Hijrah Kepada Allah dan Rasul-Nya
Di dalam Risalah Tabukiyah, Imam Ibnul Qoyyim membagi hijrah menjadi 2 macam. Pertama, hijrah dengan hati menuju Alloh dan Rosul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang di setiap waktu. Macam yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Alloh dan Rosul-Nya adalah yang paling pokok.
Hijrah Dengan Hati Kepada Alloh
Alloh berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50)
Inti hijrah kepada Alloh ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Alloh menuju apa yang dicintai-Nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Alloh.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Alloh, “Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illalloh.
Hijrah Dengan Hati Kepada Rosululloh
Alloh berfirman, “Maka demi Robbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)
Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rosululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rosululloh.
Pilihan Alloh dan Rosul-Nya itulah satu-satunya pilihan
Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Alloh dan Rosul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Alloh. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Alloh dan Rosul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.
Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka).
(Disadur dari majalah As Sunnah edisi 11/VI/1423 H)
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Masalah Kedua: Manakah yang lebih utama, berhijrah ataukah tinggal di negeri fasik?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ketika menanggapi pertanyaan tentang hukum hijrah wajib ataukah sunnah maka beliau mengatakan:
“Dalam hal ini ada perincian. Apabila seseorang sanggup menampakkan agamanya dan memperlihatkannya secara terang-terangan serta tidak ada penghalang yang menghambatnya untuk itu, maka dalam kondisi ini hijrah hukumnya sunnah baginya. Adapun apabila ternyata dia tidak sanggup (menampakkan agamanya) maka berhijrah hukumnya wajib, dan inilah batasan untuk membedakan antara yang sunnah dengan yang wajib. Hukum tersebut berlaku apabila negeri tersebut adalah negeri kafir. Adapun di negeri fasik yaitu suatu negeri yang kefasikan dilakukan secara terang-terangan dan dipertontonkan, maka kami katakan kepadanya; apabila seseorang merasa khawatir terhadap keselamatan dirinya dari ikut terjerumus dalam kemaksiatan yang banyak dilakukan oleh penduduk negeri tersebut maka dalam kondisi ini hukum hijrah adalah wajib baginya. Apabila dia tidak khawatir atas hal itu maka hukum hijrah tidak sampai derajat wajib baginya.
Bahkan bisa saja kami katakan bahwa apabila dengan keberadaannya di sana memberikan maslahat dan upaya perbaikan maka hukum tinggal di sana baginya adalah wajib karena kebutuhan penduduk negeri tersebut kepadanya dalam rangka menegakkan perbaikan, menggalakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Dan sungguh aneh ada sebagian orang yang sengaja meninggalkan negeri Islam (mungkin maksud beliau negeri Islam yang kefasikan banyak bertebaran, pent) dan justru berpindah ke negeri kafir. Sebab apabila orang-orang yang mampu melakukan perbaikan pergi dari sana lalu siapakah yang akan tetap tinggal untuk mendakwahi orang-orang yang gemar berbuat kerusakan dan kemaksiatan itu. Bahkan terkadang kondisi negeri itu akan lebih bertambah parah gara-gara sedikitnya jumlah orang yang melakukan perbaikan dan banyaknya jumlah orang yang melakukan kerusakan dan kemaksiatan. Namun apabila dia masih mau tinggal dan menjalankan dakwah ilallah sesuai dengan keadaannya maka tentunya kelak dia akan sanggup memperbaiki orang-orang lain. Dan orang yang diajaknya itu juga akan mengajak orang lainnya lagi kepada kebaikan sampai pada suatu saat orang-orang yang tinggal di situ akan menjadi baik berkat dakwah mereka.
Apabila mayoritas orang sudah baik maka secara umum orang-orang yang menduduki tampuk pemerintahan pun akan ikut menjadi baik meskipun hal itu terjadi dengan jalan tekanan atau keterpaksaan. Akan tetapi ada satu permasalahan yang justru memperburuk keadaan ini. Dan sungguh menyedihkan, ternyata sumbernya adalah orang-orang shalih itu sendiri. Kalian dapatkan orang-orang shalih itu justru bergolong-golongan, berpecah belah serta tercerai berai kesatuan mereka hanya karena perselisihan dalam beberapa persoalan hukum agama yang perbedaan pendapat masih dimaafkan di dalamnya, inilah yang terjadi sebenarnya. Terlebih lagi di negeri-negeri yang ajaran Islam belum bisa diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Sehingga terkadang mereka terjerumus dalam sikap saling memusuhi, saling membenci dan saling memboikot hanya gara-gara permasalahan mengangkat tangan ketika shalat (i’tidal).
Saya akan menceritakan kepada kalian sebuah kisah nyata yang saya alami sendiri ketika berada di Mina. Pada suatu hari, seorang direktur bimbingan haji datang menemui saya bersama dengan dua rombongan jama’ah haji berkebangsaan Afrika dimana salah satu dari mereka mengkafirkan yang lainnya. Lalu apakah yang menjadi alasannya ?? Maka sang direktur menceritakan; salah satu diantara keduanya mengatakan bahwa amal yang sunnah dilakukan oleh orang yang sedang shalat ketika berdiri (i’tidal) adalah meletakkan kedua tangannya di atas dada. Sedangkan orang yang satunya mengatakan yang sunnah itu adalah membiarkan kedua tangan terjulur ke bawah. Padahal permasalahan ini adalah perkara hukum cabang yang mudah dan bukan tergolong masalah fundamental dan furu’ (saya tidak paham apa maksud penambahan kata furu’ oleh Syaikh di sini, pent). Mereka (rombongan yang satunya) membantah orang itu seraya mengatakan: ‘Ah, bukan demikian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku.” Dan ini merupakan kekafiran yang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai berlepas diri darinya.’ Maka berdasarkan pemahaman yang keliru inilah rombongan yang satu mengkafirkan rombongan yang lainnya.
Namun catatan terpenting (dari kisah ini) adalah sebagian penyeru kebaikan di negeri-negeri yang ajaran Islamnya belum kokoh terpatri di masyarakat justru terjatuh dalam tindakan saling mencap ahli bid’ah dan tukang maksiat kepada sesama saudaranya. Kalau saja mereka mau bersatu padu dan kalaupun tetap berbeda pendapat namun dada mereka tetap merasa lapang terhadap adanya perselisihan yang memang masih diperkenankan dan mereka itu tetap berada dalam sebuah kesatuan maka niscaya kondisi umat pun akan semakin bertambah baik. Akan tetapi bagaimana apabila ternyata ummat justru melihat orang-orang yang berupaya memperbaiki keadaan dan berjalan di atas garis istiqamah ini malah menyuburkan rasa dengki dan perselisihan dalam berbagai persoalan agama di antara sesama mereka, maka niscaya umat akan berbalik meninggalkan mereka beserta kebaikan dan petunjuk yang mereka bawa. Bahkan bisa jadi hal itu menyebabkan mereka berbalik kepada keburukan lagi (alias futur, pent), dan inilah kenyataan yang terjadi, wal ‘iyaadzu billaah.
Sehingga anda pun bisa melihat, ada seorang pemuda yang baru saja menempuh jalan keistiqamahan dengan anggapan di dalam dirinya bahwa ajaran agama itu penuh dengan kebaikan, petunjuk, kelapangan dada dan membuahkan ketenangan hati kemudian dia melihat realita perselisihan, pertentangan, kebencian dan permusuhan yang terjadi diantara orang-orang yang istiqamah maka akhirnya diapun memilih untuk meninggalkan jalur keistiqamahan gara-gara dia tidak berhasil menemukan apa yang dia cari.
Kesimpulannya, hukum hijrah dari negeri kafir tidaklah sama dengan hukum hijrah dari negeri fasik. Sehingga terkadang bisa dikatakan kepada seseorang; bersabarlah dan harapkanlah pahala (tidak usah pergi) apalagi jika ternyata anda adalah orang yang sanggup melakukan upaya perbaikan. Dan bahkan bisa jadi dikatakan kepadanya bahwa sebenarnya hukum berhijrah bagimu adalah haram.” (Syarah Arba’in, hal. 17-18).
***
Disusun oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id