Memulai Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal
Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk membiasakan diri menghitung
bulan Sya’ban dalam rangka mempersiapkan masuknya bulan Ramadhan,
karena hitungan hari dalam sebulan dari bulan-bulan hijriyyah 29 hari
atau 30 hari.
Hal ini sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, diantaranya :
1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha :
كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
Artinya :
“Bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh menghitung bulan Sya’ban dalam rangka persiapan Shaum Ramadhan ([1]) melebihi kesungguhannya dari selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudiaan shaum.” ([2])
2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
أَحْصُوا هِلاَلَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ (رواه الترمذي، و الحاكم)
Artinya :
“Hitunglah hilal (bulan) Sya’ban untuk (mempersiapkan) bulan Ramadhan.” [HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim] ([3])
Wajib atas kaum muslimin untuk melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. hadits riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (وَعَقَدَ اْلإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ)، وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (يَعْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ ) - [متفق عليه]
Artinya :
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung ([4]). Ketahuilah bahwa jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian (sambil berisyarat dengan sepuluh jarinya - pen), sekian, dan sekian (dengan menekuk ibu jari tangannya pada kali yang ketiga) Dan jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian, sekian, dan sekian (yakni genap 30 hari).” [Muttafaq ‘alaih].([5])
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ummatnya untuk memulai shaum Ramadhan dengan berdasarkan ru’yatul hilal. Bila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka dengan melengkapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ [متفق عليه]
Artinya :
“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” [HR.Bukhari]([6])
Adapun sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ [متفق عليه]
Artinya :
“Janganlah kalian bershaum kecuali setelah melihat hilal (Ramadhan) dan jangan pula berhari raya kecuali setelah melihat hilal (Syawwal). Jika terhalangi, ‘perkirakanlah’ “ [Muttafaq ‘alaihi]([7]),
Maka lafadh ( فَاقْدِرُوا لَهُ ) yang secara lughowy artinya ‘perkirakanlah’, telah ditafsirkan oleh riwayat sebelumnya dengan lafadh (فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن) atau (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ ) yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari”([8]) atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. ([9])
Bukanlah makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah (ضَيِّقُوا ), “persingkat (bulan Sya’ban menjadi 29 hari saja)” atau penafsiran lainnya. Sebab sebaik-baik tafsir terhadap suatu hadits adalah hadits yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar :
أَوْلَى مَا فُسِّرَ الْحَدِيْثُ بالْحَدِيْثِ
Artinya :
“sebaik-baik penafsiran hadits adalah dengan hadits yang lain.“([10])
Dan demikianlah pendapat jumhur ‘ulama. Sebagaimana dikatakan oleh Al Maaziri :
“Jumhur ulama mengartikan makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah dengan melengkapi hitungan menjadi 30 hari berdasarkan hadits yang lainnya. Mereka menyatakan : ‘Dan tidak diartikan dengan perhitungan ahli hisab (astronomi) karena jika manusia dibebani untuk itu justru mempersulit mereka disebabkan ilmu tersebut tidak diketahui kecuali oleh orang-orang tertentu. Sedangkan syari’at mengajarkan kepada manusia sesuai dengan yang dipahami oleh kebanyakan mereka.” ([11])
Footnote :
[1] Lihat ‘Aunul Ma’bud Kitabush Shiyaam, bab 6, hadits no. 2322, makna lafadz (يَتَحَفَّظُ )
[2] HR. Abu Dawud. 2325 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits no. 2325, dan dalam Misykatul Mashabih 1980 [12],
[3] Sunan At-Tirmidzi Abwaabush Shaum bab 4 hadits no. 682 dan Al-Mustadrak hadits no. 1548
[4] Disebut Ummiy karena tidak bisa menulis dan menghitung (hisab). Dan yang dimaksud dengan hisab adalah ilmu perbintangan (lihat Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no. 1913).
[5] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1913 , Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 15-[1080].
[6] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no.1909
[7] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1906, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 3 - [1080]
[8] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1907
[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909
[10] Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1906
[11] Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi v Kitabush Shiyam hadits no. 3 - [1080].
(Dikutip dari tulisan "Wajibnya Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=223)
Hal ini sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, diantaranya :
1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha :
كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
Artinya :
“Bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh menghitung bulan Sya’ban dalam rangka persiapan Shaum Ramadhan ([1]) melebihi kesungguhannya dari selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudiaan shaum.” ([2])
2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
أَحْصُوا هِلاَلَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ (رواه الترمذي، و الحاكم)
Artinya :
“Hitunglah hilal (bulan) Sya’ban untuk (mempersiapkan) bulan Ramadhan.” [HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim] ([3])
Wajib atas kaum muslimin untuk melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. hadits riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (وَعَقَدَ اْلإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ)، وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (يَعْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ ) - [متفق عليه]
Artinya :
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung ([4]). Ketahuilah bahwa jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian (sambil berisyarat dengan sepuluh jarinya - pen), sekian, dan sekian (dengan menekuk ibu jari tangannya pada kali yang ketiga) Dan jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian, sekian, dan sekian (yakni genap 30 hari).” [Muttafaq ‘alaih].([5])
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ummatnya untuk memulai shaum Ramadhan dengan berdasarkan ru’yatul hilal. Bila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka dengan melengkapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ [متفق عليه]
Artinya :
“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” [HR.Bukhari]([6])
Adapun sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ [متفق عليه]
Artinya :
“Janganlah kalian bershaum kecuali setelah melihat hilal (Ramadhan) dan jangan pula berhari raya kecuali setelah melihat hilal (Syawwal). Jika terhalangi, ‘perkirakanlah’ “ [Muttafaq ‘alaihi]([7]),
Maka lafadh ( فَاقْدِرُوا لَهُ ) yang secara lughowy artinya ‘perkirakanlah’, telah ditafsirkan oleh riwayat sebelumnya dengan lafadh (فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن) atau (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ ) yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari”([8]) atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. ([9])
Bukanlah makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah (ضَيِّقُوا ), “persingkat (bulan Sya’ban menjadi 29 hari saja)” atau penafsiran lainnya. Sebab sebaik-baik tafsir terhadap suatu hadits adalah hadits yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar :
أَوْلَى مَا فُسِّرَ الْحَدِيْثُ بالْحَدِيْثِ
Artinya :
“sebaik-baik penafsiran hadits adalah dengan hadits yang lain.“([10])
Dan demikianlah pendapat jumhur ‘ulama. Sebagaimana dikatakan oleh Al Maaziri :
“Jumhur ulama mengartikan makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah dengan melengkapi hitungan menjadi 30 hari berdasarkan hadits yang lainnya. Mereka menyatakan : ‘Dan tidak diartikan dengan perhitungan ahli hisab (astronomi) karena jika manusia dibebani untuk itu justru mempersulit mereka disebabkan ilmu tersebut tidak diketahui kecuali oleh orang-orang tertentu. Sedangkan syari’at mengajarkan kepada manusia sesuai dengan yang dipahami oleh kebanyakan mereka.” ([11])
Footnote :
[1] Lihat ‘Aunul Ma’bud Kitabush Shiyaam, bab 6, hadits no. 2322, makna lafadz (يَتَحَفَّظُ )
[2] HR. Abu Dawud. 2325 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits no. 2325, dan dalam Misykatul Mashabih 1980 [12],
[3] Sunan At-Tirmidzi Abwaabush Shaum bab 4 hadits no. 682 dan Al-Mustadrak hadits no. 1548
[4] Disebut Ummiy karena tidak bisa menulis dan menghitung (hisab). Dan yang dimaksud dengan hisab adalah ilmu perbintangan (lihat Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no. 1913).
[5] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1913 , Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 15-[1080].
[6] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no.1909
[7] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1906, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 3 - [1080]
[8] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1907
[9] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909
[10] Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1906
[11] Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi v Kitabush Shiyam hadits no. 3 - [1080].
(Dikutip dari tulisan "Wajibnya Shaum Ramadhan Berdasarkan Ru’yatul Hilal". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=223)
Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi oleh Mendung
Telah diketahui bahwa jika hilal terhalangi oleh awan, kabut atau
semisalnya setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 29 dari bulan
Sya’ban, maka digenapkanlah bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Dan
pendapat yang paling benar adalah tidak bolehnya shiyam/puasa pada
keesokan harinya.
Karena secara hukum asal dan yang yakin (pasti) adalah masih berlangsungnya bulan Sya’ban, sedangkan keluar dari bulan Sya’ban adalah perkara yang masih diragukan. Sementara kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang yakin kecuali dengan keyakinan yang semisalnya. Adapun sesuatu yang masih bersifat ragu (kemungkinan), tidak boleh didahulukan atas sesuatu yang bersifat yakin (pasti). ([1])
Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
…. وَلاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوهُ ثُمَّ صُومُوا حَتىَّ تَرَوهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غُمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ثُمَّ أَفْطِرُوا، وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَ عِشْرُونَ [رواه أبو داود و الترمذي والنسائي، قال الألباني : صحيح]
Artinya:
“… Jangan kalian mendahului (Shaum) Ramadhan sampai kalian melihat hilal kemudian bershaumlah sampai kalian melihat hilal (Syawwal- pen). Bila terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari kemudian berhari raya lah. Dan sebulan itu adalah 29 hari.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Al-Albani berkata : hadits ini Shahih] ([2])
Dan juga berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
…ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
Artinya :
“… kemudian beliau bershaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung (atau yang semisalnya) maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian bershaum (setelahnya) ([3])
Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ‘ulama, sebagaimana perkataan At-Tirmidzi rahimahullah: “sesungguhnya beramal dengan cara seperti ini (menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari) adalah amalan para Shahabat dan Tabi’i) .
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam As-Syarhul Mumti’ (ketika membantah pendapat wajibnya ash-shaum dalam keadaan hilal terhalangi oleh mendung atau semisalnya) dan beliau berkata :
” Wajibnya Ash-shaum dalam keadaan seperti itu adalah dengan alasan ihtiyath (hati-hati) atau berdasarkan dugaan belaka bukan di atas suatu keyakinan dan kepastian, hanya dikarenakan adanya kemungkinan munculnya hilal, hanya saja tidak terlihat karena terhalang oleh mendung atau semisalnya.
Mereka juga berdalil dengan atsar Ibnu ‘Umar” :
فَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ c إِذَا كَانَ شَعْبَانُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ نَظَرَ لَهُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلاَ قَتَرَةٍ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَإِنْ حَالَ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرَةُ أَصْبَحَ صَائِماً [رواه أبو داود وصححه الألباني]
Artinya :
“Dahulu Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma jika bulan Sya’ban sudah masuk hari ke-29 maka beliau berusaha melihat hilal. Bila tampak maka beliau shaum dan jika tidak terlihat dan tidak terhalangi oleh awan atau semisalnya maka beliau belum menjalankan shaum. Apabila tidak tampak dikarenakan terhalangi oleh awan atau semisalnya maka keesokan harinya beliau melakukan shaum.” ([4])
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah) menjawabnya dari beberapa sisi, sebagai berikut :
1. Al Ihtiyath (berhati-hati) hanyalah dilakukan dalam perkara yang hukum asalnya wajib, adapun bila hukum asalnya tidak wajib, maka tidak berlaku sikap al-ihtiyath padanya. ([5])
2. Al-Imam Ahmad rahimahullah ([6]) dan selainnya menyatakan bahwa sesuatu yang berlandaskan sikap al-ihtiyath bukan hal yang bersifat lazim (wajib) hukumnya, tetapi dalam rangka wara’ atau sesuatu yang hukumnya bersifat mustahab. Sebab jika seseorang bershaum dalam rangka ber-ihtiyath dan mewajibkan dirinya untuk itu, justru telah keluar dari sikap al-ihtiyath itu sendiri, karena hal itu menjadikan orang yang tidak bershaum terkenai dosa. Seharusnya dengan sikap al-ihtiyath tersebut orang lain tidak terjatuh dalam dosa karena meninggalkannya.
Adapun riwayat Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma di atas tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hujjah bagi mereka yang mewajibkan shaum pada hari ke-30 Sya’ban yang pada malam harinya terhalangi oleh mendung. Karena Ibnu ‘Umar melakukannya hanya dalam rangka menjalankan suatu perkara yang bersifat mustahab bukan wajib. Bila beliau melakukannya karena wajib, niscaya akan memerintahkan orang lain, dan ternyata keluarga beliau sendiri pun tidak beliau perintahkan untuk bershaum pada hari itu. ([7])
Footnote :
[1] Taudhiul Ahkam jilid 3 hal. 131-132.
[2] Lihat Shahih Sunan Abi Dawud : Kitabush Shiyam hadits no. 2327; dan Al-Irwa` jilid 4 hal. 5.
[3] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no. 2322, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2325.
[4] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no.2317. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` no. 903. Lihat pula Shahih Sunan Abi Dawud no.2320.
[5] Maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya kewajiban ash-shaum kecuali telah terlihat al-hilal. Apabila al-hilal telah terlihat, baru berubah hukum asal tersebut : yang sebelumnya tidak wajib bershaum berubah menjadi wajib.
[6] Perhatian! : Telah dinisbahkan kepada Al-Imam Ahmad pendapat wajibnya shiyam pada tanggal 30 Sya’ban jika pada malamnya hilal terhalangi oleh mendung dan semisalnya. Hal ini telah dibantah, sebagaimana terdapat dalam Kitab Al-Mughni di mana Ibnu Qudamah menukilkan perkataan Al-Imam Ahmad : “Tidaklah wajib shiyam dan tidak pula masuk pada rangkaian Ibadah Shiyam Ramadhan jika seseorang shaum pada hari itu.” Syaikhul Islam v mengatakan : “Tidak boleh shaum di hari itu dan ini adalah madzhabnya Al-Imam Ahmad“. Dalam kitab Al-Furu‘ : “Saya tidak mendapati riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan wajibnya shiyam di hari itu dan tidak pula memerintahkannya.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh juga mengatakan : “Tidak diragukan lagi, bahwa para ‘ulama dari kalangan Hanabilah dan selain mereka berpendapat tidak wajibnya shiyam di hari itu bahkan hukumnya makruh atau haram.“ (Lihat Taudhihul Ahkam Jilid 3 hal. 132-133).
Maka pendapat ini tidak boleh disandarkan kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah.
[7] Lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qoyyim yang sangat berfaidah tentang masalah ini dalam kitab Zadul Ma’ad jilid 2 hal.74 dan penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Irwa‘ jilid 4 hal. 10.
(Dikutip dari artikel berjudul "Hukum Ash-Shaum Pada Hari Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi Oleh Mendung Atau Semisalnya". Url sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=224)
Karena secara hukum asal dan yang yakin (pasti) adalah masih berlangsungnya bulan Sya’ban, sedangkan keluar dari bulan Sya’ban adalah perkara yang masih diragukan. Sementara kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang yakin kecuali dengan keyakinan yang semisalnya. Adapun sesuatu yang masih bersifat ragu (kemungkinan), tidak boleh didahulukan atas sesuatu yang bersifat yakin (pasti). ([1])
Pendapat ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
…. وَلاَ تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوهُ ثُمَّ صُومُوا حَتىَّ تَرَوهُ فَإِنْ حَالَ دُونَهُ غُمَامَةٌ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ثُمَّ أَفْطِرُوا، وَالشَّهْرُ تِسْعٌ وَ عِشْرُونَ [رواه أبو داود و الترمذي والنسائي، قال الألباني : صحيح]
Artinya:
“… Jangan kalian mendahului (Shaum) Ramadhan sampai kalian melihat hilal kemudian bershaumlah sampai kalian melihat hilal (Syawwal- pen). Bila terhalangi oleh mendung maka sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari kemudian berhari raya lah. Dan sebulan itu adalah 29 hari.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Al-Albani berkata : hadits ini Shahih] ([2])
Dan juga berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
…ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
Artinya :
“… kemudian beliau bershaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung (atau yang semisalnya) maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudian bershaum (setelahnya) ([3])
Ini adalah pendapat Jumhur (mayoritas) ‘ulama, sebagaimana perkataan At-Tirmidzi rahimahullah: “sesungguhnya beramal dengan cara seperti ini (menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari) adalah amalan para Shahabat dan Tabi’i) .
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam As-Syarhul Mumti’ (ketika membantah pendapat wajibnya ash-shaum dalam keadaan hilal terhalangi oleh mendung atau semisalnya) dan beliau berkata :
” Wajibnya Ash-shaum dalam keadaan seperti itu adalah dengan alasan ihtiyath (hati-hati) atau berdasarkan dugaan belaka bukan di atas suatu keyakinan dan kepastian, hanya dikarenakan adanya kemungkinan munculnya hilal, hanya saja tidak terlihat karena terhalang oleh mendung atau semisalnya.
Mereka juga berdalil dengan atsar Ibnu ‘Umar” :
فَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ c إِذَا كَانَ شَعْبَانُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ نَظَرَ لَهُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلاَ قَتَرَةٍ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَإِنْ حَالَ دُوْنَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرَةُ أَصْبَحَ صَائِماً [رواه أبو داود وصححه الألباني]
Artinya :
“Dahulu Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma jika bulan Sya’ban sudah masuk hari ke-29 maka beliau berusaha melihat hilal. Bila tampak maka beliau shaum dan jika tidak terlihat dan tidak terhalangi oleh awan atau semisalnya maka beliau belum menjalankan shaum. Apabila tidak tampak dikarenakan terhalangi oleh awan atau semisalnya maka keesokan harinya beliau melakukan shaum.” ([4])
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah) menjawabnya dari beberapa sisi, sebagai berikut :
1. Al Ihtiyath (berhati-hati) hanyalah dilakukan dalam perkara yang hukum asalnya wajib, adapun bila hukum asalnya tidak wajib, maka tidak berlaku sikap al-ihtiyath padanya. ([5])
2. Al-Imam Ahmad rahimahullah ([6]) dan selainnya menyatakan bahwa sesuatu yang berlandaskan sikap al-ihtiyath bukan hal yang bersifat lazim (wajib) hukumnya, tetapi dalam rangka wara’ atau sesuatu yang hukumnya bersifat mustahab. Sebab jika seseorang bershaum dalam rangka ber-ihtiyath dan mewajibkan dirinya untuk itu, justru telah keluar dari sikap al-ihtiyath itu sendiri, karena hal itu menjadikan orang yang tidak bershaum terkenai dosa. Seharusnya dengan sikap al-ihtiyath tersebut orang lain tidak terjatuh dalam dosa karena meninggalkannya.
Adapun riwayat Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma di atas tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hujjah bagi mereka yang mewajibkan shaum pada hari ke-30 Sya’ban yang pada malam harinya terhalangi oleh mendung. Karena Ibnu ‘Umar melakukannya hanya dalam rangka menjalankan suatu perkara yang bersifat mustahab bukan wajib. Bila beliau melakukannya karena wajib, niscaya akan memerintahkan orang lain, dan ternyata keluarga beliau sendiri pun tidak beliau perintahkan untuk bershaum pada hari itu. ([7])
Footnote :
[1] Taudhiul Ahkam jilid 3 hal. 131-132.
[2] Lihat Shahih Sunan Abi Dawud : Kitabush Shiyam hadits no. 2327; dan Al-Irwa` jilid 4 hal. 5.
[3] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no. 2322, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2325.
[4] HR. Abu Dawud : Kitabush Shiyam, no.2317. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa` no. 903. Lihat pula Shahih Sunan Abi Dawud no.2320.
[5] Maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya kewajiban ash-shaum kecuali telah terlihat al-hilal. Apabila al-hilal telah terlihat, baru berubah hukum asal tersebut : yang sebelumnya tidak wajib bershaum berubah menjadi wajib.
[6] Perhatian! : Telah dinisbahkan kepada Al-Imam Ahmad pendapat wajibnya shiyam pada tanggal 30 Sya’ban jika pada malamnya hilal terhalangi oleh mendung dan semisalnya. Hal ini telah dibantah, sebagaimana terdapat dalam Kitab Al-Mughni di mana Ibnu Qudamah menukilkan perkataan Al-Imam Ahmad : “Tidaklah wajib shiyam dan tidak pula masuk pada rangkaian Ibadah Shiyam Ramadhan jika seseorang shaum pada hari itu.” Syaikhul Islam v mengatakan : “Tidak boleh shaum di hari itu dan ini adalah madzhabnya Al-Imam Ahmad“. Dalam kitab Al-Furu‘ : “Saya tidak mendapati riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan wajibnya shiyam di hari itu dan tidak pula memerintahkannya.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh juga mengatakan : “Tidak diragukan lagi, bahwa para ‘ulama dari kalangan Hanabilah dan selain mereka berpendapat tidak wajibnya shiyam di hari itu bahkan hukumnya makruh atau haram.“ (Lihat Taudhihul Ahkam Jilid 3 hal. 132-133).
Maka pendapat ini tidak boleh disandarkan kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah.
[7] Lihat penjelasan Al-Imam Ibnul Qoyyim yang sangat berfaidah tentang masalah ini dalam kitab Zadul Ma’ad jilid 2 hal.74 dan penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Al-Irwa‘ jilid 4 hal. 10.
(Dikutip dari artikel berjudul "Hukum Ash-Shaum Pada Hari Ketika Ru’yatul Hilal Terhalangi Oleh Mendung Atau Semisalnya". Url sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=224)
Menggunakan metode Hisab dalam penentuan Ramadhan
Dari penjelasan yang telah lalu, kita mengetahui adanya tiga cara dalam
menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, yaitu :
1. Ru’yatul Hilal (melihat hilal),
2. Menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari,
3. Asy-Syahadah (persaksian) orang yang telah berhasil melihat al-hilal atau pemberitaan/pengumuman bahwa al- hilal telah berhasil dilihat.
Sedangkan ilmu hisab falaki tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :
“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada hisab perbintangan, sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) beliau berkata :
(( إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ))
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”
Sementara orang yang menyandarkan diri kepada ilmu hisab dalam menentukan Al-Hilal, maka sesungguh dia bagaikan orang yang sesat dalam syari’at ini dan seorang mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini. Dia pun salah dalam tinjauan akal dan ilmu hisab (perbintangan) itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal fungsi ilmu hisab yang mereka lakukan di saat mereka hendak mengetahui berapa derajat antara hilal (bulan) dan matahari saat terbenam. Sementara ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti dengan derajat tertentu, karena ru’yah tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendanya tempat yang dilakukan ru’yah terhadap hilal darinya. Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.
Bisa saja Al-Hilal terlihat oleh sebagian orang pada tingkat 80 (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak mampu melihatnya walaupun pada tingkat 120 (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka -semacam Bathlemous (بطليموس)- sama sekali tidak berbicara tentang pengaruh perbedaan derajat, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab. Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh mereka yang datang belakangan -seperti Kusyiar Ad-Dealmi (كوشيار الديلمي ) dan yang semisalnya- ketika mereka mendapati Asy-Syari’ah (Islam) menggantungkan hukum-hukum kepada (Ru’yah) Al-Hilal, maka mereka (pakar ilmu hisab) memandang ilmu hisab sebagai cara yang ru’yatul hilal dipastikan padanya. Padahal cara tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan tingkat kesalahannya banyak, dan itu telah terbukti, para pakar di bidang tersebut pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?
Sebabnya : karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab sementara sesuatu tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.
Aku telah memaparkan permasalahan tersebut secara panjang lebar dalam pembahasan selain di tempat ini. dan aku jelaskan bahwasanya apa yang telah ditentukan oleh syari’at yang benar ini itulah yang sesuai dengan ketentuan akal yang jelas, sebagaimana pula aku telah menjelaskan tentang batasan hari bahwasanya hal itu tidak dapat dipastikan berdasarkan ilmu hisab. … –sekian– [1]
Seluruh anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama` (Majelis Tinggi ‘Ulama) di Arab Saudi telah bersepakat tentang tidak bolehnya bersandar kepada ilmu hisab falaki dalam menentukan awal bulan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam ketetapan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` nomor 2, yang ditetapkan secara ijma’ (konsesus bersama), berikut isi ketetapan tersebut secara ringkas :
و أما ما يتعلق بإثبات الأهلة بالحساب فقد أجمع أعضاء الهيئة على عدم اعتباره، و بالله التوفيق. هـ القرار
Sementara permasalahan yang terkait dengan hukum penetapan hilal pada setiap bulan berdasarkan ilmu hisab maka para (’ulama) anggota Majelis Hai`ah bersepakat tentang tidak bolehnya. ([2])
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa di atas, beliau berkata :
“Ash-Shaum tidak menjadi wajib hukumnya dengan berdasarkan ketentuan hisab (falaki) walaupun para pakar ilmu hisab telah menetapkan bahwa malam ini merupakan bagian dari Ramadhan padahal kaum muslimin tidak berhasil melihat Al-Hilal, maka tidak boleh bershaum. Karena syari’at (Islam) mengaitkan hukum Shiyam berdasarkan sesuatu yang bisa dicapai oleh indera manusia, yaitu berdasarkan ru’yatul hilal.” ( [3])
Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah menyelisihi Al Haq dan Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi :
1. Firman Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur`an :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ .البقرة: ١٨٥
Artinya :
Karena itu barang siapa yang menyaksikan Asy-Syahr (hilal) Ramadhan maka bershaum lah.” [Al-Baqarah : 185].
Dalam ayat ini Allah mengaitkan hukum Ash-Shiyam berdasarkan ru’yah Asy-Syahr (Al-Hilal)
2. Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang kewajiban bershaum berdasarkan ru’yatul hilal, seperi hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]
Artinya :
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarlan ru’yatul hilal. Jika (hilal) terhalangi(oleh mendung atau semisalnya) maka genapkanlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [H.R. Al-Bukhari]([4])
Demikian juga hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ r ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ : (( لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ )) [متفق عليه]
Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang Ramadhan, kemudian beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’Idul Fitri) hingga kalian berhasil melihat hilal.”[Muttafaqun ‘alaihi] [5])
Kemudian jika kesulitan dalam melakukan ru’yah, karena terhalang oleh awan atau yang semisalnya, maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, tanpa harus menyelisihi Nabi r dengan menggunakan hisab falaki.
3. Ijma’ para Shahabat, Tabi’in dan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka.
4. Pernyataan para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki karena adanya perbedaan ketinggian tempat perhitungan dan berbagai perbedaan lainnya.
5. Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan hilal dan posisi ketinggian derajatnya untuk dapat dilihat.
Al-Hafizh Ibnu Hajar v menyatakan dalam Fathul Bari sebuah perkataan yang bermanfaat ketika beliau mensyarh (menjelaskan) hadits no. 1913, yaitu hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar c dengan lafazh :
(( إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ))
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”
Beliau berkata :
“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya, mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Sehingga atas dasar itu hukum kewajiban bershaum dan yang lainnya dikaitkan kepada ru’yah (al-hilal) dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka dalam penggunaan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun setelah mereka telah muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) berdasarkan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas :
(( فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ))
“Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”
Tidaklah beliau berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’. Hikmah di balik perintah ini adalah samanya perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari di saat langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.
Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan sebagian kecil ahli fiqh terhadap mereka. Al-Imam Al-Baji berkata : ‘Ijma (Konsesus bersama) generasi as-salafush shalih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imam Ibnu Bazizah berkata : ‘ini adalah keyakinan yang batil, karena syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujum, karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ –sekian Al-Hafizh–
Itulah beberapa keterangan dan fatwa beberapa ‘ulama ahlus sunnah dalam menyikapi ilmu hisab dalam keterkaitannya dengan penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Semoga bisa dijadikan sebagai landasan berpijak dalam permasalahan ini.
Footnote :
[1] Al-Fatawa XXV/207-208.
[2] Taudhihul Ahkam III/134-135.
[3] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal 314.
[4] Al-Bukhari (hadits no. 1909
[5] HR. Al-Bukhari no. 1906, Muslim no. 1080.
(Dikutip dari tulisan "Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Untuk Menentukan Masuk dan Keluarnya Bulan Ramadhan". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=225)
1. Ru’yatul Hilal (melihat hilal),
2. Menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari,
3. Asy-Syahadah (persaksian) orang yang telah berhasil melihat al-hilal atau pemberitaan/pengumuman bahwa al- hilal telah berhasil dilihat.
Sedangkan ilmu hisab falaki tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :
“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada hisab perbintangan, sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) beliau berkata :
(( إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ))
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”
Sementara orang yang menyandarkan diri kepada ilmu hisab dalam menentukan Al-Hilal, maka sesungguh dia bagaikan orang yang sesat dalam syari’at ini dan seorang mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini. Dia pun salah dalam tinjauan akal dan ilmu hisab (perbintangan) itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal fungsi ilmu hisab yang mereka lakukan di saat mereka hendak mengetahui berapa derajat antara hilal (bulan) dan matahari saat terbenam. Sementara ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti dengan derajat tertentu, karena ru’yah tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendanya tempat yang dilakukan ru’yah terhadap hilal darinya. Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.
Bisa saja Al-Hilal terlihat oleh sebagian orang pada tingkat 80 (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak mampu melihatnya walaupun pada tingkat 120 (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka -semacam Bathlemous (بطليموس)- sama sekali tidak berbicara tentang pengaruh perbedaan derajat, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab. Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh mereka yang datang belakangan -seperti Kusyiar Ad-Dealmi (كوشيار الديلمي ) dan yang semisalnya- ketika mereka mendapati Asy-Syari’ah (Islam) menggantungkan hukum-hukum kepada (Ru’yah) Al-Hilal, maka mereka (pakar ilmu hisab) memandang ilmu hisab sebagai cara yang ru’yatul hilal dipastikan padanya. Padahal cara tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan tingkat kesalahannya banyak, dan itu telah terbukti, para pakar di bidang tersebut pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?
Sebabnya : karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab sementara sesuatu tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.
Aku telah memaparkan permasalahan tersebut secara panjang lebar dalam pembahasan selain di tempat ini. dan aku jelaskan bahwasanya apa yang telah ditentukan oleh syari’at yang benar ini itulah yang sesuai dengan ketentuan akal yang jelas, sebagaimana pula aku telah menjelaskan tentang batasan hari bahwasanya hal itu tidak dapat dipastikan berdasarkan ilmu hisab. … –sekian– [1]
Seluruh anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama` (Majelis Tinggi ‘Ulama) di Arab Saudi telah bersepakat tentang tidak bolehnya bersandar kepada ilmu hisab falaki dalam menentukan awal bulan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam ketetapan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` nomor 2, yang ditetapkan secara ijma’ (konsesus bersama), berikut isi ketetapan tersebut secara ringkas :
و أما ما يتعلق بإثبات الأهلة بالحساب فقد أجمع أعضاء الهيئة على عدم اعتباره، و بالله التوفيق. هـ القرار
Sementara permasalahan yang terkait dengan hukum penetapan hilal pada setiap bulan berdasarkan ilmu hisab maka para (’ulama) anggota Majelis Hai`ah bersepakat tentang tidak bolehnya. ([2])
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa di atas, beliau berkata :
“Ash-Shaum tidak menjadi wajib hukumnya dengan berdasarkan ketentuan hisab (falaki) walaupun para pakar ilmu hisab telah menetapkan bahwa malam ini merupakan bagian dari Ramadhan padahal kaum muslimin tidak berhasil melihat Al-Hilal, maka tidak boleh bershaum. Karena syari’at (Islam) mengaitkan hukum Shiyam berdasarkan sesuatu yang bisa dicapai oleh indera manusia, yaitu berdasarkan ru’yatul hilal.” ( [3])
Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah menyelisihi Al Haq dan Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi :
1. Firman Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur`an :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ .البقرة: ١٨٥
Artinya :
Karena itu barang siapa yang menyaksikan Asy-Syahr (hilal) Ramadhan maka bershaum lah.” [Al-Baqarah : 185].
Dalam ayat ini Allah mengaitkan hukum Ash-Shiyam berdasarkan ru’yah Asy-Syahr (Al-Hilal)
2. Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang kewajiban bershaum berdasarkan ru’yatul hilal, seperi hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]
Artinya :
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarlan ru’yatul hilal. Jika (hilal) terhalangi(oleh mendung atau semisalnya) maka genapkanlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [H.R. Al-Bukhari]([4])
Demikian juga hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ r ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ : (( لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ )) [متفق عليه]
Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang Ramadhan, kemudian beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’Idul Fitri) hingga kalian berhasil melihat hilal.”[Muttafaqun ‘alaihi] [5])
Kemudian jika kesulitan dalam melakukan ru’yah, karena terhalang oleh awan atau yang semisalnya, maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, tanpa harus menyelisihi Nabi r dengan menggunakan hisab falaki.
3. Ijma’ para Shahabat, Tabi’in dan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka.
4. Pernyataan para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki karena adanya perbedaan ketinggian tempat perhitungan dan berbagai perbedaan lainnya.
5. Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan hilal dan posisi ketinggian derajatnya untuk dapat dilihat.
Al-Hafizh Ibnu Hajar v menyatakan dalam Fathul Bari sebuah perkataan yang bermanfaat ketika beliau mensyarh (menjelaskan) hadits no. 1913, yaitu hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar c dengan lafazh :
(( إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ))
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”
Beliau berkata :
“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya, mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Sehingga atas dasar itu hukum kewajiban bershaum dan yang lainnya dikaitkan kepada ru’yah (al-hilal) dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka dalam penggunaan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun setelah mereka telah muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) berdasarkan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas :
(( فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ ))
“Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”
Tidaklah beliau berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’. Hikmah di balik perintah ini adalah samanya perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari di saat langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.
Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan sebagian kecil ahli fiqh terhadap mereka. Al-Imam Al-Baji berkata : ‘Ijma (Konsesus bersama) generasi as-salafush shalih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imam Ibnu Bazizah berkata : ‘ini adalah keyakinan yang batil, karena syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujum, karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ –sekian Al-Hafizh–
Itulah beberapa keterangan dan fatwa beberapa ‘ulama ahlus sunnah dalam menyikapi ilmu hisab dalam keterkaitannya dengan penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Semoga bisa dijadikan sebagai landasan berpijak dalam permasalahan ini.
Footnote :
[1] Al-Fatawa XXV/207-208.
[2] Taudhihul Ahkam III/134-135.
[3] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal 314.
[4] Al-Bukhari (hadits no. 1909
[5] HR. Al-Bukhari no. 1906, Muslim no. 1080.
(Dikutip dari tulisan "Hukum Menggunakan Ilmu Hisab Untuk Menentukan Masuk dan Keluarnya Bulan Ramadhan". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=225)
Meneropong Keabsahan Ilmu Hisab
Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang
demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang
Allah Ta'ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa
gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin
berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan
mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih.
Semoga Allah k segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada
ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.
Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).
Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah k nyatakan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً
“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Ta'ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.
Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah n bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.
Diantara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.
Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.
Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Ta'ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Allah Ta'ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.
Allah Ta'ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.
Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.
Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat dari agamanya. Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Ta'ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ
“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau Shallallahu 'alaihi wassallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Ta'ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu 'alaihi wassallam.
Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah n bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).
Nabi n menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.
Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan [1] di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.
Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.
Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu, karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
Kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.
Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.
Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)
Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.
Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.
Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:
- Berbeda karena ketajaman penglihatan.
- Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
- Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
- Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
- Berbeda karena tingkat kebersihan udara.
Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)
Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)
Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.
Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa Saudi Arabia (Lajnah Da'imah), ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Ta'ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah Ta'ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: 'Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.'” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وقال وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ لأَصَابِعِهِ كُلِّهَا
"Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”
Beliau Shallallahu 'alaihi wassallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَِّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam juga bersabda:
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)
Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah rahimahullahtelah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرًوْنَ لَيْلَةً لاَ تَصُوْمُوهُ حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلاَّ أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُم فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)
Mereka mengatakan kalimat 'tentukanlah' maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.
Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
فَاقْدِرُوا لَهُ
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dengan lafadz:
فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْنَ
“Maka tentukanlah menjadi 30.”
Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz:
فَأَكْمِلُوا الْعِدَِّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah:
فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.
Footnote :
1. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya..... Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab... Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit." (Fathul Bari 4/127)
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc, judul asli Meneropong Ilmu Hisab. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=294)
Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).
Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah k nyatakan:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً
“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Ta'ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wassallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.
Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah n bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.
Diantara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.
Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.
Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Ta'ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Allah Ta'ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.
Allah Ta'ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.
Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.
Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat dari agamanya. Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Ta'ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ
“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau Shallallahu 'alaihi wassallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Ta'ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu 'alaihi wassallam.
Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah n bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).
Nabi n menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.
Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan [1] di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.
Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
- Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
- Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
- Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.
Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu, karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
Kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.
Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.
Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)
Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.
Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.
Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:
- Berbeda karena ketajaman penglihatan.
- Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
- Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
- Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
- Berbeda karena tingkat kebersihan udara.
Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)
Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)
Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.
Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa Saudi Arabia (Lajnah Da'imah), ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Ta'ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah Ta'ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: 'Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.'” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma)
Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam tidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وقال وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ لأَصَابِعِهِ كُلِّهَا
"Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”
Beliau Shallallahu 'alaihi wassallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda:
صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَِّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam juga bersabda:
لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)
Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah rahimahullahtelah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرًوْنَ لَيْلَةً لاَ تَصُوْمُوهُ حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلاَّ أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُم فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)
Mereka mengatakan kalimat 'tentukanlah' maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.
Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
فَاقْدِرُوا لَهُ
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam dengan lafadz:
فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْنَ
“Maka tentukanlah menjadi 30.”
Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz:
فَأَكْمِلُوا الْعِدَِّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah:
فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.
Footnote :
1. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya..... Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab... Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit." (Fathul Bari 4/127)
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc, judul asli Meneropong Ilmu Hisab. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=294)
Penentuan Awal Hijriyah Bersama Pemerintah
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan
syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi,
yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata.
Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti ?
Disini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.
Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak dianggap.
Asy-Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?
Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)
Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah madzhab jumhur ulama. Beliau berkata:
“Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur ini, diantara mereka adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa juz 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhatun Nadiyyah dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya dan ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum tetap memakai ru’yah penduduk Madinah sampai puasa 30 hari atau sampai melihat hilal-red) karena beberapa alasan yang telah disebut oleh Asy-Syaukani rahimahullah. Dan mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ
“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no. 902-red]
dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya, mencakup semua yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negeri atau daerah mana saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (25/107).
Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .
Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir karena yang demikian bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hal. 398)
Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah dalam masalah pemerintah: “Mereka mengurusi lima urusan kita, shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8)
Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan individu atau kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shohihah, no. 224)
Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: ”At-Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits itu: ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini, mengatakan bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72): “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Dan wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul Adha).”
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu ada bantahan atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya satu orang saksi jika melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”
Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu riwayat At-Tirmidzi: “Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk masuk di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut, bahkan perkara itu diserahkan kepada pemerintah dan jama’ah masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak menetapkan untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk mengikuti jama’ah masyarakat.”
Saya (Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits, dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia, lalu ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
Saya katakan (Al-Albani): “Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari dari pendapat-pendapat pribadi yang menceraiberaikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi –walaupun itu benar dari sisi pandangnya- dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan diantara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.
Diantara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan diantaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memperhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak, yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin karena sesungguhnya tangan Allah Ta’ala bersama jamaah.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)
Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah ditanya:
”Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?”
Beliau menjawab: “Alhamdulillah, jika dia melihat hilal maka berpuasa atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia. Maka dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari Al-Imam Ahmad:
1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah madzhab Asy-Syafi’i.
2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama manusia. Dan itu yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat : berdasarkan sabda Nabi
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” Riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. “(Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)
At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.” (At-Tirmidzi mengatakan bahwa (hadits ini) hasan gharib)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu:
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian adalah hari kalian menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf, semua tanah Mina adalah tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan semua tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)
Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaitkan hukum-hukum syar’i dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan) seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih. Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Allah Ta’ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 183-185)
Allah Ta’ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan suara padanya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/ terkenal diantara manusia. Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah masuk bagi dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti ia harus meng-qadha puasa. Begitu pula -menurut qiyas- pada bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian tanpa jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah, dan ber-tahallul tanpa jamaah haji yang lain.
Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bertolak belakangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).
Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya diantara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya 10 orang tapi tidak dikenal diantara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi n:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Oleh karena itu Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya: “Berpuasa bersama imam dan jamaah muslimin dalam keadaan udara cerah maupun mendung.” Beliau juga mengatakan: “Tangan Allah bersama Al-Jamaah”.
Atas dasar ini muncullah perbedaan hukum awal bulan. Apakah itu berarti (awal) bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah Ta’ala menerangkan yang demikian itu dalam firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (Al-Baqarah: 185)
Allah Ta’ala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah terkenal (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) diantara manusia sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka berbukalah padanya dan puasalah dari rembulan kepada rembulan.”
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.
(Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat itu wajib menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih. Dan hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114-118)
Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab dalam Majmu’ Fatawa (15/202-208): Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka melakukan puasa yang nampaknya tanggal 9 padahal hakekatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang nampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Karena dalam kitab-kitab Sunan dari shahabat Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwasanya beliau berkata:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
Dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau katakan ini yang diamalkan menurut para imam kaum muslimin seluruhnya)
Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggl 10 karena salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), dengan kesepakatan para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang nampak, wuqufnya juga sah dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.
‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِي يَعْرِفُهُ النَّاسُ
“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”
Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah Ta’ala menggantungkan hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Al-Baqarah: 189)
Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur diantara manusia maka berarti bulan belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah ini nampak dan masyhur di kalangan manusia dan mereka mengumumkannya ataupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang harus. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka dan ‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum. Dan berpuasa pada hari yang diragukan apakah itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada pertentangan diantara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka ragukan padanya, dengan kesepakatan para imam. Dan hari syak (yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa padanya adalah awal Ramadhan karena pada asalnya adalah Sya’ban [1].
Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua perkara:
Pertama, seandainya seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah -buatnya- serta hari nahr adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah ini -yang tidak diketahui manusia (secara umum)- atau hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?
Adapun masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal maka tidak boleh berbuka dengan terang-terangan sesuai dengan kesepakatan ulama. Kecuali jika ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian, apakah ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat diantara ulama, yang paling benar adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Dan ini adalah yang masyhur dari madzhab Al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada jaman ‘Umar Radiyallahu ‘anhu melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka: “Kalau bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.” [2]
Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia berbuka padanya yaitu hari ‘Ied (hari raya) sedang hari yang orang tersebut -yang melihat hilal sendiri- berpuasa padanya bukanlah merupakan hari raya yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (qurban) (dengan sabdanya): ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa padanya. Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)
Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh melakukan wuquf sebelum hari yang nampak buat manusia yang lain adalah tanggal 8 Dzulhijjah walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil, mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, atau ia menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya, keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya ataupun salah ataupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap) -padahal telah terdapat dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam masalah para imam:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a'lam.
Footnote :
1. Ibnul Mundzir menukilkan ijma' bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma') umat. Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabi’in membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma'. (Fathul Bari, 4/123)
2. Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu Qilabah Al-Jarmi dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radiyallahu ‘anhu dan Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar Radiyallahu ‘anhu berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah rahimahullah tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, judul asli Penentuan Awal Bulan Hijriyah, dari Majalah As Syariah Edisi Khusus Ramadhan, url sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293)
Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti ?
Disini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.
Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak dianggap.
Asy-Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?
Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)
Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah madzhab jumhur ulama. Beliau berkata:
“Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur ini, diantara mereka adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa juz 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhatun Nadiyyah dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya dan ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum tetap memakai ru’yah penduduk Madinah sampai puasa 30 hari atau sampai melihat hilal-red) karena beberapa alasan yang telah disebut oleh Asy-Syaukani rahimahullah. Dan mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ
“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no. 902-red]
dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya, mencakup semua yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negeri atau daerah mana saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (25/107).
Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .
Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir karena yang demikian bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hal. 398)
Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah dalam masalah pemerintah: “Mereka mengurusi lima urusan kita, shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8)
Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan individu atau kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shohihah, no. 224)
Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: ”At-Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits itu: ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini, mengatakan bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72): “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Dan wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul Adha).”
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu ada bantahan atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya satu orang saksi jika melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”
Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu riwayat At-Tirmidzi: “Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk masuk di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut, bahkan perkara itu diserahkan kepada pemerintah dan jama’ah masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak menetapkan untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk mengikuti jama’ah masyarakat.”
Saya (Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits, dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia, lalu ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
Saya katakan (Al-Albani): “Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari dari pendapat-pendapat pribadi yang menceraiberaikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi –walaupun itu benar dari sisi pandangnya- dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan diantara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.
Diantara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan diantaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memperhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak, yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin karena sesungguhnya tangan Allah Ta’ala bersama jamaah.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)
Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah ditanya:
”Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?”
Beliau menjawab: “Alhamdulillah, jika dia melihat hilal maka berpuasa atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia. Maka dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari Al-Imam Ahmad:
1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah madzhab Asy-Syafi’i.
2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama manusia. Dan itu yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat : berdasarkan sabda Nabi
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” Riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. “(Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)
At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.” (At-Tirmidzi mengatakan bahwa (hadits ini) hasan gharib)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu:
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian adalah hari kalian menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf, semua tanah Mina adalah tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan semua tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)
Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaitkan hukum-hukum syar’i dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan) seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih. Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Allah Ta’ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 183-185)
Allah Ta’ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan suara padanya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/ terkenal diantara manusia. Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah masuk bagi dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti ia harus meng-qadha puasa. Begitu pula -menurut qiyas- pada bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian tanpa jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah, dan ber-tahallul tanpa jamaah haji yang lain.
Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bertolak belakangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).
Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya diantara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya 10 orang tapi tidak dikenal diantara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi n:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Oleh karena itu Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya: “Berpuasa bersama imam dan jamaah muslimin dalam keadaan udara cerah maupun mendung.” Beliau juga mengatakan: “Tangan Allah bersama Al-Jamaah”.
Atas dasar ini muncullah perbedaan hukum awal bulan. Apakah itu berarti (awal) bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah Ta’ala menerangkan yang demikian itu dalam firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (Al-Baqarah: 185)
Allah Ta’ala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah terkenal (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) diantara manusia sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka berbukalah padanya dan puasalah dari rembulan kepada rembulan.”
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.
(Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat itu wajib menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih. Dan hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114-118)
Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab dalam Majmu’ Fatawa (15/202-208): Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka melakukan puasa yang nampaknya tanggal 9 padahal hakekatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang nampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Karena dalam kitab-kitab Sunan dari shahabat Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwasanya beliau berkata:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
Dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau katakan ini yang diamalkan menurut para imam kaum muslimin seluruhnya)
Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggl 10 karena salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), dengan kesepakatan para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang nampak, wuqufnya juga sah dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.
‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِي يَعْرِفُهُ النَّاسُ
“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”
Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah Ta’ala menggantungkan hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Al-Baqarah: 189)
Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur diantara manusia maka berarti bulan belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah ini nampak dan masyhur di kalangan manusia dan mereka mengumumkannya ataupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang harus. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka dan ‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum. Dan berpuasa pada hari yang diragukan apakah itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada pertentangan diantara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka ragukan padanya, dengan kesepakatan para imam. Dan hari syak (yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa padanya adalah awal Ramadhan karena pada asalnya adalah Sya’ban [1].
Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua perkara:
Pertama, seandainya seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah -buatnya- serta hari nahr adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah ini -yang tidak diketahui manusia (secara umum)- atau hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?
Adapun masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal maka tidak boleh berbuka dengan terang-terangan sesuai dengan kesepakatan ulama. Kecuali jika ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian, apakah ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat diantara ulama, yang paling benar adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Dan ini adalah yang masyhur dari madzhab Al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada jaman ‘Umar Radiyallahu ‘anhu melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka: “Kalau bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.” [2]
Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia berbuka padanya yaitu hari ‘Ied (hari raya) sedang hari yang orang tersebut -yang melihat hilal sendiri- berpuasa padanya bukanlah merupakan hari raya yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (qurban) (dengan sabdanya): ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa padanya. Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)
Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh melakukan wuquf sebelum hari yang nampak buat manusia yang lain adalah tanggal 8 Dzulhijjah walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil, mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, atau ia menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya, keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya ataupun salah ataupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap) -padahal telah terdapat dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam masalah para imam:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a'lam.
Footnote :
1. Ibnul Mundzir menukilkan ijma' bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma') umat. Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabi’in membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma'. (Fathul Bari, 4/123)
2. Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu Qilabah Al-Jarmi dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radiyallahu ‘anhu dan Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar Radiyallahu ‘anhu berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah rahimahullah tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, judul asli Penentuan Awal Bulan Hijriyah, dari Majalah As Syariah Edisi Khusus Ramadhan, url sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293)
Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan
Telah dijelaskan oleh banyak para ‘ulama bahwa terjadinya perbedaan
mathla’ antar berbagai negeri di belahan bumi ini adalah sesuatu yang
dapat dimaklumi. Namun para ‘ulama tersebut berselisih pendapat ketika
al-hilal terlihat di suatu negeri :
- Apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ tidak berpengaruh terhadapnya.
- Ataukah masing-masing negeri berdasarkan ru’yah mereka sendiri, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ berpengaruh terhadap penentuan ru’yah bagi masing-masing negeri.
Pengertian Mathla’
Sebelum kita menyebutkan penjelasan para ‘ulama tentang perbedaan mathla’, kita sebutkan terlebih dahulu tentang makna kata “mathla’”
Mathla’ (مَطْلَعٌ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna : waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Qadar :
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ القدر: ٥
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar : 5]
Sementara Mathli’ (مَطْلِعٌ ) dengan harakat kasrah pada huruf al-lam, bermakna : tempat munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Kahf :
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ الكهف: ٩٠
“Hingga apabila dia Telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur)” [Al-Kahf : 90] [1]
Pendapat Pertama :
Jumhur ‘ulama, di antara mereka Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan ru’yatul hilal. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa hal :
1. Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Artinya :
“Jika kalian berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka bershaumlahlah dan jika kalian berhasil melihat hilal (Syawwal) maka berhari rayalah’.([2])
dan hadits :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]
Artinya :
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari ([3])
Bentuk pendalilannya : bahwa konteks hadits di atas mencakup seluruh kaum muslimin tanpa memperhatikan adanya persamaan atau perbedaan mathla’.
2. Hal ini lebih menyatukan kaum muslimin dan mengurangi perpecahan.
3. Adapun Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha tentang kisah Kuraib, hanya berlaku bagi orang yang menjalankan shiyam berdasarkan ru’yah di negerinya, kemudian di tengah-tengah Ramadhan sampai berita kepadanya bahwa ternyata di negeri lain telah terlihat hilal satu hari sebelumnya. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya dia menyempurnakan shaumnya sampai 30 hari, atau jika berhasil melihat hilal maka dia mengakhiri shaumnya (yakni hanya 29 hari). Sehingga dengan itu hadits Abu Hurairah dan yang semakna, tetap berlaku sesuai dengan keumumannya, yaitu mencakup seluruh pihak yang telah sampai kepada mereka berita ru’yatul hilal, tanpa pembatasan negeri atau teritorial tertentu.
Pendapat kedua :
Al-Imam Asy-Syafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat : diperhitungkannya perbedaan mathla’. Sehingga masing-masing negeri berdasarkan kepada ru’yatul hilal negerinya sendiri.
Dalil mereka :
1. Bahwa konteks hadits Abu Hurairah bersifat nisbi (relatif), yaitu ditujukan bagi yang melihat hilal, bila tidak melihatnya maka tidaklah masuk dalam konteks ini. Pendapat ini memiliki sisi pandang dari dalil naqli dan ilmu falaki. Dimana perhitungan waktu dalam setiap harinya berbeda-beda. Baik dalam berbuka maupun ketika shiyam berdasarkan nash dan al-ijma’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa perbedaan mathla’ merupakan kesepakatan para ilmuwan dalam bidang astronomi, maka jika sama mathla’nya berlakulah ru’yah negeri tadi (bagi negeri yang bermathla’ sama), bila tidak sama maka tidak berlaku.
Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` di Kerajaan Arab Saudi dalam keputusan no.2.([4])
2. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah :
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ اْلفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانَ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ : لكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ أَوَلاَ نَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لاَ،هكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ r
Artinya :
“Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits mengutusnya kepada Mu’wiyah di Syam,Kuraib berkata: Ketika sampai di Syam saya segera menunaikan pesan-pesan Ummul Fadhl. Kemudian muncullah hilal Bulan Ramadhan sementara saya masih berada di Syam dan saya melihatnya pada malam Jum’at.
Kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Lalu Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal Ramadhan : Kapan kalian melihat hilal? Saya katakan : Kami melihatnya pada malam Jum’at. Ibnu Abbas bertanya : Apakah kamu melihatnya ? Saya katakan : Ya, dan kaum muslimin juga melihatnya, kemudian mereka memulai shaum dan bershaum pula Mu’awiyah.
Kemudian Ibnu Abbas berkata : Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan melanjutkan shiyam sampai tiga puluh hari atau melihat hilal.
Saya katakan kepada beliau : Apakah tidak mencukupkan dengan ru’yah dan shaumnya Mua’wiyah ? Jawab beliau: Tidak, demikianlah itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami.”([5])
Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah :
” Konteks pendalilan dari hadits ini jelas sekali. Yang benar di kalangan madzhab kami, bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal (bila terlihat di suatu negeri tertentu) tidaklah berlaku secara umum untuk semua kaum muslimin (di seluruh penjuru dunia), tetapi hanya berlaku khusus untuk daerah-daerah yang saling berdekatan jaraknya, yang tidak boleh diqashar shalat pada jarak tersebut. Ada pula yang mengatakan berlaku bila mathla’nya atau teritorialnya sama, jika tidak sama maka tidak berlaku.”([6])
Dengan demikian, kita mengetahui bahwasa masalah ini membutuhkan penelitian yang serius dan ada peluang untuk berijtihad. Sedangkan perbedaan pendapat padanya adalah perkara yang terjadi di antara para ulama dan termasuk jenis perbedaan yang wajar.
Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam untuk kaum muslimin di seluruh negara Islam kitabnya Tamamul Minnah, dan seharusnya seluruh kaum muslimin memperhatikannya dan mengamalkannya. Beliau berkata :
“…permasalahan ini (pengkhabaran hasil ru’yatul hilal dari satu negeri kenegeri yang lainnya) adalah hal yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini dan sudah dimaklumi, namun menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa terwujud dikemudian hari -insyaallah ta’ala- bersatunya negara-negara Islam. Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal ini akan memperluas perpecahan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. وَاللهُ الْمُسْتَعَان”([7])
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan pernyataan yang sama dengan pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani di atas dalam kitab beliau Asy-Syarhul Mumti’ ketika menyebutkan pendapat yang ketiga :
“Bahwa setiap warga negara hendaknya mengikuti pemerintahnya masing-masing jika pemerintahnya menjalankan ash-shaum maka mereka juga menjalankannya, jika pemerintahnya berhari raya hendaklah rakyatnya berhari raya pula bersamanya. Seandainya ada khilaafah (pemerintahan) yang membawahi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia kemudian ada yang melihat hilal di negerinya, dan khalifah menetapkannya maka wajib setiap kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk bershaum atau berhari raya (sesuai dengan ketetapan khalifah/pemerintahnya - pen). Hendaklah kaum muslimin mengamalkan yang demikian ini yaitu bila pemerintah menetapkan ru’yah maka seluruh kaum muslimin yang dibawah kekuasaannya mengikuti baik dalam bershaum maupun berhari raya. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang kuat jika dipandang dari sisi keutuhan kemasyarakatan (kaum muslimin) . Kalaupun kita membenarkan pendapat kedua yang berdasarkan pada perbedaan mathla’ tetap wajib untuk tidak menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin.”([8])
Dari keterangan-keterangan yang telah disebutkan di atas, kita mengetahui walaupun para imam dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah-masalah fiqh, namun mereka tetap bersatu dalam masalah-masalah manhaj (prinsip-prinsip agama). Hal ini karena manhaj mereka adalah satu yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salaf Ash-Sholeh, maka renungkanlah hal ini.
Footnote :
[1] Lihat Al-Mu’jamul Wasith pada maddah طلع .
[2] Al-Bukhari Kitabus Shaum, Bab 11 hadits no. 1909, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 1081
[3] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909.
[4] Lihat Taudhihul Ahkaam jilid 3 hal. 134-135 hadits no. 541
[5] Syarh Shohih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi Kitabush Shiyaam bab.5 hadits no. 28-[1087]
[6] Lihat Syarh Shohih Muslim An-Nawawi : Kitab Ash-shiyam Bab. 5, hadits no.28-[1087]
[7] Tamamul minnah hal. 398
[8] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal. 322.
(Dikutip dari tulisan berjudul "Pendapat Para‘Ulama Tentang Perbedaan Mathla’". URL Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=226)
- Apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ tidak berpengaruh terhadapnya.
- Ataukah masing-masing negeri berdasarkan ru’yah mereka sendiri, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ berpengaruh terhadap penentuan ru’yah bagi masing-masing negeri.
Pengertian Mathla’
Sebelum kita menyebutkan penjelasan para ‘ulama tentang perbedaan mathla’, kita sebutkan terlebih dahulu tentang makna kata “mathla’”
Mathla’ (مَطْلَعٌ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna : waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Qadar :
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ القدر: ٥
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar : 5]
Sementara Mathli’ (مَطْلِعٌ ) dengan harakat kasrah pada huruf al-lam, bermakna : tempat munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Kahf :
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ الكهف: ٩٠
“Hingga apabila dia Telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur)” [Al-Kahf : 90] [1]
Pendapat Pertama :
Jumhur ‘ulama, di antara mereka Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan ru’yatul hilal. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa hal :
1. Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Artinya :
“Jika kalian berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka bershaumlahlah dan jika kalian berhasil melihat hilal (Syawwal) maka berhari rayalah’.([2])
dan hadits :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]
Artinya :
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari ([3])
Bentuk pendalilannya : bahwa konteks hadits di atas mencakup seluruh kaum muslimin tanpa memperhatikan adanya persamaan atau perbedaan mathla’.
2. Hal ini lebih menyatukan kaum muslimin dan mengurangi perpecahan.
3. Adapun Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha tentang kisah Kuraib, hanya berlaku bagi orang yang menjalankan shiyam berdasarkan ru’yah di negerinya, kemudian di tengah-tengah Ramadhan sampai berita kepadanya bahwa ternyata di negeri lain telah terlihat hilal satu hari sebelumnya. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya dia menyempurnakan shaumnya sampai 30 hari, atau jika berhasil melihat hilal maka dia mengakhiri shaumnya (yakni hanya 29 hari). Sehingga dengan itu hadits Abu Hurairah dan yang semakna, tetap berlaku sesuai dengan keumumannya, yaitu mencakup seluruh pihak yang telah sampai kepada mereka berita ru’yatul hilal, tanpa pembatasan negeri atau teritorial tertentu.
Pendapat kedua :
Al-Imam Asy-Syafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat : diperhitungkannya perbedaan mathla’. Sehingga masing-masing negeri berdasarkan kepada ru’yatul hilal negerinya sendiri.
Dalil mereka :
1. Bahwa konteks hadits Abu Hurairah bersifat nisbi (relatif), yaitu ditujukan bagi yang melihat hilal, bila tidak melihatnya maka tidaklah masuk dalam konteks ini. Pendapat ini memiliki sisi pandang dari dalil naqli dan ilmu falaki. Dimana perhitungan waktu dalam setiap harinya berbeda-beda. Baik dalam berbuka maupun ketika shiyam berdasarkan nash dan al-ijma’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa perbedaan mathla’ merupakan kesepakatan para ilmuwan dalam bidang astronomi, maka jika sama mathla’nya berlakulah ru’yah negeri tadi (bagi negeri yang bermathla’ sama), bila tidak sama maka tidak berlaku.
Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` di Kerajaan Arab Saudi dalam keputusan no.2.([4])
2. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah :
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ اْلفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانَ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ : لكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ أَوَلاَ نَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لاَ،هكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ r
Artinya :
“Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits mengutusnya kepada Mu’wiyah di Syam,Kuraib berkata: Ketika sampai di Syam saya segera menunaikan pesan-pesan Ummul Fadhl. Kemudian muncullah hilal Bulan Ramadhan sementara saya masih berada di Syam dan saya melihatnya pada malam Jum’at.
Kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Lalu Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal Ramadhan : Kapan kalian melihat hilal? Saya katakan : Kami melihatnya pada malam Jum’at. Ibnu Abbas bertanya : Apakah kamu melihatnya ? Saya katakan : Ya, dan kaum muslimin juga melihatnya, kemudian mereka memulai shaum dan bershaum pula Mu’awiyah.
Kemudian Ibnu Abbas berkata : Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan melanjutkan shiyam sampai tiga puluh hari atau melihat hilal.
Saya katakan kepada beliau : Apakah tidak mencukupkan dengan ru’yah dan shaumnya Mua’wiyah ? Jawab beliau: Tidak, demikianlah itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami.”([5])
Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah :
” Konteks pendalilan dari hadits ini jelas sekali. Yang benar di kalangan madzhab kami, bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal (bila terlihat di suatu negeri tertentu) tidaklah berlaku secara umum untuk semua kaum muslimin (di seluruh penjuru dunia), tetapi hanya berlaku khusus untuk daerah-daerah yang saling berdekatan jaraknya, yang tidak boleh diqashar shalat pada jarak tersebut. Ada pula yang mengatakan berlaku bila mathla’nya atau teritorialnya sama, jika tidak sama maka tidak berlaku.”([6])
Dengan demikian, kita mengetahui bahwasa masalah ini membutuhkan penelitian yang serius dan ada peluang untuk berijtihad. Sedangkan perbedaan pendapat padanya adalah perkara yang terjadi di antara para ulama dan termasuk jenis perbedaan yang wajar.
Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam untuk kaum muslimin di seluruh negara Islam kitabnya Tamamul Minnah, dan seharusnya seluruh kaum muslimin memperhatikannya dan mengamalkannya. Beliau berkata :
“…permasalahan ini (pengkhabaran hasil ru’yatul hilal dari satu negeri kenegeri yang lainnya) adalah hal yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini dan sudah dimaklumi, namun menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa terwujud dikemudian hari -insyaallah ta’ala- bersatunya negara-negara Islam. Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal ini akan memperluas perpecahan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. وَاللهُ الْمُسْتَعَان”([7])
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan pernyataan yang sama dengan pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani di atas dalam kitab beliau Asy-Syarhul Mumti’ ketika menyebutkan pendapat yang ketiga :
“Bahwa setiap warga negara hendaknya mengikuti pemerintahnya masing-masing jika pemerintahnya menjalankan ash-shaum maka mereka juga menjalankannya, jika pemerintahnya berhari raya hendaklah rakyatnya berhari raya pula bersamanya. Seandainya ada khilaafah (pemerintahan) yang membawahi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia kemudian ada yang melihat hilal di negerinya, dan khalifah menetapkannya maka wajib setiap kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk bershaum atau berhari raya (sesuai dengan ketetapan khalifah/pemerintahnya - pen). Hendaklah kaum muslimin mengamalkan yang demikian ini yaitu bila pemerintah menetapkan ru’yah maka seluruh kaum muslimin yang dibawah kekuasaannya mengikuti baik dalam bershaum maupun berhari raya. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang kuat jika dipandang dari sisi keutuhan kemasyarakatan (kaum muslimin) . Kalaupun kita membenarkan pendapat kedua yang berdasarkan pada perbedaan mathla’ tetap wajib untuk tidak menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin.”([8])
Dari keterangan-keterangan yang telah disebutkan di atas, kita mengetahui walaupun para imam dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah-masalah fiqh, namun mereka tetap bersatu dalam masalah-masalah manhaj (prinsip-prinsip agama). Hal ini karena manhaj mereka adalah satu yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salaf Ash-Sholeh, maka renungkanlah hal ini.
Footnote :
[1] Lihat Al-Mu’jamul Wasith pada maddah طلع .
[2] Al-Bukhari Kitabus Shaum, Bab 11 hadits no. 1909, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 1081
[3] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909.
[4] Lihat Taudhihul Ahkaam jilid 3 hal. 134-135 hadits no. 541
[5] Syarh Shohih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi Kitabush Shiyaam bab.5 hadits no. 28-[1087]
[6] Lihat Syarh Shohih Muslim An-Nawawi : Kitab Ash-shiyam Bab. 5, hadits no.28-[1087]
[7] Tamamul minnah hal. 398
[8] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal. 322.
(Dikutip dari tulisan berjudul "Pendapat Para‘Ulama Tentang Perbedaan Mathla’". URL Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=226)
Menyikapi orang yang melihat Hilal sendirian
Asy-Syaikh Al-Albani menukilkan keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (25/114) :
”Apabila seseorang melihat hilal Ramadhan atau Syawal apakah menjalankan ash-shaum atau berhari raya dengan ru’yahnya sendiri? Atau menjalankannya bersama kaum muslimin?”
Dalam masalah ini ada tiga pendapat semuanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad kemudian beliau menyebutkan pendapat tersebut satu-persatu dalam kitabnya dan yang perlu untuk kita sampaikan di sini adalah pendapat yang sesuai dengan hadits yaitu :
Pendapat ketiga : bershaum dan berhari raya bersama kaum muslimin adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan hadits dari Abi Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَ أَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه الترمذي و قال حسن غريب)
Artinya :
“Shaumnya kalian adalah pada hari dimana kaum muslimin bershaum, Idul Fitri kalian adalah pada hari kaum muslimin beridul fitri, dan Idul Adha kalian adalah pada hari kaum muslimin beridul Adha.”([1])
H.R. Tirmidzi dan menyatakan hadits ini adalah hasan ghorib. Kemudian Al-Imam At-Tirmidzi memberikan komentar :
” Sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa maknanya adalah ash-shaum dan hari raya bersama jama’ah kaum muslimin dan mayoritas dari mereka. “([2])
Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Qoyyim, Ash-Shan’ani, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al-Jami’ush Shahih, ketika beliau menyebutkan sebuah bab :
بَابُ الصَّوْم يَوْمَ يَصُومُ مُعْظَمُ النَّاسُ
Artinya :
Bab yang Menjelaskan Bahwasannya Ash-Shaum pada Saat Mayoritas Kaum Muslimin Bershaum
Kemudian Asy-Syaikh Muqbil menyebutkan hadits Abu Hurairah di atas. [3])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menerangkan maksud hadits di atas yang terdapat dalam Ash-Shahihah hadist no.224, bahwa :
“Perkara inilah yang tepat dan sesuai dengan Asy-syariat yang bersifat selalu memberikan kemudahan ini, yang diantara tujuan utamanya adalah menyatukan barisan kaum muslimin dan menjauhkan semua sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara mereka dengan munculnya berbagai pendapat pribadi. Syariat ini tidak memperhitungkan pendapat pribadi - walaupun benar menurut dirinya - dalam sebuah ibadah yang bersifat jama’i (masal) seperti ash-shaum, hari raya, dan shalat berjama’ah. Bukankah anda mengetahui bahwa para Shahabat radhiallahu ‘anhum sebagian mereka berma`mum terhadap yang lainnya, sedangkan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan dan kemaluan serta keluarnya darah termasuk pembatal wudhu`. Sedangkan shahabat lain menganggap hal tersebut tidak membatalkan. Di antara mereka ada yang menyempurnakan shalat (tidak mengqashar) ketika safar dan ada pula yang mengqashar. Namun perbedaan seperti ini tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama shalat di belakang seorang imam (yang berbeda pendapat dengan mereka) dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada imam tersebut. Hal ini karena para shahabat mengetahui bahwa perpecahan dalam agama adalah lebih jelek dibandingkan perpecahan dalam masalah fiqh. Bahkan para shahabat meninggalkan pendapat yang ia yakini ketika menyelisih ketentuan imam ( kholifah ) dalam ruang lingkup masyarakat yang besar seperti di Mina. Sehingga mereka tidak mengamalkan secara mutlak pendapat yang mereka yakini dalam rangka menghindari dampak negatif (kejelekan) yang akan muncul setelahnya. Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa Khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu tatkala shalat di Mina empat rakaat (tidak mengqashar shalat). Maka Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan Khalifah ‘Utsman tersebut seraya berkata : ‘Saya shalat di belakang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam serta di belakang Abu Bakr dan ‘Umar (mereka semua mengqashar shalat menjadi dua raka’at) kemudian muncul di masa Khalifah ‘Utsman, penyempurnaan shalat menjadi empat raka’at (di Mina). Sehingga kalian terpecah-belah. Sungguh saya berharap di terimanya dua rakaat dari empat rakaat yang aku lakukan bersama ‘Utsman. Setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat rakaat di belakang Utsman, kemudian beliau ditanya: “Anda mengkritik ‘Utsman sedangkan Anda sendiri Shalat empat raka’at (yakni berma`mum di belakang ‘Utsman).” Beliau berkata: ‘ (Karena) perselisihan (perpecahan) itu buruk.’
(Berkata Asy-Syaikh Al-Albani) : Sanad hadits ini shahih.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya (V/155) dari Abu Dzarr kisah yang hampir sama.
Maka perhatikanlah hadits-hadits dan kisah-kisah di atas. Kemudian kita lihat keadaan kaum muslimin sekarang, mereka senantiasa terpecah pecah ketika shalat berjama’ah dan tidak mau shalat berma`mum di belakang sebagian imam-imam masjid, bahkan tatkala shalat witir pada bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab atau beda pendapat. Yang lainnya lagi dari sekelompok orang yang mengaku menguasai ilmu falak, menjalankan shaum dan hari raya menyelisihi pemerintah kaum muslimin berdasarkan pada logika dan ilmu perbintangan mereka, tidak mau peduli dengan persatuan kaum muslimin.
Maka berbagai keterangan ini hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Semoga mereka mendapatkan obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada dirinya, sehinga kaum muslimin bersatu padu. Sesungguhnya Tangan Allah bersama persatuan.” ([4])
Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk berusaha melakukan ru’yatul hilal, karena akan banyak mendatangkan manfaat bagi mereka. Dan bagi pemerintah kaum muslimin hendaknya menyebarluaskan berita tentang hasil ru’yah hilal Ramadhan atau Idul Fitri agar semua pihak bisa menjalankan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan ru’yah hilal seperti shaum dan idul fitri.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daud dan selainnya :
تَرَاءَى النَّاسُ الهِْلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ r أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ (صححه الألباني في الإرواء رقم 908)
Artinya :
“Kaum muslimin berusaha hilal, kemudian saya mengabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa saya melihatnya, maka beliau menjalankan ash-shaum dan memerintahkan kaum muslimin untuk bershaum.”(Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` hadits no. 908) ([5](
Dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma di atas diambil kesimpulan diterimanya khabar wahid (kabar dari satu orang) dalam ru’yatul hilal Ramadhan dan tidak disyaratkan lebih dari satu orang. Ini adalah pendapat kebanyakan dari para ulama sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan juga pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i dan Al-Imam Ahmad. Kata Al-Imam An Nawawi rahimahullah : “Dan ini adalah pendapat yang paling benar.” Al-Imam Abu Daud membuat bab dalam Sunannya :
“بَابُ شَهَادَةِ الْوَاحِدِ عَلَى رُؤْيَةِ الْهِلاَلِ”
“Bab Tentang Persaksian Satu Orang dalam Ru’yatul Hilal”
kemudian disebutkan hadits di atas.
Footnote :
[1] H.R. Tirmidzi Abwaabush Shaum, bab 11, hadits no. 693,lihat Ash-Shohihah karya Syaikh Al-Albani no. 224, Irwaul gholil no. 905.
[2] Lihat Tamamul minnah hal. 359.
[3] Lihat Al-Jaami’ush Shahih jilid 2 hal. 373.
[4] Silsilah Al Ahaadiits As-shohiihah.no.224
[5] H.R. Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 14, hadits no.2339, Daruquthni no. 227, Ibnu Hiban no. 871, Al-Baihaqi 4/212, dan Ad-Darimi 2/4 hadits no. 1697 (di nukil dari Al Irwa’ (hadits no.908)
(Dikutip dari artikel "Orang yang Melihat Hilal Sendirian". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=227)
”Apabila seseorang melihat hilal Ramadhan atau Syawal apakah menjalankan ash-shaum atau berhari raya dengan ru’yahnya sendiri? Atau menjalankannya bersama kaum muslimin?”
Dalam masalah ini ada tiga pendapat semuanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad kemudian beliau menyebutkan pendapat tersebut satu-persatu dalam kitabnya dan yang perlu untuk kita sampaikan di sini adalah pendapat yang sesuai dengan hadits yaitu :
Pendapat ketiga : bershaum dan berhari raya bersama kaum muslimin adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan hadits dari Abi Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَ أَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه الترمذي و قال حسن غريب)
Artinya :
“Shaumnya kalian adalah pada hari dimana kaum muslimin bershaum, Idul Fitri kalian adalah pada hari kaum muslimin beridul fitri, dan Idul Adha kalian adalah pada hari kaum muslimin beridul Adha.”([1])
H.R. Tirmidzi dan menyatakan hadits ini adalah hasan ghorib. Kemudian Al-Imam At-Tirmidzi memberikan komentar :
” Sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa maknanya adalah ash-shaum dan hari raya bersama jama’ah kaum muslimin dan mayoritas dari mereka. “([2])
Pendapat ini dipilih oleh Ibnul Qoyyim, Ash-Shan’ani, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al-Jami’ush Shahih, ketika beliau menyebutkan sebuah bab :
بَابُ الصَّوْم يَوْمَ يَصُومُ مُعْظَمُ النَّاسُ
Artinya :
Bab yang Menjelaskan Bahwasannya Ash-Shaum pada Saat Mayoritas Kaum Muslimin Bershaum
Kemudian Asy-Syaikh Muqbil menyebutkan hadits Abu Hurairah di atas. [3])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menerangkan maksud hadits di atas yang terdapat dalam Ash-Shahihah hadist no.224, bahwa :
“Perkara inilah yang tepat dan sesuai dengan Asy-syariat yang bersifat selalu memberikan kemudahan ini, yang diantara tujuan utamanya adalah menyatukan barisan kaum muslimin dan menjauhkan semua sebab-sebab yang menimbulkan perpecahan diantara mereka dengan munculnya berbagai pendapat pribadi. Syariat ini tidak memperhitungkan pendapat pribadi - walaupun benar menurut dirinya - dalam sebuah ibadah yang bersifat jama’i (masal) seperti ash-shaum, hari raya, dan shalat berjama’ah. Bukankah anda mengetahui bahwa para Shahabat radhiallahu ‘anhum sebagian mereka berma`mum terhadap yang lainnya, sedangkan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh perempuan dan kemaluan serta keluarnya darah termasuk pembatal wudhu`. Sedangkan shahabat lain menganggap hal tersebut tidak membatalkan. Di antara mereka ada yang menyempurnakan shalat (tidak mengqashar) ketika safar dan ada pula yang mengqashar. Namun perbedaan seperti ini tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama shalat di belakang seorang imam (yang berbeda pendapat dengan mereka) dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada imam tersebut. Hal ini karena para shahabat mengetahui bahwa perpecahan dalam agama adalah lebih jelek dibandingkan perpecahan dalam masalah fiqh. Bahkan para shahabat meninggalkan pendapat yang ia yakini ketika menyelisih ketentuan imam ( kholifah ) dalam ruang lingkup masyarakat yang besar seperti di Mina. Sehingga mereka tidak mengamalkan secara mutlak pendapat yang mereka yakini dalam rangka menghindari dampak negatif (kejelekan) yang akan muncul setelahnya. Al-Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa Khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu tatkala shalat di Mina empat rakaat (tidak mengqashar shalat). Maka Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan Khalifah ‘Utsman tersebut seraya berkata : ‘Saya shalat di belakang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam serta di belakang Abu Bakr dan ‘Umar (mereka semua mengqashar shalat menjadi dua raka’at) kemudian muncul di masa Khalifah ‘Utsman, penyempurnaan shalat menjadi empat raka’at (di Mina). Sehingga kalian terpecah-belah. Sungguh saya berharap di terimanya dua rakaat dari empat rakaat yang aku lakukan bersama ‘Utsman. Setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat rakaat di belakang Utsman, kemudian beliau ditanya: “Anda mengkritik ‘Utsman sedangkan Anda sendiri Shalat empat raka’at (yakni berma`mum di belakang ‘Utsman).” Beliau berkata: ‘ (Karena) perselisihan (perpecahan) itu buruk.’
(Berkata Asy-Syaikh Al-Albani) : Sanad hadits ini shahih.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya (V/155) dari Abu Dzarr kisah yang hampir sama.
Maka perhatikanlah hadits-hadits dan kisah-kisah di atas. Kemudian kita lihat keadaan kaum muslimin sekarang, mereka senantiasa terpecah pecah ketika shalat berjama’ah dan tidak mau shalat berma`mum di belakang sebagian imam-imam masjid, bahkan tatkala shalat witir pada bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab atau beda pendapat. Yang lainnya lagi dari sekelompok orang yang mengaku menguasai ilmu falak, menjalankan shaum dan hari raya menyelisihi pemerintah kaum muslimin berdasarkan pada logika dan ilmu perbintangan mereka, tidak mau peduli dengan persatuan kaum muslimin.
Maka berbagai keterangan ini hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Semoga mereka mendapatkan obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada dirinya, sehinga kaum muslimin bersatu padu. Sesungguhnya Tangan Allah bersama persatuan.” ([4])
Sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk berusaha melakukan ru’yatul hilal, karena akan banyak mendatangkan manfaat bagi mereka. Dan bagi pemerintah kaum muslimin hendaknya menyebarluaskan berita tentang hasil ru’yah hilal Ramadhan atau Idul Fitri agar semua pihak bisa menjalankan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan ru’yah hilal seperti shaum dan idul fitri.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daud dan selainnya :
تَرَاءَى النَّاسُ الهِْلاَلَ فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ r أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ (صححه الألباني في الإرواء رقم 908)
Artinya :
“Kaum muslimin berusaha hilal, kemudian saya mengabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa saya melihatnya, maka beliau menjalankan ash-shaum dan memerintahkan kaum muslimin untuk bershaum.”(Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` hadits no. 908) ([5](
Dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma di atas diambil kesimpulan diterimanya khabar wahid (kabar dari satu orang) dalam ru’yatul hilal Ramadhan dan tidak disyaratkan lebih dari satu orang. Ini adalah pendapat kebanyakan dari para ulama sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dan juga pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi`i dan Al-Imam Ahmad. Kata Al-Imam An Nawawi rahimahullah : “Dan ini adalah pendapat yang paling benar.” Al-Imam Abu Daud membuat bab dalam Sunannya :
“بَابُ شَهَادَةِ الْوَاحِدِ عَلَى رُؤْيَةِ الْهِلاَلِ”
“Bab Tentang Persaksian Satu Orang dalam Ru’yatul Hilal”
kemudian disebutkan hadits di atas.
Footnote :
[1] H.R. Tirmidzi Abwaabush Shaum, bab 11, hadits no. 693,lihat Ash-Shohihah karya Syaikh Al-Albani no. 224, Irwaul gholil no. 905.
[2] Lihat Tamamul minnah hal. 359.
[3] Lihat Al-Jaami’ush Shahih jilid 2 hal. 373.
[4] Silsilah Al Ahaadiits As-shohiihah.no.224
[5] H.R. Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 14, hadits no.2339, Daruquthni no. 227, Ibnu Hiban no. 871, Al-Baihaqi 4/212, dan Ad-Darimi 2/4 hadits no. 1697 (di nukil dari Al Irwa’ (hadits no.908)
(Dikutip dari artikel "Orang yang Melihat Hilal Sendirian". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=227)
Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (1)
Bismillah...
Kami sering mendengar beberapa hadits yang disampaikan oleh penceramah di bulan Ramadhan diantaranya :
Satu : Hadits “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Kedua : Hadits “Berpuasalah niscaya kalian sehat”.
Ketiga : Hadits “Segala sesuatu ada zakatnya dan zakatnya tubuh adalah puasa”.
Keempat : Hadits “Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana berada ditangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut”.
Kelima : Hadits “Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa”.
Bagaimana sebenarnya kedudukan hadits tersebut, apakah shohih atau tidak. Jazakallahu khairan.
Jawab :
Mengetahui kedudukan sebuah hadits adalah perkara yang sangat penting khususnya di zaman seperti sekarang ini, dimana perhatian orang terhadap hal tersebut sangat rendah. Ditambah lagi dengan banyaknya hadits-hadits palsu dan lemah yang menyebar. Dan terkhusus di bulan yang mulia seperti bulan Ramadhan, seharusnya kemuliaan bulan tersebut dijaga dengan menyampaikan hadits-hadits yang shohih dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam baik dalam bidang Aqidah, Ahkam, Mu’amalah maupun Targhib Wat Tarhib, sebab dengan hal itulah syari’at ini akan terjaga dan ibadah kita juga terjaga.
Kami akan mencoba menjawab pertanyaan ini secara ringkas dan menyebutkan beberapa keterangan yang berkaitan dengan hadits-hadits yang ditanyakan, maka lima hadits di atas akan kami uraikan secara berurut dengan menyebutkan lafazh haditsnya :
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24)
1. Hadits Pertama
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Hadits ini datang dari dua jalan :
Jalan Pertama : Dari jalan ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dari Sa’id bin Musayyab dari Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkhutbah kepada kami … lalu beliau sebutkan hadits yang panjang dan disebutkan di dalamnya :
وَهُوَ شَهْرُ أولهَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Dan ia adalah bulan yang awalnya adalah rahmat dan tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Dikeluarkan oleh Ibnu khuzaimah dalam Shohihnya 3/191 No.1887, Al-Mahamily dalam Amalinya no.293 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 3/305-306 no.3608.
Akan tetapi pada sanadnya terdapat dua cacat :
Pertama : Tidak diketahui apakah Sa’id bin Musayyab mendengar dari Salman atau tidak.
Kedua : ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dho’if haditsnya.
Maka jalan pertama ini lemah.
Catatan :
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Haris bin Abi Usamah sebagaimana dalam Zawa’id Al-Haitsamy no.321 dan Al-Matholib Al-‘Aliyah karya Ibnu Hajar 3/221-222 no.1047, beliau berkata menceritakan kepada saya sebagian shahabatku (yaitu) seorang yang dikenal dengan nama Iyas, ia mengangkat hadits kepada Sa’id bin Musayyab … dan seterusnya sama dengan sanad di atas.
Saya berkata : Iyas ini adalah Iyas bin ‘Abdul Ghoffar dan ia sebenarnya juga meriwayatkan hadits di atas dari ‘Ali bin Zaid. Lihat : Syu’abul Iman 3/305.
Jalan Kedua : Dari jalan Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dari Maslamah bin Ash-Sholt dari Az-Zuhry dari Abu Salamah dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` 2/162, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal 3/1157 dan Al-Khatib dalam Mudhih Awham Al Jama’ Wat Tafriq 2/149. Dan pada sanadnya terdapat beberapa cacat :
Kesatu : Sallam bin Sulaiman bin Sawwar orang ini dho’if (lemah) bahkan Ibnu ‘Adi berkata mungkar haditsnya.
Kedua : Maslamah bin As-Sholt. Ibnu ‘Adi dan Adz-Dzahaby berkata laa yu’rof (tidak dikenal), bahkan Abu Hatim berkata : matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).
Ketiga : Maslamah bersendirian meriwayatkan dari Az-Zuhry padahal Az-Zuhry seorang Imam besar yang mempunyai murid yang sangat banyak, maka hal ini menyebabkan riwayat Maslamah ini dianggap Mungkar.
Karena itu Syaikh Al-Albany menghukumi jalan ini sebagai jalan yang mungkar.
Lihat : Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 4/70 no.1569.
Kesimpulan :
Hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=2)
2. Hadits Kedua
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat”
Hadits dengan lafazh ini mempunyai beberapa jalan:
Kesatu : dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud dari Zuhair bin Muhammad Al-Khurasany dari Suhail bin Abi Sholeh dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
اغْزُوْا تَغْنَمُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَسَافَرُوْا تَسْتَغْنَوْا
“Berperanglah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan ghonimah (harta rampasan perang), puasalah kalian niscaya kalian sehat, safarlah kalian niscaya kalian berkecukupan”.
Dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Al-Ausath jilid 8 hal.174 no.8312 dan Abu Nu’aim dalam Ath-Thib -sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah jilid 1 hal.420-.
Berkata Ath-Thobarany setelah menyebutkan hadits ini : “Tidak meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ini kecuali Zuhair”.
Ini sebagai isyarat yang sangat halus dari Ath-Thobarany untuk menunjukkan adanya kelemahan pada hadits ini. Dan memang demikianlah adanya, Zuhair bin Muhammad walaupun ia seorang rawi yang tsiqoh (terpercaya) akan tetapi riwayat orang-orang dari negeri Syam darinya adalah riwayat yang lemah. Sementara hadits ini termasuk riwayat orang Syam darinya.
Dan ada jalan lain yang serupa dengan jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` jilid 1 hal.92 beliau berkata : “Menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Nashiby beliau berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Zaid Al-Khoththoby beliau berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaim beliau berkata menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad Abul Mundzir … dan seterusnya sama dengan jalan di atas, kemudian disebutkanlah haditsnya.
Berkata Al-‘Uqaily : “Tidak ada yang mendukungnya kecuali dari jalan yang lemah“.
Saya berkata : Ahmad bin Muhammad An-Nashiby, Ishaq bin Zaid Al-Khoththoby dan Muhammad bin Sulaim saya tidak bisa menentukan siapa mereka saat ini tapi perkataan Al-‘Uqaily di atas sudah cukup menunjukkan lemahnya hadits ini.
Karena itulah hadits dengan jalan Abu Hurairah dilemahkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqy dalam Al-Mughny Fii Hamlil Asfar 3/75 sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah jilid 1 hal.420.
Jalan kedua : Dari jalan Nahsyal bin Sa’id dari Adh-Dhahhak bin Muzahim dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
سَافَرُوْا تَصِحُّوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَاغْزَوْا تَغْنَمُوْا
“Safarlah kalian niscaya kalian sehat dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan berperanglah kalian niscaya kalian mendapatkan ghonimah”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal jilid 7 hal.2521.
Berkata Imam Ibnu ‘Adi setelah membawakan beberapa hadits lain dari jalan Nahsyal : “Hadits-hadits ini semuanya dari Adh-Dhahhak ghairu mahfuzhah (tidak terjaga) dan Nahsyal meriwayatkannya dari Adh-Dhahhak”.
Saya berkata : Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Adi adalah benar karena didalam jalan di atas terdapat dua cacat :
Satu : Nahsyal bin Sa’id adalah seorang rawi yang sangat lemah sekali haditsnya
Berkata An-Nasa`i : “Nahsyal dari Adh-Dhahhak Khurasany matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)”.
Dua : Ada keterputusan dalam sanad.
Berkata Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Ad-Dho’ifah jilid 1 hal.421 : “Adh-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas”.
Lihat biogafinya dalam Tahdzib At-Tahdzib jilid 10 hal. 479.
Jalan ketiga : Dari jalan Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairoh bin Abi Dhumairoh Al-Himyary Al-Madany dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : puasalah kalian niscaya kalian akan sehat”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal jilid 2 hal.357.
Saya berkata : Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan sebagian para ulama menganggapnya sebagai pendusta dan saya tidak mengetahui siapa ayah dan kakeknya, maka jalan ini juga jalan yang sangat lemah.
Jalan keempat : Berkata Abu ‘Amr Ar-Rabi’ bin Habib Al-Azdy dalam musnadnya no.291, menceritakan kepada saya Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy beliau berkata : “Telah sampai kepadaku dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwasanya beliau berkata :
صَلُّوْا تَنْجَحُوْا وَزَكُّوْا تُفْلِحُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوا وَسَافَرُوْا تَغْنَمُوْا
“Shalatlah kalian niscaya kalian selamat dan keluarkanlah zakat niscaya kalian beruntung dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan safarlah kalian niscaya kalian mendapatkan ghonimah”.
Saya berkata : Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy majhul (tidak dikenal) kemudian sanadnya mursal.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari keterangan di atas bahwa hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya. Wallahu A’lam Bishowab.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=3)
(Dikutip dari tulisan Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal, judul asli "Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan". Sumber url : http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=2, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=3)
Kami sering mendengar beberapa hadits yang disampaikan oleh penceramah di bulan Ramadhan diantaranya :
Satu : Hadits “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Kedua : Hadits “Berpuasalah niscaya kalian sehat”.
Ketiga : Hadits “Segala sesuatu ada zakatnya dan zakatnya tubuh adalah puasa”.
Keempat : Hadits “Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana berada ditangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut”.
Kelima : Hadits “Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa”.
Bagaimana sebenarnya kedudukan hadits tersebut, apakah shohih atau tidak. Jazakallahu khairan.
Jawab :
Mengetahui kedudukan sebuah hadits adalah perkara yang sangat penting khususnya di zaman seperti sekarang ini, dimana perhatian orang terhadap hal tersebut sangat rendah. Ditambah lagi dengan banyaknya hadits-hadits palsu dan lemah yang menyebar. Dan terkhusus di bulan yang mulia seperti bulan Ramadhan, seharusnya kemuliaan bulan tersebut dijaga dengan menyampaikan hadits-hadits yang shohih dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam baik dalam bidang Aqidah, Ahkam, Mu’amalah maupun Targhib Wat Tarhib, sebab dengan hal itulah syari’at ini akan terjaga dan ibadah kita juga terjaga.
Kami akan mencoba menjawab pertanyaan ini secara ringkas dan menyebutkan beberapa keterangan yang berkaitan dengan hadits-hadits yang ditanyakan, maka lima hadits di atas akan kami uraikan secara berurut dengan menyebutkan lafazh haditsnya :
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24)
1. Hadits Pertama
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Hadits ini datang dari dua jalan :
Jalan Pertama : Dari jalan ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dari Sa’id bin Musayyab dari Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkhutbah kepada kami … lalu beliau sebutkan hadits yang panjang dan disebutkan di dalamnya :
وَهُوَ شَهْرُ أولهَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Dan ia adalah bulan yang awalnya adalah rahmat dan tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Dikeluarkan oleh Ibnu khuzaimah dalam Shohihnya 3/191 No.1887, Al-Mahamily dalam Amalinya no.293 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 3/305-306 no.3608.
Akan tetapi pada sanadnya terdapat dua cacat :
Pertama : Tidak diketahui apakah Sa’id bin Musayyab mendengar dari Salman atau tidak.
Kedua : ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dho’if haditsnya.
Maka jalan pertama ini lemah.
Catatan :
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Haris bin Abi Usamah sebagaimana dalam Zawa’id Al-Haitsamy no.321 dan Al-Matholib Al-‘Aliyah karya Ibnu Hajar 3/221-222 no.1047, beliau berkata menceritakan kepada saya sebagian shahabatku (yaitu) seorang yang dikenal dengan nama Iyas, ia mengangkat hadits kepada Sa’id bin Musayyab … dan seterusnya sama dengan sanad di atas.
Saya berkata : Iyas ini adalah Iyas bin ‘Abdul Ghoffar dan ia sebenarnya juga meriwayatkan hadits di atas dari ‘Ali bin Zaid. Lihat : Syu’abul Iman 3/305.
Jalan Kedua : Dari jalan Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dari Maslamah bin Ash-Sholt dari Az-Zuhry dari Abu Salamah dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka”.
Diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` 2/162, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal 3/1157 dan Al-Khatib dalam Mudhih Awham Al Jama’ Wat Tafriq 2/149. Dan pada sanadnya terdapat beberapa cacat :
Kesatu : Sallam bin Sulaiman bin Sawwar orang ini dho’if (lemah) bahkan Ibnu ‘Adi berkata mungkar haditsnya.
Kedua : Maslamah bin As-Sholt. Ibnu ‘Adi dan Adz-Dzahaby berkata laa yu’rof (tidak dikenal), bahkan Abu Hatim berkata : matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).
Ketiga : Maslamah bersendirian meriwayatkan dari Az-Zuhry padahal Az-Zuhry seorang Imam besar yang mempunyai murid yang sangat banyak, maka hal ini menyebabkan riwayat Maslamah ini dianggap Mungkar.
Karena itu Syaikh Al-Albany menghukumi jalan ini sebagai jalan yang mungkar.
Lihat : Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 4/70 no.1569.
Kesimpulan :
Hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=2)
2. Hadits Kedua
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat”
Hadits dengan lafazh ini mempunyai beberapa jalan:
Kesatu : dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud dari Zuhair bin Muhammad Al-Khurasany dari Suhail bin Abi Sholeh dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
اغْزُوْا تَغْنَمُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَسَافَرُوْا تَسْتَغْنَوْا
“Berperanglah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan ghonimah (harta rampasan perang), puasalah kalian niscaya kalian sehat, safarlah kalian niscaya kalian berkecukupan”.
Dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Al-Ausath jilid 8 hal.174 no.8312 dan Abu Nu’aim dalam Ath-Thib -sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah jilid 1 hal.420-.
Berkata Ath-Thobarany setelah menyebutkan hadits ini : “Tidak meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ini kecuali Zuhair”.
Ini sebagai isyarat yang sangat halus dari Ath-Thobarany untuk menunjukkan adanya kelemahan pada hadits ini. Dan memang demikianlah adanya, Zuhair bin Muhammad walaupun ia seorang rawi yang tsiqoh (terpercaya) akan tetapi riwayat orang-orang dari negeri Syam darinya adalah riwayat yang lemah. Sementara hadits ini termasuk riwayat orang Syam darinya.
Dan ada jalan lain yang serupa dengan jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` jilid 1 hal.92 beliau berkata : “Menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Nashiby beliau berkata menceritakan kepada kami Ishaq bin Zaid Al-Khoththoby beliau berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaim beliau berkata menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad Abul Mundzir … dan seterusnya sama dengan jalan di atas, kemudian disebutkanlah haditsnya.
Berkata Al-‘Uqaily : “Tidak ada yang mendukungnya kecuali dari jalan yang lemah“.
Saya berkata : Ahmad bin Muhammad An-Nashiby, Ishaq bin Zaid Al-Khoththoby dan Muhammad bin Sulaim saya tidak bisa menentukan siapa mereka saat ini tapi perkataan Al-‘Uqaily di atas sudah cukup menunjukkan lemahnya hadits ini.
Karena itulah hadits dengan jalan Abu Hurairah dilemahkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqy dalam Al-Mughny Fii Hamlil Asfar 3/75 sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah jilid 1 hal.420.
Jalan kedua : Dari jalan Nahsyal bin Sa’id dari Adh-Dhahhak bin Muzahim dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
سَافَرُوْا تَصِحُّوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَاغْزَوْا تَغْنَمُوْا
“Safarlah kalian niscaya kalian sehat dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan berperanglah kalian niscaya kalian mendapatkan ghonimah”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal jilid 7 hal.2521.
Berkata Imam Ibnu ‘Adi setelah membawakan beberapa hadits lain dari jalan Nahsyal : “Hadits-hadits ini semuanya dari Adh-Dhahhak ghairu mahfuzhah (tidak terjaga) dan Nahsyal meriwayatkannya dari Adh-Dhahhak”.
Saya berkata : Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Adi adalah benar karena didalam jalan di atas terdapat dua cacat :
Satu : Nahsyal bin Sa’id adalah seorang rawi yang sangat lemah sekali haditsnya
Berkata An-Nasa`i : “Nahsyal dari Adh-Dhahhak Khurasany matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)”.
Dua : Ada keterputusan dalam sanad.
Berkata Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Ad-Dho’ifah jilid 1 hal.421 : “Adh-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas”.
Lihat biogafinya dalam Tahdzib At-Tahdzib jilid 10 hal. 479.
Jalan ketiga : Dari jalan Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairoh bin Abi Dhumairoh Al-Himyary Al-Madany dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : puasalah kalian niscaya kalian akan sehat”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Du’afa`i Ar-Rijal jilid 2 hal.357.
Saya berkata : Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan sebagian para ulama menganggapnya sebagai pendusta dan saya tidak mengetahui siapa ayah dan kakeknya, maka jalan ini juga jalan yang sangat lemah.
Jalan keempat : Berkata Abu ‘Amr Ar-Rabi’ bin Habib Al-Azdy dalam musnadnya no.291, menceritakan kepada saya Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy beliau berkata : “Telah sampai kepadaku dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwasanya beliau berkata :
صَلُّوْا تَنْجَحُوْا وَزَكُّوْا تُفْلِحُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوا وَسَافَرُوْا تَغْنَمُوْا
“Shalatlah kalian niscaya kalian selamat dan keluarkanlah zakat niscaya kalian beruntung dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan safarlah kalian niscaya kalian mendapatkan ghonimah”.
Saya berkata : Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy majhul (tidak dikenal) kemudian sanadnya mursal.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan dari keterangan di atas bahwa hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya. Wallahu A’lam Bishowab.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=3)
(Dikutip dari tulisan Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal, judul asli "Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan". Sumber url : http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=2, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=3)
Koreksi atas hadits terkait bulan Ramadhan (2)
3. Hadits ketiga
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الْصَوْمُ
“Segala sesuatu punya zakat dan zakat tubuh adalah puasa”
Hadits ini datang dari dua jalan :
Pertama : Dari jalan Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy dari Jamham dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 3/7, Ibnu Majah no.1745, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fii Du’afa`i Ar-Rijal 6/2336, dan Al-Qodho’iy dalam Musnadnya 1/162 no.229, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 3577.
Terdapat beberapa illat (cacat) dalam hadits ini :
Satu : Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, berkata Al-Bushiry dalam Mishbah Az-Zujajah : “Para ulama sepakat tentang lemahnya ia”.
Dua : Musa bin ‘Ubaidah telah mudhthorib (goncang) dalam meriwayatkan hadits ini, kadang-kadang ia meriwayatkannya secara marfu’ (bersambung kepada Nabi) seperti riwayat di atas, dan kadang-kadang ia meriwayatkannya secara mauquf (hanya sampai kepada shahabat) sebagaimana dalam riwayat Waqi’ bin Al-Jarrah dalam Az-Zuhd. Lihat : Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 3/497.
Dan kadang-kadang Musa bin ‘Ubaidah meriwayatkannya bukan dari Jamhan dari Abi Hurairah tapi dari Zaid bin Aslam dari Jamhan dari Abi Hurairah sebagaimana dalam Syu’abul Iman karya Al-Baihaqy 3/292 no.3578.
Ketiga : Jamhan adalah seorang rawi majhul (tidak dikenal).
Adapun riwayat Yahya bin Abdul Hamid dalam Muntakhab Musnad Abdu bin Humaid no.1447, itu adalah riwayat yang mungkar sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 3/497.
Maka jalan pertama ini adalah lemah, karena itu berkata Al-‘Iraqy : “Sanadnya lemah”. Lihat : Fathul Qodir karya Imam Al Manawy 5\285.
Jalan kedua : Dari jalan Hammad bin Walid dari Sufyan Ats-Tsaury dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’ad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh : Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fii Dua’fai Ar-Rijal 2/657-658, Ath-Thabarany 6/193 no.5973, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/136, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 3/292-293, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikhnya 8/153 dan Ibnul Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah 2/49 no.885.
Di dalam sanadnya ada Hammad bin Walid dan ia ini Matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan Ibnu Hibban berkata : ”Ia mencuri hadits dan melengketkan pada orang-orang tsiqoh (terpercaya) apa yang bukan hadits mereka”. Maka jalan kedua ini sangat lemah.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan bahwa sanad hadits ini lemah.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=4)
4. Hadits keempat
إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud no.2350, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 2/181, Ahmad 2/423,510, Al-Hakim 1/320,323,588, Al-Baihaqy 4/218 dan Ad-Daraquthny 2/165. Semuanya dari jalan Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir 2/181, Al-Hakim 1/320,323 dan Al-Baihaqy 4/218, dari jalan Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abi Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Saya berkata : Kalau kita memperhatikan dua jalan di atas, zhohir sanad jalan pertama hasan dan jalan kedua shohih, tapi kaidah yang sudah dimaklumi dikalangan ahli hadits bahwa walaupun zhohir sanad suatu hadits diterima, belum tentu sanad tersebut lepas dari cacat yang tersembunyi. Dan ternyata di dalam sanad hadits ini ada cacat yang tersembunyi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Besar, pakar ‘ilalul hadits (cacat-cacat hadits) Abu Hatim sebagaimana dalam Al-‘Ilal 1/123-124 no.340, 1/256-257 no.257 beliau berkata : “Dua hadits ini (dua jalan di atas) tidak shohih, adapun hadits ‘Ammar itu dari Abi Hurairah secara Mauquf (dari perkataan Abu Hurairah) dan ‘Ammar Tsiqoh dan hadits yang lainnya tidak shohih”.
Demikianlah perkataan Abu Hatim rahimahullah yang harus kita terima walaupun zhohir sanad tersebut adalah shohih atau hasan, karena Abu Hatim dan para Imam yang setingkat dengan beliau adalah orang yang paling tahu tentang cacat-cacat yang tersembunyi dalam hadits karena mereka menghafal seluruh riwayat-riwayat para rawi dan mengetahui tingkatan, kedudukan dan kesalahan-kesalahan setiap rawi yang mana menyebabkan kita harus menerima anggapan (kesimpulan) mereka tentang lemahnya suatu hadits. Dan hal ini dinyatakan oleh banyak ‘ulama seperti Imam Ibnu Rajab, Ibnu Hajar dan lain-lainnya. Wallahu A’lam.
Sebagian para ‘ulama menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai pendukung (penguat), dan saya akan menyebutkan pendukung-pendukung tersebut kemudian kita lihat apakah memang pantas dijadikan pendukung atau tidak :
Pertama : Dari jalan Ghassan bin Rabi’ dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Hasan Al-Bashry dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam secara mursal.
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/423.
Saya berkata : Ini adalah hadits yang mursal dan Ghassan bin Rabi’ yang berada dalam sanadnya adalah dho’if (lemah). Maka ini menyebabkan hadits ini tidak bisa dijadikan pendukung karena hadits mursal bisa dijadikan pendukung kalau sanadnya shohih sedang hadits ini sanad lemah. Wallahu A’lam.
Kedua : Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 2/181 dari jalan Husain bin Waqid dari Abu Gholib dari Abu Umamah beliau berkata :
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالْإِنَاءُ فِيْ يَدِ عُمَرَ قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا
“Iqomat telah dikumandangkan dan ditangan ‘Umar ada bejana, ia berkata apakah saya boleh minum wahai Rasulullah ? beliau bersabda : “iya”. Maka minumlah ‘Umar”.
Di dalam sanad hadits ini ada Abu Gholib. Kebanyakan para ‘ulama melemahkannya, karena itu Ibnu Hajar berkata shoduqun yukhti` (jujur tetapi banyak salah), ibarat ini digunakan oleh Ibnu Hajar untuk orang yang lemah haditsnya tapi bisa dijadikan sebagai pendukung.
Ketiga : Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/348 dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Abi Zubair ia berkata :
سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيْدُ الصِّيَامَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ فَيَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ جَابِرٌ كُنَّا نَحَدَّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَشْرَبُ
“Saya bertanya kepada Jabir tentang seseorang hendak berpuasa dan bejana di tangannya untuk ia minum kemudian ia mendengar adzan. Berkata Jabir kami diceritakan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata : “iya minumlah”.
Saya berkata Ibnu Lahi’ah dho’iful hadits.
Keempat : Hadits Bilal, beliau berkata :
أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُوْذِنُهُ بِالصَّلاَةِ وَهُوَ يُرِيْدُ الصِّيَامَ فَدَعَا بِقَدَحٍ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَنِيْ فَشَرِبْتُ ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الصَّلاَةِ
“Saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanggil beliau untuk shalat shubuh dan (ketika itu) beliau hendak berpuasa, maka ia meminta bejana lalu minum kemudian beliau memberikan bejana itu kepadaku kemudian saya minum lalu kami keluar untuk shalat”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/12, Ibnu Jarir 2/181, Ath-Thabarany 1/355 no.1082-1083, Asy-Syasyi dalam Musnadnya 2/368 no.972-974 dan Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 4/483 Semua dari jalan Abu Ishaq dari ‘Abdillah bin Ma’qil dari Bilal.
Saya berkata : Abu Ishaq As-Sabi’iy seorang mudallis dan meriwayatkan hadits ini dengan kata ‘an (dari), maka haditsnya tidak boleh diterima apalagi ada keanehan (asing) dalam sanadnya, sehingga Adz-Dzahaby berkata “ghoribun jiddan (aneh sekali)” maka ucapan beliau ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan pendukung. Wallahu A’lam.
Kelima : Diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar no.993 dari jalan Muthi’ bin Rasyid dari Taubah Al-‘Anbary dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
انْظُرْ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَادْعُهُ فَدَخَلْتُ يَعْنِيْ الْمَسْجِدَ فَإِذَا أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ فَدَعَوْتُهُمَا فَأَتََيْتُهُ بِشَيْءٍ فَوَضَعْتُهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَكَلَ وَأَكَلُوْا ثُمَّ خَرَجُوْا فَصَلَّى بِهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الغَدَاةِ
“Lihatlah siapa yang ada di mesjid kemudian panggillah ia, maka saya (Anas bin Malik) masuk (mesjid) ternyata ada Abu Bakr dan ‘Umar maka saya pun memanggil mereka berdua, kemudian saya membawakan sesuatu kepada Nabi lalu saya letakkan di depannya lalu beliau makan dan merekapun makan, kemudian mereka keluar lalu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam shalat mengimami mereka shalat Shubuh”.
Hadits ini dikeluarkan juga dengan matan yang lebih ringkas oleh Ibnu Abi Syaibah dalan Musnadnya sebagaimana dalam Al-Matholib Al-‘Aliyah 3/248-249 no.1104 dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawaid 3/152. Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shohihah 3/383.
Tapi hadits ini tidak bisa dijadikan syahid (pendukung) untuk hadits di atas karena tidak tegas menunjukkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam makan sahur dalam keadaan telah adzan sementara bejana masih berada ditangan beliau, tetapi hadits ini hanya menunjukkan bahwa beliau kalau makan sahur, beliau akhirkan sehingga mendekati waktu shubuh. Dan hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengakhirkan sahur itu sangat banyak dan kita tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan hadits-hadits seperti ini, diantaranya seperti hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim :
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat, saya berkata (Anas bin Malik) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat””.
Keenam : Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.1898 beliau berkata menceritakan kepada kami Qois bin Ar-Robi’ dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’maa dari Tamim bin ‘Iyadh dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu :
كَانَ عَلْقَمَةُ بْنُ عَلاَثَةَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ بِلاَلٌ يُؤًذِّنُ بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ رُوَيْدًا يَا بِلاَلُ يَتَسَحَّرُ عَلْقَمْةُ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ بِرَأْسٍ
“Adalah ‘Alqomah bin ‘Ulatsah berada di sisi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka datanglah Bilal memberitahukan tentang adzan shalat maka beliau bersabda : “Pelan-pelan wahai Bilal, ‘Alqomah sedang makan sahur”, berkata Ibnu ‘Umar : “Ia makan sahur dengan kepala”.
Saya berkata : Qois bin Ar-Robi’ yang terdapat di dalam sanadnya adalah rawi yang lemah haditsnya, hal ini bisa disimpulkan oleh orang yang membaca biografinya. Dan Tamim bin ‘Iyadh saya tidak ketemukan biografinya. Wallahu A’lam.
Kesimpulan :
Lafazh hadits di atas menurut kaidah ilmu hadits bisa dianggap sebagai hadits hasan lighairihi tapi masih ada keraguan tentang hadits ini karena menyelisihi beberapa nash dalil yang jelas diantaranya : Firman Allah subhanahu wa ta'ala menyatakan dalam surah Al-Baqarah : 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”. Muttafaqun ‘alaih.
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dua kali ; adzan pertama dan adzan kedua. Ketika adzan pertama masih boleh makan sahur disitu dan batasan terakhirnya sampai adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat shubuh.
Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir tapi dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa muadzdzin ini adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=5)
5. Hadits kelima
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِيْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ عُذْرٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامَ الدَّهْرِ
“Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa rukhshoh (keringanan) yang Allah jadikan sebagai rukhsoh dalam satu riwayat tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.2540, Ahmad 2/386, 442, 458, 470, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 1/296-297 no.273-275 dan 1/361 no.367, Abu Daud no.2396, Tirmidzy no.723, Ibnu Majah no.1672, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/244-245 no.3278-3283, Ad-Darimy dalam Sunannya no.1713-1715, Ibnu Khuzaimah 3/238 no.1987, Ad-Daruquthny 2/211 no.29 dan dalam ‘Ilalnya 8269-274, Al-Baihaqy 4/228 dan dalam Syu’abul Iman 3/318, Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 3/157, Al-Khotib dalam Tarikhnya 8/462 dan Ibnu Hajar dalam Taghliq At-Ta’liq 3/170. Semuanya dari jalan Abul Muthowwis dari ayahnya dari Abi Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Dan di dalam sanadnya terdapat empat cacat :
Pertama : Ada idhthirob (kegoncangan) pada Habib bin Abi Tsabit dalam menyebutkan nama gurunya kadang ia mengatakan Abul Muthowwis dari ayahnya, kadang ia katakan Ibnul Muthowwis dari ayahnya, kadang ia katakan Ibnul Muthowwis dari Al-Muthowwis dan kadang ia katakan dari Ibnu Abil Muthowwis dari ayahnya. Lihat ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/266-269 dan Hasyiah Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/167-168 oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy rahimahullah.
Tidak diragukan bahwa hal yang seperti ini merupakan idhthirob dalam sanad yang akan mengakibatkan lemahnya suatu hadits menurut para ‘ulama ahli hadits.
Adapun riwayat Habib bin Abi Tsabit yang kadang meriwayatkan dari Abul Muthowwis secara langsung dan kadang dengan perantara ‘Umarah bin ‘Umair, hal tersebut tidaklah disebut idhthirob bahkan keduanya adalah shohih sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/231-232 no.674 dan lihat juga ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/266-269.
Cacat kedua : Tidak dikenalnya keadaan Abul Muthowwis.
Berkata Imam Abu ‘Isa (At-Tirmidzy) dalam Sunannya setelah menyebutkan hadits di atas : “Saya mendengar Muhammad (yakni Imam Al-Bukhary) berkata : Abul Muthowwis namanya Yazid bin Muthowwis dan saya tidak mengetahuinya kecuali dalam hadits ini.
Berkata Imam Ahmad : “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak mengenal haditsnya dari selain ini”.
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya : “Sesungguhnya saya tidak mengenal Ibnu Muthowwis dan tidak pula bapaknya selain dari Habib bin Abi Tsabit yang telah menyebutkan bahwasanya dia bertemu dengan Abul Muthowwis”.
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 3/157 : “(Dia adalah) seorang dari ahli Kufah meriwayatkan dari bapaknya, tidak ada yang mengikutinya, tidak boleh berhujjah dengannya jika dia bersendirian”.
Dan tidak ada Imam yang menganggapnya terpercaya kecuali Imam Ibnu Ma’in dalam salah satu riwayat, yaitu riwayat Abu Bakar bin Abi Haitsamah : “Saya bertanya kepada Yahya Ibnu Ma’in tentang Abul Muthowwis yang meriwayatkan darinya Habib bin Abi Tsabit”, beliau menjawab : “Namanya ‘Abdullah bin Muthowwis : Dia itu Kufy Tsiqoh (terpercaya)”. Lihat : Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/773 dan ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/273.
Tapi yang nampak -Wallahu A’lam- Abul Muthowwis yang disebutkan oleh Ibnu Ma’in bukan Abul Muthowwis yang tersebut di dalam sanad hadits ini, mungkin karena itu Imam Adz-Dzahaby dalam Al-Kasyif memberikan isyarat dengan ucapannya wutstsiq (ada yang menganggapnya tsiqoh). Dan kata wutstsiq digunakan oleh Imam Adz-Dzahaby bagi orang yang hanya ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban khususnya dalam kitabnya Ats-Tsiqot sementara Abul Muthowwis ini justru beliau sebutkan dalam Al-Majruhin. Maka ini menunjukkan beliau tidak menganggap (mengakui) perkataan Imam Ibnu Ma’in tersebut.
Demikian pula Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib beliau berkata : “Abul Muthowwis (namanya) adalah Yazid dan ada yang menyatakan (namanya) ‘Abdullah bin Muthowwis, Layyinul hadits (lembek haditsnya)”. Disini Ibnu Hajar menggunakan qila (ada yang mengatakan) menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan nama Abul Muthowwis adalah ‘Abdullah bin Muthowwis, merupakan pendapat yang lemah. Wallahu A’lam.
Cacat ketiga : Ayah Abul Muthowwis ini adalah majhul (tidak dikenal).
Cacat keempat : Ada Inqitho’ (keterputusan) antara ayah Abul Muthowwis dengan Abu Hurairah. Berkata Imam Al-Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir : “Abul Muthowwis bersendirian meriwayatkan hadits ini dan saya tidak mengetahui apakah bapaknya mendengar dari Abi Hurairah atau tidak. Lihat Fathul Bari 4/161 dan At-Tahdzib.
Maka sebagai kesimpulan hadits ini adalah hadits yang lemah. Wallahu A’lam.
Demikianlah jawaban kami atas pertanyaan tentang hadits-hadits tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Peringatan :
Banyak orang menyebar luaskan hadits ini bahwa hadits ini adalah riwayat Bukhary dalam shohihnya. Ini adalah kesalahan yang sangat nyata karena Imam Al-Bukhary hanya meriwayatkannya secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanadnya kepada rawi yang ia sandarkan hadits tersebut kepadanya) dan para ‘ulama tidak menghitung apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary secara mu’allaq sebagai bagian dari Shohih Al-Bukhary. Apalagi Imam Al-Bukhary meriwayatkan hadits ini dengan shighoh tamridh menunjukkan lemahnya riwayat tersebut menurut Imam Bukhary. Wallahu A’lam.
(Dikutip dari tulisan Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal, judul asli "Koreksi Atas beberapa hadits yang tersebar di Bulan Ramadhan". Url sumber : http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=4, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=5, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=6)
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الْصَوْمُ
“Segala sesuatu punya zakat dan zakat tubuh adalah puasa”
Hadits ini datang dari dua jalan :
Pertama : Dari jalan Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy dari Jamham dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 3/7, Ibnu Majah no.1745, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fii Du’afa`i Ar-Rijal 6/2336, dan Al-Qodho’iy dalam Musnadnya 1/162 no.229, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 3577.
Terdapat beberapa illat (cacat) dalam hadits ini :
Satu : Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, berkata Al-Bushiry dalam Mishbah Az-Zujajah : “Para ulama sepakat tentang lemahnya ia”.
Dua : Musa bin ‘Ubaidah telah mudhthorib (goncang) dalam meriwayatkan hadits ini, kadang-kadang ia meriwayatkannya secara marfu’ (bersambung kepada Nabi) seperti riwayat di atas, dan kadang-kadang ia meriwayatkannya secara mauquf (hanya sampai kepada shahabat) sebagaimana dalam riwayat Waqi’ bin Al-Jarrah dalam Az-Zuhd. Lihat : Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 3/497.
Dan kadang-kadang Musa bin ‘Ubaidah meriwayatkannya bukan dari Jamhan dari Abi Hurairah tapi dari Zaid bin Aslam dari Jamhan dari Abi Hurairah sebagaimana dalam Syu’abul Iman karya Al-Baihaqy 3/292 no.3578.
Ketiga : Jamhan adalah seorang rawi majhul (tidak dikenal).
Adapun riwayat Yahya bin Abdul Hamid dalam Muntakhab Musnad Abdu bin Humaid no.1447, itu adalah riwayat yang mungkar sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 3/497.
Maka jalan pertama ini adalah lemah, karena itu berkata Al-‘Iraqy : “Sanadnya lemah”. Lihat : Fathul Qodir karya Imam Al Manawy 5\285.
Jalan kedua : Dari jalan Hammad bin Walid dari Sufyan Ats-Tsaury dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’ad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh : Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fii Dua’fai Ar-Rijal 2/657-658, Ath-Thabarany 6/193 no.5973, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/136, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 3/292-293, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikhnya 8/153 dan Ibnul Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah 2/49 no.885.
Di dalam sanadnya ada Hammad bin Walid dan ia ini Matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan Ibnu Hibban berkata : ”Ia mencuri hadits dan melengketkan pada orang-orang tsiqoh (terpercaya) apa yang bukan hadits mereka”. Maka jalan kedua ini sangat lemah.
Kesimpulan :
Bisa disimpulkan bahwa sanad hadits ini lemah.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=4)
4. Hadits keempat
إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud no.2350, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 2/181, Ahmad 2/423,510, Al-Hakim 1/320,323,588, Al-Baihaqy 4/218 dan Ad-Daraquthny 2/165. Semuanya dari jalan Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Amr bin ‘Alqomah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir 2/181, Al-Hakim 1/320,323 dan Al-Baihaqy 4/218, dari jalan Hammad bin Salamah dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar dari Abi Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Saya berkata : Kalau kita memperhatikan dua jalan di atas, zhohir sanad jalan pertama hasan dan jalan kedua shohih, tapi kaidah yang sudah dimaklumi dikalangan ahli hadits bahwa walaupun zhohir sanad suatu hadits diterima, belum tentu sanad tersebut lepas dari cacat yang tersembunyi. Dan ternyata di dalam sanad hadits ini ada cacat yang tersembunyi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Besar, pakar ‘ilalul hadits (cacat-cacat hadits) Abu Hatim sebagaimana dalam Al-‘Ilal 1/123-124 no.340, 1/256-257 no.257 beliau berkata : “Dua hadits ini (dua jalan di atas) tidak shohih, adapun hadits ‘Ammar itu dari Abi Hurairah secara Mauquf (dari perkataan Abu Hurairah) dan ‘Ammar Tsiqoh dan hadits yang lainnya tidak shohih”.
Demikianlah perkataan Abu Hatim rahimahullah yang harus kita terima walaupun zhohir sanad tersebut adalah shohih atau hasan, karena Abu Hatim dan para Imam yang setingkat dengan beliau adalah orang yang paling tahu tentang cacat-cacat yang tersembunyi dalam hadits karena mereka menghafal seluruh riwayat-riwayat para rawi dan mengetahui tingkatan, kedudukan dan kesalahan-kesalahan setiap rawi yang mana menyebabkan kita harus menerima anggapan (kesimpulan) mereka tentang lemahnya suatu hadits. Dan hal ini dinyatakan oleh banyak ‘ulama seperti Imam Ibnu Rajab, Ibnu Hajar dan lain-lainnya. Wallahu A’lam.
Sebagian para ‘ulama menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai pendukung (penguat), dan saya akan menyebutkan pendukung-pendukung tersebut kemudian kita lihat apakah memang pantas dijadikan pendukung atau tidak :
Pertama : Dari jalan Ghassan bin Rabi’ dari Hammad bin Salamah dari Yunus dari Hasan Al-Bashry dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam secara mursal.
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/423.
Saya berkata : Ini adalah hadits yang mursal dan Ghassan bin Rabi’ yang berada dalam sanadnya adalah dho’if (lemah). Maka ini menyebabkan hadits ini tidak bisa dijadikan pendukung karena hadits mursal bisa dijadikan pendukung kalau sanadnya shohih sedang hadits ini sanad lemah. Wallahu A’lam.
Kedua : Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 2/181 dari jalan Husain bin Waqid dari Abu Gholib dari Abu Umamah beliau berkata :
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالْإِنَاءُ فِيْ يَدِ عُمَرَ قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا
“Iqomat telah dikumandangkan dan ditangan ‘Umar ada bejana, ia berkata apakah saya boleh minum wahai Rasulullah ? beliau bersabda : “iya”. Maka minumlah ‘Umar”.
Di dalam sanad hadits ini ada Abu Gholib. Kebanyakan para ‘ulama melemahkannya, karena itu Ibnu Hajar berkata shoduqun yukhti` (jujur tetapi banyak salah), ibarat ini digunakan oleh Ibnu Hajar untuk orang yang lemah haditsnya tapi bisa dijadikan sebagai pendukung.
Ketiga : Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/348 dari jalan Ibnu Lahi’ah dari Abi Zubair ia berkata :
سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيْدُ الصِّيَامَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ فَيَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ جَابِرٌ كُنَّا نَحَدَّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَشْرَبُ
“Saya bertanya kepada Jabir tentang seseorang hendak berpuasa dan bejana di tangannya untuk ia minum kemudian ia mendengar adzan. Berkata Jabir kami diceritakan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata : “iya minumlah”.
Saya berkata Ibnu Lahi’ah dho’iful hadits.
Keempat : Hadits Bilal, beliau berkata :
أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُوْذِنُهُ بِالصَّلاَةِ وَهُوَ يُرِيْدُ الصِّيَامَ فَدَعَا بِقَدَحٍ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَنِيْ فَشَرِبْتُ ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الصَّلاَةِ
“Saya datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanggil beliau untuk shalat shubuh dan (ketika itu) beliau hendak berpuasa, maka ia meminta bejana lalu minum kemudian beliau memberikan bejana itu kepadaku kemudian saya minum lalu kami keluar untuk shalat”.
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/12, Ibnu Jarir 2/181, Ath-Thabarany 1/355 no.1082-1083, Asy-Syasyi dalam Musnadnya 2/368 no.972-974 dan Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 4/483 Semua dari jalan Abu Ishaq dari ‘Abdillah bin Ma’qil dari Bilal.
Saya berkata : Abu Ishaq As-Sabi’iy seorang mudallis dan meriwayatkan hadits ini dengan kata ‘an (dari), maka haditsnya tidak boleh diterima apalagi ada keanehan (asing) dalam sanadnya, sehingga Adz-Dzahaby berkata “ghoribun jiddan (aneh sekali)” maka ucapan beliau ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan pendukung. Wallahu A’lam.
Kelima : Diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar no.993 dari jalan Muthi’ bin Rasyid dari Taubah Al-‘Anbary dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
انْظُرْ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَادْعُهُ فَدَخَلْتُ يَعْنِيْ الْمَسْجِدَ فَإِذَا أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ فَدَعَوْتُهُمَا فَأَتََيْتُهُ بِشَيْءٍ فَوَضَعْتُهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَكَلَ وَأَكَلُوْا ثُمَّ خَرَجُوْا فَصَلَّى بِهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الغَدَاةِ
“Lihatlah siapa yang ada di mesjid kemudian panggillah ia, maka saya (Anas bin Malik) masuk (mesjid) ternyata ada Abu Bakr dan ‘Umar maka saya pun memanggil mereka berdua, kemudian saya membawakan sesuatu kepada Nabi lalu saya letakkan di depannya lalu beliau makan dan merekapun makan, kemudian mereka keluar lalu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam shalat mengimami mereka shalat Shubuh”.
Hadits ini dikeluarkan juga dengan matan yang lebih ringkas oleh Ibnu Abi Syaibah dalan Musnadnya sebagaimana dalam Al-Matholib Al-‘Aliyah 3/248-249 no.1104 dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawaid 3/152. Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shohihah 3/383.
Tapi hadits ini tidak bisa dijadikan syahid (pendukung) untuk hadits di atas karena tidak tegas menunjukkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam makan sahur dalam keadaan telah adzan sementara bejana masih berada ditangan beliau, tetapi hadits ini hanya menunjukkan bahwa beliau kalau makan sahur, beliau akhirkan sehingga mendekati waktu shubuh. Dan hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengakhirkan sahur itu sangat banyak dan kita tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan hadits-hadits seperti ini, diantaranya seperti hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim :
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat, saya berkata (Anas bin Malik) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat””.
Keenam : Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.1898 beliau berkata menceritakan kepada kami Qois bin Ar-Robi’ dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’maa dari Tamim bin ‘Iyadh dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu :
كَانَ عَلْقَمَةُ بْنُ عَلاَثَةَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ بِلاَلٌ يُؤًذِّنُ بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ رُوَيْدًا يَا بِلاَلُ يَتَسَحَّرُ عَلْقَمْةُ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ بِرَأْسٍ
“Adalah ‘Alqomah bin ‘Ulatsah berada di sisi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka datanglah Bilal memberitahukan tentang adzan shalat maka beliau bersabda : “Pelan-pelan wahai Bilal, ‘Alqomah sedang makan sahur”, berkata Ibnu ‘Umar : “Ia makan sahur dengan kepala”.
Saya berkata : Qois bin Ar-Robi’ yang terdapat di dalam sanadnya adalah rawi yang lemah haditsnya, hal ini bisa disimpulkan oleh orang yang membaca biografinya. Dan Tamim bin ‘Iyadh saya tidak ketemukan biografinya. Wallahu A’lam.
Kesimpulan :
Lafazh hadits di atas menurut kaidah ilmu hadits bisa dianggap sebagai hadits hasan lighairihi tapi masih ada keraguan tentang hadits ini karena menyelisihi beberapa nash dalil yang jelas diantaranya : Firman Allah subhanahu wa ta'ala menyatakan dalam surah Al-Baqarah : 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”. Muttafaqun ‘alaih.
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dua kali ; adzan pertama dan adzan kedua. Ketika adzan pertama masih boleh makan sahur disitu dan batasan terakhirnya sampai adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat shubuh.
Dan andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir tapi dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa muadzdzin ini adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=5)
5. Hadits kelima
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِيْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ عُذْرٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامَ الدَّهْرِ
“Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa rukhshoh (keringanan) yang Allah jadikan sebagai rukhsoh dalam satu riwayat tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thoyalisy dalam Musnadnya no.2540, Ahmad 2/386, 442, 458, 470, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnadnya 1/296-297 no.273-275 dan 1/361 no.367, Abu Daud no.2396, Tirmidzy no.723, Ibnu Majah no.1672, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/244-245 no.3278-3283, Ad-Darimy dalam Sunannya no.1713-1715, Ibnu Khuzaimah 3/238 no.1987, Ad-Daruquthny 2/211 no.29 dan dalam ‘Ilalnya 8269-274, Al-Baihaqy 4/228 dan dalam Syu’abul Iman 3/318, Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 3/157, Al-Khotib dalam Tarikhnya 8/462 dan Ibnu Hajar dalam Taghliq At-Ta’liq 3/170. Semuanya dari jalan Abul Muthowwis dari ayahnya dari Abi Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Dan di dalam sanadnya terdapat empat cacat :
Pertama : Ada idhthirob (kegoncangan) pada Habib bin Abi Tsabit dalam menyebutkan nama gurunya kadang ia mengatakan Abul Muthowwis dari ayahnya, kadang ia katakan Ibnul Muthowwis dari ayahnya, kadang ia katakan Ibnul Muthowwis dari Al-Muthowwis dan kadang ia katakan dari Ibnu Abil Muthowwis dari ayahnya. Lihat ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/266-269 dan Hasyiah Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/167-168 oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy rahimahullah.
Tidak diragukan bahwa hal yang seperti ini merupakan idhthirob dalam sanad yang akan mengakibatkan lemahnya suatu hadits menurut para ‘ulama ahli hadits.
Adapun riwayat Habib bin Abi Tsabit yang kadang meriwayatkan dari Abul Muthowwis secara langsung dan kadang dengan perantara ‘Umarah bin ‘Umair, hal tersebut tidaklah disebut idhthirob bahkan keduanya adalah shohih sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/231-232 no.674 dan lihat juga ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/266-269.
Cacat kedua : Tidak dikenalnya keadaan Abul Muthowwis.
Berkata Imam Abu ‘Isa (At-Tirmidzy) dalam Sunannya setelah menyebutkan hadits di atas : “Saya mendengar Muhammad (yakni Imam Al-Bukhary) berkata : Abul Muthowwis namanya Yazid bin Muthowwis dan saya tidak mengetahuinya kecuali dalam hadits ini.
Berkata Imam Ahmad : “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak mengenal haditsnya dari selain ini”.
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya : “Sesungguhnya saya tidak mengenal Ibnu Muthowwis dan tidak pula bapaknya selain dari Habib bin Abi Tsabit yang telah menyebutkan bahwasanya dia bertemu dengan Abul Muthowwis”.
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 3/157 : “(Dia adalah) seorang dari ahli Kufah meriwayatkan dari bapaknya, tidak ada yang mengikutinya, tidak boleh berhujjah dengannya jika dia bersendirian”.
Dan tidak ada Imam yang menganggapnya terpercaya kecuali Imam Ibnu Ma’in dalam salah satu riwayat, yaitu riwayat Abu Bakar bin Abi Haitsamah : “Saya bertanya kepada Yahya Ibnu Ma’in tentang Abul Muthowwis yang meriwayatkan darinya Habib bin Abi Tsabit”, beliau menjawab : “Namanya ‘Abdullah bin Muthowwis : Dia itu Kufy Tsiqoh (terpercaya)”. Lihat : Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/773 dan ‘Ilal Ad-Daruquthny 8/273.
Tapi yang nampak -Wallahu A’lam- Abul Muthowwis yang disebutkan oleh Ibnu Ma’in bukan Abul Muthowwis yang tersebut di dalam sanad hadits ini, mungkin karena itu Imam Adz-Dzahaby dalam Al-Kasyif memberikan isyarat dengan ucapannya wutstsiq (ada yang menganggapnya tsiqoh). Dan kata wutstsiq digunakan oleh Imam Adz-Dzahaby bagi orang yang hanya ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban khususnya dalam kitabnya Ats-Tsiqot sementara Abul Muthowwis ini justru beliau sebutkan dalam Al-Majruhin. Maka ini menunjukkan beliau tidak menganggap (mengakui) perkataan Imam Ibnu Ma’in tersebut.
Demikian pula Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzib beliau berkata : “Abul Muthowwis (namanya) adalah Yazid dan ada yang menyatakan (namanya) ‘Abdullah bin Muthowwis, Layyinul hadits (lembek haditsnya)”. Disini Ibnu Hajar menggunakan qila (ada yang mengatakan) menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan nama Abul Muthowwis adalah ‘Abdullah bin Muthowwis, merupakan pendapat yang lemah. Wallahu A’lam.
Cacat ketiga : Ayah Abul Muthowwis ini adalah majhul (tidak dikenal).
Cacat keempat : Ada Inqitho’ (keterputusan) antara ayah Abul Muthowwis dengan Abu Hurairah. Berkata Imam Al-Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir : “Abul Muthowwis bersendirian meriwayatkan hadits ini dan saya tidak mengetahui apakah bapaknya mendengar dari Abi Hurairah atau tidak. Lihat Fathul Bari 4/161 dan At-Tahdzib.
Maka sebagai kesimpulan hadits ini adalah hadits yang lemah. Wallahu A’lam.
Demikianlah jawaban kami atas pertanyaan tentang hadits-hadits tersebut. Wallahu Ta’ala A’lam.
Peringatan :
Banyak orang menyebar luaskan hadits ini bahwa hadits ini adalah riwayat Bukhary dalam shohihnya. Ini adalah kesalahan yang sangat nyata karena Imam Al-Bukhary hanya meriwayatkannya secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanadnya kepada rawi yang ia sandarkan hadits tersebut kepadanya) dan para ‘ulama tidak menghitung apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary secara mu’allaq sebagai bagian dari Shohih Al-Bukhary. Apalagi Imam Al-Bukhary meriwayatkan hadits ini dengan shighoh tamridh menunjukkan lemahnya riwayat tersebut menurut Imam Bukhary. Wallahu A’lam.
(Dikutip dari tulisan Al-ustadz Abu 'Abdirrahman Luqman Jamal, judul asli "Koreksi Atas beberapa hadits yang tersebar di Bulan Ramadhan". Url sumber : http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=4, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=5, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=hadits&article=24&page_order=6)
Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan (1)
1. Pendahuluan
Puasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan dan merupakan salah satu rukun Islam dan bangunannya yang agung.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (Q.S.Al Baqarah : 183).
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam itu dibangun atas lima perkara, syahadat Laa ilaaha illallah waa anna Muhammadan abduhu warasuluhu, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” Muttafaqun ‘alaih.
Beliau shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebutkan Puasa Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak akan tegak agama itu kecuali dengannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seorang yang telah mencapai masa baligh dan memenuhi syarat-syarat taklif (pembebanan syari’at) padanya, wajib untuk melaksanakan perintah puasa Ramadhan ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bagi seorang perempuan, kewajibannya untuk melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana halnya seorang laki-laki, adalah ketika telah mencapai masa baligh yang mana masa ini tidak ditentukan oleh usia semata, melainkan oleh beberapa faktor :
Pertama : haidh, yaitu keluarnya darah kotor dari kemaluannya. Bila seorang anak perempuan telah mengalami haidh, meskipun baru berumur 10 tahun, maka telah wajib baginya untuk berpuasa Ramadhan.
Kedua : Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.
Ketiga : Umur/usia 15 tahun sebagai batas maksimal seorang anak digolongkan telah baligh jika dua tanda baligh di atas belum muncul. Maka seorang anak yang telah berusia 15 tahun walaupun belum haidh dan belum tumbuh bulu di sekitar kemaluannya, dia telah wajib untuk berpuasa Ramadhan.
Dan adalah juga kewajiban orang tua untuk memperhatikan keadaan perkembangan anaknya, sehingga jika anak perempuan telah haidh walaupun dalam usia sekitar 10 tahun misalnya, orang tua tersebut segera menyuruh anaknya untuk berpuasa.
Wanita muslimah mukallaf yang terkena kewajiban puasa jika bulan Ramadhan telah tiba adalah wanita muslimah yang sehat (tidak sakit) dan muqim (berada di negerinya dan tidak dalam keadaan bersafar). Dan jika dia dalam keadaan sakit atau musafir (sedang dalam perjalanan) di dalam bulan Ramadhan maka boleh baginya berbuka puasa, dan wajib baginya untuk meng-qodho` (mengganti) pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan) sebanyak hari berbukanya.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (Q.S. Al Baqarah : 185).
Demikian pula halnya seseorang yang menjumpai (mendapati) bulan Ramadhan sedang usianya telah sangat lanjut dan telah lemah sehingga tidak kuat lagi untuk berpuasa atau seorang yang sakit tidak ada harapan lagi untuk sembuh dari penyakitnya pada waktu kapan pun, maka dia boleh berbuka puasa dan untuk setiap hari berbukanya dia berkewajiban untuk memberi makan seorang miskin. Dan ini dinamakan fidyah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Q.S.Al Baqarah : 184).
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25)
2. Wanita yang terkena pengecualian dari kewajiban puasa Ramadhan
a. Wanita haidh dan nifas
- Wanita haidh
* Wanita yang sedang mengalami masa haidh dikecualikan dari kewajiban berpuasa bahkan wajib baginya untuk meninggalkan puasa ketika sedang haidh dan puasa yang dikerjakan oleh wanita haidh batal dengan datangnya haidh. Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah juga seorang wanita mengalami haidh, dia tidak shalat dan tidak berpuasa. Itulah (bentuk) kurangnya diennya (agamanya)”. Hadits riwayat Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu.
Dan telah ada ijma’ ‘ulama bahwa wanita yang haidh yang meninggalkan shalat dan puasa, sebagaimana yang dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 2/351 katanya : “Ummat telah sepakat bahwasanya diharamkan atas wanita yang haidh shalat wajib maupun sunnah dan mereka (ummat) sepakat akan jatuhnya (hilangnya) kewajiban shalat atas wanita haidh tersebut. Maka dia tidak perlu mengganti shalatnya jika telah bersih. Berkata Abu Ja’far Ibnu Jarir di dalam kitabnya Ikhtilaful Fuqoha` : “Ummat telah sepakat bahwa wajib bagi wanita haidh untuk meninggalkan semua shalat baik yang fardhu (wajib) maupun yang sunnah, dengan (meninggalkan) semua puasa baik yang fardhu maupun yang sunnah dan meninggalkan thowaf baik yang fardhu maupun yang sunnah, dan bahwa jika wanita haidh tersebut mengerjakan shalat atau berpuasa atau thowaf, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalan fardhunya maupun sunnahnya sama sekali””. Dan hal yang serupa juga dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Minhaj 1/637.
* Wajib bagi wanita tersebut untuk meng-qodho` (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan pada hari-hari yang lain dan tidak perlu meng-qodho` shalatnya. Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya oleh seorang wanita yang bernama Ma’adzah katanya : “Kenapa wanita yang haidh meng-qodho` puasanya dan tidak meng-qodho` shalatnya ?” Beliau menjawab :
كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat”. Muttafaqun ‘alaihi.
Beliau radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahwa perkara ini adalah termasuk perkara tauqifiyah dimana pada perkara tersebut nashlah yang mesti diikuti.
* Seorang wanita yang haidh mulai berhenti berpuasa sejak keluarnya darah haidh dan sejak itu pula kalau dia sedang berpuasa maka puasanya batal dan tidak boleh diteruskan meskipun tinggal beberapa saat waktunya dari waktu tenggelamnya matahari (berbuka puasa).
* Jika haidhnya sudah selesai maka dia mulai berpuasa dengan ketentuan :
Kalau haidhnya berhenti sebelum terbitnya fajar (bukan matahari), maka dia berniat untuk berpuasa lalu mulai berpuasa, meskipun dia belum sempat mandi bersih sampai terbitnya fajar dan sejak itu puasanya terhitung, sebagaimana hal ini dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bary 4/192 dari jumhur ahli ilmu, demikian pula Al-Qurthuby rahimahullahu dalam kitab Tafsirnya ketika menjelaskan tafsir firman Allah subhanahu wa ta'ala :
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. (Q.S.Al Baqarah : 187).
Jika berhentinya haidh pada pertengahan hari puasa, maka yang harus dilakukan adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak waktu berhentinya haidhnya sampai terbenamnya matahari, yang mana hal ini dilakukan dalam rangka pemuliaan dan penghargaannya terhadap waktu (hari “puasa”), kemudian dia wajib meng-qodho’ puasanya untuk hari itu.
* Tidak dianjurkan bagi wanita untuk mengkonsumsi obat-obatan pencegah dan penahan haidh, sebab haidh adalah sesuatu yang Allah subhanahu wa ta'ala telah tetapkan bagi wanita, dan para wanita pada zaman Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidaklah memaksakan diri mereka untuk mencegah/menahan datangnya haidh, bahkan tidak diketahui salah seorang dari mereka ada yang pernah melakukannya. Akan tetapi, jika ada yang melakukannya dan obat tersebut tidak membahayakan kesehatannya dan dapat benar-benar menghentikan darah, maka puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho`nya. Tetapi jika wanita tersebut ragu apakah darahnya benar-benar berhenti/tertahan atau masih ada yang keluar maka wanita tersebut masih dalam keadaan haidh, wajib untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya. Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : “Diperbolehkan bagi wanita untuk mengkonsumsi tablet yang bisa menghalangi haidh agar dia bisa berpuasa (lengkap) jika tablet (obat-obat) ini tidak membahayakan kesehatannya”. Al-Muntaqa Min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan 3/148.
- Wanita yang sedang nifas
Wanita yang sedang nifas hukumnya sama dengan wanita haidh. Sebagaimana ijma’ nya para ahul ilmi bahwa wanita yang sedang nifas tidak halal untuk berpuasa dan wajib baginya untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya pada hari-hari yang lain. Berkata Al-Imam An-Nawawy (dalam Al Minhaj 1/637) : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak wajib shalat dan puasa atas mereka.”
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2)
3. Beberapa hal yang berkaitan haidh dan nifas sehubungan dengan puasa Ramadhan :
* Wanita haidh yang telah lengkap (cukup bilangan hari haidh menurut kebiasaannya), kemudian dia mandi dan melaksanakan puasa. Jika kemudian dia melihat sesuatu dari farjinya (kemaluannya) maka hal ini tidak menghalanginya untuk terus shalat dan puasa berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anhuma :
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap kekuningan dan keputihan setelah suci sama sekali”. Hadits riwayat Bukhary dan Abu Daud dan ini lafazh Abu Daud.
* Jika darah haidhnya berhenti sebelum genapnya hari-hari kebiasaan haidhnya kemudian dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu setelah itu dia kembali melihat darah dari kemaluannya maka darah itu dianggap darah haidh dan dia masih dalam keadaan haidh sampai selesai masanya dan puasa yang telah dilakukannya dalam selang waktu antara berhentinya darah yang pertama dengan keluarnya darah untuk kedua kalinya, tidak diperhitungkan dan dia harus meng-qodho` nya.
* Ada sebagian wanita yang bisa mengalami haidh selagi hamil. Kalau memang itu adalah kebiasaan wanita tersebut maka ia dianggap haidh.
* Wanita nifas, demikian pula halnya jika waktu nifasnya telah genap 40 hari kemudian dia mandi lalu setelah itu ada darah lagi yang keluar setelah lewat 40 hari tadi maka hal ini tidaklah berpengaruh dan tidak dianggap darah nifas lagi dan sudah boleh shalat dan puasa, kecuali kalau selesainya waktu nifas bersambung dengan waktu haidhnya.
* Jika belum genap 40 hari darahnya terhenti, sehingga dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu tidak ada darah lagi setelah itu maka berarti masa nifasnya tidak sampai 40 hari dan hal ini mungkin saja terjadi.
* Jika setelah mandi lalu shalat dan berpuasa kemudian setelah itu ada lagi darah yang keluar maka dia harus segera menghentikan shalat dan puasanya dan ia dianggap masih dalam keadaan nifas.
* Darah yang keluar dari seorang wanita setelah keguguran (secara sengaja ataupun tidak) apakah juga mengharuskan dia untuk berbuka (tidak berpuasa)?
Jawab :
Jika janin yang keluar dari kandungan itu sudah berusia 4 bulan atau sudah bisa dibedakan anggota-anggota tubuhnya seperti kaki, lengan dan kepalanya maka wanita yang keguguran tersebut dianggap mengalami nifas dan padanya berlaku hukum wanita nifas, tidak boleh shalat dan puasa. Tetapi jika janinnya kurang dari 40 hari dan anggota-anggota tubuhnya masih belum berbentuk, maka tidaklah dia dianggap nifas.
4. Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah (keringanan) berupa bolehnya berbuka di bulan Ramadhan.
Diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Isa no.715, Abu Daud no.2408 dan Ibnu Majah no.1667 dari hadits Anas bin Malik Al-Ka’by bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui”.
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para ‘ulama tentang bolehnya wanita menyusui dan hamil jika mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan janinnya atau anaknya untuk berbuka.
Jika wanita hamil atau menyusui berbuka pada bulan Ramadhan karena mengkhawatirkan dirinya dan atau anaknya, maka wajib baginya untuk membayar fidyah berupa memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin, dan tidak meng-qodho` puasanya, kecuali kalau dia tidak khawatir terhadap dirinya dan atau anaknya jika ia berpuasa untuk mengganti puasanya (meng-qodho`nya) dan dia sanggup untuk itu, maka dia boleh meng-qodho`nya dan tidak usah membayar fidyah. Dalilnya adalah pengecualian/pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan tua, orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya dan wanita hamil serta wanita menyusui yang mengkhawatirkan dirinya atau anaknya dari Firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang mampu untuk berpuasa (boleh bagi mereka untuk membayar) fidyah (berupa) memberi makan bagi orang miskin”.
Sebab penunjukan makna yang umum yang terdapat pada ayat ini dijelaskan pada ayat lainnya.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
Dan ditetapkan bagi laki-laki/wanita tua yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, orang sakit yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh (karena penyakitnya yang berat dan berlangsung lama) demikian pula wanita hamil dan menyusui yang jika keduanya mengkhawatirkan diri dan atau anak-anaknya.
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
“Diberikan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tua dan wanita tua pada masalah ini (puasa) sementara keduanya mampu berpuasa untuk berbuka jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak wajib qodho` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan (hukum) di dalam ayat ini :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua jika tidak sanggup berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir, untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230) dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh Salim Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid : Sanadnya shohih (lihat : Sifat Puasa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam Dalam Ramadhan hal.80).
Peringatan/catatan Penting tentang wanita mustahadhah
Wanita yang mengalami istihadhah yaitu wanita yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan darah haidh.
Wanita yang mengalami istihadhah ini wajib untuk melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka) karena sebab darah istihadhah.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Berbeda dengan istihadhah, Istihadhah (bisa) mencakup pada seluruh waktu (artinya bisa terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu khusus yang diperintahkan untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak mungkin baginya untuk menghindari istihadhah seperti tidak mungkinnya dia mencegah muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka istihadhah ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa seperti darah haidh (Majmu’ Al- Fatawa 25/251).
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin Musaruddin "Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di bulan ramadhan". URL Sumber http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=3, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=4)
Puasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan dan merupakan salah satu rukun Islam dan bangunannya yang agung.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (Q.S.Al Baqarah : 183).
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam itu dibangun atas lima perkara, syahadat Laa ilaaha illallah waa anna Muhammadan abduhu warasuluhu, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” Muttafaqun ‘alaih.
Beliau shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebutkan Puasa Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak akan tegak agama itu kecuali dengannya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seorang yang telah mencapai masa baligh dan memenuhi syarat-syarat taklif (pembebanan syari’at) padanya, wajib untuk melaksanakan perintah puasa Ramadhan ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bagi seorang perempuan, kewajibannya untuk melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana halnya seorang laki-laki, adalah ketika telah mencapai masa baligh yang mana masa ini tidak ditentukan oleh usia semata, melainkan oleh beberapa faktor :
Pertama : haidh, yaitu keluarnya darah kotor dari kemaluannya. Bila seorang anak perempuan telah mengalami haidh, meskipun baru berumur 10 tahun, maka telah wajib baginya untuk berpuasa Ramadhan.
Kedua : Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.
Ketiga : Umur/usia 15 tahun sebagai batas maksimal seorang anak digolongkan telah baligh jika dua tanda baligh di atas belum muncul. Maka seorang anak yang telah berusia 15 tahun walaupun belum haidh dan belum tumbuh bulu di sekitar kemaluannya, dia telah wajib untuk berpuasa Ramadhan.
Dan adalah juga kewajiban orang tua untuk memperhatikan keadaan perkembangan anaknya, sehingga jika anak perempuan telah haidh walaupun dalam usia sekitar 10 tahun misalnya, orang tua tersebut segera menyuruh anaknya untuk berpuasa.
Wanita muslimah mukallaf yang terkena kewajiban puasa jika bulan Ramadhan telah tiba adalah wanita muslimah yang sehat (tidak sakit) dan muqim (berada di negerinya dan tidak dalam keadaan bersafar). Dan jika dia dalam keadaan sakit atau musafir (sedang dalam perjalanan) di dalam bulan Ramadhan maka boleh baginya berbuka puasa, dan wajib baginya untuk meng-qodho` (mengganti) pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan) sebanyak hari berbukanya.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (Q.S. Al Baqarah : 185).
Demikian pula halnya seseorang yang menjumpai (mendapati) bulan Ramadhan sedang usianya telah sangat lanjut dan telah lemah sehingga tidak kuat lagi untuk berpuasa atau seorang yang sakit tidak ada harapan lagi untuk sembuh dari penyakitnya pada waktu kapan pun, maka dia boleh berbuka puasa dan untuk setiap hari berbukanya dia berkewajiban untuk memberi makan seorang miskin. Dan ini dinamakan fidyah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Q.S.Al Baqarah : 184).
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25)
2. Wanita yang terkena pengecualian dari kewajiban puasa Ramadhan
a. Wanita haidh dan nifas
- Wanita haidh
* Wanita yang sedang mengalami masa haidh dikecualikan dari kewajiban berpuasa bahkan wajib baginya untuk meninggalkan puasa ketika sedang haidh dan puasa yang dikerjakan oleh wanita haidh batal dengan datangnya haidh. Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا
“Bukankah juga seorang wanita mengalami haidh, dia tidak shalat dan tidak berpuasa. Itulah (bentuk) kurangnya diennya (agamanya)”. Hadits riwayat Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu.
Dan telah ada ijma’ ‘ulama bahwa wanita yang haidh yang meninggalkan shalat dan puasa, sebagaimana yang dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 2/351 katanya : “Ummat telah sepakat bahwasanya diharamkan atas wanita yang haidh shalat wajib maupun sunnah dan mereka (ummat) sepakat akan jatuhnya (hilangnya) kewajiban shalat atas wanita haidh tersebut. Maka dia tidak perlu mengganti shalatnya jika telah bersih. Berkata Abu Ja’far Ibnu Jarir di dalam kitabnya Ikhtilaful Fuqoha` : “Ummat telah sepakat bahwa wajib bagi wanita haidh untuk meninggalkan semua shalat baik yang fardhu (wajib) maupun yang sunnah, dengan (meninggalkan) semua puasa baik yang fardhu maupun yang sunnah dan meninggalkan thowaf baik yang fardhu maupun yang sunnah, dan bahwa jika wanita haidh tersebut mengerjakan shalat atau berpuasa atau thowaf, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalan fardhunya maupun sunnahnya sama sekali””. Dan hal yang serupa juga dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Minhaj 1/637.
* Wajib bagi wanita tersebut untuk meng-qodho` (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan pada hari-hari yang lain dan tidak perlu meng-qodho` shalatnya. Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya oleh seorang wanita yang bernama Ma’adzah katanya : “Kenapa wanita yang haidh meng-qodho` puasanya dan tidak meng-qodho` shalatnya ?” Beliau menjawab :
كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat”. Muttafaqun ‘alaihi.
Beliau radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahwa perkara ini adalah termasuk perkara tauqifiyah dimana pada perkara tersebut nashlah yang mesti diikuti.
* Seorang wanita yang haidh mulai berhenti berpuasa sejak keluarnya darah haidh dan sejak itu pula kalau dia sedang berpuasa maka puasanya batal dan tidak boleh diteruskan meskipun tinggal beberapa saat waktunya dari waktu tenggelamnya matahari (berbuka puasa).
* Jika haidhnya sudah selesai maka dia mulai berpuasa dengan ketentuan :
Kalau haidhnya berhenti sebelum terbitnya fajar (bukan matahari), maka dia berniat untuk berpuasa lalu mulai berpuasa, meskipun dia belum sempat mandi bersih sampai terbitnya fajar dan sejak itu puasanya terhitung, sebagaimana hal ini dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bary 4/192 dari jumhur ahli ilmu, demikian pula Al-Qurthuby rahimahullahu dalam kitab Tafsirnya ketika menjelaskan tafsir firman Allah subhanahu wa ta'ala :
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. (Q.S.Al Baqarah : 187).
Jika berhentinya haidh pada pertengahan hari puasa, maka yang harus dilakukan adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak waktu berhentinya haidhnya sampai terbenamnya matahari, yang mana hal ini dilakukan dalam rangka pemuliaan dan penghargaannya terhadap waktu (hari “puasa”), kemudian dia wajib meng-qodho’ puasanya untuk hari itu.
* Tidak dianjurkan bagi wanita untuk mengkonsumsi obat-obatan pencegah dan penahan haidh, sebab haidh adalah sesuatu yang Allah subhanahu wa ta'ala telah tetapkan bagi wanita, dan para wanita pada zaman Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam tidaklah memaksakan diri mereka untuk mencegah/menahan datangnya haidh, bahkan tidak diketahui salah seorang dari mereka ada yang pernah melakukannya. Akan tetapi, jika ada yang melakukannya dan obat tersebut tidak membahayakan kesehatannya dan dapat benar-benar menghentikan darah, maka puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho`nya. Tetapi jika wanita tersebut ragu apakah darahnya benar-benar berhenti/tertahan atau masih ada yang keluar maka wanita tersebut masih dalam keadaan haidh, wajib untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya. Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : “Diperbolehkan bagi wanita untuk mengkonsumsi tablet yang bisa menghalangi haidh agar dia bisa berpuasa (lengkap) jika tablet (obat-obat) ini tidak membahayakan kesehatannya”. Al-Muntaqa Min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan 3/148.
- Wanita yang sedang nifas
Wanita yang sedang nifas hukumnya sama dengan wanita haidh. Sebagaimana ijma’ nya para ahul ilmi bahwa wanita yang sedang nifas tidak halal untuk berpuasa dan wajib baginya untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya pada hari-hari yang lain. Berkata Al-Imam An-Nawawy (dalam Al Minhaj 1/637) : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak wajib shalat dan puasa atas mereka.”
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2)
3. Beberapa hal yang berkaitan haidh dan nifas sehubungan dengan puasa Ramadhan :
* Wanita haidh yang telah lengkap (cukup bilangan hari haidh menurut kebiasaannya), kemudian dia mandi dan melaksanakan puasa. Jika kemudian dia melihat sesuatu dari farjinya (kemaluannya) maka hal ini tidak menghalanginya untuk terus shalat dan puasa berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anhuma :
كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا
“Kami tidak menganggap kekuningan dan keputihan setelah suci sama sekali”. Hadits riwayat Bukhary dan Abu Daud dan ini lafazh Abu Daud.
* Jika darah haidhnya berhenti sebelum genapnya hari-hari kebiasaan haidhnya kemudian dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu setelah itu dia kembali melihat darah dari kemaluannya maka darah itu dianggap darah haidh dan dia masih dalam keadaan haidh sampai selesai masanya dan puasa yang telah dilakukannya dalam selang waktu antara berhentinya darah yang pertama dengan keluarnya darah untuk kedua kalinya, tidak diperhitungkan dan dia harus meng-qodho` nya.
* Ada sebagian wanita yang bisa mengalami haidh selagi hamil. Kalau memang itu adalah kebiasaan wanita tersebut maka ia dianggap haidh.
* Wanita nifas, demikian pula halnya jika waktu nifasnya telah genap 40 hari kemudian dia mandi lalu setelah itu ada darah lagi yang keluar setelah lewat 40 hari tadi maka hal ini tidaklah berpengaruh dan tidak dianggap darah nifas lagi dan sudah boleh shalat dan puasa, kecuali kalau selesainya waktu nifas bersambung dengan waktu haidhnya.
* Jika belum genap 40 hari darahnya terhenti, sehingga dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu tidak ada darah lagi setelah itu maka berarti masa nifasnya tidak sampai 40 hari dan hal ini mungkin saja terjadi.
* Jika setelah mandi lalu shalat dan berpuasa kemudian setelah itu ada lagi darah yang keluar maka dia harus segera menghentikan shalat dan puasanya dan ia dianggap masih dalam keadaan nifas.
* Darah yang keluar dari seorang wanita setelah keguguran (secara sengaja ataupun tidak) apakah juga mengharuskan dia untuk berbuka (tidak berpuasa)?
Jawab :
Jika janin yang keluar dari kandungan itu sudah berusia 4 bulan atau sudah bisa dibedakan anggota-anggota tubuhnya seperti kaki, lengan dan kepalanya maka wanita yang keguguran tersebut dianggap mengalami nifas dan padanya berlaku hukum wanita nifas, tidak boleh shalat dan puasa. Tetapi jika janinnya kurang dari 40 hari dan anggota-anggota tubuhnya masih belum berbentuk, maka tidaklah dia dianggap nifas.
4. Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah (keringanan) berupa bolehnya berbuka di bulan Ramadhan.
Diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Isa no.715, Abu Daud no.2408 dan Ibnu Majah no.1667 dari hadits Anas bin Malik Al-Ka’by bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui”.
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para ‘ulama tentang bolehnya wanita menyusui dan hamil jika mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan janinnya atau anaknya untuk berbuka.
Jika wanita hamil atau menyusui berbuka pada bulan Ramadhan karena mengkhawatirkan dirinya dan atau anaknya, maka wajib baginya untuk membayar fidyah berupa memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin, dan tidak meng-qodho` puasanya, kecuali kalau dia tidak khawatir terhadap dirinya dan atau anaknya jika ia berpuasa untuk mengganti puasanya (meng-qodho`nya) dan dia sanggup untuk itu, maka dia boleh meng-qodho`nya dan tidak usah membayar fidyah. Dalilnya adalah pengecualian/pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan tua, orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya dan wanita hamil serta wanita menyusui yang mengkhawatirkan dirinya atau anaknya dari Firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang mampu untuk berpuasa (boleh bagi mereka untuk membayar) fidyah (berupa) memberi makan bagi orang miskin”.
Sebab penunjukan makna yang umum yang terdapat pada ayat ini dijelaskan pada ayat lainnya.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
Dan ditetapkan bagi laki-laki/wanita tua yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, orang sakit yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh (karena penyakitnya yang berat dan berlangsung lama) demikian pula wanita hamil dan menyusui yang jika keduanya mengkhawatirkan diri dan atau anak-anaknya.
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
“Diberikan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tua dan wanita tua pada masalah ini (puasa) sementara keduanya mampu berpuasa untuk berbuka jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak wajib qodho` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan (hukum) di dalam ayat ini :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua jika tidak sanggup berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir, untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230) dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh Salim Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid : Sanadnya shohih (lihat : Sifat Puasa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam Dalam Ramadhan hal.80).
Peringatan/catatan Penting tentang wanita mustahadhah
Wanita yang mengalami istihadhah yaitu wanita yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan darah haidh.
Wanita yang mengalami istihadhah ini wajib untuk melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka) karena sebab darah istihadhah.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Berbeda dengan istihadhah, Istihadhah (bisa) mencakup pada seluruh waktu (artinya bisa terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu khusus yang diperintahkan untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak mungkin baginya untuk menghindari istihadhah seperti tidak mungkinnya dia mencegah muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka istihadhah ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa seperti darah haidh (Majmu’ Al- Fatawa 25/251).
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin Musaruddin "Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di bulan ramadhan". URL Sumber http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=3, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=4)
Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan (2)
I. HUKUM-HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAL-HAL YANG MERUSAK PUASA.
1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).
2. Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).
Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam: “Berkata penulis kitab Al-Iqna’ (karya Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.) : Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama).
3. Jika dia dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ ‘ulama muslim tentang hal tersebut.
4. Jika ciuman itu menyebabkan keluarnya madzi, maka tidaklah membatalkan/merusak puasanya.
5. Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) menyebabkan keluarnya mani, maka puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qodho’ (diganti) dan tidak perlu kaffarah.
6. Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5)
II. SHALAT TARAWIH (QIYAMU RAMADHAN)
Shalat tarawih secara berjama’ah telah disyari’atkan di dalam ajaran agama Islam dan meliputi laki-laki maupun wanita. Maka disyari’atkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jama’ah berdasarkan hadits Abu Dzar : “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikitpun sejak awal bulan, hingga tinggal tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai lewat sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka aku (Abu Dzar) berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai nafilah (sunnah)”, maka Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyam (shalat) sepanjang malam itu”. Maka ketika tinggal 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tinggal 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak dapat (kelewatan) Al-Falah, berkata seseorang apa itu Al-Falah ? Berkata Abu Dzar : As-Sahur (makan sahur), kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan”.
Syahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.
Wanita yang akan hadir di mesjid untuk shalat tarawih berjama’ah disyaratkan baginya agar aman dari fitnah ; dan wajib baginya ketika sedang ke mesjid untuk menjaga hijabnya, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (Q.S. An-Nur : 31).
Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shof mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat Muslim bersabda :
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.
“Sebaik-baik shofnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shofnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”.
Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid begitu selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) pandang/menilai -Wallahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) agar supaya para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary.
Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6)
III. I’TIKAF
1. Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita.
I’tikaf disyari’atkan (baca : disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (no.2026) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah subhanahu wa ta'ala mewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf”. Dan sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (Fathul Bary 4/289) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Seorang wanita yang sedang menjalani istihadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.
2. Disyari’atkan bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf adanya izin dari suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini dan karena adanya kaidah fiqh :
دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kebaikan”.
Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin, maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshof meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. Kata ‘Aisyah : “Dan adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda : “Apa ini ?”. Maka dijawab (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshoh dan Zainab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini ? saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf”. Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal”.
Syahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.
3. Berkata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 6/526) : “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallahu A’lam”.
4. Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di mesjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhary, hadits no.2029.
5. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf. Sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihadhah.
6. Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah ta’ala berkata bahwa Shofiyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam untuk menjenguknya di mesjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shofiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu mesjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshor, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Pelan-pelanlah kalian (tenanglah), dia itu adalah Shofiyah binti Huyai”, maka keduanya berkata : “Maha suci Allah, wahai Rasulullah” dan keduanya merasa bersalah besar, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya syaithan itu bisa masuk ke anak cucu adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan ke dalam hati kalian berdua sesuatu”.
7. Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.
8. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya.
9. Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang beri’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Dan bertaqwalah kalian pada Allah subhanahu wa ta'ala Rabb kalian dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas”. (Q.S. Ath-Thalaaq : 1).
Demikianlah hukum-hukum yang khusus bagi wanita yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin Musaruddin. Judul asli "Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di bulan Ramadhan". Url sumber http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)
1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).
2. Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).
Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam: “Berkata penulis kitab Al-Iqna’ (karya Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.) : Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama).
3. Jika dia dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ ‘ulama muslim tentang hal tersebut.
4. Jika ciuman itu menyebabkan keluarnya madzi, maka tidaklah membatalkan/merusak puasanya.
5. Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) menyebabkan keluarnya mani, maka puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qodho’ (diganti) dan tidak perlu kaffarah.
6. Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5)
II. SHALAT TARAWIH (QIYAMU RAMADHAN)
Shalat tarawih secara berjama’ah telah disyari’atkan di dalam ajaran agama Islam dan meliputi laki-laki maupun wanita. Maka disyari’atkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jama’ah berdasarkan hadits Abu Dzar : “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikitpun sejak awal bulan, hingga tinggal tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai lewat sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka aku (Abu Dzar) berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai nafilah (sunnah)”, maka Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyam (shalat) sepanjang malam itu”. Maka ketika tinggal 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tinggal 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak dapat (kelewatan) Al-Falah, berkata seseorang apa itu Al-Falah ? Berkata Abu Dzar : As-Sahur (makan sahur), kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan”.
Syahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.
Wanita yang akan hadir di mesjid untuk shalat tarawih berjama’ah disyaratkan baginya agar aman dari fitnah ; dan wajib baginya ketika sedang ke mesjid untuk menjaga hijabnya, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (Q.S. An-Nur : 31).
Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shof mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat Muslim bersabda :
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.
“Sebaik-baik shofnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shofnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”.
Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid begitu selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) pandang/menilai -Wallahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) agar supaya para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary.
Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6)
III. I’TIKAF
1. Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita.
I’tikaf disyari’atkan (baca : disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (no.2026) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah subhanahu wa ta'ala mewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf”. Dan sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (Fathul Bary 4/289) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Seorang wanita yang sedang menjalani istihadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.
2. Disyari’atkan bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf adanya izin dari suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini dan karena adanya kaidah fiqh :
دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kebaikan”.
Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin, maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshof meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. Kata ‘Aisyah : “Dan adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda : “Apa ini ?”. Maka dijawab (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshoh dan Zainab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini ? saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf”. Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal”.
Syahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.
3. Berkata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 6/526) : “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallahu A’lam”.
4. Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di mesjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhary, hadits no.2029.
5. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf. Sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihadhah.
6. Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah ta’ala berkata bahwa Shofiyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam untuk menjenguknya di mesjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shofiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu mesjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshor, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Pelan-pelanlah kalian (tenanglah), dia itu adalah Shofiyah binti Huyai”, maka keduanya berkata : “Maha suci Allah, wahai Rasulullah” dan keduanya merasa bersalah besar, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya syaithan itu bisa masuk ke anak cucu adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan ke dalam hati kalian berdua sesuatu”.
7. Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.
8. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya.
9. Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang beri’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Dan bertaqwalah kalian pada Allah subhanahu wa ta'ala Rabb kalian dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas”. (Q.S. Ath-Thalaaq : 1).
Demikianlah hukum-hukum yang khusus bagi wanita yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin Musaruddin. Judul asli "Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di bulan Ramadhan". Url sumber http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6, http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=7)
Awas !!! Perkara Pembatal Pahala Puasa Kita
Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah kesempatan
emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan surga-Nya,
yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya. Merupakan
karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada
bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita
peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta
peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya,
dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian
banyak orang yang mestinya menghuni neraka.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه... وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “...Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]
Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.
Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa
Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.
Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ
(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al-Bukhari]
Dalam hadits yang lain:
وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش
(artinya) : Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]
Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. [Al-Wabilushayyib:43]
Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
- Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
- Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
- Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]
Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.
Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ
(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]
Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:
1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut
Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpuasa agar pahalanya tidak berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Pembatal Pahala Puasa, dikirimkan ke redaksi via email beliau)
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه... وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “...Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]
Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.
Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa
Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.
Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ
(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al-Bukhari]
Dalam hadits yang lain:
وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش
(artinya) : Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]
Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. [Al-Wabilushayyib:43]
Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
- Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
- Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
- Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]
Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.
Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ
(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]
Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:
1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut
Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpuasa agar pahalanya tidak berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Pembatal Pahala Puasa, dikirimkan ke redaksi via email beliau)
Fatwa Syaikh Utsaimin Seputar Bulan Ramadhan
1. Hukum Puasa Orang yang Sembuh dari Sakitnya
Tanya : Apabila seorang sembuh dari sakitnya yang mana dulu dokter menyatakan bahwa dia tidak mungkin bisa disembuhkan. Dan kesembuhannya ialah setelah berlalu beberapa hari dari bulan Ramadhan (maksudnya ketinggalan puasa beberapa hari karena sakit-red). Apakah ia diperintah (dituntut) untuk mengganti puasa hari yang lalu ketika dia sakit?
Jawab : Jika seseorang berbuka di bulan Ramadhan atau sebagian bulan Ramadhan dikarenakan sakit yang tidak diahrapkan lagi kesembuhannya, mungkin karena kebiasaan atau adanya pernyataan dari dokter yang dipercaya, maka yang wajib atasnya adalah memberi makan setiap harinya satu orang miskin. Jika ia sudah melakukan ini, lalu Allah takdirkan setelah itu dia sembuh dari sakitnya, maka tak wajib baginya untuk berpuasa karena telah memberi makan orang miskin tersebut, yang demikian itu karena tanggung jawabnya sudah lepas dengan dia memberi makan tersebut sebagai ganti dari puasa.
Apabila tanggung jawabnya telah lepas, maka tak ada kewajiban setelah itu. Dan yang semisal dengan ini apa yang disebutkan oleh para ulama ahlul fiqh tentang seorang yang tak mampu untuk menunaikan kewajiban haji yang mana kelemahannya itu tidak bisa diharapkan untuk hilang (sembuh). Kemudian digantikan oleh orang yang berhaji untuknya lalu setelah itu dia sembuh, maka tidak wajib baginya untuk melakukan kewajiban haji untuk kedua kalinya.
2. Berlebih-lebihan dalam Makan dan Tidur di Bulan Ramadhan
Tanya : Kebanyakan manusia di bulan Ramadhan berlebih-lebihan dalam makan dan tidur sehingga mereka bermalas-malasan dan lemas. Sebagaimana mereka begadang di malam hari dan tidur di siang hari. Apa nasehat AsySyaikh untuk mereka?
Jawab : Saya berpendapat bahwa pada hakekatnya ini menyia-nyiakan waktu dan harta. Jika manusia tidak memiliki keinginan kecuali memperbanyak jenis makanan, berlebihan dalam tidur siang hari dan waktu sahur serta melakukan perkara-perkara yang tidak bermanfaat di malam hari maka tidak diragukan lagi ini merupakan penyia-nyiaan kesempatan yang sangat berharga. Bisa jadi kesempatan ini tidak akan didapatkan lagi oleh mereka di masa hidupnya.
Seorang yang cerdik (cerdas) adalah orang yang menjalani bulan Ramadhan untuk hal-hal yang sepantasnya, yaitu dia tidur di awal malam lalu menegakkan shalat tarawih. Dan shalat tarawih tidak memberatkan. Demikian juga tidak berlebihan dalam makan dan minum. Selayaknya bagi orang yang memiliki kemampuan untuk bersemangat dalam memberikan ifthar (buka) kepada orang yang berpuasa, baik itu di masjid ataupun di temapt lain. Sebab orang yang memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa, baginya pahala seperti orang yang berpuasa. Apalagi jika kepada saudara-saudaranya kaum muslimin yang berpuasa. Maka sepantasnya bagi orang-orang yang Allah berikan kemudahan/kelebihan harta untuk betul-betul menggunakan kesempatan ini sehingga dia mendapatkan pahala yang sangat banyak.
3. Hukum Seseorang Masuk Islam setelah Ramadhan Berlalu Beberapa Hari
Tanya : Jika seseorang masuk Islam setelah berlalu darinya beberapa hari dari bulan Ramadhan, apakah dia dituntut untuk mengganti puasa di hari-hari yang dia lewati sebelum Islam. Artinya bulan Ramadhan yang disitu dia masuk Islam?
Jawab : Orang ini tidak dituntut untuk berpuasa di hari-hari yang telah lalu di bulan Ramadhan tersebut karena dahulu ia seorang yagn kafir. Dan orang kafir tidak diperintahkan atau dituntut untuk mengganti apa-apa yang luput darinya dari amalan-amalan shalih. Berdasar firman Allah Ta’ala :
"Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka berhenti (dari kekafirannya), pasti Allah akan mengampuni mereka atas dosa-dosa mereka yang telah lalu."
Dan juga dikarenakan dahulu para shahabat yang masuk Islam di zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak memerintahkan meraka untuk mengganti apa yang luput dari mereka. Seperti puasa, shalat, dan zakat. Akan tetapi, di kala masuk Islam di siang hari bulan Ramadhan wajibkah baginya untuk berpuasa selebih waktunya (hingga terbenam matahari), dan mengganti puasanya tersebut? Atau dia hanya berpuasa di waktu selebihnya tanpa harus menggantinya? Ataukah tidak wajib baginya berpuasa di waktu selebihnya dan mengganti puasanya?
Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Adapun pendapat yang paling kuat adalah wajib baginya untuk berpuasa selebih waktunya hingga matahari terbenam tanpa harus menggantinya. Diwajibkan baginya puasa karena ia telah menjadi orang yang diwajibkan puasa dan tidak diwajibkan untuk menggantinya karena sebelum itu bukan termasuk orang-orang yang diwajibkan puasa (masih kafir-red). Sama halnya seperti anak kecil, jika dia telah baligh di siang hari maka wajib baginya untuk terus menahan (puasa) dan tak wajib baginya untuk mengganti menurut pendapat yang kuat dalam masalah ini.
4. Hukum Donor Darah dalam Bulan Ramadhan
Tanya : Apakah mengambil sedikit darah (donor) dengan tujuan sebagai penghalalan atau bersedekah kepada seseorang di siang hari bulan Ramadhan dapat membatalkan puasa atau tidak ?
Jawab : Jika seseorang mengambil sedikit darahnya yang tidak memberikan efek kepada badannya seperti membuat dia lemah, maka ini tidak membatalkan puasanya baik diambil sebagai penghalalan, atau donor untuk seorang yang sakit, atau bersedekah kepada seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil dengan jumlah yang banyak, yang menjadikan badan lemas, maka dia berbuka dengannya (donor itu telah menjadi sebab sehingga dia berbuka/tidak berpuasa lagi-red). Dikiaskan seperti berbekam yang telah datang riwayatnya dari sunnah bahwa berbekam adalah termasuk salah satu dari pembatal-pembatal puasa.
Dengan demikian, maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyedekahkan darahnya yang sagat banyak dalam keadaan dia sedang berpuasa wajib, seperti puasa pada bulan Ramadhan. Kecuali jika di sana ada keperluan yang darurat (mendesak), maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya untuk menyedekahkan darahnya untuk menolak/mencegah darurat tadi. Dengan demikian dia berbuka dengan makan dan minum. Lalu dia harus mengganti puasanya yang dia tinggalkan/berbuka.
5. Shalat Tarwih di Belakang Imam yang Melebihi 11 Rakaat
Tanya : Jika ada seorang shalat tarawih di belakang imam yang melebihi 11 rakaat, haruskah ia mengikuti shalatnya imam ataukah ia berpaling dari imam setelah ia menyempurnakan 11 rakaat di belakangnya ??
Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat. Karena jika dia berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak mendapatkan pahala qiyamul lailnya. Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من قا م مع الإ مام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
"Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai dari shalatnya maka ditulis untuknya pahala shalat lailnya" (HR. Abu Dawud No. 1375, Tirmidzi No. 706 dan dishahihkan oleh AsySyaikh Albani)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian dalam rangka mendorong kita untuk menjaga agar kita tetap shalat dibelakangnya hingga imam itu selesai. Dan juga para shahabat, mereka mengikuti imam. Mereka pada shalat yang di situ imam menambah rakaat dari yang disyariatkan, sebagaimana ang terjadi bersama Amirul Mukminin Ustsman bin Affan, ketika beliau menyempurnakan shalat empat rakaat. Dimana pada waktu haji bersama Nabi, kemudian Abu Bakr, ‘Umar, dan Utsman bin Affan pada awal pemerintahannya sampai bertahan delapan tahun, mereka shalat dua rakaat. Kemudian setelah itu mereka tetap mengikuti beliau shalat dibelakangnya shalat empat rakaat. Jika demikian petunjuk para shahabat, yang mana mereka adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam mengikuti imam, maka bagaimana keadaan sebagian manusia yang mana mereka ketika melihat imam shalat melebihi rakaat yang ditentukan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu mereka berpaling di tengah-tengah shalat, sebagaimana yang kita saksikan di Masjidil Haram mereka pergi meninggalkan imam dengan alasan bahwa yang disyariatkan adalah 11 rakaat.
6. Hukum Donor Darah dalam Bulan Ramadhan
Tanya : Apakah mengambil sedikit darah (donor) dengan tujuan sebagai penghalalan atau bersedekah kepada seseorang di siang hari bulan Ramadhan dapat membatalkan puasa atau tidak ?
Jawab : Jika seseorang mengambil sedikit darahnya yang tidak memberikan efek kepada badannya seperti membuat dia lemah, maka ini tidak membatalkan puasanya baik diambil sebagai penghalalan, atau donor untuk seorang yang sakit, atau bersedekah kepada seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil dengan jumlah yang banyak, yang menjadikan badan lemas, maka dia berbuka dengannya (donor itu telah menjadi sebab sehingga dia berbuka/tidak berpuasa lagi-red). Dikiaskan seperti berbekam yang telah datang riwayatnya dari sunnah bahwa berbekam adalah termasuk salah satu dari pembatal-pembatal puasa.
Dengan demikian, maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyedekahkan darahnya yang sagat banyak dalam keadaan dia sedang berpuasa wajib, seperti puasa pada bulan Ramadhan. Kecuali jika di sana ada keperluan yang darurat (mendesak), maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya untuk menyedekahkan darahnya untuk menolak/mencegah darurat tadi. Dengan demikian dia berbuka dengan makan dan minum. Lalu dia harus mengganti puasanya yang dia tinggalkan/berbuka.
7. Hukum Seorang Pemuda yang Melakukan Onani di Bulan Ramadhan
Tanya : Apa hukum seorang pemuda yang melakukan onani di bulan Ramadhan dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa perbuatan ini merupakan pembatal puasa dan ketika syahwat bergejolak, sahkah puasanya?
Jawab : Hukumnya ialah tidak apa-apa baginya. Artinya puasanya tetap sah. Karena sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa seseorang itu tidaklah batal puasanya kecuali dari tiga syarat :
a. Dia dalam keadaan tahu kalau ini termasuk pembatal puasa
b. Dia ingat dan tidak dalam keadaan lupa
c. Memiliki kemauan (bukan dipaksa-red)
Akan tetapi saya katakan bahwa wajib baginya bersabar untuk tidak melakukan onani karena ia adalah HARAM. Berdasarkan firman Allah :
"Orang-orang yang beriman ialah orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas" (QS. Al-Mukminun : 5-7)
Dan juga Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa" (HR. Bukhari No. 1905, Muslim 3379)
Jika saja onani itu dibolehkan, niscaya Rasulullah akan membimbing kepada hal yang demikian, karena hal ini sangat mudah bagi para mukallaf dan seorang itu mendapatkan kesenangan. Berbeda dengan berpuasa, padanya terdapat kesusahan. Maka tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengarahkan bagi orang yang tidak mampu menikah, untuk berpuasa.Ini menunjukkan bahwa onani itu suatu yang tidak boleh untuk dilakukan oleh seseorang.
8. Hukum Memerintahkan Anak Kecil yang belum Mencapai 15 Tahun/Baligh untuk Berpuasa.
Tanya : Apakah anak kecil yang belum mencapai usia 15 tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana dalam shalat??
Jawab : Ya, anak-anak kecil yang belum mencapai usia baligh diperintahkan untuk berpuasa jika mereka mampu. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh para shahabat terhadap anak-anak mereka.
Sungguh para ulama telah mengatakan dengan tegas bahwa seorang pemimpin itu memerintahkan orang yang dibawah kepemimpinannya dari anak-anak kecil untuk berpuasa agar mereka terlatih dan terbiasa serta akan menjadi tabiat (kebiasaan-red) untuk melaksanakan prinsip (dasar) dari agama Islam pada hati-hati mereka.
Akan tetapi jika hal ini memberatkan atau bermudharat kepada mereka, tidak diharuskan bagi mereka untuk melaksanakannya. Dan saya ingin memeberi peringatan terhadap apa yang dilakukan oleh para bapak dan ibu, dimana mereka melarang anak-anak mereka untuk berpuasa. Mereka mengannggap bahwa pelarangan terhadap anak-anak mereka untuk berpuasa merupakan kasih sayang buat mereka dan merasa kasihan. Padahal, hakikatnya mengasihi para anak itu ialah dengan memerintahkan mereka untuk mengerjakan syariat-syariat Islam dan membiasakannya. Karena ini tidak diragukan lagi adalah sebaik-baik mendidik mereka dan sempurna dia dalam mengatur orang yang di bawah pimpinannya (tanggung jawabnya). Telah bersabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
"Sesungguhnya seseorang itu akan menjadi pemimpin terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya" (HR. Bukhari No. 2409, Muslim No. 1829)
Sepantasnya bagi para pemimpin yaitu orang-orang yang Allah jadikan di sebagai pemimpin terhadap keluarganya dan anak-anak kecil untuk bertakwa (takut) kepada Allah dalam urusan mereka dan hendaklah para pemimpin itu memerintahkan mereka dengan syariat Islam.
(Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo. Url sumber www.almakassari.com)
Tanya : Apabila seorang sembuh dari sakitnya yang mana dulu dokter menyatakan bahwa dia tidak mungkin bisa disembuhkan. Dan kesembuhannya ialah setelah berlalu beberapa hari dari bulan Ramadhan (maksudnya ketinggalan puasa beberapa hari karena sakit-red). Apakah ia diperintah (dituntut) untuk mengganti puasa hari yang lalu ketika dia sakit?
Jawab : Jika seseorang berbuka di bulan Ramadhan atau sebagian bulan Ramadhan dikarenakan sakit yang tidak diahrapkan lagi kesembuhannya, mungkin karena kebiasaan atau adanya pernyataan dari dokter yang dipercaya, maka yang wajib atasnya adalah memberi makan setiap harinya satu orang miskin. Jika ia sudah melakukan ini, lalu Allah takdirkan setelah itu dia sembuh dari sakitnya, maka tak wajib baginya untuk berpuasa karena telah memberi makan orang miskin tersebut, yang demikian itu karena tanggung jawabnya sudah lepas dengan dia memberi makan tersebut sebagai ganti dari puasa.
Apabila tanggung jawabnya telah lepas, maka tak ada kewajiban setelah itu. Dan yang semisal dengan ini apa yang disebutkan oleh para ulama ahlul fiqh tentang seorang yang tak mampu untuk menunaikan kewajiban haji yang mana kelemahannya itu tidak bisa diharapkan untuk hilang (sembuh). Kemudian digantikan oleh orang yang berhaji untuknya lalu setelah itu dia sembuh, maka tidak wajib baginya untuk melakukan kewajiban haji untuk kedua kalinya.
2. Berlebih-lebihan dalam Makan dan Tidur di Bulan Ramadhan
Tanya : Kebanyakan manusia di bulan Ramadhan berlebih-lebihan dalam makan dan tidur sehingga mereka bermalas-malasan dan lemas. Sebagaimana mereka begadang di malam hari dan tidur di siang hari. Apa nasehat AsySyaikh untuk mereka?
Jawab : Saya berpendapat bahwa pada hakekatnya ini menyia-nyiakan waktu dan harta. Jika manusia tidak memiliki keinginan kecuali memperbanyak jenis makanan, berlebihan dalam tidur siang hari dan waktu sahur serta melakukan perkara-perkara yang tidak bermanfaat di malam hari maka tidak diragukan lagi ini merupakan penyia-nyiaan kesempatan yang sangat berharga. Bisa jadi kesempatan ini tidak akan didapatkan lagi oleh mereka di masa hidupnya.
Seorang yang cerdik (cerdas) adalah orang yang menjalani bulan Ramadhan untuk hal-hal yang sepantasnya, yaitu dia tidur di awal malam lalu menegakkan shalat tarawih. Dan shalat tarawih tidak memberatkan. Demikian juga tidak berlebihan dalam makan dan minum. Selayaknya bagi orang yang memiliki kemampuan untuk bersemangat dalam memberikan ifthar (buka) kepada orang yang berpuasa, baik itu di masjid ataupun di temapt lain. Sebab orang yang memberikan buka puasa kepada orang yang berpuasa, baginya pahala seperti orang yang berpuasa. Apalagi jika kepada saudara-saudaranya kaum muslimin yang berpuasa. Maka sepantasnya bagi orang-orang yang Allah berikan kemudahan/kelebihan harta untuk betul-betul menggunakan kesempatan ini sehingga dia mendapatkan pahala yang sangat banyak.
3. Hukum Seseorang Masuk Islam setelah Ramadhan Berlalu Beberapa Hari
Tanya : Jika seseorang masuk Islam setelah berlalu darinya beberapa hari dari bulan Ramadhan, apakah dia dituntut untuk mengganti puasa di hari-hari yang dia lewati sebelum Islam. Artinya bulan Ramadhan yang disitu dia masuk Islam?
Jawab : Orang ini tidak dituntut untuk berpuasa di hari-hari yang telah lalu di bulan Ramadhan tersebut karena dahulu ia seorang yagn kafir. Dan orang kafir tidak diperintahkan atau dituntut untuk mengganti apa-apa yang luput darinya dari amalan-amalan shalih. Berdasar firman Allah Ta’ala :
"Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka berhenti (dari kekafirannya), pasti Allah akan mengampuni mereka atas dosa-dosa mereka yang telah lalu."
Dan juga dikarenakan dahulu para shahabat yang masuk Islam di zaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak memerintahkan meraka untuk mengganti apa yang luput dari mereka. Seperti puasa, shalat, dan zakat. Akan tetapi, di kala masuk Islam di siang hari bulan Ramadhan wajibkah baginya untuk berpuasa selebih waktunya (hingga terbenam matahari), dan mengganti puasanya tersebut? Atau dia hanya berpuasa di waktu selebihnya tanpa harus menggantinya? Ataukah tidak wajib baginya berpuasa di waktu selebihnya dan mengganti puasanya?
Dalam permasalahan ini ulama berbeda pendapat. Adapun pendapat yang paling kuat adalah wajib baginya untuk berpuasa selebih waktunya hingga matahari terbenam tanpa harus menggantinya. Diwajibkan baginya puasa karena ia telah menjadi orang yang diwajibkan puasa dan tidak diwajibkan untuk menggantinya karena sebelum itu bukan termasuk orang-orang yang diwajibkan puasa (masih kafir-red). Sama halnya seperti anak kecil, jika dia telah baligh di siang hari maka wajib baginya untuk terus menahan (puasa) dan tak wajib baginya untuk mengganti menurut pendapat yang kuat dalam masalah ini.
4. Hukum Donor Darah dalam Bulan Ramadhan
Tanya : Apakah mengambil sedikit darah (donor) dengan tujuan sebagai penghalalan atau bersedekah kepada seseorang di siang hari bulan Ramadhan dapat membatalkan puasa atau tidak ?
Jawab : Jika seseorang mengambil sedikit darahnya yang tidak memberikan efek kepada badannya seperti membuat dia lemah, maka ini tidak membatalkan puasanya baik diambil sebagai penghalalan, atau donor untuk seorang yang sakit, atau bersedekah kepada seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil dengan jumlah yang banyak, yang menjadikan badan lemas, maka dia berbuka dengannya (donor itu telah menjadi sebab sehingga dia berbuka/tidak berpuasa lagi-red). Dikiaskan seperti berbekam yang telah datang riwayatnya dari sunnah bahwa berbekam adalah termasuk salah satu dari pembatal-pembatal puasa.
Dengan demikian, maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyedekahkan darahnya yang sagat banyak dalam keadaan dia sedang berpuasa wajib, seperti puasa pada bulan Ramadhan. Kecuali jika di sana ada keperluan yang darurat (mendesak), maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya untuk menyedekahkan darahnya untuk menolak/mencegah darurat tadi. Dengan demikian dia berbuka dengan makan dan minum. Lalu dia harus mengganti puasanya yang dia tinggalkan/berbuka.
5. Shalat Tarwih di Belakang Imam yang Melebihi 11 Rakaat
Tanya : Jika ada seorang shalat tarawih di belakang imam yang melebihi 11 rakaat, haruskah ia mengikuti shalatnya imam ataukah ia berpaling dari imam setelah ia menyempurnakan 11 rakaat di belakangnya ??
Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat. Karena jika dia berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak mendapatkan pahala qiyamul lailnya. Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من قا م مع الإ مام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
"Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai dari shalatnya maka ditulis untuknya pahala shalat lailnya" (HR. Abu Dawud No. 1375, Tirmidzi No. 706 dan dishahihkan oleh AsySyaikh Albani)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menyatakan demikian dalam rangka mendorong kita untuk menjaga agar kita tetap shalat dibelakangnya hingga imam itu selesai. Dan juga para shahabat, mereka mengikuti imam. Mereka pada shalat yang di situ imam menambah rakaat dari yang disyariatkan, sebagaimana ang terjadi bersama Amirul Mukminin Ustsman bin Affan, ketika beliau menyempurnakan shalat empat rakaat. Dimana pada waktu haji bersama Nabi, kemudian Abu Bakr, ‘Umar, dan Utsman bin Affan pada awal pemerintahannya sampai bertahan delapan tahun, mereka shalat dua rakaat. Kemudian setelah itu mereka tetap mengikuti beliau shalat dibelakangnya shalat empat rakaat. Jika demikian petunjuk para shahabat, yang mana mereka adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam mengikuti imam, maka bagaimana keadaan sebagian manusia yang mana mereka ketika melihat imam shalat melebihi rakaat yang ditentukan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu mereka berpaling di tengah-tengah shalat, sebagaimana yang kita saksikan di Masjidil Haram mereka pergi meninggalkan imam dengan alasan bahwa yang disyariatkan adalah 11 rakaat.
6. Hukum Donor Darah dalam Bulan Ramadhan
Tanya : Apakah mengambil sedikit darah (donor) dengan tujuan sebagai penghalalan atau bersedekah kepada seseorang di siang hari bulan Ramadhan dapat membatalkan puasa atau tidak ?
Jawab : Jika seseorang mengambil sedikit darahnya yang tidak memberikan efek kepada badannya seperti membuat dia lemah, maka ini tidak membatalkan puasanya baik diambil sebagai penghalalan, atau donor untuk seorang yang sakit, atau bersedekah kepada seseorang yang membutuhkan.
Adapun jika darahnya diambil dengan jumlah yang banyak, yang menjadikan badan lemas, maka dia berbuka dengannya (donor itu telah menjadi sebab sehingga dia berbuka/tidak berpuasa lagi-red). Dikiaskan seperti berbekam yang telah datang riwayatnya dari sunnah bahwa berbekam adalah termasuk salah satu dari pembatal-pembatal puasa.
Dengan demikian, maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyedekahkan darahnya yang sagat banyak dalam keadaan dia sedang berpuasa wajib, seperti puasa pada bulan Ramadhan. Kecuali jika di sana ada keperluan yang darurat (mendesak), maka dalam keadaan seperti ini boleh baginya untuk menyedekahkan darahnya untuk menolak/mencegah darurat tadi. Dengan demikian dia berbuka dengan makan dan minum. Lalu dia harus mengganti puasanya yang dia tinggalkan/berbuka.
7. Hukum Seorang Pemuda yang Melakukan Onani di Bulan Ramadhan
Tanya : Apa hukum seorang pemuda yang melakukan onani di bulan Ramadhan dalam keadaan dia tidak mengetahui bahwa perbuatan ini merupakan pembatal puasa dan ketika syahwat bergejolak, sahkah puasanya?
Jawab : Hukumnya ialah tidak apa-apa baginya. Artinya puasanya tetap sah. Karena sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa seseorang itu tidaklah batal puasanya kecuali dari tiga syarat :
a. Dia dalam keadaan tahu kalau ini termasuk pembatal puasa
b. Dia ingat dan tidak dalam keadaan lupa
c. Memiliki kemauan (bukan dipaksa-red)
Akan tetapi saya katakan bahwa wajib baginya bersabar untuk tidak melakukan onani karena ia adalah HARAM. Berdasarkan firman Allah :
"Orang-orang yang beriman ialah orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas" (QS. Al-Mukminun : 5-7)
Dan juga Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa" (HR. Bukhari No. 1905, Muslim 3379)
Jika saja onani itu dibolehkan, niscaya Rasulullah akan membimbing kepada hal yang demikian, karena hal ini sangat mudah bagi para mukallaf dan seorang itu mendapatkan kesenangan. Berbeda dengan berpuasa, padanya terdapat kesusahan. Maka tatkala Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengarahkan bagi orang yang tidak mampu menikah, untuk berpuasa.Ini menunjukkan bahwa onani itu suatu yang tidak boleh untuk dilakukan oleh seseorang.
8. Hukum Memerintahkan Anak Kecil yang belum Mencapai 15 Tahun/Baligh untuk Berpuasa.
Tanya : Apakah anak kecil yang belum mencapai usia 15 tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana dalam shalat??
Jawab : Ya, anak-anak kecil yang belum mencapai usia baligh diperintahkan untuk berpuasa jika mereka mampu. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh para shahabat terhadap anak-anak mereka.
Sungguh para ulama telah mengatakan dengan tegas bahwa seorang pemimpin itu memerintahkan orang yang dibawah kepemimpinannya dari anak-anak kecil untuk berpuasa agar mereka terlatih dan terbiasa serta akan menjadi tabiat (kebiasaan-red) untuk melaksanakan prinsip (dasar) dari agama Islam pada hati-hati mereka.
Akan tetapi jika hal ini memberatkan atau bermudharat kepada mereka, tidak diharuskan bagi mereka untuk melaksanakannya. Dan saya ingin memeberi peringatan terhadap apa yang dilakukan oleh para bapak dan ibu, dimana mereka melarang anak-anak mereka untuk berpuasa. Mereka mengannggap bahwa pelarangan terhadap anak-anak mereka untuk berpuasa merupakan kasih sayang buat mereka dan merasa kasihan. Padahal, hakikatnya mengasihi para anak itu ialah dengan memerintahkan mereka untuk mengerjakan syariat-syariat Islam dan membiasakannya. Karena ini tidak diragukan lagi adalah sebaik-baik mendidik mereka dan sempurna dia dalam mengatur orang yang di bawah pimpinannya (tanggung jawabnya). Telah bersabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
"Sesungguhnya seseorang itu akan menjadi pemimpin terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya" (HR. Bukhari No. 2409, Muslim No. 1829)
Sepantasnya bagi para pemimpin yaitu orang-orang yang Allah jadikan di sebagai pemimpin terhadap keluarganya dan anak-anak kecil untuk bertakwa (takut) kepada Allah dalam urusan mereka dan hendaklah para pemimpin itu memerintahkan mereka dengan syariat Islam.
(Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo. Url sumber www.almakassari.com)
Fatwa ‘Ulama tentang Ru`yah - Hisab
FATWA-FATWA
AL-LAJNAH AD-DA’IMAH LIL BUHUTS AL-’ILMIYAH WAL IFTA’
(KOMITE TETAP UNTUK RISET ‘ILMIAH DAN FATWA)
Kerajaan Saudi ‘Arabia
TERKAIT MASALAH RU`YAH - HISAB UNTUK PENENTUAN RAMADHAN DAN ‘IDUL FITHRI
Fatwa no 2031(juz XII / halaman 115)
Soal : Bagaimana cara menentukan awal bulan pada setiap bulan qamariyyah ?
Jawab : Hadits-hadts yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwasanya apabila hilal telah berhasil dilihat/diru`yah oleh orang yang terpercaya setelah terbenamnya Matahari pada malam tiga puluh pada bulan Sya’ban, atau berhasil diru`yah oleh beberapa orang terpercaya pada malam tiga puluh dari bulan Ramadhan, maka ru’yah yang dia lakukan bisa diterima dan dengan itu bisa diketahui awal bulan (Ramadhan dan Syawwal). Tanpa perlu memperhatikan lama Bulan (hilal) berada diufuk setelah tenggelamnya Matahari, baik itu 20 menit, atau kurang darinya, ataupun lebih. Yang demikian itu karena tidak ada satupun hadits shahih yang menunjukan suatu batasan menit tertentu untuk berapa lama jarak waktu terbenamnya Bulan setelah terbenamnya Matahari. Dan Majelis Hai’ah Kibaril ‘Ulama di Kerajaan Saudi Arabia telah menyepakati apa yang telah kami sebutkan di atas.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz,
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi,
Anggota : ‘Abdullah bin Qu`ud,
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayan
* * *
Fatwa nomor 386 (Juz XII / Halaman 133-134)
Soal : Bolehkah seorang muslim memulai waktu berpuasa (Ramadhan) dan mengakhirinya (’Idul Fithri) berdasarkan Hisab Falaki, atau haruskah dengan cara ru`yatul hilal?
Jawab : Syari’at Islam adalah syari’at yang mudah, hukum-hukumya bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia dan jin dengan berbagai status sosial mereka, baik dari kalangan orang-orang yang berilmu maupun dari kalangan yang tidak bisa baca tulis, baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun di pelosok desa. Dengan keragaman itulah Allah telah memberi kemudahan bagi mereka dalam cara mengetahui waktu-waktu ibadah mereka. Allah telah menjadikan berbagai tanda yang bisa dikenali oleh siapapun terkait dengan masuk dan keluarnya waktu-waktu ibadah mereka. Misalnya, Allah menjadikan tenggelamnya matahari sebagai tanda masuknya waktu maghrib dan juga sebagai tanda telah keluarnya waktu ashar. Allah menjadikan hilangnya mega (cahaya merah setelah matahari tenggelam) sebagai tanda masuknya waktu isya. Allah juga telah menjadikan ru`yatul hilal - setelah hilangnya Bulan pada akhir bulan (yakni Bulan mati)- sebagai tanda awal bulan (qomariyah) dan berakhirnya bulan sebelumnya. Allah tidak membebani kita untuk mengetahui awal masuknya bulan qomariyah itu dengan suatu cara yang tidak diketahui kecuali oleh segelintir manusia, yakni dengan ilmu astronomi atau ilmu Hisab Falaki.
Karena itulah telah ada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mensyari’atkan ru`yatul hilal dan menyaksikannya sebagai tanda dimulainya waktu bershaum Ramadhan bagi kaum muslimin dan untuk mengakhiri shaumnya (’Idul Fithri) juga dengan cara melihat hilal (ru`yatul hilal) Syawwal. Demikian pula cara yang sama dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan hari ‘Arafah.
Allah Ta’ala berfirman:
{ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }
“Maka barangsiapa di antara kalian yang telah menyaksikan/melihatnya (hilal Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” Al-Baqarah : 185
Allah Ta’ala juga berfirman:
{ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ }
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal itu. Katakanlah bahwa hilal-hilal itu untuk menentukan waktu-waktu bagi manusia dan juga menentukan waktu haji”. Al-Baqarah : 189
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »
“Jika kalian telah berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka laksanakanlah shaum Ramadhan, dan jika telah berhasil melihat hilal (Syawwal) maka ber’Idul Fithrilah. Jika kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulannya menjadi 30 hari”.
Maka beliau ‘alaihish shalatu was salam mensyariatkan dalam memulai waktu puasa berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Ramadhan, dan ber’Idul FIthri berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Syawwal. Beliau tidak mengaitkan penentuan hal tersebut dengan Hisab Astronomi dan peredaran bintang-bintang.
Di atas cara inilah penerapan yang berlangsung pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan masa para Khulafa`ur Rasyidin, demikian pula pada masa para imam yang empat, dan pada tiga generasi pertama dari kalangan umat ini yang telah dipersaksikan keutamaan dan kebaikannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menetapkan bulan-bulan qamariyah dengan merujuk kepada ilmu astronomi dalam memulai ibadah dan juga ketika mengakhirinya, meninggalkan cara ru`yatul hilal, merupakan kebid’ahan yang tidak ada kebaikan padanya, dan tidak ada landasannya dari syari’at.
Kerajaan Arab Saudi berpegang dengan tuntunan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan generasi salafus shalih berada di atasnya, baik dalam penentuan waktu bershaum dan ‘Idul Fithri, dalam berhari raya, dalam penentuan waktu haji, dan dalam menentukan waktu untuk ibadah-ibadah lainnya, yaitu dengan cara ru`yatul hilal.
Hakikat kebaikan puncak segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti jejak para salaf dalam urusan agama, dan hakikat kejelekan puncak segala bentuk kejelekan terdapat dalam bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini.
Semoga Allah menjaga kami dan anda serta kaum muslimin semuanya dari berbagai fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi. Hanya kepada Allahlah kita memohon petunjuk. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan
Anggota : ‘Abdullah bin Mani’
* * *
Fatwa nomor 2036 (Juz XII / Halaman 136)
Soal : Bahwa terjadi perbedaan pendapat yang menyolok di antara sesama ulama kaum muslimin dalam penetapan awal masuknya puasa Ramadhan dan Iedul Fitri yang penuh barakah. Di antara mereka ada yang mengamalkan hadits : “Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal “.
Dan di antara mereka ada yang bersandar dengan pendapat para pakar ilmu falak (ahli hisab), dengan dalih bahwa sesungguhnya ahli ilmu falak telah mencapai puncak dalam ilmu falak sehingga sangat memungkinkan bagi mereka untuk mengetahui awal masuknya bulan-bulan qomariyah, sehingga atas dasar itulah mereka bisa mengikuti kalender (yang telah disusun oleh ahli falak/hisab).
Jawab :
Pertama : Pendapat yang shahih (benar) yang wajib diamalkan adalah perintah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi :
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal, jika terhalangi atas kalian melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan bulannya.”
Bahwa patokan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan berakhirnya adalah berdasarkan ru`yatul hilal. Karena syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -selaku utusan Allah- bersifat universal, baku/paten, dan terus berlaku sampai hari kiamat.
Kedua : Bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang telah terjadi dan juga Maha Tahu apa yang akan terjadi, termasuk adanya kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu lainnya. Walaupun demikian halnya Allah telah berfirman :
{ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilal bulan (Ramadhan) maka berpuasalah”.
Dan Rasulullah telah menjelaskannya pula dengan sabda beliau :
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal “. Al-Hadits.
Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri dengan cara ru`yatul hilal, dan Allah tidak mengaitkannya dengan mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomi (ilmu falak). Padahal Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran bintang-bintang.
Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap berpegang pada cara ru`yatul hilal, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’ ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran Hisab Astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.
Hanya kepada Allahlah kita memohon taufiq, semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan para shahabatnya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Qu’ud
_____________________________
Baca juga tulisan terkait :
♦ Hukum Perpegang Pada Hisab Falaki untuk Penentuan Waktu Ibadah
http://www.assalafy.org/mahad/?p=230
♦ Download Fatwa Hai’ah Kibaril ‘Ulama (PDF) http://www.assalafy.org/mahad/?download=fatwa_haiah
(Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=337)
AL-LAJNAH AD-DA’IMAH LIL BUHUTS AL-’ILMIYAH WAL IFTA’
(KOMITE TETAP UNTUK RISET ‘ILMIAH DAN FATWA)
Kerajaan Saudi ‘Arabia
TERKAIT MASALAH RU`YAH - HISAB UNTUK PENENTUAN RAMADHAN DAN ‘IDUL FITHRI
Fatwa no 2031(juz XII / halaman 115)
Soal : Bagaimana cara menentukan awal bulan pada setiap bulan qamariyyah ?
Jawab : Hadits-hadts yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwasanya apabila hilal telah berhasil dilihat/diru`yah oleh orang yang terpercaya setelah terbenamnya Matahari pada malam tiga puluh pada bulan Sya’ban, atau berhasil diru`yah oleh beberapa orang terpercaya pada malam tiga puluh dari bulan Ramadhan, maka ru’yah yang dia lakukan bisa diterima dan dengan itu bisa diketahui awal bulan (Ramadhan dan Syawwal). Tanpa perlu memperhatikan lama Bulan (hilal) berada diufuk setelah tenggelamnya Matahari, baik itu 20 menit, atau kurang darinya, ataupun lebih. Yang demikian itu karena tidak ada satupun hadits shahih yang menunjukan suatu batasan menit tertentu untuk berapa lama jarak waktu terbenamnya Bulan setelah terbenamnya Matahari. Dan Majelis Hai’ah Kibaril ‘Ulama di Kerajaan Saudi Arabia telah menyepakati apa yang telah kami sebutkan di atas.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz,
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi,
Anggota : ‘Abdullah bin Qu`ud,
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayan
* * *
Fatwa nomor 386 (Juz XII / Halaman 133-134)
Soal : Bolehkah seorang muslim memulai waktu berpuasa (Ramadhan) dan mengakhirinya (’Idul Fithri) berdasarkan Hisab Falaki, atau haruskah dengan cara ru`yatul hilal?
Jawab : Syari’at Islam adalah syari’at yang mudah, hukum-hukumya bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia dan jin dengan berbagai status sosial mereka, baik dari kalangan orang-orang yang berilmu maupun dari kalangan yang tidak bisa baca tulis, baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun di pelosok desa. Dengan keragaman itulah Allah telah memberi kemudahan bagi mereka dalam cara mengetahui waktu-waktu ibadah mereka. Allah telah menjadikan berbagai tanda yang bisa dikenali oleh siapapun terkait dengan masuk dan keluarnya waktu-waktu ibadah mereka. Misalnya, Allah menjadikan tenggelamnya matahari sebagai tanda masuknya waktu maghrib dan juga sebagai tanda telah keluarnya waktu ashar. Allah menjadikan hilangnya mega (cahaya merah setelah matahari tenggelam) sebagai tanda masuknya waktu isya. Allah juga telah menjadikan ru`yatul hilal - setelah hilangnya Bulan pada akhir bulan (yakni Bulan mati)- sebagai tanda awal bulan (qomariyah) dan berakhirnya bulan sebelumnya. Allah tidak membebani kita untuk mengetahui awal masuknya bulan qomariyah itu dengan suatu cara yang tidak diketahui kecuali oleh segelintir manusia, yakni dengan ilmu astronomi atau ilmu Hisab Falaki.
Karena itulah telah ada dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mensyari’atkan ru`yatul hilal dan menyaksikannya sebagai tanda dimulainya waktu bershaum Ramadhan bagi kaum muslimin dan untuk mengakhiri shaumnya (’Idul Fithri) juga dengan cara melihat hilal (ru`yatul hilal) Syawwal. Demikian pula cara yang sama dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan hari ‘Arafah.
Allah Ta’ala berfirman:
{ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }
“Maka barangsiapa di antara kalian yang telah menyaksikan/melihatnya (hilal Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” Al-Baqarah : 185
Allah Ta’ala juga berfirman:
{ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ }
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal itu. Katakanlah bahwa hilal-hilal itu untuk menentukan waktu-waktu bagi manusia dan juga menentukan waktu haji”. Al-Baqarah : 189
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »
“Jika kalian telah berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka laksanakanlah shaum Ramadhan, dan jika telah berhasil melihat hilal (Syawwal) maka ber’Idul Fithrilah. Jika kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulannya menjadi 30 hari”.
Maka beliau ‘alaihish shalatu was salam mensyariatkan dalam memulai waktu puasa berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Ramadhan, dan ber’Idul FIthri berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Syawwal. Beliau tidak mengaitkan penentuan hal tersebut dengan Hisab Astronomi dan peredaran bintang-bintang.
Di atas cara inilah penerapan yang berlangsung pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan masa para Khulafa`ur Rasyidin, demikian pula pada masa para imam yang empat, dan pada tiga generasi pertama dari kalangan umat ini yang telah dipersaksikan keutamaan dan kebaikannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menetapkan bulan-bulan qamariyah dengan merujuk kepada ilmu astronomi dalam memulai ibadah dan juga ketika mengakhirinya, meninggalkan cara ru`yatul hilal, merupakan kebid’ahan yang tidak ada kebaikan padanya, dan tidak ada landasannya dari syari’at.
Kerajaan Arab Saudi berpegang dengan tuntunan yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan generasi salafus shalih berada di atasnya, baik dalam penentuan waktu bershaum dan ‘Idul Fithri, dalam berhari raya, dalam penentuan waktu haji, dan dalam menentukan waktu untuk ibadah-ibadah lainnya, yaitu dengan cara ru`yatul hilal.
Hakikat kebaikan puncak segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti jejak para salaf dalam urusan agama, dan hakikat kejelekan puncak segala bentuk kejelekan terdapat dalam bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini.
Semoga Allah menjaga kami dan anda serta kaum muslimin semuanya dari berbagai fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi. Hanya kepada Allahlah kita memohon petunjuk. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayyan
Anggota : ‘Abdullah bin Mani’
* * *
Fatwa nomor 2036 (Juz XII / Halaman 136)
Soal : Bahwa terjadi perbedaan pendapat yang menyolok di antara sesama ulama kaum muslimin dalam penetapan awal masuknya puasa Ramadhan dan Iedul Fitri yang penuh barakah. Di antara mereka ada yang mengamalkan hadits : “Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal “.
Dan di antara mereka ada yang bersandar dengan pendapat para pakar ilmu falak (ahli hisab), dengan dalih bahwa sesungguhnya ahli ilmu falak telah mencapai puncak dalam ilmu falak sehingga sangat memungkinkan bagi mereka untuk mengetahui awal masuknya bulan-bulan qomariyah, sehingga atas dasar itulah mereka bisa mengikuti kalender (yang telah disusun oleh ahli falak/hisab).
Jawab :
Pertama : Pendapat yang shahih (benar) yang wajib diamalkan adalah perintah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi :
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal, jika terhalangi atas kalian melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan bulannya.”
Bahwa patokan dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan berakhirnya adalah berdasarkan ru`yatul hilal. Karena syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -selaku utusan Allah- bersifat universal, baku/paten, dan terus berlaku sampai hari kiamat.
Kedua : Bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tahu apa yang telah terjadi dan juga Maha Tahu apa yang akan terjadi, termasuk adanya kemajuan ilmu falak dan ilmu-ilmu lainnya. Walaupun demikian halnya Allah telah berfirman :
{ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ }
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat hilal bulan (Ramadhan) maka berpuasalah”.
Dan Rasulullah telah menjelaskannya pula dengan sabda beliau :
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »
“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah berdasarkan ru`yatul hilal “. Al-Hadits.
Maka Allah mengaitkan puasa bulan Ramadhan dan ‘Idul Fithri dengan cara ru`yatul hilal, dan Allah tidak mengaitkannya dengan mengetahui bulan Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomi (ilmu falak). Padahal Allah Ta’ala Maha Tahu bahwa para ahli falak akan mencapai kemajuan dalam ilmu hisab astronomi mereka dan ketepatan dalam menentukan peredaran bintang-bintang.
Maka wajib atas kaum muslimin untuk kembali kepada syari’at yang Allah tetapkan atas mereka melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam urusan berpuasa dan berbuka tetap berpegang pada cara ru`yatul hilal, karena yang demikan itu telah menjadi ijma’ ahlul ilmi. Barangsiapa menyelisihi yang demikian itu dan meyakini kebenaran Hisab Astronomi (falak), maka pendapatnya syadz dan tidak bisa dipercaya.
Hanya kepada Allahlah kita memohon taufiq, semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarganya dan para shahabatnya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts al-’ilmiyah wal ifta’
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah bin Qu’ud
_____________________________
Baca juga tulisan terkait :
♦ Hukum Perpegang Pada Hisab Falaki untuk Penentuan Waktu Ibadah
http://www.assalafy.org/mahad/?p=230
♦ Download Fatwa Hai’ah Kibaril ‘Ulama (PDF) http://www.assalafy.org/mahad/?download=fatwa_haiah
(Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=337)
Hukum bersandar pada Hisab Falaki
Asy-Syaikh ‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
Ramadhan merupakan ibadah yang berulang setiap tahun. Merupakan bulan Al-Qur`an, bulan yang benuh barakah. Namun menjelang datangnya bulan Ramadhan, “polemik tahunan” antara ru`yah - hisab untuk penentuan awal Ramadhan dan ‘Idul Fithri kembali menghangat. Herannya, para ahli hisab makin tahun makin arogan. Jauh-jauh hari mereka sudah berani mengumumkan hasil hisabnya, bahwa Ramadhan dan ‘Idul Fithri akan jatuh pada hari dan tanggal sekian. Bahkan ahli hisab mulai berani menghujat ru`yah yang merupakan satu-satunya sistem yang ditetapkan oleh syari’at Islam. Termasuk di negeri ini ada sebagian ormas Islam yang punya kebiasaan jauh-jauh hari mengumumkan kapan Ramadhan, ‘Idul Fithri, dan ‘Idul Adha berdasarkan Hisab Falaki (!!). Tentu saja, suasana perpecahan langsung terasa, menodai suasana kebersamaan dan kekhusyu’an ibadah kaum muslimin.
Bagaimana sebenarnya hukum penggunaan Hisab Falaki untuk penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri, serta ‘Idul Adh-ha? Berikut penjelasan seorang ‘ulama terkemuka berkaliber international. Seorang ‘ulama besar yang senantiasa dinanti dan dicari fatwa-fatwanya, serta sangat dibutuhkan oleh umat bimbingan dan arahannya. Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Semoga bermanfaat.
________________
الحمد الله رب العالمين، والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:
Telah banyak pembicaraan tentang penggunaan Hisab Falaki untuk menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, dan juga penentuan hari-hari raya (’ied). Maka aku memandang perlunya untuk menjelaskan hukum permasalahan tersebut kepada umat manusia di negeri ini dan juga negeri yang lain, agar mereka benar-benar di atas bashirah (ilmu) dalam menjalankan ibadahnya kepada Rabb mereka.
Maka aku katakan -wabillahittaufiq-:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tengan mengkaitkan dengan Al-Hilal beberapa hukum yang banyak, seperti puasa (shaum), haji, hari raya (’ied), masa-masa ‘iddah, ila` (sumpah), dan yang lainnya. Karena Al-Hilal adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh indera penglihatan/mata, dan pengetahuan yang paling meyakinkan adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh mata.
Juga karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjadikan hukum permasalahan hilal ini terkait dengan ru’yah saja, karena ru’yah (yakni ru’yatul hilal) merupakan perkara alami yang sangat jelas, yang keumuman manusia bisa melakukannya. Sehingga tidak terjadi kerancuan bagi seorang pun dalam urusan agamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا وهكذا . يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين »
Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula menghitung. Satu bulan itu demikian, demikian, dan demikian, yakni terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 (hari) (HR. Al-Bukhari 1913 dan Muslim 1080)
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :
« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »
Janganlah kalian bershaum (Ramadhan) sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’idul fithri) sampai kalin melihat hilal. Jika ada awan yang menghalangi kalian (dari melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan (jumlah hari dalam sebulan) menjadi 30. (HR. Al-Bukhari 1906, 1907 dan Muslim 1080)
Dari sini menjadi jelaslah bahwa pedoman untuk menetapkan waktu (pelaksanaan) Shaum (Ramadhan), berbuka (’Idul Fithri), dan bulan-bulan yang lain adalah dengan ru’yah atau ikmal (menyempurnakan) bilangan hari (menjadi 30). Semata-mata lahirnya Bulan baru secara syar’i tidaklah teranggap sebagai patokan untuk menetapkan masuk dan berakhirnya bulan qamariyah. Ini berdasarkan kesepakatan (Ijma’) para ‘ulama yang mu’tabar, selama tidak berhasil ru`yatul hilal secara syar’i. Ini semua adalah kaitannya dengan penetapan waktu pelaksanaan ibadah. Barangsiapa dari kalangan orang-orang sekarang yang menyelisihi perkara tersebut, maka dia telah didahului oleh ijma’/kesepakatan (para ‘ulama) terdahulu, dan pendapatnya tersebut tertolak. Karena tidak berhak seorang pun berbicara (suatu permasalahan tertentu) sementara di sana sudah ada sunnah (hadits/ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam dan juga sudah ada ijma’ para ‘ulama salaf.
Adapun Hisab (perhitungan) peredaran Matahari dan Bulan, maka itu tidak bisa dijadikan patokan/penentu dalam permasalahan ini, disebabkan alasan yang telah kami jelaskan barusan, dan juga disebabkan beberapa perkara sebagai berikut :
a. Sesugguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan pelaksanaan shaum (Ramadhan) berdasarkan ru`yatul hilal, dan melaksanakan ‘Idul Fithri juga berdasarkan ru`yatul hilal, dalam sabda beliau :
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. (HR. Muslim 1080 dan An-Nasa`i 2124)
Beliau juga membatasi perkara tersebut (Ramadhan dan ‘Idul Fithri) hanya berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabdanya :
« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »
Janganlah kalian melaksanakan shaum (Ramadhan) sampai kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian melaksanakan ‘Idul Fithri sampai kalian berhasil melihatnya. (HR. Al-Bukhari 1773 dan Muslim 1795)
Beliau memerintahkan kaum muslimin jika terdapat penghalang (sehingga hilal tidak berhasil dilihat/diru`yah) pada malam ke 30, agar menyempurnakan bilangan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30, dan beliau tidak memerintahkan untuk merujuk kepada para ahli hisab. Kalau seandainya perkataan mereka (ahli hisab) itu merupakan satu-satunya landasan (hukum untuk penentuan Ramadhan - ‘Idul Fithri) atau landasan (hukum) lain (alternatif) di samping ru’yah dalam menetapkan bulan tertentu, maka beliau pasti akan menjelaskannya. Maka tatkala tidak ternukil dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam hal yang demikian itu, bahkan telah ternukil dari beliau kebalikannya, maka ini menunjukkan bahwasanya tidaklah teranggap secara syar’i segala sesuatu selain ru’yah atau ikmal (penyempurnaan 30 hari) dalam menentukan bulan (qamariyyah). Ini adalah syari’at yang senantiasa terus berlaku sampai hari kiamat. Allah ta’ala berfirman
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan tidaklah Rabbmu lupa. (Maryam: 64)
Anggapan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ru’yah dalam hadits tersebut adalah ru`yah dengan ilmu atau perkiraan kuat akan wujudul hilal, [2] atau imkanur ru`yah, [3] dan bukan bermakna ibadah dengan pelaksanaan ru`yah itu sendiri, maka anggapan ini adalah anggapan yang tertolak. Karena kata “ru’yah” dalam hadits tersebut hanya mengenai satu obyek saja, sehingga yang dimaksud dengannya tidak lain adalah ru’yah bashariyah (ru`yah dengan indera penglihatan/mata), bukan ru’yah ilmiyah (ru`yah dengan ilmu hisab). Juga karena para shahabat Nabi memahami bahwasanya kata “ru`yah” dalam hadits tersebut bermakna ru`yah dengan mata kepala, sementara mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Bahasa ‘Arab dan paling mengerti tentang maksud syari’ah ini daripada orang-orang generasi setelahnya.
Demikianlah pula, berlangsungnya praktek amalan tersebut (ru`yatul hilal) pada zaman Nabi dan zaman shahabat. Mereka sama sekali tidak menyerahkan permasalahan penetapan waktu tersebut kepada para ahli hisab.
Tidak benar pula sebuah pendapat yang mengatakan bahwasanya ketika Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda
« فإن غم عليكم فاقدروا له »
Jika terhalangi oleh kalian awan, maka tentukanlah untuknya. (HR. Al-Bukhari 1767 dan Muslim 1799)
Beliau memaksudkan dengannya adalah perintah kepada kita agar memperkirakan posisi-posisi Bulan, supaya kita dapat mengetahui berdasarkan Hisab kapan awal masuk dan berakhirnya bulan (qamariyah).
(Pendapat tersebut tidak benar) karena kalimat riwayat tersebut telah ditafsirkan oleh riwayat :
« فاقدروا له ثلاثين »
Tentukanlah menjadi 30 hari [4] . (HR. Muslim 1796)
dan yang semakna dengannya.
Anehnya, bersamaan dengan itu, orang-orang yang menyerukan kepada penyatuan awal masuknya bulan, mereka bersandar kepada Hisab posisi-posisi Bulan baik dalam cuaca cerah maupun mendung, padahal dalam hadits itu sendiri hanya membatasi “penentuan”, yaitu ketika langit dalam keadaan mendung. [5]
b. Sesungguhnya sandaran penetapan bulan qamariyah dengan cara ru`yatul hilal adalah telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari Syari’at Islamiyyah yang mudah. Karena ru’yatul hilal (melihat hilal) merupakan suatu perkara umum yang memudahkan kebanyakan manusia, baik dari kalangan orang-orang yang awam maupun orang-orang yang khusus, baik mereka yang hidup di pedalaman padang pasir maupun di daerah perkotaan. Berbeda halnya kalau seandainya syari’at menyandarkan hukum penetapan waktu tersebut dengan Hisab. Maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesulitan dan tidak sesuai (bertentangan) dengan maksud dan tujuan Syari’at Islamiyyah. Karena mayoritas umat ini, mereka tidak mengerti tentang ilmu Hisab.
Klaim yang menyatakan bahwa sifat ummi (tidak mengerti) Hisab Astronomis telah sirna dari umat ini, merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Kalaupun seandainya klaim tersebut bisa diterima, maka tetaplah yang demikian itu tidak bisa mengubah hukum Allah. Karena penetapan syari’at ini bersifat umum untuk umat (yang berlaku) di segenap masa/zaman.
c. Bahwasanya para ‘ulama umat ini pada masa awal-awal Islam dahulu, mereka semua telah sepakat tentang penggunaan cara ru’yah ini untuk penetapan bulan-bulan qamariyah, tidak dengan menggunakan Hisab (perhitungan). Tidak pernah diketahui ada salah seorang dari mereka (para ‘ulama pada awal Islam) menggunakan sistem Hisab dalam penetapan bulan-bulan qamariyah, baik ketika langit terlihat mendung dan yang semacamnya, terlebih lagi kalau langit cerah, mereka (para ulama tersebut) sama sekali tidak memakai cara Hisab.
d. Penentuan jeda waktu (antara tenggelamnya Matahari dan Bulan di ufuk barat) sehingga dengannya memungkinkan terlihatnya hilal setelah terbenamnya Matahari, jika tidak ada suatu penghalang, merupakan bagian dari perkara-perkara yang bersifat ijtihadiyah (tidak pasti) yang para tokoh ahli hisab sendiri telah bersilang pendapat dalam menentukannya. Demikian pula dalam menentukan faktor penghalang (terlihatnya hilal). Maka bersandar pada Hisab Falaki pun dalam penentuan waktu-waktu ibadah tidak bisa merealisasikan persatuan yang mereka dengung-dengungkan. Oleh karena itu datanglah syari’at ini yang memberikan ketetapan dengan cara ru’yatul hilal saja tidak dengan cara Hisab, sebagai rahmat bagi umat dan menutup segala perselisihan, serta untuk mengembalikan umat ini kepada perkara yang bisa diketahui oleh semua lapisan di manapun mereka berada.
Dan hendaklah menjadi perhatian, bahwasanya perbedaan mathla’ termasuk dari perkara-perkara yang terdapat padanya perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama. Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Majelis Tinggi ‘Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) telah mempelajari hal ini di dalam salah satu Daurah (pertemuan rutin) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, dan mereka telah mengambil sebuah keputusan yang telah disepakati oleh mayoritas, yaitu :
Sungguhnya pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya di setiap negeri dapat melakukan ru’yatul hilal sendiri, serta wajib atas mereka untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada para ‘ulama. Ini sebagai bentuk pengamalan hadits Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam shahihnya dari Kuraib dari shahabat Ibnu Abbas.
عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية في الشام . قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال فقال : متى رأيتم الهلال ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته. فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية ، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل الثلاثين أو نراه . فقلت: أولا تكتفي برؤية معاوية ؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadhl bintu Al-Harits telah mengutusnya untuk menghadap Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata : Sampailah aku di negeri Syam, dan aku selesaikan keperluan-keperluannya. Hingga terlihatlah hilal Ramadhan sementara aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan. Maka bertanyalah ‘Abdullah bin ‘Abbas kepadaku, hingga kemudian dia menyebutkan tentang hilal. Ibnu ‘Abbas bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Aku (Kuraib) menjawab : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kemudian dia (Ibnu Abbas) bertanya lagi : “engkau sendiri melihatnya?” Aku katakan: “Ya, dan penduduk Syam juga melihatnya. Maka merekapun melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut), demikian juga Mu’awiyah juga melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut). Ibnu ‘Abbas kemudian berkata : “Namun kami di sini melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus bershaum hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal sebelumnya.” Aku (Kuraib) katakan : “Apakah engkau tidak mencukupkan (untuk mengikuti hasil) ru’yah yang dilakukan Mu’awiyah?” Maka Ibnu Abbas berkata : “Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada kita.” (HR. Muslim 1087)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal yang teranggap (bisa dijadikan patokan) adalah ru`yatul hilal negeri Makkah saja, maka pernyataan seperti ini adalah tidak memiliki sumber yang jelas dan tidak memiliki dalil atasnya. Pernyataan tersebut memberikan suatu konsekuensi bahwasanya tidak wajib berpuasa jika di daerah Makkah belum terlihat hilal walaupun di tempat lain telah terlihat hilal.
Sebagai penutup aku meminta kepada Allah untuk melimpahkan nikmat-Nya kepada kaum muslimin berupa pemahaman terhadap agamanya dan beramal dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan sunnah (hadits-hadits dan bimbingan) Nabi-Nya, dan semoga Allah melindungi mereka dari bahaya fitnah-fitnah. Semoga Allah mengangkat penguasa bagi mereka (kaum muslimin) dari kalangan orang-orang pilihan yang baik. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين .
* * *
Sumber : Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibn Baz (juz 15 / hal. 109-114)
[1] Pernyataan Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang diterbitkan di majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) di kota Al-Madinah Al-Munawwarah - Saudi ‘Arabia, tahun 1394 H.
[2] Wujudul Hilal adalah salah kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan dimulai ketika pada waktu maghrib, Matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding Bulan setelah sebelumnya terjadi ijtima’ Matahari-Bulan. Sehingga kriteria ini murni berdasarkan Hisab, tanpa memperhitungkan apakah hilal saat itu benar-benar bisa diru`yah ataukah tidak. Berapapun ketinggian hilal saat itu juga tidak diperhatikan. Selama ketinggiannya positif, Matahari tenggelam terlebih dahulu, dan didahului ijtima’, maka berarti bulan qamariyyah sudah masuk, karena menurut mereka dalam kondisi tersebut berarti hilal sudah wujud (ada/terjadi) di ufuk langit. Kriteria ini dianut oleh Perserikatan Muhammadiyah, dan lainnya.
[3] Imkanur Ru`yah adalah salah satu kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini tidak hanya menghitung kondisi wujudul hilal, tapi juga menetapkan ketinggian tertentu dan kondisi-kondisi lainnya supaya hilal memungkinkan untuk dilihat. Yakni sekadar memungkinkan secara perhitungan. Dalam penentuan ketinggian hilal saja, mereka berbeda-beda. Ada yang mematok 2 derajat, ada yang 4 derajat, ada yang 7 derajat, bahkan ada yang 12 derajat. Ada pula yang menyatakan bahwa mematok ketinggian tertentu untuk hilal tidak cukup, tapi harus dipadukan dengan faktor-faktor lain. Dan seterusnya. Kriteria ini di antaranya dianut oleh NU.
[4] Sehingga makna “perkirakanlah” adalah ikmal (menggenapkan) bilangan bulan menjadi 30 hari. Bukan bersandar kepada Hisab Falaki.
[5] Yakni kalau seandainya mereka konsekuen berdalil dengan hadits Nabi :
« فإن غم عليكم فاقدروا له »
“Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka tentukanlah.”
Bahwa maksud hadits tersebut adalah tentukanlah dengan menggunakan ilmu Hisab Falaki, mestinya mereka baru menggunakan Hisab Falaki ketika kondisi cuaca mendung, karena hadits tersebut hanya berkaitan ketika kondisi mendung. Ternyata faktanya, mereka tetap menggunakan Hisab Falaki, baik ketika mendung maupun cerah.
(Download format ms-word di sini http://www.salafishare.com/id/312J71VP5Z03/Hukum%20bersandar%20pada%20Hisab%20Falaki.doc)
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=336)
Ramadhan merupakan ibadah yang berulang setiap tahun. Merupakan bulan Al-Qur`an, bulan yang benuh barakah. Namun menjelang datangnya bulan Ramadhan, “polemik tahunan” antara ru`yah - hisab untuk penentuan awal Ramadhan dan ‘Idul Fithri kembali menghangat. Herannya, para ahli hisab makin tahun makin arogan. Jauh-jauh hari mereka sudah berani mengumumkan hasil hisabnya, bahwa Ramadhan dan ‘Idul Fithri akan jatuh pada hari dan tanggal sekian. Bahkan ahli hisab mulai berani menghujat ru`yah yang merupakan satu-satunya sistem yang ditetapkan oleh syari’at Islam. Termasuk di negeri ini ada sebagian ormas Islam yang punya kebiasaan jauh-jauh hari mengumumkan kapan Ramadhan, ‘Idul Fithri, dan ‘Idul Adha berdasarkan Hisab Falaki (!!). Tentu saja, suasana perpecahan langsung terasa, menodai suasana kebersamaan dan kekhusyu’an ibadah kaum muslimin.
Bagaimana sebenarnya hukum penggunaan Hisab Falaki untuk penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri, serta ‘Idul Adh-ha? Berikut penjelasan seorang ‘ulama terkemuka berkaliber international. Seorang ‘ulama besar yang senantiasa dinanti dan dicari fatwa-fatwanya, serta sangat dibutuhkan oleh umat bimbingan dan arahannya. Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Semoga bermanfaat.
________________
الحمد الله رب العالمين، والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله محمد وعلى آله وأصحابه والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:
Telah banyak pembicaraan tentang penggunaan Hisab Falaki untuk menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, dan juga penentuan hari-hari raya (’ied). Maka aku memandang perlunya untuk menjelaskan hukum permasalahan tersebut kepada umat manusia di negeri ini dan juga negeri yang lain, agar mereka benar-benar di atas bashirah (ilmu) dalam menjalankan ibadahnya kepada Rabb mereka.
Maka aku katakan -wabillahittaufiq-:
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tengan mengkaitkan dengan Al-Hilal beberapa hukum yang banyak, seperti puasa (shaum), haji, hari raya (’ied), masa-masa ‘iddah, ila` (sumpah), dan yang lainnya. Karena Al-Hilal adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh indera penglihatan/mata, dan pengetahuan yang paling meyakinkan adalah sesuatu yang bisa disaksikan oleh mata.
Juga karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjadikan hukum permasalahan hilal ini terkait dengan ru’yah saja, karena ru’yah (yakni ru’yatul hilal) merupakan perkara alami yang sangat jelas, yang keumuman manusia bisa melakukannya. Sehingga tidak terjadi kerancuan bagi seorang pun dalam urusan agamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا وهكذا . يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين »
Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula menghitung. Satu bulan itu demikian, demikian, dan demikian, yakni terkadang 29 (hari) dan terkadang 30 (hari) (HR. Al-Bukhari 1913 dan Muslim 1080)
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :
« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين »
Janganlah kalian bershaum (Ramadhan) sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’idul fithri) sampai kalin melihat hilal. Jika ada awan yang menghalangi kalian (dari melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan (jumlah hari dalam sebulan) menjadi 30. (HR. Al-Bukhari 1906, 1907 dan Muslim 1080)
Dari sini menjadi jelaslah bahwa pedoman untuk menetapkan waktu (pelaksanaan) Shaum (Ramadhan), berbuka (’Idul Fithri), dan bulan-bulan yang lain adalah dengan ru’yah atau ikmal (menyempurnakan) bilangan hari (menjadi 30). Semata-mata lahirnya Bulan baru secara syar’i tidaklah teranggap sebagai patokan untuk menetapkan masuk dan berakhirnya bulan qamariyah. Ini berdasarkan kesepakatan (Ijma’) para ‘ulama yang mu’tabar, selama tidak berhasil ru`yatul hilal secara syar’i. Ini semua adalah kaitannya dengan penetapan waktu pelaksanaan ibadah. Barangsiapa dari kalangan orang-orang sekarang yang menyelisihi perkara tersebut, maka dia telah didahului oleh ijma’/kesepakatan (para ‘ulama) terdahulu, dan pendapatnya tersebut tertolak. Karena tidak berhak seorang pun berbicara (suatu permasalahan tertentu) sementara di sana sudah ada sunnah (hadits/ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam dan juga sudah ada ijma’ para ‘ulama salaf.
Adapun Hisab (perhitungan) peredaran Matahari dan Bulan, maka itu tidak bisa dijadikan patokan/penentu dalam permasalahan ini, disebabkan alasan yang telah kami jelaskan barusan, dan juga disebabkan beberapa perkara sebagai berikut :
a. Sesugguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan pelaksanaan shaum (Ramadhan) berdasarkan ru`yatul hilal, dan melaksanakan ‘Idul Fithri juga berdasarkan ru`yatul hilal, dalam sabda beliau :
« صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته »
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. (HR. Muslim 1080 dan An-Nasa`i 2124)
Beliau juga membatasi perkara tersebut (Ramadhan dan ‘Idul Fithri) hanya berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabdanya :
« لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه »
Janganlah kalian melaksanakan shaum (Ramadhan) sampai kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian melaksanakan ‘Idul Fithri sampai kalian berhasil melihatnya. (HR. Al-Bukhari 1773 dan Muslim 1795)
Beliau memerintahkan kaum muslimin jika terdapat penghalang (sehingga hilal tidak berhasil dilihat/diru`yah) pada malam ke 30, agar menyempurnakan bilangan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30, dan beliau tidak memerintahkan untuk merujuk kepada para ahli hisab. Kalau seandainya perkataan mereka (ahli hisab) itu merupakan satu-satunya landasan (hukum untuk penentuan Ramadhan - ‘Idul Fithri) atau landasan (hukum) lain (alternatif) di samping ru’yah dalam menetapkan bulan tertentu, maka beliau pasti akan menjelaskannya. Maka tatkala tidak ternukil dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam hal yang demikian itu, bahkan telah ternukil dari beliau kebalikannya, maka ini menunjukkan bahwasanya tidaklah teranggap secara syar’i segala sesuatu selain ru’yah atau ikmal (penyempurnaan 30 hari) dalam menentukan bulan (qamariyyah). Ini adalah syari’at yang senantiasa terus berlaku sampai hari kiamat. Allah ta’ala berfirman
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan tidaklah Rabbmu lupa. (Maryam: 64)
Anggapan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ru’yah dalam hadits tersebut adalah ru`yah dengan ilmu atau perkiraan kuat akan wujudul hilal, [2] atau imkanur ru`yah, [3] dan bukan bermakna ibadah dengan pelaksanaan ru`yah itu sendiri, maka anggapan ini adalah anggapan yang tertolak. Karena kata “ru’yah” dalam hadits tersebut hanya mengenai satu obyek saja, sehingga yang dimaksud dengannya tidak lain adalah ru’yah bashariyah (ru`yah dengan indera penglihatan/mata), bukan ru’yah ilmiyah (ru`yah dengan ilmu hisab). Juga karena para shahabat Nabi memahami bahwasanya kata “ru`yah” dalam hadits tersebut bermakna ru`yah dengan mata kepala, sementara mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Bahasa ‘Arab dan paling mengerti tentang maksud syari’ah ini daripada orang-orang generasi setelahnya.
Demikianlah pula, berlangsungnya praktek amalan tersebut (ru`yatul hilal) pada zaman Nabi dan zaman shahabat. Mereka sama sekali tidak menyerahkan permasalahan penetapan waktu tersebut kepada para ahli hisab.
Tidak benar pula sebuah pendapat yang mengatakan bahwasanya ketika Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda
« فإن غم عليكم فاقدروا له »
Jika terhalangi oleh kalian awan, maka tentukanlah untuknya. (HR. Al-Bukhari 1767 dan Muslim 1799)
Beliau memaksudkan dengannya adalah perintah kepada kita agar memperkirakan posisi-posisi Bulan, supaya kita dapat mengetahui berdasarkan Hisab kapan awal masuk dan berakhirnya bulan (qamariyah).
(Pendapat tersebut tidak benar) karena kalimat riwayat tersebut telah ditafsirkan oleh riwayat :
« فاقدروا له ثلاثين »
Tentukanlah menjadi 30 hari [4] . (HR. Muslim 1796)
dan yang semakna dengannya.
Anehnya, bersamaan dengan itu, orang-orang yang menyerukan kepada penyatuan awal masuknya bulan, mereka bersandar kepada Hisab posisi-posisi Bulan baik dalam cuaca cerah maupun mendung, padahal dalam hadits itu sendiri hanya membatasi “penentuan”, yaitu ketika langit dalam keadaan mendung. [5]
b. Sesungguhnya sandaran penetapan bulan qamariyah dengan cara ru`yatul hilal adalah telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari Syari’at Islamiyyah yang mudah. Karena ru’yatul hilal (melihat hilal) merupakan suatu perkara umum yang memudahkan kebanyakan manusia, baik dari kalangan orang-orang yang awam maupun orang-orang yang khusus, baik mereka yang hidup di pedalaman padang pasir maupun di daerah perkotaan. Berbeda halnya kalau seandainya syari’at menyandarkan hukum penetapan waktu tersebut dengan Hisab. Maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesulitan dan tidak sesuai (bertentangan) dengan maksud dan tujuan Syari’at Islamiyyah. Karena mayoritas umat ini, mereka tidak mengerti tentang ilmu Hisab.
Klaim yang menyatakan bahwa sifat ummi (tidak mengerti) Hisab Astronomis telah sirna dari umat ini, merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Kalaupun seandainya klaim tersebut bisa diterima, maka tetaplah yang demikian itu tidak bisa mengubah hukum Allah. Karena penetapan syari’at ini bersifat umum untuk umat (yang berlaku) di segenap masa/zaman.
c. Bahwasanya para ‘ulama umat ini pada masa awal-awal Islam dahulu, mereka semua telah sepakat tentang penggunaan cara ru’yah ini untuk penetapan bulan-bulan qamariyah, tidak dengan menggunakan Hisab (perhitungan). Tidak pernah diketahui ada salah seorang dari mereka (para ‘ulama pada awal Islam) menggunakan sistem Hisab dalam penetapan bulan-bulan qamariyah, baik ketika langit terlihat mendung dan yang semacamnya, terlebih lagi kalau langit cerah, mereka (para ulama tersebut) sama sekali tidak memakai cara Hisab.
d. Penentuan jeda waktu (antara tenggelamnya Matahari dan Bulan di ufuk barat) sehingga dengannya memungkinkan terlihatnya hilal setelah terbenamnya Matahari, jika tidak ada suatu penghalang, merupakan bagian dari perkara-perkara yang bersifat ijtihadiyah (tidak pasti) yang para tokoh ahli hisab sendiri telah bersilang pendapat dalam menentukannya. Demikian pula dalam menentukan faktor penghalang (terlihatnya hilal). Maka bersandar pada Hisab Falaki pun dalam penentuan waktu-waktu ibadah tidak bisa merealisasikan persatuan yang mereka dengung-dengungkan. Oleh karena itu datanglah syari’at ini yang memberikan ketetapan dengan cara ru’yatul hilal saja tidak dengan cara Hisab, sebagai rahmat bagi umat dan menutup segala perselisihan, serta untuk mengembalikan umat ini kepada perkara yang bisa diketahui oleh semua lapisan di manapun mereka berada.
Dan hendaklah menjadi perhatian, bahwasanya perbedaan mathla’ termasuk dari perkara-perkara yang terdapat padanya perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama. Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Majelis Tinggi ‘Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) telah mempelajari hal ini di dalam salah satu Daurah (pertemuan rutin) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, dan mereka telah mengambil sebuah keputusan yang telah disepakati oleh mayoritas, yaitu :
Sungguhnya pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya di setiap negeri dapat melakukan ru’yatul hilal sendiri, serta wajib atas mereka untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada para ‘ulama. Ini sebagai bentuk pengamalan hadits Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam shahihnya dari Kuraib dari shahabat Ibnu Abbas.
عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية في الشام . قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال فقال : متى رأيتم الهلال ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته. فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية ، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل الثلاثين أو نراه . فقلت: أولا تكتفي برؤية معاوية ؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadhl bintu Al-Harits telah mengutusnya untuk menghadap Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata : Sampailah aku di negeri Syam, dan aku selesaikan keperluan-keperluannya. Hingga terlihatlah hilal Ramadhan sementara aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan. Maka bertanyalah ‘Abdullah bin ‘Abbas kepadaku, hingga kemudian dia menyebutkan tentang hilal. Ibnu ‘Abbas bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Aku (Kuraib) menjawab : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kemudian dia (Ibnu Abbas) bertanya lagi : “engkau sendiri melihatnya?” Aku katakan: “Ya, dan penduduk Syam juga melihatnya. Maka merekapun melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut), demikian juga Mu’awiyah juga melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut). Ibnu ‘Abbas kemudian berkata : “Namun kami di sini melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus bershaum hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal sebelumnya.” Aku (Kuraib) katakan : “Apakah engkau tidak mencukupkan (untuk mengikuti hasil) ru’yah yang dilakukan Mu’awiyah?” Maka Ibnu Abbas berkata : “Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada kita.” (HR. Muslim 1087)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal yang teranggap (bisa dijadikan patokan) adalah ru`yatul hilal negeri Makkah saja, maka pernyataan seperti ini adalah tidak memiliki sumber yang jelas dan tidak memiliki dalil atasnya. Pernyataan tersebut memberikan suatu konsekuensi bahwasanya tidak wajib berpuasa jika di daerah Makkah belum terlihat hilal walaupun di tempat lain telah terlihat hilal.
Sebagai penutup aku meminta kepada Allah untuk melimpahkan nikmat-Nya kepada kaum muslimin berupa pemahaman terhadap agamanya dan beramal dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan sunnah (hadits-hadits dan bimbingan) Nabi-Nya, dan semoga Allah melindungi mereka dari bahaya fitnah-fitnah. Semoga Allah mengangkat penguasa bagi mereka (kaum muslimin) dari kalangan orang-orang pilihan yang baik. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين .
* * *
Sumber : Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibn Baz (juz 15 / hal. 109-114)
[1] Pernyataan Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang diterbitkan di majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Universitas Islam) di kota Al-Madinah Al-Munawwarah - Saudi ‘Arabia, tahun 1394 H.
[2] Wujudul Hilal adalah salah kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan dimulai ketika pada waktu maghrib, Matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding Bulan setelah sebelumnya terjadi ijtima’ Matahari-Bulan. Sehingga kriteria ini murni berdasarkan Hisab, tanpa memperhitungkan apakah hilal saat itu benar-benar bisa diru`yah ataukah tidak. Berapapun ketinggian hilal saat itu juga tidak diperhatikan. Selama ketinggiannya positif, Matahari tenggelam terlebih dahulu, dan didahului ijtima’, maka berarti bulan qamariyyah sudah masuk, karena menurut mereka dalam kondisi tersebut berarti hilal sudah wujud (ada/terjadi) di ufuk langit. Kriteria ini dianut oleh Perserikatan Muhammadiyah, dan lainnya.
[3] Imkanur Ru`yah adalah salah satu kriteria penentuan awal bulan Qamariyyah berdasarkan ilmu Hisab Falaki. Kriteria ini tidak hanya menghitung kondisi wujudul hilal, tapi juga menetapkan ketinggian tertentu dan kondisi-kondisi lainnya supaya hilal memungkinkan untuk dilihat. Yakni sekadar memungkinkan secara perhitungan. Dalam penentuan ketinggian hilal saja, mereka berbeda-beda. Ada yang mematok 2 derajat, ada yang 4 derajat, ada yang 7 derajat, bahkan ada yang 12 derajat. Ada pula yang menyatakan bahwa mematok ketinggian tertentu untuk hilal tidak cukup, tapi harus dipadukan dengan faktor-faktor lain. Dan seterusnya. Kriteria ini di antaranya dianut oleh NU.
[4] Sehingga makna “perkirakanlah” adalah ikmal (menggenapkan) bilangan bulan menjadi 30 hari. Bukan bersandar kepada Hisab Falaki.
[5] Yakni kalau seandainya mereka konsekuen berdalil dengan hadits Nabi :
« فإن غم عليكم فاقدروا له »
“Apabila hilal terhalangi atas kalian, maka tentukanlah.”
Bahwa maksud hadits tersebut adalah tentukanlah dengan menggunakan ilmu Hisab Falaki, mestinya mereka baru menggunakan Hisab Falaki ketika kondisi cuaca mendung, karena hadits tersebut hanya berkaitan ketika kondisi mendung. Ternyata faktanya, mereka tetap menggunakan Hisab Falaki, baik ketika mendung maupun cerah.
(Download format ms-word di sini http://www.salafishare.com/id/312J71VP5Z03/Hukum%20bersandar%20pada%20Hisab%20Falaki.doc)
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=336)
Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1430 H
NASEHAT UNTUK KAUM MUSLIMIN
MENYAMBUT BULAN RAMADHAN
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
(mufti agung Saudi ‘Arabia)
بسم الله والحمد لله وصلى الله على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه، أما بعد:
Sesungguhnya aku menasehatkan kepada saudaraku-saudaraku kaum muslimin di mana pun berada terkait dengan masuknya bulan Ramadhan yang penuh barakah tahun 1413 H ini [1] dengan taqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, berlomba-lomba dalam seluruh bentuk kebaikan, saling menasehati dengan al haq, dan bersabar atasnya, at-ta’awun (saling membantu) di atas kebaikan dan taqwa, serta waspada dari semua perkara yang diharamkan Allah dan dari segala bentuk kemaksiatan di manapun berada. Terlebih lagi pada bulan Ramadhan yang mulia ini, karena ia adalah bulan yang agung. Amalan-amalan shalih pada bulan itu dilipatgandakan (pahalanya), dosa dan kesalahan akan terampuni bagi siapa saja yang berpuasa dan mendirikannya (dengan amalan-amalan kebajikan) dengan penuh keimanan dan rasa harap (akan keutamaan dari-Nya), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan rasa harap, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Al Bukhari 2014 dan Muslim 760)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِيْنُ.
Jika telah masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu Al Jannah akan dibuka, pintu-pintu Jahannam akan ditutup, dan para syaitan akan dibelenggu. (HR. Al Bukhari 1899 dan Muslim 1079)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّيْ صَائِمٌ.
Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh, jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa. (HR. Al Bukhari 1904)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِيْ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Semua amalan anak Adam untuknya, setiap satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, Aku yang akan membalasnya. Karena seorang yang berpuasa telah meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku. Bagi seorang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan: gembira ketika berbuka, dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih wangi daripada minyak wangi misk. (HR. Al Bukhari 1904 dan Muslim 1151)
Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira kepada para shahabatnya dengan masuknya bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka:
أتاكم شهر رمضان شهر بركة، ينزل الله فيه الرحمة، ويحط الخطايا، ويستجيب الدعاء، ويباهي الله بكم ملائكته ، فأروا الله من أنفسكم خيرا ؛ فإن الشقي من حرم فيه رحمة الله
Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh barakah. Allah menurunkan padanya rahmah, menghapus kesalahan-kesalahan, mengabulkan do’a, dan Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat-Nya, maka perlihatkanlah kepada Allah kebaikan dari diri-diri kalian, sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang diharamkan padanya rahmat Allah. (Dalam Majma’ Az-Zawa`id Al-Haitsami menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir)
Dan beliau ‘Alaihish Shalatu Wassalam bersabda
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan yang haram dan mengamalkannya, ataupun bertindak bodoh, maka Allah tidak butuh dengan upaya dia dalam meninggalkan makan dan minumnya. (HR Al Bukhari dalam Shahihnya).
Hadits-hadits tentang keutamaan bulan Ramadhan dan dorongan untuk memperbanyak amalan di dalamnya sangatlah banyak.
Maka aku juga mewasiatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin untuk istiqmah pada siang dan malam-malam bulan Ramadhan dan berlomba-lomba dalam segala bentuk amalan kebaikan, di antaranya adalah memperbanyak qira’ah (membaca) Al Qur’anul Karim disertai dengan tadabbur (upaya mengkajinya) dan ta’aqqul (upaya memahaminya), memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istighfar, serta memohon kepada Allah Al Jannah, berlindung kepada-Nya dari An Nar, dan do’a-do’a kebaikan yang lainnya.
Sebagaimana aku wasiatkan juga kepada saudara-saudaraku untuk memperbanyak shadaqah, membantu para fakir miskin, peduli untuk mengeluarkan zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, disertai juga dengan kepedulian untuk berdakwah ke jalan Allah subhanahu, memberikan pengajaran kepada orang jahil, dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang lembut, hikmah, dan metode yang baik, disertai juga dengan sikap hati-hati dari segala bentuk kejelekan, dan senantiasa bertaubat dan istiqmah di atas al-haq dalam rangka mengamalkan firman-Nya subhanahu:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur: 31)
Dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istioqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Al Jannah, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Al Ahqaf: 13-14)
Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq bagi semuanya kepada perkara-perkara yang diridhai-Nya, dan mudah-mudahan Allah melindungi semuanya dari kesesatan (yang disebabkan) fitnah dan gangguan-gangguan setan. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia.
[1] Nasehat ini disampaikan pada 1413 H. namun karena isi nasehat ini tidak pernah kadaluwarsa dan senantiasa relevan maka kami tampilkan kembali meskipun sudah berlalu 7 tahun yang lalu
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=335)
MENYAMBUT BULAN RAMADHAN
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
(mufti agung Saudi ‘Arabia)
بسم الله والحمد لله وصلى الله على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه، أما بعد:
Sesungguhnya aku menasehatkan kepada saudaraku-saudaraku kaum muslimin di mana pun berada terkait dengan masuknya bulan Ramadhan yang penuh barakah tahun 1413 H ini [1] dengan taqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, berlomba-lomba dalam seluruh bentuk kebaikan, saling menasehati dengan al haq, dan bersabar atasnya, at-ta’awun (saling membantu) di atas kebaikan dan taqwa, serta waspada dari semua perkara yang diharamkan Allah dan dari segala bentuk kemaksiatan di manapun berada. Terlebih lagi pada bulan Ramadhan yang mulia ini, karena ia adalah bulan yang agung. Amalan-amalan shalih pada bulan itu dilipatgandakan (pahalanya), dosa dan kesalahan akan terampuni bagi siapa saja yang berpuasa dan mendirikannya (dengan amalan-amalan kebajikan) dengan penuh keimanan dan rasa harap (akan keutamaan dari-Nya), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan rasa harap, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Al Bukhari 2014 dan Muslim 760)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِيْنُ.
Jika telah masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu Al Jannah akan dibuka, pintu-pintu Jahannam akan ditutup, dan para syaitan akan dibelenggu. (HR. Al Bukhari 1899 dan Muslim 1079)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّيْ صَائِمٌ.
Puasa itu adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengucapkan ucapan kotor, dan jangan pula bertindak bodoh, jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa. (HR. Al Bukhari 1904)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، تَرَكَ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِيْ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ عِنْدَ اللهِ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Semua amalan anak Adam untuknya, setiap satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya, kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku, Aku yang akan membalasnya. Karena seorang yang berpuasa telah meninggalkan syahwat, makan, dan minumnya karena Aku. Bagi seorang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan: gembira ketika berbuka, dan gembira ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut seorang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih wangi daripada minyak wangi misk. (HR. Al Bukhari 1904 dan Muslim 1151)
Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira kepada para shahabatnya dengan masuknya bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka:
أتاكم شهر رمضان شهر بركة، ينزل الله فيه الرحمة، ويحط الخطايا، ويستجيب الدعاء، ويباهي الله بكم ملائكته ، فأروا الله من أنفسكم خيرا ؛ فإن الشقي من حرم فيه رحمة الله
Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh barakah. Allah menurunkan padanya rahmah, menghapus kesalahan-kesalahan, mengabulkan do’a, dan Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikat-Nya, maka perlihatkanlah kepada Allah kebaikan dari diri-diri kalian, sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang diharamkan padanya rahmat Allah. (Dalam Majma’ Az-Zawa`id Al-Haitsami menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir)
Dan beliau ‘Alaihish Shalatu Wassalam bersabda
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan yang haram dan mengamalkannya, ataupun bertindak bodoh, maka Allah tidak butuh dengan upaya dia dalam meninggalkan makan dan minumnya. (HR Al Bukhari dalam Shahihnya).
Hadits-hadits tentang keutamaan bulan Ramadhan dan dorongan untuk memperbanyak amalan di dalamnya sangatlah banyak.
Maka aku juga mewasiatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin untuk istiqmah pada siang dan malam-malam bulan Ramadhan dan berlomba-lomba dalam segala bentuk amalan kebaikan, di antaranya adalah memperbanyak qira’ah (membaca) Al Qur’anul Karim disertai dengan tadabbur (upaya mengkajinya) dan ta’aqqul (upaya memahaminya), memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istighfar, serta memohon kepada Allah Al Jannah, berlindung kepada-Nya dari An Nar, dan do’a-do’a kebaikan yang lainnya.
Sebagaimana aku wasiatkan juga kepada saudara-saudaraku untuk memperbanyak shadaqah, membantu para fakir miskin, peduli untuk mengeluarkan zakat dan menyalurkannya kepada yang berhak menerimanya, disertai juga dengan kepedulian untuk berdakwah ke jalan Allah subhanahu, memberikan pengajaran kepada orang jahil, dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang lembut, hikmah, dan metode yang baik, disertai juga dengan sikap hati-hati dari segala bentuk kejelekan, dan senantiasa bertaubat dan istiqmah di atas al-haq dalam rangka mengamalkan firman-Nya subhanahu:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur: 31)
Dan firman-Nya ‘Azza wa Jalla :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istioqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Al Jannah, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Al Ahqaf: 13-14)
Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq bagi semuanya kepada perkara-perkara yang diridhai-Nya, dan mudah-mudahan Allah melindungi semuanya dari kesesatan (yang disebabkan) fitnah dan gangguan-gangguan setan. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia.
[1] Nasehat ini disampaikan pada 1413 H. namun karena isi nasehat ini tidak pernah kadaluwarsa dan senantiasa relevan maka kami tampilkan kembali meskipun sudah berlalu 7 tahun yang lalu
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=335)
Menyambut Ramadhan Sesuai Tuntunan Nabi
Menyambut Kemenangan
di Bulan Ramadhan
Tiba saatnya kaum muslimim menyambut tamu agung bulan Ramadhan, tamu yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya. Sebentar lagi tamu itu akan bertemu dengan kita. Tamu yang membawa berkah yang berlimpah ruah. Tamu bulan Ramadhan adalah tamu agung, yang semestinya kita bergembira dengan kedatangannya dan merpersiapkan untuk menyambutnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58) [يونس/58]
“Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa mereka yang kumpulkan (dari harta benda). (Yunus: 58)
Yang dimaksud dengan “karunia Allah” pada ayat di atas adalah Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir As Sa’di).
Bulan Ramadhan dinamakan juga dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an). Karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut dan pada setiap malamnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam untuk mengajari Al-Qur’an kepada beliau. Bulan Ramadhan dengan segala keberkahannya merupakan rahmat dari Allah. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dan lebih berharga dari segala perhiasan dunia.
‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Bahwasannya Allah memerintahkan untuk bergembira atas karunia Allah dan rahmat-Nya karena itu akan melapangkan jiwa, menumbuhkan semangat, mewujudkan rasa syukur kepada Allah, dan akan mengokohkan jiwa, serta menguatkan keinginan dalam berilmu dan beriman, yang mendorang semakin bertambahnya karunia dan rahmat (dari Allah). Ini adalah kegembiraan yang terpuji. Berbeda halnya dengan gembira karena syahwat duniawi dan kelezatannya atau gembira diatas kebatilan, maka itu adalah kegimbiraan yang tercela. Sebagaimana Allah berfirman tentang Qarun,
“Janganlah kamu terlalu bangga, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri.” (Al Qashash: 76)
Karunia dan rahmat Allah berupa bulan Ramadhan juga patut untuk kita sampaikan dan kita sebarkan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin. Agar mereka menyadarinya dan turut bergembira atas limpahan karunia dan rahmat dari Allah. Allah berfirman :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
“Dan terhadap nikmat dari Rabb-Mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” Adh-Dhuha: 11)
Dengan menyebut-nyebut nikmat Allah akan mendorong untuk mensyukurinya dan menumbuhkan kecintaan kepada Dzat yang melimpahkan nikmat atasnya. Karena hati itu selalu condong untuk mencintai siapa yang telah berbuat baik kepadanya.
Para pembaca yang mulia, ….
Maka sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menyiapkan diri untuk menyambut bulan yang penuh barakah itu, yaitu menyiapkan iman, niat ikhlash, dan hati yang bersih, di samping persiapan fisik.
Ramadhan adalan bulan suci yang penuh rahmat dan barakah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu Al-Jannah (surga), menutup pintu-pintu neraka, dan membelenggu syaithan. Allah ‘Azza wa Jalla melipat gandakan amalan shalih yang tidak diketahui kecuali oleh Dia sendiri. Barangsiapa yang menyambutnya dengan sungguh-sungguh, bershaum degan penuh keimanan dan memperbanyak amalan shalih, serta menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak ibadah shaumnya, niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuni dosa-dosanya dan akan melipatkan gandakan pahalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبٍ
“Barang siapa yang bershaum dengan penuh keimanan dan harapan (pahala dari Allah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (Muttafaqun ‘alahi)
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amalan bani Adam akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, Allah I berfirman: “kecuali ibadah shaum, shaum itu ibadah untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.” (HR. Muslim)
Masih banyak lagi keutamaan dan keberkahan bulan Ramadhan yang belum disebutkan dan tidak cukup untuk disebutkan di sini.
Namun yang terpenting bagi saudara-saudaraku seiman, adalah mensyukuri atas limpahan karunia Allah dan rahmat-Nya. Janganlah nikmat yang besar ini kita nodai dan kita kotori dengan berbagai penyimpangan dan kemaksiatan. Nikmat itu akan semakin bertambah bila kita pandai mensyukurinya dan nikmat itu akan semakin berkurang bahkan bisa sirna bila kita mengkufurinya.
Termasuk sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah, pada bulan yang penuh barakah ini kita ciptakan suasa yang penuh kondusif. Jangan kita nodai dengan perpecahan. Kewajiban kita seorang muslim mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para ulama bukan berdasarkan pendapat pribadi atau golongan.
Permasalah yang sering terjadi adalah perbedaan dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan. Wahai saudara-saudaraku, ingatlah sikap seorang muslim adalah mengembalikan kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama yang terpercaya.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah menetukan pelaksanaan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Beliau bersabda :
( صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ )
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila (hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari dan Muslim
Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan secara kebersamaan. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:
اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas
dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan ber’Idul Fitri itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah (Pemerintah Muslimin) dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha –pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)
Menaati pemerintah merupakan prinsip yang harus dijaga oleh umat Islam. Terlebih pemerintah kita telah berupaya menempatkan utusan-utusan pada pos-pos ru’yatul hilal di d berbagai daerah di segenap nusantara ini. Rasulullah e bersabda :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).
Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimikili oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”
Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :
1. Apa yang dikenal dengan acara Padusan. Yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan Kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini.
Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.
2. Nyekar di kuburan leluhur.
Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!
3. Minta ma’af kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.
Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna.
Tidak diragukan, bahwa meminta ma’af kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.
Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan Ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.
Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlash kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.
Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlash, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.
Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.
Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر
“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)
Juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إن جبريل عليه السلام أتاني فقال من أدرك شهر رمضان فلم يغفر له فدخل النار فأبعده الله قل آمين فقلت آمين
“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam mendatangiku, dia berkata : ‘Barangsiap yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak menyebakan dosanya diampuni dia akan masuk neraka dan Allah jauhkan dia. Katakan amin (wahai Muhammad). Maka aku pun berkata : Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)
Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.
Wallähu a’lam..
(Sumber artikel http://dakwahhikmah.wordpress.com/2009/08/20/menyambut-ramadhan-mubarak/ atau http://www.assalafy.org/mahad/?p=340#more-340)
di Bulan Ramadhan
Tiba saatnya kaum muslimim menyambut tamu agung bulan Ramadhan, tamu yang dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya. Sebentar lagi tamu itu akan bertemu dengan kita. Tamu yang membawa berkah yang berlimpah ruah. Tamu bulan Ramadhan adalah tamu agung, yang semestinya kita bergembira dengan kedatangannya dan merpersiapkan untuk menyambutnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58) [يونس/58]
“Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa mereka yang kumpulkan (dari harta benda). (Yunus: 58)
Yang dimaksud dengan “karunia Allah” pada ayat di atas adalah Al-Qur’anul Karim (Lihat Tafsir As Sa’di).
Bulan Ramadhan dinamakan juga dengan Syahrul Qur’an (Bulan Al Qur’an). Karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut dan pada setiap malamnya Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam untuk mengajari Al-Qur’an kepada beliau. Bulan Ramadhan dengan segala keberkahannya merupakan rahmat dari Allah. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dan lebih berharga dari segala perhiasan dunia.
‘Ulama Ahli Tafsir terkemuka Al-Imam As-Sa’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Bahwasannya Allah memerintahkan untuk bergembira atas karunia Allah dan rahmat-Nya karena itu akan melapangkan jiwa, menumbuhkan semangat, mewujudkan rasa syukur kepada Allah, dan akan mengokohkan jiwa, serta menguatkan keinginan dalam berilmu dan beriman, yang mendorang semakin bertambahnya karunia dan rahmat (dari Allah). Ini adalah kegembiraan yang terpuji. Berbeda halnya dengan gembira karena syahwat duniawi dan kelezatannya atau gembira diatas kebatilan, maka itu adalah kegimbiraan yang tercela. Sebagaimana Allah berfirman tentang Qarun,
“Janganlah kamu terlalu bangga, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri.” (Al Qashash: 76)
Karunia dan rahmat Allah berupa bulan Ramadhan juga patut untuk kita sampaikan dan kita sebarkan kepada saudara-saudara kita kaum muslimin. Agar mereka menyadarinya dan turut bergembira atas limpahan karunia dan rahmat dari Allah. Allah berfirman :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
“Dan terhadap nikmat dari Rabb-Mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” Adh-Dhuha: 11)
Dengan menyebut-nyebut nikmat Allah akan mendorong untuk mensyukurinya dan menumbuhkan kecintaan kepada Dzat yang melimpahkan nikmat atasnya. Karena hati itu selalu condong untuk mencintai siapa yang telah berbuat baik kepadanya.
Para pembaca yang mulia, ….
Maka sudah sepantasnya seorang muslim benar-benar menyiapkan diri untuk menyambut bulan yang penuh barakah itu, yaitu menyiapkan iman, niat ikhlash, dan hati yang bersih, di samping persiapan fisik.
Ramadhan adalan bulan suci yang penuh rahmat dan barakah. Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka pintu-pintu Al-Jannah (surga), menutup pintu-pintu neraka, dan membelenggu syaithan. Allah ‘Azza wa Jalla melipat gandakan amalan shalih yang tidak diketahui kecuali oleh Dia sendiri. Barangsiapa yang menyambutnya dengan sungguh-sungguh, bershaum degan penuh keimanan dan memperbanyak amalan shalih, serta menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa merusak ibadah shaumnya, niscaya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuni dosa-dosanya dan akan melipatkan gandakan pahalanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبٍ
“Barang siapa yang bershaum dengan penuh keimanan dan harapan (pahala dari Allah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosa yang telah lampau.” (Muttafaqun ‘alahi)
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga bersabda :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amalan bani Adam akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, Allah I berfirman: “kecuali ibadah shaum, shaum itu ibadah untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.” (HR. Muslim)
Masih banyak lagi keutamaan dan keberkahan bulan Ramadhan yang belum disebutkan dan tidak cukup untuk disebutkan di sini.
Namun yang terpenting bagi saudara-saudaraku seiman, adalah mensyukuri atas limpahan karunia Allah dan rahmat-Nya. Janganlah nikmat yang besar ini kita nodai dan kita kotori dengan berbagai penyimpangan dan kemaksiatan. Nikmat itu akan semakin bertambah bila kita pandai mensyukurinya dan nikmat itu akan semakin berkurang bahkan bisa sirna bila kita mengkufurinya.
Termasuk sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah, pada bulan yang penuh barakah ini kita ciptakan suasa yang penuh kondusif. Jangan kita nodai dengan perpecahan. Kewajiban kita seorang muslim mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para ulama bukan berdasarkan pendapat pribadi atau golongan.
Permasalah yang sering terjadi adalah perbedaan dalam menentukan awal masuknya bulan Ramadhan. Wahai saudara-saudaraku, ingatlah sikap seorang muslim adalah mengembalikan kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan As Sunnah dengan bimbingan para ulama yang terpercaya.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah menetukan pelaksanaan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Beliau bersabda :
( صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ )
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila (hilal) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari dan Muslim
Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam juga menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan secara kebersamaan. Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:
اَلصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka/beriedul Fitri adalah pada saat kalian berbuka/beriedul Fitri, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits Abu Hurairah di atas
dengan perkataan (mereka), ‘sesungguhnya shaum dan ber’Idul Fitri itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah (Pemerintah Muslimin) dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi 2/37)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama pemerintah dan jama’ah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa 25/117)
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, Iedul Fithri dan Iedul Adha –pen) keputusannya bukanlah di tangan individu, dan tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada pemerintah dan mayoritas umat Islam, dan dalam hal ini setiap individu pun wajib untuk mengikuti pemerintah dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun pemerintah menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Ash-Shahihah 2/443)
Menaati pemerintah merupakan prinsip yang harus dijaga oleh umat Islam. Terlebih pemerintah kita telah berupaya menempatkan utusan-utusan pada pos-pos ru’yatul hilal di d berbagai daerah di segenap nusantara ini. Rasulullah e bersabda :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah, barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah, barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para pemerintah dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, 13/120).
Sebagai rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pula hendaklah kita hidupkan bulan yang penuh barakah itu dengan amalan-amalan shalih, amalan-amalan yang ikhlash dan mencocoki sunnah Rasulullah. Kita menjauhkan dari amalan-amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah berwasiat :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang membuat-buat amalan baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalannya tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Para ‘ulama berkata : “Bahwa hadits merupakan kaidah agung di antara kaidah-kaidah Islam. Ini merupakan salah satu bentuk jawami’ kalim (kalimat singkat namun bermakna luas) yang dimikili oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hadits ini sangat jelas dalam membatalkan semua bentuk bid’ah dan hal-hal baru yang dibuat dalam agama. Lafazh kedua lebih bersifat umum, karena mencakup semua orang yang mengamalkan bid’ah, walaupun pembuatnya orang lain.”
Termasuk perbuatan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah perbuatan yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin dalam menyambut bulan Ramadhan dengan amalan atau ritual tertentu, di antaranya :
1. Apa yang dikenal dengan acara Padusan. Yaitu mandi bersama-sama dengan masih mengenakan busana, terkadang ada yang memimpin di suatu sungai, atau sumber air, atau telaga. Dengan niat mandi besar, dalam rangka membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Sampai-sampai ada di antara muslimin yang berkeyakinan Kalau sekali saja terlewat dari ritual ini, rasanya ada yang kurang meski sudah menjalankan puasa. Jelas perbuatan ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Demikian juga para shahabat, para salafus shalih, dan para ‘ulama yang mulia tidak ada yang mengamalkan atau menganjurkan amaliah tersebut. Sehingga kaum muslimin tidak boleh melakukan ritual ini.
Belum lagi, dalam ritual Padusan ini, banyak terjadi kemungkaran. Ya, jelas-jelas mandi bersama antara laki-laki dan perempuan. Jelas ini merupakan kemungkaran yang sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam.
2. Nyekar di kuburan leluhur.
Tak jarang dari kaum muslimin, menjelang Ramadhan tiba datang ke pemakaman. Dalam Islam ada tuntunan ziarah kubur, yang disyari’atkan agar kaum muslimin ingat bahwa dirinya juga akan mati menyusul saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga dia pun harus mempersiapkan dirinya dengan iman dan amal shalih. Namun ziarah kubur, yang diistilahkan oleh orang jawa dengan nyekar, yang dikhususkan untuk menyambut Ramadhan tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam. Apalagi mengkhusukan nyekar di kuburan leluhur. Ini adalah perkara baru dalam agama. Tak jarang dalam ziarah kubur tercampur dengan kemungkaran. Yaitu sang peziarah malah berdoa kepada penghuni kubur, meminta-minta pada orang yang sudah mati, atau ngalap berkah dari tanah kuburan! Ini merupakan perbuatan syirik!
3. Minta ma’af kepada sesama menjelang datangnya Ramadhan.
Dengan alasan agar menghadapi bulan Ramadhan dengan hati yang bersih, sudah terhapus beban dosa terhadap sesama. Bahkan di sebagian kalangan diyakini sebagai syarat agar puasanya sempurna.
Tidak diragukan, bahwa meminta ma’af kepada sesama adalah sesuatu yang dituntunkan dalam agama, meningat manusia adalah tempat salah dan lupa. Meminta ma’af di sini umum sifatnya, bahkan setiap saat harus kita lakukan jika kita berbuat salah kepada sesama, tidak terkait dengan waktu atau acara tertentu. Mengkaitkan permintaan ma’af dengan Ramadhan, atau dijadikan termasuk cara untuk menyambut Ramadhan, maka jelas ini membuat hal baru dalam agama. Amaliah ini bukan bagian dari tuntunan syari’at Islam.
Itulah beberapa contoh amalan yang tidak ada tuntunan dalam syari’at yang dijadikan acara dalam menyambut bulan Ramadhan. Sayangnya, amaliah tersebut banyak tersebar di kalangan kaum muslimin.
Semestinya dalam menyambut Ramadhan Mubarak ini kita mempersiapkan iman dan niat ikhlash kita. Hendaknya kita berniat untuk benar-benar mengisi Ramadhan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih. Baik puasa itu sendiri, memperbaiki kualitas ibadah shalat kita, berjama’ah di masjid, qiyamul lail (shalat tarawih), tilawatul qur’an, memperbanyak dzikir, shadaqah, dan berbagai amal shalih lainnya.
Tentunya itu semua butuh iman dan niat yang ikhlash, disamping butuh ilmu tentang bagaimana tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam melaksanakan berbagai amal shalih tersebut. agar amal kita menjadi amal yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Juga perlu adanya kesiapan fisik, agar tubuh kita benar-benar sehat sehingga bisa menjalankan berbagai ibadah dan amal shalih pada bulan Ramadhan dengan lancar.
Puncak dari itu semua adalah semoga puasa dan semua amal ibadah kita pada bulan Ramadhan ini benar-benar bisa mengantarkan kita pada derajat taqwa di sisi Allah ‘Azza wa Jalla.
Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang gagal dalam Ramadhan ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع، ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر
“Berapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak ada yang ia dapatkan dari puasanya kecuali rasa lapar saja. Dan berapa banyak orang menegakkan ibadah malam hari, namun tidak ada yang ia dapatkan kecuali hanya begadang saja.” (HR. Ibu Majah)
Juga beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إن جبريل عليه السلام أتاني فقال من أدرك شهر رمضان فلم يغفر له فدخل النار فأبعده الله قل آمين فقلت آمين
“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam mendatangiku, dia berkata : ‘Barangsiap yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak menyebakan dosanya diampuni dia akan masuk neraka dan Allah jauhkan dia. Katakan amin (wahai Muhammad). Maka aku pun berkata : Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ahmad)
Semoga kita termasuk orang yang mendapat keutamaan dan fadhilah dalam bulan Ramadhan ini. Semoga Allah menyatukan hati-hati kita di atas Islam dan Iman. Dan semoga Allah menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai jembatan menuju keridhaan Allah ‘Azza wa Jallah dan meraih ketaqwaan kepada-Nya.
Wallähu a’lam..
(Sumber artikel http://dakwahhikmah.wordpress.com/2009/08/20/menyambut-ramadhan-mubarak/ atau http://www.assalafy.org/mahad/?p=340#more-340)
Doa Ketika Melihat Hilal
Alhamdulillah. Puji syukur sebesar-sebesarnya kita persembahkan kepada
Allah ‘Azza wa Jalla. Kita berharap semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan kesempatan kepada kita untuk bisa sampai pada bulan Ramadhan
tahun 1430 H ini dan menghidupkannya dengan ibadah dan amal ketaatan
kepada-Nya. Dengan harapan kita dapat mencapai predikat “Taqwa”.
Sebagaimana kita tahu, bahwa satu-satunya cara syar’i untuk penetapan bulan Ramadhan - dan bulan-bulan qamariyyah lainnya - adalah dengan cara ru`yatul hilal. Ini merupakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, cara dan kebiasaan beliau, dan cara yang senantiasa dijalankan oleh para khalifah sepeninggal beliau. Alhamdulillah, kaum muslimin hingga hari ini pun senantiasa berjalan di atas metode/cara ini. Walaupun di sana ada sebagian dari kalangan ahli hisab yang hendak mengubah aturan syari’at ini, bahkan jauh-jauh hari sudah mengumumkan kapan 1 Ramadhan, kapan 1 Syawwal berdasarkan ilmu hisab. Maka tentu saja cara yang dilakukan ahli hisab tersebut merupakan cara yang batil. (lihat Hukum Penggunaan Hisab Falaki, Hukum Perpegang Pada Hisab Falaki untuk Penentuan Waktu Ibadah, Fatwa ‘Ulama tentang Ru`yah - Hisab)
Pelaksanaan ru`yatul hilal dilakukan pada malam ke-30 Sya’ban. Alhamdulillah, sunnah ini senantiasa terjaga hingga hari ini. bagi para peru`yah ada hal penting yang harus diperhatikan. Di antara tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika melihat hilal adalah membaca doa, yaitu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata :
“Dulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat Al-Hilal beliau mengucapkan doa :
اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ
وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ
“Allahu Akbar, Ya Allah terbitkanlah al-hilal kepada kami dengan keamanan dan iman, dengan keselamatan dan Islam, dan taufiq kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau Ridhai. Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.”
[HR. At-Tirmidzi (3451), Ad-Darimi (1741), Al-Hakim (II/285) dari shahabat Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1816. diriwayatkan pula oleh Ad-Darimi (1740) dari shahabat Ibnu ‘Umar. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Kalimith Thayyib no. 162.]
Makna do’a tersebut adalah :
Doa kepada Allah agar menerbitkan dan memperlihatkan hilal kepada kita dengan diiringi keamanan dan iman, serta dengan keselamatan dan Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan “keamanan dan keselamatan”, sebagai bentuk permintaan untuk dihindarkan dari segala kerugian dan bahaya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan “Iman dan Islam”, sebagai bentuk permintaan untuk memperoleh segala manfaat dalam bentuk yang paling baik.
Dalam doa tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga menegaskan “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah”.
Di sini terkandung nilai tauhid. Bahwa Rabb segenap makhluk, termasuk manusia, dan termasuk pula hilal yang sedang terbit itu adalah Allah. Dia-lah satu-satunya Rabb, yakni Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta dan segala yang ada di dalamnya. Sehingga dengan penegasan ini, meniadakan adanya sekutu bagi Allah dalam pengaturan alam semesta, termasuk dalam mengatur terbitnya hilal. Menerbitkan, menenggelamkan, dan mengatur peredaran hilal hanya Allah semata. Sebagaimana Allah adalah satu-satu-Nya Pencipta, Pemilik, Penguasa, dan Pengatur seluruh alam semesta, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Di sini juga terdapat bantahan terhadap orang-orang yang menyembah selain Allah, baik Matahari, Bulan, Bintang, ataupun yang lainnya. Padahal segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang tidak boleh dan tidak layak untuk disembah.
Sekaligus bantahan terhadap ahli hisab, yang terlalu yakin dengan hisabnya. Dia lupa, bahwa Allah adalah Penguasa dan Pengatur seluruh alam semesta, termasuk hilal. Bisa saja Allah menentukan lain, sehingga hisab secanggih dan seteliti apapun ternyata meleset.
* Perhatian :
1. Do’a ini tidak hanya berlaku ketika melihat hilal Ramadhan atau hilal Syawwal saja. Tapi juga ketika melihat hilal untuk bulan-bulan lainnya.
2. Do’a ini hanya berlaku bagi orang yang melihat hilal saja (yakni peru`yah). Adapun orang yang hanya mendengar berita bahwa hilal telah terlihat, maka do’a ini tidak berlaku baginya.
______
Bacaan :
1. Tuhfatul Ahwadz Syarh Sunan At-Tirmidzi
2. Mirqat Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih
3. Majmu Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin/
4. Ash-Shahihah
5. Shahih Al-Kalim Ath-Thayyib
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=338#more-338)
Sebagaimana kita tahu, bahwa satu-satunya cara syar’i untuk penetapan bulan Ramadhan - dan bulan-bulan qamariyyah lainnya - adalah dengan cara ru`yatul hilal. Ini merupakan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, cara dan kebiasaan beliau, dan cara yang senantiasa dijalankan oleh para khalifah sepeninggal beliau. Alhamdulillah, kaum muslimin hingga hari ini pun senantiasa berjalan di atas metode/cara ini. Walaupun di sana ada sebagian dari kalangan ahli hisab yang hendak mengubah aturan syari’at ini, bahkan jauh-jauh hari sudah mengumumkan kapan 1 Ramadhan, kapan 1 Syawwal berdasarkan ilmu hisab. Maka tentu saja cara yang dilakukan ahli hisab tersebut merupakan cara yang batil. (lihat Hukum Penggunaan Hisab Falaki, Hukum Perpegang Pada Hisab Falaki untuk Penentuan Waktu Ibadah, Fatwa ‘Ulama tentang Ru`yah - Hisab)
Pelaksanaan ru`yatul hilal dilakukan pada malam ke-30 Sya’ban. Alhamdulillah, sunnah ini senantiasa terjaga hingga hari ini. bagi para peru`yah ada hal penting yang harus diperhatikan. Di antara tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika melihat hilal adalah membaca doa, yaitu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata :
“Dulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat Al-Hilal beliau mengucapkan doa :
اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ
وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ
“Allahu Akbar, Ya Allah terbitkanlah al-hilal kepada kami dengan keamanan dan iman, dengan keselamatan dan Islam, dan taufiq kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau Ridhai. Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.”
[HR. At-Tirmidzi (3451), Ad-Darimi (1741), Al-Hakim (II/285) dari shahabat Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1816. diriwayatkan pula oleh Ad-Darimi (1740) dari shahabat Ibnu ‘Umar. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Kalimith Thayyib no. 162.]
Makna do’a tersebut adalah :
Doa kepada Allah agar menerbitkan dan memperlihatkan hilal kepada kita dengan diiringi keamanan dan iman, serta dengan keselamatan dan Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan “keamanan dan keselamatan”, sebagai bentuk permintaan untuk dihindarkan dari segala kerugian dan bahaya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan “Iman dan Islam”, sebagai bentuk permintaan untuk memperoleh segala manfaat dalam bentuk yang paling baik.
Dalam doa tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga menegaskan “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah”.
Di sini terkandung nilai tauhid. Bahwa Rabb segenap makhluk, termasuk manusia, dan termasuk pula hilal yang sedang terbit itu adalah Allah. Dia-lah satu-satunya Rabb, yakni Pencipta, Pemilik, dan Pengatur alam semesta dan segala yang ada di dalamnya. Sehingga dengan penegasan ini, meniadakan adanya sekutu bagi Allah dalam pengaturan alam semesta, termasuk dalam mengatur terbitnya hilal. Menerbitkan, menenggelamkan, dan mengatur peredaran hilal hanya Allah semata. Sebagaimana Allah adalah satu-satu-Nya Pencipta, Pemilik, Penguasa, dan Pengatur seluruh alam semesta, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Di sini juga terdapat bantahan terhadap orang-orang yang menyembah selain Allah, baik Matahari, Bulan, Bintang, ataupun yang lainnya. Padahal segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang tidak boleh dan tidak layak untuk disembah.
Sekaligus bantahan terhadap ahli hisab, yang terlalu yakin dengan hisabnya. Dia lupa, bahwa Allah adalah Penguasa dan Pengatur seluruh alam semesta, termasuk hilal. Bisa saja Allah menentukan lain, sehingga hisab secanggih dan seteliti apapun ternyata meleset.
* Perhatian :
1. Do’a ini tidak hanya berlaku ketika melihat hilal Ramadhan atau hilal Syawwal saja. Tapi juga ketika melihat hilal untuk bulan-bulan lainnya.
2. Do’a ini hanya berlaku bagi orang yang melihat hilal saja (yakni peru`yah). Adapun orang yang hanya mendengar berita bahwa hilal telah terlihat, maka do’a ini tidak berlaku baginya.
______
Bacaan :
1. Tuhfatul Ahwadz Syarh Sunan At-Tirmidzi
2. Mirqat Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih
3. Majmu Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin/
4. Ash-Shahihah
5. Shahih Al-Kalim Ath-Thayyib
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=338#more-338)
Introspeksi Diri di Bulan Suci Ramadhan
Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan no. 1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan diberikan judul babnya oleh Al-Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan no. 2492.
Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup
Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini. Dan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang mubarak sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ. وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَ ذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’ Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka pintu-pintu surga. (Shifatu Shaumin Nabiyyi n fi Ramadhan, hal. 18-19)
Makna ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Dan yang dimaksudkan dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةٌ adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata الْمَارِدُ yaitu الْعَاتِي الشَّدِيْدُ , maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits). Sehingga yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat, adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.
Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 163)
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (tidak dimaukan seluruhnya).”
Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:
وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ
“Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.”
Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan
Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu 'anhu, ia berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّكَ رَسُوْلَ اللهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأَدَّيْتُ الزَّكاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ، لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةَ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di malam yang penuh kemuliaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)
Puasa Semestinya membuahkan Takwa
Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara takwa yang dikandung puasa di antaranya:
- Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
- Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.
- Puasa itu menyempitkan jalan setan, karena setan itu berjalan pada anak Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
- Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.
- Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 86)
Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk kemudian iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada Al-Khaliq.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيْرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini. Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi [1]. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Memiliki hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan maksiat.”
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, istiqamah di atas agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُوْنَ
“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Di sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengizinkan bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’ Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan: “Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk menghinakan diri kepada-Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.” [2]
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.” [3]
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka bersedekah.
Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ
“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah.” (At-Taubah: 71)
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى معْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup cacatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” [4]
Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau di kuburnya, amin–. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi taufik kepada mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang benar. Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman dan takwa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga mereka menjadi , orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote :
1. Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2. HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 922
3. HR. Al-Bukhari no. 7376
4. HR. Muslim no. 6793
(Dikutip dari Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, tulisan Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari, judul asli Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=374)
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru Ramadhan no. 1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan diberikan judul babnya oleh Al-Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan no. 2492.
Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup
Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan didapatkan di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam hadits yang menjadi pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini. Dan keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas didapatkan sejak awal malam Ramadhan yang mubarak sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ. وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَ ذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu pintupun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada satu pintupun yang ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.’ Dan Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka pintu-pintu surga. (Shifatu Shaumin Nabiyyi n fi Ramadhan, hal. 18-19)
Makna ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits di atas صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Dan yang dimaksudkan dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةٌ adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata الْمَارِدُ yaitu الْعَاتِي الشَّدِيْدُ , maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak sewenang-wenang lagi melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits). Sehingga yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat, adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.
Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 163)
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (tidak dimaukan seluruhnya).”
Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:
وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ
“Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.”
Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan
Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu 'anhu, ia berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، وَأَنَّكَ رَسُوْلَ اللهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأَدَّيْتُ الزَّكاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah aku?” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan syuhada.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan lafadz yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ، لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah Subhanahu wa Ta'ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini. Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةَ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di malam yang penuh kemuliaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.” (Al-Baqarah: 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)
Puasa Semestinya membuahkan Takwa
Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara takwa yang dikandung puasa di antaranya:
- Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
- Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui pengawasan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadapnya.
- Puasa itu menyempitkan jalan setan, karena setan itu berjalan pada anak Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
- Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.
- Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang tidak berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 86)
Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, untuk kemudian iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada Al-Khaliq.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Ar-Rum: 41)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيْرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan orang-orang dungu atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa yang ada di negeri ini. Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, toh semuanya ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai teguran bagi kita agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat, untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi [1]. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha Memiliki hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui dalam apa yang Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat kemudharatan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah disebabkan kesyirikan dan maksiat.”
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan oleh seluruh muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, istiqamah di atas agamanya dan berhati-hati dari seluruh perkara yang dilarang berupa syirik dan maksiat. Sehingga mereka memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menolak dari mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada mereka setiap kebaikan. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُوْنَ
“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka malah mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang dulunya mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu: “Di sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengizinkan bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang besar, sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mencabut diri dari maksiat, tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menyesali diri, sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi: ‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’ Ketika terjadi gempa di kota Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu 'anhu berkhutbah dan memberi nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau berkata: ‘Kalau gempa ini terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan: “Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk menghinakan diri kepada-Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak mengingat-Nya dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Apabila kalian melihat gerhana maka berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah, berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.” [2]
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.” [3]
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar mereka bersedekah.
Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ
“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati Allah.” (At-Taubah: 71)
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى معْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat. Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup cacatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” [4]
Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan beliau di kuburnya, amin–. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi taufik kepada mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang benar. Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman dan takwa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga mereka menjadi , orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote :
1. Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2. HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 922
3. HR. Al-Bukhari no. 7376
4. HR. Muslim no. 6793
(Dikutip dari Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, tulisan Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari, judul asli Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=374)
Keutamaan Puasa di Bulan Ramadhan
Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (qath'i) dalam Kitabullah yang
mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub
kepada Allah 'Azza wa Jalla dan juga menjelaskan
keutamaan-keutamaannya, seperti firman ALLAH (yang artinya) :
“Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat,
kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta
wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar
(ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu', dan kaum pria
serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa,
dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat
birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah,
Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar" [A-Ahzab :
35]
Dan firman ALLAH (yang artinya) : “Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya" [Al-Baqarah : 184].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.
1. Puasa Adalah Perisai [Pelindung]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa'[memutuskan] bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah [mampu dgn berbagai macam persiapannya] hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.
Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim" [Hadits Riwayat Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah : "70 musim" yakni : perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" [Hadits Riwayat Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shahih].
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi" [Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi di dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan pada bab dari Abi Darda', dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH].
Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta'ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalm termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga
Engkau telah tahu wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah memberimu taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan ruh dari-Nya- bahwa puasa menjauhkan orang yang mengamalkannya ke bagian pertengahan surga.
Dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Aku berkata (kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) : "Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? Beliau menjawab : "Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih]
3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
4. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
5. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa [Baginya pahala yang terbatas, kecuali puasa karena pahalanya tidak terbatas] , karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah : 'Aku sedang berpuasa' [1]. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk[2] orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya" [Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari].
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan) (yang artinya) : “Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya"
Di dalam riwayat Muslim (yang artinya) : “Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman : "Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku" Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan ; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau misk"
6. Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : "Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa'at karenaku". Al-Qur'an pun berkata : "Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa'at karenaku" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Maka keduanya akan memberi syafa'at" [3]
7. Puasa Sebagai Kafarat
Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) : “Dan sempurnakanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah ; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercu kur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya" [Al-Baqarah : 196]
Allah Ta'ala juga berfirman (yang artinya) : “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [An-Nisaa' : 92]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)" [Al-Maidah : 89]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih" [Al-Mujaadiliah : 3-4]
Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah" [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144]
8. Ar Rayyan Bagi Orang yang Puasa
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (bahwa beliau) bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]
Footnote.
1. Dengan ucapan yang terdengar oleh si pencerca atau orang yang mengganggu tersebut, ada yang mengatakan : diucapkan di dalam hatinya agar tidak saling mencela dan saling memerangi. Yang pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena ucapan secara mutlak adalah dengan lisan, adapun bisikan jiwa dibatasi oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : "Sesunguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam hatinya selama belum diucapkan atau diamalkannya" (Muttafaqun 'alaih). Maka jelaslah bahwa ucapan itu mutlak tidak terjadi kecuali oleh ucapan yang dapat dididengar dengan suara yang terucap dan huruf. Wallahu a'lam.
2. Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilu Shayyin minal Kalami At-Thayyib hal.22-38
3. Diriwayatkan oleh Ahmad 6626, Hakim 1/554, Abu Nu'aim 8/161 dari jalan Huyaiy bin Abdullah dari Abdurrahman Al-hubuli dari Abdullah bin 'Amr, dan sanadnya hasan. Al-Haitsami berkata di dalam Majmu' Zawaid 3/181 setelah menambah penisbatannya kepada Thabrani dalam Al-Kabir : "Dan perawinya adalah perawi shahih"
Faedah : Hadits ini dan yang semisalnya dari hadits-hadits yang telah warid yang menyatakan bahwa amalan itu berjasad, wajib diimani dengan keimanan yang kuat tanpa mentahrif atau mentakwilnya, karena demikianlah manhajnya salafus shalih, dan jalannya mereka tidak diragukan lebih selamat, lebih alim dan bijaksana (tepat).
Cukuplah bagimu bahwa itu adalah salah satu syarat iman. Alla Ta'ala berfirman.
(yang artinya) : “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugrahkan kepada mereka" [Al-Baqarah : 3]
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Dan firman ALLAH (yang artinya) : “Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya" [Al-Baqarah : 184].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.
1. Puasa Adalah Perisai [Pelindung]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa'[memutuskan] bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah [mampu dgn berbagai macam persiapannya] hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.
Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim" [Hadits Riwayat Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah : "70 musim" yakni : perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" [Hadits Riwayat Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shahih].
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi" [Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi di dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan pada bab dari Abi Darda', dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH].
Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta'ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalm termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga
Engkau telah tahu wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah memberimu taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan ruh dari-Nya- bahwa puasa menjauhkan orang yang mengamalkannya ke bagian pertengahan surga.
Dari Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu katanya, "Aku berkata (kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) : "Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? Beliau menjawab : "Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih]
3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
4. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
5. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa [Baginya pahala yang terbatas, kecuali puasa karena pahalanya tidak terbatas] , karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah : 'Aku sedang berpuasa' [1]. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk[2] orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya" [Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari].
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan) (yang artinya) : “Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya"
Di dalam riwayat Muslim (yang artinya) : “Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman : "Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku" Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan ; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau misk"
6. Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : "Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa'at karenaku". Al-Qur'an pun berkata : "Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa'at karenaku" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Maka keduanya akan memberi syafa'at" [3]
7. Puasa Sebagai Kafarat
Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) : “Dan sempurnakanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah ; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercu kur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya" [Al-Baqarah : 196]
Allah Ta'ala juga berfirman (yang artinya) : “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [An-Nisaa' : 92]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)" [Al-Maidah : 89]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih" [Al-Mujaadiliah : 3-4]
Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah" [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144]
8. Ar Rayyan Bagi Orang yang Puasa
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (bahwa beliau) bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]
Footnote.
1. Dengan ucapan yang terdengar oleh si pencerca atau orang yang mengganggu tersebut, ada yang mengatakan : diucapkan di dalam hatinya agar tidak saling mencela dan saling memerangi. Yang pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena ucapan secara mutlak adalah dengan lisan, adapun bisikan jiwa dibatasi oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : "Sesunguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam hatinya selama belum diucapkan atau diamalkannya" (Muttafaqun 'alaih). Maka jelaslah bahwa ucapan itu mutlak tidak terjadi kecuali oleh ucapan yang dapat dididengar dengan suara yang terucap dan huruf. Wallahu a'lam.
2. Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilu Shayyin minal Kalami At-Thayyib hal.22-38
3. Diriwayatkan oleh Ahmad 6626, Hakim 1/554, Abu Nu'aim 8/161 dari jalan Huyaiy bin Abdullah dari Abdurrahman Al-hubuli dari Abdullah bin 'Amr, dan sanadnya hasan. Al-Haitsami berkata di dalam Majmu' Zawaid 3/181 setelah menambah penisbatannya kepada Thabrani dalam Al-Kabir : "Dan perawinya adalah perawi shahih"
Faedah : Hadits ini dan yang semisalnya dari hadits-hadits yang telah warid yang menyatakan bahwa amalan itu berjasad, wajib diimani dengan keimanan yang kuat tanpa mentahrif atau mentakwilnya, karena demikianlah manhajnya salafus shalih, dan jalannya mereka tidak diragukan lebih selamat, lebih alim dan bijaksana (tepat).
Cukuplah bagimu bahwa itu adalah salah satu syarat iman. Alla Ta'ala berfirman.
(yang artinya) : “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugrahkan kepada mereka" [Al-Baqarah : 3]
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Hikmah & Fadhilah (Keutamaan) Shaum
1. Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum
Ash-Shaum merupakan salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki keutamaan yang sangat tinggi, serta memiliki berbagai faidah dan hikmah sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ( البقرة: ١٨٣
Artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian ash-shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” [Al-Baqarah : 183]
Diantaranya :
1. Ash-shaum adalah salah satu sebab terbesar yang mengantarkan seseorang menuju taqwa. [1]) Sedangkan taqwa itu akan mendorong orang yang menjalankan ibadah shaum untuk meninggalkan berbagai larangan Allah Ta'ala, baik berupa minuman, makanan, dan jima’ (hubungan suami-istri) dan beberapa larangan sejenisnya yang disukai oleh hawa nafsu, dan shaum dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala dengan mengharapkan balasan di sisi-Nya.
2. Orang yang menjalankan ibadah shaum melatih jiwanya agar senantiasa merasa diawasi oleh Allah (muroqobatullah) sehingga dia meninggalkan kemauan hawa nafsunya meskipun mampu menurutinya, sebab dia mengetahui adanya pengawasan Allah Ta'ala terhadap dirinya.
3. Ash-shaum dapat mempersempit ruang gerak syaithan karena ia masuk ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah. ([2])
4. Ash-shaum akan melemahkan kekuatan syaithan, sehingga orang tersebut semakin terjauhkan dari kemaksiatan.
5. Orang yang menunaikan ash-shaum, mayoritasnya akan melakukan banyak ketaatan dan itu merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta'ala
6. Terkhusus bagi orang kaya bila merasakan pedihnya lapar karena ash-shaum maka akan muncul dalam dirinya kepedulian kepada fuqara`, dan hal ini juga merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta'ala. ([3])
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ketika ditanya tentang hikmah ash-shaum, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab antara lain : bahwa ash-shaum mememiliki beberapa hikmah dalam hal sosial kemasyarakatan, antara lain munculnya perasaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa mereka adalah umat yang satu, makan dan bershaum di waktu yang sama. [4])
Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam ([5]) menyebutkan hikmah lain dari ibadah ash-shaum, di antaranya :
1. Mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah dan mengingat berbagai nikmat-Nya.
2. Memiliki manfaat kesehatan, yaitu memberikan kesempatan pada alat pencernaan untuk istirahat.
[1] Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dengan seksama ayat pertama yang padanya Allah memerintahkan kaum mu`minin untuk bershaum diakhiri dengan penyebutan tujuan tersebut, yaitu ayat ke-183 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(
“Agar kalian bertaqwa”
Begitu pula Allah mengakhiri ayat terakhir tentang perintah ash-shaum ini dengan penyebutan tujuan tersebut pula, yaitu ayat ke-187 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّهُمْ تَتَّقُونَ(
“Agar mereka bertaqwa”
[2] Dari Shafiyyah radiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرى الدَّم
“Sesungguhnya Syaithan berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya.” [HR. Al-Bukhari 2035, 2038, 2039, 3101, 3281, 6219, 7171; Muslim 2175]
[3] Tafsir As-Sa’di tafsir Al-Baqarah ayat 183..
[4] Lihat Fatawa Ash-Shiyam karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin hal. 24. lihat pula Fatawal-’Ulama`il-BaladilHaram hal. 277.
[5] Taudhihul Ahkam (3/123)
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=235, judul asli Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum)
2. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
Sementara Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak disebutkan dalam berbagai hadits, baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun fadhilah shaum Ramadhan secara khusus. Dalam kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa di antaranya :
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ - مَرَّتَيْنِ - وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا [متفق عليه]
Artinya :
“Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” - dua kali - Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi Allah, ‘ Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Dan Aku sendiri yang akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan ketahuilah bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])
Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa`i dari shahabat ‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka). Lafazh hadits tersebut adalah :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ : إِنِّي صَائِمٌ؛ فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ ))
Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash, kemudian beliau hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “Sesungguhnya aku sedang bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh aku telah mendengar Rasulullah [D] bersabda :
“Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ [رواه أحمد]
“Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari (adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan aroma wangi misk. [5])
c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri.
[lihat ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]
2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.
Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
Artinya :
“Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan yang masuk melaluinya pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه النسائي و أحمد]
Artinya :
“Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] ([7])
3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا [متفق عليه]
Artinya :
“Tidaklah seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat, sejauh 70 tahun.” [Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian ‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad, antara lain Al-Imam Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan hadits ini dalam Kitabul Jihad was Sair dengan judul bab : فَضْلِ الصَّوْمِ فِي سَبِيْلِ اللهِ (Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul : فَضْلِ الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا ضَرَرٍ وَلا تَفْوِيتِ حَقٍّ (Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan pengabaian tugas).
Sehingga atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di atas hanya khusus bagi yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.
Namun Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di sini adalah : ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna hadits adalah : “Barangsiapa yang bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”. Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika berjihad fi sabilillah.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua kemungkinan makna di atas memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai makna hadits berikut ini. [9])
4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.
Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه الترمذي]
Artinya :
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jadikan antara dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang lebarnya) sejauh langit dan bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])
5. Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun
Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ مِائَةِ عَامٍ )) [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu Abi ‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah : Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “sejauh perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini memunculkan suatu pertanyaan.
Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :
a. Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan dipertegas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
- Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة التكثيركثيرا
“Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa sangat jauhnya.”
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :
ويؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة بن عامر والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في رواياتهم ( مائة عام ).
“Memperkuat pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [12])
Jawaban senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan An-Nasa`i, bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. [13])
b. Ada kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak menambah fadhilah dan pahala bagi orang yang bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya jarak tersebut menjadi seratus tahun perjalanan setelah sebelumnya sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini disampaikan oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [14])
Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang sering diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut :
- Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، بَعَّدَهُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَابٍ طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ حَتَّى مَاتَ هَرِمًا )) [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah Allah, niscaya Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang burung Gagak, semenjak burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia yang tua. ” [Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])
- Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( مَنْ صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ مِائَةَ عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ المُضَمَّرِ )) [رواه عبد الرزاق و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun, dengan kecepatan kuda tunggangan gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])
* * *
[1] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2231.
[4] HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul Jami’ish Shaghir no. 4308.
[5] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil I/106 . Lihat pembahasan lengkap pada bab halaman ………………..
[6] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8] Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[10] At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 563.
[11] An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.
[12] Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[13] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.
[14] Ibid.
[15] Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang perawi yang lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang perawi yang majhulul hal sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan; Al-Hafizh juga berkata tentangnya : mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.
[16] Tentang makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.
[17] ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang hadits ini : “Munkar dengan konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya terdapat kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if (lemah), yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”
Dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal : dha’if (lemah).
Kemudian tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun Yukhthi’ (jujur namun berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).
Oleh karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id melemahkan hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid ini. beliau berkata : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, namun dalam sanadnya terdapat Mutharrih, dia adalah seorang perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah no. 6910).
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=236, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 1)
3. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
6. Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ الصِّيامُ وَ الصَّدَقَةُ (متفق عليه)
Artinya :
“Dosa yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga, harta, atau tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
7. Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [متفق عليه]
Artinya :
“Bagi orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika berbuka dia bergembira dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya (Allah) dia bergembira dengan (pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim] ([2])
8. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )) [متفق عليه]
Artinya :
“Barangsiapa yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya shaum tersebut berfungsi sebagai perisai baginya. [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara hikma ash-shaum berfungsi sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu jalan keluar bagi para pemuda yang belum mampu melakukan pernikahan.
9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( الصِّيَامُ و القُرآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي فِيهِ؛ يَقُولُ القُرْآنُ: رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ ))
Artinya :
“Ash-Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb, sesungguhnya aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an berkata : Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan syafa’at [Ahmad dan Ath-Thabarani] ([4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
أي : يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : (( و هذا القول يحتمل أنه حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق )وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل )).
قلت : و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من الأحاديث التي فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع، و نحوه كثير. و تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف y، بل هو طريقة المعتزلة و من سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينافي أول شروط الإيمان )الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣، فحذار أن تحذو حذوهم، فتضل و تشقي، و العياذ بالله. اهـ
Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at kepada orang tersebut sekaligus memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-Munawi berkata : “Ada kemungkinan bahwa maksud perkataan di atas adalah secara hakekat sebenarnya, yaitu dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua amalan tersebut, kemudian Allah ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk berbicara.
)وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(
“dan Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”
Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.”
Menanggapi pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Kemungkinan pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam permasalahan dan yang semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam bentuk jasad (fisik) dan yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (pemalingan maksud hadits dari makna sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash seperti ini bukanlah metode generasi salaf radhiallahu ‘anhum, bahkan itu adalah metode kelompok Al-Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara penakwilan seperti itu sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣،
“orang-orang yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]
Maka waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum mu’tazilah) yang menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka. Wal’iyyadzubillah. –selesai–
10. Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … ))
“Tiga pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil, seorang yang bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang terzhalimi, …” [At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [5])
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a seorang yang bershaum ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga datangnya waktu ifthar adalah do`a yang mustajab. Sementara hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ))
“Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).” [Ibnu ‘Adi] [6])
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :
(( إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ ))
“Sesungguh orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”
Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan tentang lemahnya hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini lemah. [7])
* * *
[1] Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.
[2] Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.
[3] Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.
[4] Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam Shahihut Targhib no. 984 beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula Tamamul Minnah hal. 394-395.
[5] At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.
[6] Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah seorang perawi yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah dan selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.
[7] Lihat Al-Irwa` no. 921.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=237, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 2)
4. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ )) [رواه مسلم]
Artinya :
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa selama masih meninggalkan dosa-dosa besar.” [HR. Muslim] ([1])
Namun keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai penghapus dosa sangat bergantung kepada sikap dan kemauan hamba untuk menjauhi Al-Kaba`ir , yaitu dosa-dosa besar. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (Al-Jannah).” [An-Nisa` : 31]
Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di radhiallahu ‘anhu tentang ayat di atas :
“Tentu ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang mu`min. Allah menjanjikan kepada mereka bahwa jika mereka menjauhi dosa-dosa besar yang terlarang, maka pasti Dia akan mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya, serta akan memasukkan mereka ke tempat yang mulia dan penuh kebaikan, yaitu Al-Jannah yang meliputi segala keindahan yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah di dengar oleh telinga, bahkan belum pernah terbetik dalam sanubari manusia.
Termasuk pula dalam upaya menjauhkan diri dari Al-Kaba`ir adalah menunaikan berbagai kewajiban, yang apabila ditinggalkan maka pelakunya tergolong telah melakukan dosa besar, seperti shalat lima waktu, dan shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Antara shalat lima waktu, dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, serta antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya selama masih dijauhi dosa-dosa besar”
Definisi Al-Kaba`ir yang terbaik adalah sebuah dosa yang diancam dengan hukuman pidana di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau penafian iman (dari pelakunya), terkenainya laknat dan marah Allah atasnya.” [2])
Dari keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil :
1. Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai penebus dosa atau penghapus kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya meninggalkan Al-Kaba`ir (dosa-dosa besar).
2. bahwa kita harus mengetahui definisi dan batasan Al-Kaba`ir, sehingga dengan itu kita dapat menghindarkan diri kita darinya, dan tentunya hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i).
2. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
Artinya :
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Hadits ini memiliki kemiripan dengan hadits yang sebelumnya, yaitu dari sisi bahwa barangsiapa yang bershaum pada bulan Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Namun keutamaan tersebut memang hanya bisa diraih dengan dua syarat :
a. Shaum yang dia lakukan berdasarkan kepada keimanan, yaitu keimanan bahwa shaum Ramadhan merupakan syari’at yang haq yang datangnya dari Allah dan telah diwajibkan kepada kaum mu`minin.
b. Shaum yang dia lakukan berdasarkan sikap ihtisab (mengharapkan) pahala dan ridha Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong dia untuk melakukannya dengan penuh keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan duniawi.
Sehingga barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa dilandasi dua sikap di atas, dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan.
Terkait dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits dha’if yang perlu diketahui, antara lain :
a. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’ dengan lafadz :
(( وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ )). رواه النسائي في الكبرى
“Barangsiapa yang beribadah pada malam lailatul qadr karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. [An-Nasa`i] [4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Hadits ini dengan tambahan lafazh (( وَ مَا تَأَخَّرَ )) adalah hadits yang Syadz (ganjil).
b. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( من صام رمضان وعرف حدوده، وتحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه، كفر ما قبله )) . رواه أحمد والبيهقي
“Barangsiapa yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batas (syar’i) nya, serta dia berupaya menjaga diri dari segala sesuatu yang semestinya ia menjaga dirinya dari hal itu, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Ahmad dan Al-Baihaqi]
Hadits ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah. [5]) Karena pada sanadnya ada seorang perawi yang majhul, yaitu ‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam Al-Haitsami berkata, bahwa perawi ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim namun beliau tidak menyebutkan tentangnya, baik jarh (cercaan) atau pun ta’dil (rekomendasi). Disebutkan dalam kitab Ta’jilul Manfa’ah bahwa Al-Husaini berkata tentang perawi ini dalam kitab Rijalul Musnad : bahwa dia adalah seorang perawi yang majhul.
3. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ))
Artinya :
“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al-Jannah [Muttafaqun ‘alaihi] ([6])
[1] Muslim 233
[2] Tafsir As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.
[3] Al-Bukhari 1901, Muslim 760.
[4] An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.
[5] Lihat Tamamul Minnah hal. 395.
[6] Al-Bukhari 1898, Muslim 1079.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=239, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 ))
5. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ ))
Artinya :
“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan ditutuplah pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan. [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
Dalam riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :
(( … فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ … ))
“… maka dibukalah pintu-pintu rahmat … “
Dari tiga riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya tiga lafazh yang berbeda, yaitu :
- dibukakannya pintu Al-Jannah
- dibukakannya pintu rahmat
- dibukakannya pintu langit
sepintas nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak demikian.
Maksud “dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka naiknya berbagai perkataan baik kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun kalimat tauhid Lailaha Illallah, serta diangkatnya berbagai amalan shalih menuju kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ فاطر: ١٠
“kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” [Fathir : 10]
Sehingga dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan Ramadhan, karena banyaknya perkataan baik dan amalan shalih padanya.
Sementara “dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan makna :
1. Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya yang mu`min, yang rahmat itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah, sehingga hamba-hamba Allah tidaklah masuk Al-Jannah kecuali dengan sebab rahmat Allah, bukan karena amalan mereka.
2. Makna rahmat dalam hadits ini adalah Al-Jannah. Karena dalam beberapa keterangan Al-Jannah terkadang diistilahkan dengan “rahmat”, sebagaimana dalam hadits :
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : (( أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي ))
“Allah Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau adalah rahmat-Ku yang denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Ku’.” [Muttafaqun ‘alaih] [2])
Penjelasan tentang maksud : « وصفدت الشياطين »
Di antara yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan).
Ketahuilah bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis syaithan. Namun hanya terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan dengan Al-Maradah ( المَرَدَةُ ), yaitu para syaithan yang tingkat kejahatan dan kedurhakaanny paling besar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama, antara lain :
1. Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya, beliau menyebutkan :
باب ذكر البيان أن النبي r إنما أراد بقوله : « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم، لا جميع الشياطين
Bab : Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah memaksudkan dengan perkataannya : « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan) adalah jenis jin yang maradah (paling durhaka), bukan seluruh jenis syaithan.
Kemudian beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
1776 - « إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ الجِنِّ، … »
“Jika pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu Khuzaimah–
Disebutkan pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits Abu Hurairah, dengan lafazh :
(( … وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، … ))
“… dan padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ” [An-Nasa`i] [3])
2. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhish Shalihin berkata :
“Maksud (dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang paling durhaka) di antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat lain. Sementara yang dimaksud dengan Al-Maradah adalah : yaitu para syaithan yang paling besar permusuhan dan kebencianya terhadap anak Adam.” ([4])
Namun ada sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang kami sebutkan di atas, antara lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :
“yang dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit). Tidakkah engkau perhatikan Rasulullah menyebut (( مردة الشياطين ))، (para syaithan yang sangat durhaka) karena bulan Ramadhan adalah waktu turunnya Al-Qur`an ke langit bumi, yang upaya penjagaan (terhadap) Al-Qur’an dilakukan dengan cara bintang-bintang (yang dilemparkan), sebagaimana firman Allah Ta’ala :
(وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ) الصافات: ٧
“dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])
Sehingga dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada bulan Ramadhan, dalam rangka penjagaan yang lebih serius (terhadap Kalamullah). [6])
2. Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu , beliau berkata :
جاء رجل إلى النبي r فقال : يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا إله إلا الله وأنك رسول الله، وصليت الصلوات الخمس، وأديت الزكاة، وصمت رمضان وقمته، فممن أنا؟ قال : (( من الصديقين والشهداء )) [رواه البزار وابن خزيمة وابن]
Seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha Illallah dan bahwa engkau adalah Rasulullah, saya melaksanakan shalat lima waktu, saya menunaikan zakat, dan saya bershaum di bulan Ramadhan dan saya laksanakan shalat (pada malam harinya), maka dari golongan manakah aku?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan Asy-Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])
Dari keterangan di atas, kita tahu bahwa seorang hamba yang menunaikan shaum Ramadhan dan rajin melakukan Qiyamullail (shalat malam) padanya, maka dia akan digolongkan dalam golongan para syuhada` dan shiddiqin.
3. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri :
(( إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة - يعني في رمضان - وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة )) رواه البزار
“Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari adzab An-Nar) pada setiap siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan sesungguhnya setiap muslim memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang dan malam” [Al-Bazzar] [8])
4. Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( احضروا المنبر )) فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : (( آمين ))؛ فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه؟ قال : (( إن جبريل عليه السلام عرض لي، فقال : بعد من أدرك رمضان فلم يغفر له، قلت آمين، فلما رقيت الثانية قال : بعد من ذكرت عنده فلم يصل عليك، فقلت آمين، فلما رقيت الثالثة قال بعد : من أدرك أبويه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة، قلت آمين )) رواه الحاكم وقال صحيح الإسناد
“Hadirlah kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera hadir. Ketika menaiki tangga pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan ketika menaiki tangga kedua beliau mengucapkan “Amin”; begitu pula ketika menaiki tangga ketiga, beliau mengucapkan “Amin”. Ketika beliau telah turun dari mimbar, kami bertanya : “Wahai Rasulullah sungguh kami telah mendengar darimu sesuatu pada hari ini yang belum pernah kami mendengar sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh telah datang kepadaku Jibril, kemudian dia berkata : ‘Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni.’ Maka aku berkata : Amin. Kemudian ketika aku menaiki tangga kedua, Jibril berkata : ‘Celakalah seseorang yang disebutkan namamu di hadapannya namun dia tidak bershalawat untukmu.’ Maka aku pun mengucapkan Amin. Dan ketika aku menaiki tangga ketiga, Jibril berkata : ‘Celakalah seorang yang menemui kedua orang tuanya pada masa tua, atau salah satu di antara keduanya, namun (keberadaan) keduanya tidak mampu memasukkan dia ke dalam Al-Jannah.’ Maka aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim] [9]
Dalam hadits di atas, ada sebuah penekanan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sehingga hendaknya setiap mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Karena apabila dia gagal mendapatkan ampunan di bulan Ramadhan maka dia akan mendapatkan do`a celaka dari malaikat Jibril ‘alaihis salam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah melindungi kita semua.
[1] Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[2] Al-Bukhari 4850, Muslim 2846 dari shahabat Abu Hurairah.
[3] HR. An-Nasa`i 2106. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2106.
[4] Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, hadits no. 1220.
[5] Konteks ayat tersebut adalah sebagai berikut :
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ الصافات: ٦ - ٨
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan bintang-bintang, dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka. Agar syaithan-syaithan itu tidak dapat mencuri-curi dengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari (dengan bintang-bintang tersebut) dari segala penjuru.” [Ash-Shaffat : 6-8]
[6] Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib di bawah hadits no. 999.
[7] Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 361, 749, 1003, 2515,
[8] HR. Al-Bazzar. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 1002
[9] HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahihut Targhib wat Tarhib hadits no. 995 : Shahih li gharihi. Hadits tersebut diriwayatkan pula dari shahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi. Riwayat kedua ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih bab : At-Tarhib min Ifthar Ramadhan (II/378)
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=240, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 ))
(Dikutip dari situs Ma'had As Salafy)
Ash-Shaum merupakan salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki keutamaan yang sangat tinggi, serta memiliki berbagai faidah dan hikmah sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ( البقرة: ١٨٣
Artinya :
”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian ash-shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” [Al-Baqarah : 183]
Diantaranya :
1. Ash-shaum adalah salah satu sebab terbesar yang mengantarkan seseorang menuju taqwa. [1]) Sedangkan taqwa itu akan mendorong orang yang menjalankan ibadah shaum untuk meninggalkan berbagai larangan Allah Ta'ala, baik berupa minuman, makanan, dan jima’ (hubungan suami-istri) dan beberapa larangan sejenisnya yang disukai oleh hawa nafsu, dan shaum dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala dengan mengharapkan balasan di sisi-Nya.
2. Orang yang menjalankan ibadah shaum melatih jiwanya agar senantiasa merasa diawasi oleh Allah (muroqobatullah) sehingga dia meninggalkan kemauan hawa nafsunya meskipun mampu menurutinya, sebab dia mengetahui adanya pengawasan Allah Ta'ala terhadap dirinya.
3. Ash-shaum dapat mempersempit ruang gerak syaithan karena ia masuk ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah. ([2])
4. Ash-shaum akan melemahkan kekuatan syaithan, sehingga orang tersebut semakin terjauhkan dari kemaksiatan.
5. Orang yang menunaikan ash-shaum, mayoritasnya akan melakukan banyak ketaatan dan itu merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta'ala
6. Terkhusus bagi orang kaya bila merasakan pedihnya lapar karena ash-shaum maka akan muncul dalam dirinya kepedulian kepada fuqara`, dan hal ini juga merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta'ala. ([3])
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ketika ditanya tentang hikmah ash-shaum, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab antara lain : bahwa ash-shaum mememiliki beberapa hikmah dalam hal sosial kemasyarakatan, antara lain munculnya perasaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa mereka adalah umat yang satu, makan dan bershaum di waktu yang sama. [4])
Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam ([5]) menyebutkan hikmah lain dari ibadah ash-shaum, di antaranya :
1. Mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah dan mengingat berbagai nikmat-Nya.
2. Memiliki manfaat kesehatan, yaitu memberikan kesempatan pada alat pencernaan untuk istirahat.
[1] Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dengan seksama ayat pertama yang padanya Allah memerintahkan kaum mu`minin untuk bershaum diakhiri dengan penyebutan tujuan tersebut, yaitu ayat ke-183 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(
“Agar kalian bertaqwa”
Begitu pula Allah mengakhiri ayat terakhir tentang perintah ash-shaum ini dengan penyebutan tujuan tersebut pula, yaitu ayat ke-187 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّهُمْ تَتَّقُونَ(
“Agar mereka bertaqwa”
[2] Dari Shafiyyah radiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرى الدَّم
“Sesungguhnya Syaithan berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya.” [HR. Al-Bukhari 2035, 2038, 2039, 3101, 3281, 6219, 7171; Muslim 2175]
[3] Tafsir As-Sa’di tafsir Al-Baqarah ayat 183..
[4] Lihat Fatawa Ash-Shiyam karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin hal. 24. lihat pula Fatawal-’Ulama`il-BaladilHaram hal. 277.
[5] Taudhihul Ahkam (3/123)
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=235, judul asli Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum)
2. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
Sementara Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak disebutkan dalam berbagai hadits, baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun fadhilah shaum Ramadhan secara khusus. Dalam kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa di antaranya :
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ - مَرَّتَيْنِ - وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا [متفق عليه]
Artinya :
“Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” - dua kali - Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi Allah, ‘ Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Dan Aku sendiri yang akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan ketahuilah bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])
Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa`i dari shahabat ‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka). Lafazh hadits tersebut adalah :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ : إِنِّي صَائِمٌ؛ فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ ))
Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash, kemudian beliau hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “Sesungguhnya aku sedang bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh aku telah mendengar Rasulullah [D] bersabda :
“Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ [رواه أحمد]
“Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari (adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan aroma wangi misk. [5])
c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri.
[lihat ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]
2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.
Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
Artinya :
“Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan yang masuk melaluinya pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه النسائي و أحمد]
Artinya :
“Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] ([7])
3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا [متفق عليه]
Artinya :
“Tidaklah seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat, sejauh 70 tahun.” [Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian ‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad, antara lain Al-Imam Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan hadits ini dalam Kitabul Jihad was Sair dengan judul bab : فَضْلِ الصَّوْمِ فِي سَبِيْلِ اللهِ (Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul : فَضْلِ الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا ضَرَرٍ وَلا تَفْوِيتِ حَقٍّ (Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan pengabaian tugas).
Sehingga atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di atas hanya khusus bagi yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.
Namun Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di sini adalah : ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna hadits adalah : “Barangsiapa yang bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”. Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika berjihad fi sabilillah.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua kemungkinan makna di atas memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai makna hadits berikut ini. [9])
4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.
Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه الترمذي]
Artinya :
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jadikan antara dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang lebarnya) sejauh langit dan bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])
5. Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun
Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ مِائَةِ عَامٍ )) [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu Abi ‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah : Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “sejauh perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini memunculkan suatu pertanyaan.
Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :
a. Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan dipertegas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
- Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة التكثيركثيرا
“Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa sangat jauhnya.”
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :
ويؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة بن عامر والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في رواياتهم ( مائة عام ).
“Memperkuat pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [12])
Jawaban senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan An-Nasa`i, bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. [13])
b. Ada kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak menambah fadhilah dan pahala bagi orang yang bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya jarak tersebut menjadi seratus tahun perjalanan setelah sebelumnya sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini disampaikan oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [14])
Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang sering diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut :
- Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، بَعَّدَهُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَابٍ طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ حَتَّى مَاتَ هَرِمًا )) [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah Allah, niscaya Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang burung Gagak, semenjak burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia yang tua. ” [Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])
- Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( مَنْ صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ مِائَةَ عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ المُضَمَّرِ )) [رواه عبد الرزاق و الطبراني]
Artinya :
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun, dengan kecepatan kuda tunggangan gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])
* * *
[1] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2231.
[4] HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul Jami’ish Shaghir no. 4308.
[5] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil I/106 . Lihat pembahasan lengkap pada bab halaman ………………..
[6] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8] Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[10] At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 563.
[11] An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.
[12] Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[13] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.
[14] Ibid.
[15] Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang perawi yang lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang perawi yang majhulul hal sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan; Al-Hafizh juga berkata tentangnya : mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.
[16] Tentang makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.
[17] ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang hadits ini : “Munkar dengan konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya terdapat kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if (lemah), yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”
Dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal : dha’if (lemah).
Kemudian tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun Yukhthi’ (jujur namun berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).
Oleh karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id melemahkan hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid ini. beliau berkata : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, namun dalam sanadnya terdapat Mutharrih, dia adalah seorang perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah no. 6910).
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=236, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 1)
3. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
6. Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ الصِّيامُ وَ الصَّدَقَةُ (متفق عليه)
Artinya :
“Dosa yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga, harta, atau tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
7. Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [متفق عليه]
Artinya :
“Bagi orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika berbuka dia bergembira dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya (Allah) dia bergembira dengan (pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim] ([2])
8. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )) [متفق عليه]
Artinya :
“Barangsiapa yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya shaum tersebut berfungsi sebagai perisai baginya. [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara hikma ash-shaum berfungsi sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu jalan keluar bagi para pemuda yang belum mampu melakukan pernikahan.
9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( الصِّيَامُ و القُرآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي فِيهِ؛ يَقُولُ القُرْآنُ: رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ ))
Artinya :
“Ash-Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb, sesungguhnya aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an berkata : Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan syafa’at [Ahmad dan Ath-Thabarani] ([4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
أي : يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : (( و هذا القول يحتمل أنه حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق )وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل )).
قلت : و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من الأحاديث التي فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع، و نحوه كثير. و تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف y، بل هو طريقة المعتزلة و من سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينافي أول شروط الإيمان )الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣، فحذار أن تحذو حذوهم، فتضل و تشقي، و العياذ بالله. اهـ
Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at kepada orang tersebut sekaligus memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-Munawi berkata : “Ada kemungkinan bahwa maksud perkataan di atas adalah secara hakekat sebenarnya, yaitu dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua amalan tersebut, kemudian Allah ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk berbicara.
)وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(
“dan Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”
Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.”
Menanggapi pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Kemungkinan pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam permasalahan dan yang semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam bentuk jasad (fisik) dan yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (pemalingan maksud hadits dari makna sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash seperti ini bukanlah metode generasi salaf radhiallahu ‘anhum, bahkan itu adalah metode kelompok Al-Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara penakwilan seperti itu sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣،
“orang-orang yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]
Maka waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum mu’tazilah) yang menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka. Wal’iyyadzubillah. –selesai–
10. Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … ))
“Tiga pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil, seorang yang bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang terzhalimi, …” [At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [5])
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a seorang yang bershaum ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga datangnya waktu ifthar adalah do`a yang mustajab. Sementara hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ))
“Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).” [Ibnu ‘Adi] [6])
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :
(( إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ ))
“Sesungguh orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”
Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan tentang lemahnya hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini lemah. [7])
* * *
[1] Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.
[2] Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.
[3] Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.
[4] Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam Shahihut Targhib no. 984 beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula Tamamul Minnah hal. 394-395.
[5] At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.
[6] Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah seorang perawi yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah dan selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.
[7] Lihat Al-Irwa` no. 921.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=237, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 2)
4. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ )) [رواه مسلم]
Artinya :
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa selama masih meninggalkan dosa-dosa besar.” [HR. Muslim] ([1])
Namun keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai penghapus dosa sangat bergantung kepada sikap dan kemauan hamba untuk menjauhi Al-Kaba`ir , yaitu dosa-dosa besar. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (Al-Jannah).” [An-Nisa` : 31]
Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di radhiallahu ‘anhu tentang ayat di atas :
“Tentu ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang mu`min. Allah menjanjikan kepada mereka bahwa jika mereka menjauhi dosa-dosa besar yang terlarang, maka pasti Dia akan mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya, serta akan memasukkan mereka ke tempat yang mulia dan penuh kebaikan, yaitu Al-Jannah yang meliputi segala keindahan yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah di dengar oleh telinga, bahkan belum pernah terbetik dalam sanubari manusia.
Termasuk pula dalam upaya menjauhkan diri dari Al-Kaba`ir adalah menunaikan berbagai kewajiban, yang apabila ditinggalkan maka pelakunya tergolong telah melakukan dosa besar, seperti shalat lima waktu, dan shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Antara shalat lima waktu, dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, serta antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya selama masih dijauhi dosa-dosa besar”
Definisi Al-Kaba`ir yang terbaik adalah sebuah dosa yang diancam dengan hukuman pidana di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau penafian iman (dari pelakunya), terkenainya laknat dan marah Allah atasnya.” [2])
Dari keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil :
1. Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai penebus dosa atau penghapus kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya meninggalkan Al-Kaba`ir (dosa-dosa besar).
2. bahwa kita harus mengetahui definisi dan batasan Al-Kaba`ir, sehingga dengan itu kita dapat menghindarkan diri kita darinya, dan tentunya hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i).
2. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
Artinya :
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Hadits ini memiliki kemiripan dengan hadits yang sebelumnya, yaitu dari sisi bahwa barangsiapa yang bershaum pada bulan Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Namun keutamaan tersebut memang hanya bisa diraih dengan dua syarat :
a. Shaum yang dia lakukan berdasarkan kepada keimanan, yaitu keimanan bahwa shaum Ramadhan merupakan syari’at yang haq yang datangnya dari Allah dan telah diwajibkan kepada kaum mu`minin.
b. Shaum yang dia lakukan berdasarkan sikap ihtisab (mengharapkan) pahala dan ridha Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong dia untuk melakukannya dengan penuh keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan duniawi.
Sehingga barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa dilandasi dua sikap di atas, dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan.
Terkait dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits dha’if yang perlu diketahui, antara lain :
a. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’ dengan lafadz :
(( وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ )). رواه النسائي في الكبرى
“Barangsiapa yang beribadah pada malam lailatul qadr karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. [An-Nasa`i] [4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Hadits ini dengan tambahan lafazh (( وَ مَا تَأَخَّرَ )) adalah hadits yang Syadz (ganjil).
b. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( من صام رمضان وعرف حدوده، وتحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه، كفر ما قبله )) . رواه أحمد والبيهقي
“Barangsiapa yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batas (syar’i) nya, serta dia berupaya menjaga diri dari segala sesuatu yang semestinya ia menjaga dirinya dari hal itu, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Ahmad dan Al-Baihaqi]
Hadits ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah. [5]) Karena pada sanadnya ada seorang perawi yang majhul, yaitu ‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam Al-Haitsami berkata, bahwa perawi ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim namun beliau tidak menyebutkan tentangnya, baik jarh (cercaan) atau pun ta’dil (rekomendasi). Disebutkan dalam kitab Ta’jilul Manfa’ah bahwa Al-Husaini berkata tentang perawi ini dalam kitab Rijalul Musnad : bahwa dia adalah seorang perawi yang majhul.
3. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ))
Artinya :
“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al-Jannah [Muttafaqun ‘alaihi] ([6])
[1] Muslim 233
[2] Tafsir As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.
[3] Al-Bukhari 1901, Muslim 760.
[4] An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.
[5] Lihat Tamamul Minnah hal. 395.
[6] Al-Bukhari 1898, Muslim 1079.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=239, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 ))
5. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ ))
Artinya :
“Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan ditutuplah pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan. [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
Dalam riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :
(( … فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ … ))
“… maka dibukalah pintu-pintu rahmat … “
Dari tiga riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya tiga lafazh yang berbeda, yaitu :
- dibukakannya pintu Al-Jannah
- dibukakannya pintu rahmat
- dibukakannya pintu langit
sepintas nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak demikian.
Maksud “dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka naiknya berbagai perkataan baik kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun kalimat tauhid Lailaha Illallah, serta diangkatnya berbagai amalan shalih menuju kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ فاطر: ١٠
“kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” [Fathir : 10]
Sehingga dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan Ramadhan, karena banyaknya perkataan baik dan amalan shalih padanya.
Sementara “dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan makna :
1. Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya yang mu`min, yang rahmat itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah, sehingga hamba-hamba Allah tidaklah masuk Al-Jannah kecuali dengan sebab rahmat Allah, bukan karena amalan mereka.
2. Makna rahmat dalam hadits ini adalah Al-Jannah. Karena dalam beberapa keterangan Al-Jannah terkadang diistilahkan dengan “rahmat”, sebagaimana dalam hadits :
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : (( أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي ))
“Allah Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau adalah rahmat-Ku yang denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Ku’.” [Muttafaqun ‘alaih] [2])
Penjelasan tentang maksud : « وصفدت الشياطين »
Di antara yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan).
Ketahuilah bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis syaithan. Namun hanya terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan dengan Al-Maradah ( المَرَدَةُ ), yaitu para syaithan yang tingkat kejahatan dan kedurhakaanny paling besar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama, antara lain :
1. Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya, beliau menyebutkan :
باب ذكر البيان أن النبي r إنما أراد بقوله : « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم، لا جميع الشياطين
Bab : Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah memaksudkan dengan perkataannya : « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan) adalah jenis jin yang maradah (paling durhaka), bukan seluruh jenis syaithan.
Kemudian beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
1776 - « إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ الجِنِّ، … »
“Jika pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu Khuzaimah–
Disebutkan pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits Abu Hurairah, dengan lafazh :
(( … وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، … ))
“… dan padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ” [An-Nasa`i] [3])
2. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhish Shalihin berkata :
“Maksud (dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang paling durhaka) di antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat lain. Sementara yang dimaksud dengan Al-Maradah adalah : yaitu para syaithan yang paling besar permusuhan dan kebencianya terhadap anak Adam.” ([4])
Namun ada sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang kami sebutkan di atas, antara lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :
“yang dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit). Tidakkah engkau perhatikan Rasulullah menyebut (( مردة الشياطين ))، (para syaithan yang sangat durhaka) karena bulan Ramadhan adalah waktu turunnya Al-Qur`an ke langit bumi, yang upaya penjagaan (terhadap) Al-Qur’an dilakukan dengan cara bintang-bintang (yang dilemparkan), sebagaimana firman Allah Ta’ala :
(وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ) الصافات: ٧
“dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])
Sehingga dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada bulan Ramadhan, dalam rangka penjagaan yang lebih serius (terhadap Kalamullah). [6])
2. Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu , beliau berkata :
جاء رجل إلى النبي r فقال : يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا إله إلا الله وأنك رسول الله، وصليت الصلوات الخمس، وأديت الزكاة، وصمت رمضان وقمته، فممن أنا؟ قال : (( من الصديقين والشهداء )) [رواه البزار وابن خزيمة وابن]
Seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha Illallah dan bahwa engkau adalah Rasulullah, saya melaksanakan shalat lima waktu, saya menunaikan zakat, dan saya bershaum di bulan Ramadhan dan saya laksanakan shalat (pada malam harinya), maka dari golongan manakah aku?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan Asy-Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])
Dari keterangan di atas, kita tahu bahwa seorang hamba yang menunaikan shaum Ramadhan dan rajin melakukan Qiyamullail (shalat malam) padanya, maka dia akan digolongkan dalam golongan para syuhada` dan shiddiqin.
3. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri :
(( إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة - يعني في رمضان - وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة )) رواه البزار
“Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari adzab An-Nar) pada setiap siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan sesungguhnya setiap muslim memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang dan malam” [Al-Bazzar] [8])
4. Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( احضروا المنبر )) فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : (( آمين ))؛ فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه؟ قال : (( إن جبريل عليه السلام عرض لي، فقال : بعد من أدرك رمضان فلم يغفر له، قلت آمين، فلما رقيت الثانية قال : بعد من ذكرت عنده فلم يصل عليك، فقلت آمين، فلما رقيت الثالثة قال بعد : من أدرك أبويه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة، قلت آمين )) رواه الحاكم وقال صحيح الإسناد
“Hadirlah kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera hadir. Ketika menaiki tangga pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan ketika menaiki tangga kedua beliau mengucapkan “Amin”; begitu pula ketika menaiki tangga ketiga, beliau mengucapkan “Amin”. Ketika beliau telah turun dari mimbar, kami bertanya : “Wahai Rasulullah sungguh kami telah mendengar darimu sesuatu pada hari ini yang belum pernah kami mendengar sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh telah datang kepadaku Jibril, kemudian dia berkata : ‘Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni.’ Maka aku berkata : Amin. Kemudian ketika aku menaiki tangga kedua, Jibril berkata : ‘Celakalah seseorang yang disebutkan namamu di hadapannya namun dia tidak bershalawat untukmu.’ Maka aku pun mengucapkan Amin. Dan ketika aku menaiki tangga ketiga, Jibril berkata : ‘Celakalah seorang yang menemui kedua orang tuanya pada masa tua, atau salah satu di antara keduanya, namun (keberadaan) keduanya tidak mampu memasukkan dia ke dalam Al-Jannah.’ Maka aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim] [9]
Dalam hadits di atas, ada sebuah penekanan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sehingga hendaknya setiap mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Karena apabila dia gagal mendapatkan ampunan di bulan Ramadhan maka dia akan mendapatkan do`a celaka dari malaikat Jibril ‘alaihis salam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah melindungi kita semua.
[1] Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[2] Al-Bukhari 4850, Muslim 2846 dari shahabat Abu Hurairah.
[3] HR. An-Nasa`i 2106. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2106.
[4] Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, hadits no. 1220.
[5] Konteks ayat tersebut adalah sebagai berikut :
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ الصافات: ٦ - ٨
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan bintang-bintang, dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka. Agar syaithan-syaithan itu tidak dapat mencuri-curi dengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari (dengan bintang-bintang tersebut) dari segala penjuru.” [Ash-Shaffat : 6-8]
[6] Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib di bawah hadits no. 999.
[7] Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 361, 749, 1003, 2515,
[8] HR. Al-Bazzar. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 1002
[9] HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahihut Targhib wat Tarhib hadits no. 995 : Shahih li gharihi. Hadits tersebut diriwayatkan pula dari shahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi. Riwayat kedua ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih bab : At-Tarhib min Ifthar Ramadhan (II/378)
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=240, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 ))
(Dikutip dari situs Ma'had As Salafy)
Wajibnya Puasa Ramadhan
1. Barangsiapa berbuat kebajikan dengan kerelaan hati, lebih baik baginya.
Karena keutamaan-keutamaan di atas, maka Allah mewajibkan kaum muslimin (untuk melakukan ibadah) puasa Ramadhan, karena puasa memutuskan jiwa dari syahwatnya dan menghalangi dari apa yang biasa dilakukan. (Puasa Ramadhan) termasuk perkara yang paling sulit, karena itu kewajibannya-pun diundur sampai tahun kedua hijriyah, setelah hati kaum muslimin kokoh dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar-syiar Allah, maka Allah membimbing mereka untuk melakukan puasa dengan bertahap.
Pada awalnya mereka diberikan pilihan untuk berbuka atau puasa serta diberi semangat untuk puasa, karena puasa masih terasa berat bagi para shahabat -semoga Allah meridhai mereka semuanya-. Barangsiapa yang ingin berbuka kemudian membayar fidyah diperbolehkan, Allah berfirman (yang artinya) : “Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya" [Al-Baqarah : 184].
2. Barangsiapa yang Mendapatkan Bulan Ramadhan, Hendaknya Berpuasa
Kemudian turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menghapuskan hukum di atas, hal ini dikhabarkan oleh dua orang sahabat yang mulia : Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu anhuma, keduanya berkata : "Kemudian dihapus oleh ayat :
(yang artinya) : “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" [1] [Al-Baqarah : 185]
Dan dari Ibnu Abi Laila, dia berkata : "Sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami : 'Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan terasa memberatkan mereka (para sahabat), maka barangsiapa yang tidak mampu diperbolehkan meninggalkan puasa dan memberi makan seorang miskin sebagai keringanan bagi mereka, kemudian hukum ini dihapus oleh ayat : "Berpuasa itu labih baik bagi kalian", akhirnya mereka disuruh berpuasa". [Juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Al-Mustakhraj sebagaimana dalam Taghliqut Ta'liq 3/185 dari jalan yang ketiga dengan sanad yang hasan juga].
Sejak itu jadilah puasa salah satu simpanan Islam dan menjadi salah satu rukun agama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
(yang artinya) : “Islam dibangun atas lima perkara : Syahadat an la ilaha illallah wa anna Muhamamad rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan naik haji ke Baitul Haram serta puasa Ramadhan" [Diriwayatkan oleh Bukhari 1/47, Muslim 16 dari Ibnu Umar]
Footnote :
[1] Hadits dari Ibnu Umar dikeluarkan oleh Bukhari 4/188, dan hadits dari Salamah dikeluarkan oleh Bukhari 8/181, Muslim 1145. Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'allaq (8/181 -Fath), dimausulkan oleh Baihaqi dalam Sunan 4/200, sanadnya Hasan.
Diriwayatkan pula -dengan lafadz yang hampir sama namun panjang- oleh Abu Daud no. 507 dari jalan lain dengan sanad yang Hasan sebagai syawahid.
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (mengharap wajah ALLAH) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759, makna "Penuh iman dan Ihtisab' yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, -Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “ Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar" [Hadits Riwayat Muslim 233].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin" Ditanyakan kepadanya : "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya Jibril 'Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...." [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin].
2. Dikabulkannya Do'a dan Pembebasan Api Neraka
Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam dalam bulan Ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan dikabulkan do'anya" [Hadits Riwayat Bazzar 3142, Ahmad 2/254 dari jalan A'mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1643 darinya secara ringkas dari jalan yang lain, haditsnya shahih. Do'a yang dikabulkan itu ketika berbuka, sebagaimana akan datang penjelasannya, lihat Misbahuh Azzujajah no. 60 karya Al-Bushri]
3. Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada
Dari 'Amr bin Murrah Al-Juhani[1] Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Datang seorang pria kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku ?" Beliau menjawab (yang artinya) : “ Termasuk dari shidiqin dan syuhada" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (no.11 zawaidnya) sanadnya Shahih]
Footnote :
[1]. Lihat Al-Ansab 3/394 karya As-Sam'ani, Al-Lubab 1/317 karya Ibnul Atsir
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Karena keutamaan-keutamaan di atas, maka Allah mewajibkan kaum muslimin (untuk melakukan ibadah) puasa Ramadhan, karena puasa memutuskan jiwa dari syahwatnya dan menghalangi dari apa yang biasa dilakukan. (Puasa Ramadhan) termasuk perkara yang paling sulit, karena itu kewajibannya-pun diundur sampai tahun kedua hijriyah, setelah hati kaum muslimin kokoh dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar-syiar Allah, maka Allah membimbing mereka untuk melakukan puasa dengan bertahap.
Pada awalnya mereka diberikan pilihan untuk berbuka atau puasa serta diberi semangat untuk puasa, karena puasa masih terasa berat bagi para shahabat -semoga Allah meridhai mereka semuanya-. Barangsiapa yang ingin berbuka kemudian membayar fidyah diperbolehkan, Allah berfirman (yang artinya) : “Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya" [Al-Baqarah : 184].
2. Barangsiapa yang Mendapatkan Bulan Ramadhan, Hendaknya Berpuasa
Kemudian turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menghapuskan hukum di atas, hal ini dikhabarkan oleh dua orang sahabat yang mulia : Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu anhuma, keduanya berkata : "Kemudian dihapus oleh ayat :
(yang artinya) : “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" [1] [Al-Baqarah : 185]
Dan dari Ibnu Abi Laila, dia berkata : "Sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami : 'Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan terasa memberatkan mereka (para sahabat), maka barangsiapa yang tidak mampu diperbolehkan meninggalkan puasa dan memberi makan seorang miskin sebagai keringanan bagi mereka, kemudian hukum ini dihapus oleh ayat : "Berpuasa itu labih baik bagi kalian", akhirnya mereka disuruh berpuasa". [Juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Al-Mustakhraj sebagaimana dalam Taghliqut Ta'liq 3/185 dari jalan yang ketiga dengan sanad yang hasan juga].
Sejak itu jadilah puasa salah satu simpanan Islam dan menjadi salah satu rukun agama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
(yang artinya) : “Islam dibangun atas lima perkara : Syahadat an la ilaha illallah wa anna Muhamamad rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan naik haji ke Baitul Haram serta puasa Ramadhan" [Diriwayatkan oleh Bukhari 1/47, Muslim 16 dari Ibnu Umar]
Footnote :
[1] Hadits dari Ibnu Umar dikeluarkan oleh Bukhari 4/188, dan hadits dari Salamah dikeluarkan oleh Bukhari 8/181, Muslim 1145. Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'allaq (8/181 -Fath), dimausulkan oleh Baihaqi dalam Sunan 4/200, sanadnya Hasan.
Diriwayatkan pula -dengan lafadz yang hampir sama namun panjang- oleh Abu Daud no. 507 dari jalan lain dengan sanad yang Hasan sebagai syawahid.
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Targhib (Penyemangat) Bagi yang Puasa Ramadhan
1. Pengampunan DosaAllah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (mengharap wajah ALLAH) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759, makna "Penuh iman dan Ihtisab' yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, -Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “ Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar" [Hadits Riwayat Muslim 233].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin" Ditanyakan kepadanya : "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya Jibril 'Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...." [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin].
2. Dikabulkannya Do'a dan Pembebasan Api Neraka
Rasullullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam dalam bulan Ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan dikabulkan do'anya" [Hadits Riwayat Bazzar 3142, Ahmad 2/254 dari jalan A'mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1643 darinya secara ringkas dari jalan yang lain, haditsnya shahih. Do'a yang dikabulkan itu ketika berbuka, sebagaimana akan datang penjelasannya, lihat Misbahuh Azzujajah no. 60 karya Al-Bushri]
3. Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada
Dari 'Amr bin Murrah Al-Juhani[1] Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Datang seorang pria kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku ?" Beliau menjawab (yang artinya) : “ Termasuk dari shidiqin dan syuhada" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (no.11 zawaidnya) sanadnya Shahih]
Footnote :
[1]. Lihat Al-Ansab 3/394 karya As-Sam'ani, Al-Lubab 1/317 karya Ibnul Atsir
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Ancaman bagi yang membatalkan Puasa Ramadhan
Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya) : “ Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian
memegang dhabaya[1], membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata),
keduanya berkata, "Naik". Aku katakan, "Aku tidak mampu". Keduanya
berkata, 'Kami akan memudahkanmu'. Akupun naik hingga sampai ke puncak
gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya,
'Suara apakah ini?'. Mereka berkata, 'Ini adalah teriakan penghuni
neraka'. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat
orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka
rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, 'Siapa
mereka?' Keduanya menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang berbuka
sebelum halal puasa mereka.[2] ." [Riwayat An-Nasa'i dalam Al-Kubra
sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 4/166 dan Ibnu Hibban
(no.1800-zawaidnya) dan Al-Hakim 1/430 dari jalan Abdurrahman bin Yazid
bin Jabir, dari Salim bin 'Amir dari Abu Umamah. Sanadnya shahih].
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa berbuka satu hari saja pada bulan Ramadhan dengan sengaja, tidak akan bisa diganti walau dengan puasa sepanjang zaman kalau dia lakukan"
Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan di bahas di akhir kitab ini.
Footnote:
[1]. Yakni : dua lenganku
[2]. Sebelum tiba waktu berbuka puasa
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa berbuka satu hari saja pada bulan Ramadhan dengan sengaja, tidak akan bisa diganti walau dengan puasa sepanjang zaman kalau dia lakukan"
Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan di bahas di akhir kitab ini.
Footnote:
[1]. Yakni : dua lenganku
[2]. Sebelum tiba waktu berbuka puasa
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)
Amalan di bulan Ramadhan (Adab, Hikmahnya)
Kewajiban, Hikmah, & Adab-adab Puasa Ramadhan
Kewajiban Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah suatu kewajiban yang jelas yang termaktub dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan ijma' kaum muslimin. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya):
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur." (Al-Baqarah:183-185)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah." (Muttafaqun 'alaih dari Ibnu 'Umar)
Sementara itu kaum muslimin bersepakat akan wajibnya puasa Ramadhan. Maka barangsiapa yang mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, berarti dia telah murtad dan kafir, harus disuruh bertaubat. Kalau mau bertaubat dan mau mengakui kewajiban syari'at tadi maka dia itu muslim kembali. Jika tidak, dia harus dibunuh karena kekafirannya.
Puasa Ramadhan diwajibkan mulai pada tahun kedua hijriyyah. Ini berarti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sempat melakukannya selama sembilan kali.
Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang telah 'aqil baligh dan berakal sehat. Maka puasa tidak wajib bagi orang kafir dan tidak akan diterima pahalanya jika ada yang melakukannya sampai dia masuk Islam.
Puasa juga tidak wajib bagi anak kecil sampai dia 'aqil baligh. 'Aqil balighnya ini diketahui ketika dia telah masuk usia 15 tahun atau tumbuh rambut kemaluannya atau keluar air mani (sperma) ketika bermimpi.
Ini bagi anak laki-laki, sementara bagi anak wanita ditandai dengan haidh (menstruasi). Maka jika seorang anak telah mendapati tanda-tanda ini, maka dia telah 'aqil baligh.
Akan tetapi dalam rangka sebagai latihan dan pembiasaan, sebaiknya seorang anak (yang belum baligh –pent) disuruh untuk berpuasa, jika kuat dan tidak membahayakannya.
Puasa juga tidak wajib bagi orang yang kehilangan akal, baik itu karena gila atau penyakit syaraf atau sebab lainnya. Berkenaan dengan inilah jika ada orang yang telah menginjak dewasa namun masih tetap idiot dan tidak berakal sehat, maka tidak wajib baginya berpuasa dan tidak pula menggantinya dengan membayar fidyah.
Hikmah dan Manfaat Puasa
Shaum (puasa) yang disyari'atkan dan difardhukan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya mempunyai hikmah dan manfaat yang banyak sekali. Di antara hikmah puasa adalah bahwasanya puasa itu merupakan ibadah yang bisa digunakan seorang hamba untuk bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan kesenangan-kesenangan dunianya seperti makan, minum dan menggauli istri dalam rangka untuk mendapatkan ridha Rabbnya dan keberuntungan di kampung kemuliaan (yaitu kampung akhirat –pent).
Dengan puasa ini jelas bahwa seorang hamba akan lebih mementingkan kehendak Rabbnya daripada kesenangan-kesenangan pribadinya. Lebih cinta kampung akhirat daripada kehidupan dunia.
Hikmah puasa yang lain adalah bahwa puasa adalah sarana untuk menghadapi derajat takwa apabila seseorang melakukannya dengan sesungguhnya (sesuai dengan syari'at). Allah Ta'ala berfirman (yang artinya):
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183)
Orang yang berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah tujuan agung dari disyari'atkannya puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan, minum dan menggauli istri.
Apabila kita membaca ayat tersebut, maka tentulah kita mengetahui apa hikmah diwajibkannya puasa, yakni takwa dan menghambakan diri kepada Allah.
Adapun takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, dan kata takwa ini ketika dimutlakkan (penggunaannya) maka mengandung makna mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزَّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ عَزَّ وَجَلَّ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ))
"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)
Berdasarkan dalil ini, maka diperintahkan dengan kuat terhadap setiap orang yang berpuasa untuk mengerjakan segala kewajiban, demikian juga menjauhi hal-hal yang diharamkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka tidak boleh mencela, ghibah (menggunjing orang lain), berdusta, mengadu domba antar mereka, menjual barang dagangan yang haram, mendengarkan apa saja yang haram untuk didengarkan seperti lagu-lagu, musik ataupun nasyid, yang itu semuanya dapat melalaikan dari ketaatan kepada Allah, serta menjauhi segala bentuk keharaman lainnya.
Apabila seseorang mengerjakan semuanya itu dalam satu bulan penuh dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah maka itu akan memudahkannya kelak untuk istiqamah di bulan-bulan tersisa lainnya dalam tahun tersebut.
Akan tetapi betapa sedihnya, kebanyakan orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasanya dengan hari berbukanya, mereka tetap menjalani kebiasaan yang biasa mereka lakukan yakni meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman, mereka tidak merasakan keagungan dan kehormatan puasa.
Perbuatan ini memang tidak membatalkan puasa tetapi mengurangi pahalanya, bahkan seringkali perbuatan-perbuatan tersebut merusak pahala puasa sehingga hilanglah pahalanya.
Hikmah puasa yang lainnya adalah seorang kaya akan mengetahui nilai nikmat Allah dengan kekayaannya itu di mana Allah telah memudahkan baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, seperti makan, minum dan menikah serta apa saja yang dibolehkan oleh Allah secara syar'i. Allah telah memudahkan baginya untuk itu. Maka dengan begitu ia akan bersyukur kepada Rabbnya atas karunia nikmat ini dan mengingat saudaranya yang miskin, yang ternyata tidak dimudahkan untuk mendapatkannya. Dengan begitu ia akan berderma kepadanya dalam bentuk shadaqah dan perbuatan yang baik lainnya.
Diantara hikmah puasa juga adalah melatih seseorang untuk menguasai dan berdisiplin dalam mengatur jiwanya. Sehingga ia akan mampu memimpin jiwanya untuk meraih kebahagiaan dan kebaikannya di dunia dan di akhirat serta menjauhi sifat kebinatangan.
Puasa juga mengandung berbagai macam manfaat kesehatan yang direalisasikan dengan mengurangi makan dan mengistirahatkan alat pencernaan pada waktu-waktu tertentu serta mengurangi kolesterol yang jika terlalu banyak akan membahayakan tubuh. Juga manfaat lainnya dari puasa sangat banyak.
Adab-adab Berpuasa
1. Bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah semata, bukan karena riya`, sum'ah, taqlid kepada manusia, mengikuti keluarganya atau penduduk negerinya bahkan wajib baginya bahwa yang membawanya berpuasa adalah keimanannya bahwasanya Allah telah mewajibkan puasa tersebut kepadanya dan mengharap pahala di sisi-Nya dalam melaksanakan puasa tersebut. Demikian juga shalat malam di bulan Ramadhan (shalat tarawih -pent), hendaklah bagi seorang muslim untuk mengerjakannya karena penuh keimanan dan mengharap pahala kepada-Nya, karena inilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala kepada Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang shalat di malam harinya (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu dan barangsiapa yang shalat malam bertepatan dengan datangnya lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu."
2. Termasuk adab terpenting dalam berpuasa adalah membiasakan diri kita bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sesuai dengan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183)
Sesuai pula dengan sabda Nabi:
"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)
3. Menjauhi apa yang diharamkan Allah berupa kebohongan, mencela, mencaci, menipu, khianat, melihat sesuatu yang haram seperti melihat lawan jenisnya yang bukan mahramnya, mendengarkan hal yang haram seperti musik, nyanyian, mendengarkan ghibah, ucapan dusta dan sejenisnya, serta perbuatan haram lainnya yang harus dijauhi oleh orang yang sedang berpuasa dan selainnya, akan tetapi terhadap orang yang puasa lebih dikuatkan perintahnya.
4. Memperbanyak shadaqah, amal kebaikan, berbuat baik kepada orang lain, terutama di bulan Ramadhan. Sungguh Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan tatkala Jibril menjumpainya untuk bertadarrus Al-Qur`an. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1902)
5. Makan sahur dan mengakhirkannya, sesuai sabda Nabi: "Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur ada barakah." (HR. Al-Bukhariy no.1923 dan Muslim no.1095)
6. Berbuka puasa dengan ruthab (kurma yang sudah matang), jika tidak didapatkan boleh dengan tamr (kurma yang belum sampai ruthab), jika itupun tidak diperoleh maka dengan air, menyegerakan berbuka tatkala telah jelas benar tenggelamnya matahari, berdasarkan sabda Nabi: "Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa." (Muttafaqun 'alaih dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idiy)
{Diambil dari kitab Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin, Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu Baz dan lain-lain serta kitab Fataawal 'Aqiidah wa Arkaanil Islaam karya Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin dengan beberapa perubahan}
Wallaahu A'lam.
(Dikutip dari Bulletin Al Wala wal Bara, judul asli Kewajiban, Hikmah, & Adab-adab Puasa Ramadhan, Edisi ke-47 Tahun ke-2 / 15 Oktober 2004 M / 01 Ramadhan 1425 H , url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/47.htm)
Kewajiban Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah suatu kewajiban yang jelas yang termaktub dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan ijma' kaum muslimin. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya):
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur." (Al-Baqarah:183-185)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah." (Muttafaqun 'alaih dari Ibnu 'Umar)
Sementara itu kaum muslimin bersepakat akan wajibnya puasa Ramadhan. Maka barangsiapa yang mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, berarti dia telah murtad dan kafir, harus disuruh bertaubat. Kalau mau bertaubat dan mau mengakui kewajiban syari'at tadi maka dia itu muslim kembali. Jika tidak, dia harus dibunuh karena kekafirannya.
Puasa Ramadhan diwajibkan mulai pada tahun kedua hijriyyah. Ini berarti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sempat melakukannya selama sembilan kali.
Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang telah 'aqil baligh dan berakal sehat. Maka puasa tidak wajib bagi orang kafir dan tidak akan diterima pahalanya jika ada yang melakukannya sampai dia masuk Islam.
Puasa juga tidak wajib bagi anak kecil sampai dia 'aqil baligh. 'Aqil balighnya ini diketahui ketika dia telah masuk usia 15 tahun atau tumbuh rambut kemaluannya atau keluar air mani (sperma) ketika bermimpi.
Ini bagi anak laki-laki, sementara bagi anak wanita ditandai dengan haidh (menstruasi). Maka jika seorang anak telah mendapati tanda-tanda ini, maka dia telah 'aqil baligh.
Akan tetapi dalam rangka sebagai latihan dan pembiasaan, sebaiknya seorang anak (yang belum baligh –pent) disuruh untuk berpuasa, jika kuat dan tidak membahayakannya.
Puasa juga tidak wajib bagi orang yang kehilangan akal, baik itu karena gila atau penyakit syaraf atau sebab lainnya. Berkenaan dengan inilah jika ada orang yang telah menginjak dewasa namun masih tetap idiot dan tidak berakal sehat, maka tidak wajib baginya berpuasa dan tidak pula menggantinya dengan membayar fidyah.
Hikmah dan Manfaat Puasa
Shaum (puasa) yang disyari'atkan dan difardhukan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya mempunyai hikmah dan manfaat yang banyak sekali. Di antara hikmah puasa adalah bahwasanya puasa itu merupakan ibadah yang bisa digunakan seorang hamba untuk bertaqarrub kepada Allah dengan meninggalkan kesenangan-kesenangan dunianya seperti makan, minum dan menggauli istri dalam rangka untuk mendapatkan ridha Rabbnya dan keberuntungan di kampung kemuliaan (yaitu kampung akhirat –pent).
Dengan puasa ini jelas bahwa seorang hamba akan lebih mementingkan kehendak Rabbnya daripada kesenangan-kesenangan pribadinya. Lebih cinta kampung akhirat daripada kehidupan dunia.
Hikmah puasa yang lain adalah bahwa puasa adalah sarana untuk menghadapi derajat takwa apabila seseorang melakukannya dengan sesungguhnya (sesuai dengan syari'at). Allah Ta'ala berfirman (yang artinya):
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183)
Orang yang berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah tujuan agung dari disyari'atkannya puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan, minum dan menggauli istri.
Apabila kita membaca ayat tersebut, maka tentulah kita mengetahui apa hikmah diwajibkannya puasa, yakni takwa dan menghambakan diri kepada Allah.
Adapun takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, dan kata takwa ini ketika dimutlakkan (penggunaannya) maka mengandung makna mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزَّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ عَزَّ وَجَلَّ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ))
"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)
Berdasarkan dalil ini, maka diperintahkan dengan kuat terhadap setiap orang yang berpuasa untuk mengerjakan segala kewajiban, demikian juga menjauhi hal-hal yang diharamkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, maka tidak boleh mencela, ghibah (menggunjing orang lain), berdusta, mengadu domba antar mereka, menjual barang dagangan yang haram, mendengarkan apa saja yang haram untuk didengarkan seperti lagu-lagu, musik ataupun nasyid, yang itu semuanya dapat melalaikan dari ketaatan kepada Allah, serta menjauhi segala bentuk keharaman lainnya.
Apabila seseorang mengerjakan semuanya itu dalam satu bulan penuh dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah maka itu akan memudahkannya kelak untuk istiqamah di bulan-bulan tersisa lainnya dalam tahun tersebut.
Akan tetapi betapa sedihnya, kebanyakan orang yang berpuasa tidak membedakan antara hari puasanya dengan hari berbukanya, mereka tetap menjalani kebiasaan yang biasa mereka lakukan yakni meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan keharaman-keharaman, mereka tidak merasakan keagungan dan kehormatan puasa.
Perbuatan ini memang tidak membatalkan puasa tetapi mengurangi pahalanya, bahkan seringkali perbuatan-perbuatan tersebut merusak pahala puasa sehingga hilanglah pahalanya.
Hikmah puasa yang lainnya adalah seorang kaya akan mengetahui nilai nikmat Allah dengan kekayaannya itu di mana Allah telah memudahkan baginya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, seperti makan, minum dan menikah serta apa saja yang dibolehkan oleh Allah secara syar'i. Allah telah memudahkan baginya untuk itu. Maka dengan begitu ia akan bersyukur kepada Rabbnya atas karunia nikmat ini dan mengingat saudaranya yang miskin, yang ternyata tidak dimudahkan untuk mendapatkannya. Dengan begitu ia akan berderma kepadanya dalam bentuk shadaqah dan perbuatan yang baik lainnya.
Diantara hikmah puasa juga adalah melatih seseorang untuk menguasai dan berdisiplin dalam mengatur jiwanya. Sehingga ia akan mampu memimpin jiwanya untuk meraih kebahagiaan dan kebaikannya di dunia dan di akhirat serta menjauhi sifat kebinatangan.
Puasa juga mengandung berbagai macam manfaat kesehatan yang direalisasikan dengan mengurangi makan dan mengistirahatkan alat pencernaan pada waktu-waktu tertentu serta mengurangi kolesterol yang jika terlalu banyak akan membahayakan tubuh. Juga manfaat lainnya dari puasa sangat banyak.
Adab-adab Berpuasa
1. Bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala kepada Allah semata, bukan karena riya`, sum'ah, taqlid kepada manusia, mengikuti keluarganya atau penduduk negerinya bahkan wajib baginya bahwa yang membawanya berpuasa adalah keimanannya bahwasanya Allah telah mewajibkan puasa tersebut kepadanya dan mengharap pahala di sisi-Nya dalam melaksanakan puasa tersebut. Demikian juga shalat malam di bulan Ramadhan (shalat tarawih -pent), hendaklah bagi seorang muslim untuk mengerjakannya karena penuh keimanan dan mengharap pahala kepada-Nya, karena inilah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala kepada Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu, dan barangsiapa yang shalat di malam harinya (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu dan barangsiapa yang shalat malam bertepatan dengan datangnya lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala kepada-Nya maka diampuni dosanya yang telah lalu."
2. Termasuk adab terpenting dalam berpuasa adalah membiasakan diri kita bertakwa kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sesuai dengan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah:183)
Sesuai pula dengan sabda Nabi:
"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya." (HR. Al-Bukhariy no.1903)
3. Menjauhi apa yang diharamkan Allah berupa kebohongan, mencela, mencaci, menipu, khianat, melihat sesuatu yang haram seperti melihat lawan jenisnya yang bukan mahramnya, mendengarkan hal yang haram seperti musik, nyanyian, mendengarkan ghibah, ucapan dusta dan sejenisnya, serta perbuatan haram lainnya yang harus dijauhi oleh orang yang sedang berpuasa dan selainnya, akan tetapi terhadap orang yang puasa lebih dikuatkan perintahnya.
4. Memperbanyak shadaqah, amal kebaikan, berbuat baik kepada orang lain, terutama di bulan Ramadhan. Sungguh Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, beliau menjadi lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan tatkala Jibril menjumpainya untuk bertadarrus Al-Qur`an. (Lihat HR. Al-Bukhariy no.1902)
5. Makan sahur dan mengakhirkannya, sesuai sabda Nabi: "Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur ada barakah." (HR. Al-Bukhariy no.1923 dan Muslim no.1095)
6. Berbuka puasa dengan ruthab (kurma yang sudah matang), jika tidak didapatkan boleh dengan tamr (kurma yang belum sampai ruthab), jika itupun tidak diperoleh maka dengan air, menyegerakan berbuka tatkala telah jelas benar tenggelamnya matahari, berdasarkan sabda Nabi: "Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa." (Muttafaqun 'alaih dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idiy)
{Diambil dari kitab Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin, Fataawash Shiyaam karya Asy-Syaikh Ibnu Baz dan lain-lain serta kitab Fataawal 'Aqiidah wa Arkaanil Islaam karya Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin dengan beberapa perubahan}
Wallaahu A'lam.
(Dikutip dari Bulletin Al Wala wal Bara, judul asli Kewajiban, Hikmah, & Adab-adab Puasa Ramadhan, Edisi ke-47 Tahun ke-2 / 15 Oktober 2004 M / 01 Ramadhan 1425 H , url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/47.htm)
Puasa di hari yang diragukan
Mendahului Ramadhan dengan bershaum sehari atau dua hari sebelumnya
dengan niat shaum Ramadhan atau dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian)
adalah termasuk larangan dari Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
berdasarkan hadits Abu Hurairah :
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لا تُـقَدِّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَ لاَ يَوْمَيْنِ ]متفق عليه[
Artinya :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata : Janganlah mendahului Ramadhan dengan bershaum sehari atau dua hari (sebelumnya).”Muttafaq ‘alaih ([1])
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
“Maksudnya jangan mendahului Romadhon dengan ash-shaum yang dikerjakan dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dengan niat shaum Ramadhan, karena shaum Romadhon berkaitan dengan ru’yah hilal sehingga tidak memberatkan diri. Sehingga barang siapa mendahului dengan bershaum sehari atau dua hari sebelumnya maka telah melecehkan hukum ini.”([2])
Dan berdasarkan hadits ‘Ammar bin Yasir bahwa beliau berkata :
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِى يُشَكَّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ
Artinya :
“Barang siapa melakukan ash-shaum pada hari yang syak (diragukan padanya), maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam - pen).”([3])
Definisi hari Syak adalah : hari ketiga puluh dari bulan Sya’ban jika pada malam harinya tidak terlihat hilal karena terhalangi oleh mendung, atau kabut, dan yang semisalnya.
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh para Imam yang tiga dan jumhur ulama’. Al-Imam Tirmidzi mengatakan :
“Larangan bershaum di hari syak adalah amalan (pendapat yang di pilih) para ulama dari kalangan shahabat dan tabiin, dan juga pendapat Sufyan Ats Tsauri, Al-Imam An-Nawawi, serta Ishak.”([4])
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (الَّذِى يُشَكَّ فِيهِ) disampaikan dengan kata sambung (اَلَّذِي) dimana maknyanya “yang”, dan tidak karena konteks ini menunjukkan adanya penekanan makna bahwa bershaum pda hari syak (diragukan) walaupun tingkat prosentase keraguannya kecil adalah merupakan penyebab besar jatuhnya seseorang pada penyelisihan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedangkan beliau telah menetapkan berdasarkan hukum Allah sesuai kemampuan umatnya.([5])
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membatasi larangannya sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena kebanyakan orang melakukan shaum secara sengaja pada dua hari ini dalam rangka ihtiyath bukan karena bertepatan dengan kebiasaannya.
Adapun kalangan madzhab Asy-Syaafi’iiyah menetapkan permulaan larangan di mulai dari hari ke-16 bulan Sya’ban atau setelah pertengan bulan Sya’ban. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’ :
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
Artinya :
“Apabila telah masuk pertengahan Sya’ban janganlah kalian melakukan ash-shaum.”[6]
Berkata Al-Hafizh dalam Fathul Bari :
“Jumhur ulama menyatakan bolehnya shiyam sunnah setelah pertengahan bulan Sya’ban dan mereka mendhoifkan hadits di atas. Berkata Al-Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in bahwa hadits ini mungkar, sedangkan Al Baihaqi menghukumi hadits dalam masalah ini sebagai hadits dhoif dan menyatakan bahwa dibolehkannya shiyam setelah nisfi (pertengahan) Sya’ban berdasarkan hadits yang paling shohih dari jalannya Al-Ala’. Demikian pula pendapatnya At-Thohawi.” ([7])
Jumhur Ulama membolehkan ash-shaum di bulan Sya’ban berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
أَنَّهَا قَالَتْ … وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً (متفق عليه)
Artinya :
“Berkata ‘Aisyah :… saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bershaum pada suatu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, beliau pernah bershaum satu bulan penuh pada bulan Sya’ban dan hanya beberapa hari saja yang dilewati.”([8])
Footnote :
[1] HR. Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no.1914 dan Muslim Kitabush Shiyaam hadits no.21 - [1082], Abu Daud Kitabush Shiyaam, hadits no. 2324,2332.
[2] Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no.1914
[3] H.R. Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 10, hadits no. 2331, Al-Bukhari secara muallaq Kitabush Shaum Bab ke-11 dan Al-Imam hadits yang lima secara maushul serta dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 961
[4] Lihat Taudhihul Ahkaam jilid 3 hal. 124.
[5] Taudhihul Ahkam (3/129) (hadits no. 54) secara makna
[6] Dikeluarkan oleh Ashhabussunan (Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 12, hadits no. 2334), dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan selainnya (lihat Taudhihul Ahkaam 3/126), dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam shohih sunan Abi Daud no. 2337, dan shohih sunan Tirmidzi no. 738 dengan lafadh :
إِذَا بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُومُوا
Apabila tersisa setengah bulan Sya’ban maka janganlah melakukan shaum.
namun hadits ini didhoifkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Ahaditsul Mu’allah no. 359, kemudian beliau berkata : “Bila sepintas melihat sanad sanad hadits ini, maka anda akan menghukumi sebagai sanad yang hasan”. Akan tetapi dalam Faidhul Qodir setelah penyebutan riwayat Al-Imam Ahmad dan Ashhabussunan dengan lafadz : ( إِذَا اِنْتَصَفَ شَعْبَانَ )berkata Al-Imam Ahmad : “Riwayat ini tidak mahfudz (syaadz).” Dalam Sunan Al-Baihaqi dari jalan Abu Daud bahwa Al-Imam Ahmad berkata “Hadits ini mungkar”, berkata Ibnu Hajar : “Ibnu Ma’in meninggalkannya”.
Hadits ini juga didha’ifkan oleh : ‘Abdurrahman bin Mahdi, Abu Daud, Al-Khalili, dan selain mereka.
[7] Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no.1914.
[8] Al-Bukhari dengan Fathul Baari, Kitabush Shaum, hadits no. 1970, Muslim hadits no. 1156 , Al-Imam An Nawawi berkata : maksud كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ (beliau pernah bershaum satu bulan penuh pada bulan Sya’ban) adalah kebanyakannya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam banyak bershaum di bulan Sya’ban-peny)
(Dikutip dari tulisan "Hukum Ash-Shaum di Hari Syak (Hari yang Diragukan)". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=228)
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لا تُـقَدِّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَ لاَ يَوْمَيْنِ ]متفق عليه[
Artinya :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata : Janganlah mendahului Ramadhan dengan bershaum sehari atau dua hari (sebelumnya).”Muttafaq ‘alaih ([1])
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
“Maksudnya jangan mendahului Romadhon dengan ash-shaum yang dikerjakan dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dengan niat shaum Ramadhan, karena shaum Romadhon berkaitan dengan ru’yah hilal sehingga tidak memberatkan diri. Sehingga barang siapa mendahului dengan bershaum sehari atau dua hari sebelumnya maka telah melecehkan hukum ini.”([2])
Dan berdasarkan hadits ‘Ammar bin Yasir bahwa beliau berkata :
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِى يُشَكَّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ
Artinya :
“Barang siapa melakukan ash-shaum pada hari yang syak (diragukan padanya), maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam - pen).”([3])
Definisi hari Syak adalah : hari ketiga puluh dari bulan Sya’ban jika pada malam harinya tidak terlihat hilal karena terhalangi oleh mendung, atau kabut, dan yang semisalnya.
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh para Imam yang tiga dan jumhur ulama’. Al-Imam Tirmidzi mengatakan :
“Larangan bershaum di hari syak adalah amalan (pendapat yang di pilih) para ulama dari kalangan shahabat dan tabiin, dan juga pendapat Sufyan Ats Tsauri, Al-Imam An-Nawawi, serta Ishak.”([4])
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (الَّذِى يُشَكَّ فِيهِ) disampaikan dengan kata sambung (اَلَّذِي) dimana maknyanya “yang”, dan tidak karena konteks ini menunjukkan adanya penekanan makna bahwa bershaum pda hari syak (diragukan) walaupun tingkat prosentase keraguannya kecil adalah merupakan penyebab besar jatuhnya seseorang pada penyelisihan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedangkan beliau telah menetapkan berdasarkan hukum Allah sesuai kemampuan umatnya.([5])
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membatasi larangannya sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena kebanyakan orang melakukan shaum secara sengaja pada dua hari ini dalam rangka ihtiyath bukan karena bertepatan dengan kebiasaannya.
Adapun kalangan madzhab Asy-Syaafi’iiyah menetapkan permulaan larangan di mulai dari hari ke-16 bulan Sya’ban atau setelah pertengan bulan Sya’ban. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’ :
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
Artinya :
“Apabila telah masuk pertengahan Sya’ban janganlah kalian melakukan ash-shaum.”[6]
Berkata Al-Hafizh dalam Fathul Bari :
“Jumhur ulama menyatakan bolehnya shiyam sunnah setelah pertengahan bulan Sya’ban dan mereka mendhoifkan hadits di atas. Berkata Al-Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in bahwa hadits ini mungkar, sedangkan Al Baihaqi menghukumi hadits dalam masalah ini sebagai hadits dhoif dan menyatakan bahwa dibolehkannya shiyam setelah nisfi (pertengahan) Sya’ban berdasarkan hadits yang paling shohih dari jalannya Al-Ala’. Demikian pula pendapatnya At-Thohawi.” ([7])
Jumhur Ulama membolehkan ash-shaum di bulan Sya’ban berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
أَنَّهَا قَالَتْ … وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً (متفق عليه)
Artinya :
“Berkata ‘Aisyah :… saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bershaum pada suatu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, beliau pernah bershaum satu bulan penuh pada bulan Sya’ban dan hanya beberapa hari saja yang dilewati.”([8])
Footnote :
[1] HR. Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no.1914 dan Muslim Kitabush Shiyaam hadits no.21 - [1082], Abu Daud Kitabush Shiyaam, hadits no. 2324,2332.
[2] Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no.1914
[3] H.R. Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 10, hadits no. 2331, Al-Bukhari secara muallaq Kitabush Shaum Bab ke-11 dan Al-Imam hadits yang lima secara maushul serta dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 961
[4] Lihat Taudhihul Ahkaam jilid 3 hal. 124.
[5] Taudhihul Ahkam (3/129) (hadits no. 54) secara makna
[6] Dikeluarkan oleh Ashhabussunan (Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 12, hadits no. 2334), dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan selainnya (lihat Taudhihul Ahkaam 3/126), dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam shohih sunan Abi Daud no. 2337, dan shohih sunan Tirmidzi no. 738 dengan lafadh :
إِذَا بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُومُوا
Apabila tersisa setengah bulan Sya’ban maka janganlah melakukan shaum.
namun hadits ini didhoifkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Ahaditsul Mu’allah no. 359, kemudian beliau berkata : “Bila sepintas melihat sanad sanad hadits ini, maka anda akan menghukumi sebagai sanad yang hasan”. Akan tetapi dalam Faidhul Qodir setelah penyebutan riwayat Al-Imam Ahmad dan Ashhabussunan dengan lafadz : ( إِذَا اِنْتَصَفَ شَعْبَانَ )berkata Al-Imam Ahmad : “Riwayat ini tidak mahfudz (syaadz).” Dalam Sunan Al-Baihaqi dari jalan Abu Daud bahwa Al-Imam Ahmad berkata “Hadits ini mungkar”, berkata Ibnu Hajar : “Ibnu Ma’in meninggalkannya”.
Hadits ini juga didha’ifkan oleh : ‘Abdurrahman bin Mahdi, Abu Daud, Al-Khalili, dan selain mereka.
[7] Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no.1914.
[8] Al-Bukhari dengan Fathul Baari, Kitabush Shaum, hadits no. 1970, Muslim hadits no. 1156 , Al-Imam An Nawawi berkata : maksud كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ (beliau pernah bershaum satu bulan penuh pada bulan Sya’ban) adalah kebanyakannya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam banyak bershaum di bulan Sya’ban-peny)
(Dikutip dari tulisan "Hukum Ash-Shaum di Hari Syak (Hari yang Diragukan)". Url sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=228)
Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa
Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum
muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang
menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun
ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak
dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
... يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي ...
“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu 'anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc, judul asli Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa. URL sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298)
Sekarang kami akan mulai menerangkan hukum-hukum tersebut tanpa taklid kepada seorangpun mengambil dari Al Quranul Adzim, hadits-hadist yang shahih dan hasan dari Sunnah yang suci dan pemahaman salafus shalih, imam yang empat dan orang sebelum mereka dari kalangan shahabat dan tabi'in. Cukuplah ini bagimu sebagai dalil.
Kami juga telah memilih pendapat-pendapat madzhab fiqih yang paling cocok dengan dalil serta ijtihad mereka yang paling adil.
(Dilanjutkan dalam Bab-Bab lainnya, red).
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
... يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي ...
“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu 'anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc, judul asli Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa. URL sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298)
Hukum-hukum Dalam Puasa Ramadhan
Ketahuilah wahai hamba ALLAH - mudah-mudahan ALLAH mengajarimu dan
mengajariku - bahwasanya ada pahala yang amat besar, kebaikan yang
merata, yang tidak bisa menghitungnya kecuali ALLAH, tidak akan didapat
kecuali oleh orang yang menunaikan puasa Ramadhan sesuai dengan
tuntunan dan sunnah penutup para Nabi Shalallahu 'alaihi Wassalam,
yakni dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban yang
besar di bulan yang diberkahi ini.Sekarang kami akan mulai menerangkan hukum-hukum tersebut tanpa taklid kepada seorangpun mengambil dari Al Quranul Adzim, hadits-hadist yang shahih dan hasan dari Sunnah yang suci dan pemahaman salafus shalih, imam yang empat dan orang sebelum mereka dari kalangan shahabat dan tabi'in. Cukuplah ini bagimu sebagai dalil.
Kami juga telah memilih pendapat-pendapat madzhab fiqih yang paling cocok dengan dalil serta ijtihad mereka yang paling adil.
(Dilanjutkan dalam Bab-Bab lainnya, red).
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Mengawali dan mengakhiri Bulan Ramadhan
Menjelang Bulan Ramadhan
1. Menghitung hari bulan Sya’ban
Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Puasalah kalian karena melihat hilal (bulan baru, red) dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).
Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080))
Dari Adi bin Hatim Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.” (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).
2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak [yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed]
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda : “Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah.” (HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam, barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim.” (Yaitu, hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, ed). (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686), Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.
3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim.”
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Menjelang Bulan Ramadhan", penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia )
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih]
Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an-anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya].
Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid'ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya) : “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa" [Hadits Riwayat Muslim 1154].
Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147]
Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta'ala a'lam
2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari'at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha'). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari'at yang telah ditetapkan : "Kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at.
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia berkata) (yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135]
Dan dari Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu, ia berkata (yang artinya) : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura" [Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135].
Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.
3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa' tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau bersabda : "Apakah kalian puasa pada hari ini ?" sebagian mereka menjawab : "Ya" dan sebagian yang lainnya menjawab : "Tidak" (Kemduian) beliau bersabda : "Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini". Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka" [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya'bi darinya, dengan sanad yang Shahih]
Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas'ud [Hadits Riwayat Muslim 1127] : "Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura".
Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent)
Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a'lam.
Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
1. Wajibnya puasa Asyura
2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan
3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut, maka tidak wajib mengqadha'
Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a'lam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata : "Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : "Kalian puasa hari ini?" Mereka menjawab, "Tidak" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha'lah kalian".
Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu :
1. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.Adz-Dzahabi berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567 : "(Dia) tidak dikenal" Al-Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239 : "Keduanya majhul". Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta'dil 5/288, tidak disebutkan padanya Jarh atau Ta'dil.
2. Ada 'an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
1. Menghitung hari bulan Sya’ban
Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Puasalah kalian karena melihat hilal (bulan baru, red) dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).
Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.” (HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080))
Dari Adi bin Hatim Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : “Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.” (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).
2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak [yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed]
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda : “Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah.” (HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam, barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim.” (Yaitu, hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, ed). (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686), Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.
3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim.”
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Menjelang Bulan Ramadhan", penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia )
Niat dalam berpuasa wajib di bulan Ramadhan
1. Wajibnya Niat Puasa Wajib Sebelum Terbit FajarJika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih]
Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an-anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya].
Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid'ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya) : “Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa" [Hadits Riwayat Muslim 1154].
Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147]
Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta'ala a'lam
2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari'at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha'). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari'at yang telah ditetapkan : "Kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at.
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia berkata) (yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135]
Dan dari Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu, ia berkata (yang artinya) : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura" [Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135].
Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.
3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa' tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau bersabda : "Apakah kalian puasa pada hari ini ?" sebagian mereka menjawab : "Ya" dan sebagian yang lainnya menjawab : "Tidak" (Kemduian) beliau bersabda : "Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini". Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka" [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya'bi darinya, dengan sanad yang Shahih]
Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas'ud [Hadits Riwayat Muslim 1127] : "Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura".
Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent)
Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a'lam.
Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
1. Wajibnya puasa Asyura
2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan
3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut, maka tidak wajib mengqadha'
Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a'lam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata : "Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : "Kalian puasa hari ini?" Mereka menjawab, "Tidak" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha'lah kalian".
Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu :
1. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.Adz-Dzahabi berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567 : "(Dia) tidak dikenal" Al-Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239 : "Keduanya majhul". Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta'dil 5/288, tidak disebutkan padanya Jarh atau Ta'dil.
2. Ada 'an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Waktu Berpuasa dan yang berkaitan tentangnya
Pada awalnya, para sahabat Nabiyul Ummi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam jika berpuasa dan hadir waktu berbuka mereka makan serta
menjima'i isterinya selama belum tidur. Namun jika seseorang dari
mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka), dia tidak
boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara di atas.
Kemudian Allah dengan keluasan rahmat-Nya memberikan rukhshah (keringanan) hingga orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur. Hal ini diterangkan dengan rinci dalam hadits berikut.
Dari Barra' bin Azib Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Dahulu sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam jika salah seorang diantara mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore hari lagi. Sungguh Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi isterinya kemudian berkata : "Apakah engkau punya makanan ?" Isterinya menjawab : "Tidak, namun aku akan pergi mencarikan untukmu" Dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk dan tertidur, ketika isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun berkata " Khaibah"[1] untukmu" . Ketika pertengahan hari diapun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga turunlah ayat ini, (yang artinya) : “Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur (berjima') dengan isteri-isterimu" [Al-Baqarah : 187]
Dan turun pula firman Allah (yang artinya) : “Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar" [Al-Baqarah : 187] [Hadits Riwayat Bukhari 4/911].
Inilah rahmat Rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata : "Kami mendengar dan kami taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami kembali" (yakni) dengan memberikan batasan waktu puasa : dimulainya puasa dan waktu berakhirnya. (puasa) dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.
1. Benang Putih dan Benang Hitam
Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabi Shalallalahu 'alaihi wa sallam sengaja mengambil iqal (tali) hitam dan putih [2] kemudian mereka letakkan di bawah bantal-bantal mereka, atau mereka ikatkan di kaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua iqal tersebut (yakni dapat membedakan antara yang putih dari yang hitam-pent).
Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu berkata : Ketika turun ayat (yang artinya) : “Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar" [Al-Baqarah : 187]. Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Beliaupun bersabda "Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang" [3].
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Ketika turun ayat "Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam". Ada seorang pria jika ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan ayat : "(Karena) terbitnya fajar" , mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang. [Hadits Riwayat Bukhari 4/114 dan Muslim 1091]
Setelah penjelasan Qur'ani, sungguh telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabatnya batasan (untuk membedakan) serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.
Bagi Allah-lah mutiara penyair
Tidak benar sedikitpun dalam akal jikalau
siang butuh bukti.
2. Fajar ada dua
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu ada dua.
Fajar kadzib : Tidak dibolehkan ketika itu shalat shubuh dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
Fajar shadiq : Yang mengharamkan makan bagi yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat shubuh.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Fajar itu ada dua : Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut" [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/210, Al-Hakim 1/191 dan 495, Daruquthni 2/165, Baihaqi 4/261 dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha dari Ibnu Abbas, Sanadnya SHAHIH. Juga ada syahid dari Jabir, diriwayatkan oleh Hakim 1/191, Baihaqi 4/215, Daruquthni 2/165, Diikhtilafkan maushil atau mursal, dan syahid dari Tsauban, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/27]
Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :
1. Fajar Kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
2. Fajar Shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar dan tampak di atas puncak bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.
Dari Samurah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas sampai melintang" [Hadits Riwayat Muslim 1094]
Dari Thalq bin Ali, (bahwasanya) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke atas. Makan dan minumlah sampai warna merang membentang" [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/76, Abu Daud 2/304, Ahmad 4/66, Ibnu Khuzaimah 3/211 dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya, sanadnya Shahih. Abdullah bin Nu'man dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Hibban dan Al-Ajali. Ibnu Khuzaimah tidak tahu keadilannya. Ibnu Hajar berkata Maqbul!!].
Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq untuk mentaati Rabbmu- bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan dengan ayat yang mulia.
(yang artinya) : “Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar"
Karena cahaya fajar jika membentang di ufuk atas lembah dan gunung-ghunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di atasnya benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi menghilang.
Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan berjima'. Kalau di tanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang, karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa. Minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya" [Hadits Riwayat Abu Daud 235, Ibnu Jarir 3115. Al-Hakim 1/426, Al-Baihaqi 2/218, Ahmad 3/423 dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amir dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, sanadnya HASAN. Ada jalan lain diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Hakim 1/203,205 dari jalan Hammad dari Amr bin Abi Amaran dari Abu Hurairah, sanadnya shahih].
Yang dimaksud adzan dalam hadits di atas adalah adzan subuh yang kedua karena telah terbitnya Fajar Shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir At-Thabari 2/102 dan selain keduanya setelah hadits di atas.
(yang artinya) : “Dahulu seorang muadzin melakukan adzan ketika terbit fajar" [Riwayat tambahan ini membatalkan ta'liq Syaikh Habiburrahman Al-Adhami Al-Hanafi terhadap Mushannaf Abdur Razaq 4/173 ketika berkata : "Ini dimungkinkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya muadzin adzan sebelum terbit fajar!!" Walhamdulillahi wahdah].
Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu.
"Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata : 'Boleh aku meminumnya ya Rasulullah ?' Rasulullah bersabda : "Ya' minumlah" [Hadits Riwayat Ibnu Jarir 2/102 dari dua jalan dari Abu Umamah]
Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit Fajar Shadiq dengan dalih hati-hati adalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata dalam Al-Fath 4/199 : "Termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa, mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ikhtiyath (hati-hati) dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan mereka- mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur hingga menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak tersebar kejahatan pada mereka. Allahul musta'an".
Kami katakan : Bid'ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini. Kepada Allah-lah kita mengadu.
3. Menyempurnakan puasa hingga malam
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah barat dan matahari telah terbenam bebukalah orang yang puasa.
Dari Umar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan terbenam matahari, telah berbukalah orang yang puasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/171, Muslim 1100. Perkataannya : "Telah berbuka orang yang puasa" yakni dari sisi hukum bukan kenyataan karena telah masuk puasa].
Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada. Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika orang itu berkata : "Matahari telah terbenam", beliaupun berbuka [Hadits Riwayat Al-Hakim 1/434, Ibnu Khuzaimah 2061, di SHAHIH kan oleh Al-Hakim menurut syarat Bukhari-Muslim. Perkataan Aufa : Yakni naik atau melihat.]
Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi pada sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.
Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu 'anhu : "Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu safar (perjalanan), ketika itu kami sedang berpuasa (di bulan Ramadhan). Ketika terbenam matahari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada sebagian kaum : "Wahai Fulan (dalam riwayat Abu Daud : Wahai Bilal) berdirilah, ambilkan kami air". Orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, kalau engkau tunggu hingga sore", dalam riwayat lain : matahari). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Turun, ambilkan air". Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda, "Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas onta, yakni matahari". Kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat lain : berisyarat dengan tangannya) (Dalam riwayat Bukhari- Muslim : berisyarat dengan telunjuknya ke arah kiblat) kemudian berkata : "Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa". [Hadits Riwayat Bukhari 4/199, Muslim 1101, Ahmad 4/381, Abu Daud 2352. Tambahan pertama dalam riwayat Muslim 1101. Tambahan kedua dalam riwayat Abdur Razaq 4/226. Perkataan beliau : "Ambilkan segelas air" yakni : siapkan untuk kami minuman dan makanan. Ashal Jadh : (mengaduk) menggerakkan tepung atau susu dengan air dengan menggunakan tongkat (kayu)]
Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Said Al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. [Diriwayatkan oleh Bukhari dengan mu'allaq 4/196 dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 3/12 dan Siad bin Manshur sebagaimana dalam Al-Fath 4/196, Umdatul Qari 9/130, lihat Taghliqut Ta'liq 3/195]
Peringatan :
Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru atau berpegangan dengan penanggalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga menjadi sebab sedikitnya kebaikan pada mereka [Barangsiapa yang ingin tambahan penjelasan dan rincian yang baik akan dia temukan dalam kitab : Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/126-202, Al-Majmu' Syarhul Muhadzab 6/279 karya Imam Nawawi, Talkhisul Kabir 2/187-188 karya Ibnu Hajar] Wallahu a'alam.
Peringatan Kedua :
Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun !! Hingga mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka menentang petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar'i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib. Camkanlah ini dan pahamilah.!
--------------------------------------------------------------------------------
Footnote :
1. Dari Al-Khaibah yaitu yang diharamkan, dikatakan khoba yakhibu jika tidak mendapat permintaannya mencapai tujuannya.
2. Iqal yaitu tali yang dipakai untuk mengikat unta, Mashabih 2/422
3. Hadits Riwayat Bukhari 4/113 dan Muslim 1090, dhahir ayat ini bahwa Adi dulunya hadirs ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tetapi tidak demikian, karena diwajibkannya puasa tahun kedua dari hijrah, Adi masuk Islam tahun sembilan atau kesepuluh, adapun tafsir Adi ketika turun : yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku, inilah yang rajih sebagaimana riwayat Ahmad 4/377 : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari shalat dan puasa, beliau berkata : "Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam matahari makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan putih....hadits" Al-Fathul 4/132-133 dengan perubahan.
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" [Al-Baqarah : 183].
Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima') setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka karena dihapus hukum tersebut [Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut : Zadul Masir 1/184 oleh Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil 'Adhim 1/213-214 oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.
Dari Amr bin 'Ash Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur" [Hadits Riwayat Muslim 1096]
2. Keutamaannya
a. Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama'ah, Ats-Tsarid dan makan Sahur" [Hadits riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu'aim dalam Dzikru Akhbar AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata : "Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat (dipercaya, red). Hadits ini mempunyai syahid (saksi penguat, red)dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam'i watafriq 1/203, sanadnya hasan]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran" [Hadits Riwayat As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami'us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223, sepertinya ia belum menemukan sanadnya.!!]
Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Aku masuk menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda (yang artinya) : "Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih].
Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.
Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda 'Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur". [Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia menegaskan hadits dari Syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudallis taswiyah ?! Maka hadits ini shahih].
b. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo'a kepada Allah agar mema'afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur" [Telah lewat takhrijnya].
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma" [Hadits Riwayat Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya SHAHIH].
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (yang artinya) : "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air" [Telah lewat Takhrijnya]
3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu.
"Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau shalat" Aku tanyakan (kata Anas), "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?" Zaid menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an" [Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238 : "Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal) : kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau Radhiyallahu 'anhu bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur Al-Qur'an". Sekian dengan sedikit perubahan]
Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima' selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya'nuhu mema'afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.
4. Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya - dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu" [Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya'la 3/438, Al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.]
Dan beliau bersabda (yang artinya) : "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah" [Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas].
Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang artinya) : "Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur" [Telah lewat Takhrijnya]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya) : "Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur" [Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatkan yang lain]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air" [Hadits Riwayat Abu Ya'la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada 'an-anah Qatadah. Hadits Hasan].
Saya katakan : Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
1. Perintahnya.
2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab
3. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas.
Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu 'alam.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Kemudian Allah dengan keluasan rahmat-Nya memberikan rukhshah (keringanan) hingga orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur. Hal ini diterangkan dengan rinci dalam hadits berikut.
Dari Barra' bin Azib Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Dahulu sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam jika salah seorang diantara mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore hari lagi. Sungguh Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi isterinya kemudian berkata : "Apakah engkau punya makanan ?" Isterinya menjawab : "Tidak, namun aku akan pergi mencarikan untukmu" Dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk dan tertidur, ketika isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun berkata " Khaibah"[1] untukmu" . Ketika pertengahan hari diapun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga turunlah ayat ini, (yang artinya) : “Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur (berjima') dengan isteri-isterimu" [Al-Baqarah : 187]
Dan turun pula firman Allah (yang artinya) : “Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar" [Al-Baqarah : 187] [Hadits Riwayat Bukhari 4/911].
Inilah rahmat Rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata : "Kami mendengar dan kami taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami kembali" (yakni) dengan memberikan batasan waktu puasa : dimulainya puasa dan waktu berakhirnya. (puasa) dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.
1. Benang Putih dan Benang Hitam
Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabi Shalallalahu 'alaihi wa sallam sengaja mengambil iqal (tali) hitam dan putih [2] kemudian mereka letakkan di bawah bantal-bantal mereka, atau mereka ikatkan di kaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua iqal tersebut (yakni dapat membedakan antara yang putih dari yang hitam-pent).
Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu berkata : Ketika turun ayat (yang artinya) : “Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar" [Al-Baqarah : 187]. Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Beliaupun bersabda "Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang" [3].
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Ketika turun ayat "Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam". Ada seorang pria jika ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan ayat : "(Karena) terbitnya fajar" , mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang. [Hadits Riwayat Bukhari 4/114 dan Muslim 1091]
Setelah penjelasan Qur'ani, sungguh telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sahabatnya batasan (untuk membedakan) serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.
Bagi Allah-lah mutiara penyair
Tidak benar sedikitpun dalam akal jikalau
siang butuh bukti.
2. Fajar ada dua
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu ada dua.
Fajar kadzib : Tidak dibolehkan ketika itu shalat shubuh dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
Fajar shadiq : Yang mengharamkan makan bagi yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat shubuh.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Fajar itu ada dua : Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut" [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/210, Al-Hakim 1/191 dan 495, Daruquthni 2/165, Baihaqi 4/261 dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha dari Ibnu Abbas, Sanadnya SHAHIH. Juga ada syahid dari Jabir, diriwayatkan oleh Hakim 1/191, Baihaqi 4/215, Daruquthni 2/165, Diikhtilafkan maushil atau mursal, dan syahid dari Tsauban, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/27]
Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :
1. Fajar Kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
2. Fajar Shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar dan tampak di atas puncak bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.
Dari Samurah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas sampai melintang" [Hadits Riwayat Muslim 1094]
Dari Thalq bin Ali, (bahwasanya) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke atas. Makan dan minumlah sampai warna merang membentang" [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/76, Abu Daud 2/304, Ahmad 4/66, Ibnu Khuzaimah 3/211 dari jalan Abdullah bin Nu'man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya, sanadnya Shahih. Abdullah bin Nu'man dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma'in, Ibnu Hibban dan Al-Ajali. Ibnu Khuzaimah tidak tahu keadilannya. Ibnu Hajar berkata Maqbul!!].
Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq untuk mentaati Rabbmu- bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan dengan ayat yang mulia.
(yang artinya) : “Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar"
Karena cahaya fajar jika membentang di ufuk atas lembah dan gunung-ghunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di atasnya benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi menghilang.
Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan berjima'. Kalau di tanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang, karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa. Minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya" [Hadits Riwayat Abu Daud 235, Ibnu Jarir 3115. Al-Hakim 1/426, Al-Baihaqi 2/218, Ahmad 3/423 dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amir dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, sanadnya HASAN. Ada jalan lain diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Hakim 1/203,205 dari jalan Hammad dari Amr bin Abi Amaran dari Abu Hurairah, sanadnya shahih].
Yang dimaksud adzan dalam hadits di atas adalah adzan subuh yang kedua karena telah terbitnya Fajar Shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir At-Thabari 2/102 dan selain keduanya setelah hadits di atas.
(yang artinya) : “Dahulu seorang muadzin melakukan adzan ketika terbit fajar" [Riwayat tambahan ini membatalkan ta'liq Syaikh Habiburrahman Al-Adhami Al-Hanafi terhadap Mushannaf Abdur Razaq 4/173 ketika berkata : "Ini dimungkinkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya muadzin adzan sebelum terbit fajar!!" Walhamdulillahi wahdah].
Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah Radhiyallahu 'anhu.
"Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata : 'Boleh aku meminumnya ya Rasulullah ?' Rasulullah bersabda : "Ya' minumlah" [Hadits Riwayat Ibnu Jarir 2/102 dari dua jalan dari Abu Umamah]
Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit Fajar Shadiq dengan dalih hati-hati adalah perbuatan bid'ah yang diada-adakan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata dalam Al-Fath 4/199 : "Termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa, mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ikhtiyath (hati-hati) dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan mereka- mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur hingga menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak tersebar kejahatan pada mereka. Allahul musta'an".
Kami katakan : Bid'ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini. Kepada Allah-lah kita mengadu.
3. Menyempurnakan puasa hingga malam
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah barat dan matahari telah terbenam bebukalah orang yang puasa.
Dari Umar Radhiyallahu 'anhu, ia berkata Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan terbenam matahari, telah berbukalah orang yang puasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/171, Muslim 1100. Perkataannya : "Telah berbuka orang yang puasa" yakni dari sisi hukum bukan kenyataan karena telah masuk puasa].
Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada. Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika orang itu berkata : "Matahari telah terbenam", beliaupun berbuka [Hadits Riwayat Al-Hakim 1/434, Ibnu Khuzaimah 2061, di SHAHIH kan oleh Al-Hakim menurut syarat Bukhari-Muslim. Perkataan Aufa : Yakni naik atau melihat.]
Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi pada sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.
Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu 'anhu : "Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu safar (perjalanan), ketika itu kami sedang berpuasa (di bulan Ramadhan). Ketika terbenam matahari, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada sebagian kaum : "Wahai Fulan (dalam riwayat Abu Daud : Wahai Bilal) berdirilah, ambilkan kami air". Orang itu berkata, "Wahai Rasulullah, kalau engkau tunggu hingga sore", dalam riwayat lain : matahari). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Turun, ambilkan air". Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda, "Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas onta, yakni matahari". Kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat lain : berisyarat dengan tangannya) (Dalam riwayat Bukhari- Muslim : berisyarat dengan telunjuknya ke arah kiblat) kemudian berkata : "Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa". [Hadits Riwayat Bukhari 4/199, Muslim 1101, Ahmad 4/381, Abu Daud 2352. Tambahan pertama dalam riwayat Muslim 1101. Tambahan kedua dalam riwayat Abdur Razaq 4/226. Perkataan beliau : "Ambilkan segelas air" yakni : siapkan untuk kami minuman dan makanan. Ashal Jadh : (mengaduk) menggerakkan tepung atau susu dengan air dengan menggunakan tongkat (kayu)]
Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Said Al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. [Diriwayatkan oleh Bukhari dengan mu'allaq 4/196 dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 3/12 dan Siad bin Manshur sebagaimana dalam Al-Fath 4/196, Umdatul Qari 9/130, lihat Taghliqut Ta'liq 3/195]
Peringatan :
Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru atau berpegangan dengan penanggalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga menjadi sebab sedikitnya kebaikan pada mereka [Barangsiapa yang ingin tambahan penjelasan dan rincian yang baik akan dia temukan dalam kitab : Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/126-202, Al-Majmu' Syarhul Muhadzab 6/279 karya Imam Nawawi, Talkhisul Kabir 2/187-188 karya Ibnu Hajar] Wallahu a'alam.
Peringatan Kedua :
Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun !! Hingga mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka menentang petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar'i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah wajib. Camkanlah ini dan pahamilah.!
--------------------------------------------------------------------------------
Footnote :
1. Dari Al-Khaibah yaitu yang diharamkan, dikatakan khoba yakhibu jika tidak mendapat permintaannya mencapai tujuannya.
2. Iqal yaitu tali yang dipakai untuk mengikat unta, Mashabih 2/422
3. Hadits Riwayat Bukhari 4/113 dan Muslim 1090, dhahir ayat ini bahwa Adi dulunya hadirs ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tetapi tidak demikian, karena diwajibkannya puasa tahun kedua dari hijrah, Adi masuk Islam tahun sembilan atau kesepuluh, adapun tafsir Adi ketika turun : yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku, inilah yang rajih sebagaimana riwayat Ahmad 4/377 : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari shalat dan puasa, beliau berkata : "Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam matahari makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan putih....hadits" Al-Fathul 4/132-133 dengan perubahan.
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Sahur dalam Puasa di Bulan Ramadhan
1. Hikmah SahurAllah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" [Al-Baqarah : 183].
Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima') setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka karena dihapus hukum tersebut [Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut : Zadul Masir 1/184 oleh Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil 'Adhim 1/213-214 oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.
Dari Amr bin 'Ash Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur" [Hadits Riwayat Muslim 1096]
2. Keutamaannya
a. Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama'ah, Ats-Tsarid dan makan Sahur" [Hadits riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu'aim dalam Dzikru Akhbar AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata : "Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat (dipercaya, red). Hadits ini mempunyai syahid (saksi penguat, red)dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam'i watafriq 1/203, sanadnya hasan]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran" [Hadits Riwayat As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami'us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223, sepertinya ia belum menemukan sanadnya.!!]
Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : Aku masuk menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda (yang artinya) : "Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih].
Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.
Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda 'Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur". [Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia menegaskan hadits dari Syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudallis taswiyah ?! Maka hadits ini shahih].
b. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo'a kepada Allah agar mema'afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur" [Telah lewat takhrijnya].
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma" [Hadits Riwayat Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya SHAHIH].
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. (yang artinya) : "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air" [Telah lewat Takhrijnya]
3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu.
"Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau shalat" Aku tanyakan (kata Anas), "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?" Zaid menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an" [Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238 : "Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal) : kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau Radhiyallahu 'anhu bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur Al-Qur'an". Sekian dengan sedikit perubahan]
Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima' selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya'nuhu mema'afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.
4. Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya - dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu" [Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya'la 3/438, Al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.]
Dan beliau bersabda (yang artinya) : "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah" [Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas].
Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang artinya) : "Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur" [Telah lewat Takhrijnya]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya) : "Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur" [Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatkan yang lain]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air" [Hadits Riwayat Abu Ya'la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada 'an-anah Qatadah. Hadits Hasan].
Saya katakan : Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
1. Perintahnya.
2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab
3. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas.
Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu 'alam.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Sahur dan yang berkaitan dengannya
1. Awal Mula Disyari’atkannya Makan Sahur
Al-Imam Al-Bukhari memberikan bab tersendiri dalam kitab Shahihnya :
“Bab Firman Allah ta’ala :
( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ) البقرة: ١٨٧
Artinya :
“Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan). Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa sebelumnya tidak bisa menahan nafsu, karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kalian. Maka sekarang gauilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” [Al-Baqarah : 187]
Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan maksud dari bab tersebut, yaitu dalam rangka menjelaskan keadaan kaum muslimin (para shahabat) pada saat nuzul (turun)nya ayat di atas. Bahwa dari sebab nuzul ayat ini diketahui tentang permulaan disyari’atkannya sahur. Al-Imam Al-Bukhari menjadikan bab ini sebagai bab permulaan untuk bab-bab berikutnya yang menjelaskan tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan makan sahur. ([1](
Kemudian Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits Al-Barra‘ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata :
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ - وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتَهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : ( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ) فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد )
[رواه البخاري رقم : 1915؛ وأبو داود رقم : 2314].
Arinya :
“Dahulu para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka bershaum kemudian tertidur sebelum sempat berbuka maka dia tidak boleh makan dan minum pada malam tersebut dan siang hari berikutnya hingga datang waktu berbuka lagi. Ketika suatu hari seorang shahabat (bernama) Qois bin Shirmah Al-Anshari bershaum, tatkala tiba waktu berbuka, dia datang kepada istrinya seraya berkata : “Apakah kamu punya makanan?” Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu.”. Padahal dia (Qais) telah bekerja keras sepanjang siang, sehingga (sambil menunggu istrinya datang) akhirnya ia tertidur lelap. Kemudian sang istri datang. Ketika ia melihat sang suami tertidur ia pun berkata : “Sungguh telah rugi engkau!”
Akhirnya pada pertengahan siang berikutnya Qais pun jatuh pingsan. Kemudian peristiwa ini dikabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Lalu turunlah ayat :
( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ) البقرة: ١٨٧
Artinya :
“Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan)”
Maka para shahabat pun sangat berbahagia dengan turunnya ayat tersebut. Lalu turun juga ayat berikutnya :
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد ) البقرة: ١٨٧
Artinya;” Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” ([2])
Dari hadits ini terdapat keterangan tentang kondisi permulaan ketika diwajibkannya shiyam, yaitu apabila ada diantara mereka yang tertidur sebelum ifthar maka tidak boleh baginya makan dan minum sepanjang malam tersebut sampai datang waktu ifthar di hari berikutnya. Demikian pula cara shaum Ahlul Kitab, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari As-Suddi v dan selainnya dari kalangan ahli tafsir, dengan lafazh :
كُتِبَ عَلَى النَّصَارَى الصِّيَامُ، وَكُتِبَ عَلَيْهِمْ أَنْ لاَ يَأْكُلُوا وَلاَ يَشْرَبُوا وَلاَ يَنْكِحُوا بَعْدَ النَّوْمِ، وَكُتِبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَوَّلاً مِثْلُ ذَلِكَ حَتَّى أَقْبَلَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ، فَذَكَرَ الْقِصَّةَ .
“Telah diwajibkan kepada kaum Nashara bershaum, dan bahwa tidak boleh bagi mereka untuk makan, minum, dan senggama setelah tertidur. Diwajibkan atas kaum muslimin pada mulanya seperti itu, sampai terjadi peristiwa yang menimpa seorang pria dari Anshar.”
Kemudian beliau menyebutkan kisahnya.
disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar melalui jalur riwayat Ibrahim At-Taimi dengan lafazh :
كَانَ المُسْلِمُونَ فِي أَوَّلِ الإِسْلاَمِ يَفْعَلُونَ كَمَا يَفْعَلُ أَهْلُ الكِتَابِ : إِذَا نَامَ أَحَدُهُمْ لَمْ يَطْعَمْ حَتَّى القَابِلَةِ
Artinya :
“Kaum Muslimin pada permulaan Islam melakukan shaum seperti cara yang dilakukan oleh Ahlul Kitab, yaitu apabila seorang di antara mereka tertidur (sebelum berbuka) maka tidak boleh makan hingga tiba (waktu berbuka) keesokan harinya.”
Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat ‘Amr bin Al-‘Ash secara marfu‘ :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ اْلكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ (رواه مسلم )
Artinya :
“Pembeda antara shaumnya kita dengan shaum Ahlul Kitab adalah makan sahur.” [3]); [4])
Para shahabat sangat bergembira dengan turunnya ayat 187 surat Al-Baqarah tersebut. Mereka paham dari kandungan ayat tersebut bahwa apabila jima‘ ( َالرَّفَثُ ) dihalalkan berarti makan dan minum tentunya lebih dihalalkan.
Kemudian turun lanjutan ayat berikutnya : ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا…) yang secara nash (konteks zhahir) dari ayat ini semakin menegaskan dihalalkannya makan dan minum pada malam hari Ramadhan. Ini semua adalah dari rahmat Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya.
[1] Fathul Baari Bab Firman Allah subhanahu wa ta’ala : أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلَى نِسَائِكُمْ hadits no.1915
[2]. Al-Bukhari hadits no. 1915.
[3]. Muslim hadits no. 46 - [1096]
[4]. Fathul Bari syarh hadits no. 1915.
(URL sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=243 , judul asli Awal Mula Disyari’atkannya Makan Sahur)
2. Batas Akhir Makan Sahur dan Waktu Mulai Bershaum, Bid'ahnya Imsyak
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ) البقرة: ١٨٧
“Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitamg, yaitu waktu fajar.” [Al-Baqarah : 187]
Al-Imam Al-Bukhari membawakan bab khusus untuk ayat ini (( وَكـُلـُوا وَاشْرَبُوا …)) dalam rangka menerangkan batas akhir dibolehkannya makan sahur dan dimulainya ash-shaum. Kemudian beliau menyebutkan hadits Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
لَمَّا نَزَلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ ) عَمَدْتُ إلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإلَى عِقَالٍ أبْيَضَ فَجَعَلْتُهَا تَحْتَ وِسَادَتِي فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلَ فَلاَ يَسْتَبِيْنَ لِي فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ r فَذَكَرْتُ لَهُ، فَقَالَ : (( إنَّمَا ذلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ )).
Artinya :
“Ketika turunnya ayat (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ) saya mencari tali hitam dan tali putih, saya letakkan di bawah bantal, kemudian saya mengamatinya di malam hari dan tidak nampak. Keesokan harinya saya menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan saya ceritakan kepadanya, kemudian beliau berkata : Yang dimaksud dengannya adalah gelapnya malam dan terangnya siang.” )[1](
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan maksud ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’ dengan kegelapan malam dan cahaya siang, tidak seperti yang disangka oleh Adi bin Hatim dan beberapa shahabat lainya. Hal ini terjadi karena nuzul (turunnya) ayat ( مِنَ اْلفَجْرِ) tidak bersamaan dengan ayat ((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا melainkan turun sesudahnya. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu:
أُنْزِلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ ) ، وَلَمْ يَنْزِلْ (( مِنَ اْلفَجْرِ))، فَكَانَ رِجَالٌ إذا أرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ اْلخَيْطَ اْلأبْيَضَ وَالخَيْطَ الأسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لهُ رُؤْيَـتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدُ (مِنَ الْفَجْرِ ) ، فَعَلِمُوا أنَّهُ إنَّمَا يَعْنِي الليْلَ وَ النـَّهَارَ.
Artinya :
“Ketika turun ayat ((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ ..)) dan belum turun potongan ayat selanjutnya ((مِنَ اْلفـَجْرِ)), dahulu para shahabat jika ingin bershaum maka salah seorang diantara mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya dan melanjutkan makan sampai jelas perbedaan antara keduanya, kemudian Allah subhanu wata’ala menurunkan ((مِنَ اْلفـَجْرِ)) sehingga mereka faham bahwa yang dimaksud dengannya adalah cahaya siang dan kegelapan malam.”([2])
Atas dasar ini jelaslah permulaan waktu shaum, yaitu dimulai sejak munculnya fajar yang kedua atau fajar shadiq. Karena fajar itu ada dua macam :
1. Fajar kadzib, yaitu fajar yang cahayanya naik (vertikal) seperti ekor serigala. Dengan fajar ini belum masuk waktu shalat Subuh, dan masih diperbolehkan makan dan minum. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ : فَأَمَّا اْلفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ السَّرْحَانِ فَلاَ تَحِلُّ الصَّلاَةُ فِيْهِ وِلاَ يُحْرَمُ الـَّطعَامُ، وَأَمَّا اَّلذِي يَذْهَبُ مُسْتَطِيْلاً فِي اْلأُفُقِ فَإنَّهُ تُحِلُّ الصَّلاَةُ وَ يُحْرَمُ الـَّطعَامُ ( رواه الحاكم )
Artinya :
“Fajar ada dua macam (pertama), fajar yang bentuknya seperti ekor serigala maka belum dibolehkan dengannya shalat (subuh) dan masih dibolehkan makan. Dan (kedua) fajar yang membentang di ufuk timur adalah fajar yang dibolehkan di dalamnya shalat (subuh) dan diharamkan makan (sahur).” HR. Al-Hakim ([3])
2. Fajar shadiq, yaitu fajar yang cahayanya memanjang ( mendatar ). Sebagaimana terdapat dalam hadits Samuroh bin Jundub dan selainnya yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim secara marfu‘ dengan lafadz :
لاَ يَغُرَّنكمْ أحَدَكمْ نِدَاءُ بِلاَلٍ مِنَ السَّحُوْرِ وَلاَ هذا البَيَاضُ حَتَّى يَسْتطِيْرَ.
وفي رواية : هُوَ المُعْتـَرِضُ وَليْسَ بالمُسْتَطِيلِ
Artinya :
“Janganlah adzannya Bilal mencegah kalian dari sahur dan tidak pula cahaya putih ini sampai mendatar (horisontal). Dalam riwayat yang lain : yaitu cahaya yang mendatar bukan yang menjulang ke atas.”( [4])
Oleh karena itu seharusnya bagi kaum muslimin untuk menghidupkan sunah Rasullah shalallahu ‘alaihi wasallam berupa mengangkat dua orang muadzin, dan adzan subuh dua kali, untuk membantu ketika hendak melakukan ibadah ash-shaum dan shalat serta yang berkaitan dengan keduanya. Demikianlah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiAllahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, beliau mengatakan :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقولُ : (( إنَّ بلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أذَانَ ابْنِ أمِّ مَكْتومٍ ))
artinya :
“Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum.” ([5])
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur periwayatan Aisyah radhiallahu ‘anha dengan lafazh :
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لاَيُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ
Artinya :
“Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan karena dia tidak mengumandangkannya kecuali jika telah terbit fajar.”( [6])
Bid’ahnya Imsak
Atas dasar ini maka kebiasaan menahan makan dan minum sebelum terbitnya fajar kedua, yang dikenal dengan waktu imsak, adalah bid’ah yang munkar yang harus ditinggalkan dan diingkari oleh kaum muslimin.
Imsak sudah diingkari oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar seorang ‘ulama besar dari kalangan Syafi’iyyah. Beliau mengatakan :
“Termasuk dalam bid’ah yang munkar adalah apa yang telah terjadi pada masa ini (masanya Al-Hafizh Ibnu Hajar-pen) berupa mengumandangkan adzan subuh dan mematikan lampu dua puluh menit sebelum fajar kedua pada bulan Romadhon yang dijadikan sebagai tanda berhentnya makan dan minum bagi orang yang akan shaum dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dalam beribadah. Kebid’ahan ini tidaklah diketahui kecuali oleh segelintir orang dari kalangan kaum muslimin. Bahkan mereka tidak mengumandangkan adzan mahgrib kecuali setelah terbenamnya matahari dengan derajat tertentu untuk memantapkan waktu ifthor (berbuka). Sehingga dengan kebiasaan mengakhirkan ifthor dan menyegerakan sahur ini, mereka telah menyelisihi sunnah, yang berakibat sedikitnya kebaikan dan banyaknya kejelekan pada ummat ini.” ([7])
[1]. Al-Bukhari hadist no. 1917
[2] Al-Bukhari (hadits no. 1917, Muslim (hadits no. 35-1901
[3] Mustadrok Al-Hakim no. 691.
Asy-Syaikh Muqbil tidak mengomentarri kedua riwayat ini dalam kitab beliau Tatabbu’ Awhamil Hakim, sedangkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah mengatakan : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/210), Al-Hakim (1/191, 395), Ad-Daruquthni (2/125), dan Baihaqi (4/261) dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas … Ibnu Khuzaimah berkata tidak ada yang memarfu‘kan hadits ini di dunia selain Abu Ahmad Az-Zubairi. Al-Hakim berkata sanadnya shahih dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Al-Baiahaqi menganggap hadits ini memiliki penyakit karena selain Abu Az-Zubair meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri secara maukuf dan dia berkata yng lebih tepat adalah mauquf . Saya (Al-Albani -peny) berkata Abu Ahmad Az-Zubairi -namanya adalah Muhammad bin Abdillah Az-Zubair - keadaannya adalah tsiqoh akan tetapi mereka (Ahlul Hadits- peny) menyatakan bahwa riwayatnya dari Ats-Tsauri ada kesalahan akan tetapi hadits ini memiliki syawahid yang banyak yang menunjukkan keshohihannya, diantaranya dari Jabir yang dikeluarkan Al-Hakim (1/191), Baihaqi (4/215), dan Al-Hakim menshohihkannya yang disepakati oleh Adz-Dzahabi … .
[4] Muslim (hadits no. 1093
[5] Muslim (hadits no. 37-1092.
[6] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918, 1919
[7] Fathul Baari jilid 4 hal. 199 hadist no. 1957
(URL Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=244, judul asli Batas Akhir Makan Sahur dan Waktu Mulai Bershaum)
3. Mengakhirkan Sahur dan Jarak Waktu antara Sahur dengan Shalat
Termasuk dalam sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur, berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari beliau. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan kebanyakan kaum muslimin yang mendahulukan waktu sahur jauh dari fajar shadiq. Hal ini bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih, di antaranya riwayat yang dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونَ سُرْعَتِي أنْ أدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللهِ r
Artinya :
“Saya pernah makan sahur bersama keluarga saya, kemudian saya bersegera untuk mendapatkan sujud bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam .”([1])
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha berkata :
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِي r ثُمَّ قَامَ إلى الصَّلاةِ.
قُلْتُ : كمْ كانَ بَيْنَ الأذانِ وَالسَّحُورِ قال قَدْرَ خَمْسِيْنَ آيَــة
“Kami makan sahur bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh.
Saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya : berapa jarak antara adzan dengan sahur ? Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha menjawab : kurang lebih selama bacaan lima puluh ayat.”([2])
Waktu Terakhir untuk Makan Sahur
Waktu terakhir untuk makan sahur telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu dengan terbit dan jelasnya fajar shadiq, sebagaimana firman Allah I :
)وَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكمُ الخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الفـَجْرِ(
Artinya :
“Silakan kalian makan dan minum sampai nampak dengan jelas cahaya fajar.” Q.S. Al-Baqarah : 187
Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anha, berkata :
إنَّ بلاَلاَ كَانَ يُؤَذنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ rكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لا يُؤَذنُ حَتَّى يَطلُعَ الفَجْرُ )رواه البخاري(
Aartinya :
“Sesungguhnya Bilal beradzan pada waktu malam hari, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Silakan kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum beradzan, sesungghnya dia tidak beradzan kecuali setelah terbit fajar.” ( [3])
Sebagian ‘ulama membolehkan makan dan minum walaupun sudah terdengar adzan apabila makanan masih ada di tangannya, berdalil dengan hadits Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
إِذَا سَمِعَ أحَدُكمُ النِّدَاءَ وَالإنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقضِيَ حَاجَتهُ مِِنْهُ )رواه أبو داود والحاكم(
Artinya :
“Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan sementara bejana masih ada di tangannya maka janganlah menaruhnya sampai dia menyelesaikan hajatnya dari bejana itu.” (H.R. Abu Daud dan Al-Hakim) ([4])
Sebagian pihak menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur shahabat, namun mayoritas riwayatnya tidaklah shahih atau tidak sah. Kalaupun ada yang sah, namun tidak secara terang atau jelas bahwa mereka berpendapat dengan pendapat tersebut. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hampir-hampir para fuqoha’ berijma’ (sepakat) dengan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang dinisbatkan kepada jumhur shahabat di atas.
Seandainya hadits di atas shahih, maka ada beberapa kemungkinan makna yang dimaksud dengan hadits ini :
1. Bahwa hadits ini memberikan rukhshoh bagi orang yang kondisinya seperti tersebut bukan untuk semua orang, sehingga tidak boleh diqiyaskan dengan kondisi tersebut diatas .
2. Bahwa adzan yang dimaksud diatas adalah adzan yang terjadi sebelum fajar, hal ini semakna dengan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 25 hal.216.
[1] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 18 hadits no : 1920
[2] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 21 hadits no. 1921 Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 47-[1097]
[3] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918,1919, Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 36-[1092], 37-[1093].
[4] Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Silsilatul Ahaditsish Shahihah no. 1394. Namun Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi v menyatakan hadits ini ada kelemahannya dalam kitabnya Tatabbu’ Auhamil Hakim hadits no. 732, 743, dan 1552.
(URL Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=249, judul asli Mengakhirkan Sahur dan Jarak Waktu antara Sahur dengan Shalat)
4. Menyelisihi Ahlul Kitab dengan Sahur
Di antara perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada umat ini adalah agar mereka membedakan diri dengan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik, baik dalam perkara ibadah ataupun akhlak.
Allah subhananu wa ta’ala mewajibkan kepada kaum muslimin ash-shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelumnya, sebagaimana dalam ayat :
)يأيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا كتِبَ عَلَيْكمُ الصِّيَامَ كمَا كتِبَ عَلى الذِيْنَ مِنْ قَبْلِكمْ لعَلكمْ تَتَّقونَ( )سورة البقرة :183(
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”
Namun ada beberapa perkara dalam ash-shaum yang kita diperintahkan untuk membedakan diri dengan Ahlul Kitab, antara lain :
1. As-Sahur, Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan dalam sebuah hadits dari shahabat ‘Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ اْلكِتابِ أَكْلَة السَّحَرِ )رواه مسلم(
Artinya :
“Pembeda antara shaumnya kita dengan shaumnya ahlul kitab adanya makan sahur.” ([2])
2. Bolehnya makan dan minum serta jima’ walaupun tertidur sebelum melakukan ifthor (berbuka). Sementara dalam shaumnya Ahlul Kitab bahwa barang siapa yang tertidur sebelum sempat berifthor maka dilarang baginya makan dan minum pada malam itu sampai keesokan harinya, sebagaimana telah disebutkan pada pembehasan sebelumnya.
3. Menyegerakan ber-ifthor (berbuka) sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, bahwasannya Rasulloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الفِطْرَ لأََِنَّ اليَهُودَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ )رواه أبو داود و ابن حبان و ابن خزيمة وابن ماجه و الحاكم(
artinya :
“Akan terus Islam ini jaya selama kaum muslimin masih menyegerakan berbuka (if-thor), karena sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashoro selalu menundanya.”(H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzimah, dan Al-hakim)([3])
Perlu kita ketahui bahwa makan sahur adalah sesuatu yang disunnahkan dan terdapat padanya barakah yang banyak sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً )متفق عليه(
Artinya :
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur ada barokah.” H.R. Al-Bukhari Muslim([4])
Diantara barokah yang dikandung pada makan sahur adalah :
1. Ittiba’ As-Sunnah (mengikuti jejak sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam),
2. Membedakan diri dengan Ahlul Kitab,
3. Memperkuat diri dalam ibadah,
4. Mencegah timbulnya akhlak yang jelek seperti marah dan lainnya dikarenakan rasa lapar,
5. Membantu seseorang untuk bangun malam dalam rangka berdzikir, berdo’a serta shalat di waktu yang mustajab,
6. Membantu seseorang untuk niat shaum bagi yang lupa berniat sebelum tidur.
Disimpulkan oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id bahwa barokah-barokah tersebut ada yang bersifat kebaikan duniawi dan ada yang bersifat kebaikan ukhrawi([5]).
[1] Sahur (السحور) dalam bahasa Arab memiliki dua bacaan dengan huruf as-siin yang difathah (السَحور)bermakna makanan yang digunakan untuk makan sahur, dan dengan didhommah (السُحور) bermakna perbuatan makan sahur itu sendiri (lihat Syarh Shohih Muslim Kitab Ash-shiyam Bab. 9 (hadits no. 45-[1095]).
[2] Muslim KitabushShiyaam bab 9 hadits no. 46-[1096]
[3] Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Daud no. 2353 dan Shohih Targhib no. 1075, dan Syaikh Muqbil tidak memberikan komentar terhadap hadits ini (lihat Tatabbu’ Awhamil Hakim hadits no. 1574).
[4] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923 dan Muslim Kitabush Shiyaam bab 9 hadits no. 45-[1095], An Nasai hadis no : 2146 -2150, Ibnu Majah no : 1692
[5] Lihat Fathul Baari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923.
(URL Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=248, judul asli Menyelisihi Ahlul Kitab dengan Sahur)
Al-Imam Al-Bukhari memberikan bab tersendiri dalam kitab Shahihnya :
“Bab Firman Allah ta’ala :
( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ) البقرة: ١٨٧
Artinya :
“Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan). Mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa sebelumnya tidak bisa menahan nafsu, karena itu Allah mengampuni dan memaafkan kalian. Maka sekarang gauilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” [Al-Baqarah : 187]
Al-Hafizh Ibnu Hajar menerangkan maksud dari bab tersebut, yaitu dalam rangka menjelaskan keadaan kaum muslimin (para shahabat) pada saat nuzul (turun)nya ayat di atas. Bahwa dari sebab nuzul ayat ini diketahui tentang permulaan disyari’atkannya sahur. Al-Imam Al-Bukhari menjadikan bab ini sebagai bab permulaan untuk bab-bab berikutnya yang menjelaskan tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan makan sahur. ([1](
Kemudian Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits Al-Barra‘ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata :
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ - وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتَهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ، فَذُكِرَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : ( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ) فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد )
[رواه البخاري رقم : 1915؛ وأبو داود رقم : 2314].
Arinya :
“Dahulu para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka bershaum kemudian tertidur sebelum sempat berbuka maka dia tidak boleh makan dan minum pada malam tersebut dan siang hari berikutnya hingga datang waktu berbuka lagi. Ketika suatu hari seorang shahabat (bernama) Qois bin Shirmah Al-Anshari bershaum, tatkala tiba waktu berbuka, dia datang kepada istrinya seraya berkata : “Apakah kamu punya makanan?” Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu.”. Padahal dia (Qais) telah bekerja keras sepanjang siang, sehingga (sambil menunggu istrinya datang) akhirnya ia tertidur lelap. Kemudian sang istri datang. Ketika ia melihat sang suami tertidur ia pun berkata : “Sungguh telah rugi engkau!”
Akhirnya pada pertengahan siang berikutnya Qais pun jatuh pingsan. Kemudian peristiwa ini dikabarkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Lalu turunlah ayat :
( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ) البقرة: ١٨٧
Artinya :
“Dihalalkan bagi kalian berjima’dengan istri-istri kalian di malam hari bulan shaum (Ramadhan)”
Maka para shahabat pun sangat berbahagia dengan turunnya ayat tersebut. Lalu turun juga ayat berikutnya :
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَد ) البقرة: ١٨٧
Artinya;” Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” ([2])
Dari hadits ini terdapat keterangan tentang kondisi permulaan ketika diwajibkannya shiyam, yaitu apabila ada diantara mereka yang tertidur sebelum ifthar maka tidak boleh baginya makan dan minum sepanjang malam tersebut sampai datang waktu ifthar di hari berikutnya. Demikian pula cara shaum Ahlul Kitab, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah atsar yang diriwayatkan dari As-Suddi v dan selainnya dari kalangan ahli tafsir, dengan lafazh :
كُتِبَ عَلَى النَّصَارَى الصِّيَامُ، وَكُتِبَ عَلَيْهِمْ أَنْ لاَ يَأْكُلُوا وَلاَ يَشْرَبُوا وَلاَ يَنْكِحُوا بَعْدَ النَّوْمِ، وَكُتِبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَوَّلاً مِثْلُ ذَلِكَ حَتَّى أَقْبَلَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ، فَذَكَرَ الْقِصَّةَ .
“Telah diwajibkan kepada kaum Nashara bershaum, dan bahwa tidak boleh bagi mereka untuk makan, minum, dan senggama setelah tertidur. Diwajibkan atas kaum muslimin pada mulanya seperti itu, sampai terjadi peristiwa yang menimpa seorang pria dari Anshar.”
Kemudian beliau menyebutkan kisahnya.
disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar melalui jalur riwayat Ibrahim At-Taimi dengan lafazh :
كَانَ المُسْلِمُونَ فِي أَوَّلِ الإِسْلاَمِ يَفْعَلُونَ كَمَا يَفْعَلُ أَهْلُ الكِتَابِ : إِذَا نَامَ أَحَدُهُمْ لَمْ يَطْعَمْ حَتَّى القَابِلَةِ
Artinya :
“Kaum Muslimin pada permulaan Islam melakukan shaum seperti cara yang dilakukan oleh Ahlul Kitab, yaitu apabila seorang di antara mereka tertidur (sebelum berbuka) maka tidak boleh makan hingga tiba (waktu berbuka) keesokan harinya.”
Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat ‘Amr bin Al-‘Ash secara marfu‘ :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ اْلكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ (رواه مسلم )
Artinya :
“Pembeda antara shaumnya kita dengan shaum Ahlul Kitab adalah makan sahur.” [3]); [4])
Para shahabat sangat bergembira dengan turunnya ayat 187 surat Al-Baqarah tersebut. Mereka paham dari kandungan ayat tersebut bahwa apabila jima‘ ( َالرَّفَثُ ) dihalalkan berarti makan dan minum tentunya lebih dihalalkan.
Kemudian turun lanjutan ayat berikutnya : ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا…) yang secara nash (konteks zhahir) dari ayat ini semakin menegaskan dihalalkannya makan dan minum pada malam hari Ramadhan. Ini semua adalah dari rahmat Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-Nya.
[1] Fathul Baari Bab Firman Allah subhanahu wa ta’ala : أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَا مِ الرَّفَثُ اِلَى نِسَائِكُمْ hadits no.1915
[2]. Al-Bukhari hadits no. 1915.
[3]. Muslim hadits no. 46 - [1096]
[4]. Fathul Bari syarh hadits no. 1915.
(URL sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=243 , judul asli Awal Mula Disyari’atkannya Makan Sahur)
2. Batas Akhir Makan Sahur dan Waktu Mulai Bershaum, Bid'ahnya Imsyak
Allah subhanahu wata’ala berfirman :
( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ) البقرة: ١٨٧
“Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitamg, yaitu waktu fajar.” [Al-Baqarah : 187]
Al-Imam Al-Bukhari membawakan bab khusus untuk ayat ini (( وَكـُلـُوا وَاشْرَبُوا …)) dalam rangka menerangkan batas akhir dibolehkannya makan sahur dan dimulainya ash-shaum. Kemudian beliau menyebutkan hadits Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
لَمَّا نَزَلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ ) عَمَدْتُ إلَى عِقَالٍ أَسْوَدَ وَإلَى عِقَالٍ أبْيَضَ فَجَعَلْتُهَا تَحْتَ وِسَادَتِي فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ فِي اللَّيْلَ فَلاَ يَسْتَبِيْنَ لِي فَغَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ r فَذَكَرْتُ لَهُ، فَقَالَ : (( إنَّمَا ذلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ )).
Artinya :
“Ketika turunnya ayat (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ) saya mencari tali hitam dan tali putih, saya letakkan di bawah bantal, kemudian saya mengamatinya di malam hari dan tidak nampak. Keesokan harinya saya menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan saya ceritakan kepadanya, kemudian beliau berkata : Yang dimaksud dengannya adalah gelapnya malam dan terangnya siang.” )[1](
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan maksud ‘benang putih’ dan ‘benang hitam’ dengan kegelapan malam dan cahaya siang, tidak seperti yang disangka oleh Adi bin Hatim dan beberapa shahabat lainya. Hal ini terjadi karena nuzul (turunnya) ayat ( مِنَ اْلفَجْرِ) tidak bersamaan dengan ayat ((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا melainkan turun sesudahnya. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu:
أُنْزِلَتْ ( وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ ) ، وَلَمْ يَنْزِلْ (( مِنَ اْلفَجْرِ))، فَكَانَ رِجَالٌ إذا أرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ اْلخَيْطَ اْلأبْيَضَ وَالخَيْطَ الأسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لهُ رُؤْيَـتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدُ (مِنَ الْفَجْرِ ) ، فَعَلِمُوا أنَّهُ إنَّمَا يَعْنِي الليْلَ وَ النـَّهَارَ.
Artinya :
“Ketika turun ayat ((وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلأَسْوَدِ ..)) dan belum turun potongan ayat selanjutnya ((مِنَ اْلفـَجْرِ)), dahulu para shahabat jika ingin bershaum maka salah seorang diantara mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya dan melanjutkan makan sampai jelas perbedaan antara keduanya, kemudian Allah subhanu wata’ala menurunkan ((مِنَ اْلفـَجْرِ)) sehingga mereka faham bahwa yang dimaksud dengannya adalah cahaya siang dan kegelapan malam.”([2])
Atas dasar ini jelaslah permulaan waktu shaum, yaitu dimulai sejak munculnya fajar yang kedua atau fajar shadiq. Karena fajar itu ada dua macam :
1. Fajar kadzib, yaitu fajar yang cahayanya naik (vertikal) seperti ekor serigala. Dengan fajar ini belum masuk waktu shalat Subuh, dan masih diperbolehkan makan dan minum. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ : فَأَمَّا اْلفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ السَّرْحَانِ فَلاَ تَحِلُّ الصَّلاَةُ فِيْهِ وِلاَ يُحْرَمُ الـَّطعَامُ، وَأَمَّا اَّلذِي يَذْهَبُ مُسْتَطِيْلاً فِي اْلأُفُقِ فَإنَّهُ تُحِلُّ الصَّلاَةُ وَ يُحْرَمُ الـَّطعَامُ ( رواه الحاكم )
Artinya :
“Fajar ada dua macam (pertama), fajar yang bentuknya seperti ekor serigala maka belum dibolehkan dengannya shalat (subuh) dan masih dibolehkan makan. Dan (kedua) fajar yang membentang di ufuk timur adalah fajar yang dibolehkan di dalamnya shalat (subuh) dan diharamkan makan (sahur).” HR. Al-Hakim ([3])
2. Fajar shadiq, yaitu fajar yang cahayanya memanjang ( mendatar ). Sebagaimana terdapat dalam hadits Samuroh bin Jundub dan selainnya yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim secara marfu‘ dengan lafadz :
لاَ يَغُرَّنكمْ أحَدَكمْ نِدَاءُ بِلاَلٍ مِنَ السَّحُوْرِ وَلاَ هذا البَيَاضُ حَتَّى يَسْتطِيْرَ.
وفي رواية : هُوَ المُعْتـَرِضُ وَليْسَ بالمُسْتَطِيلِ
Artinya :
“Janganlah adzannya Bilal mencegah kalian dari sahur dan tidak pula cahaya putih ini sampai mendatar (horisontal). Dalam riwayat yang lain : yaitu cahaya yang mendatar bukan yang menjulang ke atas.”( [4])
Oleh karena itu seharusnya bagi kaum muslimin untuk menghidupkan sunah Rasullah shalallahu ‘alaihi wasallam berupa mengangkat dua orang muadzin, dan adzan subuh dua kali, untuk membantu ketika hendak melakukan ibadah ash-shaum dan shalat serta yang berkaitan dengan keduanya. Demikianlah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiAllahu ‘anhuma diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, beliau mengatakan :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقولُ : (( إنَّ بلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أذَانَ ابْنِ أمِّ مَكْتومٍ ))
artinya :
“Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum.” ([5])
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur periwayatan Aisyah radhiallahu ‘anha dengan lafazh :
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لاَيُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الفَجْرُ
Artinya :
“Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan karena dia tidak mengumandangkannya kecuali jika telah terbit fajar.”( [6])
Bid’ahnya Imsak
Atas dasar ini maka kebiasaan menahan makan dan minum sebelum terbitnya fajar kedua, yang dikenal dengan waktu imsak, adalah bid’ah yang munkar yang harus ditinggalkan dan diingkari oleh kaum muslimin.
Imsak sudah diingkari oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar seorang ‘ulama besar dari kalangan Syafi’iyyah. Beliau mengatakan :
“Termasuk dalam bid’ah yang munkar adalah apa yang telah terjadi pada masa ini (masanya Al-Hafizh Ibnu Hajar-pen) berupa mengumandangkan adzan subuh dan mematikan lampu dua puluh menit sebelum fajar kedua pada bulan Romadhon yang dijadikan sebagai tanda berhentnya makan dan minum bagi orang yang akan shaum dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dalam beribadah. Kebid’ahan ini tidaklah diketahui kecuali oleh segelintir orang dari kalangan kaum muslimin. Bahkan mereka tidak mengumandangkan adzan mahgrib kecuali setelah terbenamnya matahari dengan derajat tertentu untuk memantapkan waktu ifthor (berbuka). Sehingga dengan kebiasaan mengakhirkan ifthor dan menyegerakan sahur ini, mereka telah menyelisihi sunnah, yang berakibat sedikitnya kebaikan dan banyaknya kejelekan pada ummat ini.” ([7])
[1]. Al-Bukhari hadist no. 1917
[2] Al-Bukhari (hadits no. 1917, Muslim (hadits no. 35-1901
[3] Mustadrok Al-Hakim no. 691.
Asy-Syaikh Muqbil tidak mengomentarri kedua riwayat ini dalam kitab beliau Tatabbu’ Awhamil Hakim, sedangkanAsy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah mengatakan : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/210), Al-Hakim (1/191, 395), Ad-Daruquthni (2/125), dan Baihaqi (4/261) dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas … Ibnu Khuzaimah berkata tidak ada yang memarfu‘kan hadits ini di dunia selain Abu Ahmad Az-Zubairi. Al-Hakim berkata sanadnya shahih dan disetujui oleh Adz-Dzahabi. Al-Baiahaqi menganggap hadits ini memiliki penyakit karena selain Abu Az-Zubair meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri secara maukuf dan dia berkata yng lebih tepat adalah mauquf . Saya (Al-Albani -peny) berkata Abu Ahmad Az-Zubairi -namanya adalah Muhammad bin Abdillah Az-Zubair - keadaannya adalah tsiqoh akan tetapi mereka (Ahlul Hadits- peny) menyatakan bahwa riwayatnya dari Ats-Tsauri ada kesalahan akan tetapi hadits ini memiliki syawahid yang banyak yang menunjukkan keshohihannya, diantaranya dari Jabir yang dikeluarkan Al-Hakim (1/191), Baihaqi (4/215), dan Al-Hakim menshohihkannya yang disepakati oleh Adz-Dzahabi … .
[4] Muslim (hadits no. 1093
[5] Muslim (hadits no. 37-1092.
[6] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918, 1919
[7] Fathul Baari jilid 4 hal. 199 hadist no. 1957
(URL Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=244, judul asli Batas Akhir Makan Sahur dan Waktu Mulai Bershaum)
3. Mengakhirkan Sahur dan Jarak Waktu antara Sahur dengan Shalat
Termasuk dalam sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur, berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari beliau. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan kebanyakan kaum muslimin yang mendahulukan waktu sahur jauh dari fajar shadiq. Hal ini bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih, di antaranya riwayat yang dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ تَكُونَ سُرْعَتِي أنْ أدْرِكَ السُّجُودَ مَعَ رَسُولِ اللهِ r
Artinya :
“Saya pernah makan sahur bersama keluarga saya, kemudian saya bersegera untuk mendapatkan sujud bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam .”([1])
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha berkata :
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِي r ثُمَّ قَامَ إلى الصَّلاةِ.
قُلْتُ : كمْ كانَ بَيْنَ الأذانِ وَالسَّحُورِ قال قَدْرَ خَمْسِيْنَ آيَــة
“Kami makan sahur bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh.
Saya (Anas bin Malik) bertanya kepadanya : berapa jarak antara adzan dengan sahur ? Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anha menjawab : kurang lebih selama bacaan lima puluh ayat.”([2])
Waktu Terakhir untuk Makan Sahur
Waktu terakhir untuk makan sahur telah ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu dengan terbit dan jelasnya fajar shadiq, sebagaimana firman Allah I :
)وَكلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكمُ الخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الفـَجْرِ(
Artinya :
“Silakan kalian makan dan minum sampai nampak dengan jelas cahaya fajar.” Q.S. Al-Baqarah : 187
Sebagaimana pula dalam hadits ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anha, berkata :
إنَّ بلاَلاَ كَانَ يُؤَذنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ rكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذنَ اِبْنُ أمِّ مَكتُومٍ فَإنَّهُ لا يُؤَذنُ حَتَّى يَطلُعَ الفَجْرُ )رواه البخاري(
Aartinya :
“Sesungguhnya Bilal beradzan pada waktu malam hari, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : ‘Silakan kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum beradzan, sesungghnya dia tidak beradzan kecuali setelah terbit fajar.” ( [3])
Sebagian ‘ulama membolehkan makan dan minum walaupun sudah terdengar adzan apabila makanan masih ada di tangannya, berdalil dengan hadits Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
إِذَا سَمِعَ أحَدُكمُ النِّدَاءَ وَالإنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقضِيَ حَاجَتهُ مِِنْهُ )رواه أبو داود والحاكم(
Artinya :
“Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan sementara bejana masih ada di tangannya maka janganlah menaruhnya sampai dia menyelesaikan hajatnya dari bejana itu.” (H.R. Abu Daud dan Al-Hakim) ([4])
Sebagian pihak menisbatkan pendapat tersebut kepada jumhur shahabat, namun mayoritas riwayatnya tidaklah shahih atau tidak sah. Kalaupun ada yang sah, namun tidak secara terang atau jelas bahwa mereka berpendapat dengan pendapat tersebut. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hampir-hampir para fuqoha’ berijma’ (sepakat) dengan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang dinisbatkan kepada jumhur shahabat di atas.
Seandainya hadits di atas shahih, maka ada beberapa kemungkinan makna yang dimaksud dengan hadits ini :
1. Bahwa hadits ini memberikan rukhshoh bagi orang yang kondisinya seperti tersebut bukan untuk semua orang, sehingga tidak boleh diqiyaskan dengan kondisi tersebut diatas .
2. Bahwa adzan yang dimaksud diatas adalah adzan yang terjadi sebelum fajar, hal ini semakna dengan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 25 hal.216.
[1] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 18 hadits no : 1920
[2] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 21 hadits no. 1921 Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 47-[1097]
[3] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 17 hadits no. 1918,1919, Muslim Kitabush shiyaam hadits no. 36-[1092], 37-[1093].
[4] Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Silsilatul Ahaditsish Shahihah no. 1394. Namun Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi v menyatakan hadits ini ada kelemahannya dalam kitabnya Tatabbu’ Auhamil Hakim hadits no. 732, 743, dan 1552.
(URL Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=249, judul asli Mengakhirkan Sahur dan Jarak Waktu antara Sahur dengan Shalat)
4. Menyelisihi Ahlul Kitab dengan Sahur
Di antara perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada umat ini adalah agar mereka membedakan diri dengan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik, baik dalam perkara ibadah ataupun akhlak.
Allah subhananu wa ta’ala mewajibkan kepada kaum muslimin ash-shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelumnya, sebagaimana dalam ayat :
)يأيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا كتِبَ عَلَيْكمُ الصِّيَامَ كمَا كتِبَ عَلى الذِيْنَ مِنْ قَبْلِكمْ لعَلكمْ تَتَّقونَ( )سورة البقرة :183(
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kalian, agar kalian bertakwa.”
Namun ada beberapa perkara dalam ash-shaum yang kita diperintahkan untuk membedakan diri dengan Ahlul Kitab, antara lain :
1. As-Sahur, Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menyebutkan dalam sebuah hadits dari shahabat ‘Amr bin ‘Ash, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ اْلكِتابِ أَكْلَة السَّحَرِ )رواه مسلم(
Artinya :
“Pembeda antara shaumnya kita dengan shaumnya ahlul kitab adanya makan sahur.” ([2])
2. Bolehnya makan dan minum serta jima’ walaupun tertidur sebelum melakukan ifthor (berbuka). Sementara dalam shaumnya Ahlul Kitab bahwa barang siapa yang tertidur sebelum sempat berifthor maka dilarang baginya makan dan minum pada malam itu sampai keesokan harinya, sebagaimana telah disebutkan pada pembehasan sebelumnya.
3. Menyegerakan ber-ifthor (berbuka) sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, bahwasannya Rasulloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الفِطْرَ لأََِنَّ اليَهُودَ وَ النَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ )رواه أبو داود و ابن حبان و ابن خزيمة وابن ماجه و الحاكم(
artinya :
“Akan terus Islam ini jaya selama kaum muslimin masih menyegerakan berbuka (if-thor), karena sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashoro selalu menundanya.”(H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzimah, dan Al-hakim)([3])
Perlu kita ketahui bahwa makan sahur adalah sesuatu yang disunnahkan dan terdapat padanya barakah yang banyak sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata :
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً )متفق عليه(
Artinya :
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada makan sahur ada barokah.” H.R. Al-Bukhari Muslim([4])
Diantara barokah yang dikandung pada makan sahur adalah :
1. Ittiba’ As-Sunnah (mengikuti jejak sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam),
2. Membedakan diri dengan Ahlul Kitab,
3. Memperkuat diri dalam ibadah,
4. Mencegah timbulnya akhlak yang jelek seperti marah dan lainnya dikarenakan rasa lapar,
5. Membantu seseorang untuk bangun malam dalam rangka berdzikir, berdo’a serta shalat di waktu yang mustajab,
6. Membantu seseorang untuk niat shaum bagi yang lupa berniat sebelum tidur.
Disimpulkan oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id bahwa barokah-barokah tersebut ada yang bersifat kebaikan duniawi dan ada yang bersifat kebaikan ukhrawi([5]).
[1] Sahur (السحور) dalam bahasa Arab memiliki dua bacaan dengan huruf as-siin yang difathah (السَحور)bermakna makanan yang digunakan untuk makan sahur, dan dengan didhommah (السُحور) bermakna perbuatan makan sahur itu sendiri (lihat Syarh Shohih Muslim Kitab Ash-shiyam Bab. 9 (hadits no. 45-[1095]).
[2] Muslim KitabushShiyaam bab 9 hadits no. 46-[1096]
[3] Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Daud no. 2353 dan Shohih Targhib no. 1075, dan Syaikh Muqbil tidak memberikan komentar terhadap hadits ini (lihat Tatabbu’ Awhamil Hakim hadits no. 1574).
[4] Al-Bukhari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923 dan Muslim Kitabush Shiyaam bab 9 hadits no. 45-[1095], An Nasai hadis no : 2146 -2150, Ibnu Majah no : 1692
[5] Lihat Fathul Baari Kitabush Shaum bab 20 hadits no. 1923.
(URL Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=248, judul asli Menyelisihi Ahlul Kitab dengan Sahur)
Amalan di Bulan Ramadhan (Sahur dan Berbuka)
Sahur dan Berbuka Puasa menurut Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
SAHUR
1. Hikmahnya
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa." (QS Al Baqarah: 183).
Waktu dan hukum yang diwajibkan atas Ahlul Kitab adalahi tidak boleh makan, minum, dan jima' setelah tidur, artinya jika tertidur, maka tidak boleh makan sampai malam berikutnya.
Hal itu ditetapkan juga untuk kaum muslimin, sebagaimana telah dijelaskan. Maka ketika hukum tersebut dihapuskan, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya makan sahur untuk membedakannya dengan puasa Ahlul Kitab.
Dari 'Amr bin 'Ash radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur." (HR Muslim 1096).
2. Keutamaannya
a. Sahur Barakah
Dari Salman radhiyallahu 'anhu Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barokah ada pada tiga perkara: Jama'ah, Tsarid, dan makan sahur." (HR Thabrani, Abu Nu'aim).
Dari Abdullah bin Al Harits dari seorang shahabat Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: Aku masuk menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dia makan sahur, beliau berkata, "Sesungguhnya makan sahur adalah berkah yang Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan." (HR An Nasaa`i dan Ahmad).
Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menumbuhkan semangat serta meringankan beban yang berat bagi yang berpuasa, dalam makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menamainya makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al Irbadh bin Sariyah dan Abi Darda` radhiyallahu 'anhuma, "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur."
b. Allah dan MalaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur."
Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban, Baihaqi).
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk sahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena fadhilah (keutamaan) yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air."
3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit untuk sholat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, "Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat, aku tanyakan (kata Anas): Berapa lama jarak antara adzan dan sahur? Beliau menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al Qur'an." (HR Bukhari Muslim).
4. Hukumnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya -dengan perintah yang sangat ditekankan. Beliau bersabda, "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Ya'la, Al Bazzar). Dan bersabda, "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah." (HR Bukhari Muslim).
Perintah nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi:
a. Perintah untuk makan sahur.
b. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab.
c. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas. Walaupun demikian, Al Hafizh Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari (4/139) ijma' atas sunnahnya. Wallahu a'lam.
BERBUKA
1. Kapan orang yang berpuasa berbuka?
Allah ta'ala berfirman, "Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkannya dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari.
Syaikh Abdur Razzaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf (7591) dengan sanad yang dishahihkan oleh Al Hafizh dalam Fathul Bari (4/199) dan Al Haitsami dalam Majma Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al Audi, "Para shahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka puasa dan paling lambat dalam sahur."
2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau mengikuti sunnah Rosulmu shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menyelisihi Yahudi dan Nashara, karena mereka mengakhirkan berbuka hingga terbitnya bintang.
a. Menyegerakan berbuka menghasilkan kebaikan. Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Manusia akan terus dalam kebaikan selama menyegerakan buka." (HR Bukhari dan Muslim).
b. Menyegerakan buka adalah sunnah Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Umatku akan terus dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR Ibnu Hibban).
c. Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashara. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Agama ini akan terus jaya selama menyegerakan buka, karena orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban).
d. Berbuka sebelum shalat maghrib. Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat maghrib (HR Ahmad, Abu Dawud), karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para Nabi. Dari Abu Darda` radhiyallahu 'anhu, "Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi: menyegerakan buka, mengakhirkan sahur, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat." (HR Thabrani).
3. Berbuka dengan apa?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan berbuka dengan kurma, kalau tidak ada dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari bangsa kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan kebahagiaanmu), terhadap orang-orang mukmin ia amat pengasih lagi penyayang." (QS At Taubah: 128).
Dengan memberi sesuatu yang manis (kurma) pada perut yang kosong, maka tubuh akan lebih siap menerima dan mendapatkan manfaatnya, terutama tubuh yang sehat, akan bertambah kuat dengannya. Dan bahwasanya puasa itu menghasilkan keringnya tubuh, maka air akan membasahinya, hingga sempurnalah manfaat makanan.
Dan ketahuilah, bahwa kurma itu memiliki barakah dan kekhususan -demikian pula air- memiliki efek yang positif terhadap hati dan mensucikannya, tiada yang mengetahuinya, kecuali orang-orang yang ittiba' / mengikuti.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau minum dengan satu tegukan air." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).
4. Apa yang Diucapkan ketika Berbuka?
Ketahuilah saudaraku yang berpuasa -semoga Allah memberikan taufik kepada kami dan Anda untuk selalu mengikuti sunnah Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam-, sungguh engkau memiliki do'a yang mustajab, maka ambillah kesempatan itu dan berdo'alah kepada Allah sedang engkau merasa yakin akan dikabulkan -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan do'a dari hati yang lalai lagi main-main- berdo'alah kepadaNya sesuatu yang engkau inginkan dengan do'a-do'a yang baik, semoga engkau mendapatkan dua kebaikan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ada tiga orang yang tidak akan tertolak do'a mereka: seorang yang puasa ketika sedang berbuka, seorang imam yang adil, dan do'a seorang yang terzholimi." (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).Dan dari Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash berkata, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh bagi orang yang berpuasa itu memiliki do'a yang tidak akan tertolak ketika berhias." (HR Ibnu Majah, Al Hakim).
Do'a yang paling utama (adalah) yang ma'tsur (diajarkan) dari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berdo'a ketika berbuka, "Telah hilang dahagaku, telah basah urat-uratku, dan telah tetap pahala Insya Allah." (HR Abu Dawud, Al Baihaqi).
5. Memberi Makan Orang yang Berpuasa
Dan hendaklah engkau bersemangat, wahai saudaraku -semoga Allah memberi berkah dan taufikNya kepadamu sehingga mampu mengamalkan kebaikan dan ketaqwaan- (yaitu) bila engkau memberi makan kepada orang puasa, maka padanya terdapat pahala yang agung serta kebaikan yang melimpah ruah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa memberi makan seorang yang berpuasa, ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya." (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Dan apabila seorang muslim yang sedang berpuasa diundang makan, wajib baginya untuk memenuhi undangan tersebut. Karena barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qasim shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan disukai bagi yang diundang (makan) untuk mendo'akan kebaikan kepada si pengundang setelah selesai makan, sebagaimana telah datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam do'a yang bermacam-macam, di antaranya:
"Orang-orang yang baik telah makan makananmu dan para malaikat telah bershalawat kepadamu serta orang-orang yang berpuasa telah berbuka di rumahmu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, An Nasa`i, dan yang lainnya).
"Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi makan kepadaku dan berilah minum orang yang telah memberi minum kepadaku." (HR Muslim dari Al Miqdad).
"Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah terhadap apa yang telah Engkau rizkikan kepada mereka." (HR Muslim dari Abdullah bin Busr).
(Dikutip dari Bulletin Al Wala wal Bara, judul asli Sahur dan Berbuka Puasa menurut Sunnah Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Edisi Edisi ke-1 Tahun ke-2 / 14 November 2003 M / 19 Ramadhan 1424 H, url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/1.htm)
SAHUR
1. Hikmahnya
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa." (QS Al Baqarah: 183).
Waktu dan hukum yang diwajibkan atas Ahlul Kitab adalahi tidak boleh makan, minum, dan jima' setelah tidur, artinya jika tertidur, maka tidak boleh makan sampai malam berikutnya.
Hal itu ditetapkan juga untuk kaum muslimin, sebagaimana telah dijelaskan. Maka ketika hukum tersebut dihapuskan, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan umatnya makan sahur untuk membedakannya dengan puasa Ahlul Kitab.
Dari 'Amr bin 'Ash radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur." (HR Muslim 1096).
2. Keutamaannya
a. Sahur Barakah
Dari Salman radhiyallahu 'anhu Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barokah ada pada tiga perkara: Jama'ah, Tsarid, dan makan sahur." (HR Thabrani, Abu Nu'aim).
Dari Abdullah bin Al Harits dari seorang shahabat Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: Aku masuk menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dia makan sahur, beliau berkata, "Sesungguhnya makan sahur adalah berkah yang Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan." (HR An Nasaa`i dan Ahmad).
Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menumbuhkan semangat serta meringankan beban yang berat bagi yang berpuasa, dalam makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menamainya makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al Irbadh bin Sariyah dan Abi Darda` radhiyallahu 'anhuma, "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur."
b. Allah dan MalaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur."
Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban, Baihaqi).
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk sahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena fadhilah (keutamaan) yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air."
3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit untuk sholat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, "Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat, aku tanyakan (kata Anas): Berapa lama jarak antara adzan dan sahur? Beliau menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al Qur'an." (HR Bukhari Muslim).
4. Hukumnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya -dengan perintah yang sangat ditekankan. Beliau bersabda, "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Ya'la, Al Bazzar). Dan bersabda, "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah." (HR Bukhari Muslim).
Perintah nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi:
a. Perintah untuk makan sahur.
b. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab.
c. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas. Walaupun demikian, Al Hafizh Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari (4/139) ijma' atas sunnahnya. Wallahu a'lam.
BERBUKA
1. Kapan orang yang berpuasa berbuka?
Allah ta'ala berfirman, "Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkannya dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari.
Syaikh Abdur Razzaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf (7591) dengan sanad yang dishahihkan oleh Al Hafizh dalam Fathul Bari (4/199) dan Al Haitsami dalam Majma Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al Audi, "Para shahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka puasa dan paling lambat dalam sahur."
2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau mengikuti sunnah Rosulmu shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menyelisihi Yahudi dan Nashara, karena mereka mengakhirkan berbuka hingga terbitnya bintang.
a. Menyegerakan berbuka menghasilkan kebaikan. Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Manusia akan terus dalam kebaikan selama menyegerakan buka." (HR Bukhari dan Muslim).
b. Menyegerakan buka adalah sunnah Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Umatku akan terus dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR Ibnu Hibban).
c. Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashara. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Agama ini akan terus jaya selama menyegerakan buka, karena orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban).
d. Berbuka sebelum shalat maghrib. Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat maghrib (HR Ahmad, Abu Dawud), karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para Nabi. Dari Abu Darda` radhiyallahu 'anhu, "Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi: menyegerakan buka, mengakhirkan sahur, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat." (HR Thabrani).
3. Berbuka dengan apa?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan berbuka dengan kurma, kalau tidak ada dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari bangsa kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan kebahagiaanmu), terhadap orang-orang mukmin ia amat pengasih lagi penyayang." (QS At Taubah: 128).
Dengan memberi sesuatu yang manis (kurma) pada perut yang kosong, maka tubuh akan lebih siap menerima dan mendapatkan manfaatnya, terutama tubuh yang sehat, akan bertambah kuat dengannya. Dan bahwasanya puasa itu menghasilkan keringnya tubuh, maka air akan membasahinya, hingga sempurnalah manfaat makanan.
Dan ketahuilah, bahwa kurma itu memiliki barakah dan kekhususan -demikian pula air- memiliki efek yang positif terhadap hati dan mensucikannya, tiada yang mengetahuinya, kecuali orang-orang yang ittiba' / mengikuti.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau minum dengan satu tegukan air." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).
4. Apa yang Diucapkan ketika Berbuka?
Ketahuilah saudaraku yang berpuasa -semoga Allah memberikan taufik kepada kami dan Anda untuk selalu mengikuti sunnah Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam-, sungguh engkau memiliki do'a yang mustajab, maka ambillah kesempatan itu dan berdo'alah kepada Allah sedang engkau merasa yakin akan dikabulkan -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan do'a dari hati yang lalai lagi main-main- berdo'alah kepadaNya sesuatu yang engkau inginkan dengan do'a-do'a yang baik, semoga engkau mendapatkan dua kebaikan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ada tiga orang yang tidak akan tertolak do'a mereka: seorang yang puasa ketika sedang berbuka, seorang imam yang adil, dan do'a seorang yang terzholimi." (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).Dan dari Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash berkata, Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sungguh bagi orang yang berpuasa itu memiliki do'a yang tidak akan tertolak ketika berhias." (HR Ibnu Majah, Al Hakim).
Do'a yang paling utama (adalah) yang ma'tsur (diajarkan) dari Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berdo'a ketika berbuka, "Telah hilang dahagaku, telah basah urat-uratku, dan telah tetap pahala Insya Allah." (HR Abu Dawud, Al Baihaqi).
5. Memberi Makan Orang yang Berpuasa
Dan hendaklah engkau bersemangat, wahai saudaraku -semoga Allah memberi berkah dan taufikNya kepadamu sehingga mampu mengamalkan kebaikan dan ketaqwaan- (yaitu) bila engkau memberi makan kepada orang puasa, maka padanya terdapat pahala yang agung serta kebaikan yang melimpah ruah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa memberi makan seorang yang berpuasa, ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya." (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Dan apabila seorang muslim yang sedang berpuasa diundang makan, wajib baginya untuk memenuhi undangan tersebut. Karena barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qasim shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan disukai bagi yang diundang (makan) untuk mendo'akan kebaikan kepada si pengundang setelah selesai makan, sebagaimana telah datang dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam do'a yang bermacam-macam, di antaranya:
"Orang-orang yang baik telah makan makananmu dan para malaikat telah bershalawat kepadamu serta orang-orang yang berpuasa telah berbuka di rumahmu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, An Nasa`i, dan yang lainnya).
"Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi makan kepadaku dan berilah minum orang yang telah memberi minum kepadaku." (HR Muslim dari Al Miqdad).
"Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah terhadap apa yang telah Engkau rizkikan kepada mereka." (HR Muslim dari Abdullah bin Busr).
(Dikutip dari Bulletin Al Wala wal Bara, judul asli Sahur dan Berbuka Puasa menurut Sunnah Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Edisi Edisi ke-1 Tahun ke-2 / 14 November 2003 M / 19 Ramadhan 1424 H, url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/1.htm)
Sahur dan Berbuka
Para pembaca hafizhakumullahu wa yarhamukum (semoga Allah ta’ala
senantiasa menjaga dan merahmati anda semua). Ketahuilah, banyak
pribadi muslim yang menyatakan: “Saya cinta kepada Allah ta'ala.” Dan
mereka pun ingin mendapatkan kecintaan Allah ta’ala. Peryataan tersebut
sangat mudah untuk diucapkan, akan tetapi dalam pengamalannya tentu
saja memerlukan pengorbanan yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammd): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah hakim (yang mengadili) bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Allah ta’ala namun dia tidak berada di jalan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuannya hingga dia mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)
Oleh karena itu, ketika kita mengeluarkan pernyataan tersebut sementara kita jauh dari ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita termasuk orang yang berdusta atas pernyataan kita. Al-Hasan Al-Bashri dan ulama salaf lainnya rahimahumullah berkata: “Sekelompok kaum telah menyangka bahwasanya mereka mencintai Allah h maka Allah ta’ala menguji mereka dengan ayat ini (yang tersebut di atas).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)
Maka dari sinilah hendaknya kita melihat kembali kepada apa yang telah kita lakukan! Apakah kita telah mengikuti Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan sebenar-benarnya ataukah belum?
Kaitannya dengan pengamalan ayat di atas, kami paparkan ke hadapan anda suatu risalah ringkas tentang sahur dan ifthar (buka puasa) serta sunnah-sunnahnya, sehingga dalam sahur dan ifthar kita benar-benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Makna Sahur
Dalam bahasa Arab, as-sahur (السَّحُوْرُ) dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan minuman untuk sahur.
Adapun as-suhur (السُّحُوْرُ) dengan men-dhommah huruf sin adalah mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (An-Nihayah, 2/347)
Hukum Sahur
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ ...
“Makan sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)
Keutamaan Sahur
Adapun mengenai keutamaan sahur, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskannya dalam beberapa hadits di bawah ini:
1. Dalam sahur terdapat barakah
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
Dari Anas bin Malik radiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya (Fathul Bari, 4/166): “Dan yang utama (dari tafsiran “barakah” yang terdapat dalam hadits) sesungguhnya barakah dalam sahur dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu:
a. Mengikuti Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
b. Menyelisihi ahli kitab.
c. Menambah kemampuan untuk beribadah.
d. Menambah semangat.
e. Mencegah akhlak yang buruk yang timbul karena pengaruh lapar.
f. Mendorong bersedekah terhadap orang yang meminta pada waktu sahur atau berkumpul bersamanya untuk makan sahur.
g. Merupakan sebab untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab.
h. Menjumpai niat puasa bagi orang yang lupa niat puasa sebelum tidur.
2. Pujian Allah Ta’ala dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang sahur
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالْمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu 'anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
3. Menyelisihi puasa ahli kitab
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Yang membedakan antara puasa kami (orang-orang muslim) dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Al-Imam Muslim dan lainnya)
Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi rahimahullah berkata: “Sahur adalah pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab, karena Allah ta’ala telah membolehkan kita sesuatu yang Allah Ta’ala haramkan bagi mereka, dan penyelisihan kita terhadap ahli kitab dalam masalah ini merupakan nikmat (dari Allah Ta'ala) yang harus disyukuri.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1584)
Waktu Sahur
Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga mendekati terbit fajar. Dan mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu, beliau bekata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu berkata: ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih Al-Bukhari:
بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُوْرِ وَصَلاَةِ الْفَجْرِ
“Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar”. Maksudnya (jarak waktu) antara selesainya sahur dengan permulaan shalat Fajar. (Fathul Bari, 4/164)
Dan hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih Al-Bukhari pada kitab Tahajjud, dari Anas bin Malik radiyallahu 'anhu, beliau ditanya:
كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سُحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.
Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya 10-15 menit. Wallahu a’lam.
Tamr (Kurma) Sebaik-baik Makanan Untuk Sahur
Terkadang di antara hidangan makan sahur kita terdapat beberapa jenis makanan dengan beragam rasanya, sehingga kita dapat memilih makanan yang baik dan disukai. Akan tetapi tahukah anda jenis makanan apa yang paling baik untuk sahur? Ketahuilah! Sebaik-baik makanan untuk sahur adalah tamr (kurma), dan sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1146 no. 6772)
Ketika kita telah mengetahui hal ini maka selayaknyalah bagi kita untuk mengamalkan Sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Ifthar (Berbuka)
Waktu Berbuka
Allah ta’ala telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan dalam haditsnya:
Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu 'anhu berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Makna (sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)
Dari keterangan di atas, dapatlah kita ketahui bahwasanya ketika menjelang malam dan siangpun telah pergi, serta matahari telah tenggelam dengan sempurna, maka itulah saat dibolehkannya bagi kita untuk berbuka puasa.
Hal-hal yang Disunnahkan ketika Berbuka
1. Bersegera ifthar (berbuka) ketika telah tiba waktunya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Sahl bin Sa’d z)
Al-Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied t mengatakan: “Dalam hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan buka puasa hingga tampak bintang-bintang.” (disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/234)
Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya:
a. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
b. Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para Nabi 'alaihissalam.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abud-Darda’ shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةَ تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَتَأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ
“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): mensegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ath-Thabrani, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)
c. Menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nashrani (Syarhuth-Thiibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234). Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka, oleh karena itu bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah z dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini senantiasa tampak, selama manusia bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar/berbuka).” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/58 no. 2353 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689 dan Al-Misykah, 1/622 no. 1995)
Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi t berkata: “Dalam sebab ini (yang terdapat dalam hadits ‘karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar)’) menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus ini dengan menyelisihi musuh-musuh (agama Islam) dari Yahudi dan Nashrani, dan sesungguhnya mencocoki mereka merupakan keretakan dalam agama.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1589 no. 1995)
2. Bacaan ketika berbuka
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu 'anhuma beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila berbuka beliau mengatakan:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta mendapat pahala insya Allah.” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2357 dan Al-Irwa’, 4/39 no. 920)
3. Berbuka dengan ruthab (kurma yang setengah matang), bila tidak dijumpai maka berbuka dengan tamr (kurma), dan bila tidak ada maka dengan minum air.
Sebagaimana mengikuti amalan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik z beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَعَلَى ثَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan shahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan Al-Irwa, 4/45 no. 922)
Keutamaan Memberi Buka Orang Puasa
Suatu kenikmatan yang sangat besar apabila dengan rizki yang telah Allah ta’ala karuniakan, kita dapat menyisihkan sebagiannya untuk memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa dikarenakan pahalanya yang sangat besar. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa memberi makanan berbuka seorang yang puasa maka baginya (orang yang memberi buka) semisal pahala (orang yang puasa) tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang puasa.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya, dari Zaid bin Khalid z)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Al-Jami’ush Shahih, 3/171 no. 807) dan Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkan hadits ini, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1095 no. 6414)
Setelah memandang begitu besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, selayaknyalah bagi kita untuk berlomba-lomba dalam meraih keutamaan yang sangat besar ini dengan menyisihkan rizki yang Allah ta’ala karuniakan kepada kita untuk memberi makanan berbuka orang yang berpuasa. Sekalipun kita hanya mampu memberikan kepada satu atau dua orang saja. Atau mungkin kita hanya mampu memberi satu biji kurma atau sekedar air minum. Maka janganlah kesempatan yang baik ini kita sia-siakan!
Doa Orang yang Diundang Makan/ Minum untuk Orang yang Mengundang
Ketika kita diundang untuk makan/ minum, maka disunnahkan bagi yang diundang untuk mendoakannya ketika telah selesai makan/ minum dengan doa yang telah dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam :
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
“Semoga orang-orang yang puasa berbuka di sisi kalian dan orang-orang yang shalih lagi bertakwa makan makanan kalian serta para malaikat mendoakan kalian.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/459 no. 3854 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/253 no. 1137)
Juga perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-lebihan, Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’am: 141)
Demikian yang dapat kami haturkan ke hadapan anda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sahur dan ifthar serta sunnah-sunnahnya.
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Sahur dan Berbuka. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=302)
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammd): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah hakim (yang mengadili) bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Allah ta’ala namun dia tidak berada di jalan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuannya hingga dia mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)
Oleh karena itu, ketika kita mengeluarkan pernyataan tersebut sementara kita jauh dari ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka kita termasuk orang yang berdusta atas pernyataan kita. Al-Hasan Al-Bashri dan ulama salaf lainnya rahimahumullah berkata: “Sekelompok kaum telah menyangka bahwasanya mereka mencintai Allah h maka Allah ta’ala menguji mereka dengan ayat ini (yang tersebut di atas).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)
Maka dari sinilah hendaknya kita melihat kembali kepada apa yang telah kita lakukan! Apakah kita telah mengikuti Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan sebenar-benarnya ataukah belum?
Kaitannya dengan pengamalan ayat di atas, kami paparkan ke hadapan anda suatu risalah ringkas tentang sahur dan ifthar (buka puasa) serta sunnah-sunnahnya, sehingga dalam sahur dan ifthar kita benar-benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Makna Sahur
Dalam bahasa Arab, as-sahur (السَّحُوْرُ) dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan minuman untuk sahur.
Adapun as-suhur (السُّحُوْرُ) dengan men-dhommah huruf sin adalah mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (An-Nihayah, 2/347)
Hukum Sahur
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ ...
“Makan sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)
Keutamaan Sahur
Adapun mengenai keutamaan sahur, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskannya dalam beberapa hadits di bawah ini:
1. Dalam sahur terdapat barakah
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
Dari Anas bin Malik radiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya (Fathul Bari, 4/166): “Dan yang utama (dari tafsiran “barakah” yang terdapat dalam hadits) sesungguhnya barakah dalam sahur dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu:
a. Mengikuti Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.
b. Menyelisihi ahli kitab.
c. Menambah kemampuan untuk beribadah.
d. Menambah semangat.
e. Mencegah akhlak yang buruk yang timbul karena pengaruh lapar.
f. Mendorong bersedekah terhadap orang yang meminta pada waktu sahur atau berkumpul bersamanya untuk makan sahur.
g. Merupakan sebab untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab.
h. Menjumpai niat puasa bagi orang yang lupa niat puasa sebelum tidur.
2. Pujian Allah Ta’ala dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang sahur
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالْمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu 'anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
3. Menyelisihi puasa ahli kitab
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
Dari ‘Amr bin Al-‘Ash radiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Yang membedakan antara puasa kami (orang-orang muslim) dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Al-Imam Muslim dan lainnya)
Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi rahimahullah berkata: “Sahur adalah pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab, karena Allah ta’ala telah membolehkan kita sesuatu yang Allah Ta’ala haramkan bagi mereka, dan penyelisihan kita terhadap ahli kitab dalam masalah ini merupakan nikmat (dari Allah Ta'ala) yang harus disyukuri.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1584)
Waktu Sahur
Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga mendekati terbit fajar. Dan mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu, beliau bekata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu berkata: ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih Al-Bukhari:
بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُوْرِ وَصَلاَةِ الْفَجْرِ
“Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar”. Maksudnya (jarak waktu) antara selesainya sahur dengan permulaan shalat Fajar. (Fathul Bari, 4/164)
Dan hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih Al-Bukhari pada kitab Tahajjud, dari Anas bin Malik radiyallahu 'anhu, beliau ditanya:
كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سُحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.
Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya 10-15 menit. Wallahu a’lam.
Tamr (Kurma) Sebaik-baik Makanan Untuk Sahur
Terkadang di antara hidangan makan sahur kita terdapat beberapa jenis makanan dengan beragam rasanya, sehingga kita dapat memilih makanan yang baik dan disukai. Akan tetapi tahukah anda jenis makanan apa yang paling baik untuk sahur? Ketahuilah! Sebaik-baik makanan untuk sahur adalah tamr (kurma), dan sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1146 no. 6772)
Ketika kita telah mengetahui hal ini maka selayaknyalah bagi kita untuk mengamalkan Sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Ifthar (Berbuka)
Waktu Berbuka
Allah ta’ala telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan dalam haditsnya:
Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu 'anhu berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Makna (sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)
Dari keterangan di atas, dapatlah kita ketahui bahwasanya ketika menjelang malam dan siangpun telah pergi, serta matahari telah tenggelam dengan sempurna, maka itulah saat dibolehkannya bagi kita untuk berbuka puasa.
Hal-hal yang Disunnahkan ketika Berbuka
1. Bersegera ifthar (berbuka) ketika telah tiba waktunya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Sahl bin Sa’d z)
Al-Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied t mengatakan: “Dalam hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan buka puasa hingga tampak bintang-bintang.” (disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/234)
Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya:
a. Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
b. Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para Nabi 'alaihissalam.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abud-Darda’ shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةَ تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَتَأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ
“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): mensegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ath-Thabrani, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)
c. Menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nashrani (Syarhuth-Thiibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234). Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka, oleh karena itu bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah z dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini senantiasa tampak, selama manusia bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar/berbuka).” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/58 no. 2353 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689 dan Al-Misykah, 1/622 no. 1995)
Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi t berkata: “Dalam sebab ini (yang terdapat dalam hadits ‘karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar)’) menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus ini dengan menyelisihi musuh-musuh (agama Islam) dari Yahudi dan Nashrani, dan sesungguhnya mencocoki mereka merupakan keretakan dalam agama.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1589 no. 1995)
2. Bacaan ketika berbuka
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radiyallahu 'anhuma beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila berbuka beliau mengatakan:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta mendapat pahala insya Allah.” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2357 dan Al-Irwa’, 4/39 no. 920)
3. Berbuka dengan ruthab (kurma yang setengah matang), bila tidak dijumpai maka berbuka dengan tamr (kurma), dan bila tidak ada maka dengan minum air.
Sebagaimana mengikuti amalan Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik z beliau berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَعَلَى ثَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan shahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan Al-Irwa, 4/45 no. 922)
Keutamaan Memberi Buka Orang Puasa
Suatu kenikmatan yang sangat besar apabila dengan rizki yang telah Allah ta’ala karuniakan, kita dapat menyisihkan sebagiannya untuk memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa dikarenakan pahalanya yang sangat besar. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa memberi makanan berbuka seorang yang puasa maka baginya (orang yang memberi buka) semisal pahala (orang yang puasa) tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang puasa.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya, dari Zaid bin Khalid z)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Al-Jami’ush Shahih, 3/171 no. 807) dan Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkan hadits ini, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1095 no. 6414)
Setelah memandang begitu besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, selayaknyalah bagi kita untuk berlomba-lomba dalam meraih keutamaan yang sangat besar ini dengan menyisihkan rizki yang Allah ta’ala karuniakan kepada kita untuk memberi makanan berbuka orang yang berpuasa. Sekalipun kita hanya mampu memberikan kepada satu atau dua orang saja. Atau mungkin kita hanya mampu memberi satu biji kurma atau sekedar air minum. Maka janganlah kesempatan yang baik ini kita sia-siakan!
Doa Orang yang Diundang Makan/ Minum untuk Orang yang Mengundang
Ketika kita diundang untuk makan/ minum, maka disunnahkan bagi yang diundang untuk mendoakannya ketika telah selesai makan/ minum dengan doa yang telah dicontohkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam :
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
“Semoga orang-orang yang puasa berbuka di sisi kalian dan orang-orang yang shalih lagi bertakwa makan makanan kalian serta para malaikat mendoakan kalian.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/459 no. 3854 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/253 no. 1137)
Juga perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-lebihan, Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’am: 141)
Demikian yang dapat kami haturkan ke hadapan anda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sahur dan ifthar serta sunnah-sunnahnya.
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Sahur dan Berbuka. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=302)
Keutamaan Malam Seribu Bulan
Malam Lailatul Qadar adalah malam yang dimuliakan Allah ta’ala. Allah
ta’ala menamainya dengan Lailatul Qadar, menurut sebagian pendapat,
karena pada malam itu Allah Ta’ala mentakdirkan ajal, rizki dan apa
yang terjadi selama satu tahun dari aturan-aturan Allah ta’ala. Hal ini
sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:
فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad Dukhan: 4)
Didalam ayat tersebut Allah Ta’ala menamai Lailatul Qadar karena sebab tersebut. Menurut pendapat lain, disebut malam Lailatul Qadar karena malam tersebut memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyebutnya sebagai malam yang berkah, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesunggunhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Ad Dukhan: 3)
Allah Ta’ala juga memuliakan malam ini dalam firman-Nya:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Al Qadr: 2-3)
Maksudnya, amalan di malam yang barakah ini menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar padanya. Seribu bulan sama dengan 83 tahun lebih. Ini menunjukkan keutamaan malam yang besar ini. Oleh karenanya Nabi shallallahu alaihi wasallam berusaha mencari malam Lailatul Qadar. Beliau bersabda:
“Barang siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau ataupun yang akan datang.”
Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa pada malam itu malaikat Jibril dan ruh turun. Ini menunjukkan betapa besar dan pentingnya malam ini karena turunnya malaikat tidak terjadi kecuali untuk perkara yang besar. Kemudian Allah Ta’ala mensifati malam itu dengan firman-Nya:
سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al Qadr: 5)
Allah ta’ala mensifati malam tersebut dengan malam keselamatan. Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya. Orang yang terhalangi dari kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat banyak. Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada malam barakah ini.
Akan tetapi, Allah Ta’ala menyembunyikannya di bulan Ramadhan agar seorang muslim bersungguh-sungguh mencarinya. Sehingga amalnya semakin banyak dan dengan itu ia menggabungkan antara banyaknya amal di seluruh malam-malam Ramadhan dan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar dengan segala keutamaan, kemuliaan dan pahalanya. Sehingga dengan itu ia mengumpulkan antara dua kebaikan. Ini merupakan karunia Allah ta’ala atas hamba-hamba-Nya.
Ringkasnya, bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang besar (agung) dan berkah. Juga merupakan nikmat dari Allah ta’ala yang mendatangi seorang muslim di bulan Ramadhan. Maka jika dia diberi taufik untuk memanfaatkannya dalam kebaikan, ia akan mendapatkan pahala yang besar dan kebaikan yang banyak yang sangat dia butuhkan. (Penjelasan Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam Fatawa Ramadhan, 2/847-849)
Kapan Malam Lailatul Qadar itu?
Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa malam Lailatul Qadar terjadi pada malam 21, malam 23, malam 25, malam 27, atau malam 29 dan akhir malam bulan Ramadhan.
Al-Imam Asy-Syafi’I t berkata: “Ini menurut saya, wallahu a’lam, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab sesuai dengan pertanyaannya. Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau mengatakan:
“Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Shifat Shaum An-Nabi, Asy-Syaikh Ali Hasan, hal. 87)
Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar
Dari Ubai ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pagi hari dari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar seperti bejana dari tembaga sampai tinggi.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu 'anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam:
“Lailatul Qadar adalah malam yang tenang, cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit di pagi harinya lemah dan berwarna merah.” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Bazzar, sanadnya hasan. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 90)
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc, judul asli Keutamaan Malam Seribu Bulan. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=130)
فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad Dukhan: 4)
Didalam ayat tersebut Allah Ta’ala menamai Lailatul Qadar karena sebab tersebut. Menurut pendapat lain, disebut malam Lailatul Qadar karena malam tersebut memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyebutnya sebagai malam yang berkah, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesunggunhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Ad Dukhan: 3)
Allah Ta’ala juga memuliakan malam ini dalam firman-Nya:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Al Qadr: 2-3)
Maksudnya, amalan di malam yang barakah ini menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar padanya. Seribu bulan sama dengan 83 tahun lebih. Ini menunjukkan keutamaan malam yang besar ini. Oleh karenanya Nabi shallallahu alaihi wasallam berusaha mencari malam Lailatul Qadar. Beliau bersabda:
“Barang siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau ataupun yang akan datang.”
Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa pada malam itu malaikat Jibril dan ruh turun. Ini menunjukkan betapa besar dan pentingnya malam ini karena turunnya malaikat tidak terjadi kecuali untuk perkara yang besar. Kemudian Allah Ta’ala mensifati malam itu dengan firman-Nya:
سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al Qadr: 5)
Allah ta’ala mensifati malam tersebut dengan malam keselamatan. Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya. Orang yang terhalangi dari kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat banyak. Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada malam barakah ini.
Akan tetapi, Allah Ta’ala menyembunyikannya di bulan Ramadhan agar seorang muslim bersungguh-sungguh mencarinya. Sehingga amalnya semakin banyak dan dengan itu ia menggabungkan antara banyaknya amal di seluruh malam-malam Ramadhan dan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar dengan segala keutamaan, kemuliaan dan pahalanya. Sehingga dengan itu ia mengumpulkan antara dua kebaikan. Ini merupakan karunia Allah ta’ala atas hamba-hamba-Nya.
Ringkasnya, bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang besar (agung) dan berkah. Juga merupakan nikmat dari Allah ta’ala yang mendatangi seorang muslim di bulan Ramadhan. Maka jika dia diberi taufik untuk memanfaatkannya dalam kebaikan, ia akan mendapatkan pahala yang besar dan kebaikan yang banyak yang sangat dia butuhkan. (Penjelasan Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam Fatawa Ramadhan, 2/847-849)
Kapan Malam Lailatul Qadar itu?
Terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa malam Lailatul Qadar terjadi pada malam 21, malam 23, malam 25, malam 27, atau malam 29 dan akhir malam bulan Ramadhan.
Al-Imam Asy-Syafi’I t berkata: “Ini menurut saya, wallahu a’lam, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab sesuai dengan pertanyaannya. Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau mengatakan:
“Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Shifat Shaum An-Nabi, Asy-Syaikh Ali Hasan, hal. 87)
Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar
Dari Ubai ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pagi hari dari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar seperti bejana dari tembaga sampai tinggi.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu 'anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam:
“Lailatul Qadar adalah malam yang tenang, cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit di pagi harinya lemah dan berwarna merah.” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Bazzar, sanadnya hasan. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 90)
Wallahu a’lam.
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc, judul asli Keutamaan Malam Seribu Bulan. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=130)
Amalan di Bulan Ramadhan (Ibadah malam Lailatul Qadr)
Lailatul Qadr
Lailatul Qadr (atau lebih dikenal dengan malam Lailatul Qadar) mempunyai keutamaan yang sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur`anul Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti Sunnah Rasulnya berlomba-lomba untuk beribadah di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Lailatul Qadr
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadr dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya):
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (Al-Qadr:1-5)
2. Waktunya
Pendapat yang paling kuat, terjadinya Lailatul Qadr itu pada malam di akhir-akhir bulan Ramadhan sebagaimana ditunjukkan oleh hadits 'A`isyah, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda:
تَحَرَّوْا (وَفِيْ رِوَايَة: اِلْتَمِسُوْا) لَيْلَةَ القَدْرِ فِي الوِتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadr di malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan." (HR. Al-Bukhariy no.2017 dan Muslim no.1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Umar, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِلْتَمِسُوْهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ (يَعْنِي لَيْلَةَ القَدْرِ) فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ البَوَاقِي
"Carilah di sepuluh hari terakhir, jika salah seorang di antara kalian tidak mampu atau lemah maka jangan sampai terluput dari tujuh hari sisanya." (HR. Muslim no.1165)
Telah diketahui dalam Sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para shahabat. Dari 'Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada Lailatul Qadr, lalu ada dua orang shahabat berdebat, maka beliau bersabda:
"Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr, tetapi fulan dan fulan berdebat hingga diangkat (tidak bisa lagi diketahui kapan kepastian lailatul qadr terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29, 27 dan 25." (HR. Al-Bukhariy 2023)
Banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa Lailatul Qadr itu terjadi pada sepuluh hari terakhir, hadits yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedangkan hadits kedua sifatnya khusus, maka riwayat yang khusus lebih didahulukan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa Lailatul Qadr itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan (malam ke-25, 27 dan 29), tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah. Maka dengan penjelasan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut dan tidak saling bertentangan.
3. Bagaimana Mencari Lailatul Qadr?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin agar bersemangat dalam melakukan ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadr seperti melakukan shalat tarawih, membaca Al-Qur`an, menghafalnya dan memahaminya serta amalan yang lainnya, yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar. Jika dia telah berbuat demikian maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa shalat malam/tarawih (bertepatan) pada malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Al-Bukhariy 38 dan Muslim no.760)
Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Diriwayatkan dari 'A`isyah, dia berkata: Aku bertanya: Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan Lailatul Qadr (terjadi), apa yang harus aku ucapkan? Beliau menjawab: "Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku." (HR. At-Tirmidziy 3760 dan Ibnu Majah 3850, sanadnya shahih)
Saudaraku, setelah engkau mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadr (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari 'A`isyah berkata:
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila masuk pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya (yaitu menjauhi istri-istrinya untuk konsentrasi beribadah dan mencari Lailatul Qadr)." (HR. Al-Bukhariy no.2024 dan Muslim no.1174)
4. Tanda-tandanya
Dari Ubaiy, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Pagi hari malam Lailatul Qadr, matahari terbit tidak ada sinar yang menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi." (HR. Muslim no.762)
Dan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Malam Lailatul Qadr adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, dan keesokan harinya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." (HR. Ath-Thayalisiy 349, Ibnu Khuzaimah 3/231 dan Al-Bazzar 1/486, sanadnya hasan)
Zakat Fithri
1. Hukumnya
Zakat fithri ini hukumnya wajib berdasarkan hadits dari Ibnu 'Umar, dia berkata:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ (مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ)
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia]." (HR. Al-Bukhariy no.1503, 1504 dan Muslim no.984, tambahan dalam kurung riwayat Muslim)
2. Siapa yang Wajib Zakat?
Zakat fithri wajib atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun budak. Hal ini berdasarkan hadits 'Abdullah bin 'Umar:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau besar dari kalangan kaum muslimin." (HR. Al-Bukhariy no.1503 dan Muslim no.984)
Zakat fithri juga wajib atas orang yang masuk Islam atau bayi yang lahir sesaat sebelum terbenamnya matahari (yang besoknya adalah tanggal 1 Syawwal).
Adapun janin maka banyak di antara 'ulama yang menyunnahkannya agar dikeluarkan zakat fithrinya sebagaimana yang dilakukan 'Utsman dan para shahabat lainnya.
3. Macam Zakat Fithri
Zakat fithri dikeluarkan berupa satu sha' gandum, satu sha' kurma, satu sha' susu, satu sha' salt atau anggur kering, berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudriy:
"Kami mengeluarkan zakat fithri (pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) satu sha' makanan, satu sha' gandum, satu sha' kurma, satu sha' susu kering dan satu sha' anggur kering." (HR. Al-Bukhariy no.1506 dan Muslim no.985)
Dan hadits Ibnu 'Umar:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan satu sha' gandum, satu sha' kurma dan satu sha' salt." (HR. Ibnu Khuzaimah 4/80 dan Al-Hakim 1/409-410)
Ibnu Taimiyyah menyebutkan tentang bolehnya mengeluarkan zakat fithri dari makanan pokok suatu negeri (kalau di negeri kita adalah beras). Dan ini pendapatnya jumhur 'ulama.
4. Ukuran Zakat Fithri
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa ukuran zakat fithri adalah 1 sha' (sekitar 2,5 - 3,0 kg) yang mencakup kurma, gandum, ataupun lainnya yang merupakan makanan pokok suatu negeri. Ini adalah pendapat jumhur 'ulama.
5. Siapakah yang Harus Dibayar Zakatnya?
Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang di bawah tanggungannya, baik anak kecil ataupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak, berdasarkan hadits Ibnu 'Umar: "Kami diperintah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (mengeluarkan) zakat fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak dari orang-orang yang membekalinya." (HR. Ad-Daraquthniy 2/141 dan Al-Baihaqiy 4/161, hadits hasan dengan syawahidnya)
6. Ke mana Disalurkannya
Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin." (HR. Al-Hakim no.1488 dan beliau berkata: ini hadits shahih)
Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Majmuu'ul Fataawaa (2/71-78) dan murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya Zaadul Ma'aad (2/44).
Sebagian Ahlul Ilmi berpendapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi pendapat ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membantahnya pada kitab yang telah disebutkan di atas, maka lihatlah kitab tersebut, karena hal itu sangat penting.
Termasuk amalan sunnah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak -pent). Sungguh Nabi telah mewakilkan kepada Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menugaskan kepadaku agar menjaga zakat Ramadhan." (HR. Al-Bukhariy no.2311)
Dan sungguh dahulu pernah Ibnu 'Umar mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintah -pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu 'Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum 'Idul Fithri. (Lihat HR. Ibnu Khuzaimah 4/83)
Boleh juga langsung menyerahkannya kepada orang-orang miskin yang ada di daerahnya.
7. Waktu Penunaian Zakat
Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar rumah menuju shalat 'Id dan tidak boleh diakhirkan (setelah) shalat. Sebagian 'ulama seperti Al-Imam Asy-Syafi'i membolehkan mengeluarkan zakat fithri di awal Ramadhan. Tapi yang sunnah adalah satu atau dua hari (sebelum 'Id) berdasarkan perbuatan Ibnu 'Umar.
Maka apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas: "... Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan suatu shadaqah dari beberapa shadaqah (yang ada)." (HR. Al-Hakim no.1488 dan beliau berkata: ini hadits shahih)
8. Hikmah Zakat
Allah subhanahu wa ta'ala mewajibkan zakat sebagai pensucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu 'Abbas yang telah lalu. Wallaahu A'lam.
(Sumber Bacaan: Shifat Shaumin Nabi; Taisiirul 'Allaam; Ad-Durarul Bahiyyah; Shahiih Al-Bukhaariy dan Shahiih Muslim)
(Dikutip dari Bulletin Al Wala wal Bara, judul asli Lailatul Qadr dan Zakat Fithri, Edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H, url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/49.htm)
Lailatul Qadr (atau lebih dikenal dengan malam Lailatul Qadar) mempunyai keutamaan yang sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur`anul Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti Sunnah Rasulnya berlomba-lomba untuk beribadah di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah subhanahu wa ta'ala.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Lailatul Qadr
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadr dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya):
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (Al-Qadr:1-5)
2. Waktunya
Pendapat yang paling kuat, terjadinya Lailatul Qadr itu pada malam di akhir-akhir bulan Ramadhan sebagaimana ditunjukkan oleh hadits 'A`isyah, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda:
تَحَرَّوْا (وَفِيْ رِوَايَة: اِلْتَمِسُوْا) لَيْلَةَ القَدْرِ فِي الوِتْرِ مِنَ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
"Carilah Lailatul Qadr di malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan." (HR. Al-Bukhariy no.2017 dan Muslim no.1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, berdasarkan riwayat dari Ibnu 'Umar, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِلْتَمِسُوْهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ (يَعْنِي لَيْلَةَ القَدْرِ) فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ البَوَاقِي
"Carilah di sepuluh hari terakhir, jika salah seorang di antara kalian tidak mampu atau lemah maka jangan sampai terluput dari tujuh hari sisanya." (HR. Muslim no.1165)
Telah diketahui dalam Sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para shahabat. Dari 'Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada Lailatul Qadr, lalu ada dua orang shahabat berdebat, maka beliau bersabda:
"Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr, tetapi fulan dan fulan berdebat hingga diangkat (tidak bisa lagi diketahui kapan kepastian lailatul qadr terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29, 27 dan 25." (HR. Al-Bukhariy 2023)
Banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa Lailatul Qadr itu terjadi pada sepuluh hari terakhir, hadits yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedangkan hadits kedua sifatnya khusus, maka riwayat yang khusus lebih didahulukan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa Lailatul Qadr itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan (malam ke-25, 27 dan 29), tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah. Maka dengan penjelasan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut dan tidak saling bertentangan.
3. Bagaimana Mencari Lailatul Qadr?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin agar bersemangat dalam melakukan ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadr seperti melakukan shalat tarawih, membaca Al-Qur`an, menghafalnya dan memahaminya serta amalan yang lainnya, yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar. Jika dia telah berbuat demikian maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barangsiapa shalat malam/tarawih (bertepatan) pada malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Al-Bukhariy 38 dan Muslim no.760)
Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Diriwayatkan dari 'A`isyah, dia berkata: Aku bertanya: Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan Lailatul Qadr (terjadi), apa yang harus aku ucapkan? Beliau menjawab: "Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku." (HR. At-Tirmidziy 3760 dan Ibnu Majah 3850, sanadnya shahih)
Saudaraku, setelah engkau mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadr (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari 'A`isyah berkata:
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila masuk pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya (yaitu menjauhi istri-istrinya untuk konsentrasi beribadah dan mencari Lailatul Qadr)." (HR. Al-Bukhariy no.2024 dan Muslim no.1174)
4. Tanda-tandanya
Dari Ubaiy, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Pagi hari malam Lailatul Qadr, matahari terbit tidak ada sinar yang menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi." (HR. Muslim no.762)
Dan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Malam Lailatul Qadr adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, dan keesokan harinya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." (HR. Ath-Thayalisiy 349, Ibnu Khuzaimah 3/231 dan Al-Bazzar 1/486, sanadnya hasan)
Zakat Fithri
1. Hukumnya
Zakat fithri ini hukumnya wajib berdasarkan hadits dari Ibnu 'Umar, dia berkata:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ (مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ)
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia]." (HR. Al-Bukhariy no.1503, 1504 dan Muslim no.984, tambahan dalam kurung riwayat Muslim)
2. Siapa yang Wajib Zakat?
Zakat fithri wajib atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun budak. Hal ini berdasarkan hadits 'Abdullah bin 'Umar:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau besar dari kalangan kaum muslimin." (HR. Al-Bukhariy no.1503 dan Muslim no.984)
Zakat fithri juga wajib atas orang yang masuk Islam atau bayi yang lahir sesaat sebelum terbenamnya matahari (yang besoknya adalah tanggal 1 Syawwal).
Adapun janin maka banyak di antara 'ulama yang menyunnahkannya agar dikeluarkan zakat fithrinya sebagaimana yang dilakukan 'Utsman dan para shahabat lainnya.
3. Macam Zakat Fithri
Zakat fithri dikeluarkan berupa satu sha' gandum, satu sha' kurma, satu sha' susu, satu sha' salt atau anggur kering, berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudriy:
"Kami mengeluarkan zakat fithri (pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) satu sha' makanan, satu sha' gandum, satu sha' kurma, satu sha' susu kering dan satu sha' anggur kering." (HR. Al-Bukhariy no.1506 dan Muslim no.985)
Dan hadits Ibnu 'Umar:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan satu sha' gandum, satu sha' kurma dan satu sha' salt." (HR. Ibnu Khuzaimah 4/80 dan Al-Hakim 1/409-410)
Ibnu Taimiyyah menyebutkan tentang bolehnya mengeluarkan zakat fithri dari makanan pokok suatu negeri (kalau di negeri kita adalah beras). Dan ini pendapatnya jumhur 'ulama.
4. Ukuran Zakat Fithri
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa ukuran zakat fithri adalah 1 sha' (sekitar 2,5 - 3,0 kg) yang mencakup kurma, gandum, ataupun lainnya yang merupakan makanan pokok suatu negeri. Ini adalah pendapat jumhur 'ulama.
5. Siapakah yang Harus Dibayar Zakatnya?
Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang di bawah tanggungannya, baik anak kecil ataupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak, berdasarkan hadits Ibnu 'Umar: "Kami diperintah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (mengeluarkan) zakat fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak dari orang-orang yang membekalinya." (HR. Ad-Daraquthniy 2/141 dan Al-Baihaqiy 4/161, hadits hasan dengan syawahidnya)
6. Ke mana Disalurkannya
Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas:
فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin." (HR. Al-Hakim no.1488 dan beliau berkata: ini hadits shahih)
Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Majmuu'ul Fataawaa (2/71-78) dan murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya Zaadul Ma'aad (2/44).
Sebagian Ahlul Ilmi berpendapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi pendapat ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membantahnya pada kitab yang telah disebutkan di atas, maka lihatlah kitab tersebut, karena hal itu sangat penting.
Termasuk amalan sunnah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak -pent). Sungguh Nabi telah mewakilkan kepada Abu Hurairah, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menugaskan kepadaku agar menjaga zakat Ramadhan." (HR. Al-Bukhariy no.2311)
Dan sungguh dahulu pernah Ibnu 'Umar mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintah -pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu 'Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum 'Idul Fithri. (Lihat HR. Ibnu Khuzaimah 4/83)
Boleh juga langsung menyerahkannya kepada orang-orang miskin yang ada di daerahnya.
7. Waktu Penunaian Zakat
Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar rumah menuju shalat 'Id dan tidak boleh diakhirkan (setelah) shalat. Sebagian 'ulama seperti Al-Imam Asy-Syafi'i membolehkan mengeluarkan zakat fithri di awal Ramadhan. Tapi yang sunnah adalah satu atau dua hari (sebelum 'Id) berdasarkan perbuatan Ibnu 'Umar.
Maka apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas: "... Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan suatu shadaqah dari beberapa shadaqah (yang ada)." (HR. Al-Hakim no.1488 dan beliau berkata: ini hadits shahih)
8. Hikmah Zakat
Allah subhanahu wa ta'ala mewajibkan zakat sebagai pensucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu 'Abbas yang telah lalu. Wallaahu A'lam.
(Sumber Bacaan: Shifat Shaumin Nabi; Taisiirul 'Allaam; Ad-Durarul Bahiyyah; Shahiih Al-Bukhaariy dan Shahiih Muslim)
(Dikutip dari Bulletin Al Wala wal Bara, judul asli Lailatul Qadr dan Zakat Fithri, Edisi ke-49 Tahun ke-2 / 29 Oktober 2004 M / 15 Ramadhan 1425 H, url sumber http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/49.htm)
Kelapangan dan Kemudahan dalam Puasa Ramadhan
1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya) : “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185].
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?" -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau" [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata : "Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
(yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat" [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya) : “Sebagaimana Allah menyukai diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha' dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu.
"Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)" [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]
Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar" [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].
Peringatan :
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya) : “Dan tidaklah Tuhanmu lupa" [Maryam : 64].
Dan juga firman-Nya "Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui" [Al-Baqarah : 232]
Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya) : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]
Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syari'at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari'atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?" [Al-Mulk : 14].
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang artinya) : “Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo'a) : "Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali" [Al-Baqarah : 285]
2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a'alam
3. Haid dan nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah. Akan datang penjelasannya, Insya Allah…
4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata : "Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin" [Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma' no. 129 akan adanya ijma (kesepakatan) dalam masalah ini].
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat (yang artinya) : “Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin" [Al-Baqarah : 184].
Kemudian beliau berkata : "Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum" [Lihat ta'liq sebelumnya].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu : "Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya satu mud gandum" [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi punya syahid (penguat, red)].
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]
5. Wanita hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka adalah wanita hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik [1], ia berkata : "Kudanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, "Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa". Demi Allah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai sesalnya jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687. Sanadnya hasan (baik, red) sebagaimana pernyataan Tirmidzi]
Footnote :
[1]. Dia adalah Al-Ka'bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tapi ia adalah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka'ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya) : “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185].
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?" -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau" [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata : "Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
(yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat" [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya) : “Sebagaimana Allah menyukai diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha' dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu.
"Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)" [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]
Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar" [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].
Peringatan :
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya) : “Dan tidaklah Tuhanmu lupa" [Maryam : 64].
Dan juga firman-Nya "Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui" [Al-Baqarah : 232]
Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya) : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]
Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syari'at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari'atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?" [Al-Mulk : 14].
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang artinya) : “Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo'a) : "Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali" [Al-Baqarah : 285]
2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a'alam
3. Haid dan nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah. Akan datang penjelasannya, Insya Allah…
4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata : "Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin" [Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma' no. 129 akan adanya ijma (kesepakatan) dalam masalah ini].
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat (yang artinya) : “Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin" [Al-Baqarah : 184].
Kemudian beliau berkata : "Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum" [Lihat ta'liq sebelumnya].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu : "Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya satu mud gandum" [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi punya syahid (penguat, red)].
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]
5. Wanita hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka adalah wanita hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik [1], ia berkata : "Kudanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, "Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa". Demi Allah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai sesalnya jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687. Sanadnya hasan (baik, red) sebagaimana pernyataan Tirmidzi]
Footnote :
[1]. Dia adalah Al-Ka'bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, tapi ia adalah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka'ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)
Petunjuk Berbuka seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wassalam
1. Kapan orang yang puasa berbuka ?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya) : “Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam" [Al-Baqarah : 187].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. Kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembasahan yang telah lalu,-ed) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda.
Wahai hamba Allah, inilah perkataan-perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada di hadapanmu dapatlah engkau membacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya, Radhiyallahu 'anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf 7591 dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/199 dan al-Haitsami dalam Majma' Zawaid 3/154 dari Amr bin Maimun Al Audi : "Para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur".
2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasuullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya bintang. Maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.
a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan.
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka" [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093].
b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama "berpegang dengan Rasul mereka (dan) menolak semua yang merubah sunnah".
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (891) dengan sanad Shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- Kami katakan : Syia'h Rafidhoh telah mencocoki Yahudi dan Nasrani dalam mengakhirkan buka hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari kesesatan.].
c. Menyegerakan berbuka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak menjadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin beriup.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka [1], karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan]
Kami katakan :
Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut :
1. Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin atau mencari makan di Gedung Putih (Istana Kepresidenan Amerika, red) -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj.
2. Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah" [Al-Baqarah : 208].
Atas dasar inilah, maka ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian yang lainnya ; kita diperintah untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh ! kita mengetahui buah dari menyelisihi Yahudi dan Nasrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.
Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkara baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyak mereka : "Ini perkara-perkara kecil, furu'. khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita.
Perhatikanlah wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas basyirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam,
Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenamnya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu', khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah.
d. Berbuka sebelum shalat maghrib
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat Maghrib [Hadits Riwayat Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad Hasan] karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para nabi. Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu : "Tiga perkara yang merupakan akhlak para Nabi : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan (kanan, red) di atas tangan kiri dalam shalat" [Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana dalam Al-Majma (2/105) dia berkata : "..... marfu' dan mauquf shahih adapaun yang marfu' ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya". Aku katakan Mauquf -sebagaimana telah jelas- mempunyai hukum marfu'].
3. Berbuka dengan apa ?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin" [At-Taubah : 128].
Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan.
Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berittiba'. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu (ia berkata) :(yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air" [Hadits Riwayat Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277,278), Tirmidzi 93/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih].
4. Yang diucapkan ketika berbuka
Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa - mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam- sesungguhnya engkau punya do'a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dalam keadaan engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do'a dari hati yang lalai-. Berdo'alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do'a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tiga do'a yang dikabulkan : do'anya orang yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan do'anya musafir" [Hadits Riwayat Uqaili dalam Ad-Dhu'afa' (1/72), Abu Muslim Al-Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul Anshari {..} sanadnya hasan kalau tidak ada 'an-'annah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid yaitu hadits selanjutnya.]
Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi" [Hadits Riwayat Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407) ada jahalah Abu Mudillah.]
Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak" [Hadits Riwayat Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan Al-Bushiri berkata : (2/81) ini sanad yang shahih, perawi-perawinya tsiqat.].
Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan “Dzahabad-dhoma'u wabtalatil 'uruuqu watsabbatil ajru insya Allah” (yang artinya) : “Telah hilang dahaga dan telah basah uart-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah" [Hadits Riwayat Abu Dawud 92/306), Baihaqi (4/239), Al-Hakim (1/422) Ibnu Sunni (128), Nasaai dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata : "sanadnya hasan". Aku katakan : memang seperti ucapannya.]
5. Memberi makan orang yang (berbuka, red) puasa
Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun" [Hadits Riwayat Ahmad (4/144,115,116,5/192) Tirmidzi (804), ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.]
Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.
Orang yang diundang disunnahkan mendo'akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'akan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian" [Hadits Riwayat Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa'i dalam 'Amalul Yaum" (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sandnya shahih. Peringatan : Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini : "Allah menyebutkan di majlis-Nya" adalah tidak ada asalnya. Perhatikan !!]
Doa’ “Allahumma ath ’im man ath ‘amanii, wa as qi man saqoonii” (yang artinya) : “Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku minum" [Hadits Riwayat Muslim 2055 dari Miqdad]
Do’a “Allahummagh fir lahum warhamhum wa baarak fiima rozaq tahum” (yang artinya) : “Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan" [Hadits Riwayat Muslim 2042 dari Abdullah bin Busrin]
Footnote :
[1]. Hal ini bukan berarti, jika manusia telah terlena dengan dunianya hingga mereka mengakhirkan bbukan mengikuti Yahudi dan Nasrani, kemudian agama ini menjadi kalah, tidak demikian keadaannya, Islam senantiasa akan menang kapanpun juga, dan dimanapun tempatnya. Wallahu a'lam, -ed
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama kepada kita- bahwasanya mengqdha' puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha'nya kecuali di bulan Sya'ban" [Hadits Riwayat Bukhari 4/166, Muslim 1146, Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal.422. setelah membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya beliau (yakni Aisyah) tidak mampu dan tidak dapat mengqadha' pada bulan sebelum Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu niscaya dia tidak akan mengahhirkan qadha' (sampai pada ucapan Syaikh) maka menjadi tersamar atasnya bahwa ketidakmampuan Aisyah adalah merupakan udzur (alasan) Maka perhatikanlah, -pent]
Berkata Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191 : "Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha' Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak".
Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha' lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur'an (yang artinya) : “Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian" [Ali Imran : 133]
Firman ALLAH (yang artinya) : “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya" [Al-Mu'minuun : 61]
2. Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha' karena ingin menyamakan dengan sifat penunaiannya.
Berdasarkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185 (yang artinya) : “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain".
Dan Ibnu Abbas berkata : (yang artinya) : “Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)" [Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shahih. Lihat Ta’ghliqut Ta’liq (3/186).
Abu Hurairah berkata : "Diselang-selingi kalau mau" [Lihat Irwaul Ghalil 4/95]
Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu Hurairah secara marfu' "Artnya : Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya diqadha' secara berturut-turut tidak boleh memisahnya" Ini adalah riwayat yang Dhaif. Daruquthni bekata : Abdurrahman bin Ibrahim Dhaif.
Al-Baihaqi berkata : Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) di dhaifkan oleh Ma'in, Nasa'i dan Daruquthni".
Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Syaikh kami Al-Albany Rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dalam Irwa'ul Ghalil no. 943. Adapun yang terdapat dalam Silsilah Hadits Dhaif 2/137 yang terkesan bahwa beliau menghasankannya dia ruju' dari pendapatnya.
Peringatan.
Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha', namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin, -ed) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95 : "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha' Ramadhan" Beliau menjawab : "Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut". Wallahu 'alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
3. Ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang shalat, maka walinya apalagi orang lain tidak bisa mengqadha'nya.
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar puasa, harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" [Bukhari 4/168, Muslim 1147]
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" [Bukhari 4/168, Muslim 1148]
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : "Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan ?". Beliau menjawab, "Memberi makan".
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah : "Apakah aku harus mengqadha' puasanya ?" Aisyah menjawab : "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim".
Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilat Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4, ini lafadz dalam Al-Muhalla, dengan sanad sahih.
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : "Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha', kalau punya hutang nadzar diqadha' oleh walinya" Diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau menshahihkan sanadnya.
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma adalah periwayatan hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nadzar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam " Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nadzar?" Beliau bersabda : "Qadha'lah untuknya". Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud 3/279-282. (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nadzar dibolehkan diqadha' oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.
Al-Hasan berkata : "Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan"[Bukhari 4/112 secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbij, dishahihkan sanadnya oleh Syaikhuna Al-Albany dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/58] Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya) : “Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam" [Al-Baqarah : 187].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. Kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembasahan yang telah lalu,-ed) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda.
Wahai hamba Allah, inilah perkataan-perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada di hadapanmu dapatlah engkau membacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya, Radhiyallahu 'anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf 7591 dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/199 dan al-Haitsami dalam Majma' Zawaid 3/154 dari Amr bin Maimun Al Audi : "Para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur".
2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasuullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya bintang. Maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.
a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan.
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka" [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093].
b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama "berpegang dengan Rasul mereka (dan) menolak semua yang merubah sunnah".
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (891) dengan sanad Shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- Kami katakan : Syia'h Rafidhoh telah mencocoki Yahudi dan Nasrani dalam mengakhirkan buka hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari kesesatan.].
c. Menyegerakan berbuka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak menjadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin beriup.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka [1], karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan]
Kami katakan :
Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut :
1. Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin atau mencari makan di Gedung Putih (Istana Kepresidenan Amerika, red) -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj.
2. Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah" [Al-Baqarah : 208].
Atas dasar inilah, maka ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian yang lainnya ; kita diperintah untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh ! kita mengetahui buah dari menyelisihi Yahudi dan Nasrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.
Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkara baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyak mereka : "Ini perkara-perkara kecil, furu'. khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita.
Perhatikanlah wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas basyirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam,
Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenamnya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu', khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah.
d. Berbuka sebelum shalat maghrib
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat Maghrib [Hadits Riwayat Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad Hasan] karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para nabi. Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu : "Tiga perkara yang merupakan akhlak para Nabi : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan (kanan, red) di atas tangan kiri dalam shalat" [Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana dalam Al-Majma (2/105) dia berkata : "..... marfu' dan mauquf shahih adapaun yang marfu' ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya". Aku katakan Mauquf -sebagaimana telah jelas- mempunyai hukum marfu'].
3. Berbuka dengan apa ?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin" [At-Taubah : 128].
Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan.
Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berittiba'. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu (ia berkata) :(yang artinya) : “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air" [Hadits Riwayat Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277,278), Tirmidzi 93/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih].
4. Yang diucapkan ketika berbuka
Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa - mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam- sesungguhnya engkau punya do'a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dalam keadaan engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do'a dari hati yang lalai-. Berdo'alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do'a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tiga do'a yang dikabulkan : do'anya orang yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan do'anya musafir" [Hadits Riwayat Uqaili dalam Ad-Dhu'afa' (1/72), Abu Muslim Al-Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul Anshari {..} sanadnya hasan kalau tidak ada 'an-'annah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid yaitu hadits selanjutnya.]
Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi" [Hadits Riwayat Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407) ada jahalah Abu Mudillah.]
Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
(yang artinya) : “Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak" [Hadits Riwayat Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan Al-Bushiri berkata : (2/81) ini sanad yang shahih, perawi-perawinya tsiqat.].
Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan “Dzahabad-dhoma'u wabtalatil 'uruuqu watsabbatil ajru insya Allah” (yang artinya) : “Telah hilang dahaga dan telah basah uart-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah" [Hadits Riwayat Abu Dawud 92/306), Baihaqi (4/239), Al-Hakim (1/422) Ibnu Sunni (128), Nasaai dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata : "sanadnya hasan". Aku katakan : memang seperti ucapannya.]
5. Memberi makan orang yang (berbuka, red) puasa
Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun" [Hadits Riwayat Ahmad (4/144,115,116,5/192) Tirmidzi (804), ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.]
Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.
Orang yang diundang disunnahkan mendo'akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : “Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'akan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian" [Hadits Riwayat Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa'i dalam 'Amalul Yaum" (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sandnya shahih. Peringatan : Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini : "Allah menyebutkan di majlis-Nya" adalah tidak ada asalnya. Perhatikan !!]
Doa’ “Allahumma ath ’im man ath ‘amanii, wa as qi man saqoonii” (yang artinya) : “Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku minum" [Hadits Riwayat Muslim 2055 dari Miqdad]
Do’a “Allahummagh fir lahum warhamhum wa baarak fiima rozaq tahum” (yang artinya) : “Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan" [Hadits Riwayat Muslim 2042 dari Abdullah bin Busrin]
Footnote :
[1]. Hal ini bukan berarti, jika manusia telah terlena dengan dunianya hingga mereka mengakhirkan bbukan mengikuti Yahudi dan Nasrani, kemudian agama ini menjadi kalah, tidak demikian keadaannya, Islam senantiasa akan menang kapanpun juga, dan dimanapun tempatnya. Wallahu a'lam, -ed
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Membayar Hutang Puasa (Qadha') Sesegera Mungkin
1. Qadha' (Penunaian, red) tidak wajib segera dilakukanKetahuilah wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama kepada kita- bahwasanya mengqdha' puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha'nya kecuali di bulan Sya'ban" [Hadits Riwayat Bukhari 4/166, Muslim 1146, Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal.422. setelah membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya beliau (yakni Aisyah) tidak mampu dan tidak dapat mengqadha' pada bulan sebelum Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu niscaya dia tidak akan mengahhirkan qadha' (sampai pada ucapan Syaikh) maka menjadi tersamar atasnya bahwa ketidakmampuan Aisyah adalah merupakan udzur (alasan) Maka perhatikanlah, -pent]
Berkata Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191 : "Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha' Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak".
Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha' lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur'an (yang artinya) : “Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian" [Ali Imran : 133]
Firman ALLAH (yang artinya) : “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya" [Al-Mu'minuun : 61]
2. Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha' karena ingin menyamakan dengan sifat penunaiannya.
Berdasarkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185 (yang artinya) : “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain".
Dan Ibnu Abbas berkata : (yang artinya) : “Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)" [Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shahih. Lihat Ta’ghliqut Ta’liq (3/186).
Abu Hurairah berkata : "Diselang-selingi kalau mau" [Lihat Irwaul Ghalil 4/95]
Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu Hurairah secara marfu' "Artnya : Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya diqadha' secara berturut-turut tidak boleh memisahnya" Ini adalah riwayat yang Dhaif. Daruquthni bekata : Abdurrahman bin Ibrahim Dhaif.
Al-Baihaqi berkata : Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) di dhaifkan oleh Ma'in, Nasa'i dan Daruquthni".
Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Syaikh kami Al-Albany Rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dalam Irwa'ul Ghalil no. 943. Adapun yang terdapat dalam Silsilah Hadits Dhaif 2/137 yang terkesan bahwa beliau menghasankannya dia ruju' dari pendapatnya.
Peringatan.
Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha', namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin, -ed) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95 : "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha' Ramadhan" Beliau menjawab : "Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut". Wallahu 'alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
3. Ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang shalat, maka walinya apalagi orang lain tidak bisa mengqadha'nya.
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar puasa, harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" [Bukhari 4/168, Muslim 1147]
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab : "Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" [Bukhari 4/168, Muslim 1148]
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : "Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan ?". Beliau menjawab, "Memberi makan".
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah : "Apakah aku harus mengqadha' puasanya ?" Aisyah menjawab : "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim".
Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilat Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4, ini lafadz dalam Al-Muhalla, dengan sanad sahih.
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : "Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha', kalau punya hutang nadzar diqadha' oleh walinya" Diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau menshahihkan sanadnya.
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma adalah periwayatan hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nadzar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam " Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nadzar?" Beliau bersabda : "Qadha'lah untuknya". Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud 3/279-282. (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nadzar dibolehkan diqadha' oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.
Al-Hasan berkata : "Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan"[Bukhari 4/112 secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbij, dishahihkan sanadnya oleh Syaikhuna Al-Albany dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/58] Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Shalat Tarawih
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari
تَرْوِيْحَةٌ
yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Dan
تَرْوِيْحَةٌ
pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)
Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294). Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).
Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:
1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)
• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)
2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)
3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat lainnya radiyallahu 'anhum 'ajma'in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).
4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)
Dalil pendapat kedua:
Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:
• Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi n. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.
Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.
Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)
Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih
Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ...
“Tidaklah (Rasulullah n) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi wasallam di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah n, maka sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)
2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar z, dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radiyallahu 'anhu”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu 'anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)
Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)
Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu 'alaihi wassallam).
Wallahu a’lam
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Shalat Tarawih. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301)
Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]
2. Jumlah raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at".
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.[3]
Footnote:
[1] Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
[3]Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
تَرْوِيْحَةٌ
yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Dan
تَرْوِيْحَةٌ
pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)
Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294). Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).
Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:
1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)
• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)
2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)
3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat lainnya radiyallahu 'anhum 'ajma'in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).
4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)
Dalil pendapat kedua:
Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:
• Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi n. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.
Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.
Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)
Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih
Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ...
“Tidaklah (Rasulullah n) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi wasallam di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah n, maka sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)
2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar z, dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radiyallahu 'anhu”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu 'anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)
Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)
Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu 'alaihi wassallam).
Wallahu a’lam
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Hariyadi, Lc, judul asli Shalat Tarawih. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301)
Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah
1. Pensyari'atannyaShalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]
2. Jumlah raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at".
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.[3]
Footnote:
[1] Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
[3]Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail
Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah
adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat
tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya
di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala
sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang
beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid.
Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih diwajibkan
atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal. 14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik", atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata: "Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi. Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?" Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!" Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian", maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: "Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas."
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath 4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya." Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: "Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata: "Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla' setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20 rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya 2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata: "Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat' dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah 2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah, lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi: "Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq: "Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa 'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita, laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat." (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah "Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: "Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal. 14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik", atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata: "Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi. Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?" Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!" Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian", maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: "Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas."
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath 4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya." Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al-Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: "Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata: "Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh."
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla' setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20 rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya 2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata: "Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal malam." (HR. Malik dalam Al-Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat' dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah 2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat seperti tuma'ninah, lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang-orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65)
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi: "Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq: "Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-Baihaqi mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa 'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita, laa manja minka illa ilaika.” Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat." (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah "Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: "Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)
Bantahan : Sholat Tarawih Rasulullah bukan 20 raka'at
Shalat Tarawih Bersama Rasulullah
Mukadimmah
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memujinya, memohon pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan diri-diri kita dan amal-amal kita.
Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya.
Saya bersaksi bahwa tidak yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya.
Amma ba’d :
Telah terdapat riwayat shahih yang mauquf atas sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu akan tetapi secara hukum marfu’ (sampai kepada) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, bahwa beliau (Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) mengatakan : “Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat besar anak kecil menyelimuti kalian, bahkan manusia menjadikannya sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya. Maka akan dikatakan : “Sunnah telah ditinggalkan ?” Mereka mengatakan : “ Kapan itu ?”. “Jika ulama kalian telah pergi, pembaca Al-Qu’ran semakin, banyak ahli fiqih semakin sedikit, semakin banyak pimpinan kalian, semakin sedikit orang yang jujur, dan dicari manfaat dunia dengan menggunakan amalan akhirat dan dipelajari selain agama”.”( Riwayat ad Darimi 1/64 dengan dua sanad salah satunya shahih dan yang lain hasan, juga Hakim 4/514 dan lainnya)
Saya (Syaikh Albani) berkata : “Hadist ini termasuk tanda-tanda kenabian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan kebenaran risalahnya, karena setiap point dari point-pointnya telah terwujud saat ini. Di antaranya, menyebarnya bid’ah dan manusia terfitnah olehnya sehingga menganggap bid’ah sebagai Sunnah dan menjadikannya sebagai agama yang dianut. Jika ahlusSunnah meninggalkannya kepada Sunnah yang benar-benar jelas dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam akan dikatakan : “Sunnah telah ditinggalkan ?”.
Inilah yang menimpa kami ahlussunah di Syam. Ketika kami menghidupkan Sunnah shalat tarawih sebelas rakkat dengan menjaga ketenangan dan kekhusyuan dan berbagai dzikir yang didapat dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam semampunya, suatu perkara yng telah ditinggalkan oleh mayoritas orang-orang yang tetap shalat dengan dua puluh rakaat. Akan tetapi mereka tetap berontak, dan bangkit qiyamat mereka ketika kita terbitkan buku kita yang berjudul “Shalatut Tarawih” [Telah dicetak ulang buku ini dengan cetakan kedua oleh Zuhair Syawisy tahun 1405 H, dengan bentuk huruf yang baru akan tetapi percobaan-percobaannya tidak disodorkan kepada saya untuk saya teliti sendiri, hal itu disebabkan sulitnya komunikasi antara Beirut dan Oman, sehingga terdapat sedikit kesalahan cetak, sebagiannya karena mengikuti cetakan yang pertama diantaranya yang ada pada hal (32) dan pada cetakan pertama pada hal (37) – yang berbunyi, pent seperti :”yang shalat dhuhur 5 rakaat dan Sunnah fajar 4 rakaat” yang benar adalah “shalat Sunnah Dhuhur” dengan dalil, kata yang mengikutinya “dan surah Fajar” dan kata-kata yang mendahuluinya serta kontek kalimatnya. Dan telah memperalat kesalahan cetak ini sebagian ahlil-bid’ah, lalu mendirikan diatasnya istana-istana mereka dalam buku-buku mereka yang akan dusebut nanti, akan tetapi istana mereka itu diatas bibir jurang yang terpuruk.] yang itu merupakan buku kedua dari silsilah buku kita “Tasdidul ishabah ila man zaa’ma nusratal hulafa’ur Rasyidin wa shahabah”, karena apa yang mereka lihat didalamnya dari hakekat beberapa hal :
1. Bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak shalat tarawih lebih dari 11 rakaat.
2. Bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay radhiyallahu ‘anhu dan Tamim ad Dary radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami manusia di bulan Ramadhan dengan 11 rakaat sesuai Sunnah yang shahih.
3.Bahwa riwayat : “Sesungguhnya manusia melakukan shalat tarawih di masa Umar di bulan Ramadhan 20 rakaat adalah riwayat lemah”, syadz yakni menyelisihi riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (terpercaya) yang mengatakan : “11 rakaat dan bahwa Umar memerintahkan dengannya”.
4. Bahwasanya riwayat yang syadz tersebut seandainya benar, maka mengambil riwayat yang shahih adalah lebih baik karena sesuainya dengan Sunnah dari sisi jumlah, dan tidak didapati pada riwayat itu bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan shalat 20 rakaat, orang-orang saja yang melakukan itu, berbeda dengan riwayat yang shahih, karena didalamnya terdapat bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan shalat dengan 11 rakaat.
5. Juga seandainya benar, tidak berarti kemudian harus mengamalkannya, dan meninggalkan amalan dari riwayat yang shahih yang sesuai dengan Sunnah, dimana yang mengamalkan Sunnah justru dianggap keluar dari jamaah. Bahkan puncak faedah yang ingin didapatkan dari riwayat itu adalah dibolehkannya 20 rakaat dengan pasti dan apa yang selalu dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah lebih utama.
6. Kami telah terangkan juga didalamnya bahwa 20 rakaat tersebut tidak didapatkan dari seorangpun shabat yang mulia satupun.
7. Bathilnya sangkaan bahwa mereka (shahabat -pent) telah bersepakat atas 20 rakaat.
8. Kami terangkan pula dalil yang mewajibkannya selalu melakukannya dengan jumlah yang terdapat dalam Sunnah, dan kami terangkan juga bahwa para ulama yang mengingkari penambahan dari jumlah tersebut, dan lain-lain dari faedah-faedah yang jarang didapatkan terkumpul dalam satu kitab.
Semua itu dengan dalil-dalil yang jelas dari Sunnah yang shahih dan dari atsar (ucapan aau perbuatan salafush shalih- pent) yang dipercaya. Ini merupakan perkara yang menyebabkan sikap berontak membabi-buta dari sekelompok syaikh ahli taqlid, sebagaimana didapati dalam khutbah dan pelajaran-pelajaran mereka, sebagiannya lagi dalam buku-buku yang mereka tulis untuk membantah buku kami terdahulu. Tapi semuanya kosong dari ilmu yang bermanfaat dan hujah yang mendasarinya. Bahkan buku itu dicorat-coret dengan celaan dan cercaan sebagaimana kebiasaan orang-orang yang salah ketika berontak terhadap kebenaran dan para pengikutnya.
Oleh karenanya kami tidak melihat adanya faedah yang besar dengan menghabiskan waktu kita untuk membantah mereka, dan menerangkan cacatnya ucapan mereka, karena umur ini terlalu pendek untuk membahas panjang lebar (masalah tersebut –pent) karena terlalu banyaknya. Semoga Allah memberi hidayah-Nya kepada mereka semuanya. Dan tidak mengapa kita memberikan contoh asal hal itu dengan salah satu dari mereka. Dia menurutku adlah lebih afdhal dan paling berilmu[Yaitu syaikh Ismail Al-Anshary salah seorang pegawai di kantor fatwa di kota Riyadh.]
Akan tetapi ilmu, jika tidak disertai dengan keikhlasan akhlaq yang suci, mudharatnya atas orangnya lebih besar dari manfaatnya, sebagaimana diisyaratkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Permisalan orang yang mengajarkan manusia kebaikan dan melupakan dirinya seperti lentera yang menerangi orang lain tapi membakar dirinya”. (Riwayat Thabrany dan Ad Dhiya’ al Maqdisi dalam kitab Al-Mukhtarah” dari sahabat Jundub dengan sanadnya yang bagus, lihat (shahih Targhib 1/56/127) ).
Orang tersebut telah menulis sebuah buku yang berjudul ”Tashihu Hadist-si Shalati at-Tarawihi ‘isrina rakaatan wa rodhu ‘ala Al-Albany fi Tad’iyfihi” Terjemahnya :“Shahihnya Hadist Shalat Tarawih 20 Rakaat dan Bantahannya Terhadap Al-Albani yang mendhaifkannya”
Dalam buku itu penulis telah keluar dari jalannya para ulama dalam hal melawan hujjah dengan hujjah dan dalil dengan dalil, juga dalam hal kejujuran dalam ucapan, dan menjauhkan pengkaburan pada orang yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kami tunjukkan pada perkara yang memungkinkan diringkas pada mukadimmah ini [Kemudian beliau menyebutkan 5 contoh dan beliau bantah dengan ilmiyah sehingga tampaklah bagi orang yang adil kuatnya hujjah beliau dan lemahnya dalil-dalil yang membantahnya, dan hampir semuanya berkisar pada masalah penerapan ilmu hadist. - pent]. Saya (Syaikh Al-Albani) berkata :
1. Sesungguhnya setiap orang yang membaca judul tersebut pada risalah / tulisannya, maka akan tergambar dibenaknya bahwa hadist yang marfu’ (sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam) tentang shalat tarawih 20 rakaat adalah disepakati kedhaifannya. Kemudian, apabila dia membaca beberapa lembar halaman awalnya maka akan jelas baginya bahwa atsar yang diriwayatkan dari jalan Yazid bin Khasifah dari Saib bin Yazid bahwa dia berkata : “Mereka (para Sahabat) mendirikan shalat pada zaman Umar bin Khattab pada bulan Ramadhan dengan 20 rakaat.”
Maka berawal dari sini pembaca akan mengetahui bahwa ada suatu (kejanggalan –pent) dalam tulisan ini, demikian pula pada judulnya. Karena dia terang-terangan berbuat tadlis.
Hanya kepada Allah lah kita meminta keselamatan dan ampunan.
2. Termasuk juga di situ dia membold (cetak tebal) tiga halaman yaitu (hal.14-16) terhadap Yazid bin Khasifah yang telah disebutkan, dan penetapannya bahwa dia adalah tsiqah itu dilakukannya untuk membuat ragu para pembaca -yang sungguh sejumlah telah a’immah (ulama) telah mentsiqahkannya- bahwa saya telah menyelisihi mereka semua dengan mendhaifkannya ! Padahal permasalahannya tidaklah demikian. Sungguh saya telah mengikuti mereka (para a’immah dalam men’tsiqah’kannya) sebagaimana akan datang penjelasannya.
3. Bahkan dia tidak sekedar (membuat) keragu-raguan dan tadlis dengannya (akan tetapi lebih dari itu). Jelas tersingkap kedustaan dan penyelisihannya dari kenyataan yang ada. (Pada hal.15) dia berkata : “Sesungguhnya Al-Albani menyangka kedhaifannya”. Ini adalah kedustaan nyata ! Karena sungguh, sebenarnya telah saya jelaskan dalam risalah saya (hal.57) bahwa dia adalah tsiqah!
Puncaknya adalah ucapan saya disitu : “Sesungguhnya dia menyendiri dengan apa-apa yang tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah. Yang seperti itu, ditolak hadistnya jika menyelisihi orang yang lebih kuat hafalannya dari pada dia; maka (atsar ini) menjadi syadz sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu Musthalah. Dan atsar ini termasuk di sini…”. Perkataan seperti ini, walaupun dianggap sebagai firnah terhadap penstiqahan para ulama, tetapi bukan berarti dia (Yazid) itu dhaif yang harus ditolak (hadistnya) secara mutlak. Bahkan sebaliknya, berati hadistnya diterima secara mutlak kecuali jika menyelisihi (riwayat-riwayat yang ada). Inilah apa yang saya tegaskan pada akhir ucapan yang telah disebutkan : ” Atsar ini termasuk disini…”. Berdasarkan pernyataan inilah perkataan kami berkisar. Maka orang yang mencela perkara tersebut dan menyandarkan suatu perkara yang tidak aku katakan adalah merupakan kelicikannya. Dan Allah lah yang mencatatnya.
4. Syaikh tersebut tidak merasa cukup dengan isyarat yang ditunjukkan kepadanya, ia justru menambahkan manasabkan kepadaku gelar buruk yang lain. Dia berkata (pada hal.22) : “ Tidak sepatutnya bagi orang yang meninggalkan riwayat Yazid bin Khasifah – yang digunakan hujjah oleh para imam semuanya –untuk menerima hujjah dengan riwayat Isa bin Jariyah yang didhaifkan oleh Yahya bin Main… dan. Sesungguhnya aku tidak menggunakan riwayat Isa tersebut sebagai hujjah mutlak, akan tetapi aku mengisyaratkan bahwa ia tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Sebagaimana aku katakan (hal. 21): “Sanadnya hasan, disebabkan (adanya) riwayat sebelumnya”.
Karena, seandainya aku berhujjah dengannya, seperti yang diada-adakan oleh Syaikh tersebut (tentu) tidaklah aku katakan : “Dengan riwayat sebelumnya”. Karena kalimat ini merupakan keterangan kuat yang menunjukkan bahwa perawi ini bukan termasuk seorang yang dapat digunakan/diterima riwayatnya. Bahkan ia di sisinya adalah lemah, tetapi digunkan sebagai penguat saja. Sehingga hadistnya menjadi hasan apabila terdapat (hadist lain) yang menguatkannya.
Dan telah didapatkan yaitu hadist yang diisyaratkan dengan perkataanku : “Dengan riwayat sebelumnya”. Yaitu hadist riwayat sebelumnya, yaitu hadist riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah di bulan Ramadhan, tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat”. (HR. Bukhary, Muslim dan lainnya)
Apakah Syaikh tersebut termasuk orang-orang yang tidak mengerti ilmu hadist sampai-sampai ia tidak memahami perkataan seperti ini : ”Sanadnya hasan dengan riwayat yang sebelumnya !” Apalagi aku telah menambahi keterangan atasnya ketika kamu kembali mentahrijnya di halaman lain (hal.79-80) dan kami nukil perkataan Al-Haitsami bahwa ia menghasankannya. Lalu aku memberi keterangan dengan perkataan : ”Dan sanadnya dianggap hasan menurutku”. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.
Apakah ini kepura-puraan yang disengaja atau pemalsuan murni yang dikarenakan kedengkian yang ada dalam hatinya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merhamati orang-orang yang mengatakan :
Jika engkau tidak mengetahui maka itu musibah
jika engkau mengetahui, maka musibahnya lebih besar.
Dan yang menunjukkan kepada pembaca bahwa syaikh mengetahui…, perkataannya (hal.46) : Dan telah disebutkan hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu :
“Jangan mengambil manfaat sedikitpun dari bangkai”
Sebagai cermin pengekorannya terhadap orang yang menghasankannya, (dia berkata) : “Tidak semestinya bagi Al-Albani untuk melemahkan hadist hasan dikarenakan adanya jalan periwayatan lain yang lemah. Maka sesungguhnya yang demikian itu menyimpang dari persetujuan yang disepakati para imam dalam bidang ini.”
Kalau demikian, maka aku (Syaikh Al-Albani) ketika menghasankan hadist Isa bin Jariyah yang telah lalu dengan penguat hadist Aisyah atasnya, syaikh menyadari dengan sepenuhnya pengetahuan bahwa aku sepakat dalam masalah itu dengan yang disepakati ulama dalam bidangnya. Oleh karena itu, ia tidak mampu menyalahkanku dalam masalah tersebut. Maka dia pun mengadakan pernyataan palsu bahwa aku berhujjah dengannya, untuk mencurahkan kebencian hatinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghitungnya.
Kemudian pembaca yang mulia bersama kami dapat melihat sepintas permainan syaikh ini terhadap hakekat ilmiyah. Karena jika yang demikian itu tidak selayaknya bagiku (seperti sangkaan) melemahkan hadist Jabir radiyallahu ‘anhu, yaitu :
“Jangan mengambil manfaat sedikitpun dari bangkai”
Karena dia (menurut persangkaanya) mempunyai jalan lain yang dhaif pula menurut pengetahuannya, walaupun karena taklid. Maka apakah patut pula baginya menganggap lemah hadist Jabir yang disebutkan di muka berkenaan dengan shalat Tarawih yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam sebanyak 11 rakaat ? Padahal hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha yang termaktub dalam shahih Bukhary dan Muslim yang dia lihat sendiri !.
Tidaklah ini artinya syaikh bermain diatas dua tali dan menimbang dengan dua neraca ? Maka Allah-lah tempat memohon pertolongan, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka dapat kami katakan sebagai keterangan dari kenyataan yang dilalaikan syaikh Ismail Al-Anshari (semoga Allah memberinya petunjuk) sebagai berikut : “Sesungguhnya telah kami katakan sebelumnya –menurut persangkaannya –adalah sebagai isyarat dariku bahwa jalan ini (yang dinukil dari sebagian mereka yang menghasankannya) akan tetapi kami nyatakan akan kedhaifannya, sedangkan dia sendiri melihat dengan mata kepalanya bahwa disana ada ‘an’anah Abi Az Zubair dari Jabir. Dan jalan lain itu sendiri yang memperkuat yang pertamanya. Karena sesungguhnya ukurannya pada Abi Az Zubair pula”. (nashbu Ar-Raayah 1/22).
Maka, apakah ilmu syaikh dapat menangkap bahwa sebagian dari apa yang disepakati oleh para ulama dalam bidangnya yaitu diperbolehkan menguatkan hadist dhaif dengan jalan hadist itu sendiri dan bukan dengan semisalnya. Ataukah ia mengikuti hawa nafsu dan berusaha membela syaikh walaupun dengan menyelisihi kebenaran. Ataukah dia hanya taqlid seperti Syaukani dalam kitabnya Nail Al Authar yang disana banyak penukilan, penjiplakan dan sedikit tahqiq dan pemeriksaan dalam membicarakan hadist-hadistnya.
Akan tetapi ini tidak menghalangiku (dengan fadhilah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan taufik-Nya) dari menyatakan secara terang-terangan bahwa aku mendapatkan di kemudian hari, penguat yang sangat kuat terhadap hadist Jabir ini dan dengan lafadz yang sama dari hadist riwayat Ibnu ‘Ukaim radhiyallahu ‘anhu yang tidak pernah dilihat seorangpun sebelumku yang telah disebutkan dan diisyaratkan olehnya. Dan hadist ini shahih sanadnya di sisiku seperti yang dapat kalian lihat dalam kitabku Irwa’ul Ghalil 1/78.
Kalau seandainya Syaikh Al-Anshari menghendaki ilmu, nasehat dan bimbingan tidak mengapa menjadikan satu jalan menjadi dua dan sangat baik bagi kami sebagai dalil atas penguat ini. Akan tetapi perkaranya seperti yang dikatakan : “Yang miskin tidak akan dapat memberi sesuatupun”. Sesungguhnya aku telah melihatnya menyebutkan dalam bantahan-nya (hal.48) bahwa hadist Ibnu ‘Ukaim radhiyallahu ‘anhu di sisi Daruquthni. Dan bahwa maknanya sama dengan maknanya hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu.
Mengingat aku tidak mengetahui, demia Allah Subhanahu wa Ta’ala –dan aku menyangka dia juga tidak mengetahui- kenapa Daruquthni mengkhususkan penyebutannya sedangkan pengarang-pengarang kitab Sunan lain tidak. Walaupun lafadz mereka sama :
“Jangan mengambil manfaat dari bangkai, kulitnya maupun tulangnya”.
Dan sangkaannya terhadap makna hadist Jabir tidak dapat diterima, karena lebih khusus daripadanya, seperti tampak. Sungguh ia lalai dari lafadz yang merupakan lafadz hadist Jabir dengan huruf yang sama.
Maka segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menunjuki aku –walaupun beberapa saat kemudian- kepadanya, dan tidak seorangpun memergokiku disebabkan kelalaianku yang lalu. Kalau tidak…kami mohon keselamatan dan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan akhirat.
5. Syaikh tersebut belum merasa cukup mengada-adakan terhadapku. Sesungguhnya ia telah menasabkan kepadaku (hal.41) pada pembodohan terhadap Salaf. Subhanallah - Maha Suci Engkau Ya Allah ! Ini suatu kedustaan yang sangat besar. Padahal yang benar, sesungguhnya saya tidak punya dosa terhadap syaikh tersebut dan yang semacamnya dari para ahli Taqlid yang hasad, kecuali hanya karena aku mengajak kepada Salafus Shalih dam konsisten dengan madzhabnya, tidak dengan madzhab-madzhab orang-orang tertentu dari mereka. Itulah yang membawa syaikh tersebut untuk menyikapi aku sebagai musuh, yang hasad/dengki dalam rangka mengikuti alur mayoritas ahli taqlid, yang tidak mengenal agama melainkan apa yang ada pada nenek moyang mereka kecuali orang yang Allah lindungi dan mereka sedikit sekali.
Diantara keanehan syaikh ini, dia telah melewati seluruh masalah-masalah yang diisyaratkan diatas dan telah kita teliti dengan benar penjelasannya. Dan aku tidak ragu bahwa dia sependapat dengan kami pada sebagiannya minimal, atau bahkan kebanyakannya. Tapi dia tidak menyebutkan sikapnya terhadap riwayat-riwayat tersebut. Contohya ucapan kami : “Sesungguhnya bukan merupakan konsekwensi keshahihan 20 rakaat itu, meninggalkan amalan dari riwayat lain yang sesuai dengan hadist Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tidak menambah baik di bulan Ramadhan atau yang lainnya lebih dari 11 rakaat.”
Apakah lebih utama mengamalkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengamalkan apa yang dilakukan manusia di zaman Umar ? Itupun seandainya riwayat tersebut shahih dari perbuatan mereka. ?!
Syaikh tersebut tidak menampakkan sikapnya tentang hal itu, karena jika dia menguatkan perkara yang menyelisihi Sunnah, akan tampak hakekatnya di kalangan Ahlussunnah, tapi kalau menguatkan Sunnah akibatnya akan sesuai dengan Al-Albani, dan ini adalah sesuatu yang tidak diperkenankan oleh dirinya karena sebuah sebab atau lebih yang tidak tersembunyi lagi pada pembaca yang cerdas.
Ini adalah sebuah contoh dari banthan-bantahan yang kami lihat membantah buku kita yang terdahulu yaitu “Shalatut Tarawih” padahal yang (tersebar diatas –pent) adalah bantahan yang paling bagus diantara yang lain. Namun demikian pembaca telah mengetahui beberapa contoh yang ada padanya yang darinya nampak jelas kosongnya dari sikap adil dan jauh dari jalan para ulama yang tidak menginginkan, kecuali keterangan hakekat suatu masalah. Dan jika ini dari orang yang paling baik dan berilmu diantara mereka maka bagaimana dengan yang lain yang tidak memiliki ilmu dan akhlaq.
Dan karena buku kami tersebut (Shalat Tarawih) telah tercetak dan melewati masa yang panjang, sedang kebutuhan menuntut untuk dicetak ulang, dan dahulu cara pemaparannya telah mencapai maksud serta tujuannya yang terpenting yaitu memperingatkan mayoritas manusia kepada Sunnah dalam shalat tarawih serta membantah orang-orang yang menyelisihi kami, sehingga tersebarlah Sunnah ini di banyak masjid-masjid di Syiria dan Yordania dan selain keduanya dari negeri-negeri Islam.
Dan Alhamdulillah yang dengan nikmat-Nyalah perkara-perkara yang baik itu menjadi sempurna. Oleh karenanya saya mempunyai ide meringkas [Ringkasan itu berjudul “Qiyamu Ramadhan” yang kami beri judul dalam bahasa indonesia ini dengan “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah shallallhu ‘alihi wa sallam, pent] dengan cara yang ilmiah murni, Tanpa aku menyinggung seorang pun untuk membantahnya sebagaimana ucapan orang (sampaikan ucapanmu dan berjalanlah terus), yakni menulis setiap faedah ilmiyah yang ada dalam kitab asli dengan menambah faedah-faedah lain untuk menyempurnkannya. Dan Allah lah Yang Maha Suci yang dimohon untuk memberi manfaat dengan ringkasan ini sebagaimana memberikan manfaat dengan yang sebelumnya, dan agar memberikan ganjaran darinya, sungguh Dia adalah Dzat yang paling derma tatkala diminta.
(Dinukil dari buku terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Mukaddimmah Cetakan Pertama”, Hal : 14 - 37, Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)
Mukadimmah
Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memujinya, memohon pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan diri-diri kita dan amal-amal kita.
Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya.
Saya bersaksi bahwa tidak yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya.
Amma ba’d :
Telah terdapat riwayat shahih yang mauquf atas sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu akan tetapi secara hukum marfu’ (sampai kepada) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, bahwa beliau (Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) mengatakan : “Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat besar anak kecil menyelimuti kalian, bahkan manusia menjadikannya sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya. Maka akan dikatakan : “Sunnah telah ditinggalkan ?” Mereka mengatakan : “ Kapan itu ?”. “Jika ulama kalian telah pergi, pembaca Al-Qu’ran semakin, banyak ahli fiqih semakin sedikit, semakin banyak pimpinan kalian, semakin sedikit orang yang jujur, dan dicari manfaat dunia dengan menggunakan amalan akhirat dan dipelajari selain agama”.”( Riwayat ad Darimi 1/64 dengan dua sanad salah satunya shahih dan yang lain hasan, juga Hakim 4/514 dan lainnya)
Saya (Syaikh Albani) berkata : “Hadist ini termasuk tanda-tanda kenabian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan kebenaran risalahnya, karena setiap point dari point-pointnya telah terwujud saat ini. Di antaranya, menyebarnya bid’ah dan manusia terfitnah olehnya sehingga menganggap bid’ah sebagai Sunnah dan menjadikannya sebagai agama yang dianut. Jika ahlusSunnah meninggalkannya kepada Sunnah yang benar-benar jelas dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam akan dikatakan : “Sunnah telah ditinggalkan ?”.
Inilah yang menimpa kami ahlussunah di Syam. Ketika kami menghidupkan Sunnah shalat tarawih sebelas rakkat dengan menjaga ketenangan dan kekhusyuan dan berbagai dzikir yang didapat dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam semampunya, suatu perkara yng telah ditinggalkan oleh mayoritas orang-orang yang tetap shalat dengan dua puluh rakaat. Akan tetapi mereka tetap berontak, dan bangkit qiyamat mereka ketika kita terbitkan buku kita yang berjudul “Shalatut Tarawih” [Telah dicetak ulang buku ini dengan cetakan kedua oleh Zuhair Syawisy tahun 1405 H, dengan bentuk huruf yang baru akan tetapi percobaan-percobaannya tidak disodorkan kepada saya untuk saya teliti sendiri, hal itu disebabkan sulitnya komunikasi antara Beirut dan Oman, sehingga terdapat sedikit kesalahan cetak, sebagiannya karena mengikuti cetakan yang pertama diantaranya yang ada pada hal (32) dan pada cetakan pertama pada hal (37) – yang berbunyi, pent seperti :”yang shalat dhuhur 5 rakaat dan Sunnah fajar 4 rakaat” yang benar adalah “shalat Sunnah Dhuhur” dengan dalil, kata yang mengikutinya “dan surah Fajar” dan kata-kata yang mendahuluinya serta kontek kalimatnya. Dan telah memperalat kesalahan cetak ini sebagian ahlil-bid’ah, lalu mendirikan diatasnya istana-istana mereka dalam buku-buku mereka yang akan dusebut nanti, akan tetapi istana mereka itu diatas bibir jurang yang terpuruk.] yang itu merupakan buku kedua dari silsilah buku kita “Tasdidul ishabah ila man zaa’ma nusratal hulafa’ur Rasyidin wa shahabah”, karena apa yang mereka lihat didalamnya dari hakekat beberapa hal :
1. Bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak shalat tarawih lebih dari 11 rakaat.
2. Bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay radhiyallahu ‘anhu dan Tamim ad Dary radhiyallahu ‘anhu untuk mengimami manusia di bulan Ramadhan dengan 11 rakaat sesuai Sunnah yang shahih.
3.Bahwa riwayat : “Sesungguhnya manusia melakukan shalat tarawih di masa Umar di bulan Ramadhan 20 rakaat adalah riwayat lemah”, syadz yakni menyelisihi riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah (terpercaya) yang mengatakan : “11 rakaat dan bahwa Umar memerintahkan dengannya”.
4. Bahwasanya riwayat yang syadz tersebut seandainya benar, maka mengambil riwayat yang shahih adalah lebih baik karena sesuainya dengan Sunnah dari sisi jumlah, dan tidak didapati pada riwayat itu bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan shalat 20 rakaat, orang-orang saja yang melakukan itu, berbeda dengan riwayat yang shahih, karena didalamnya terdapat bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu memerintahkan shalat dengan 11 rakaat.
5. Juga seandainya benar, tidak berarti kemudian harus mengamalkannya, dan meninggalkan amalan dari riwayat yang shahih yang sesuai dengan Sunnah, dimana yang mengamalkan Sunnah justru dianggap keluar dari jamaah. Bahkan puncak faedah yang ingin didapatkan dari riwayat itu adalah dibolehkannya 20 rakaat dengan pasti dan apa yang selalu dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah lebih utama.
6. Kami telah terangkan juga didalamnya bahwa 20 rakaat tersebut tidak didapatkan dari seorangpun shabat yang mulia satupun.
7. Bathilnya sangkaan bahwa mereka (shahabat -pent) telah bersepakat atas 20 rakaat.
8. Kami terangkan pula dalil yang mewajibkannya selalu melakukannya dengan jumlah yang terdapat dalam Sunnah, dan kami terangkan juga bahwa para ulama yang mengingkari penambahan dari jumlah tersebut, dan lain-lain dari faedah-faedah yang jarang didapatkan terkumpul dalam satu kitab.
Semua itu dengan dalil-dalil yang jelas dari Sunnah yang shahih dan dari atsar (ucapan aau perbuatan salafush shalih- pent) yang dipercaya. Ini merupakan perkara yang menyebabkan sikap berontak membabi-buta dari sekelompok syaikh ahli taqlid, sebagaimana didapati dalam khutbah dan pelajaran-pelajaran mereka, sebagiannya lagi dalam buku-buku yang mereka tulis untuk membantah buku kami terdahulu. Tapi semuanya kosong dari ilmu yang bermanfaat dan hujah yang mendasarinya. Bahkan buku itu dicorat-coret dengan celaan dan cercaan sebagaimana kebiasaan orang-orang yang salah ketika berontak terhadap kebenaran dan para pengikutnya.
Oleh karenanya kami tidak melihat adanya faedah yang besar dengan menghabiskan waktu kita untuk membantah mereka, dan menerangkan cacatnya ucapan mereka, karena umur ini terlalu pendek untuk membahas panjang lebar (masalah tersebut –pent) karena terlalu banyaknya. Semoga Allah memberi hidayah-Nya kepada mereka semuanya. Dan tidak mengapa kita memberikan contoh asal hal itu dengan salah satu dari mereka. Dia menurutku adlah lebih afdhal dan paling berilmu[Yaitu syaikh Ismail Al-Anshary salah seorang pegawai di kantor fatwa di kota Riyadh.]
Akan tetapi ilmu, jika tidak disertai dengan keikhlasan akhlaq yang suci, mudharatnya atas orangnya lebih besar dari manfaatnya, sebagaimana diisyaratkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Permisalan orang yang mengajarkan manusia kebaikan dan melupakan dirinya seperti lentera yang menerangi orang lain tapi membakar dirinya”. (Riwayat Thabrany dan Ad Dhiya’ al Maqdisi dalam kitab Al-Mukhtarah” dari sahabat Jundub dengan sanadnya yang bagus, lihat (shahih Targhib 1/56/127) ).
Orang tersebut telah menulis sebuah buku yang berjudul ”Tashihu Hadist-si Shalati at-Tarawihi ‘isrina rakaatan wa rodhu ‘ala Al-Albany fi Tad’iyfihi” Terjemahnya :“Shahihnya Hadist Shalat Tarawih 20 Rakaat dan Bantahannya Terhadap Al-Albani yang mendhaifkannya”
Dalam buku itu penulis telah keluar dari jalannya para ulama dalam hal melawan hujjah dengan hujjah dan dalil dengan dalil, juga dalam hal kejujuran dalam ucapan, dan menjauhkan pengkaburan pada orang yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kami tunjukkan pada perkara yang memungkinkan diringkas pada mukadimmah ini [Kemudian beliau menyebutkan 5 contoh dan beliau bantah dengan ilmiyah sehingga tampaklah bagi orang yang adil kuatnya hujjah beliau dan lemahnya dalil-dalil yang membantahnya, dan hampir semuanya berkisar pada masalah penerapan ilmu hadist. - pent]. Saya (Syaikh Al-Albani) berkata :
1. Sesungguhnya setiap orang yang membaca judul tersebut pada risalah / tulisannya, maka akan tergambar dibenaknya bahwa hadist yang marfu’ (sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam) tentang shalat tarawih 20 rakaat adalah disepakati kedhaifannya. Kemudian, apabila dia membaca beberapa lembar halaman awalnya maka akan jelas baginya bahwa atsar yang diriwayatkan dari jalan Yazid bin Khasifah dari Saib bin Yazid bahwa dia berkata : “Mereka (para Sahabat) mendirikan shalat pada zaman Umar bin Khattab pada bulan Ramadhan dengan 20 rakaat.”
Maka berawal dari sini pembaca akan mengetahui bahwa ada suatu (kejanggalan –pent) dalam tulisan ini, demikian pula pada judulnya. Karena dia terang-terangan berbuat tadlis.
Hanya kepada Allah lah kita meminta keselamatan dan ampunan.
2. Termasuk juga di situ dia membold (cetak tebal) tiga halaman yaitu (hal.14-16) terhadap Yazid bin Khasifah yang telah disebutkan, dan penetapannya bahwa dia adalah tsiqah itu dilakukannya untuk membuat ragu para pembaca -yang sungguh sejumlah telah a’immah (ulama) telah mentsiqahkannya- bahwa saya telah menyelisihi mereka semua dengan mendhaifkannya ! Padahal permasalahannya tidaklah demikian. Sungguh saya telah mengikuti mereka (para a’immah dalam men’tsiqah’kannya) sebagaimana akan datang penjelasannya.
3. Bahkan dia tidak sekedar (membuat) keragu-raguan dan tadlis dengannya (akan tetapi lebih dari itu). Jelas tersingkap kedustaan dan penyelisihannya dari kenyataan yang ada. (Pada hal.15) dia berkata : “Sesungguhnya Al-Albani menyangka kedhaifannya”. Ini adalah kedustaan nyata ! Karena sungguh, sebenarnya telah saya jelaskan dalam risalah saya (hal.57) bahwa dia adalah tsiqah!
Puncaknya adalah ucapan saya disitu : “Sesungguhnya dia menyendiri dengan apa-apa yang tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah. Yang seperti itu, ditolak hadistnya jika menyelisihi orang yang lebih kuat hafalannya dari pada dia; maka (atsar ini) menjadi syadz sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu Musthalah. Dan atsar ini termasuk di sini…”. Perkataan seperti ini, walaupun dianggap sebagai firnah terhadap penstiqahan para ulama, tetapi bukan berarti dia (Yazid) itu dhaif yang harus ditolak (hadistnya) secara mutlak. Bahkan sebaliknya, berati hadistnya diterima secara mutlak kecuali jika menyelisihi (riwayat-riwayat yang ada). Inilah apa yang saya tegaskan pada akhir ucapan yang telah disebutkan : ” Atsar ini termasuk disini…”. Berdasarkan pernyataan inilah perkataan kami berkisar. Maka orang yang mencela perkara tersebut dan menyandarkan suatu perkara yang tidak aku katakan adalah merupakan kelicikannya. Dan Allah lah yang mencatatnya.
4. Syaikh tersebut tidak merasa cukup dengan isyarat yang ditunjukkan kepadanya, ia justru menambahkan manasabkan kepadaku gelar buruk yang lain. Dia berkata (pada hal.22) : “ Tidak sepatutnya bagi orang yang meninggalkan riwayat Yazid bin Khasifah – yang digunakan hujjah oleh para imam semuanya –untuk menerima hujjah dengan riwayat Isa bin Jariyah yang didhaifkan oleh Yahya bin Main… dan. Sesungguhnya aku tidak menggunakan riwayat Isa tersebut sebagai hujjah mutlak, akan tetapi aku mengisyaratkan bahwa ia tidak dapat digunakan sebagai hujjah. Sebagaimana aku katakan (hal. 21): “Sanadnya hasan, disebabkan (adanya) riwayat sebelumnya”.
Karena, seandainya aku berhujjah dengannya, seperti yang diada-adakan oleh Syaikh tersebut (tentu) tidaklah aku katakan : “Dengan riwayat sebelumnya”. Karena kalimat ini merupakan keterangan kuat yang menunjukkan bahwa perawi ini bukan termasuk seorang yang dapat digunakan/diterima riwayatnya. Bahkan ia di sisinya adalah lemah, tetapi digunkan sebagai penguat saja. Sehingga hadistnya menjadi hasan apabila terdapat (hadist lain) yang menguatkannya.
Dan telah didapatkan yaitu hadist yang diisyaratkan dengan perkataanku : “Dengan riwayat sebelumnya”. Yaitu hadist riwayat sebelumnya, yaitu hadist riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata :
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah di bulan Ramadhan, tidak pula pada bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat”. (HR. Bukhary, Muslim dan lainnya)
Apakah Syaikh tersebut termasuk orang-orang yang tidak mengerti ilmu hadist sampai-sampai ia tidak memahami perkataan seperti ini : ”Sanadnya hasan dengan riwayat yang sebelumnya !” Apalagi aku telah menambahi keterangan atasnya ketika kamu kembali mentahrijnya di halaman lain (hal.79-80) dan kami nukil perkataan Al-Haitsami bahwa ia menghasankannya. Lalu aku memberi keterangan dengan perkataan : ”Dan sanadnya dianggap hasan menurutku”. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.
Apakah ini kepura-puraan yang disengaja atau pemalsuan murni yang dikarenakan kedengkian yang ada dalam hatinya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merhamati orang-orang yang mengatakan :
Jika engkau tidak mengetahui maka itu musibah
jika engkau mengetahui, maka musibahnya lebih besar.
Dan yang menunjukkan kepada pembaca bahwa syaikh mengetahui…, perkataannya (hal.46) : Dan telah disebutkan hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu :
“Jangan mengambil manfaat sedikitpun dari bangkai”
Sebagai cermin pengekorannya terhadap orang yang menghasankannya, (dia berkata) : “Tidak semestinya bagi Al-Albani untuk melemahkan hadist hasan dikarenakan adanya jalan periwayatan lain yang lemah. Maka sesungguhnya yang demikian itu menyimpang dari persetujuan yang disepakati para imam dalam bidang ini.”
Kalau demikian, maka aku (Syaikh Al-Albani) ketika menghasankan hadist Isa bin Jariyah yang telah lalu dengan penguat hadist Aisyah atasnya, syaikh menyadari dengan sepenuhnya pengetahuan bahwa aku sepakat dalam masalah itu dengan yang disepakati ulama dalam bidangnya. Oleh karena itu, ia tidak mampu menyalahkanku dalam masalah tersebut. Maka dia pun mengadakan pernyataan palsu bahwa aku berhujjah dengannya, untuk mencurahkan kebencian hatinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghitungnya.
Kemudian pembaca yang mulia bersama kami dapat melihat sepintas permainan syaikh ini terhadap hakekat ilmiyah. Karena jika yang demikian itu tidak selayaknya bagiku (seperti sangkaan) melemahkan hadist Jabir radiyallahu ‘anhu, yaitu :
“Jangan mengambil manfaat sedikitpun dari bangkai”
Karena dia (menurut persangkaanya) mempunyai jalan lain yang dhaif pula menurut pengetahuannya, walaupun karena taklid. Maka apakah patut pula baginya menganggap lemah hadist Jabir yang disebutkan di muka berkenaan dengan shalat Tarawih yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam sebanyak 11 rakaat ? Padahal hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha yang termaktub dalam shahih Bukhary dan Muslim yang dia lihat sendiri !.
Tidaklah ini artinya syaikh bermain diatas dua tali dan menimbang dengan dua neraca ? Maka Allah-lah tempat memohon pertolongan, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka dapat kami katakan sebagai keterangan dari kenyataan yang dilalaikan syaikh Ismail Al-Anshari (semoga Allah memberinya petunjuk) sebagai berikut : “Sesungguhnya telah kami katakan sebelumnya –menurut persangkaannya –adalah sebagai isyarat dariku bahwa jalan ini (yang dinukil dari sebagian mereka yang menghasankannya) akan tetapi kami nyatakan akan kedhaifannya, sedangkan dia sendiri melihat dengan mata kepalanya bahwa disana ada ‘an’anah Abi Az Zubair dari Jabir. Dan jalan lain itu sendiri yang memperkuat yang pertamanya. Karena sesungguhnya ukurannya pada Abi Az Zubair pula”. (nashbu Ar-Raayah 1/22).
Maka, apakah ilmu syaikh dapat menangkap bahwa sebagian dari apa yang disepakati oleh para ulama dalam bidangnya yaitu diperbolehkan menguatkan hadist dhaif dengan jalan hadist itu sendiri dan bukan dengan semisalnya. Ataukah ia mengikuti hawa nafsu dan berusaha membela syaikh walaupun dengan menyelisihi kebenaran. Ataukah dia hanya taqlid seperti Syaukani dalam kitabnya Nail Al Authar yang disana banyak penukilan, penjiplakan dan sedikit tahqiq dan pemeriksaan dalam membicarakan hadist-hadistnya.
Akan tetapi ini tidak menghalangiku (dengan fadhilah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan taufik-Nya) dari menyatakan secara terang-terangan bahwa aku mendapatkan di kemudian hari, penguat yang sangat kuat terhadap hadist Jabir ini dan dengan lafadz yang sama dari hadist riwayat Ibnu ‘Ukaim radhiyallahu ‘anhu yang tidak pernah dilihat seorangpun sebelumku yang telah disebutkan dan diisyaratkan olehnya. Dan hadist ini shahih sanadnya di sisiku seperti yang dapat kalian lihat dalam kitabku Irwa’ul Ghalil 1/78.
Kalau seandainya Syaikh Al-Anshari menghendaki ilmu, nasehat dan bimbingan tidak mengapa menjadikan satu jalan menjadi dua dan sangat baik bagi kami sebagai dalil atas penguat ini. Akan tetapi perkaranya seperti yang dikatakan : “Yang miskin tidak akan dapat memberi sesuatupun”. Sesungguhnya aku telah melihatnya menyebutkan dalam bantahan-nya (hal.48) bahwa hadist Ibnu ‘Ukaim radhiyallahu ‘anhu di sisi Daruquthni. Dan bahwa maknanya sama dengan maknanya hadist Jabir radhiyallahu ‘anhu.
Mengingat aku tidak mengetahui, demia Allah Subhanahu wa Ta’ala –dan aku menyangka dia juga tidak mengetahui- kenapa Daruquthni mengkhususkan penyebutannya sedangkan pengarang-pengarang kitab Sunan lain tidak. Walaupun lafadz mereka sama :
“Jangan mengambil manfaat dari bangkai, kulitnya maupun tulangnya”.
Dan sangkaannya terhadap makna hadist Jabir tidak dapat diterima, karena lebih khusus daripadanya, seperti tampak. Sungguh ia lalai dari lafadz yang merupakan lafadz hadist Jabir dengan huruf yang sama.
Maka segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menunjuki aku –walaupun beberapa saat kemudian- kepadanya, dan tidak seorangpun memergokiku disebabkan kelalaianku yang lalu. Kalau tidak…kami mohon keselamatan dan ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia dan akhirat.
5. Syaikh tersebut belum merasa cukup mengada-adakan terhadapku. Sesungguhnya ia telah menasabkan kepadaku (hal.41) pada pembodohan terhadap Salaf. Subhanallah - Maha Suci Engkau Ya Allah ! Ini suatu kedustaan yang sangat besar. Padahal yang benar, sesungguhnya saya tidak punya dosa terhadap syaikh tersebut dan yang semacamnya dari para ahli Taqlid yang hasad, kecuali hanya karena aku mengajak kepada Salafus Shalih dam konsisten dengan madzhabnya, tidak dengan madzhab-madzhab orang-orang tertentu dari mereka. Itulah yang membawa syaikh tersebut untuk menyikapi aku sebagai musuh, yang hasad/dengki dalam rangka mengikuti alur mayoritas ahli taqlid, yang tidak mengenal agama melainkan apa yang ada pada nenek moyang mereka kecuali orang yang Allah lindungi dan mereka sedikit sekali.
Diantara keanehan syaikh ini, dia telah melewati seluruh masalah-masalah yang diisyaratkan diatas dan telah kita teliti dengan benar penjelasannya. Dan aku tidak ragu bahwa dia sependapat dengan kami pada sebagiannya minimal, atau bahkan kebanyakannya. Tapi dia tidak menyebutkan sikapnya terhadap riwayat-riwayat tersebut. Contohya ucapan kami : “Sesungguhnya bukan merupakan konsekwensi keshahihan 20 rakaat itu, meninggalkan amalan dari riwayat lain yang sesuai dengan hadist Aisyah bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tidak menambah baik di bulan Ramadhan atau yang lainnya lebih dari 11 rakaat.”
Apakah lebih utama mengamalkan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengamalkan apa yang dilakukan manusia di zaman Umar ? Itupun seandainya riwayat tersebut shahih dari perbuatan mereka. ?!
Syaikh tersebut tidak menampakkan sikapnya tentang hal itu, karena jika dia menguatkan perkara yang menyelisihi Sunnah, akan tampak hakekatnya di kalangan Ahlussunnah, tapi kalau menguatkan Sunnah akibatnya akan sesuai dengan Al-Albani, dan ini adalah sesuatu yang tidak diperkenankan oleh dirinya karena sebuah sebab atau lebih yang tidak tersembunyi lagi pada pembaca yang cerdas.
Ini adalah sebuah contoh dari banthan-bantahan yang kami lihat membantah buku kita yang terdahulu yaitu “Shalatut Tarawih” padahal yang (tersebar diatas –pent) adalah bantahan yang paling bagus diantara yang lain. Namun demikian pembaca telah mengetahui beberapa contoh yang ada padanya yang darinya nampak jelas kosongnya dari sikap adil dan jauh dari jalan para ulama yang tidak menginginkan, kecuali keterangan hakekat suatu masalah. Dan jika ini dari orang yang paling baik dan berilmu diantara mereka maka bagaimana dengan yang lain yang tidak memiliki ilmu dan akhlaq.
Dan karena buku kami tersebut (Shalat Tarawih) telah tercetak dan melewati masa yang panjang, sedang kebutuhan menuntut untuk dicetak ulang, dan dahulu cara pemaparannya telah mencapai maksud serta tujuannya yang terpenting yaitu memperingatkan mayoritas manusia kepada Sunnah dalam shalat tarawih serta membantah orang-orang yang menyelisihi kami, sehingga tersebarlah Sunnah ini di banyak masjid-masjid di Syiria dan Yordania dan selain keduanya dari negeri-negeri Islam.
Dan Alhamdulillah yang dengan nikmat-Nyalah perkara-perkara yang baik itu menjadi sempurna. Oleh karenanya saya mempunyai ide meringkas [Ringkasan itu berjudul “Qiyamu Ramadhan” yang kami beri judul dalam bahasa indonesia ini dengan “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah shallallhu ‘alihi wa sallam, pent] dengan cara yang ilmiah murni, Tanpa aku menyinggung seorang pun untuk membantahnya sebagaimana ucapan orang (sampaikan ucapanmu dan berjalanlah terus), yakni menulis setiap faedah ilmiyah yang ada dalam kitab asli dengan menambah faedah-faedah lain untuk menyempurnkannya. Dan Allah lah Yang Maha Suci yang dimohon untuk memberi manfaat dengan ringkasan ini sebagaimana memberikan manfaat dengan yang sebelumnya, dan agar memberikan ganjaran darinya, sungguh Dia adalah Dzat yang paling derma tatkala diminta.
(Dinukil dari buku terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Mukaddimmah Cetakan Pertama”, Hal : 14 - 37, Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)
Ringkasan ragam sholat Tarawih & qunut witir Rasulullah
Saya (Syaikh Al-Albani) telah menjelaskan perinciannya dalam kitab saya
yang lain “Shalat Tarawih” (hal.101-105), kemudian saya disini hendak
meringkasnya untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.] [1].
Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).
Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
"اللهم اهد تي فيمن هديت, وعا قني قيمن عا فيت, وتولني فيمن توليت, وبا رك لي فيما اعطيت, وقني شر ما قضيت, فاءنك تثضي ولايقضى عليك, وانه لايد ل من واليت, ولا يعزمن عا ديت, تبا ركت ربنا وتعا ليت, لامنجا منك الا اليك."
“Ya Allah berilah aku hidayah, termasuk pada orang yang Engkau beri hidayah, dan berilah aku keselamatan, dan orang yang Engkau anugrahi keselamatan dan perbaikilah urusanku, termasuk dalam orang yang Engkau perbaiki urusannya, dan berkahilah aku pada apa yang Engkau anugerahkan kepadaku, dan hindarkan aku dari kejahatan apa yang Engkau putuskan, sungguh Engkaulah yang memutuskan dan bukan diputuskan, dan sungguh tidak akan hina orang yang Engkau tolong serta tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, tiada tempat berlindung dari-Mu kecuali kepada diri-Mu”. (Riwayat Abu Dawud, Nasai dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. lihat “Sifat Shalat Nabi” hal: 95-96 cet. ke-7).
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
"اللهم قا تل الكفرة الذين يصد ون عن سبيلك ويكذ بون رسلك, ولا يؤمنون بوعد ك, وخا لف بين كلمتهم, واًلق في قلوبهم الرعب, واًلق عليهم رجزك وعذا بك, اله الحقز"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
" اللهم اياك نعبد, ولك نصلي ونسجد, واليك نسعى ونحفد, ونرجورحمتك ربنا, ونخاف عذابك الجد, ِان عذابك لمن عاديت ملحق"
“Ya Allah! Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya untuk-Mu kami shalat dan sujud. Hanya kepada-Mu kami menuju dan menyegerakan langkah kami Kami mengharap rahmat-Mu wahai Tuhan kami dan kami takut adzab-Mu yang sangat. Sesungguhnya adzab-Mu akan mengenai orang yang memusuhi-Mu.”
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
"اللهم اني اعوذ بر ضاك من سخطك ومعا فاتك من عقوبتك, واعوذبك منك لااَ حصي ثناء عليك انت كما اثنيت عالى نفسك "
“Ya Allah ! Sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemungkaran-Mu dan (aku berlindung) dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari (siksaan-Mu). Aku tidak mampu menghitung pujian atas-Mu, sebagaimana Engkau puji diri-Mu.” (Shahih Abi Dawud (1282) dan Al-Irwa’ no :430)
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
"سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس."
“Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci,” dengan memnjangkan serta mengeraskan suaranya saat mengucapkan yang ketiga kalinya.” (Shahih abi Dawud no:1284).
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا " “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)
Catatan redaksi:
Simak artikel kami berjudul "Lagi, bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail & ragam raka'atnya", yang bersumber dari kitab "Shalatut Tarawih, disana disertakan dalil-dalil ragam sholat Tarawih Rasulullah diatas yakni di alamat http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=752.
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.] [1].
Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).
Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
"اللهم اهد تي فيمن هديت, وعا قني قيمن عا فيت, وتولني فيمن توليت, وبا رك لي فيما اعطيت, وقني شر ما قضيت, فاءنك تثضي ولايقضى عليك, وانه لايد ل من واليت, ولا يعزمن عا ديت, تبا ركت ربنا وتعا ليت, لامنجا منك الا اليك."
“Ya Allah berilah aku hidayah, termasuk pada orang yang Engkau beri hidayah, dan berilah aku keselamatan, dan orang yang Engkau anugrahi keselamatan dan perbaikilah urusanku, termasuk dalam orang yang Engkau perbaiki urusannya, dan berkahilah aku pada apa yang Engkau anugerahkan kepadaku, dan hindarkan aku dari kejahatan apa yang Engkau putuskan, sungguh Engkaulah yang memutuskan dan bukan diputuskan, dan sungguh tidak akan hina orang yang Engkau tolong serta tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, tiada tempat berlindung dari-Mu kecuali kepada diri-Mu”. (Riwayat Abu Dawud, Nasai dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. lihat “Sifat Shalat Nabi” hal: 95-96 cet. ke-7).
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
"اللهم قا تل الكفرة الذين يصد ون عن سبيلك ويكذ بون رسلك, ولا يؤمنون بوعد ك, وخا لف بين كلمتهم, واًلق في قلوبهم الرعب, واًلق عليهم رجزك وعذا بك, اله الحقز"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
" اللهم اياك نعبد, ولك نصلي ونسجد, واليك نسعى ونحفد, ونرجورحمتك ربنا, ونخاف عذابك الجد, ِان عذابك لمن عاديت ملحق"
“Ya Allah! Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya untuk-Mu kami shalat dan sujud. Hanya kepada-Mu kami menuju dan menyegerakan langkah kami Kami mengharap rahmat-Mu wahai Tuhan kami dan kami takut adzab-Mu yang sangat. Sesungguhnya adzab-Mu akan mengenai orang yang memusuhi-Mu.”
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
"اللهم اني اعوذ بر ضاك من سخطك ومعا فاتك من عقوبتك, واعوذبك منك لااَ حصي ثناء عليك انت كما اثنيت عالى نفسك "
“Ya Allah ! Sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemungkaran-Mu dan (aku berlindung) dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari (siksaan-Mu). Aku tidak mampu menghitung pujian atas-Mu, sebagaimana Engkau puji diri-Mu.” (Shahih Abi Dawud (1282) dan Al-Irwa’ no :430)
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
"سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس."
“Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci,” dengan memnjangkan serta mengeraskan suaranya saat mengucapkan yang ketiga kalinya.” (Shahih abi Dawud no:1284).
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا " “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)
Catatan redaksi:
Simak artikel kami berjudul "Lagi, bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail & ragam raka'atnya", yang bersumber dari kitab "Shalatut Tarawih, disana disertakan dalil-dalil ragam sholat Tarawih Rasulullah diatas yakni di alamat http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=752.
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Petunjuk tentang Qunut Witir Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam
Judul Pelajaran : Penjelasan tentang do'a qunut yang dilakukan dalam
sholat Witir, dari perspektif hadits dan perspektif fiqih
(Disampaikan oleh Shaykh Muhammad Bin Umar bin Salim Bazmul saat mengajar di Universitas Umm al-Quraa, Saudi Arabia)
Pelajaran terbagi menjadi dua bagian utama :
Bagian Pertama: Riwayat-riwayat yang diperbincangkan kesahihannya
Bagian Kedua : Masalah yang berhubungan dengan do'a qunut yang dilakukan dalam sholat Witir
Penyusun mengumpulkan seluruh riwayat yang shahih dari Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam) dan pernyataan para sahabatnya yang berhubungan dengan qunut dalam sholat witir.
Kemudian beliau mengumpulkan yang termasuk dalam kategori sahih, agar supaya membedakan antara (riwayat) orang-orang yang tak dapat diterima dan yang bisa diterima, dalam rangka memusatkan pada prinsip dasar dalam pelajaran tersebut yang layak diambil, yang didasarkan semata-mata pada masalah yang berkenaan dengan doa qunut dalam sholat Witir.
Beliau juga mengumpulkan dari madzhab fiqih terkenal yang telah yang menjelaskan tentangnya, termasuk madzhab Dhahiriyyah.
Penyusun kemudian kembali dan meneliti masalah tersebut satu-persatu, memilah sesuai dengan riwayat yang sahih, menggunakan manhaj para Ulama meneliti,berargumentasi, dan mengambil kesimpulan.
Sebagian dari kesimpulan dalam studi (beliau) sebagai berikut:
1. Bahwa doa qunut dalam sholat witir (di bulan Ramadhan, red) diperbolehkan dilakukan semua sepanjang tahun. [Ishaq bin Rahawaih memilih qunut (witir) dilaksanakan sepanjang tahun, simak Mukhtasar Qiyamullail 125, lihat juga kitab at-Tarjih fii Masaailil Thaharah was Shalah oleh DR. Muhammad bin 'Umar Bazmul hal 362-385. Dan kata Ma'mar:"Sesungguhnya aku qunut witir sepanjang tahun kecuali awal Ramadhan sampai dengan pertengahan saya tidak qunut, demikian juga dikalukan oleh Hasan al-Bahsri, ia menyebutkan dari Qatadah dan lainnya. Lihat Mushannaf 'Abdurrazzaq 3/120 dengan sanad yang shahih. Serta Dari Ibrahim an-Nakha'i telah berkata 'Abdullah:"ia tidak pernah qunut Shubuh sepanjang tahun dan ia qunut witir setiap malam sebelum ruku'." Kata Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah:"Ini atsar yang kami pegang. HR Ibnu Abi Syaibah 2/305-306 atau 2/205]".
2. Termasuk sunnah Nabi ( Shallallahu 'alaihi wasallam) yakni kadang-kadang melaksanakannya dan kadang-kadang meninggalkannya.
3. Menyambung (di atas), yakni setiap malam yang telah ditetapkan adalah separuh malam terakhir dari bulan Ramadhan, yakni dimulai dengan malam yang yang keenambelas.[Dari 'Amr dari Hasan, bahwasanya 'Umar radiyallaahu 'anhu menyuruh Ubay radiyallaahu 'anhu mengimami shalat tarawih pd bulan Ramadhan, dan beliau menyuruh Ubay radiyallaahu 'anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan Ramadhan mulai malam 16 Ramadhan. HR Ibnu Abi Syaibah 2/205 no.10]
4. Qunut (semestinya) ditinggalkan saat separuh pertama dari bulan Ramadhaan, terlebih jika sholat tersebut dilakukan berjamaah dengan orang-orang, sebab hal ini menyimpang dari Sunnah, dan tidak dikenal luas.
5. Diperbolehkan melakukan doa qunut pada (malam) pertama dan kedua dari separoh bulan Ramadhaan.
6. Do'a qunut dalam witir dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruku', walaupun yang terbaik dilaksanakan sebelum ruku'.[Hadits Ubay bin Ka'ab:"bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku'. HR Abu Dawud no 1427, Ibnu Majah no 1182, sanad hadits shahih (lihat 'Irwaul Ghalil 1/167 hadits no 426 dan Shahih Sunan Abi Dawud no 1266). Dan sebagaimana hadits Hasan bin Ali radiyallaahu 'anhuma, dan ini riwayat yg shahih dari 'Abdullah bin Mas'ud dan 'Abdullah bin Umar radiyallaahu 'anhuma, bahkan diriwayatkan dari jumhur Sahabat, sebagaimana diriwayatkan Ibrahim al-Qamah:"Sesungguhnya Ibnu Mas'ud dan para Sahabat Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku'."Simak Diriwayatkan olsyaieh Ibnu Abi Syaibah 2/302 atau 2/202 no 12, dikatakan oleh al-hafizh dalam "Addirayah" sanadnya hasan. Syaikh Albani berkata sanadnya jayyid menurut syarat Muslim (Irwaa'ul Ghalil 2/166). Juga Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : "Boleh juga doa qunut sesudah ruku' dan ditambah dengan melaknat orang2 kafir, lalu shalawat kepada Nabi shallalaahu 'alayhi wasallam dan mendoakan kebaikan untuk kaum muslimin, pada pertengahan Ramadhan, karena ada dalil dari para Shahabat radiyallaahu 'anhuma di zaman Umar radiyallaahu 'anhu. Simak Qiyamu Ramadhan hal.31-32]
7. Termasuk menyimpang dari Sunnah yakni bertakbir (Allahu akbar) sebelum dan sesudah qunut, ketika (memilih) berdoa qunut sebelum ruku'.
8. Termasuk Sunnah adalah bahwa imam mengeraskan suaranya saat berdo'a qunut, dan para jama'ahnya mengucapkan "amiin".
9. Termasuk Sunnah, untuk tidak memanjangkan do'a qunut, dan yang terbaik adalah mencukupkan diri untuk merujuk pada apa yang telah yang diberitakan Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam), sehingga dia hanya diperbolehkan untuk memperpanjang sesuai pernyataan yang telah tetap.
10. Tidak ada ketetapan yang mengharuskan orang-orang untuk berdo'a qunut dengan cara tertentu, tidak bebas melakukan apapun, sebab cara yang terbaik adalah yang telah shahih riwayatnya.
11. Merupakan Sunnah bagi imam orang-orang untuk tidak berdo'a qunut pada separuh pertama bulan Ramadhaan, (akan tetapi) melakukan qunut tersebut pada separuh terakhir, serta memohon (dalam qunut) untuk membinasakan kaum kafir pada doa qunutnya.
12. Diperbolehkan mengangkat tangan pada do'a qunut, atau membiarkan tangan tetap di samping (seperti posisi sebelumnya/tidak mengangkat tangan), atau mengangkat tangan di awal qunut dan menurunkan tangan di akhir qunut, semua cara ini diperbolehkan.
13. Tidak diizinkan untuk menyeka/menyapu wajah dengan tangan setelah qunut.
14. Diperbolehkan mengucapkan shalawat kepada Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam) di (dalam) do'a qunut.
15. Abdullaah ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka’b (semoga Allah meridloi keduanya) yang telah meriwayatkan banyak tentang do'a qunut di (dalam) sholat witir.
16. Sholat yang paling menyerupai sholat witir adalah paling adalah Maghrib, sebab sholat Maghrib adalah witir di sore [/siang] hari.
17. Apa saja yang dikerjakan dalam qunut nazilah (yang dilakukan dalam sholat wajib) juga dapat dikerjakan dalam doa qunut dalam sholat witir. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa sesuatu yang disahkan dalam amalan wajib adalah juga disahkan untuk amalan sunnah, kecuali jika disana ada dalil khusus yang melarangnya.
Dan beliau berharap kiranya dapat membantu menghidupkan kembali manhaj Ulama' di (dalam) meneliti, mengumpulkan dalil-dalil, menerimanya dan menolaknya dalil dalam kaitan dengan kesahihannya, dan kemudian membuat kesimpulan yang berdasar padanya.
Semoga Allaah mengabulkan doa penyusun, sera memberikan bimbingan, dan keteguhan.
[Dari abstrak pelajaran yang disampaikan Syaikh Muhammad Bazmul pada Universitas Umm al-Quraa, Saudi Arabia]
Masalah yang keempat: Apakah posisi tangan diangkat dalam do’a qunut ?
Berikut hukum yang ditetapkan dalam do’a qunut :
1) Yakni seseorang mengangkat tangannya;
[keterangan ust Abu Hamzah Yusuf : Dzahir perkataan Ahlul ilmi (tentang kaifiyat mengangkat tangan) :” bahwasanya kedua tangan digandengkan seperti orang yang sedang memohon, meminta dari orang lain agar memberikannya sesuatu. Adapun dibentangkan dan saling berjauhan antara kedua tangan , maka aku tidak mengetahui ada asalnya dalam Sunnah tidak pula dari perkataan ulama”
2) Yakni seseorang membiarkan tangannya berada disampingnya;
3) Yakni seseorang mengangkat tangannya di awal qunut dan menurunkan tangannya di akhir qunut.
Dalil (yang berkenaan dengan poin di atas):
1) Nabi (Shallallaahu ‘ alaihi wasallam) menaikkan tangannya yang digunakan untuk berdo’a qunut an-nazilah, yakni memohon (kepada Allah, red) untuk membinasakan kaum (kafir). [Sahihh: Ahmad 3/137, al-Mu'jam as-Saghir, dan al-Baihaqi didalam Dalaa'il an-Nubuwwah dan As-Sunan Al-Kubraa. Lihat juga: Irwaa' Al-Ghalil ( 2/181)].
Dan 'Abdullaah ibn Mas'ud dahulu mengangkat tangannya saat qunut.
2) Az-Zuhri meriwayatkan, mengacu pada perbuatan Shahabat Nabi : "Mereka dahulu tidak menaikkan tangannya dalam Witir di bulan Ramadhan."
3) Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Ibn Mas'ud dahulu mengangkat tangannya di(dalam) Witir, dan setelah itu membiarkan tangannya di sampingnya.
Musa Abul-'Abbaas Musa ibn John Richardson ('Aziziyyah, Makkah, Saudi Arabia) menyatakan : bahwa tindakan Ibn Mas'ud sesuai disini, sebab beliau adalah sahabat Nabi dan perbuatan ini adalah tauqifi, dibatasi oleh dalil, maka beliau tidak akan melakukan berbagai hal didalam shalat menurut pendapatnya sendiri, melainkan beliau mempelajari hal tersebut dari Nabi (Shallallaahu ‘ alaihi wasallam). Dan Allah Ta’ala mengetahui yang terbaik.
Masalah yang keenam: Apakah do’a qunut dan ucapan “Amiin" para makmum/jama’ah dilaksanakan dengan suara keras?
[Ringkasan]
Mengingat tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka dulu (sahabat) mengucapkan "Amiin" di belakang imam mereka sepanjang qunut witr, maka dapat diambil dalil melihat perbuatan Sahabat pada qunut an-naazilah (do’a untuk memohon perlawanan atas orang-orang (musuh, red) yang dilakukan pada sholat yang wajib), karena ucapan mereka "Amiin" di belakang Imam dalam sholat adalah amalan (yang) dilaksanakan dalam sholat wajib. Hal ini telah tetap dalilnya dilakukan dalam sholat Maghrib, yang mana [sholat Magrib ini merupakan, red] witir yang wajib, dengan begitu diperbolehkan juga untuk melakukannya didalam sholat yang tidak wajib, berdasarkan pada prinsip yang disebutkan dalam kaidah berikut :
“... Apa saja yang telah ditetapkan untuk qunut nazilah (yang dilakukan pada sholat yang wajib) adalah juga dapat diamalkan dalam qunut pada sholat witir. Hal ini didukung oleh bahwa amalan apapun yang disyariatkan dalam amalan wajib adalah juga disyariatkan dalam amalan sunnah, kecuali jika disana ada dalil khusus yang melarang hal tersebut.
(1) Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits hasan dalam Musnad Ahmad (2746), Abu Dawud (1443), Ibn Khuzaimah (618), al-Haakim (1/225), al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubraa (2/200). Dan telah disepakati oleh al-Haakim, Ibn Khuzaimah, dan al-Albaani (Irwaa' al-Ghalil:2/163).
[Datang dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu]
Dan Allah Ta’ala mengetahui yang terbaik.
سبحانك اللهم وبحمدك
أشهد أن لا إله إلا أنت
أستغفرك وأتوب إليك
(Diterjemahkan dari http://www.salafitalk.net/st/viewmessages.cfm?Forum=24&Topic=4048, tulisan Abul-'Abbaas Musa ibn John Richardson)
(Disampaikan oleh Shaykh Muhammad Bin Umar bin Salim Bazmul saat mengajar di Universitas Umm al-Quraa, Saudi Arabia)
Pelajaran terbagi menjadi dua bagian utama :
Bagian Pertama: Riwayat-riwayat yang diperbincangkan kesahihannya
Bagian Kedua : Masalah yang berhubungan dengan do'a qunut yang dilakukan dalam sholat Witir
Penyusun mengumpulkan seluruh riwayat yang shahih dari Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam) dan pernyataan para sahabatnya yang berhubungan dengan qunut dalam sholat witir.
Kemudian beliau mengumpulkan yang termasuk dalam kategori sahih, agar supaya membedakan antara (riwayat) orang-orang yang tak dapat diterima dan yang bisa diterima, dalam rangka memusatkan pada prinsip dasar dalam pelajaran tersebut yang layak diambil, yang didasarkan semata-mata pada masalah yang berkenaan dengan doa qunut dalam sholat Witir.
Beliau juga mengumpulkan dari madzhab fiqih terkenal yang telah yang menjelaskan tentangnya, termasuk madzhab Dhahiriyyah.
Penyusun kemudian kembali dan meneliti masalah tersebut satu-persatu, memilah sesuai dengan riwayat yang sahih, menggunakan manhaj para Ulama meneliti,berargumentasi, dan mengambil kesimpulan.
Sebagian dari kesimpulan dalam studi (beliau) sebagai berikut:
1. Bahwa doa qunut dalam sholat witir (di bulan Ramadhan, red) diperbolehkan dilakukan semua sepanjang tahun. [Ishaq bin Rahawaih memilih qunut (witir) dilaksanakan sepanjang tahun, simak Mukhtasar Qiyamullail 125, lihat juga kitab at-Tarjih fii Masaailil Thaharah was Shalah oleh DR. Muhammad bin 'Umar Bazmul hal 362-385. Dan kata Ma'mar:"Sesungguhnya aku qunut witir sepanjang tahun kecuali awal Ramadhan sampai dengan pertengahan saya tidak qunut, demikian juga dikalukan oleh Hasan al-Bahsri, ia menyebutkan dari Qatadah dan lainnya. Lihat Mushannaf 'Abdurrazzaq 3/120 dengan sanad yang shahih. Serta Dari Ibrahim an-Nakha'i telah berkata 'Abdullah:"ia tidak pernah qunut Shubuh sepanjang tahun dan ia qunut witir setiap malam sebelum ruku'." Kata Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah:"Ini atsar yang kami pegang. HR Ibnu Abi Syaibah 2/305-306 atau 2/205]".
2. Termasuk sunnah Nabi ( Shallallahu 'alaihi wasallam) yakni kadang-kadang melaksanakannya dan kadang-kadang meninggalkannya.
3. Menyambung (di atas), yakni setiap malam yang telah ditetapkan adalah separuh malam terakhir dari bulan Ramadhan, yakni dimulai dengan malam yang yang keenambelas.[Dari 'Amr dari Hasan, bahwasanya 'Umar radiyallaahu 'anhu menyuruh Ubay radiyallaahu 'anhu mengimami shalat tarawih pd bulan Ramadhan, dan beliau menyuruh Ubay radiyallaahu 'anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan Ramadhan mulai malam 16 Ramadhan. HR Ibnu Abi Syaibah 2/205 no.10]
4. Qunut (semestinya) ditinggalkan saat separuh pertama dari bulan Ramadhaan, terlebih jika sholat tersebut dilakukan berjamaah dengan orang-orang, sebab hal ini menyimpang dari Sunnah, dan tidak dikenal luas.
5. Diperbolehkan melakukan doa qunut pada (malam) pertama dan kedua dari separoh bulan Ramadhaan.
6. Do'a qunut dalam witir dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruku', walaupun yang terbaik dilaksanakan sebelum ruku'.[Hadits Ubay bin Ka'ab:"bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku'. HR Abu Dawud no 1427, Ibnu Majah no 1182, sanad hadits shahih (lihat 'Irwaul Ghalil 1/167 hadits no 426 dan Shahih Sunan Abi Dawud no 1266). Dan sebagaimana hadits Hasan bin Ali radiyallaahu 'anhuma, dan ini riwayat yg shahih dari 'Abdullah bin Mas'ud dan 'Abdullah bin Umar radiyallaahu 'anhuma, bahkan diriwayatkan dari jumhur Sahabat, sebagaimana diriwayatkan Ibrahim al-Qamah:"Sesungguhnya Ibnu Mas'ud dan para Sahabat Nabi shallallaahu 'alayhi wasallam qunut dalam shalat witir sebelum ruku'."Simak Diriwayatkan olsyaieh Ibnu Abi Syaibah 2/302 atau 2/202 no 12, dikatakan oleh al-hafizh dalam "Addirayah" sanadnya hasan. Syaikh Albani berkata sanadnya jayyid menurut syarat Muslim (Irwaa'ul Ghalil 2/166). Juga Syaikh al-Albani rahimahullah berkata : "Boleh juga doa qunut sesudah ruku' dan ditambah dengan melaknat orang2 kafir, lalu shalawat kepada Nabi shallalaahu 'alayhi wasallam dan mendoakan kebaikan untuk kaum muslimin, pada pertengahan Ramadhan, karena ada dalil dari para Shahabat radiyallaahu 'anhuma di zaman Umar radiyallaahu 'anhu. Simak Qiyamu Ramadhan hal.31-32]
7. Termasuk menyimpang dari Sunnah yakni bertakbir (Allahu akbar) sebelum dan sesudah qunut, ketika (memilih) berdoa qunut sebelum ruku'.
8. Termasuk Sunnah adalah bahwa imam mengeraskan suaranya saat berdo'a qunut, dan para jama'ahnya mengucapkan "amiin".
9. Termasuk Sunnah, untuk tidak memanjangkan do'a qunut, dan yang terbaik adalah mencukupkan diri untuk merujuk pada apa yang telah yang diberitakan Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam), sehingga dia hanya diperbolehkan untuk memperpanjang sesuai pernyataan yang telah tetap.
10. Tidak ada ketetapan yang mengharuskan orang-orang untuk berdo'a qunut dengan cara tertentu, tidak bebas melakukan apapun, sebab cara yang terbaik adalah yang telah shahih riwayatnya.
11. Merupakan Sunnah bagi imam orang-orang untuk tidak berdo'a qunut pada separuh pertama bulan Ramadhaan, (akan tetapi) melakukan qunut tersebut pada separuh terakhir, serta memohon (dalam qunut) untuk membinasakan kaum kafir pada doa qunutnya.
12. Diperbolehkan mengangkat tangan pada do'a qunut, atau membiarkan tangan tetap di samping (seperti posisi sebelumnya/tidak mengangkat tangan), atau mengangkat tangan di awal qunut dan menurunkan tangan di akhir qunut, semua cara ini diperbolehkan.
13. Tidak diizinkan untuk menyeka/menyapu wajah dengan tangan setelah qunut.
14. Diperbolehkan mengucapkan shalawat kepada Nabi (Shallallahu 'alaihi wasallam) di (dalam) do'a qunut.
15. Abdullaah ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka’b (semoga Allah meridloi keduanya) yang telah meriwayatkan banyak tentang do'a qunut di (dalam) sholat witir.
16. Sholat yang paling menyerupai sholat witir adalah paling adalah Maghrib, sebab sholat Maghrib adalah witir di sore [/siang] hari.
17. Apa saja yang dikerjakan dalam qunut nazilah (yang dilakukan dalam sholat wajib) juga dapat dikerjakan dalam doa qunut dalam sholat witir. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa sesuatu yang disahkan dalam amalan wajib adalah juga disahkan untuk amalan sunnah, kecuali jika disana ada dalil khusus yang melarangnya.
Dan beliau berharap kiranya dapat membantu menghidupkan kembali manhaj Ulama' di (dalam) meneliti, mengumpulkan dalil-dalil, menerimanya dan menolaknya dalil dalam kaitan dengan kesahihannya, dan kemudian membuat kesimpulan yang berdasar padanya.
Semoga Allaah mengabulkan doa penyusun, sera memberikan bimbingan, dan keteguhan.
[Dari abstrak pelajaran yang disampaikan Syaikh Muhammad Bazmul pada Universitas Umm al-Quraa, Saudi Arabia]
Masalah yang keempat: Apakah posisi tangan diangkat dalam do’a qunut ?
Berikut hukum yang ditetapkan dalam do’a qunut :
1) Yakni seseorang mengangkat tangannya;
[keterangan ust Abu Hamzah Yusuf : Dzahir perkataan Ahlul ilmi (tentang kaifiyat mengangkat tangan) :” bahwasanya kedua tangan digandengkan seperti orang yang sedang memohon, meminta dari orang lain agar memberikannya sesuatu. Adapun dibentangkan dan saling berjauhan antara kedua tangan , maka aku tidak mengetahui ada asalnya dalam Sunnah tidak pula dari perkataan ulama”
2) Yakni seseorang membiarkan tangannya berada disampingnya;
3) Yakni seseorang mengangkat tangannya di awal qunut dan menurunkan tangannya di akhir qunut.
Dalil (yang berkenaan dengan poin di atas):
1) Nabi (Shallallaahu ‘ alaihi wasallam) menaikkan tangannya yang digunakan untuk berdo’a qunut an-nazilah, yakni memohon (kepada Allah, red) untuk membinasakan kaum (kafir). [Sahihh: Ahmad 3/137, al-Mu'jam as-Saghir, dan al-Baihaqi didalam Dalaa'il an-Nubuwwah dan As-Sunan Al-Kubraa. Lihat juga: Irwaa' Al-Ghalil ( 2/181)].
Dan 'Abdullaah ibn Mas'ud dahulu mengangkat tangannya saat qunut.
2) Az-Zuhri meriwayatkan, mengacu pada perbuatan Shahabat Nabi : "Mereka dahulu tidak menaikkan tangannya dalam Witir di bulan Ramadhan."
3) Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Ibn Mas'ud dahulu mengangkat tangannya di(dalam) Witir, dan setelah itu membiarkan tangannya di sampingnya.
Musa Abul-'Abbaas Musa ibn John Richardson ('Aziziyyah, Makkah, Saudi Arabia) menyatakan : bahwa tindakan Ibn Mas'ud sesuai disini, sebab beliau adalah sahabat Nabi dan perbuatan ini adalah tauqifi, dibatasi oleh dalil, maka beliau tidak akan melakukan berbagai hal didalam shalat menurut pendapatnya sendiri, melainkan beliau mempelajari hal tersebut dari Nabi (Shallallaahu ‘ alaihi wasallam). Dan Allah Ta’ala mengetahui yang terbaik.
Masalah yang keenam: Apakah do’a qunut dan ucapan “Amiin" para makmum/jama’ah dilaksanakan dengan suara keras?
[Ringkasan]
Mengingat tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka dulu (sahabat) mengucapkan "Amiin" di belakang imam mereka sepanjang qunut witr, maka dapat diambil dalil melihat perbuatan Sahabat pada qunut an-naazilah (do’a untuk memohon perlawanan atas orang-orang (musuh, red) yang dilakukan pada sholat yang wajib), karena ucapan mereka "Amiin" di belakang Imam dalam sholat adalah amalan (yang) dilaksanakan dalam sholat wajib. Hal ini telah tetap dalilnya dilakukan dalam sholat Maghrib, yang mana [sholat Magrib ini merupakan, red] witir yang wajib, dengan begitu diperbolehkan juga untuk melakukannya didalam sholat yang tidak wajib, berdasarkan pada prinsip yang disebutkan dalam kaidah berikut :
“... Apa saja yang telah ditetapkan untuk qunut nazilah (yang dilakukan pada sholat yang wajib) adalah juga dapat diamalkan dalam qunut pada sholat witir. Hal ini didukung oleh bahwa amalan apapun yang disyariatkan dalam amalan wajib adalah juga disyariatkan dalam amalan sunnah, kecuali jika disana ada dalil khusus yang melarang hal tersebut.
(1) Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits hasan dalam Musnad Ahmad (2746), Abu Dawud (1443), Ibn Khuzaimah (618), al-Haakim (1/225), al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubraa (2/200). Dan telah disepakati oleh al-Haakim, Ibn Khuzaimah, dan al-Albaani (Irwaa' al-Ghalil:2/163).
[Datang dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu]
Dan Allah Ta’ala mengetahui yang terbaik.
سبحانك اللهم وبحمدك
أشهد أن لا إله إلا أنت
أستغفرك وأتوب إليك
(Diterjemahkan dari http://www.salafitalk.net/st/viewmessages.cfm?Forum=24&Topic=4048, tulisan Abul-'Abbaas Musa ibn John Richardson)
Ringkasan ragam sholat Tarawih & qunut witir Rasulullah
Saya (Syaikh Al-Albani) telah menjelaskan perinciannya dalam kitab saya
yang lain “Shalat Tarawih” (hal.101-105), kemudian saya disini hendak
meringkasnya untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.] [1].
Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).
Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
"اللهم اهد تي فيمن هديت, وعا قني قيمن عا فيت, وتولني فيمن توليت, وبا رك لي فيما اعطيت, وقني شر ما قضيت, فاءنك تثضي ولايقضى عليك, وانه لايد ل من واليت, ولا يعزمن عا ديت, تبا ركت ربنا وتعا ليت, لامنجا منك الا اليك."
“Ya Allah berilah aku hidayah, termasuk pada orang yang Engkau beri hidayah, dan berilah aku keselamatan, dan orang yang Engkau anugrahi keselamatan dan perbaikilah urusanku, termasuk dalam orang yang Engkau perbaiki urusannya, dan berkahilah aku pada apa yang Engkau anugerahkan kepadaku, dan hindarkan aku dari kejahatan apa yang Engkau putuskan, sungguh Engkaulah yang memutuskan dan bukan diputuskan, dan sungguh tidak akan hina orang yang Engkau tolong serta tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, tiada tempat berlindung dari-Mu kecuali kepada diri-Mu”. (Riwayat Abu Dawud, Nasai dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. lihat “Sifat Shalat Nabi” hal: 95-96 cet. ke-7).
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
"اللهم قا تل الكفرة الذين يصد ون عن سبيلك ويكذ بون رسلك, ولا يؤمنون بوعد ك, وخا لف بين كلمتهم, واًلق في قلوبهم الرعب, واًلق عليهم رجزك وعذا بك, اله الحقز"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
" اللهم اياك نعبد, ولك نصلي ونسجد, واليك نسعى ونحفد, ونرجورحمتك ربنا, ونخاف عذابك الجد, ِان عذابك لمن عاديت ملحق"
“Ya Allah! Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya untuk-Mu kami shalat dan sujud. Hanya kepada-Mu kami menuju dan menyegerakan langkah kami Kami mengharap rahmat-Mu wahai Tuhan kami dan kami takut adzab-Mu yang sangat. Sesungguhnya adzab-Mu akan mengenai orang yang memusuhi-Mu.”
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
"اللهم اني اعوذ بر ضاك من سخطك ومعا فاتك من عقوبتك, واعوذبك منك لااَ حصي ثناء عليك انت كما اثنيت عالى نفسك "
“Ya Allah ! Sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemungkaran-Mu dan (aku berlindung) dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari (siksaan-Mu). Aku tidak mampu menghitung pujian atas-Mu, sebagaimana Engkau puji diri-Mu.” (Shahih Abi Dawud (1282) dan Al-Irwa’ no :430)
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
"سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس."
“Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci,” dengan memnjangkan serta mengeraskan suaranya saat mengucapkan yang ketiga kalinya.” (Shahih abi Dawud no:1284).
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا " “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)
Catatan redaksi:
Simak artikel kami berjudul "Lagi, bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail & ragam raka'atnya", yang bersumber dari kitab "Shalatut Tarawih, disana disertakan dalil-dalil ragam sholat Tarawih Rasulullah diatas yakni di alamat http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=752.
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.] [1].
Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).
Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
"اللهم اهد تي فيمن هديت, وعا قني قيمن عا فيت, وتولني فيمن توليت, وبا رك لي فيما اعطيت, وقني شر ما قضيت, فاءنك تثضي ولايقضى عليك, وانه لايد ل من واليت, ولا يعزمن عا ديت, تبا ركت ربنا وتعا ليت, لامنجا منك الا اليك."
“Ya Allah berilah aku hidayah, termasuk pada orang yang Engkau beri hidayah, dan berilah aku keselamatan, dan orang yang Engkau anugrahi keselamatan dan perbaikilah urusanku, termasuk dalam orang yang Engkau perbaiki urusannya, dan berkahilah aku pada apa yang Engkau anugerahkan kepadaku, dan hindarkan aku dari kejahatan apa yang Engkau putuskan, sungguh Engkaulah yang memutuskan dan bukan diputuskan, dan sungguh tidak akan hina orang yang Engkau tolong serta tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, tiada tempat berlindung dari-Mu kecuali kepada diri-Mu”. (Riwayat Abu Dawud, Nasai dan yang lainnya dengan sanad yang shahih. lihat “Sifat Shalat Nabi” hal: 95-96 cet. ke-7).
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
"اللهم قا تل الكفرة الذين يصد ون عن سبيلك ويكذ بون رسلك, ولا يؤمنون بوعد ك, وخا لف بين كلمتهم, واًلق في قلوبهم الرعب, واًلق عليهم رجزك وعذا بك, اله الحقز"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
" اللهم اياك نعبد, ولك نصلي ونسجد, واليك نسعى ونحفد, ونرجورحمتك ربنا, ونخاف عذابك الجد, ِان عذابك لمن عاديت ملحق"
“Ya Allah! Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya untuk-Mu kami shalat dan sujud. Hanya kepada-Mu kami menuju dan menyegerakan langkah kami Kami mengharap rahmat-Mu wahai Tuhan kami dan kami takut adzab-Mu yang sangat. Sesungguhnya adzab-Mu akan mengenai orang yang memusuhi-Mu.”
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
"اللهم اني اعوذ بر ضاك من سخطك ومعا فاتك من عقوبتك, واعوذبك منك لااَ حصي ثناء عليك انت كما اثنيت عالى نفسك "
“Ya Allah ! Sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemungkaran-Mu dan (aku berlindung) dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari (siksaan-Mu). Aku tidak mampu menghitung pujian atas-Mu, sebagaimana Engkau puji diri-Mu.” (Shahih Abi Dawud (1282) dan Al-Irwa’ no :430)
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
"سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس."
“Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci, Maha suci Raja yang Maha Suci,” dengan memnjangkan serta mengeraskan suaranya saat mengucapkan yang ketiga kalinya.” (Shahih abi Dawud no:1284).
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا " “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)
Catatan redaksi:
Simak artikel kami berjudul "Lagi, bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail & ragam raka'atnya", yang bersumber dari kitab "Shalatut Tarawih, disana disertakan dalil-dalil ragam sholat Tarawih Rasulullah diatas yakni di alamat http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=752.
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Malam Lailatul Qadar - Malam Seribu Bulan
Malam Lailatul Qadar
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Quran Al Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur'an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih yang menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿۳﴾ تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾ [القدر: ١ - ٥]
(yang artinya) [1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. [2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. [QS Al Qadar: 1 - 5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan nan penuh hikmah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿۳﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٦﴾ [الدخان: ۳ - ٦]
(yang artinya) :
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [4] Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, [5] (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, [6] sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."[QS Ad Dukhoon: 3 - 6]
2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah).
Imam Syafi’I berkata : “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda : (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”. (HR Bukhari 4/255 dan Muslim 1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukari 4/221 dan Muslim 1165).
Ini menafsirkan sabdanya : (yang artinya) “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir.” (Lihat maraji’ diatas).
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29,27,25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan, lima). (HR Bukhari 4/232).
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.
Kesimpulannya :
Jika seseorang muslim mencari malam Lailatul Qadar, carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari ppada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a’lam.
Paling benarnya pendapat lailatul qadr adalah pada tanggal ganjil 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah, Ia berkata :
“Adalah Rasulullah beri’tikaf pada 10 terakhir pada bulan Ramadhan dan berkata : “Selidikilah malam lailatul qadr pada tanggal ganjil 10 terakhir bulan Ramadhan”.
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759).
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “ Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, Ya Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?”. Beliau menjawab, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.”. (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali.)
Saudaraku – semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya – engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu dan perbanyaklah amalan ketaatan.
Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari 4/233 dan Muslim 1174).
Juga dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia berkata) : “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR Muslim 1174).
4. Tanda-tandanya
Ketahuilah hamba yang taat – mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu dengan pertolongaNya – sesungguhnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari Ubay Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim 762).
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam beliau bersabda : (yang artinya) “Siapa diantara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah.” (HR Muslim 1170. Perkataannya “Syiqi Jafnah”, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli ‘Iyadh berkata :”Dalam hadits ini ada isyarata bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)
Dan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “ (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thyalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Malam Lailatul Qadar". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Quran Al Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur'an, red), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih yang menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿۳﴾ تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾ [القدر: ١ - ٥]
(yang artinya) [1] Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. [2] Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? [3] Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. [4] Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [5] Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. [QS Al Qadar: 1 - 5]
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan nan penuh hikmah :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿۳﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٦﴾ [الدخان: ۳ - ٦]
(yang artinya) :
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. [4] Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, [5] (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, [6] sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."[QS Ad Dukhoon: 3 - 6]
2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bidzkri Lailatul Qadar, membawakan perkatan para ulama dalam masalah ini, lihatlah).
Imam Syafi’I berkata : “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam hari?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut.”. (Sebagaimana dinukil al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (6/388).
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadr itu pada malam terakhir bulan Ramadhan, berdasarkan hadits ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda : (yang artinya) “Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”. (HR Bukhari 4/255 dan Muslim 1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat Ibnu Umar (dia berkata) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR Bukari 4/221 dan Muslim 1165).
Ini menafsirkan sabdanya : (yang artinya) “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, maka barangsiapa ingin mencarinya, carilah pada tujuh hari yang terakhir.” (Lihat maraji’ diatas).
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda : “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Laitul Qadar, tetapi fulan dan fulan (dua orang) berdebat hingga diangkat tidak bisa lagi diketahui kapan lailatul qadar terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29,27,25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan, lima). (HR Bukhari 4/232).
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah. Maka dengan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisahkan.
Kesimpulannya :
Jika seseorang muslim mencari malam Lailatul Qadar, carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari ppada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a’lam.
Paling benarnya pendapat lailatul qadr adalah pada tanggal ganjil 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan, yang menunjukkan hal ini adalah hadits Aisyah, Ia berkata :
“Adalah Rasulullah beri’tikaf pada 10 terakhir pada bulan Ramadhan dan berkata : “Selidikilah malam lailatul qadr pada tanggal ganjil 10 terakhir bulan Ramadhan”.
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759).
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “ Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” yang telah lalu. (HR Bukhari 4/217 dan Muslim 759)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, Ya Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?”. Beliau menjawab, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Ya Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.”. (HR Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850), dari Aisyah, sanadnya shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan, halaman 55-57, karya ibnu Rajab al Hanbali.)
Saudaraku – semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaatiNya – engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan sholat) pada sepuluh malam hari terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu untuk itu dan perbanyaklah amalan ketaatan.
Dari Aisyah Radiyallahu ‘anha, “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari 4/233 dan Muslim 1174).
Juga dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha, (dia berkata) : “Adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR Muslim 1174).
4. Tanda-tandanya
Ketahuilah hamba yang taat – mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dariNya dan membantu dengan pertolongaNya – sesungguhnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari Ubay Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR Muslim 762).
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam beliau bersabda : (yang artinya) “Siapa diantara kalian yang ingat ketika terbit bulan, seperti syiqi jafnah.” (HR Muslim 1170. Perkataannya “Syiqi Jafnah”, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadli ‘Iyadh berkata :”Dalam hadits ini ada isyarata bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)
Dan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “ (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR Thyalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Malam Lailatul Qadar". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
I'tikaf seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam
1. Hikmahnya
Al 'Allamah Ibnul Qayyim berkata: “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqomah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah 'Azza wa Jalla tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah 'Azza wa Jalla secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah 'Azza wa Jalla. Sedangkan makan dan minum dengan berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkannya, menghalangi dan menghentikannya.
Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyari’atkan bagi mereka puasa yang menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hambaNya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah 'Azza wa Jalla, dan disyari’atkannya (I’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan disyari’atkannya I’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah meng-ingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepadaNya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semua kepada-Nya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan dengan berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur mankala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari I’tikaf yang agung itu”.163) [ Zaadul Ma’ad (2/86-87)]
2. Makna I’tikaf
Yaitu berdiam(tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai Mu’takif dan ‘Akif.164) [Al Mishbahul Munir (3/424) oleh Al Fayumi, dan Lisanul Arab (9/252) oleh Ibnu Mandhur.]
3. Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkannya pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal.165)[ Riwayat Bukhari (4/226) dan Muslim (1173)]
Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam “Wahai Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), sesungguhnya aku ini pernah nadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf pada malam hari di Masjidil Haram.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nadzarmu.” Maka ia (Umar) pun beri’tikaf pada malam harinya. 166)[ Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656)]
Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sering beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang mana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beri’tikaf selama dua puluh hari. 167)[ Riwayat Bukhari (4/245]
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam seringkali beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. 168) [Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173) dari Aisyah]
4. Syarat-syarat I’tikaf
a. Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala: “Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu169) [ Yakni “Janganlah kamu menjimaki mereka”. Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zadul Masir (1/193) oleh Ibnul Jauzi]. (QS. Al Baqarah: 187)
b. Dan masjid-masjid di sini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid, pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia (yaitu) sabda beliau Shalallahu 'alaihi wassalam : “Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid (saja).”170) [Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan mengenai hal ini pada kitab yang berjudul Al Inshaf fi Ahkamil I’tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid]
c. Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beri’tikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radiyallahu 'anha yang telah disebutkan.171) [ Dikeluarkan oleh Abdul Razak dalam Al Mushannaf (8037) dan riwayat (8033) dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas].
5. Perkara-perkara yang boleh dilakukan:
a. Diperbolehkan keluar masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya), Aisyah Radiyallahu 'anha berkata: “Dan sesungguhnya rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang I’tikaf di masjid [“dan aku berada dalam kamarku”] kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: “aku cuci rambutnya”) [“dan antara aku dan beliau (ada) utbah pintu”] {“dan waktu itu aku sedang haidh”] dan adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf.”172) [hadits riwayat Bukhari (1/342) dan Muslim (297) dan lihat Mukhtasar Shahih Bukhari no.167 oleh Syaikh kami Al Albani rahimahullah dan Jami’ul Ushul (1/3451) oleh Ibnu Atsir].
b. Orang yang sedang I’tikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam: “Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam berwudlu di dalam masjid dengan wudlu yang ringan.”173) [Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih].
c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena Aisyah Radiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf174) [Sebagaimana dalam shahih Bukhari (4/226)] dan hal ini atas perintah Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam 175) [Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)].
d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beri’tikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam jika I’tikaf dihamparkan untuknya kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At Taubah.176) [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (642-zawaidnya) an Al baihaqi, sebagaiman yang dikatakan oleh Al Bushiri dari dua jalan . Dan sanadnya hasan].
6.I’tikafnya wanita dan kunjungannya ke masjid
a. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat I’tikaf, dan suaminya diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid.
Shafiyyah Radiyallahu 'anha berkata: “Dahulu Nabi (Shalallahu 'alaihi wassalam) (tatkala beliau sedang) I’tikaf [pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjunginya pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliau berdiri bersamaku untuk mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki-laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda: “Tenanglah177)[Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci], ini adalah Shafiyyah bintu Huyay (istri Rasulullah sendiri, red)” , kemudian keduanya berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah), ya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam.”
Beliaupun bersabda: “Sesungguhnya syetan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelekan di hati kalian- atau beliau berkata: sesuatu-“178) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada pada Abu daud (7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud)]
b. Seorang wanita boleh I’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian.
Berdasarkan ucapan Aisyah Radiyallahu 'anha: “Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam I’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Al mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau I’tikaf setelah itu.”179)[ Telah lewat takhrijnya] berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah-pent): “pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita I’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dali yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah Fiqhiyah: “ Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "I'tikaf". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
Al 'Allamah Ibnul Qayyim berkata: “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqomah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah 'Azza wa Jalla tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah 'Azza wa Jalla secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah 'Azza wa Jalla. Sedangkan makan dan minum dengan berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkannya, menghalangi dan menghentikannya.
Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyari’atkan bagi mereka puasa yang menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hambaNya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah 'Azza wa Jalla, dan disyari’atkannya (I’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan disyari’atkannya I’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah meng-ingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepadaNya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semua kepada-Nya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan dengan berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur mankala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari I’tikaf yang agung itu”.163) [ Zaadul Ma’ad (2/86-87)]
2. Makna I’tikaf
Yaitu berdiam(tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai Mu’takif dan ‘Akif.164) [Al Mishbahul Munir (3/424) oleh Al Fayumi, dan Lisanul Arab (9/252) oleh Ibnu Mandhur.]
3. Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkannya pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal.165)[ Riwayat Bukhari (4/226) dan Muslim (1173)]
Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam “Wahai Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), sesungguhnya aku ini pernah nadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf pada malam hari di Masjidil Haram.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nadzarmu.” Maka ia (Umar) pun beri’tikaf pada malam harinya. 166)[ Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656)]
Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sering beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang mana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beri’tikaf selama dua puluh hari. 167)[ Riwayat Bukhari (4/245]
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam seringkali beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. 168) [Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173) dari Aisyah]
4. Syarat-syarat I’tikaf
a. Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala: “Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu169) [ Yakni “Janganlah kamu menjimaki mereka”. Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zadul Masir (1/193) oleh Ibnul Jauzi]. (QS. Al Baqarah: 187)
b. Dan masjid-masjid di sini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid, pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia (yaitu) sabda beliau Shalallahu 'alaihi wassalam : “Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid (saja).”170) [Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan mengenai hal ini pada kitab yang berjudul Al Inshaf fi Ahkamil I’tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid]
c. Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beri’tikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radiyallahu 'anha yang telah disebutkan.171) [ Dikeluarkan oleh Abdul Razak dalam Al Mushannaf (8037) dan riwayat (8033) dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas].
5. Perkara-perkara yang boleh dilakukan:
a. Diperbolehkan keluar masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya), Aisyah Radiyallahu 'anha berkata: “Dan sesungguhnya rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang I’tikaf di masjid [“dan aku berada dalam kamarku”] kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: “aku cuci rambutnya”) [“dan antara aku dan beliau (ada) utbah pintu”] {“dan waktu itu aku sedang haidh”] dan adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf.”172) [hadits riwayat Bukhari (1/342) dan Muslim (297) dan lihat Mukhtasar Shahih Bukhari no.167 oleh Syaikh kami Al Albani rahimahullah dan Jami’ul Ushul (1/3451) oleh Ibnu Atsir].
b. Orang yang sedang I’tikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam: “Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam berwudlu di dalam masjid dengan wudlu yang ringan.”173) [Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih].
c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena Aisyah Radiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf174) [Sebagaimana dalam shahih Bukhari (4/226)] dan hal ini atas perintah Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam 175) [Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)].
d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beri’tikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam jika I’tikaf dihamparkan untuknya kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At Taubah.176) [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (642-zawaidnya) an Al baihaqi, sebagaiman yang dikatakan oleh Al Bushiri dari dua jalan . Dan sanadnya hasan].
6.I’tikafnya wanita dan kunjungannya ke masjid
a. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat I’tikaf, dan suaminya diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid.
Shafiyyah Radiyallahu 'anha berkata: “Dahulu Nabi (Shalallahu 'alaihi wassalam) (tatkala beliau sedang) I’tikaf [pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjunginya pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliau berdiri bersamaku untuk mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki-laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda: “Tenanglah177)[Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci], ini adalah Shafiyyah bintu Huyay (istri Rasulullah sendiri, red)” , kemudian keduanya berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah), ya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam.”
Beliaupun bersabda: “Sesungguhnya syetan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelekan di hati kalian- atau beliau berkata: sesuatu-“178) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada pada Abu daud (7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud)]
b. Seorang wanita boleh I’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian.
Berdasarkan ucapan Aisyah Radiyallahu 'anha: “Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam I’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Al mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau I’tikaf setelah itu.”179)[ Telah lewat takhrijnya] berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah-pent): “pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita I’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dali yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah Fiqhiyah: “ Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "I'tikaf". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
Hukum-hukum sekitar I'tikaf dalam pandangan Ulama' Ahlusunnah
Hukumnya
I’tikaf adalah sunnah di bulan ramadhan dan yang lainnya sepanjang tahun, dalilnya adlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Sedang kalian dalam kedaan I’tikaf di masjid”. (QS. Al-Baqarah :187)
Disertai hadist-hadist shahih tentang I’tikaf Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq. *(Dulu disini pada cetakan yang lalu ada hadist, dalam masalah keutamaannya “Barangsiapa beri’tikaf suatu hari…” kemudian aku hilangkan, karena di kemudian hari jelas bagi saya lemahnya. Telah saya takhrij dan saya komentari dengan rinci dalam kitab ”Silsilah Dhoifah” 5347. Saya singkap penyakitnya yang sempat tersamarkan kepada saya dan juga kepada Al Haistany sebelum saya).
Telah terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal *(Potongan dari hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, riwayat Bukhari Muslim dan Ibu Khuzaimah , dalam kitab shahih merekatelah ditahkrij dalam shahih Abu Dawud), dan ahwa Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam “Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah untuk I’tikaf semalam di Masjidil Haram”? Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penuhilah nadzarmu”. (maka Umar I’tikaf semalam).*(riwayat Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah dan tambahan itu pada Bukhari dalam ssebuah riwayat, seperti terdapat dalam “Mukhtasar Shahih Bukhari” (995) dan telah ditakhrij dalam “Shahih Abu Dawud” juga no: 2136-2137).
Dan lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber i’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf selama 20 hari. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya telah ditakhrij dalam sumber yang lalu no: 2126-2130).
Yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah 2223 telah ditakhrij dalam Al-Irwa (996) dan “Shahih Abi Dawud” no :2125).
Syarat-syaratnya :
1. Tidak disyariatkan kecuali di dalam masjid-masjid berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan janganlah kalian melakukan jima’[1]dengan mereka sedang kalian beri’tikaf di masjid-masjid”). (Al Baqarah 187, Imam bukhari berdalil dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar :“ Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya I’tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima’ itu hanya padanya, karena jima’ itu membatalkan I’tikaf secara ijma’, maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan I’tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid). [“dan jangan kalian melakukan jima...” yakni “Jangan berjima’ dengan mereka “ ibnu Abbas mengatakan : kata (المبا شرة والملا مسة والمس) semuanya berarti jima’, akan tetapi Allah mengkinayahkan apa yang Ia kehendaki dengan apa yang Allah kehendaki. Riwayat Baihaqi (4/321) dengan sanad yang perawinya terpercaya.]
Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Disunnahkan, bagi seorang I’tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima’ dengan mereka, dan tidak I’tikaf melainkan pada masjid jami’ (yang digunakan untuk shalat jamaah). Disunnahkan pula bagi yang I’tikaf untuk berpuasa. (Riwayat Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan, riwayat yang selanjutnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan telah di takhrij dalam Shahih Abu Dawud (2135) dan Irwa’ul Ghalil no 996.)
2. Dan hendaklah pada masjid jami’ agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, karena keluar untuk itu adalah wajib. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang lalu dalam sebuah riwayat. (“…dan tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami'”.). (Riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas : ”Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bid’ah dan sesungguhnya termasuk bid’ah adalah I’tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah)”.
Kemudian saya dapati pada hadist yang shahih dan jelas yang mengkhususkan keumuman makna (masjid-masjid) yang tersebut dalam ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsa dengan hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid itu”). (Diriwayatkan oleh Thahawi, isma’ily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, dan telah ditakhrij dalam “Silsilah shahihah” no :2787 bersama dengan riwayat-riwayat yang lain. Dari apa yang saya sebutkan diatas dan semuanya shahih).
Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian sebagaimana yang telah saya dapati, adalah sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id bin Al Musayyib juga 'Atha’ rahimahullah. Akan tetapi ‘Atha’ tidak menyebutkan Masjidil Aqsa. Yang lain mengatakan masjid jami’ secara mutlak, tetapi yang lain menyelisihi mereka, dan mengatakan : ”Walaupun dalam masjid (atau mushala –pent) rumahnya”. Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Subhanahu wa Ta’ala a’lam.
3. Disunnahkan untuk yang melakukan I’tikaf agar berpuasa sebagaimana yang lalu dari penjelasan Aisyah radhiyallahu ‘anha.[2]
Yang dibolehkan untuk orang yang berI’tikaf sbb :
a. Dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beri’tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya.” Dalam riwayat : “Lalu saya cuci kepalanya dan diantara aku dan dia kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau dalam keadaan I’tikaf.” (Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dan tambahan lafadz itu dari keduanya. Telah ditakhrij dalam “Shahih Abu Dawud” (2131-2132) ).
b. Dibolehkan untuk seorang yang I’tikaf dan yang lain untuk berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid”. ( Riwayat Baihaqi dengan sanad baik dan Ahmad (51364) secara ringkas dengan snad yang shahih).
c. Dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber’tikaf didalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam [3]. [Disebut “Khiba” salah satu bentuk rumah-rumah orang arab yang terbuat dari bulu unta atau wol, dan bukan dari rambut, dibuat diatas 2 tiang atau 3.”Nihayah”.] Jika beliau beri’tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam[4]. [Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, riwayat perbuatan ‘Aisyah itu diriwayatkan oleh Bukhari adapun yang menerangkan perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, ada pada riwayat Muslim. Telah lewat takhrijnya pada hal.34 pada catatan kaki no.39]. Dan pernah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam satu kali beri’tikaf di qubah (semacam payung –pent) kecil[5] [aitu tenda kecil yang diatasnya melingkar. “Suddah” artinya semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, yang dimaksud, bahwa beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang, sebagaimana yang dikatakan As-Sindy, lebih utama kita katakan : supaya pikiran orang yang beri’tikaf tidak tersibukkan orang yang lewat didepannya agar mendapatkan maksud dan ruh dari I’tikaf itu, sebagaimana yang diucapkan Ibnu Qoyyim : “Kebalikan dari apa yang dilakukan orang-orag bodoh dimana orang-orang beri’tika membuat semacam ruang tamu dan berbincang-bincang didalamnya. Ini adalah satu macam, sedang I’tikaf Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam adalah macam yang lain (berbeda, red), Allahlah yang memberi taufiq.] dengan naungan tikar[6]].[Ini adalah ujung hadist Abu Sa’id Al-Khudri, riwayat Muslim dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya dan telah di Tahkrij dalam Shahih Abu Dawud no.1251]
Dibolehkannya Wanita beri’tikaf dan menengok suaminya di masjid
a. Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat I’tikafnya, dan hendaknya suaminya mengantarkannya sampai keluar pintu masjid, berdasarkan ucapan Shafiyah Radhiyallahu ‘anha : “Ketika itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu ‘alaihi wasallam katakan : “ Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan”. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. Shafiyah radhiyallahu ‘anha tinggal di kampung Usmah bin Zaid. Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah radhiyallahu ‘anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ Pelan-pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai” (istri Rasulullah sendiri, red). Lalu keduanya mengatakan : “Subhanallah ! Wahai Rasulullah”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.”. (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud tambahan, terakhir pada hadist itu dikeluarkan oleh Abu Dawud, telah ditakhrij dalam shahih Sunan Abu Dawud ,2144-2134).
b. Bahkan dibolehkan bagi wanita untuk I’tikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Telah I’tikaf bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat”. (Riwayat Bukhari telah ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud no.2138, riwayat yang lain adlah riwayat Said bin Manshur seperti terdapat dalam “Fathul Bari”4/281. Akan tetapi Darimi menyebutnya “Zaenab” 1/22 Wallahu a’lam.)
‘Aisyah juga mengatakan : “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf setelahnya. (Riwayat Bukhari Muslim dan selain keduanya telah di takhrij hal.35, catatan kaki no.2)
Saya katakan : “Bahwa itu terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita I’tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan waki-walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan : “Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaukan)”.
3. Jima’ membatalkan I’tikaf berdasarkan firman Allah :
“Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I’tikaf (di masjid)”.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Jika seorang yang I’tikaf melakukan jima’ bata; I’tikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 3/920 dan Abdurrazzaq 4/363 dengan sanad yang shahih dan yang dimaksud dari kata (Ista’nafa) dalam lafadz 2 hadist adalah mengulangi I’tikafnya). Dan tidak ada kafarah bagi dia karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.
“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu,
aku bersaksi bahwa tiada Illah yang hak melainkan Engkau, aku minta ampun kepada-Mu dan bertaubat Kepada-Mu.”
Selesai mengoreksi dan membenahinya, juga menambahnya dengan tambahan-tambahan baru, dengan pena penulisnya pada fajar hari ahad 26 Rajab tahun 1406 H, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Shalawat dan salam-Nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang ummi, juga kepada keluarga dan sahabatnya.
(Dinukil dari terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “I’tikaf”, Hal : 72 - 84 , Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)
Pertanyaan: Apakah hukum I`tikaf bagi laki-laki dan wanita? Apakah berpuasa merupakan syarat untuk syahnya I`tikaf? Kemudian amalan apa saja kah yang baik dilakukan oleh orang yang beri`tikaf? Kapan waktu memasuki tempat i`tikaf dan kapan keluar dari sana ?
Jawaban: I`tikaf hukumnya Sunnah bagi laki-laki dan wanita sebagaimana telah datang dari Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam, bahwasanya beliau dulu beri`tikaf di bulan Ramadhan. Kemudian pada akhirnya, i`tikaf beliau tetapkan pada sepuluh hari terakhir. Para istri-istri beliau juga beri`tikaf bersama beliau Shalallahu 'alaihi wassalam, dan juga setelah beliau wafat.
Tempat beri`tikaf adalah mesjid-mesjid yang didirikan shalat berjamaah padanya. Apabila waktu i`tikafnya diselingi oleh hari Jumat, maka yang lebih utama adalah beri`tikaf di mesjid yang mengadakan shalat Jumat, jika itu memungkinkan. Tidak ada waktu-waktu tertentu bagi i`tikaf dalam pendapat Ulama yg terkuat .Juga tidak disyaratkan berpuasa walaupun dengan berpuasa lebih utama.
Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf agar memasuki tempat beri`tikaf saat dia berniat i`tikaf dan keluar dari padanya setelah lewat masa yang dia inginkannya. Diperbolehkan baginya boleh memotong waktu tersebut jika ada keperluan lain, karena i`tikaf adalah sunnah dan tidak menjadi wajib jika dia telah memulainya, kecuali jika dia bernadzar.
Disunnahkan beri`tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan untuk mengikuti Rasululllah Shalallahu 'alaihi wassalam. Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf saat itu untuk memasuki tempat i`tikafnya setelah shalat Fajar hari ke-21 dan keluar dari sana apabila telah selesai sepuluh hari. Jika dia memotongnya maka tidak mengapa, kecuali jika i`tikaf nadzar sebagaimana telah dijelaskan.
Yang lebih diutamakan adalah menyediakan tempat khusus di dalam mesjid untuk beristirahat jika memungkinkan. Dianjurkan bagi yang beri`tikaf agar memperbanyak dzikir, membaca qur`an,istighfar, berdoa dan mengerjakan shalat-shalat Sunnah selain pada waktu-waktu yang dilarang. Tidak dilarang bagi teman-teman seseorang yang beri`tikaf untuk mengunjunginya dan berbicara dengan mereka sebagaimana Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam dahulu dikunjungi oleh beberapa istrinya dan berbicara dengan mereka.
Pada suatu saat Shofiyah mengunjungi beliau saat I`tikaf di bulan Ramadhan. Hal ini menunjukan kesempurnaan sifat tawadhu` dan baiknya beliau terhadap istri-istri beliau, semoga shalawat dan salam dilimpahkan atas beliau. ------------------------------------------------------------------------
Referensi: Dinukil dari Tuhfatul ikhwan bi ajwibatin muhimmatin tata`allaqu bi arkanil islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Penerjemah Abu Abdillah Alee Masaid As salafee
I’tikaf adalah sunnah di bulan ramadhan dan yang lainnya sepanjang tahun, dalilnya adlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Sedang kalian dalam kedaan I’tikaf di masjid”. (QS. Al-Baqarah :187)
Disertai hadist-hadist shahih tentang I’tikaf Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq. *(Dulu disini pada cetakan yang lalu ada hadist, dalam masalah keutamaannya “Barangsiapa beri’tikaf suatu hari…” kemudian aku hilangkan, karena di kemudian hari jelas bagi saya lemahnya. Telah saya takhrij dan saya komentari dengan rinci dalam kitab ”Silsilah Dhoifah” 5347. Saya singkap penyakitnya yang sempat tersamarkan kepada saya dan juga kepada Al Haistany sebelum saya).
Telah terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal *(Potongan dari hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, riwayat Bukhari Muslim dan Ibu Khuzaimah , dalam kitab shahih merekatelah ditahkrij dalam shahih Abu Dawud), dan ahwa Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam “Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah untuk I’tikaf semalam di Masjidil Haram”? Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penuhilah nadzarmu”. (maka Umar I’tikaf semalam).*(riwayat Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah dan tambahan itu pada Bukhari dalam ssebuah riwayat, seperti terdapat dalam “Mukhtasar Shahih Bukhari” (995) dan telah ditakhrij dalam “Shahih Abu Dawud” juga no: 2136-2137).
Dan lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber i’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf selama 20 hari. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya telah ditakhrij dalam sumber yang lalu no: 2126-2130).
Yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah 2223 telah ditakhrij dalam Al-Irwa (996) dan “Shahih Abi Dawud” no :2125).
Syarat-syaratnya :
1. Tidak disyariatkan kecuali di dalam masjid-masjid berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan janganlah kalian melakukan jima’[1]dengan mereka sedang kalian beri’tikaf di masjid-masjid”). (Al Baqarah 187, Imam bukhari berdalil dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar :“ Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya I’tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima’ itu hanya padanya, karena jima’ itu membatalkan I’tikaf secara ijma’, maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan I’tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid). [“dan jangan kalian melakukan jima...” yakni “Jangan berjima’ dengan mereka “ ibnu Abbas mengatakan : kata (المبا شرة والملا مسة والمس) semuanya berarti jima’, akan tetapi Allah mengkinayahkan apa yang Ia kehendaki dengan apa yang Allah kehendaki. Riwayat Baihaqi (4/321) dengan sanad yang perawinya terpercaya.]
Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Disunnahkan, bagi seorang I’tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima’ dengan mereka, dan tidak I’tikaf melainkan pada masjid jami’ (yang digunakan untuk shalat jamaah). Disunnahkan pula bagi yang I’tikaf untuk berpuasa. (Riwayat Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan, riwayat yang selanjutnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan telah di takhrij dalam Shahih Abu Dawud (2135) dan Irwa’ul Ghalil no 996.)
2. Dan hendaklah pada masjid jami’ agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, karena keluar untuk itu adalah wajib. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang lalu dalam sebuah riwayat. (“…dan tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami'”.). (Riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas : ”Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bid’ah dan sesungguhnya termasuk bid’ah adalah I’tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah)”.
Kemudian saya dapati pada hadist yang shahih dan jelas yang mengkhususkan keumuman makna (masjid-masjid) yang tersebut dalam ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsa dengan hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid itu”). (Diriwayatkan oleh Thahawi, isma’ily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, dan telah ditakhrij dalam “Silsilah shahihah” no :2787 bersama dengan riwayat-riwayat yang lain. Dari apa yang saya sebutkan diatas dan semuanya shahih).
Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian sebagaimana yang telah saya dapati, adalah sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id bin Al Musayyib juga 'Atha’ rahimahullah. Akan tetapi ‘Atha’ tidak menyebutkan Masjidil Aqsa. Yang lain mengatakan masjid jami’ secara mutlak, tetapi yang lain menyelisihi mereka, dan mengatakan : ”Walaupun dalam masjid (atau mushala –pent) rumahnya”. Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Subhanahu wa Ta’ala a’lam.
3. Disunnahkan untuk yang melakukan I’tikaf agar berpuasa sebagaimana yang lalu dari penjelasan Aisyah radhiyallahu ‘anha.[2]
Yang dibolehkan untuk orang yang berI’tikaf sbb :
a. Dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beri’tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya.” Dalam riwayat : “Lalu saya cuci kepalanya dan diantara aku dan dia kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau dalam keadaan I’tikaf.” (Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dan tambahan lafadz itu dari keduanya. Telah ditakhrij dalam “Shahih Abu Dawud” (2131-2132) ).
b. Dibolehkan untuk seorang yang I’tikaf dan yang lain untuk berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid”. ( Riwayat Baihaqi dengan sanad baik dan Ahmad (51364) secara ringkas dengan snad yang shahih).
c. Dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber’tikaf didalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam [3]. [Disebut “Khiba” salah satu bentuk rumah-rumah orang arab yang terbuat dari bulu unta atau wol, dan bukan dari rambut, dibuat diatas 2 tiang atau 3.”Nihayah”.] Jika beliau beri’tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam[4]. [Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, riwayat perbuatan ‘Aisyah itu diriwayatkan oleh Bukhari adapun yang menerangkan perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, ada pada riwayat Muslim. Telah lewat takhrijnya pada hal.34 pada catatan kaki no.39]. Dan pernah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam satu kali beri’tikaf di qubah (semacam payung –pent) kecil[5] [aitu tenda kecil yang diatasnya melingkar. “Suddah” artinya semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, yang dimaksud, bahwa beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang, sebagaimana yang dikatakan As-Sindy, lebih utama kita katakan : supaya pikiran orang yang beri’tikaf tidak tersibukkan orang yang lewat didepannya agar mendapatkan maksud dan ruh dari I’tikaf itu, sebagaimana yang diucapkan Ibnu Qoyyim : “Kebalikan dari apa yang dilakukan orang-orag bodoh dimana orang-orang beri’tika membuat semacam ruang tamu dan berbincang-bincang didalamnya. Ini adalah satu macam, sedang I’tikaf Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam adalah macam yang lain (berbeda, red), Allahlah yang memberi taufiq.] dengan naungan tikar[6]].[Ini adalah ujung hadist Abu Sa’id Al-Khudri, riwayat Muslim dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya dan telah di Tahkrij dalam Shahih Abu Dawud no.1251]
Dibolehkannya Wanita beri’tikaf dan menengok suaminya di masjid
a. Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat I’tikafnya, dan hendaknya suaminya mengantarkannya sampai keluar pintu masjid, berdasarkan ucapan Shafiyah Radhiyallahu ‘anha : “Ketika itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu ‘alaihi wasallam katakan : “ Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan”. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. Shafiyah radhiyallahu ‘anha tinggal di kampung Usmah bin Zaid. Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah radhiyallahu ‘anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ Pelan-pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai” (istri Rasulullah sendiri, red). Lalu keduanya mengatakan : “Subhanallah ! Wahai Rasulullah”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.”. (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud tambahan, terakhir pada hadist itu dikeluarkan oleh Abu Dawud, telah ditakhrij dalam shahih Sunan Abu Dawud ,2144-2134).
b. Bahkan dibolehkan bagi wanita untuk I’tikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Telah I’tikaf bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat”. (Riwayat Bukhari telah ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud no.2138, riwayat yang lain adlah riwayat Said bin Manshur seperti terdapat dalam “Fathul Bari”4/281. Akan tetapi Darimi menyebutnya “Zaenab” 1/22 Wallahu a’lam.)
‘Aisyah juga mengatakan : “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf setelahnya. (Riwayat Bukhari Muslim dan selain keduanya telah di takhrij hal.35, catatan kaki no.2)
Saya katakan : “Bahwa itu terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita I’tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan waki-walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan : “Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaukan)”.
3. Jima’ membatalkan I’tikaf berdasarkan firman Allah :
“Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I’tikaf (di masjid)”.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Jika seorang yang I’tikaf melakukan jima’ bata; I’tikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 3/920 dan Abdurrazzaq 4/363 dengan sanad yang shahih dan yang dimaksud dari kata (Ista’nafa) dalam lafadz 2 hadist adalah mengulangi I’tikafnya). Dan tidak ada kafarah bagi dia karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.
“Maha suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu,
aku bersaksi bahwa tiada Illah yang hak melainkan Engkau, aku minta ampun kepada-Mu dan bertaubat Kepada-Mu.”
Selesai mengoreksi dan membenahinya, juga menambahnya dengan tambahan-tambahan baru, dengan pena penulisnya pada fajar hari ahad 26 Rajab tahun 1406 H, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan Shalawat dan salam-Nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang ummi, juga kepada keluarga dan sahabatnya.
(Dinukil dari terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “I’tikaf”, Hal : 72 - 84 , Penerbit “Cahaya Tauhid Press”)
Fatwa Syaikh tentang Hukum I'tikaf
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang hukum I'tikaf
Pertanyaan: Apakah hukum I`tikaf bagi laki-laki dan wanita? Apakah berpuasa merupakan syarat untuk syahnya I`tikaf? Kemudian amalan apa saja kah yang baik dilakukan oleh orang yang beri`tikaf? Kapan waktu memasuki tempat i`tikaf dan kapan keluar dari sana ?
Jawaban: I`tikaf hukumnya Sunnah bagi laki-laki dan wanita sebagaimana telah datang dari Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam, bahwasanya beliau dulu beri`tikaf di bulan Ramadhan. Kemudian pada akhirnya, i`tikaf beliau tetapkan pada sepuluh hari terakhir. Para istri-istri beliau juga beri`tikaf bersama beliau Shalallahu 'alaihi wassalam, dan juga setelah beliau wafat.
Tempat beri`tikaf adalah mesjid-mesjid yang didirikan shalat berjamaah padanya. Apabila waktu i`tikafnya diselingi oleh hari Jumat, maka yang lebih utama adalah beri`tikaf di mesjid yang mengadakan shalat Jumat, jika itu memungkinkan. Tidak ada waktu-waktu tertentu bagi i`tikaf dalam pendapat Ulama yg terkuat .Juga tidak disyaratkan berpuasa walaupun dengan berpuasa lebih utama.
Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf agar memasuki tempat beri`tikaf saat dia berniat i`tikaf dan keluar dari padanya setelah lewat masa yang dia inginkannya. Diperbolehkan baginya boleh memotong waktu tersebut jika ada keperluan lain, karena i`tikaf adalah sunnah dan tidak menjadi wajib jika dia telah memulainya, kecuali jika dia bernadzar.
Disunnahkan beri`tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan untuk mengikuti Rasululllah Shalallahu 'alaihi wassalam. Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf saat itu untuk memasuki tempat i`tikafnya setelah shalat Fajar hari ke-21 dan keluar dari sana apabila telah selesai sepuluh hari. Jika dia memotongnya maka tidak mengapa, kecuali jika i`tikaf nadzar sebagaimana telah dijelaskan.
Yang lebih diutamakan adalah menyediakan tempat khusus di dalam mesjid untuk beristirahat jika memungkinkan. Dianjurkan bagi yang beri`tikaf agar memperbanyak dzikir, membaca qur`an,istighfar, berdoa dan mengerjakan shalat-shalat Sunnah selain pada waktu-waktu yang dilarang. Tidak dilarang bagi teman-teman seseorang yang beri`tikaf untuk mengunjunginya dan berbicara dengan mereka sebagaimana Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam dahulu dikunjungi oleh beberapa istrinya dan berbicara dengan mereka.
Pada suatu saat Shofiyah mengunjungi beliau saat I`tikaf di bulan Ramadhan. Hal ini menunjukan kesempurnaan sifat tawadhu` dan baiknya beliau terhadap istri-istri beliau, semoga shalawat dan salam dilimpahkan atas beliau. ------------------------------------------------------------------------
Referensi: Dinukil dari Tuhfatul ikhwan bi ajwibatin muhimmatin tata`allaqu bi arkanil islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Penerjemah Abu Abdillah Alee Masaid As salafee
Koreksi Kekeliruan dalam Bulan Ramadhan
Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa mengumandangkan
pentingnya ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Maka bisa
dibayangkan, amal tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian
berikut berupaya menguraikan beberapa kesalahan berkait amalan di bulan
Ramadhan. Kesalahan yang dipaparkan di sini memang cukup ‘fatal’. Jika
didiamkan terlebih ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik
kemurnian Islam, lebih-lebih jika itu kemudian disirami semangat
fanatisme golongan.
Penggunaan Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain.
Kata-kata فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka memiliki hukum yang lain.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
“Dahulu Rasulullah sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia berkata: ‘Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Ad-Dinu Yusrun)
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
Jawab: …Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak.
Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قٌلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30.”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….” (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu Taimiyyah [1] telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah edisi khusus Ramadhan tahun 2004.
Imsak sebelum Waktunya
Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Masalah ini, di mana banyak orang (meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa diharamkan sejak adzan pertama [2] (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang adzan ini mereka sebut dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu subuh.
Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsak, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan Hadits. Adapun Al-Qur`an, maka Rabb kita berfirman –dan kalian telah dengar ayat tersebut berulang-ulang–…
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مَنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.” [3]
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ لِيَقُوْمَ النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4….” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam (praktek yang terjadi, kebanyakan muslimin sahur sekitar pukul 02.00-03.00 dini hari, red). Ini juga tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَكِّرُوا بِاْلإِفْطَارِ، وَأَخِّرُوا السَّحُوْرَ
“Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1773)
عَنْ أَبِي عَطِيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعَائِشَةَ: فِيْنَا رَجُلاَنِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَحَدُهُمَا يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ، وَاْلآخَرُ يُؤَخِّرُ اْلإِفْطَارَ وَيُعَجِّلُ السُّحُوْرَ. قَالَتْ: أَيُّهُمَا الَّذِي يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ؟ قُلْتُ: عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ. قَالَتْ: هَكَذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Dari Abu ‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada ‘Aisyah: Ada dua orang di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?” Aku menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi, Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan: “Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.” (Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur)
Diantara kesalahan yang lain adalah:
"Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath " (Mu’jamul Bida’, hal. 268)
"Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. "(Al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hal. 268)
"Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan." (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote :
1. Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/179)
2. Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain adzan, seperti sirine, petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya sama sekali.
3. Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4. Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.
(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, tulisan Al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=371)
Penggunaan Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di antaranya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain.
Kata-kata فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan. Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah, adapun mendung maka memiliki hukum yang lain.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُوْمُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ
“Dahulu Rasulullah sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia berkata: ‘Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun memberat-beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya. Maka berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan petang serta sedikit dari waktu malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman Bab Ad-Dinu Yusrun)
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah (melihat) hilal?
Jawab: …Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak.
Padahal nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha dan hari Arafah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قٌلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah menjadi 30.”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tetapnya (awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri Ramadhan) dengan melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah bid’ah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat….” (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat Fatawa Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun alaihi-
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini, begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30 (hari). Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 (hari).”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya):
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu Taimiyyah [1] telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang benar, tidak diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali dalam Asy-Syariah edisi khusus Ramadhan tahun 2004.
Imsak sebelum Waktunya
Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Masalah ini, di mana banyak orang (meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa diharamkan sejak adzan pertama [2] (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang adzan ini mereka sebut dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an, As-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu subuh.
Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsak, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan Hadits. Adapun Al-Qur`an, maka Rabb kita berfirman –dan kalian telah dengar ayat tersebut berulang-ulang–…
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مَنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh, -pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan makna ayat yang jelas ini dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi mengatakan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.” [3]
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ لِيَقُوْمَ النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur. Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4….” (Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya (jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam (praktek yang terjadi, kebanyakan muslimin sahur sekitar pukul 02.00-03.00 dini hari, red). Ini juga tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud dari sahur itu sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam menunaikannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَكِّرُوا بِاْلإِفْطَارِ، وَأَخِّرُوا السَّحُوْرَ
“Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1773)
عَنْ أَبِي عَطِيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعَائِشَةَ: فِيْنَا رَجُلاَنِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَحَدُهُمَا يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ، وَاْلآخَرُ يُؤَخِّرُ اْلإِفْطَارَ وَيُعَجِّلُ السُّحُوْرَ. قَالَتْ: أَيُّهُمَا الَّذِي يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ؟ قُلْتُ: عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ. قَالَتْ: هَكَذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Dari Abu ‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada ‘Aisyah: Ada dua orang di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur. ‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?” Aku menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya.” (HR. At-Tirmidzi, Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau menyatakan: “Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang mengakhirkan sahur, -pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.” (Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur)
Diantara kesalahan yang lain adalah:
"Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian/ihtiyath " (Mu’jamul Bida’, hal. 268)
"Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah. "(Al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hal. 268)
"Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan." (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul Bida’, hal. 269)
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote :
1. Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/179)
2. Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain adzan, seperti sirine, petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya sama sekali.
3. Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4. Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.
(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, tulisan Al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=371)
Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan Ramadlan
Sering kali kita mendengar para khatib di atas mimbar membawakan
hadits-hadits tentang Ramadlan dan keutamaannya. Di antara
hadits-hadits yang mereka bawakan ada yang shahih dan ada yang dlaif,
bahkan maudlu' (palsu). Namun sangat disayangkan ketika membawakan
hadits-hadits lemah, mereka tidak menerangkan tentang kelemahannya
kepada hadirin yang awam tentang permasalahan hadits sehingga
orang-orang yang mendengarnya menyangka bahwa hadits-hadits itu adalah
ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal sama sekali
bukan!
Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai nasehat kepada seluruh kaum muslimin, baik para khatibnya maupun pendengarnya.
Tidak Boleh Beramal dengan Hadits Lemah dalam Hal Fadlailul A'mal (Keutamaan Amal)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hafidhahullah berkata: "Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu telah masyhur bahwa hadits dlaif boleh diamalkan dalam fadlailul a'mal. Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan. Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau bahwa hal itu telah disepakati. Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam masalah ini ma'ruf. Sebagian besar para muhaqiq (peneliti hadits) berpendapat bahwa hadits dlaif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.
Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam Qawaid At-Tahdits hal. 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut (yakni hadits dlaif tidak diamalkan secara mutlak, pent) diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam 'Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma'in dan dalam Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakar bin Al-Arabi. Pendapat itu juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm.
Aku (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan padanya karena beberapa perkara: Pertama, hadits dlaif hanya mendatangkan sangkaan yang salah (dhanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dlaif dalam fadlailul a'mal, hendaknya dia mendatangkan bukti.
Sungguh sangat jauh! Kedua, yang aku pahami dari ucapan mereka tentang fadlail a'mal yaitu amal-amal yang telah disyariatkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya. Maka hadits lemah dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam fadlailul a'mal. (Yakni dari segi adanya dalil tentang asal amal itu, bukan dari segi adanya dalil yang menetapkan pahala yang khusus pada amal itu. (Ilmu Ushulil Bida' hal. 15)), karena hal itu bukan pensyariatan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya.
Oleh karena itu ucapan sebagian ulama dimaksudkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara fadlail walaupun tidak didukung secara ijma' sebagaimana keterangan Imam Nawawi. Yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Kitab dan Sunnah.
Dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits lemah diperbolehkan jika telah ada hadits shahih yang menunjukkan disyariatkannya amal itu. Akan tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak memaksudkan makna itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits dlaif yang tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih.
Seperti Imam Nawawi dan yang mengikutinya menganggap sunnah menjawab ucapan orang yang mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua kalimat (qad qamatis shalah, qad qamatis shalah) dengan ucapan aqamahallah wa adamaha (semoga Allah menegakkannya dan melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini lemah (Lihat keterangan kedlaifannya dalam Al-Irwa` 241, Ilmu Ushul Bida' 157.).
Amal ini tidak ditetapkan pensyariatannya kecuali pada hadits lemah tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu sunnah. Padahal perkara sunnah adalah salah satu hukum di antara kelima hukum[Yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.] yang harus ditetapkan berdasarkan dalil.
Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyariatkan dan disunnahkan bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits dlaif yang tidak ada asal pensyariatannya dalam hadits shahih. Akan tetapi di sini tidak mungkin untuk mencantumkan berbagai contoh. Cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan.
Yang terpenting di sini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlail tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Tabyinul 'Ujab hal. 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang fadlail walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu' (palsu).
Seharusnya hal itu diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya meyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits lemah dan mensyariatkan apa yang tidak disyariatkan. Atau sebagian orang-orang jahil menyangka bahwa hadits itu adalah shahih. Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain-lain.
Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ.
Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap dusta, maka dia termasuk pendusta.
Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?! Tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara fadlail, sebab semuanya adalah syariat.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkan beramal dengan hadits lemah:
1. Hadits itu tidak maudlu'.
2. Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu dlaif.
3. Tidak memasyhurkan beramal dengannya.
Tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya. Kalaupun mereka mengetahui kelemahannya mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits-hadits shahih! Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah di kalangan kaum muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang shahih.
Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi. Sebab satu pun di antara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tampak.
Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidh Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits lemah berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam fadlail sebab semuanya adalah syariat.
Inilah yang hak, karena hadits dlaif yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah dusta, bahkan pada umumnya dusta dan palsu. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dlaif termasuk dalam ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "...yang tampak bahwa hadits itu dusta." Yaitu dia menampakkan seperti itu. Oleh karena itu Al-Hafidh menambahkan dengan ucapannya: 'Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?!'
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Imam Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits (yang berisi ancaman tersebut). Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidh: 'Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?'
Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidh tersebut. Adapun jika ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu' dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan fadlail adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidh. Sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dlaif, bukan maudlu'. Sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.
Apa yang kami sebutkan tidak menafikan bahwa Al-Hafidh menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dlaif. Sebab kita katakan bahwa Al-Hafidh menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits lemah dalam perkara fadlail selama tidak maudlu'. Seakan-akan beliau berkata kepada mereka: 'Jika kalian berpendapat demikian maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini.'
Al-Hafidh tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam pembolehan (beramal dengan hadits-hadits lemah, pent) dengan syarat-syarat itu. Bahkan di akhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kita terangkan.
Kesimpulannya bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlailul a'mal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat tersebut dan konsisten dengan syarat-syarat iltu ketika mengamalkan hadits lemah. Wallahul muwaffiq." Sampai di sini keterangan Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal. 34-38.
Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan Ramadlan
Setelah kita mengetahui bahwa pendapat yang kuat dalam masalah hadits dlaif adalah tidak boleh dipakai sekalipun dalam fadlailul a'mal dan seandainya diperbolehkan harus dipenuhi syarat-syarat tersebut.
Maka pada pembahasan terakhir ini kita akan menukil beberapa hadits lemah yang diucapkan para khatib dan diamalkan di bulan Ramadlan dari kitab Shifat Shaum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadlan karya Syaikh Salim Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal. 109-113. Beliau berdua menyebutkan beberapa hadits beserta penilaiannya.
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا، إِنَّ الْجَنَّةَ لَتُزَيَّنْ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ...
Seandainya hamba-hamba itu mengetahui apa yang ada di bulan Ramadlan niscaya umatku berangan-angan agar Ramadlan setahun penuh. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadlan dari ujung tahun ke tahun berikutnya. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudlu'at 2/188-189, Abu Ya'la dalam Musnadnya sebagaimana di dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah (qaf 46/alif-ba/naskah manuskrip) dari jalan Jarir bin Ayub Al-Bajali dari Sya'bi dari Nafi' bin Bardah dari Abu Mas'ud Al-Ghifari).
Hadits ini maudlu', cacatnya pada Jarir bin Ayyub. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Lisanul Mizan (2/101) dan berkata: "Dia terkenal dengan kelemahannya." Kemudian Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Nu'aim tentang dia: "Dia pemalsu hadits," sedang dari Bukhari: "Dia meriwayatkan hadits mungkar" dan dari Nasai: "Dia matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)!! Ibnul Jauzi menghukumi dia sering memalsukan hadits.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ... وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ...
Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada bulan itu sebagai kewajiban dan shalat malam sebagai sunnah. Barangsiapa bertaqarub di dalamnya dengan satu kebaikan, maka dia seperti menunaikan suatu kewajiban pada bulan lain... Ramadlan adalah bulan awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah kemerdekaan dari api neraka...
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1887, Al-Muhamili dalam Amalinya no. 293, Al-Ashbahani dalam At-Targhib (qaf/178, ba'/naskah manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid bin Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.
Sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Ali bin Zaid. Ibnu Sa'ad berkata: "Dia (Ali bin Zaid) lemah, tidak dapat dijadikan hujah." Ahmad bin Hanbal berkata: "Dia tidak kuat." Ibnu Ma'in berkata: "Dia dlaif." Ibnu Abi Haitsamah berkata: "Dia dlaif dalam segala hal." Ibnu Khuzaimah berkata: "Aku tidak berhujah dengannya karena hapalannya jelek." Demikian dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).
Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits tersebut, dengan ucapan: "Jika hadits ini shahih." Ibnu Hajar berkata dalam Al-Athraf: "Tidak diperselisihkan tentang Ali bin Zaid bin Jad'an, dia adalah dlaif.
Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya (Abu Hatim) di dalam I'lalul Hadits 1/249): "Hadits ini mungkar."
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
Puasalah kalian, niscaya kalian sehat.
Ini adalah potongan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam Al-Kamil 7/2521 dari jalan Nahsyal bin Said dari Ad-Dlahhak dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma. Nahsyal adalah matruk, dia berdusta dan Ad-Dlahhak tidak mendengar langsung dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma.
Diriwayatkan pula oleh At-Thabrani dalam Al-Ausath (1/qaf – 69/alif – Majma'ul Bahrain). Demikian pula Ibnu Bukhait dalam Juz'unya sebagaimana dalam Syarhul Ihya' 7/401 dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abu Shalih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu.
Sanad hadits ini lemah. Abu Bakar Al-Atsram berkata: "Aku mendengar Ahmad berkata: "Mereka (orang-orang Syam) meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Zuhair." Abu Hatim berkata: "Hapalan Zuhair jelek. Haditsnya ketika di Syam lebih munkar daripada haditsnya di Irak karena hapalannya jelek." Al Ajali berkata: "Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penduduk Syam darinya tidak menakjubkan aku." Demikian dalam Tahdzibul Kamal 9/417.
Aku (Syaikh Ali) katakan bahwa Muhammad bin Sulaiman adalah penduduk Syam. Biografinya terdapat dalam Tarikh Dimasyk 15/qaf 386 – naskah manuskrip). Riwayatnya dari Zuhair –sebagaimana ditegaskan oleh para imam- adalah munkar. Di antaranya adalah hadits ini.
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِعُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ.
Barangsiapa membatalkan (puasanya) satu hari dari bulan Ramadlan tanpa udzur dan sakit, maka tidak dapat diqadla` walaupun dia puasa sepanjang tahun.
Hadits ini disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya (4/160 – Fathul Bari) secara mu'alaq tanpa sanad. Disebutkan sanad-sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1987, Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, Nasai dalam Al-Kubra, sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 10/373, Al-Baihaqi 4/228, Ibnu Hajar dalam Ta'liqut Ta'liq 3/170 dari jalan Abul Muthawwis dari ayahnya dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu.
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 4/161: "Hadits ini banyak diperselisihkan pada Habib bin Abi Tsabit. Sehingga hadits ini memiliki tiga 'ilat (cacat), yaitu: idltirab (sanadnya goncang), keadaan Abul Muthawis majhul (tidak dikenal), Abul Muthawwis mendengar dari ayahnya dari Abu Hurairah diragukan.
Ibnu Khuzaimah setelah meriwayatkan hadits ini berkata dengan ucapan: "Aku tidak mengetahui siapa Ibnul Muthawis dan ayahnya." Sehingga hadits ini juga dlaif.
Demikian empat hadits yang didlaifkan oleh para ulama. Meskipun demikian masih sering terdengar dan terbaca pada setiap bula Ramadlan yang diberkahi ini khususnya. Memang sebagian hadits tersebut mengandung makna yang shahih yang terdapat dalam syariat kita yang lurus ini, namun tidak boleh kita sandarkan hadits yang tidak shahih itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wallahu a'lam.
(Dinukil dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M rubrik Mabhats, penulis ustadz Azhari Asri (murid syaikh Yahya al Hajuri dan syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah). http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=30)
Inilah puasa yang disyari'atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum semata serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk berhias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib.
Seorang muslim yang puasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah ketaqwaan yang Allah sebutkan (yang artinya) : “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" [Al-Baqarah : 183]
Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak melakukan perbuatan maksiat berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Puasa adalah perisai"[pelindung, red], telah kami jelaskan masalah ini dalam bab Keutamaan Puasa.
Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian syair:
Aku mengenal kejelekan bukan untuk berbuat jelek tapi
untuk menjauhinya
Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekkan akan
terjatuh padanya
1. Perkataan Palsu
Dari Abu Hurairah, Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/99]
2. Perbuatan Sia-sia dan Kotor
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : Aku sedang puasa, aku sedang puasa " [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 1996, Al-Hakim 1/430-431, sanadnya SHAHIH]
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini.
Bersabda As-Shadiqul Masduq yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya (yang artinya) : “ Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)" [Hadits Riwayat Ibnu Majah 1/539, Darimi 2/211, Ahmad 2/441,373, Baihaqi 4/270 dari jalan Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Sanadnya SHAHIH]
Sebab terjadinya yang demikian adalah karena orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahami hakekat puasa yang Allah perintahkan atasnya, sehingga Allah memberikan ketetapan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala kepadanya. [Lihat Al-Lu'lu wal Marjan fima Ittafaqa 'alaihi Asy-Syaikhani 707 dan Riyadhis Shalihin 1215]
Oleh sebab itu Ahlul Ilmi dari generasi pendahulu kita yang shaleh membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga membatalkannya dan membedakan antara larangan yang tidak khusus dengan ibadah hingga tidak membatalkannya. [Rujuklah : Jami'ul Ulum wal Hikam hal. 58 oleh Ibnu Rajab]
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
1. Makan dan minum dengan sengaja
Allah Azza Sya'nuhu berfirman (yang artinya) : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" [Al-Baqarah : 187]
Difahami (dari ayat diatas, red) bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum" [Hadits Riwayat Bukhari 4/135 dan Muslim 1155].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa" [Hadits Riwayat Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Atsar 2/56, Al-Hakim 2/198, Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam 5/149, Ad-Daruquthni 4/171 dari dua jalan yaitu dari Al-Auza'i dari Atha' bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umar, dari Ibnu Abbas, sanadnya shahih]
2. Muntah dengan sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa tidak membatalkan puasanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha' puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha' puasanya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/310, Tirmidzi 3/79, Ibnu Majah 1/536, Ahmad 2/498 dari jalan Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, sanadnya Shahih sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Haqiqatus Shiyam halaman 14]
3. Haidh dan nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan mengqadha' kalau puasa tidak mencukupinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Bukankah jika haid dia tidak shalat dan puasa ? Kami katakan : "Ya", Beliau berkata : 'Itulah (bukti) kurang agamanya" [Hadits Riwayat Muslim 79, dan 80 dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah]
Dalam riwayat lain (yang artinya) : “Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya"
Perintah mengqadha' puasa terdapat dalam riwayat Mu'adzah, dia berkata.
(yang artinya) : “Aku pernah bertanya kepada Aisyah : ' Mengapa orang haid mengqadha' puasa tetapi tidak mengqadha shalat?' Aisyah berkata : 'Apakah engkau wanita Haruri[1], Aku menjawab : 'Aku bukan Haruri, tapi hanya (sekedar) bertanya'. Aisyah berkata : 'Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa, tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat" [Hadits Riwayat Bukhari 4/429 dan Muslim 335]
4. Suntikan yang mengandung makanan
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa [2] Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalalkan puasa.
5. jima'
Imam Syaukani berkata (Dararul Mudhiyah 2/22) : "Jima' dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapaun jika jima' tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja"
Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma'ad 2/66) : "Al-Qur'an menunjukkan bahwa jima' membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini".
Dalilnya adalah firman Allah.
(yang artinya) : “Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian" [Al-Baqarah : 187]
Diizinkannya bergaul (dengan istri) di malam hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima'. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima' harus mengqadha' dan membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (dia berkata) :
"Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian ia berkata, 'Ya Rasulullah binasalah aku!' Rasulullah bertanya, 'Apa yang membuatmu binasa?' Orang itu menjawab, 'Aku menjima’i istriku di bulan Ramadhan' (di siang hari, red). Rasulullah bersabda, 'Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?' Orang itu menjawb, 'Tidak'. Rasulullah bersabda, 'Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?' Orang itu menjawab, 'Tidak' Rasulullah bersabda, 'Duduklah'. Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah korma kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda, 'Bersedekahlah', Orang itu berkata, 'Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah, berilah makan keluargamu" [2]
Footnote :
[1] Al-Haruri nisbat kepada Harura' (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruri karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Ali di negeri tersebut, hingga dinisbatkan di sana. Demikian dikatakan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/424, dan lihat A Lubab 1/359 karya Ibnu Atsir. Mereka orang-orang Haruriyah mewajbkan wanita-wanita yang telah suci daari Haid untuk mengqadha shalat yang terluput semasa haidnya. Aisyah khawatir Mu'adzah menerima pertanyaan dari Khawrij, yang mempunyai kebiasaan menentang sunnah dengan pikiran mereka, orang-orang seperti mereka pada zaman ini banyak, Lihat pasal At-Tautsiq 'anillah wa ra rasuluhi dari tuliasan Dirasat Manhajiyat fi Aqidah As-Salafiyah karya Salim Al-Hilaly
[2]Lihat Haqiqatus Shiyam halaman 15, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Hadits Shahih dengan berbagai lafadz yang berbeda dari Bukhari 11/516, Muslim 1111, Tirmidzi 724, Baghwai 6/288, Abu Dawud 2390, Ad-Darimi 2/11, Ibnu Majah 1617, Ibnu Abi Syaibah 2/183-184, Ibnu Khuzaimah 3/216, Ibnul Jarud 139, Syafi'i 199, Malik 1/297, Abdur Razak 4/196, sebagian memursalkan, sebagian riwayat mereka ada tambahan :"Qadhalah satu hari sebagai gantinya". Dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 11/516, memang demikian.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
1. Memasuki waktu subuh dalam keadaan junub
Diantara perbuatan Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah masuk fajar dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya, beliau mandi setelah fajar kemudian shalat.
Dari Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya, kemudian ia mandi dan berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/123, Muslim 1109]
2. Bersiwak
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudlu" [Hadits Riwayat Bukhari 2/311, Muslim 252 semisalnya].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhususkan bersiwak untuk orang yang puasa ataupun yang lainnya, hal ini sebagai dalil bahwa bersiwak itu diperuntukkan bagi orang yang puasa dan selainnya ketika wudlu dan shalat. [Inilah pendapat Bukhari Rahimahullah, demikian pula Ibnu Khuzaimah dan selain keduanya. Lihat Fathul Bari 4/158, Shahih Ibnu Khuzaimah 3/247, Syarhus Sunnah 6/298]
Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Wallahu 'alam.
3. Berkumur dan Istinsyaq
Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam keadan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika beristinsyaq.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ ... Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan puasa" [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/146, Abu Daud 2/308, Ahmad 4/32, Ibnu Abi Syaibah 3/101, Ibnu Majah 407, An-Nasaai no. 87 dari Laqith bin Shabrah, sanadnya SHAHIH]
4. Bercengkrama dan mencium isteri
Aisyah Radhiyallahu 'anha pernah berkata (yang artinya) : “ Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan bercengkrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri" [Hadits Riwayat Bukhari 4/131, Muslim 1106].
"Kami pernah berada di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, datanglah seorang pemuda seraya berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?" Beliau menjawab, "Tidak". Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata : "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?". Beliau menjawb : "Ya" sebagian kami memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa) menahan dirinya".[ Hadits Riwayat Ahmad 2/185,221 dari jalan Ibnu Lahi'ah dari yazid bin Abu Hubaib dari Qaushar At-Tufibi darinya. Sanadnya dhaif karena dhaifnya Ibnu Lahi'ah, tetapi punya syahid (pendukung) dalam riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 11040 dari jalan Habib bin Abi Tsabit dari Mujahid dari Ibnu Abbas, Habib seorang mudallis dan telah 'an-'anah, dengan syahid ini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih Al-Mutafaqih 192-193 karena padanya terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain].
5. Mengeluarkan darah dan suntikan yang tidak mengandung makanan [1]
Hal ini bukan termasuk pembatal puasa, lihat pada pembahasan halaman sebelumnya.
6. Berbekam
Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbekam, padahal beliau sedang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/155-Fath, Lihat Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu 334-338 karya Ibnu Syahin]
7. Mencicipi makanan
Hal ini dibatasi, yaitu selama tidak sampai di tenggorokan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : “ Tidak mengapa mencicipi sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaan puasa, selama tidak sampai ke tenggorokan" [Hadits Riwayat Bukhari secara mu'allaq 4/154-Fath, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah 3/47, Baihaqi 4/261 dari dua jalannya, hadits ini Hasan. Lihat Taghliqut Ta'liq 3/151-152]
8. Bercelak, memakai tetes mata dan lainnya yang masuk ke mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di tenggorokan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiqatus Shiyam serta murid beliau yaitu Ibnul Qayim dalam kitabnya Zadul Ma'ad, Imam Bukhari berkata dalam shahhihnya[(4/153-Fath) hubungkan dengan Mukhtashar Shahih Bukhari 451 karya Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah, dan Taghliqut Ta'liq 3/151-152] : "Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha'i memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa".
9. Mengguyurkan Air ke Atas Kepala dan Mandi
Bukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya [lihat maraji’ di atas] Bab : Mandinya orang yang puasa, Umar membasahi [dengan air untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa] bajunya kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa. As-Sya'bi masuk kamar mandi dalam keadaan puasa. Al-Hasan berkata : "Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan. [Hadits Riwayat Abu Daud 2365, Ahmad 5/376,380,408,430 sanadnya shahih]
Footnote :
1. Lihat Risalatani Mujizatani fiz Zakati washiyami hal.23 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai nasehat kepada seluruh kaum muslimin, baik para khatibnya maupun pendengarnya.
Tidak Boleh Beramal dengan Hadits Lemah dalam Hal Fadlailul A'mal (Keutamaan Amal)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hafidhahullah berkata: "Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu telah masyhur bahwa hadits dlaif boleh diamalkan dalam fadlailul a'mal. Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan. Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau bahwa hal itu telah disepakati. Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam masalah ini ma'ruf. Sebagian besar para muhaqiq (peneliti hadits) berpendapat bahwa hadits dlaif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.
Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam Qawaid At-Tahdits hal. 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut (yakni hadits dlaif tidak diamalkan secara mutlak, pent) diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam 'Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma'in dan dalam Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakar bin Al-Arabi. Pendapat itu juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm.
Aku (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan padanya karena beberapa perkara: Pertama, hadits dlaif hanya mendatangkan sangkaan yang salah (dhanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dlaif dalam fadlailul a'mal, hendaknya dia mendatangkan bukti.
Sungguh sangat jauh! Kedua, yang aku pahami dari ucapan mereka tentang fadlail a'mal yaitu amal-amal yang telah disyariatkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya. Maka hadits lemah dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam fadlailul a'mal. (Yakni dari segi adanya dalil tentang asal amal itu, bukan dari segi adanya dalil yang menetapkan pahala yang khusus pada amal itu. (Ilmu Ushulil Bida' hal. 15)), karena hal itu bukan pensyariatan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya.
Oleh karena itu ucapan sebagian ulama dimaksudkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara fadlail walaupun tidak didukung secara ijma' sebagaimana keterangan Imam Nawawi. Yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Kitab dan Sunnah.
Dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits lemah diperbolehkan jika telah ada hadits shahih yang menunjukkan disyariatkannya amal itu. Akan tetapi kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak memaksudkan makna itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits dlaif yang tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih.
Seperti Imam Nawawi dan yang mengikutinya menganggap sunnah menjawab ucapan orang yang mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua kalimat (qad qamatis shalah, qad qamatis shalah) dengan ucapan aqamahallah wa adamaha (semoga Allah menegakkannya dan melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini lemah (Lihat keterangan kedlaifannya dalam Al-Irwa` 241, Ilmu Ushul Bida' 157.).
Amal ini tidak ditetapkan pensyariatannya kecuali pada hadits lemah tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu sunnah. Padahal perkara sunnah adalah salah satu hukum di antara kelima hukum[Yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.] yang harus ditetapkan berdasarkan dalil.
Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyariatkan dan disunnahkan bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits dlaif yang tidak ada asal pensyariatannya dalam hadits shahih. Akan tetapi di sini tidak mungkin untuk mencantumkan berbagai contoh. Cukuplah salah satu contoh yang telah aku sebutkan.
Yang terpenting di sini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlail tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Tabyinul 'Ujab hal. 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang fadlail walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu' (palsu).
Seharusnya hal itu diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya meyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits lemah dan mensyariatkan apa yang tidak disyariatkan. Atau sebagian orang-orang jahil menyangka bahwa hadits itu adalah shahih. Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain-lain.
Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ.
Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap dusta, maka dia termasuk pendusta.
Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?! Tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara fadlail, sebab semuanya adalah syariat.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkan beramal dengan hadits lemah:
1. Hadits itu tidak maudlu'.
2. Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu dlaif.
3. Tidak memasyhurkan beramal dengannya.
Tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya. Kalaupun mereka mengetahui kelemahannya mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits-hadits shahih! Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah di kalangan kaum muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang shahih.
Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi. Sebab satu pun di antara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang tampak.
Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidh Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits lemah berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam fadlail sebab semuanya adalah syariat.
Inilah yang hak, karena hadits dlaif yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah dusta, bahkan pada umumnya dusta dan palsu. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dlaif termasuk dalam ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "...yang tampak bahwa hadits itu dusta." Yaitu dia menampakkan seperti itu. Oleh karena itu Al-Hafidh menambahkan dengan ucapannya: 'Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?!'
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Imam Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits (yang berisi ancaman tersebut). Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidh: 'Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?'
Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidh tersebut. Adapun jika ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu' dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan fadlail adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidh. Sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dlaif, bukan maudlu'. Sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.
Apa yang kami sebutkan tidak menafikan bahwa Al-Hafidh menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dlaif. Sebab kita katakan bahwa Al-Hafidh menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits lemah dalam perkara fadlail selama tidak maudlu'. Seakan-akan beliau berkata kepada mereka: 'Jika kalian berpendapat demikian maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini.'
Al-Hafidh tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam pembolehan (beramal dengan hadits-hadits lemah, pent) dengan syarat-syarat itu. Bahkan di akhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kita terangkan.
Kesimpulannya bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlailul a'mal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat tersebut dan konsisten dengan syarat-syarat iltu ketika mengamalkan hadits lemah. Wallahul muwaffiq." Sampai di sini keterangan Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah hal. 34-38.
Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan Ramadlan
Setelah kita mengetahui bahwa pendapat yang kuat dalam masalah hadits dlaif adalah tidak boleh dipakai sekalipun dalam fadlailul a'mal dan seandainya diperbolehkan harus dipenuhi syarat-syarat tersebut.
Maka pada pembahasan terakhir ini kita akan menukil beberapa hadits lemah yang diucapkan para khatib dan diamalkan di bulan Ramadlan dari kitab Shifat Shaum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadlan karya Syaikh Salim Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal. 109-113. Beliau berdua menyebutkan beberapa hadits beserta penilaiannya.
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا، إِنَّ الْجَنَّةَ لَتُزَيَّنْ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَى الْحَوْلِ...
Seandainya hamba-hamba itu mengetahui apa yang ada di bulan Ramadlan niscaya umatku berangan-angan agar Ramadlan setahun penuh. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadlan dari ujung tahun ke tahun berikutnya. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudlu'at 2/188-189, Abu Ya'la dalam Musnadnya sebagaimana di dalam Al-Mathalib Al-'Aliyah (qaf 46/alif-ba/naskah manuskrip) dari jalan Jarir bin Ayub Al-Bajali dari Sya'bi dari Nafi' bin Bardah dari Abu Mas'ud Al-Ghifari).
Hadits ini maudlu', cacatnya pada Jarir bin Ayyub. Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Lisanul Mizan (2/101) dan berkata: "Dia terkenal dengan kelemahannya." Kemudian Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Nu'aim tentang dia: "Dia pemalsu hadits," sedang dari Bukhari: "Dia meriwayatkan hadits mungkar" dan dari Nasai: "Dia matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)!! Ibnul Jauzi menghukumi dia sering memalsukan hadits.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ... وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ...
Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada bulan itu sebagai kewajiban dan shalat malam sebagai sunnah. Barangsiapa bertaqarub di dalamnya dengan satu kebaikan, maka dia seperti menunaikan suatu kewajiban pada bulan lain... Ramadlan adalah bulan awalnya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah kemerdekaan dari api neraka...
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1887, Al-Muhamili dalam Amalinya no. 293, Al-Ashbahani dalam At-Targhib (qaf/178, ba'/naskah manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid bin Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.
Sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Ali bin Zaid. Ibnu Sa'ad berkata: "Dia (Ali bin Zaid) lemah, tidak dapat dijadikan hujah." Ahmad bin Hanbal berkata: "Dia tidak kuat." Ibnu Ma'in berkata: "Dia dlaif." Ibnu Abi Haitsamah berkata: "Dia dlaif dalam segala hal." Ibnu Khuzaimah berkata: "Aku tidak berhujah dengannya karena hapalannya jelek." Demikian dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).
Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits tersebut, dengan ucapan: "Jika hadits ini shahih." Ibnu Hajar berkata dalam Al-Athraf: "Tidak diperselisihkan tentang Ali bin Zaid bin Jad'an, dia adalah dlaif.
Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya (Abu Hatim) di dalam I'lalul Hadits 1/249): "Hadits ini mungkar."
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
Puasalah kalian, niscaya kalian sehat.
Ini adalah potongan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam Al-Kamil 7/2521 dari jalan Nahsyal bin Said dari Ad-Dlahhak dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma. Nahsyal adalah matruk, dia berdusta dan Ad-Dlahhak tidak mendengar langsung dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma.
Diriwayatkan pula oleh At-Thabrani dalam Al-Ausath (1/qaf – 69/alif – Majma'ul Bahrain). Demikian pula Ibnu Bukhait dalam Juz'unya sebagaimana dalam Syarhul Ihya' 7/401 dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abu Shalih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu.
Sanad hadits ini lemah. Abu Bakar Al-Atsram berkata: "Aku mendengar Ahmad berkata: "Mereka (orang-orang Syam) meriwayatkan beberapa hadits munkar dari Zuhair." Abu Hatim berkata: "Hapalan Zuhair jelek. Haditsnya ketika di Syam lebih munkar daripada haditsnya di Irak karena hapalannya jelek." Al Ajali berkata: "Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penduduk Syam darinya tidak menakjubkan aku." Demikian dalam Tahdzibul Kamal 9/417.
Aku (Syaikh Ali) katakan bahwa Muhammad bin Sulaiman adalah penduduk Syam. Biografinya terdapat dalam Tarikh Dimasyk 15/qaf 386 – naskah manuskrip). Riwayatnya dari Zuhair –sebagaimana ditegaskan oleh para imam- adalah munkar. Di antaranya adalah hadits ini.
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِعُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ.
Barangsiapa membatalkan (puasanya) satu hari dari bulan Ramadlan tanpa udzur dan sakit, maka tidak dapat diqadla` walaupun dia puasa sepanjang tahun.
Hadits ini disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya (4/160 – Fathul Bari) secara mu'alaq tanpa sanad. Disebutkan sanad-sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1987, Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, Nasai dalam Al-Kubra, sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 10/373, Al-Baihaqi 4/228, Ibnu Hajar dalam Ta'liqut Ta'liq 3/170 dari jalan Abul Muthawwis dari ayahnya dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu.
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 4/161: "Hadits ini banyak diperselisihkan pada Habib bin Abi Tsabit. Sehingga hadits ini memiliki tiga 'ilat (cacat), yaitu: idltirab (sanadnya goncang), keadaan Abul Muthawis majhul (tidak dikenal), Abul Muthawwis mendengar dari ayahnya dari Abu Hurairah diragukan.
Ibnu Khuzaimah setelah meriwayatkan hadits ini berkata dengan ucapan: "Aku tidak mengetahui siapa Ibnul Muthawis dan ayahnya." Sehingga hadits ini juga dlaif.
Demikian empat hadits yang didlaifkan oleh para ulama. Meskipun demikian masih sering terdengar dan terbaca pada setiap bula Ramadlan yang diberkahi ini khususnya. Memang sebagian hadits tersebut mengandung makna yang shahih yang terdapat dalam syariat kita yang lurus ini, namun tidak boleh kita sandarkan hadits yang tidak shahih itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wallahu a'lam.
(Dinukil dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M rubrik Mabhats, penulis ustadz Azhari Asri (murid syaikh Yahya al Hajuri dan syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah). http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=30)
Hal yang wajib dijauhi oleh orang yg shaum (puasa)
Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla
Sya'nuhu, yang dinamakan orang puasa adalah orang yang mempuasakan
seluruh anggota badannya dari dosa, mempuasakan lisannya dari perkataan
dusta, kotor dan keji, mempuasakan lisannya dari perutnya dari makan
dan minum dan mempuasakan kemaluannya dari jima'. Jika bicara, dia
berbicara dengan perkataan yang tidak merusak puasanya, hingga jadilah
perkataannya baik dan amalannya shalih.Inilah puasa yang disyari'atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum semata serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk berhias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib.
Seorang muslim yang puasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah ketaqwaan yang Allah sebutkan (yang artinya) : “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" [Al-Baqarah : 183]
Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak melakukan perbuatan maksiat berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Puasa adalah perisai"[pelindung, red], telah kami jelaskan masalah ini dalam bab Keutamaan Puasa.
Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian syair:
Aku mengenal kejelekan bukan untuk berbuat jelek tapi
untuk menjauhinya
Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekkan akan
terjatuh padanya
1. Perkataan Palsu
Dari Abu Hurairah, Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/99]
2. Perbuatan Sia-sia dan Kotor
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : Aku sedang puasa, aku sedang puasa " [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 1996, Al-Hakim 1/430-431, sanadnya SHAHIH]
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini.
Bersabda As-Shadiqul Masduq yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan Allah kepadanya (yang artinya) : “ Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)" [Hadits Riwayat Ibnu Majah 1/539, Darimi 2/211, Ahmad 2/441,373, Baihaqi 4/270 dari jalan Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Sanadnya SHAHIH]
Sebab terjadinya yang demikian adalah karena orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahami hakekat puasa yang Allah perintahkan atasnya, sehingga Allah memberikan ketetapan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala kepadanya. [Lihat Al-Lu'lu wal Marjan fima Ittafaqa 'alaihi Asy-Syaikhani 707 dan Riyadhis Shalihin 1215]
Oleh sebab itu Ahlul Ilmi dari generasi pendahulu kita yang shaleh membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga membatalkannya dan membedakan antara larangan yang tidak khusus dengan ibadah hingga tidak membatalkannya. [Rujuklah : Jami'ul Ulum wal Hikam hal. 58 oleh Ibnu Rajab]
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Perkara perusak pahala puasa Ramadhan
Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau
perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan merusak
puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut adalah :1. Makan dan minum dengan sengaja
Allah Azza Sya'nuhu berfirman (yang artinya) : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam" [Al-Baqarah : 187]
Difahami (dari ayat diatas, red) bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum" [Hadits Riwayat Bukhari 4/135 dan Muslim 1155].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa" [Hadits Riwayat Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Atsar 2/56, Al-Hakim 2/198, Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam 5/149, Ad-Daruquthni 4/171 dari dua jalan yaitu dari Al-Auza'i dari Atha' bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umar, dari Ibnu Abbas, sanadnya shahih]
2. Muntah dengan sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa tidak membatalkan puasanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha' puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha' puasanya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/310, Tirmidzi 3/79, Ibnu Majah 1/536, Ahmad 2/498 dari jalan Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, sanadnya Shahih sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Haqiqatus Shiyam halaman 14]
3. Haidh dan nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan mengqadha' kalau puasa tidak mencukupinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Bukankah jika haid dia tidak shalat dan puasa ? Kami katakan : "Ya", Beliau berkata : 'Itulah (bukti) kurang agamanya" [Hadits Riwayat Muslim 79, dan 80 dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah]
Dalam riwayat lain (yang artinya) : “Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya"
Perintah mengqadha' puasa terdapat dalam riwayat Mu'adzah, dia berkata.
(yang artinya) : “Aku pernah bertanya kepada Aisyah : ' Mengapa orang haid mengqadha' puasa tetapi tidak mengqadha shalat?' Aisyah berkata : 'Apakah engkau wanita Haruri[1], Aku menjawab : 'Aku bukan Haruri, tapi hanya (sekedar) bertanya'. Aisyah berkata : 'Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa, tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat" [Hadits Riwayat Bukhari 4/429 dan Muslim 335]
4. Suntikan yang mengandung makanan
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa [2] Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalalkan puasa.
5. jima'
Imam Syaukani berkata (Dararul Mudhiyah 2/22) : "Jima' dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapaun jika jima' tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja"
Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma'ad 2/66) : "Al-Qur'an menunjukkan bahwa jima' membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini".
Dalilnya adalah firman Allah.
(yang artinya) : “Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian" [Al-Baqarah : 187]
Diizinkannya bergaul (dengan istri) di malam hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima'. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima' harus mengqadha' dan membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (dia berkata) :
"Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian ia berkata, 'Ya Rasulullah binasalah aku!' Rasulullah bertanya, 'Apa yang membuatmu binasa?' Orang itu menjawab, 'Aku menjima’i istriku di bulan Ramadhan' (di siang hari, red). Rasulullah bersabda, 'Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?' Orang itu menjawb, 'Tidak'. Rasulullah bersabda, 'Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?' Orang itu menjawab, 'Tidak' Rasulullah bersabda, 'Duduklah'. Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah korma kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda, 'Bersedekahlah', Orang itu berkata, 'Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah, berilah makan keluargamu" [2]
Footnote :
[1] Al-Haruri nisbat kepada Harura' (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruri karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Ali di negeri tersebut, hingga dinisbatkan di sana. Demikian dikatakan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/424, dan lihat A Lubab 1/359 karya Ibnu Atsir. Mereka orang-orang Haruriyah mewajbkan wanita-wanita yang telah suci daari Haid untuk mengqadha shalat yang terluput semasa haidnya. Aisyah khawatir Mu'adzah menerima pertanyaan dari Khawrij, yang mempunyai kebiasaan menentang sunnah dengan pikiran mereka, orang-orang seperti mereka pada zaman ini banyak, Lihat pasal At-Tautsiq 'anillah wa ra rasuluhi dari tuliasan Dirasat Manhajiyat fi Aqidah As-Salafiyah karya Salim Al-Hilaly
[2]Lihat Haqiqatus Shiyam halaman 15, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Hadits Shahih dengan berbagai lafadz yang berbeda dari Bukhari 11/516, Muslim 1111, Tirmidzi 724, Baghwai 6/288, Abu Dawud 2390, Ad-Darimi 2/11, Ibnu Majah 1617, Ibnu Abi Syaibah 2/183-184, Ibnu Khuzaimah 3/216, Ibnul Jarud 139, Syafi'i 199, Malik 1/297, Abdur Razak 4/196, sebagian memursalkan, sebagian riwayat mereka ada tambahan :"Qadhalah satu hari sebagai gantinya". Dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 11/516, memang demikian.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Hal yang boleh dikerjakan oleh orang yg shaum
Seorang hamba yang taat serta paham Al-Qur'an dan Sunnah tidak akan
ragu bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan tidak
menginginkan kesulitan. Allah dan Rasul-Nya telah membolehkan beberapa
hal bagi orang yang puasa, dan tidak menganggapnya suatu kesalahan jika
mengamalkannya. Inilah perbuatan-pebuatan tersebut beserta
dalil-dalilnya.1. Memasuki waktu subuh dalam keadaan junub
Diantara perbuatan Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah masuk fajar dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya, beliau mandi setelah fajar kemudian shalat.
Dari Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya, kemudian ia mandi dan berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/123, Muslim 1109]
2. Bersiwak
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudlu" [Hadits Riwayat Bukhari 2/311, Muslim 252 semisalnya].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhususkan bersiwak untuk orang yang puasa ataupun yang lainnya, hal ini sebagai dalil bahwa bersiwak itu diperuntukkan bagi orang yang puasa dan selainnya ketika wudlu dan shalat. [Inilah pendapat Bukhari Rahimahullah, demikian pula Ibnu Khuzaimah dan selain keduanya. Lihat Fathul Bari 4/158, Shahih Ibnu Khuzaimah 3/247, Syarhus Sunnah 6/298]
Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Wallahu 'alam.
3. Berkumur dan Istinsyaq
Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam keadan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika beristinsyaq.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “ ... Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan puasa" [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/146, Abu Daud 2/308, Ahmad 4/32, Ibnu Abi Syaibah 3/101, Ibnu Majah 407, An-Nasaai no. 87 dari Laqith bin Shabrah, sanadnya SHAHIH]
4. Bercengkrama dan mencium isteri
Aisyah Radhiyallahu 'anha pernah berkata (yang artinya) : “ Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan bercengkrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri" [Hadits Riwayat Bukhari 4/131, Muslim 1106].
"Kami pernah berada di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, datanglah seorang pemuda seraya berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?" Beliau menjawab, "Tidak". Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata : "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?". Beliau menjawb : "Ya" sebagian kami memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa) menahan dirinya".[ Hadits Riwayat Ahmad 2/185,221 dari jalan Ibnu Lahi'ah dari yazid bin Abu Hubaib dari Qaushar At-Tufibi darinya. Sanadnya dhaif karena dhaifnya Ibnu Lahi'ah, tetapi punya syahid (pendukung) dalam riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 11040 dari jalan Habib bin Abi Tsabit dari Mujahid dari Ibnu Abbas, Habib seorang mudallis dan telah 'an-'anah, dengan syahid ini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih Al-Mutafaqih 192-193 karena padanya terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain].
5. Mengeluarkan darah dan suntikan yang tidak mengandung makanan [1]
Hal ini bukan termasuk pembatal puasa, lihat pada pembahasan halaman sebelumnya.
6. Berbekam
Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : “ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berbekam, padahal beliau sedang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/155-Fath, Lihat Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu 334-338 karya Ibnu Syahin]
7. Mencicipi makanan
Hal ini dibatasi, yaitu selama tidak sampai di tenggorokan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma (yang artinya) : “ Tidak mengapa mencicipi sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaan puasa, selama tidak sampai ke tenggorokan" [Hadits Riwayat Bukhari secara mu'allaq 4/154-Fath, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah 3/47, Baihaqi 4/261 dari dua jalannya, hadits ini Hasan. Lihat Taghliqut Ta'liq 3/151-152]
8. Bercelak, memakai tetes mata dan lainnya yang masuk ke mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di tenggorokan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiqatus Shiyam serta murid beliau yaitu Ibnul Qayim dalam kitabnya Zadul Ma'ad, Imam Bukhari berkata dalam shahhihnya[(4/153-Fath) hubungkan dengan Mukhtashar Shahih Bukhari 451 karya Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah, dan Taghliqut Ta'liq 3/151-152] : "Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha'i memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa".
9. Mengguyurkan Air ke Atas Kepala dan Mandi
Bukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya [lihat maraji’ di atas] Bab : Mandinya orang yang puasa, Umar membasahi [dengan air untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa] bajunya kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa. As-Sya'bi masuk kamar mandi dalam keadaan puasa. Al-Hasan berkata : "Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan. [Hadits Riwayat Abu Daud 2365, Ahmad 5/376,380,408,430 sanadnya shahih]
Footnote :
1. Lihat Risalatani Mujizatani fiz Zakati washiyami hal.23 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Mengoreksi kekeliruan dalam ibadah Ramadhan kita (1)
Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan
mendapatkan pahala serta ridho-Nya, maka tentunya sebagaimana yang kami
ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan
Al-Qur`an dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah
tersebut. Sehubungan dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan untuk
menjaga agar ibadah pada bulan tersebut (khususnya ibadah puasa) lepas
dari kesalahan, maka kami mohon penjelasan tentang bentuk-bentuk
kesalahan yang ada dan dilakukan orang di bulan Ramadhan ini. Terima
kasih.
Jawab :
Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Maka kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasehat dan bekal menyambut bulan Ramadhan.
Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :
Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu Hisab.
Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah : 186 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa”.
Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا
“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah”.
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.
Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab : “Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka”. Lihat Subulus Salam 2/242.
Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : “Ini adalah madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas”. Lihat : Subulus Salam 2/242.
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : “Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari)”.
Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga).
Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa”.
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : ”…karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-...”.
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul Ahwadzy) : “Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan…“.
Berkata Imam An-Nawawy : “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah”. Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.
Ketiga : Meninggalkan makan sahur.
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah”.
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam diantaranya :
- Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah
- Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.
sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur”.
- Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
- Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.
- Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62, judul asli Memperbaiki beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan)
Ketiga : Meninggalkan makan sahur.
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah”.
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam diantaranya :
- Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
- Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.
sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur”.
- Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
- Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.
- Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.
Keempat : Mempercepat makan sahur.
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dimana selang waktu antara waktu selesainya beliau makan sahur dengan waktu mulai shalat subuh, adalah (selama bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim :
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ia (Zaid bin Tsabit) menjawab : “Lima puluh ayat”.
Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim (7/169) : “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur”.
Lihat : Ihkamul Ahkam karya Ibnu Daqiqil ‘Ied 3/334, Al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin 5/192-193 dan Fathul Bary karya Ibnu Hajar 4/128.
Kelima : Menjadikan tanda imsak sebagai batasan sahur.
Sering kita mendengar tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.
Allah subhanahu wa ta'ala menyatakan dalam surah Al-Baqarah : 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”.
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dua kali, adzan pertama dan adzan kedua. Pada adzan pertama seseorang masih boleh makan sahur dan batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata hattaa (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna “ghoyah” yakni akhir batasan waktu.
Keenam : Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur.
Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru) yang sesat dalam agama dan tidak disyari’atkan karena beberapa hal :
- Satu : Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.
- Dua : Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati.
- Tiga : Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalam hati.
- Empat : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.
- Lima : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata saya berniat meletakkan tanganku ini ke dalam bejana lalu saya mengambil makanan kemudian saya telan dengan niat supaya saya kenyang.
Demikianlah melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh banyak ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Abu Robi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-lain.
Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya.
Lihat : Majmu’ Al-Fatawa 18/263-264 dan 22/238, Syarhul ‘Umdah karya Ibnu Taimiyyah 2/290-291, Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 1/201 dan Qawa’id Wa Fawaid Minal ‘Arbain An-Nawawiyah hal 31-32.
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=2, judul asli Meninggalkan Makan Sahur)
Ketujuh : Tidak berniat dari malam hari.
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syari’at bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya”. Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Gholil karya Syaikh Al-Albany no.914.
Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa arab artinya adalah waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
Kedelapan : Anggapan tidak sahnya puasa orang yang junub atau yang semakna dengannya bila bangun setelah terbitnya fajar dan belum mandi.
Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah umum apakah itu junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri. Dan yang semakna dengannya seperti perempuan yang haidh atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ
“Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi kemudian beliau tidak buka dan tidak pula meng-qodho` (mengganti) puasanya”.
Kesembilan : Mengakhirkan buka puasa.
Hal ini juga tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka”.
Bahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau menegaskan :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang yahudi dan nashoro mengakhirkannya”. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh Abu Daud no.2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/253 no.2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhid 20/23.
Kesepuluh : Anggapan bahwa muntah adalah pembatal puasa.
Anggapan bahwa semua muntah merupakan hal yang membatalkan puasa, adalah anggapan yang salah karena muntah itu ada dua macam:
Satu : Muntah dengan sengaja. Ini hukumnya membatalkan puasa. Imam Al-Khoththoby, Ibnul Mundzir dan lain-lainnya menukil kesepakatan dikalangan para ‘ulama tentang hal tersebut walaupun Ibnu Rusyd menukil bahwa Imam Thowus menyelisihi mereka.
Dua : Muntah yang tidak disengaja. Ini hukumnya tidaklah membatalkan puasa. Dan ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama.
Hal di atas berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam), beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنَ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya membayar qodho’ dan siapa yang dikuasai oleh muntahnya (muntah dengan tidak disengaja) maka tidak ada qodho’ atasnya”. Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththo` no.673, Imam Syafi’iy dalam Al-Umm 7/252, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushonnaf no.7551 dan Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al-Atsar 2/98 dengan sanad shohih di atas syarat Bukhary-Muslim.
Lihat : Al Mughny 3/17-119, Al Majmu’ 6/319-320, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd 1/385, Ma’alim As-Sunan karya Al Khoththoby 3/261, ‘Aunul Ma’bud 7/6, Nailul Author 4/204, Fathul Bary 4/174, Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/395-404 dan Al-Fath Ar-Rabbany 10/44-45.
Kesebelas : Anggapan bahwa makan dan minum dalam keadaan lupa membatalkan puasa.
Anggapan ini tidaklah benar, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia dalam keadaan puasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya (tidak berbuka). Karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum”.
Dari hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang berpuasa lalu makan dan minum dalam keadaan lupa maka tidaklah membatalkan puasanya.Ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama.
Lihat : Al Majmu’ karya Ibnu Qudamah 6/324, Syarah Muslim karya Imam Nawawy 8/35, Syarahul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam karya Ibnu Taimiyah 1/457-462, Al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin 5/203-204, Fathul Bary karya Ibnu Hajar 4/156-157, Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 2/59 dan Nailul Authar karya Asy-Syaukany 4/206-207.
Kedua belas : Anggapan bahwa bersuntik membatalkan puasa.
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus dan sejenisnya. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=3, judul asli Tidak Berniat di Malam Hari)
Jawab :
Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Maka kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasehat dan bekal menyambut bulan Ramadhan.
Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :
Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu Hisab.
Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah : 186 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa”.
Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam :
إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا
“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah”.
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya. Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal. Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal tersebut.
Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu Falaq dan ilmu Hisab : “Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah merupakan hujjah (bantahan) atas mereka”. Lihat Subulus Salam 2/242.
Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : “Ini adalah madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang menggunakan ilmu Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan yang tidak jelas”. Lihat : Subulus Salam 2/242.
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : “Jawaban terhadap mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari), dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh (hari)”.
Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga).
Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa”.
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : “Ini menunjukkan haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : ”…karena menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan dugaan-...”.
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364 (Tuhfathul Ahwadzy) : “Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.) seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan…“.
Berkata Imam An-Nawawy : “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah”. Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak apa-apa. Wallahu A’lam.
Ketiga : Meninggalkan makan sahur.
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah”.
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam diantaranya :
- Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah
- Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.
sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur”.
- Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
- Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.
- Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62, judul asli Memperbaiki beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan)
Ketiga : Meninggalkan makan sahur.
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy, Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam 5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah”.
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalam perkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam diantaranya :
- Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
- Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.
sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur”.
- Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
- Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.
- Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.
Keempat : Mempercepat makan sahur.
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dimana selang waktu antara waktu selesainya beliau makan sahur dengan waktu mulai shalat subuh, adalah (selama bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim :
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ia (Zaid bin Tsabit) menjawab : “Lima puluh ayat”.
Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim (7/169) : “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur”.
Lihat : Ihkamul Ahkam karya Ibnu Daqiqil ‘Ied 3/334, Al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin 5/192-193 dan Fathul Bary karya Ibnu Hajar 4/128.
Kelima : Menjadikan tanda imsak sebagai batasan sahur.
Sering kita mendengar tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam yang mulia.
Allah subhanahu wa ta'ala menyatakan dalam surah Al-Baqarah : 187 :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”.
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dua kali, adzan pertama dan adzan kedua. Pada adzan pertama seseorang masih boleh makan sahur dan batasan terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat subuh.
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika sudah masuk adzan subuh, karena kata hattaa (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna “ghoyah” yakni akhir batasan waktu.
Keenam : Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur.
Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru) yang sesat dalam agama dan tidak disyari’atkan karena beberapa hal :
- Satu : Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.
- Dua : Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati.
- Tiga : Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalam hati.
- Empat : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.
- Lima : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata saya berniat meletakkan tanganku ini ke dalam bejana lalu saya mengambil makanan kemudian saya telan dengan niat supaya saya kenyang.
Demikianlah melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh banyak ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Abu Robi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-lain.
Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya.
Lihat : Majmu’ Al-Fatawa 18/263-264 dan 22/238, Syarhul ‘Umdah karya Ibnu Taimiyyah 2/290-291, Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 1/201 dan Qawa’id Wa Fawaid Minal ‘Arbain An-Nawawiyah hal 31-32.
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=2, judul asli Meninggalkan Makan Sahur)
Ketujuh : Tidak berniat dari malam hari.
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syari’at bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya”. Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Gholil karya Syaikh Al-Albany no.914.
Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa arab artinya adalah waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
Kedelapan : Anggapan tidak sahnya puasa orang yang junub atau yang semakna dengannya bila bangun setelah terbitnya fajar dan belum mandi.
Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah umum apakah itu junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri. Dan yang semakna dengannya seperti perempuan yang haidh atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ
“Adalah Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam memasuki waktu shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi kemudian beliau tidak buka dan tidak pula meng-qodho` (mengganti) puasanya”.
Kesembilan : Mengakhirkan buka puasa.
Hal ini juga tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka”.
Bahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjadikan mempercepat buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau menegaskan :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa, karena orang-orang yahudi dan nashoro mengakhirkannya”. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh Abu Daud no.2353, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/253 no.2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tamhid 20/23.
Kesepuluh : Anggapan bahwa muntah adalah pembatal puasa.
Anggapan bahwa semua muntah merupakan hal yang membatalkan puasa, adalah anggapan yang salah karena muntah itu ada dua macam:
Satu : Muntah dengan sengaja. Ini hukumnya membatalkan puasa. Imam Al-Khoththoby, Ibnul Mundzir dan lain-lainnya menukil kesepakatan dikalangan para ‘ulama tentang hal tersebut walaupun Ibnu Rusyd menukil bahwa Imam Thowus menyelisihi mereka.
Dua : Muntah yang tidak disengaja. Ini hukumnya tidaklah membatalkan puasa. Dan ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama.
Hal di atas berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam), beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنَ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya membayar qodho’ dan siapa yang dikuasai oleh muntahnya (muntah dengan tidak disengaja) maka tidak ada qodho’ atasnya”. Dikeluarkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththo` no.673, Imam Syafi’iy dalam Al-Umm 7/252, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushonnaf no.7551 dan Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al-Atsar 2/98 dengan sanad shohih di atas syarat Bukhary-Muslim.
Lihat : Al Mughny 3/17-119, Al Majmu’ 6/319-320, Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd 1/385, Ma’alim As-Sunan karya Al Khoththoby 3/261, ‘Aunul Ma’bud 7/6, Nailul Author 4/204, Fathul Bary 4/174, Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/395-404 dan Al-Fath Ar-Rabbany 10/44-45.
Kesebelas : Anggapan bahwa makan dan minum dalam keadaan lupa membatalkan puasa.
Anggapan ini tidaklah benar, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia dalam keadaan puasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya (tidak berbuka). Karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum”.
Dari hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang berpuasa lalu makan dan minum dalam keadaan lupa maka tidaklah membatalkan puasanya.Ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama.
Lihat : Al Majmu’ karya Ibnu Qudamah 6/324, Syarah Muslim karya Imam Nawawy 8/35, Syarahul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam karya Ibnu Taimiyah 1/457-462, Al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin 5/203-204, Fathul Bary karya Ibnu Hajar 4/156-157, Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 2/59 dan Nailul Authar karya Asy-Syaukany 4/206-207.
Kedua belas : Anggapan bahwa bersuntik membatalkan puasa.
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus dan sejenisnya. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=3, judul asli Tidak Berniat di Malam Hari)
Mengoreksi kekeliruan dalam ibadah Ramadhan kita (2)
Kedua belas : Anggapan bahwa bersuntik membatalkan puasa.
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus dan sejenisnya. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.
Ketiga belas : Perasaan ragu mencicipi makanan.
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk kedalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.
Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam), lafazhnya :
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa”. Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 2/304 no 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no.8042 dan disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shohihnya 4/132 (Fathul Bary) secara mu’allaq dengan shighoh jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil 4/85-86.
Berkata Imam Ahmad : “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya maka tidak ada masalah baginya”. Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Ibnu Aqail Al-Hambaly : “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan tidaklah mengapa. Akan tetapi bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, maka hal itu dapat membatalkan puasanya dan bila tidak masuk maka tidaklah membatalkan puasa”. Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.108 : “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air”.
Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam bersama ta’liqnya 1/479-481.
Keempat belas : Meninggalkan berkumur-kumur dan menghirup air (kedalam hidung) ketika berwudhu.
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyari’atkan pada setiap keadaan, dalam keadan berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa bolehnya kumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqith bin Saburah bahwasahnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa allihi wa sallam bersabda :
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan puasa”. Hadits shohih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no.80, Ath-Thoyalisy no.1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27, Abu Daud no.142, Tirmidzy no.788, Ibnu Majah no.407, An-Nasai no.87 dan Al-Kubra no.98, Ibnu Khuzaimah no.150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.1054,1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248,4/123, Al-Baihaqy 1/76, 4/261, 6/303, Ath-Thabarany 19/216 no.483 dan dalam Al-Ausath no.7446, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 18/223, Ar-Romahurmuzy dalam Al-Muhaddits Al-Fashil hal.579 dan Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal.209-210.
Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga didalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama dengan berkumur-kumur.
Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Robbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 6/406 dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.
Kelima belas : Anggapan bahwa tidak boleh mandi dan berenang atau menyelam dalam air.
Anggapan tersebut adalah anggapan yang salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan wudhu sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk kedalam tenggorokannya.
Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357 : “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan”.
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya kedalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca:ada) dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari”.
Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.
Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 6/225-226 dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.
Keenam belas : Anggapan menelan ludah membatalkan puasa.
Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja dimulut kemudian menelannya.
Berkata Ibnu Hazm : “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan para ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq”.
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317 : “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ‘ulama)”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473 : “Dan Apa-apa yang terkumpul dimulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya …”.
Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.
Lihat : Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.
Ketujuh belas : Anggapan tidak boleh mencium bau-bauan yang mengenakkan.
Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.107: “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa”.
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=4, judul asli Memperbaiki Kesalahan)
Kedelapan belas : Menghabiskan waktu di bulan Ramadhan dengan perbuatan dan perkataan sia-sia.
Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya :
مَنْ لَمْ يَدْعُ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah subhanahu wa ta'ala tidak ada hajat (pada amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya (semata), puasa itu adalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna”.
Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia, dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-sia.
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan :
إِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ سَابَّهُ فَلْيَقُلْ إِنَّيْ صَائِمٌ
“Apabila ada orang yang mencelanya maka hendaklah ia berkata : “Sesungguhnya saya ini berpuasa”.
Kesembilan belas : Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga di akhir bulan Ramadhan.
Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah diakhir bulan Ramadhan, khususnya pada sepuluh hari terakhir, ini adalah hal yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang seharusnya pada 10 hari terakhir kita lebih menjaga dengan melakukan ibadah yang sebanyak-banyaknya.
Keduapuluh : Membayar Fidyah sebelum meninggalkan puasa.
Membayar Fidyah sebelum meninggalkan puasanya, seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau diawal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah, karena kewajiban membayar fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa, sedang di awal Ramadhan ia belum meninggalkan puasa sehingga belum harus baginya membayar fidyah.
Keduapuluh satu : Anggapan bahwa darah yang keluar dari dalam mulut dapat membatalkan puasa.
Darah yang keluar dari dalam mulut selama tidak sampai ketenggorokan (tidak tertelan) maka tidak membatalkan puasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla (2/214) bahwa : “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dalam permasalahan ini yakni darah yang keluar dari dalam mulut selama tidak sampai ketenggorokan maka tidak membatalkan puasa”.
Disebutkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/477.
Seandainya ada khilaf dalam masalah ini maka pendapat yang kuat yakni tidak membatalkan puasa. Adapun kalau darah itu keluar dari dalam mulut kemudian ditelan dengan sengaja maka hal ini dapat membatalkan puasa, ini sebagimana keumuman nash-nash yang ada.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad dan pendapat para ‘ulama di zaman sekarang.
Lihat : Syarhul ‘Umdah 9/477, Fatawa Ramadhan 2/460, Syarahul Mumti’ 6/429.
Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqo Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Alim.
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=5, judul asli Memperbaiki Kesalahan)
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus dan sejenisnya. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.
Ketiga belas : Perasaan ragu mencicipi makanan.
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk kedalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.
Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam), lafazhnya :
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa”. Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 2/304 no 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no.8042 dan disebutkan oleh Imam Bukhary dalam Shohihnya 4/132 (Fathul Bary) secara mu’allaq dengan shighoh jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil 4/85-86.
Berkata Imam Ahmad : “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya maka tidak ada masalah baginya”. Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Ibnu Aqail Al-Hambaly : “Hal tersebut dibenci bila tak ada keperluan, namun bila diperlukan tidaklah mengapa. Akan tetapi bila ia mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, maka hal itu dapat membatalkan puasanya dan bila tidak masuk maka tidaklah membatalkan puasa”. Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.108 : “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air”.
Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam bersama ta’liqnya 1/479-481.
Keempat belas : Meninggalkan berkumur-kumur dan menghirup air (kedalam hidung) ketika berwudhu.
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyari’atkan pada setiap keadaan, dalam keadan berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa bolehnya kumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqith bin Saburah bahwasahnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa allihi wa sallam bersabda :
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan puasa”. Hadits shohih. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no.80, Ath-Thoyalisy no.1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27, Abu Daud no.142, Tirmidzy no.788, Ibnu Majah no.407, An-Nasai no.87 dan Al-Kubra no.98, Ibnu Khuzaimah no.150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.1054,1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248,4/123, Al-Baihaqy 1/76, 4/261, 6/303, Ath-Thabarany 19/216 no.483 dan dalam Al-Ausath no.7446, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 18/223, Ar-Romahurmuzy dalam Al-Muhaddits Al-Fashil hal.579 dan Bahsyal dalam Tarikh Wasith hal.209-210.
Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga didalam berwudhu yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke hidung sama dengan berkumur-kumur.
Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Robbany 10/38-39, Syarhul Mumti’ karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 6/406 dan Fatawa Ramadhan 2/536-538.
Kelima belas : Anggapan bahwa tidak boleh mandi dan berenang atau menyelam dalam air.
Anggapan tersebut adalah anggapan yang salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan wudhu sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk kedalam tenggorokannya.
Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357 : “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan”.
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya kedalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca:ada) dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari”.
Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.
Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 6/225-226 dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.
Keenam belas : Anggapan menelan ludah membatalkan puasa.
Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja dimulut kemudian menelannya.
Berkata Ibnu Hazm : “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan para ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq”.
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317 : “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ‘ulama)”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473 : “Dan Apa-apa yang terkumpul dimulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya …”.
Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.
Lihat : Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.
Ketujuh belas : Anggapan tidak boleh mencium bau-bauan yang mengenakkan.
Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.107: “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa”.
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=4, judul asli Memperbaiki Kesalahan)
Kedelapan belas : Menghabiskan waktu di bulan Ramadhan dengan perbuatan dan perkataan sia-sia.
Sebagaimana hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu dikeluarkan oleh Imam Bukhary dan lainnya :
مَنْ لَمْ يَدْعُ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah subhanahu wa ta'ala tidak ada hajat (pada amalannya) ia meninggalkan makan dan minumannya.”
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Bukanlah puasa itu (menahan) dari makan dan minumannya (semata), puasa itu adalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna”.
Hadits ini menunjukkan larangan untuk berkata sia-sia, dusta, serta beramal dengan pekerjaan yang sia-sia.
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan :
إِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ سَابَّهُ فَلْيَقُلْ إِنَّيْ صَائِمٌ
“Apabila ada orang yang mencelanya maka hendaklah ia berkata : “Sesungguhnya saya ini berpuasa”.
Kesembilan belas : Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga di akhir bulan Ramadhan.
Menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah diakhir bulan Ramadhan, khususnya pada sepuluh hari terakhir, ini adalah hal yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang seharusnya pada 10 hari terakhir kita lebih menjaga dengan melakukan ibadah yang sebanyak-banyaknya.
Keduapuluh : Membayar Fidyah sebelum meninggalkan puasa.
Membayar Fidyah sebelum meninggalkan puasanya, seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau diawal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah, karena kewajiban membayar fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa, sedang di awal Ramadhan ia belum meninggalkan puasa sehingga belum harus baginya membayar fidyah.
Keduapuluh satu : Anggapan bahwa darah yang keluar dari dalam mulut dapat membatalkan puasa.
Darah yang keluar dari dalam mulut selama tidak sampai ketenggorokan (tidak tertelan) maka tidak membatalkan puasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla (2/214) bahwa : “Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dalam permasalahan ini yakni darah yang keluar dari dalam mulut selama tidak sampai ketenggorokan maka tidak membatalkan puasa”.
Disebutkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/477.
Seandainya ada khilaf dalam masalah ini maka pendapat yang kuat yakni tidak membatalkan puasa. Adapun kalau darah itu keluar dari dalam mulut kemudian ditelan dengan sengaja maka hal ini dapat membatalkan puasa, ini sebagimana keumuman nash-nash yang ada.
Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad dan pendapat para ‘ulama di zaman sekarang.
Lihat : Syarhul ‘Umdah 9/477, Fatawa Ramadhan 2/460, Syarahul Mumti’ 6/429.
Wallahu Ta’ala A’lam Wa Fauqo Kulli Dzi ‘Ilmin ‘Alim.
(Dikutip dari http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=62&page_order=5, judul asli Memperbaiki Kesalahan)
Jima' Saat Puasa Ramadhan
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ
عَلَى امْرَأَتِي فِيْ رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ
رَقْبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ
شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا
تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ فَأَتَى
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ
فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ: أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ
لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ:
اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Orang itu menjawab: “Aku telah menggauli (berjima’-pen) istriku di siang Ramadhan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyatakan: “Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau memberi makan enampuluh orang miskin?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian iapun duduk dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi satu wadah kurma (sebanyak enampuluh mudd-pen) dan beliau berkata: “Shadaqahkan ini.” Orang itu bertanya: “Kepada yang lebih fakir dari kami? Sungguh di kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini dari kami.” Mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) dari jalan Az-Zuhri Muhamad bin Muslim dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu.
Dari Az-Zuhri diriwayatkan dari sembilan jalan:
1. Ibrahim bin Sa’d dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat Fathul Bari, 10/519) dan Ahmad bin Yunus (Al-Fath, 9/423).
2. Sufyan bin ‘Uyainah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (Al-Fath, 11/604) dan Al-Qa’nabi (Al-Fath, 11/605), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair (7/224), sementara Abu Dawud dari jalan Musaddad dan Muhamad bin ‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara At-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu ‘Ammar Al-Husain bin Huraits dan beliau menyatakan: hasan shahih (Al-‘Aridhah, 3/198). Juga Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).
3. Syu’aib bin Abi Hamzah dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Abul Yaman (Al-Fath, 4/193).
4. Manshur dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (Al-Fath, 4/204), sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).
5. Al-Laits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Qutaibah (Al-Fath, 5/264), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah dan Muhamad bin Rumh (7/226).
6. Ma’mar dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Mahbub dari Abdul Wahid (11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq (7/227), sementara Abu Dawud dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq (‘Aunul Ma’bud, 7/16)
7. Al-Auza’i dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Muqatil dari Abdullah (10/568).
8. Ibnu Juraij dikeluarkan Muslim dari jalan Muhamad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq (7/227).
9. Malik dikeluarkan Abu Dawud dari jalan Al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).
Hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin radiyallahu 'anha:
Hadits ‘Aisyah radiyallahu 'anhuma semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas dan dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai, diriwayatkan dari jalan Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah radiyallahu 'anha.
Dari Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:
1. Abdurrahman bin Harits dikeluarkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhamad bin Auf dari Sa’id bin Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman bin Al-Harits.
بِعَرَقٍ فِيْهِ عِشْرُوْنَ صَاعًا
(Al-‘Aun, 7/20).
2. Abdurrahman bin Qasim dan darinya diriwayatkan dari dua jalan:
1). ‘Amr bin Harits dikeluarkan Al-Bukhari secara mu’allaq dari Al-Laits (Al-Fath, 12/134) dan disebutkan secara maushul oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta’liq (5/237). Sementara Muslim dari jalan Abu Thahir bin Sarh dari Ibn Wahb (7/229), dan Abu Dawud dari jalan Sulaiman bin Dawud Al-Mahri dari Ibn Wahb (Al-‘Aun, 7/20)
2). Yahya bin Sa’id dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Abdullah bin Numair dari Yazid bin Harun (Al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari jalan Muhammad bin Rumh dari Al-Laits (7/228) dan dari Muhammad bin Mutsanna dari Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi (7/228).
Fiqhul (kandungan) Hadits:
1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.
2. Hadits ‘Aisyah radiyallahu 'anha di atas dikeluarkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya pada bab:
إِذَا جَامَعَ فِيْ رَمَضَانَ
Menurut Al-Hafidz, yang dimaksud adalah orang tersebut telah melakukan jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja dan ia tahu keharamannya sehingga ia wajib membayar kaffarah.
Al-Imam Al-Bukhari dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan sighah tamridh:
وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضَهُ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ
Disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
“Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena sakit maka ia tidak bisa membayarnya dengan puasa selamanya kalaupun ia lakukan.”
Al-Hafidz berkata: “Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka dan dishahihkan Ibnu Hazm dari jalan Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah, keduanya dari Habib bin Abi Tsabit dari ‘Ammarah bin Umair dari Abul Muthawwas dari ayahnya dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan lafadz:
فِيْ غَيْرِ رَخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ تَعَالَى لَهُ لَمْ يُقْضَ عَنْهُ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“… Tanpa rukhshah yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa membayarnya walaupun ia puasa sepanjang masa.”
3. Lafadz
هَلَكْتُ
yang dimaksud adalah “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah radiyallahu 'anha dengan lafadz
احْتَرَقْتُ
: “Aku telah terbakar”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: “Mengapa?” Jawabnya: “Karena aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadhan.”
4. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak bahayanya dosa.
5. Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa itu.
6. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari jima’.
7. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red).
Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib, karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur hukumnya.
8. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.
9. Susunan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan secara berurutan dan tidak dengan pilihan secara bebas, demikian menurut pendapat mayoritas ulama.
10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah- dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-. Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.
11. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat berturut-turut.
12. Sabda Rasulullah n:
اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Pergi dan berikan ini pada keluargamu”
Artinya yang paling benar menurut Ibnul ‘Arabi, Al-Baghawi, Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Daqiqil ‘Ied adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada keluarganya karena kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap dalam tanggungannya dan harus ia bayar ketika mampu. Ini adalah madzhab Malik bin Anas.
Oleh sebab itu Al-Bukhari memberi judul bab:
إِذَا جَامَعَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ فَتُصَدِّقُ عَلَيْهِ فَلْيُكَفِّرْ
Jika berjima’ dan tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka hendaknya ia membayar kaffarah.
Kata Al-Hafidz, ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan seseorang tidaklah menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, namun hal itu tetap menjadi tanggungannya.(Al-Fath, 4/204)
13. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.
14. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat buruknya.
15. Bolehnya duduk di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan lainnya seperti belajar dan mengajar.
16. Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.
17. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui kecuali dari dirinya.
18. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.
19. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.
20. Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (meng-qodho) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.
Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya.
Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.
Termasuk yang menguatkan pendapat yang mewajibkan membayar puasa bersama dengan kaffarah adalah lafadz
صُمْ يَوْمًا مَكَانَهُ
: “Dan puasalah sehari sebagai gantinya.” Dari riwayat Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, juga tersebut pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar dan Hisyam bin Sa’d, semuanya dari Az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair, Hasan dan Muhamad bin Ka’b. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar, dari keseluruhan jalan di atas diketahui bahwa tambahan perintah untuk bayar puasa memiliki asal (ada benarnya) (Al-Fath: 4/204)
21. Hadits dan atsar ini menurut Ibnu Hajar sengaja dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’ maka wajib membayar kaffarah, sementara hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengisyaratkan kelemahannya dengan sighah tamridh (bentuk pasif). Kalaupun shahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan qadha (membayar puasa) bagi yang membatalkan puasanya dengan makan, tetapi tetap hal itu menjadi tanggungannya sebagai tambahan balasan baginya. Hal ini karena dengan diqadha berarti terhapus dosa darinya, namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti gugur pula kewajiban membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’, dan pembatalan karena jima’ berbeda jelas dengan pembatalan karena makan.
22. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang dengannya gugur suatu hukum darinya atau berhak dengannya mengambil sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak dibebani untuk mendatangkan bukti, karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir dan mengaku telah merusak puasanya.
23. Hadits ini ditulis sebagai sebuah karya secara tersendiri tentang penjelasan dan keterangannya oleh Al-Imam Abdurrahim bin Hussain Al-‘Iraqi, dimana beliau membahas dan meng-istimbath tentang 1001 masalah dalam satu hadits ini. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menyatakan bahwa ulama hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan tentang sanad, al-jarh wat-ta’dil dan sejenisnya, dan tidak mengerti tentang fiqh hadits.
وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Sumber Bacaan:
1. Al-I’lam bi Fawa ‘id ‘Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin
2. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfury
3. Sunan Ibnu Majah
4. ‘Aridhotul Ahwadzi, Ibnul ‘Arabi Al-Maliki
5. ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al-Adzimi Abadi
6. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalani
7. Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Usamah Mahri, Lc, judul asli Jima' Saat Puasa Ramadhan. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=299)
Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Orang itu menjawab: “Aku telah menggauli (berjima’-pen) istriku di siang Ramadhan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyatakan: “Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau memberi makan enampuluh orang miskin?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian iapun duduk dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi satu wadah kurma (sebanyak enampuluh mudd-pen) dan beliau berkata: “Shadaqahkan ini.” Orang itu bertanya: “Kepada yang lebih fakir dari kami? Sungguh di kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini dari kami.” Mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) dari jalan Az-Zuhri Muhamad bin Muslim dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu.
Dari Az-Zuhri diriwayatkan dari sembilan jalan:
1. Ibrahim bin Sa’d dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat Fathul Bari, 10/519) dan Ahmad bin Yunus (Al-Fath, 9/423).
2. Sufyan bin ‘Uyainah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (Al-Fath, 11/604) dan Al-Qa’nabi (Al-Fath, 11/605), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair (7/224), sementara Abu Dawud dari jalan Musaddad dan Muhamad bin ‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara At-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu ‘Ammar Al-Husain bin Huraits dan beliau menyatakan: hasan shahih (Al-‘Aridhah, 3/198). Juga Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).
3. Syu’aib bin Abi Hamzah dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Abul Yaman (Al-Fath, 4/193).
4. Manshur dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (Al-Fath, 4/204), sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).
5. Al-Laits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Qutaibah (Al-Fath, 5/264), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah dan Muhamad bin Rumh (7/226).
6. Ma’mar dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Mahbub dari Abdul Wahid (11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq (7/227), sementara Abu Dawud dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq (‘Aunul Ma’bud, 7/16)
7. Al-Auza’i dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Muqatil dari Abdullah (10/568).
8. Ibnu Juraij dikeluarkan Muslim dari jalan Muhamad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq (7/227).
9. Malik dikeluarkan Abu Dawud dari jalan Al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).
Hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin radiyallahu 'anha:
Hadits ‘Aisyah radiyallahu 'anhuma semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas dan dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai, diriwayatkan dari jalan Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah radiyallahu 'anha.
Dari Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:
1. Abdurrahman bin Harits dikeluarkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhamad bin Auf dari Sa’id bin Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman bin Al-Harits.
بِعَرَقٍ فِيْهِ عِشْرُوْنَ صَاعًا
(Al-‘Aun, 7/20).
2. Abdurrahman bin Qasim dan darinya diriwayatkan dari dua jalan:
1). ‘Amr bin Harits dikeluarkan Al-Bukhari secara mu’allaq dari Al-Laits (Al-Fath, 12/134) dan disebutkan secara maushul oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta’liq (5/237). Sementara Muslim dari jalan Abu Thahir bin Sarh dari Ibn Wahb (7/229), dan Abu Dawud dari jalan Sulaiman bin Dawud Al-Mahri dari Ibn Wahb (Al-‘Aun, 7/20)
2). Yahya bin Sa’id dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Abdullah bin Numair dari Yazid bin Harun (Al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari jalan Muhammad bin Rumh dari Al-Laits (7/228) dan dari Muhammad bin Mutsanna dari Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi (7/228).
Fiqhul (kandungan) Hadits:
1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.
2. Hadits ‘Aisyah radiyallahu 'anha di atas dikeluarkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya pada bab:
إِذَا جَامَعَ فِيْ رَمَضَانَ
Menurut Al-Hafidz, yang dimaksud adalah orang tersebut telah melakukan jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja dan ia tahu keharamannya sehingga ia wajib membayar kaffarah.
Al-Imam Al-Bukhari dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan sighah tamridh:
وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضَهُ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ
Disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
“Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena sakit maka ia tidak bisa membayarnya dengan puasa selamanya kalaupun ia lakukan.”
Al-Hafidz berkata: “Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka dan dishahihkan Ibnu Hazm dari jalan Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah, keduanya dari Habib bin Abi Tsabit dari ‘Ammarah bin Umair dari Abul Muthawwas dari ayahnya dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan lafadz:
فِيْ غَيْرِ رَخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ تَعَالَى لَهُ لَمْ يُقْضَ عَنْهُ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“… Tanpa rukhshah yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa membayarnya walaupun ia puasa sepanjang masa.”
3. Lafadz
هَلَكْتُ
yang dimaksud adalah “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah radiyallahu 'anha dengan lafadz
احْتَرَقْتُ
: “Aku telah terbakar”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: “Mengapa?” Jawabnya: “Karena aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadhan.”
4. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak bahayanya dosa.
5. Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa itu.
6. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari jima’.
7. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red).
Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib, karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur hukumnya.
8. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.
9. Susunan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan secara berurutan dan tidak dengan pilihan secara bebas, demikian menurut pendapat mayoritas ulama.
10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah- dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-. Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.
11. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat berturut-turut.
12. Sabda Rasulullah n:
اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Pergi dan berikan ini pada keluargamu”
Artinya yang paling benar menurut Ibnul ‘Arabi, Al-Baghawi, Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Daqiqil ‘Ied adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada keluarganya karena kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap dalam tanggungannya dan harus ia bayar ketika mampu. Ini adalah madzhab Malik bin Anas.
Oleh sebab itu Al-Bukhari memberi judul bab:
إِذَا جَامَعَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ فَتُصَدِّقُ عَلَيْهِ فَلْيُكَفِّرْ
Jika berjima’ dan tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka hendaknya ia membayar kaffarah.
Kata Al-Hafidz, ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan seseorang tidaklah menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, namun hal itu tetap menjadi tanggungannya.(Al-Fath, 4/204)
13. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.
14. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat buruknya.
15. Bolehnya duduk di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan lainnya seperti belajar dan mengajar.
16. Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.
17. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui kecuali dari dirinya.
18. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.
19. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.
20. Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (meng-qodho) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.
Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya.
Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.
Termasuk yang menguatkan pendapat yang mewajibkan membayar puasa bersama dengan kaffarah adalah lafadz
صُمْ يَوْمًا مَكَانَهُ
: “Dan puasalah sehari sebagai gantinya.” Dari riwayat Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, juga tersebut pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar dan Hisyam bin Sa’d, semuanya dari Az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair, Hasan dan Muhamad bin Ka’b. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar, dari keseluruhan jalan di atas diketahui bahwa tambahan perintah untuk bayar puasa memiliki asal (ada benarnya) (Al-Fath: 4/204)
21. Hadits dan atsar ini menurut Ibnu Hajar sengaja dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’ maka wajib membayar kaffarah, sementara hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengisyaratkan kelemahannya dengan sighah tamridh (bentuk pasif). Kalaupun shahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan qadha (membayar puasa) bagi yang membatalkan puasanya dengan makan, tetapi tetap hal itu menjadi tanggungannya sebagai tambahan balasan baginya. Hal ini karena dengan diqadha berarti terhapus dosa darinya, namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti gugur pula kewajiban membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’, dan pembatalan karena jima’ berbeda jelas dengan pembatalan karena makan.
22. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang dengannya gugur suatu hukum darinya atau berhak dengannya mengambil sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak dibebani untuk mendatangkan bukti, karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir dan mengaku telah merusak puasanya.
23. Hadits ini ditulis sebagai sebuah karya secara tersendiri tentang penjelasan dan keterangannya oleh Al-Imam Abdurrahim bin Hussain Al-‘Iraqi, dimana beliau membahas dan meng-istimbath tentang 1001 masalah dalam satu hadits ini. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menyatakan bahwa ulama hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan tentang sanad, al-jarh wat-ta’dil dan sejenisnya, dan tidak mengerti tentang fiqh hadits.
وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Sumber Bacaan:
1. Al-I’lam bi Fawa ‘id ‘Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin
2. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfury
3. Sunan Ibnu Majah
4. ‘Aridhotul Ahwadzi, Ibnul ‘Arabi Al-Maliki
5. ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al-Adzimi Abadi
6. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalani
7. Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Usamah Mahri, Lc, judul asli Jima' Saat Puasa Ramadhan. URL Sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=299)
Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan
Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan
Kalau jasmani seseorang dapat menjadi kuat disebabkan latihan fisik, maka puasa dapat memperkuat jiwa. Pada diri seseorang yang berpuasa, suplai bahan makanan dan minuman yang merupakan bahan bakar aktifitas kehidupan manusia berkurang sehingga pembuluh-pembuluh darah menyempit. Seiring dengan menyempitnya pembuluh-pembuluh darah itu berarti menyempit pula tempat aliran setan dalam tubuh.
Keadaan seperti ini akan membuat nafsu syahwat terpenjara (dari hubungan sex atau persetubuhan) dan memenangkan anggota badannya dengan cara yang menakjubkan. Inilah hakikat puasa. Dengan demikian puasa adalah perisai dari serangan nafsu syahwat bagi orang-orang yang bertaqwa.
Puasa memiliki dua keutamaan khusus yang tidak ditemukan pada ibadah badan lainnya, yaitu:
1. Puasa merupakan amal tersembunyi. Pada umumnya orang lain tidak mengetahuinya dan kemungkinan besar sedikit tercampur dengan unsur riya’.
2. Puasa sebagai benteng bagi orang-orang yang bertaqwa dari musuh Allah yaitu setan yang jalannya dalam rangka menguasai manusia adalah hawa nafsu syahwat.
Allah berfirman dalam hadits qudsi tentang keutamaan puasa:
اَلصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ. (رواه البخاري ٣/٣، ٩/١٧٥ ومسلم ٣/١٥٧-١٥٨)
Puasa itu untukKu dan Aku yang akan membalasnya. (HR. Bukhari 3/3, 9/175 dan Muslim 157-158)
Sebenarnya cukuplah satu hadits qudsi yang mulia itu menunjukkan keutamaannya.
Akan tetapi orang-orang yang berpuasa itu berbeda dan bertingkat-tingkat dalam hal mendapatkan pahala dan keutamaannya.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ. (رواه ابن ماجه ١/٥٣٩ والدارمي ٢/٢١ وأحمد ٢/٤٤٦، ٣٧٣ والبيهقي ٤/٢٧٠ من طرق سعيد المقبري عن أبي هريرة)
Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya selain dari rasa lapar dan dahaga. (HR. Ibnu Majah 1/539, Ad-Darimi 2/21, Ahmad 2/446, 373 dan Al-Baihaqi 4/270 dari jalan Sa'id Al-Muqbiri dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)
Hal ini terjadi disebabkan orang yang berpuasa tidak mengerti hakekat puasa sehingga tidak melaksanakannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dan puasanya tidak mendatangkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga.
Dalam kaitan ini kami kutipkan fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Fauzan yang berhubungan dengan puasa berupa tanya jawab sekitar puasa dan Ramadlan. Semoga bermanfaat.
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab beliau Haqiqatus Shiyam hal. 87-100:
Tanya:
Beberapa orang melakukan safar (bepergian) pada bulan Ramadlan. Dalam rombongan itu ada yang berbuka dan ada yang berpuasa. Di antara yang berbuka mengejek yang berpuasa dengan alasan bahwa berbuka itu lebih utama. Pertanyaan: Berapakah jarak boleh mengqashar shalat? Apakah bila seseorang safar pada suatu hari boleh berbuka puasa? Apakah perbedaan safar maksiat dan safar ketaatan kepada Allah?
Jawab:
Menurut kesepakatan kaum muslimin (ulama) berbuka puasa diperbolehkan bagi musafir jika safar itu bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya seperti haji, jihad, berdagang, dan yang semisalnya. Para ulama masih bersilang pendapat bila safarnya untuk bermaksiat pada Allah seperti safar dengan niat merampok.
Orang yang safar boleh mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut kesepakatan ulama meskipun tidak merasa haus dan lapar, baik tersedia makanan minuman atau tidak. Orang yang mengatakan bahwa orang yang safar tidak boleh berbuka kecuali yang lemah untuk berpuasa, maka orang tersebut diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Begitu pula orang yang mengingkari orang yang berbuka (ketika safar), maka dia diminta untuk bertaubat dari pendapatnya itu.
Juga orang yang mengatakan bahwa orang yang berbuka (ketika safar) itu berdosa, ia harus bertaubat dari ucapannya itu. Karena semua itu bertentangan dengan Kitabullah, sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan ijma' umat.
Menurut pendapat imam yang empat, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, bagi musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat dan hal ini lebih afdhal.
Para ulama tidak bersilang pendapat dalam hal pembolehan berbuka puasa bagi musafir. Sedangkan yang masih diperselisihkan justru pembolehan berpuasa bagi musafir. Sekelompok ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa orang yang sedang safar harus berbuka, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa sehingga meskipun ia berpuasa tetap wajib mengqadlanya. Pendapat ini dipegang oleh Abdurrahman bin 'Auf, Abu Hurairah, dan lain-lain radliyallahu 'anhum. Sebagaimana pula madzhab Dhahiri. Mereka berdalil dengan hadits:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ.
Tidak termasuk kebaikan puasa dalam safar (bepergian). (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan madzhab yang empat membolehkan puasa bagi musafir dengan dasar ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari Anas radliyallahu 'anhu:
كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِيْ رَمَضَانَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ. (رواه البخاري)
Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. (HR. Bukhari)
Hal ini karena mereka memahami firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. ﴿البقرة: ١٨٥﴾
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara hak dan bathil). Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Adapun ukuran safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut Imam Ahmad dan Syafi'i adalah jarak perjalanan dua hari dengan kendaraan unta atau jalan kaki sejauh lebih kurang 16 farsakh (satu farsakh lebih kurang 8 km –pent) seperti jarak antara Mekah-Ashfahan atau Mekah-Jedah. Sedangkan Abu Hanifah dan kelompok ulama salaf dan khalaf lainnya menentukan jarak perjalanan 3 hari.
Menurut pendapat yang paling kuat adalah boleh berbuka dan menqashar shalat pada bepergian kurang dari dua hari[1]. Disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengqashar shalat ketika di Arafah dan Muzdalifah serta Mina yang diikuti oleh penduduk Mekah dan beliau tidak memerintahkan mereka menyempurnakan shalat mereka.
Tanya:
Apakah seorang safar pada pertengahan hari boleh berbuka?
Jawab:
Ada dua pendapat yang masyhur mengenai masalah ini. Keduanya dari Imam Ahmad. Yang paling benar adalah seseorang diperbolehkan berbuka ketika safar di pertengahan hari (sebelumnya ia berpuasa –pent). Sebagaimana hal ini tertera dalam kitab-kitab Sunan. Para shahabat berbuka bila keluar safar pada pertengahan hari dan disebutkan bahwa yang demikian itu sunnah yang dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berniat puasa waktu safar. Kemudian beliau dijamu dan beliau makan. Para shahabat melihat beliau.
Sedangkan apabila seorang tiba di tempat tujuan pada pertengahan hari, para ulama masih berselisih pendapat dalam menentukan kewajiban berpuasa. Akan tetapi dia wajib mengqadla baik berpuasa atau tidak. Orang yang sering bepergian ke suatu tempat tertentu boleh berbuka seperti pedagang yang pergi ke kota lain, tukang pos yang bepergian untuk kemaslahatan kaum muslimin dan lain-lain. Sedangkan orang yang bepergian jauh dengan naik kapal besar ditemani istrinya, membawa perbekalan lengkap dan dia terus-menerus demikian maka dia tidak boleh mengqashar shalat maupun berbuka puasa.
Orang-orang pedalaman seperti Badui Arab, Turki dan selainnya yang bermukim pada musim panas di suatu tempat, bila mereka dalam perjalanan dari tempat musim dingin ke tempat musim panas atau sebaliknya, maka boleh mengqashar shalat. Sedangkan bila telah singgah di tempat musim dingin atau tempat musim panas tidak boleh berbuka dan mengqashar shalat.
Tanya:
Ada seorang yang safar di bulan Ramadlan tidak merasa lapar, haus maupun lelah. Apakah yang lebih utama baginya puasa atau tidak?
Jawab:
Menurut ijma' ia lebih utama berbuka meskipun dia tidak merasa berat dan berpuasa juga diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama mengatakan tidak berpahala bila ia puasa.
Tanya:
Ada seorang imam masjid bermadzhab Hanafi menyebutkan bahwa dia membaca kitab bahwa bila seseorang berpuasa di bulan Ramadlan tidak berniat pada akhir waktu isya' atau sahur maka puasanya tidak berpahala. Apakah pendapat ini dibenarkan?
Jawab:
Setiap muslim yang mengetahui bahwa puasa Ramadlan itu wajib hukumnya, ia tentu berpuasa bulan itu dengan niat. Bila ia tahu besok akan puasa haruslah ia meniatkan puasa. Niat itu tempatnya di hati. Setiap orang akan mengetahui apa yang ia inginkan mesti meniatkannya dengan dilafalkan atau tidak. Melafalkan niat bukan wajib menurut ijma' kaum muslimin. Keumuman kaum muslimin berpuasa dengan diiringi niat.
Yang menjadi perselisihan adalah pengkhususan (ta'yin) niat untuk bulan Ramadlan, apakah hal ini wajib atau tidak?
Ada tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad: Pertama, tidak cukup niat mutlak[2], harus meniatkan puasa Ramadlan. Kedua, boleh secara mutlak seperti pendapat Abu Hanifah. Ketiga, cukup secara mutlak tidak dengan niat tertentu (ta'yin) selain niat puasa Ramadlan. Riwayat yang ketiga ini dari Ahmad dipilih oleh Al-Hiraqi dan Abul Barkat. Maka saya katakan bahwa orang yang mengetahui keinginannya mesti akan berniat. Bila ia tahu besok Ramadlan maka ia akan menta'yin (menentukan niatnya) artinya tidak cukup berniat secara mutlak karena Allah ta'ala memerintahkannya niat menunaikan kewajibannya yaitu puasa bulan Ramadlan. Maka bila ia tidak melakukan berarti belum terbebas dari kewajiban.
Adapun bila seseorang tidak mengetahui bahwa besok bulan Ramadlan tidak wajib atasnya ta'yin dan barangsiapa mewajibkan ta'yin tanpa ia mengetahui yang dita'yin sungguh berarti ia mewajibkan dua perkara yang berlawanan. Berpuasa dengan cara seperti itu, yaitu dengan niat mutlak, cukup baginya. Apabila berpuasa dengan cara seperti itu diniatkan puasa sunnah lalu diketahui bahwa hari itu adalah bulan Ramadlan, maka yang lebih mendekati kebenaran adalah cukup baginya niat mutlak tersebut. Seperti seorang yang dititipi barang atau uang miliknya sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa titipan itu miliknya lalu ia sedekahkan pada orang lain. Lalu tak lama kemudian ia mengetahui bahwa ternyata titipan itu miliknya, maka ia tidak perlu menyerahkan barang itu kedua kalinya, tetapi ia hendaknya mengatakan: Titipan yang kuberikan padamu itu adalah milikku. Dan riwayat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad menyatakan bahwa manusia itu mengikuti niat imamnya yaitu bahwa berbuka atau berpuasa ditentukan oleh ulama. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.
Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa, Idul Fithri kalian adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Idul Adlha adalah hari kalian menyembelih[3]. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau mengatakan: Hadits ini hasan gharib. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Ash-Shahihah no. hadits 224 dan Al-Irwa no. hadits 905)
Tanya:
Apakah seseorang yang berpuasa bulan Ramadlan memerlukan niat tiap hari atau tidak?
Jawab:
Setiap orang yang mengetahui bahwa besok Ramadlan dan dia menginginkan puasa maka dia pasti telah berniat, baik dilafalkan atau tidak. Hal ini merupakan perbuatan kebanyakan kaum muslimin.
Tanya:
Apakah seseorang diperbolehkan berbuka puasa dengan semata melihat terbenamnya matahari?
Jawab:
Bila seorang telah melihat hilang seluruh bulatan matahari maka ia harus berbuka tanpa menghiraukan masih ada warna merah yang tampak di ufuk barat. Yaitu ketika seluruh bulatan matahari telah hilang dan langit bagian timur akan tampak hitam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam katakan:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغُرِبَتِ الشَمْسُ مِنْ هَهُنَا فَقَدْ أَفَطَرَ الصَّائِمُ.
Apabila malam telah datang dari sini dan siang telah menghilang dari sini serta matahari telah terbenam dari sini (barat) maka berbukalah orang yang berpuasa. (HR. Bukhari 4/171 dan Muslim no. 1100)
Tanya:
Bolehkah makan sahur setelah adzan subuh pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Bila muadzin adzan sebelum terbit fajar sebagaimana adzan pertama Bilal pada jaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Damaskus, maka seorang boleh makan dan minum beberapa saat setelah adzan itu. Apabila ia ragu apakah sudah terbit fajar atau belum maka hendaknya ia makan dan minum hingga tampak jelas terbit fajar. Walaupun setelah itu ia tahu bahwa makan setelah terbit fajar masih diperselisihkan para ulama tentang wajib qadla` baginya.
Pendapat yang paling benar adalah tidak diwajibkan mengqadla`. Riwayat ini adalah riwayat dari Umar, sekelompok ulama salaf dan khalaf. Sedangkan menurut pendapat ahli fiqih yang empat, wajib qadla` atasnya.
Tanya:
Ada seorang yang pingsan setiap kali berpuasa, pilek dan mulutnya berbuih terus-menerus sampai berhari-hari belum sadar hingga dikira gila dan tidak jelas keadaannya, bagaimana tentang hal ini?
Jawab:
Apabila puasanya menyebabkan ia sakit seperti itu maka hendaknya ia berbuka dan mengqadla`. Bila hal ini terus menimpanya tiap kali ia berpuasa dan dia tidak mampu untuk puasa maka ia harus memberi makan tiap hari seorang miskin.
Tanya:
Seorang perempuan hamil melihat darah serupa haidl dan darah haidl. Para bidan memutuskan ia harus berbuka karena untuk memberi makan janin yang dikandungnya tetapi wanita itu tidak sakit, apakah ia boleh berbuka atau tidak?
Jawab:
Bila wanita hamil itu mengkhawatirkan keadaan janinnya maka ia wajib berbuka dan wajib mengqadla` serta memberi makan tiap hari satu orang miskin 1 liter roti dan lauknya.
*****
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin Al-Fauzan (anggota Kibaril Ulama Arab Saudi) dalam kitab Nur 'ala Darbi Fatawa hal. 73-81:
Tanya:
Apakah hukum bersiwak pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Tidak diragukan lagi bahwa siwak merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dianjurkan pelaksanaannya. Banyak keutamaan bersiwak. Bersiwak pernah dilakukan maupun diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bersiwak sangat baik terutama pada tempat-tempat yang dibutuhkan seperti sebelum wudlu, ketika akan shalat, ketika membaca Al-Qur`an, ketika bau mulut mulai berubah, ketika bangun tidur sebagaimana biasa dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bersiwak disunnahkan pada semua waktu termasuk waktu Ramadlan. Yang benar adalah seseorang disunnahkan bersiwak tiap hari di bulan Ramadlan pada pagi hari dan sore dan tidak benar anggapan bahwa seseorang disunnahkan hanya bersiwak pada sore hari saja. Bahkan para shahabat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersiwak terus menerus sampai tak terhitung jumlahnya dalam keadaan berpuasa. Maka bersiwak itu hukumnya sunnah, boleh dikerjakan oleh yang berpuasa ataupun tidak berpuasa. Akan tetapi dalam hal ini seorang harus berhati-hati ketika menggosok gigi dengan miswak (alat siwak) agar tidak melukai gusi yang dapat mengakibatkan pendarahan.
Tanya:
Apakah seorang yang berpuasa qadla` dan puasa sunnah boleh memutuskan puasanya?
Jawab:
Apabila ia berpuasa qadla` tidak boleh memutuskannya dan wajib menyempurnakannya. Adapun bila ia berpuasa sunnah boleh memutuskan puasanya itu, tidak ada kewajiban menyempurnakan puasa sunnah. Pernah suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk rumah dalam keadaan puasa sunnah lalu menjumpai makanan yang dihadiahkan para shahabat lalu beliau makan (dan memutus puasanya). Hal ini menunjukkan bahwa puasa sunnah tidak wajib disempurnakan.
Tanya:
Apabila seorang berpuasa suatu hari kemudian ia safar pada pertengahan hari apakah ia berbuka pada hari itu?
Jawab:
Bila seseorang berniat puasa dan telah mengerjakannya lalu bepergian pada pertengahan hari maka hendaknya ia berbuka jika jarak perjalanan dari rumah ke tempat tujuan kurang lebih 80 km. Akan tetapi kalau ia mau menyempurnakannya maka lebih afdlal sebab sebagian ulama ada yang mewajibkan menyempurnakan puasa model ini.
Tanya:
Apakah keutamaan hari-hari 10 akhir bulan Ramadlan?
Jawab:
Hari-hari ini memiliki keutamaan yang besar dan agung. Pada hari-hari itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dibandingkan malam-malam sebelumnya. Beliau melakukan i'tikaf pada malam akhir Ramadlan dan tidak keluar dari masjid selain menunaikan hajatnya. Banyak kaum muslimin mengharapkan menjumpai malam lailatul qadar pada 10 hari terakhir bulan mubarak itu.
Tanya:
Apakah keutamaan bersedekah pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Bersedekah pada bulan Ramadlan lebih utama (afdlal) daripada bersedekah pada bulan-bulan lainnya. Pada bulan itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sangat dermawan, sangat mudah mengeluarkan sedekah ibarat angin yang bertiup kencang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan dan lebih dermawan pada bulan Ramadlan ketika Jibril menemuinya untuk mengajari Al-Qur`an pada setiap malam pada bulan itu. Kedermawanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat itu lebih baik daripada angin sepoi-sepoi (angin yang bertiup terus-menerus dan bermanfaat).[4] (HR. Bukhari dengan 1/30 Fath dan Muslim no. 2307). Dalil ini menunjukkan keutamaan sedekah bulan Ramadlan di mana pada bulan ini banyak orang yang miskin berpuasa. Bila seorang berbuat baik kepada mereka berarti ia membantu ketaatan kepada Allah terhadap mereka. Amal itu dilipatkan pahalanya karena kemuliaan waktu dan tempatnya (berdasarkan nash -pent) sebagaimana amal-amal dilipatkan pahalanya pada dua masjid Mekah dan Madinah (masjid Nabawi) yaitu shalat di dua masjid tersebut berpahala 1000 kali lipat dibanding shalat di tempat lainnya.
Tanya:
Bagaimana keterangan tentang keutamaan lailatul qadr dan ayat-ayat yang menerangkannya!
Jawab:
Allah memuliakan keadaan malam itu dan menamakannya lailatul qadr karena pada malam itu ditentukan ajal, rezki seorang makhluk dan apa-apa yang akan terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman: "Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (Ad-Dukhan: 4). Disebut juga lailatul qadr karena dia adalah malam yang ditentukan dan dimuliakan di sisi-Nya. Juga disebut malam lailatul mubarak (malam yang diberkahi). Allah berfirman: "Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam penuh barakah." (44:33). "Dan tahukah kamu apakah malam lailatul qadr itu. Lailatul qadr lebih baik daripada 1000 bulan." (Al-Qadr: 2-3). Artinya beramal pada malam yang penuh berkah itu dilipatgandakan pahalanya semisal 1000 bulan beramal pada malam-malam selain bulan ini. Seribu bulan lebih kurang 83 tahun. Ayat ini menunjukkan tentang keutamaannya oleh karena itu beliau selalu menunggu-nunggu datangnya malam itu. Beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ.
Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam lailatul qadr dengan mempercayai adanya malam itu dan mengharap pahalanya maka akan diampuni dosanya yang telah lewat dan yang akan datang. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu).
Hal lain yang juga menunjukkan keutamaan dan kebesarannya ialah pada malam itu turun para malaikat dan Jibril (pemimpin para malaikat) untuk mengatur segala urusan. Malaikat-malaikat Allah tidak turun ke bumi kecuali untuk menyelesaikan urusan besar. Kemudian Allah mensifati malam tersebut dengan malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar. Maka barangsiapa tidak mendapatkan kebaikan pada malam itu, sungguh Allah tidak memberinya kebaikan yang banyak.
Allah dengan hikmah-Nya yang maha luas merahasiakan malam itu pada bulan Ramadlan agar kaum muslimin bersungguh-sungguh mencarinya pada tiap malam. Sehingga mereka mempunyai banyak amal dan terkumpullah amal-amal pada semua malam bulan itu dengan malam lailatul qadr.
Tanya:
Apakah makna ayat "... tetapi janganlah kamu campuri para istri itu sedang kamu beri'tikaf." (Al-Baqarah: 187)
Jawab:
Allah melarang mencampuri istri dalam keadaan i'tikaf di masjid setelah membolehkan mencampurinya pada bulan Ramadlan. Orang-orang yang beri'tikaf tidak boleh mencampuri istri-istrinya, baik dengan jimak maupun mubasyarah[5], baik pada malam atau siang hari jika orang yang beri'tikaf itu tidak berpuasa. Karena makna i'tikaf secara bahasa ialah meninggalkan perkara-perkara yang banyak dan meluangkan waktu untuk beribadah. Apabila seseorang mencampuri istrinya maka batallah i'tikafnya. Demikian pula bila ia keluar masjid tanpa ada kebutuhan mendesak juga membatalkan i'tikaf. Seperti pergi ke pasar dan lainnya.
Ayat di atas menunjukkan bahwa i'tikaf itu harus diadakan di masjid yang dipakai untuk shalat berjama'ah dan memiliki imam rawatib. Tidak boleh i'tikaf menyendiri di mushalla, rumah atau tanah lapang atau masjid yang tidak ditegakkan shalat jama'ah. Orang yang beri'tikaf di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama'ah di dalamnya berada di antara dua keadaan yaitu antara i'tikaf dan meninggalkan shalat jama'ah. Bila ia tetap di dalam masjid berarti ia meninggalkan shalat berjama'ah padahal shalat berjama'ah wajib hukumnya. Atau ia keluar dari masjid untuk shalat berjama'ah di masjid yang didirikan shalat jama'ah tiap shalat 5 waktu yang hal ini menghilangkan makna i'tikaf. Maka i'tikaf harus diadakan di masjid-masjid yang didirikan padanya shalat jama'ah karena lafadh ayat menyebutkan fil masajid (di masjid-masjid).
I'tikaf disebutkan pada akhir-akhir ayat puasa i'tikaf seharusnya dan lebih baik dilakukan ketika seorang dalam keadaan berpuasa dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak i'tikaf selain bulan Ramadlan yakni ketika puasa.
Tanya:
Saya seorang pemuda yang pernah tidak melaksanakan puasa tahun yang lalu sedangkan puasa tahun berikutnya saya berpuasa dengan sempurna. Bagaimana saya mengqadla` puasa pada bulan yang aku tinggalkan? Apakah saya harus berpuasa tiap bulan atau memberi makan 60 orang miskin? Aku ingin berpuasa tahun ini selama tiga bulan apakah hal itu dibenarkan? Bagaimana cara melaksanakannya dengan bersambung atau terputus (berselang-seling)?
Jawab:
Jawaban dari pertanyaan anda perlu perincian. Yaitu jika anda meninggalkan puasa itu karena meninggalkan shalat (meninggalkan shalat menurut beliau kafir -pent) maka anda tidak berkewajiban mengqadla` puasa yang telah anda tinggalkan. Karena waktu itu anda belum masuk Islam. Adapun setelah anda bertaubat yakni setelah melaksanakan shalat maka anda wajib mengqadla` puasa dan menunaikan seluruh syi'ar Islam yang diwajibkan. Bila anda menunda mengqadla` puasa tanpa udzur maka anda wajib memberi makan seorang miskin tiap hari sebagai ganti puasa yang anda tunda qadla`nya itu. Apabila anda tunda qadla` puasa karena ada udzur hingga datang Ramadlan berikutnya maka anda wajib mengqadla`nya setelah Ramadlan.
Tanya:
Apa hukum bercelak, memakai parfum bagi seorang muslimah pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Adapun celak, obat tetes mata dan apa-apa yang diletakkan di mata bagi orang yang berpuasa terkadang dapat masuk ke tenggorokan sehingga membatalkan puasanya. Sebagian ulama melarang memakai celak bagi orang yang berpuasa atau meletakkan sesuatu pada matanya seperti obat tetes mata, karena hal ini bisa menembus mata hingga ke tenggorokan tanpa disadarinya. Sedangkan harum-haruman, kosmetik yang biasa dipakai wanita tidak membatalkan puasa. Namun bagi muslimah hendaknya memakai harum-haruman atau parfum dan kosmetik di dalam rumah saja dan menjauhi benda-benda itu untuk dipakai di luar rumah. Bahkan ia harus menutup wajahnya bila keluar rumah. Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ.... ﴿الأحزاب: ٣٣﴾
Dan hendaklah kamu (para wanita muslimah) tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan tunaikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 33).
Walaupun wanita itu keluar menuju masjid untuk beribadah tetap dilarang bertabaruj (berhias) dan memakai parfum. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفَلاَتٍ.
Janganlah kamu mencegah wanita-wanita menuju masjid Allah dan hendaklah mereka keluar tanpa berhias dan berharum-haruman. (Mutafaq 'alaihi; lihat Umdatul Ahkam, hadits no. 58, hal. 31)
Syarat mereka boleh keluar menuju masjid adalah tidak berhias dan tidak memakai parfum atau wangi-wangian. Kaum muslimah sekarang banyak melakukan perbuatan melanggar syariat Allah, keluar rumah dengan berhias, membuka aurat dan wajah, memakai parfum dan celak mata yang tidak dilakukannya ketika di dalam rumah (untuk suaminya, pent).
------------------------------------------------------
[1] Yakni kembali pada makna safar secara umum.
[2] Niat mutlak adalah meniatkan berpuasa tanpa menentukan puasa apa yang ia lakukan. Sedangkan niat ta'yin adalah meniatkan dengan detail puasa apa yang ia akan lakukan esok harinya, wajib atau sunnah, puasa ramadlan atau qadla atau nadzar dan lain-lain.
[3] Maksudnya puasa dan berbuka bersama kebanyakan kaum muslimin.
[4] Bahjatun Nadhirin, Syaikh Salim Al-Hilali.
[5] Mubasyarah bermakna dua yaitu mempergauli isteri dengan jimak dan mempergauli isteri tanpa jimak dengan menutupkan kain di atas farjinya yang meskipun suami mengeluarkan mani, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana keterangan Aisyah radliyallahu 'anha ketika seorang bertanya tentang mubasyarah:
مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَتِهِ صَائِمًا؟ قَالَتْ: كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ.
"Apa yang boleh dilakukan seorang yang berpuasa terhadap istrinya?" Beliau menjawab: "Semuanya boleh dilakukan selain jimak.(Jimak atau jima' adalah hubungan seks/sex atau bersetubuh/persetubuhan,red)" (HR Abdur Razak dalam bukunya Al-Mushanaf 4/190/8439 dengan sanad shahih)
Akan tetapi hendaknya yang perlu diperhatikan bahwa keluarnya mani (tanpa jimak) tidak membatalkan puasa dan mubasyarah itu perkara lain. Kita tidak menganjurkan orang yang berpuasa Ramadlan ketika syahwat jimak sedang memuncak untuk mubasyarah dengan istrinya. Hal ini dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalam larangan (yakni berjimak –pent). Biasanya orang yang mendekati daerah terlarang akan memasukinya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَامَى حَوْلَ الحِمَى أَوْشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ.
Barangsiapa berada di sekitar daerah penjagaan, dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya. (Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani hal. 420).
Wallahu a'lam.
(Dikutip dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M, penulis Ustadz Ahmad Hamdani, judul asli Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan).
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu : membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan : kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'.
Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
2. Gugurnya kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan.
Allah berfirman (yang artinya) : “ Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan" [Al-Baqarah : 286]
Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.
3. Kafarat hanya bagi laki-laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja.
Wallahu 'alam
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Kalau jasmani seseorang dapat menjadi kuat disebabkan latihan fisik, maka puasa dapat memperkuat jiwa. Pada diri seseorang yang berpuasa, suplai bahan makanan dan minuman yang merupakan bahan bakar aktifitas kehidupan manusia berkurang sehingga pembuluh-pembuluh darah menyempit. Seiring dengan menyempitnya pembuluh-pembuluh darah itu berarti menyempit pula tempat aliran setan dalam tubuh.
Keadaan seperti ini akan membuat nafsu syahwat terpenjara (dari hubungan sex atau persetubuhan) dan memenangkan anggota badannya dengan cara yang menakjubkan. Inilah hakikat puasa. Dengan demikian puasa adalah perisai dari serangan nafsu syahwat bagi orang-orang yang bertaqwa.
Puasa memiliki dua keutamaan khusus yang tidak ditemukan pada ibadah badan lainnya, yaitu:
1. Puasa merupakan amal tersembunyi. Pada umumnya orang lain tidak mengetahuinya dan kemungkinan besar sedikit tercampur dengan unsur riya’.
2. Puasa sebagai benteng bagi orang-orang yang bertaqwa dari musuh Allah yaitu setan yang jalannya dalam rangka menguasai manusia adalah hawa nafsu syahwat.
Allah berfirman dalam hadits qudsi tentang keutamaan puasa:
اَلصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ. (رواه البخاري ٣/٣، ٩/١٧٥ ومسلم ٣/١٥٧-١٥٨)
Puasa itu untukKu dan Aku yang akan membalasnya. (HR. Bukhari 3/3, 9/175 dan Muslim 157-158)
Sebenarnya cukuplah satu hadits qudsi yang mulia itu menunjukkan keutamaannya.
Akan tetapi orang-orang yang berpuasa itu berbeda dan bertingkat-tingkat dalam hal mendapatkan pahala dan keutamaannya.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ. (رواه ابن ماجه ١/٥٣٩ والدارمي ٢/٢١ وأحمد ٢/٤٤٦، ٣٧٣ والبيهقي ٤/٢٧٠ من طرق سعيد المقبري عن أبي هريرة)
Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya selain dari rasa lapar dan dahaga. (HR. Ibnu Majah 1/539, Ad-Darimi 2/21, Ahmad 2/446, 373 dan Al-Baihaqi 4/270 dari jalan Sa'id Al-Muqbiri dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)
Hal ini terjadi disebabkan orang yang berpuasa tidak mengerti hakekat puasa sehingga tidak melaksanakannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dan puasanya tidak mendatangkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga.
Dalam kaitan ini kami kutipkan fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Fauzan yang berhubungan dengan puasa berupa tanya jawab sekitar puasa dan Ramadlan. Semoga bermanfaat.
Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab beliau Haqiqatus Shiyam hal. 87-100:
Tanya:
Beberapa orang melakukan safar (bepergian) pada bulan Ramadlan. Dalam rombongan itu ada yang berbuka dan ada yang berpuasa. Di antara yang berbuka mengejek yang berpuasa dengan alasan bahwa berbuka itu lebih utama. Pertanyaan: Berapakah jarak boleh mengqashar shalat? Apakah bila seseorang safar pada suatu hari boleh berbuka puasa? Apakah perbedaan safar maksiat dan safar ketaatan kepada Allah?
Jawab:
Menurut kesepakatan kaum muslimin (ulama) berbuka puasa diperbolehkan bagi musafir jika safar itu bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya seperti haji, jihad, berdagang, dan yang semisalnya. Para ulama masih bersilang pendapat bila safarnya untuk bermaksiat pada Allah seperti safar dengan niat merampok.
Orang yang safar boleh mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut kesepakatan ulama meskipun tidak merasa haus dan lapar, baik tersedia makanan minuman atau tidak. Orang yang mengatakan bahwa orang yang safar tidak boleh berbuka kecuali yang lemah untuk berpuasa, maka orang tersebut diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Begitu pula orang yang mengingkari orang yang berbuka (ketika safar), maka dia diminta untuk bertaubat dari pendapatnya itu.
Juga orang yang mengatakan bahwa orang yang berbuka (ketika safar) itu berdosa, ia harus bertaubat dari ucapannya itu. Karena semua itu bertentangan dengan Kitabullah, sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan ijma' umat.
Menurut pendapat imam yang empat, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, bagi musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat dan hal ini lebih afdhal.
Para ulama tidak bersilang pendapat dalam hal pembolehan berbuka puasa bagi musafir. Sedangkan yang masih diperselisihkan justru pembolehan berpuasa bagi musafir. Sekelompok ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa orang yang sedang safar harus berbuka, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa sehingga meskipun ia berpuasa tetap wajib mengqadlanya. Pendapat ini dipegang oleh Abdurrahman bin 'Auf, Abu Hurairah, dan lain-lain radliyallahu 'anhum. Sebagaimana pula madzhab Dhahiri. Mereka berdalil dengan hadits:
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ.
Tidak termasuk kebaikan puasa dalam safar (bepergian). (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan madzhab yang empat membolehkan puasa bagi musafir dengan dasar ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari Anas radliyallahu 'anhu:
كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِيْ رَمَضَانَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ. (رواه البخاري)
Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa. (HR. Bukhari)
Hal ini karena mereka memahami firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. ﴿البقرة: ١٨٥﴾
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara hak dan bathil). Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Adapun ukuran safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut Imam Ahmad dan Syafi'i adalah jarak perjalanan dua hari dengan kendaraan unta atau jalan kaki sejauh lebih kurang 16 farsakh (satu farsakh lebih kurang 8 km –pent) seperti jarak antara Mekah-Ashfahan atau Mekah-Jedah. Sedangkan Abu Hanifah dan kelompok ulama salaf dan khalaf lainnya menentukan jarak perjalanan 3 hari.
Menurut pendapat yang paling kuat adalah boleh berbuka dan menqashar shalat pada bepergian kurang dari dua hari[1]. Disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengqashar shalat ketika di Arafah dan Muzdalifah serta Mina yang diikuti oleh penduduk Mekah dan beliau tidak memerintahkan mereka menyempurnakan shalat mereka.
Tanya:
Apakah seorang safar pada pertengahan hari boleh berbuka?
Jawab:
Ada dua pendapat yang masyhur mengenai masalah ini. Keduanya dari Imam Ahmad. Yang paling benar adalah seseorang diperbolehkan berbuka ketika safar di pertengahan hari (sebelumnya ia berpuasa –pent). Sebagaimana hal ini tertera dalam kitab-kitab Sunan. Para shahabat berbuka bila keluar safar pada pertengahan hari dan disebutkan bahwa yang demikian itu sunnah yang dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berniat puasa waktu safar. Kemudian beliau dijamu dan beliau makan. Para shahabat melihat beliau.
Sedangkan apabila seorang tiba di tempat tujuan pada pertengahan hari, para ulama masih berselisih pendapat dalam menentukan kewajiban berpuasa. Akan tetapi dia wajib mengqadla baik berpuasa atau tidak. Orang yang sering bepergian ke suatu tempat tertentu boleh berbuka seperti pedagang yang pergi ke kota lain, tukang pos yang bepergian untuk kemaslahatan kaum muslimin dan lain-lain. Sedangkan orang yang bepergian jauh dengan naik kapal besar ditemani istrinya, membawa perbekalan lengkap dan dia terus-menerus demikian maka dia tidak boleh mengqashar shalat maupun berbuka puasa.
Orang-orang pedalaman seperti Badui Arab, Turki dan selainnya yang bermukim pada musim panas di suatu tempat, bila mereka dalam perjalanan dari tempat musim dingin ke tempat musim panas atau sebaliknya, maka boleh mengqashar shalat. Sedangkan bila telah singgah di tempat musim dingin atau tempat musim panas tidak boleh berbuka dan mengqashar shalat.
Tanya:
Ada seorang yang safar di bulan Ramadlan tidak merasa lapar, haus maupun lelah. Apakah yang lebih utama baginya puasa atau tidak?
Jawab:
Menurut ijma' ia lebih utama berbuka meskipun dia tidak merasa berat dan berpuasa juga diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama mengatakan tidak berpahala bila ia puasa.
Tanya:
Ada seorang imam masjid bermadzhab Hanafi menyebutkan bahwa dia membaca kitab bahwa bila seseorang berpuasa di bulan Ramadlan tidak berniat pada akhir waktu isya' atau sahur maka puasanya tidak berpahala. Apakah pendapat ini dibenarkan?
Jawab:
Setiap muslim yang mengetahui bahwa puasa Ramadlan itu wajib hukumnya, ia tentu berpuasa bulan itu dengan niat. Bila ia tahu besok akan puasa haruslah ia meniatkan puasa. Niat itu tempatnya di hati. Setiap orang akan mengetahui apa yang ia inginkan mesti meniatkannya dengan dilafalkan atau tidak. Melafalkan niat bukan wajib menurut ijma' kaum muslimin. Keumuman kaum muslimin berpuasa dengan diiringi niat.
Yang menjadi perselisihan adalah pengkhususan (ta'yin) niat untuk bulan Ramadlan, apakah hal ini wajib atau tidak?
Ada tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad: Pertama, tidak cukup niat mutlak[2], harus meniatkan puasa Ramadlan. Kedua, boleh secara mutlak seperti pendapat Abu Hanifah. Ketiga, cukup secara mutlak tidak dengan niat tertentu (ta'yin) selain niat puasa Ramadlan. Riwayat yang ketiga ini dari Ahmad dipilih oleh Al-Hiraqi dan Abul Barkat. Maka saya katakan bahwa orang yang mengetahui keinginannya mesti akan berniat. Bila ia tahu besok Ramadlan maka ia akan menta'yin (menentukan niatnya) artinya tidak cukup berniat secara mutlak karena Allah ta'ala memerintahkannya niat menunaikan kewajibannya yaitu puasa bulan Ramadlan. Maka bila ia tidak melakukan berarti belum terbebas dari kewajiban.
Adapun bila seseorang tidak mengetahui bahwa besok bulan Ramadlan tidak wajib atasnya ta'yin dan barangsiapa mewajibkan ta'yin tanpa ia mengetahui yang dita'yin sungguh berarti ia mewajibkan dua perkara yang berlawanan. Berpuasa dengan cara seperti itu, yaitu dengan niat mutlak, cukup baginya. Apabila berpuasa dengan cara seperti itu diniatkan puasa sunnah lalu diketahui bahwa hari itu adalah bulan Ramadlan, maka yang lebih mendekati kebenaran adalah cukup baginya niat mutlak tersebut. Seperti seorang yang dititipi barang atau uang miliknya sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa titipan itu miliknya lalu ia sedekahkan pada orang lain. Lalu tak lama kemudian ia mengetahui bahwa ternyata titipan itu miliknya, maka ia tidak perlu menyerahkan barang itu kedua kalinya, tetapi ia hendaknya mengatakan: Titipan yang kuberikan padamu itu adalah milikku. Dan riwayat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad menyatakan bahwa manusia itu mengikuti niat imamnya yaitu bahwa berbuka atau berpuasa ditentukan oleh ulama. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.
Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa, Idul Fithri kalian adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Idul Adlha adalah hari kalian menyembelih[3]. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau mengatakan: Hadits ini hasan gharib. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Ash-Shahihah no. hadits 224 dan Al-Irwa no. hadits 905)
Tanya:
Apakah seseorang yang berpuasa bulan Ramadlan memerlukan niat tiap hari atau tidak?
Jawab:
Setiap orang yang mengetahui bahwa besok Ramadlan dan dia menginginkan puasa maka dia pasti telah berniat, baik dilafalkan atau tidak. Hal ini merupakan perbuatan kebanyakan kaum muslimin.
Tanya:
Apakah seseorang diperbolehkan berbuka puasa dengan semata melihat terbenamnya matahari?
Jawab:
Bila seorang telah melihat hilang seluruh bulatan matahari maka ia harus berbuka tanpa menghiraukan masih ada warna merah yang tampak di ufuk barat. Yaitu ketika seluruh bulatan matahari telah hilang dan langit bagian timur akan tampak hitam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam katakan:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغُرِبَتِ الشَمْسُ مِنْ هَهُنَا فَقَدْ أَفَطَرَ الصَّائِمُ.
Apabila malam telah datang dari sini dan siang telah menghilang dari sini serta matahari telah terbenam dari sini (barat) maka berbukalah orang yang berpuasa. (HR. Bukhari 4/171 dan Muslim no. 1100)
Tanya:
Bolehkah makan sahur setelah adzan subuh pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Bila muadzin adzan sebelum terbit fajar sebagaimana adzan pertama Bilal pada jaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Damaskus, maka seorang boleh makan dan minum beberapa saat setelah adzan itu. Apabila ia ragu apakah sudah terbit fajar atau belum maka hendaknya ia makan dan minum hingga tampak jelas terbit fajar. Walaupun setelah itu ia tahu bahwa makan setelah terbit fajar masih diperselisihkan para ulama tentang wajib qadla` baginya.
Pendapat yang paling benar adalah tidak diwajibkan mengqadla`. Riwayat ini adalah riwayat dari Umar, sekelompok ulama salaf dan khalaf. Sedangkan menurut pendapat ahli fiqih yang empat, wajib qadla` atasnya.
Tanya:
Ada seorang yang pingsan setiap kali berpuasa, pilek dan mulutnya berbuih terus-menerus sampai berhari-hari belum sadar hingga dikira gila dan tidak jelas keadaannya, bagaimana tentang hal ini?
Jawab:
Apabila puasanya menyebabkan ia sakit seperti itu maka hendaknya ia berbuka dan mengqadla`. Bila hal ini terus menimpanya tiap kali ia berpuasa dan dia tidak mampu untuk puasa maka ia harus memberi makan tiap hari seorang miskin.
Tanya:
Seorang perempuan hamil melihat darah serupa haidl dan darah haidl. Para bidan memutuskan ia harus berbuka karena untuk memberi makan janin yang dikandungnya tetapi wanita itu tidak sakit, apakah ia boleh berbuka atau tidak?
Jawab:
Bila wanita hamil itu mengkhawatirkan keadaan janinnya maka ia wajib berbuka dan wajib mengqadla` serta memberi makan tiap hari satu orang miskin 1 liter roti dan lauknya.
*****
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin Al-Fauzan (anggota Kibaril Ulama Arab Saudi) dalam kitab Nur 'ala Darbi Fatawa hal. 73-81:
Tanya:
Apakah hukum bersiwak pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Tidak diragukan lagi bahwa siwak merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dianjurkan pelaksanaannya. Banyak keutamaan bersiwak. Bersiwak pernah dilakukan maupun diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bersiwak sangat baik terutama pada tempat-tempat yang dibutuhkan seperti sebelum wudlu, ketika akan shalat, ketika membaca Al-Qur`an, ketika bau mulut mulai berubah, ketika bangun tidur sebagaimana biasa dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Bersiwak disunnahkan pada semua waktu termasuk waktu Ramadlan. Yang benar adalah seseorang disunnahkan bersiwak tiap hari di bulan Ramadlan pada pagi hari dan sore dan tidak benar anggapan bahwa seseorang disunnahkan hanya bersiwak pada sore hari saja. Bahkan para shahabat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersiwak terus menerus sampai tak terhitung jumlahnya dalam keadaan berpuasa. Maka bersiwak itu hukumnya sunnah, boleh dikerjakan oleh yang berpuasa ataupun tidak berpuasa. Akan tetapi dalam hal ini seorang harus berhati-hati ketika menggosok gigi dengan miswak (alat siwak) agar tidak melukai gusi yang dapat mengakibatkan pendarahan.
Tanya:
Apakah seorang yang berpuasa qadla` dan puasa sunnah boleh memutuskan puasanya?
Jawab:
Apabila ia berpuasa qadla` tidak boleh memutuskannya dan wajib menyempurnakannya. Adapun bila ia berpuasa sunnah boleh memutuskan puasanya itu, tidak ada kewajiban menyempurnakan puasa sunnah. Pernah suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk rumah dalam keadaan puasa sunnah lalu menjumpai makanan yang dihadiahkan para shahabat lalu beliau makan (dan memutus puasanya). Hal ini menunjukkan bahwa puasa sunnah tidak wajib disempurnakan.
Tanya:
Apabila seorang berpuasa suatu hari kemudian ia safar pada pertengahan hari apakah ia berbuka pada hari itu?
Jawab:
Bila seseorang berniat puasa dan telah mengerjakannya lalu bepergian pada pertengahan hari maka hendaknya ia berbuka jika jarak perjalanan dari rumah ke tempat tujuan kurang lebih 80 km. Akan tetapi kalau ia mau menyempurnakannya maka lebih afdlal sebab sebagian ulama ada yang mewajibkan menyempurnakan puasa model ini.
Tanya:
Apakah keutamaan hari-hari 10 akhir bulan Ramadlan?
Jawab:
Hari-hari ini memiliki keutamaan yang besar dan agung. Pada hari-hari itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dibandingkan malam-malam sebelumnya. Beliau melakukan i'tikaf pada malam akhir Ramadlan dan tidak keluar dari masjid selain menunaikan hajatnya. Banyak kaum muslimin mengharapkan menjumpai malam lailatul qadar pada 10 hari terakhir bulan mubarak itu.
Tanya:
Apakah keutamaan bersedekah pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Bersedekah pada bulan Ramadlan lebih utama (afdlal) daripada bersedekah pada bulan-bulan lainnya. Pada bulan itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sangat dermawan, sangat mudah mengeluarkan sedekah ibarat angin yang bertiup kencang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan dan lebih dermawan pada bulan Ramadlan ketika Jibril menemuinya untuk mengajari Al-Qur`an pada setiap malam pada bulan itu. Kedermawanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat itu lebih baik daripada angin sepoi-sepoi (angin yang bertiup terus-menerus dan bermanfaat).[4] (HR. Bukhari dengan 1/30 Fath dan Muslim no. 2307). Dalil ini menunjukkan keutamaan sedekah bulan Ramadlan di mana pada bulan ini banyak orang yang miskin berpuasa. Bila seorang berbuat baik kepada mereka berarti ia membantu ketaatan kepada Allah terhadap mereka. Amal itu dilipatkan pahalanya karena kemuliaan waktu dan tempatnya (berdasarkan nash -pent) sebagaimana amal-amal dilipatkan pahalanya pada dua masjid Mekah dan Madinah (masjid Nabawi) yaitu shalat di dua masjid tersebut berpahala 1000 kali lipat dibanding shalat di tempat lainnya.
Tanya:
Bagaimana keterangan tentang keutamaan lailatul qadr dan ayat-ayat yang menerangkannya!
Jawab:
Allah memuliakan keadaan malam itu dan menamakannya lailatul qadr karena pada malam itu ditentukan ajal, rezki seorang makhluk dan apa-apa yang akan terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman: "Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (Ad-Dukhan: 4). Disebut juga lailatul qadr karena dia adalah malam yang ditentukan dan dimuliakan di sisi-Nya. Juga disebut malam lailatul mubarak (malam yang diberkahi). Allah berfirman: "Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam penuh barakah." (44:33). "Dan tahukah kamu apakah malam lailatul qadr itu. Lailatul qadr lebih baik daripada 1000 bulan." (Al-Qadr: 2-3). Artinya beramal pada malam yang penuh berkah itu dilipatgandakan pahalanya semisal 1000 bulan beramal pada malam-malam selain bulan ini. Seribu bulan lebih kurang 83 tahun. Ayat ini menunjukkan tentang keutamaannya oleh karena itu beliau selalu menunggu-nunggu datangnya malam itu. Beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ.
Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam lailatul qadr dengan mempercayai adanya malam itu dan mengharap pahalanya maka akan diampuni dosanya yang telah lewat dan yang akan datang. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu).
Hal lain yang juga menunjukkan keutamaan dan kebesarannya ialah pada malam itu turun para malaikat dan Jibril (pemimpin para malaikat) untuk mengatur segala urusan. Malaikat-malaikat Allah tidak turun ke bumi kecuali untuk menyelesaikan urusan besar. Kemudian Allah mensifati malam tersebut dengan malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar. Maka barangsiapa tidak mendapatkan kebaikan pada malam itu, sungguh Allah tidak memberinya kebaikan yang banyak.
Allah dengan hikmah-Nya yang maha luas merahasiakan malam itu pada bulan Ramadlan agar kaum muslimin bersungguh-sungguh mencarinya pada tiap malam. Sehingga mereka mempunyai banyak amal dan terkumpullah amal-amal pada semua malam bulan itu dengan malam lailatul qadr.
Tanya:
Apakah makna ayat "... tetapi janganlah kamu campuri para istri itu sedang kamu beri'tikaf." (Al-Baqarah: 187)
Jawab:
Allah melarang mencampuri istri dalam keadaan i'tikaf di masjid setelah membolehkan mencampurinya pada bulan Ramadlan. Orang-orang yang beri'tikaf tidak boleh mencampuri istri-istrinya, baik dengan jimak maupun mubasyarah[5], baik pada malam atau siang hari jika orang yang beri'tikaf itu tidak berpuasa. Karena makna i'tikaf secara bahasa ialah meninggalkan perkara-perkara yang banyak dan meluangkan waktu untuk beribadah. Apabila seseorang mencampuri istrinya maka batallah i'tikafnya. Demikian pula bila ia keluar masjid tanpa ada kebutuhan mendesak juga membatalkan i'tikaf. Seperti pergi ke pasar dan lainnya.
Ayat di atas menunjukkan bahwa i'tikaf itu harus diadakan di masjid yang dipakai untuk shalat berjama'ah dan memiliki imam rawatib. Tidak boleh i'tikaf menyendiri di mushalla, rumah atau tanah lapang atau masjid yang tidak ditegakkan shalat jama'ah. Orang yang beri'tikaf di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama'ah di dalamnya berada di antara dua keadaan yaitu antara i'tikaf dan meninggalkan shalat jama'ah. Bila ia tetap di dalam masjid berarti ia meninggalkan shalat berjama'ah padahal shalat berjama'ah wajib hukumnya. Atau ia keluar dari masjid untuk shalat berjama'ah di masjid yang didirikan shalat jama'ah tiap shalat 5 waktu yang hal ini menghilangkan makna i'tikaf. Maka i'tikaf harus diadakan di masjid-masjid yang didirikan padanya shalat jama'ah karena lafadh ayat menyebutkan fil masajid (di masjid-masjid).
I'tikaf disebutkan pada akhir-akhir ayat puasa i'tikaf seharusnya dan lebih baik dilakukan ketika seorang dalam keadaan berpuasa dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak i'tikaf selain bulan Ramadlan yakni ketika puasa.
Tanya:
Saya seorang pemuda yang pernah tidak melaksanakan puasa tahun yang lalu sedangkan puasa tahun berikutnya saya berpuasa dengan sempurna. Bagaimana saya mengqadla` puasa pada bulan yang aku tinggalkan? Apakah saya harus berpuasa tiap bulan atau memberi makan 60 orang miskin? Aku ingin berpuasa tahun ini selama tiga bulan apakah hal itu dibenarkan? Bagaimana cara melaksanakannya dengan bersambung atau terputus (berselang-seling)?
Jawab:
Jawaban dari pertanyaan anda perlu perincian. Yaitu jika anda meninggalkan puasa itu karena meninggalkan shalat (meninggalkan shalat menurut beliau kafir -pent) maka anda tidak berkewajiban mengqadla` puasa yang telah anda tinggalkan. Karena waktu itu anda belum masuk Islam. Adapun setelah anda bertaubat yakni setelah melaksanakan shalat maka anda wajib mengqadla` puasa dan menunaikan seluruh syi'ar Islam yang diwajibkan. Bila anda menunda mengqadla` puasa tanpa udzur maka anda wajib memberi makan seorang miskin tiap hari sebagai ganti puasa yang anda tunda qadla`nya itu. Apabila anda tunda qadla` puasa karena ada udzur hingga datang Ramadlan berikutnya maka anda wajib mengqadla`nya setelah Ramadlan.
Tanya:
Apa hukum bercelak, memakai parfum bagi seorang muslimah pada bulan Ramadlan?
Jawab:
Adapun celak, obat tetes mata dan apa-apa yang diletakkan di mata bagi orang yang berpuasa terkadang dapat masuk ke tenggorokan sehingga membatalkan puasanya. Sebagian ulama melarang memakai celak bagi orang yang berpuasa atau meletakkan sesuatu pada matanya seperti obat tetes mata, karena hal ini bisa menembus mata hingga ke tenggorokan tanpa disadarinya. Sedangkan harum-haruman, kosmetik yang biasa dipakai wanita tidak membatalkan puasa. Namun bagi muslimah hendaknya memakai harum-haruman atau parfum dan kosmetik di dalam rumah saja dan menjauhi benda-benda itu untuk dipakai di luar rumah. Bahkan ia harus menutup wajahnya bila keluar rumah. Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ.... ﴿الأحزاب: ٣٣﴾
Dan hendaklah kamu (para wanita muslimah) tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan tunaikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 33).
Walaupun wanita itu keluar menuju masjid untuk beribadah tetap dilarang bertabaruj (berhias) dan memakai parfum. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفَلاَتٍ.
Janganlah kamu mencegah wanita-wanita menuju masjid Allah dan hendaklah mereka keluar tanpa berhias dan berharum-haruman. (Mutafaq 'alaihi; lihat Umdatul Ahkam, hadits no. 58, hal. 31)
Syarat mereka boleh keluar menuju masjid adalah tidak berhias dan tidak memakai parfum atau wangi-wangian. Kaum muslimah sekarang banyak melakukan perbuatan melanggar syariat Allah, keluar rumah dengan berhias, membuka aurat dan wajah, memakai parfum dan celak mata yang tidak dilakukannya ketika di dalam rumah (untuk suaminya, pent).
------------------------------------------------------
[1] Yakni kembali pada makna safar secara umum.
[2] Niat mutlak adalah meniatkan berpuasa tanpa menentukan puasa apa yang ia lakukan. Sedangkan niat ta'yin adalah meniatkan dengan detail puasa apa yang ia akan lakukan esok harinya, wajib atau sunnah, puasa ramadlan atau qadla atau nadzar dan lain-lain.
[3] Maksudnya puasa dan berbuka bersama kebanyakan kaum muslimin.
[4] Bahjatun Nadhirin, Syaikh Salim Al-Hilali.
[5] Mubasyarah bermakna dua yaitu mempergauli isteri dengan jimak dan mempergauli isteri tanpa jimak dengan menutupkan kain di atas farjinya yang meskipun suami mengeluarkan mani, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana keterangan Aisyah radliyallahu 'anha ketika seorang bertanya tentang mubasyarah:
مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَتِهِ صَائِمًا؟ قَالَتْ: كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ.
"Apa yang boleh dilakukan seorang yang berpuasa terhadap istrinya?" Beliau menjawab: "Semuanya boleh dilakukan selain jimak.(Jimak atau jima' adalah hubungan seks/sex atau bersetubuh/persetubuhan,red)" (HR Abdur Razak dalam bukunya Al-Mushanaf 4/190/8439 dengan sanad shahih)
Akan tetapi hendaknya yang perlu diperhatikan bahwa keluarnya mani (tanpa jimak) tidak membatalkan puasa dan mubasyarah itu perkara lain. Kita tidak menganjurkan orang yang berpuasa Ramadlan ketika syahwat jimak sedang memuncak untuk mubasyarah dengan istrinya. Hal ini dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalam larangan (yakni berjimak –pent). Biasanya orang yang mendekati daerah terlarang akan memasukinya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَامَى حَوْلَ الحِمَى أَوْشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ.
Barangsiapa berada di sekitar daerah penjagaan, dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya. (Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani hal. 420).
Wallahu a'lam.
(Dikutip dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M, penulis Ustadz Ahmad Hamdani, judul asli Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan).
Kafarat / Denda dalam Puasa Ramadhan
1. Kafarat bagi laki-laki yang menjima'i isterinyaTelah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima'i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu : membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan : kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasanya karena jima'.
Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
2. Gugurnya kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan.
Allah berfirman (yang artinya) : “ Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan" [Al-Baqarah : 286]
Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.
3. Kafarat hanya bagi laki-laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja.
Wallahu 'alam
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.