Kitabul ‘Ilmi hal 43, 44), “Maka sesungguhnya merupakan kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersemangat dalam membaca, menghafal dan memahami Al Quran karena Al Quran adalah tali Alloh yang sangat kokoh dan fondasi seluruh ilmu pengetahuan. Dahulu para salaf sangat bersemangat dengan Al Quran. Di antara mereka ada yang memiliki kemampuan yang sangat mengagumkan tentang Al Quran. Di antara mereka ada yang telah hafal Al Quran sebelum berumur 7 tahun. Di antara mereka ada yang menghafal Al Quran hanya dalam waktu kurang dari 1 bulan. Hal ini membuktikan semangat mereka atas Al Quran. Maka wajib bagi para penuntut ilmu untuk bersemangat dalam menghafal Al Quran melalui siapa saja, karena Al Quran diambil secara talaqqi (berguru).”
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya sebuah hal yang sangat disayangkan, sering kita jumpai sebagian penuntut ilmu tidak memiliki hafalan Al Quran bahkan sebagian mereka tidak dapat membaca Al Quran dengan baik. Ini merupakan sebuah cacat yang besar dalam metode menuntut ilmu. Oleh karena itu, Aku tekankan kembali bahwasanya wajib bagi para penuntut ilmu untuk bersemangat dalam menghafal Al Quran, beramal dengan Al Quran, berdakwah kepadanya dan memahaminya dengan pemahaman salafushalih.”
Demikianlah perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin, seorang ulama besar di zaman ini tentang wajibnya seorang penuntut ilmu untuk bersemangat dalam menghafalkan Al Quran. Namun sangat disayangkan, sebagian aktivis dakwah di zaman ini lebih sibuk untuk menghafalkan nasyid-nasyid dan mendendangkannya di setiap tempat. Wallohul musta’an.
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran sebagai pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS. Al Qomar: 22)
Awas Jangan Melanggar Rambu Lalu Lintas!!!
Seorang pengendara tentunya mengetahui bahwa ia haruslah menaati rambu-rambu lalu lintas. Maka pengendara yang baik adalah pengendara yang menaati rambu-rambu lalu lintas yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan bersama. Sehingga sudah seharusnya bagi seorang mukmin untuk menaati kesepakatan ini. Sebagai buktinya bahwa setiap pengendara mesti sudah menyepakati peraturan lalu lintas adalah surat izin mengemudi (SIM) yang telah dia dapatkan. Karena menaati peraturan rambu lalu lintas adalah perintah waliyul amr yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dan wajib bagi kaum muslimin untuk menaati perintah waliyul amr selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Alloh ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa: 59)
Sebagaimana pula sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,
المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا, او أحل حراما
“Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi, Ad Daruquthni, Baihaqi dan Ibnu Majah)
Namun sangat disayangkan sekali, banyak di antara kita yang lalai dari menunaikan kewajiban ini. Sering kali kita melihat (atau mungkin kita sebagai pelakunya) orang yang melanggar peraturan lalu lintas yang telah disepakati bersama. Sering kita menyerobot jalur yang semestinya digunakan oleh orang lain. Jalur yang seharusnya digunakan untuk kendaraan yang berbelok ke arah kiri menjadi tertutup, padahal seharusnya kendaraan tersebut dapat langsung berbelok. Maka hal ini merupakan salah satu bentuk kezholiman dan Alloh ta’ala telah melarang hamba-Nya untuk berbuat zholim, Alloh berfirman dalam sebuah hadits qudsi,
يا عبادي إني حرّمت الظلم على نفسي وجعلته محرّما بينكم فلا تظالموا
“Wahai hamba-Ku sesungguhnya Aku mengharamkan kezholiman atas diriku dan Aku jadikan hal tersebut haram di antara kalian maka janganlah kalian saling berbuat zholim.” (HR. Muslim)
Demikian juga kita dapati banyak sekali para pengendara yang menerobos lampu lalu lintas ketika sinyal berwarna merah yang menandakan harus berhenti. Jika orang tersebut berkilah bahwa dia terburu-buru, maka kita katakan bahwa tidak mustahil orang lain pun memiliki kepentingan yang lebih mendesak dibandingkan kita. Sering kali terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut malah menimbulkan mudhorot yang lebih besar seperti kecelakaan lalu lintas bahkan tidak jarang menelan korban jiwa.
Oleh sebab itu, hendaknya sebagai seorang pengendara yang baik, kita menaati peraturan lalu lintas yang telah disepakati bersama.
المسلمون على شروطهم إلا شرطا حرم حلالا, او أحل حراما
“Seorang muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Muslim)
Awas, Pandangan Liar !!!
Selama perjalanan, banyak hal-hal yang kita lihat. Terlebih lagi jika perjalanan kita banyak melewati tempat-tempat keramaian seperti pasar dan semacamnya. Maka pada tempat-tempat seperti itu, panah-panah syaitan mengintai bani Adam. Syaitan siap melepaskan panah-panahnya namun sasarannya adalah mata bani Adam. Panah-panah syaitan ini berupa pandangan mata kita kepada sesuatu yang haram untuk dilihat baik berupa aurat maupun hal lainnya. Maka orang yang sedang melakukan perjalanan hendaknya mampu untuk menjaga pandangannya.
Sangat banyak ayat dan hadits yang telah menjelaskan tentang wajibnya menjaga pandangan. Di antaranya firman Alloh ta’ala,
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” (QS. An Nuur: 30)
Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly hafizhohulloh berkata (Bahjatun Nadhirin 3/142,143), “Ini adalah perintah Alloh kepada hamba-hambanya yang beriman agar mereka menjaga pandangan dari hal yang haram. Maka janganlah mereka melihat kecuali hal-hal yang diperbolehkan untuk dilihat. Hendaklah mereka memejamkan mata mereka dari hal-hal yang diharamkan. Jika pada suatu saat pandangan mereka tertuju pada hal yang haram tanpa sengaja, maka palingkan pandangannya sesegera mungkin sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits.
Beliau melanjutkan, “Diharamkannya An Nadhor (memandang pada hal yang haram -pent) karena hal ini menyebabkan rusaknya hati dan menggiring kepada perbuatan buruk dengan berangan-angan tentang hal tersebut dan berjalan padanya. Oleh karena itu Alloh memerintahkan untuk menjaga kemaluan sebagaimana Ia memerintahkan untuk menjaga pandangan yang merupakan sarana untuk menjaga kemaluan. Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa barang siapa yang menjaga kemaluannya, maka Alloh akan menganugerahkan cahaya pada mata hatinya. Oleh karena itu Alloh mengatakan, “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.” Banyak di antara para salaf yang melarang seorang laki-laki untuk memandang amrod (anak kecil yang tampan dan belum tumbuh janggutnya -pent). Bahkan sebagian ulama mengharamkannya karena fitnah yang sangat besar.”
Demikianlah, jangan sampai perjalanan kita justru akan membawa mudhorot kepada kita dengan hilangnya cahaya dari Alloh pada hati kita karena pandangan liar yang kita lemparkan.
Seorang yang sholih pernah berkata, “Barang siapa yang menghidupkan perkara lahirnya dengan mengikuti sunnah, dan batinnya senantiasa mendekatkan diri pada Alloh, menjaga pandangannya dari hal yang haram, menjaga jiwanya dari syubhat dan makan makanan yang halal maka firasatnya tidak akan keliru.” Maka balasan yang diberikan akan setimpal dengan amal perbuatan yang dilakukan. Barang siapa menjaga pandangannya dari hal yang haram, maka Alloh akan memberikan cahaya pada hatinya. (Tazkiyatun Nufus, DR. Ahmad Farid, hal 39).
Selain ayat di atas yang menegaskan tentang wajibnya kita menjaga pandangan, ada banyak sekali hadits-hadits dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut. Salah satunya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari sahabat Abu Hurairoh bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Telah ditetapkan nasib keturunan Adam tentang zina yang tidak bisa tidak, mesti dia lakukan: Zina kedua mata dengan melihat, zina kedua telinga dengan mendengar, zinanya lisan dengan berbicara, zina kedua tangan dengan memukul, zinanya kaki dengan berjalan, dan hati dengan bernafsu dan berangan-angan. Maka kemaluanlah yang membenarkan hal tersebut atau mendustakannya.” (HR. Bukhori Muslim)
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilal hafizhohulloh mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Nasihat Nabawi untuk meninggalkan zina dan hal-hal yang menjadi muqoddimah (pendahuluan) zina. Sebagaimana firman Alloh ta’ala,
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra: 32) [Bahjatun Nazhirin 3/144].
Demikianlah, hendaknya pada saat perjalanan, kita bisa menjaga pandangan kita karena pada saat inilah banyak orang-orang asing yang kita lihat. Namun hal ini bukan berarti bahwa kita harus menutup mata selama perjalanan sehingga bahkan rambu lalu lintas pun tidak kita lihat, bisa kacau urusannya. Namun hendaklah kita melihat apa yang diperbolehkan kita melihatnya seperti jalan, pemandangan alam dan lain sebagainya. Kemudian kita menjaga pandangan kita dari hal-hal yang diharamkan untuk kita lihat baik berupa gambar-gambar maupun aurat manusia.
Penutup
Demikianlah, sedikit tips yang dapat kami berikan untuk mengisi waktu perjalanan kita. Penyebutan yang kami sebutkan di sini hanyalah sekedar contoh bukan pembatasan. Masih banyak kegiatan lain yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita untuk mengisi waktu perjalanan. Bisa dengan membaca buku yang bermanfaat seperti kisah para sahabat maupun para ulama. Kita juga bisa mendengarkan yang bermanfaat seperti mendengarkan bacaan Al Quran dan lain sebagainya. Atau mungkin juga kita bisa mendoakan orang-orang yang kita cintai seperti orang tua, teman, keluarga dan lain-lain, karena salah satu penyebab terkabulnya doa adalah ketika kita dalam kondisi safar. Semoga yang sedikit ini bisa memberikan manfaat untuk kita semua. Amiin ya mujibbas saailiin.
Maraji’:
- Terjemah Hisnul Muslim.
- Tazkiyatun Nufus, DR. Ahmad Farid, Darul Qolam Beirut.
- Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihiin, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilal, Daar ibnul Jauzi, Kerajaan Saudi Arabia.
- Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Daar Ats Tsuraya.
***
Penulis: Abu Fatah Amrullah (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Afifi Abdul Wadud
Artikel www.muslim.or.id
Bekal Safar: Kutitipkan Mereka Kepada-Mu, Ya Allah…
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. as-Sholatu was Salamu ‘ala Khatamin Nabiyyin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid diin. Amma ba’du.
Perjalanan jauh atau safar merupakan peristiwa yang sering dialami manusia. Dari daerah yang satu menuju daerah yang lainnya. Dari suatu negara ke negara yang lainnya. Di dalamnya mereka kerapkali menemui berbagai hal yang tidak biasa mereka temui dan hal-hal tidak menyenangkan hati, ditinjau dari sisi agama maupun dari sisi keduniaan. Perkara-perkara itulah yang terkadang menjadi sebab perubahan yang ada dalam dirinya. Bisa jadi bertambah baik, namun bisa juga justru bertambah jelek. Oleh karena itu agama Islam yang sempurna dan elok ini telah menuntunkan kepada umatnya melalui lisan dan teladan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai bekal apakah yang semestinya dipersiapkan oleh seorang mukmin sebelum keberangkatannya dan apa yang diucapkan di saat-saat menjelang perpisahan itu. Berikut ini salah satu Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kita menjumpai keadaan semacam itu.
Perpisahan dalam naungan as-Sunnah
Imam Abu Dawud rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Sunannya dalam Kitab al-Jihad dengan judul Bab Fid Du’a ‘indal Wada’ (Doa ketika berpisah, yaitu sebelum melakukan perjalanan/safar). Kemudian beliau membawakan hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma:
عَنْ قَزَعَةَ قَالَ قَالَ لِى ابْنُ عُمَرَ هَلُمَّ أُوَدِّعْكَ كَمَا وَدَّعَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
Dari Qoza’ah, dia berkata: Ibnu Umar -radhiyallahu’anhuma- berkata kepadaku, “Kemarilah, akan kulepas kepergianmu sebagaimana ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku (yaitu dengan doa), ‘Astaudi’ullaha diinaka wa amaanataka wa khawaatima ‘amalik‘ (Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agamamu, amanatmu, dan akhir penutup amalmu).” (HR. Abu Dawud, Syaikh al-Albani berkata: Hadits ini sahih dengan banyak jalannya, sebagiannya disahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan adz-Dzahabi. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud [7/353] software Maktabah asy-Syamilah)
Bacaan doa ketika memberangkatkan pasukan
Tuntunan doa seperti ini tidak khusus untuk perorangan, bahkan berlaku pula untuk rombongan. Termasuk di dalamnya rombongan pasukan perang. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْخَطْمِىِّ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَوْدِعَ الْجَيْشَ قَالَ أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ .
Dari Abdullah al-Khathmi -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak melepas keberangkatan pasukan beliau maka beliau membaca doa, ‘Astaudi’ullaha diinakum wa amaanatakum wa khawaatima a’maalikum‘ (Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agama kalian, amanat yang kalian emban, dan akhir penutup amal kalian).” (HR. Abu Dawud. Syaikh al-Albani mengatakan: Sanadnya sahih sesuai dengan kriteria Muslim. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud [7/354] software Maktabah asy-Syamilah)
Abu at-Thayyib rahimahullah menerangkan makna ‘pasukan’ dalam hadits ini,
أي العسكر المتوجه إلى العدو
“Artinya adalah pasukan tentara yang akan diberangkatkan untuk menyerang musuh.” (Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud [7/187] software Maktabah asy-Syamilah)
Bekali dirimu dengan takwa
Perjalanan tentunya membutuhkan perbekalan. Dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan. Karena dengan ketakwaan itulah seorang hamba akan mendapatkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapinya, dimudahkan urusannya, dan bahkan dia akan bisa mendapatkan rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Allah ta’ala berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Qs. al-Baqarah: 197)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِب
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah berikan baginya jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.” (Qs. at-Thalaq: 2-3)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah jadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Qs. at-Thalaq: 4)
Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan,
عن أنس قال : جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إني أريد سفرا فزودني قال زودك الله التقوى قال زدني قال وغفر ذنبك قال زدني بأبي أنت وأمي قال ويسر لك الخير حيثما كنت
Dari Anas -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian/safar maka berilah saya bekal.” Maka beliau menjawab, “Zawwadakallahut taqwa (semoga Allah membekalimu takwa).” Lalu dia berkata, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Wa ghafara dzanbaka (semoga Allah mengampuni dosamu).” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu.” Beliau menjawab, “Wa yassara lakal khaira haitsuma kunta (semoga Allah mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada).” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan gharib. Syaikh al-Albani mengatakan: hasan sahih. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi [3/155] software Maktabah asy-Syamilah)
Imam Ibnu as-Suni rahimahullah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi doa yang sedikit berbeda,
عن أنس ، رضي الله عنه أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال : يا رسول الله ، إني أريد سفرا، فزودني. قال : زودك الله التقوى . قال : زدني. قال : وغفر لك ذنبك . قال : زدني. قال : ووجهك للخير حيثما توجهت
Dari Anas radhiyallahu’anhu bahwa ada seorang lelaki yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian. Berilah saya bekal.” Maka beliau menjawab, “Semoga Allah membekalimu dengan takwa.” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosamu.” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Semoga Allah mengarahkanmu kepada kebaikan ke arah mana pun kamu menempuh perjalanan.” (HR. Ibnu as-Suni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah [2/461], lihat juga Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih karya Syaikh Abul Hasan Hisamuddin ar-Rehmani al-Mubarakfuri rahimahullah [8/189] software Maktabah asy-Syamilah)
at-Thibi rahimahullah menerangkan makna doa ‘zawwadakallahut taqwa‘,
زادك أن تتقي محارمه وتجتنب معاصيه
“Semoga Allah membekalimu dengan ketakwaan yang akan membuatmu menjaga diri dari perkara-perkara yang diharamkan-Nya dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Dinukil dari Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih [8/190] software Maktabah asy-Syamilah)
Allah tak akan menyia-nyiakan ‘barang titipan’
Imam Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan,
عن أبي هريرة قال ودعني رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال أستودعك الله الذي لا تضيع ودائعه
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku dengan mengucapkan, ‘Astaudi’ukallahalladzi laa tadhii’u wadaa-i’uhu‘ (Kutitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan pernah tersia-siakan apa yang dititipkan kepada-Nya).” (HR. Ibnu Majah. Disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [16 dan 2547] dan Takhrij al-Kalim at-Thayyib [167], lihat Shahih Ibnu Majah [2/133] software Maktabah asy-Syamilah)
al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna bacaan ini,
أي الذي إذا استحفظ وديعة لا تضيع فإنه تعالى إذا استودع شيئا حفظه
“Artinya: -Allah adalah- sosok yang apabila diserahkan kepadanya suatu barang titipan maka barang itu tidak akan tersia-siakan, karena Allah ta’ala apabila dititipi sesuatu maka Allah pasti akan menjaganya…” (Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah)
Beliau juga menerangkan,
ويندب لكل من المتوادعين أن يقول للآخر ذلك وأن يزيد المقيم زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك للخير حيثما كنت
“Dianjurkan bagi masing-masing orang di antara kedua belah pihak yang berpisah untuk mengucapkan bacaan itu kepada saudaranya yang lain dan hendaknya orang yang mukim menambahkan bacaan ‘zawwadakallahut taqwa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta‘.” (Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah)
Jagalah -aturan- Allah, Allah ‘kan menjagamu!
Ketika menerangkan kandungan hadits ‘ihfazhillaha yahfazhka‘ (jagalah Allah niscaya Allah menjagamu), al-Hafizh lbnu Rajab al-Hanbali rahimahullah menerangkan,
فإن الله عز و جل يحفظ المؤمن الحافظ لحدود دينه ويحول بينه وبين ما يفسد عليه دينه بأنواع من الحفظ وقد لا يشعر العبد ببعضها وقد يكون كارها له كما قال في حق يوسف عليه السلام كذلك لنصرف عنه السوء والفحشاء إنه من عبادنا المخلصين يوسف قال ابن عباس في قوله تعالى إن الله يحول بين المرء وقلبه قال يحول بين المؤمن وبين المعصية التي تجره إلى النار
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla akan menjaga seorang mukmin yang berusaha untuk senantiasa menjaga batasan/aturan agama Allah dan Allah akan menghalangi dirinya dari perkara-perkara yang akan merusak agamanya dengan berbagai macam bentuk penjagaan, yang terkadang hamba tersebut tidak menyadari sebagiannya. Bahkan bisa jadi dia merasa tidak suka atas perkara itu (bentuk penjagaan Allah, pent). Hal ini sebagaimana yang Allah ceritakan mengenai keadaan -Nabi- Yusuf ‘alaihis salam (dalam ayat yang artinya), ‘Demikianlah Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia termasuk kalangan hamba Kami yang ikhlas.’ (Qs. Yusuf). Ibnu Abbas -radhiyallahu’anhuma- mengatakan ketika menafsirkan kandungan firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya Allah akan menghalangi antara seseorang dengan hatinya’ maksudnya adalah: Allah akan menghalangi antara diri seorang mukmin dengan kemaksiatan yang akan menyeretnya ke dalam neraka…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal 243)
Ibnu Rajab menukilkan sebuah atsar dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
إن العبد ليهم بالأمر من التجارة والإمارة حتى ييسر له فينظر الله إليه فيقول للملائكة اصرفوه عنه فإنه إن يسرته له أدخلته النار فيصرفه الله عنه فيظل يتطير بقوله سبني فلان وأهانني فلان وما هو إلا فضل الله عز جل
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang bertekad untuk meraih ambisinya dalam hal perdagangan (baca: urusan bisnis) dan urusan kepemimpinan sehingga diapun dimudahkan ke arah itu. Kemudian Allah memperhatikan dirinya, lalu Allah katakan kepada para malaikat, ‘Palingkanlah hal itu darinya. Sebab jika hal itu Aku mudahkan untuknya niscaya hal itu justru akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka’. Maka Allah pun memalingkan urusan itu darinya sampai-sampai dia merasa dirinya selalu bernasib sial seraya mengatakan, ‘Si fulan mengolok-olokku’, ‘Si fulan menghinakanku’. Padahal sebenarnya apa yang dialaminya itu tidak lain adalah karunia yang diberikan Allah ‘azza wa jalla -kepadanya-…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal 243)
Pelajaran yang bisa dipetik
Keterangan-keterangan di atas memberikan banyak pelajaran bagi kita, antara lain:
Semestinya orang yang hendak bepergian mempersiapkan bekal (uang atau makanan, dsb), dan bekal yang terbaik adalah ketakwaan.
Perintah untuk senantiasa mengingat Allah dalam berbagai keadaan, sebab barangsiapa yang mengingat Allah maka Allah akan mengingatnya.
Hendaknya seorang mukmin menyukai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang dia sukai untuk dirinya sendiri, dan salah satu wujudnya adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya.
Disyari’atkan untuk membaca doa ‘astaudi’ullaha diinaka wa amaanatak wa khawaatima ‘amalik‘, atau ‘astaudi’ukallahalladzi laa tadhii’u wadaa-i’uh‘ ketika akan berpisah. Bagi orang yang mengantarkan bisa juga dengan doa ‘zawwadakallahut taqwa, wa ghafara dzanbaka, wa yassarallahu lakal khaira haitsuma kunta‘ dan yang serupa dengannya sebagaimana disebutkan dalam riwayat.
Sebab penjagaan Allah kepada diri seorang hamba adalah keteguhan dirinya dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan di mana pun dia berada. Perkara yang wajib jelas harus lebih diprioritaskan, dan lebih bagus lagi jika ditambah dengan amalan sunnah sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi.
Bentuk penjagaan yang Allah berikan kepada seorang hamba tidak selamanya terasa menyenangkan bagi jiwa/perasaan manusia. Bisa jadi secara lahir seseorang tertimpa musibah atau perkara lain yang tidak disukainya -dalam urusan keduniaan- namun sebenarnya hal itu adalah bentuk penjagaan Allah kepada dirinya, Maha suci Allah dari perlakuan aniaya kepada hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sehingga pemberian suatu nikmat dunia kepada seseorang tidak secara otomatis menunjukkan bahwa Allah meridhai hal itu bagi kita. Karena bisa jadi nikmat yang Allah beri merupakan bentuk hukuman yang ditunda, sedangkan nikmat yang dicabut dengan adanya musibah merupakan sarana penghapusan dosa baginya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang lain (bagian akhir dari faedah ini kami peroleh dari kitab al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid).
Penjagaan yang Allah berikan kepada hamba tergantung pada tingkat kesungguhannya dalam menjalankan petunjuk-Nya. Hal itu sebagaimana ayat (yang artinya), “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada-Nya jalan-jalan (menuju keridhaan) Kami.” (Qs. al-Ankabut: 69). Dan juga ayat (yang artinya), “Orang-orang yang berjalan di atas petunjuk niscaya akan Allah tambahkan hidayah kepada mereka dan Allah akan berikan kepada mereka ketakwaan mereka.” (Qs. Muhammad: 17)
Hal ini -pelajaran no-7- sekaligus menunjukkan kepada kita kebenaran ucapan para ulama kita, ‘min tsawabil hasanati al-hasanatu ba’daha‘ (salah satu balasan kebaikan adalah munculnya kebaikan sesudahnya). Dalil ucapan ini adalah firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11) (faedah ini kami peroleh dari kitab al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang sempurna dan mencakup berbagai sisi kehidupan manusia. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama (baca: bid’ah).
Hadits-hadits di atas juga menunjukkan bahwa hadits Nabi -yang sah- tidak akan pernah bertentangan dengan ayat-al-Qur’an. Dan menunjukkan bahwa apa yang beliau ajarkan adalah berlandaskan wahyu dari Allah ta’ala, bukan hasil rekayasa budaya manusia. Hal ini sekaligus menjadi bantahan bagi kaum liberal dan pluralis yang menyatakan bahwa al-Qur’an -begitu pula as-Sunnah, sebagai konsekuensi logis atasnya- yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah muntaj tsaqafi (produk budaya) dan bukan wahyu ilahi. Maha Suci Allah dari kotornya ucapan mereka… Tidakkah mereka membaca firman Allah yang sedemikian gamblang dan terang (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya. Hanya saja yang dia ucapkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. an-Najm: 3-4)? Ataukah barangkali mata hati mereka telah membuta… Na’dzubillahi min dzalik! Maka ambillah pelajaran wahai Ulil Abshar (orang-orang yang memiliki mata hati)…
Demikianlah paparan singkat dan sangat sederhana ini. Nasehat dan teguran sangat kami harapkan demi kebaikan kita semua. Semoga kita termasuk orang yang menghidupkan Sunnah ketika banyak orang telah melupakan dan melalaikannya. Semoga Allah memberikan keteguhan kepada kita untuk bersabar di atas ketakwaan kepada-Nya hingga ajal tiba, wallahul muwaffiq. Kami juga memohon ampun kepada Allah ta’ala atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, Senin 16 Syawwal 1430 H
Hamba yang sangat membutuhkan ampunan Rabbnya
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id