Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum
Penulis: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.
Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah ta’ala. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي
“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu
kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah
ta’ala berkata: ‘Kecuali puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang
menjalankannya karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa
nafsunya dan makannya karena Aku’.” (Shahih, HR. Muslim)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa.
Allah ta’ala akan melipatgandakan pahalanya bukan sekedar 10 atau 700
kali lipat namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya Ta’ala.
Padahal kita tahu bahwa Allah ta’ala Maha Pemurah, maka Dia tentu akan
membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda.
Hikmah dari semua ini adalah sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa orang yang berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makannya karena Allah Ta’ala. Tidak nampak dalam dzahirnya dia sedang melakukan suatu amalan ibadah, padahal sesungguhnya dia sedang menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah ta’ala dengan menahan lapar dan dahaga. Sementara di sekitarnya ada makanan dan minuman.
Di samping itu dia juga menjaga hawa nafsunya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dengan meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala gerak-geriknya.
Di antara hikmahnya juga yaitu karena orang yang berpuasa sedang mengumpulkan seluruh jenis kesabaran di dalam amalannya. Yaitu sabar dalam taat kepada Allah Ta’ala, dalam menjauhi larangan, dan di dalam menghadapi ketentuan taqdir-Nya Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya akan dipenuhi bagi orang-orang yang sabar pahala mereka berlipat ganda tanpa perhitungan.” (Az-Zumar: 10)
Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Orang yang berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lainnya dari segala yang diharamkan oleh Allah Ta’ala namun bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa boleh melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut.
Maksudnya adalah bahwa perbuatan maksiat itu lebih berat ancamannya bila dilakukan pada bulan yang mulia ini, dan ketika menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah Ta’ala. Bisa jadi seseorang yang berpuasa itu tidak mendapatkan faidah apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan haus dan lapar. Na’udzubillahi min dzalik.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yang telah Allah ta’ala janjikan. Diantaranya:
1. Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah Ta’ala dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan keluarganya atau masyarakatnya yang sedang berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Menjaga anggota badannya dari hal-hal yang diharamkan Allah k, seperti menjaga lisannya dari dusta, ghibah, dan lain-lain. Begitu pula menjaga matanya dari melihat orang lain yang bukan mahramnya baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui gambar-gambar atau film-film dan sebagainya. Juga menjaga telinga, tangan, kaki dan anggota badan lainnya dari bermaksiat kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah Ta’ala tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya.” (Shahih HR. Al-Bukhari no. 1804)
Maka semestinya orang yang berpuasa tidak mendatangi pasar, supermarket, mal, atau tempat-tempat keramaian lainnya kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Karena biasanya tempat-tempat tersebut bisa menyeretnya untuk mendengarkan dan melihat perkara-perkara yang diharamkan Allah Ta’ala. Begitu pula menjauhi televisi karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa efek negatifnya sangat besar baik bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa.
3. Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah saya sedang berpuasa.” (Shahih, HR. Muslim)
Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajibnya menjaga lisan. Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan maka tentunya dia akan terjauh dari memulai menghina dan melakukan kejelekan yang lainnya.
Sesungguhnya puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim untuk berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan ketaatan kepada Allah k. Namun mendapatkan hasil yang demikian tidak akan didapat kecuali dengan menjaga puasanya dari beberapa hal yang tersebut di atas.
Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yang memakai baju itu menjaganya dari kotoran atau sesuatu yang merusaknya, tentu baju tersebut akan menutupi auratnya, menjaganya dari terik matahari dan udara yang dingin serta memperindah penampilannya. Demikian pula puasa, orang yang mengamalkannya tidak akan mendapatkan buah serta faidahnya kecuali dengan menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan pahalanya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Ceramah dan tanya jawab Masyayikh Salafiyyin (Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz t, Asy-Syaikh Muhammad Al-’Utsaimin rahimahullah dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)
( http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=300)
Keutamaan Puasa di Bulan Ramadhan
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (qath’i) dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan juga menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman ALLAH (yang artinya) : “Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu’, dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” [A-Ahzab : 35]
Dan firman ALLAH (yang artinya) : “Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya” [Al-Baqarah : 184].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam
hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai
dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengkhususkan satu pintu
surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari
syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga
jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang
agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini,
dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.
1. Puasa Adalah Perisai [Pelindung]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat
syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya
sebagai wijaa’[memutuskan] bagi syahwat ini, karena puasa menahan
kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh
anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa
taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa
memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang
dhahir dan kekuatan bathin.
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba’ah [mampu dgn berbagai macam persiapannya] hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa’ (pemutus syahwat) baginya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.
Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim” [Hadits Riwayat Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah : "70 musim" yakni : perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka” [Hadits Riwayat Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shahih].
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi” [Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi di dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan pada bab dari Abi Darda', dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH].
Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga
Engkau telah tahu wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah memberimu
taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan ruh dari-Nya- bahwa
puasa menjauhkan orang yang mengamalkannya ke bagian pertengahan surga.
Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu katanya, “Aku berkata (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) : “Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga.? Beliau menjawab : “Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu” [Hadits Riwayat Nasa'i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih]
3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
4. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
5. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk (Seluruhnya terkumpul pembahasannya pada hadits-hadits yang akan datang)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa [Baginya pahala yang terbatas, kecuali puasa karena pahalanya tidak terbatas] , karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah : ‘Aku sedang berpuasa’ [1]. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk[2] orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya” [Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari].
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan) (yang artinya) : “Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya”
Di dalam riwayat Muslim (yang artinya) : “Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku” Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan ; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau misk”
6. Puasa dan Al-Qur’an Akan Memberi Syafa’at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : “Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa’at karenaku”. Al-Qur’an pun berkata : “Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa’at karenaku” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Maka keduanya akan memberi syafa’at” [3]
7. Puasa Sebagai Kafarat
Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ;
Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut
kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di
kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi
pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah,
atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat
zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Dan sempurnakanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah ; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercu kur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya” [Al-Baqarah : 196]
Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya) : “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [An-Nisaa' : 92]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)” [Al-Maidah : 89]
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih” [Al-Mujaadiliah : 3-4]
Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah” [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144]
8. Ar Rayyan Bagi Orang yang Puasa
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (bahwa beliau) bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya dalam
surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa
akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang
selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang
puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan
barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya” [Hadits
Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada
pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]
Footnote.
1. Dengan ucapan yang terdengar oleh si pencerca atau orang yang
mengganggu tersebut, ada yang mengatakan : diucapkan di dalam hatinya
agar tidak saling mencela dan saling memerangi. Yang pertama lebih kuat
dan lebih jelas, karena ucapan secara mutlak adalah dengan lisan,
adapun bisikan jiwa dibatasi oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : “Sesunguhnya
Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam hatinya selama
belum diucapkan atau diamalkannya” (Muttafaqun ‘alaih). Maka jelaslah
bahwa ucapan itu mutlak tidak terjadi kecuali oleh ucapan yang dapat
dididengar dengan suara yang terucap dan huruf. Wallahu a’lam.
2. Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilu Shayyin minal Kalami At-Thayyib hal.22-38
3. Diriwayatkan oleh Ahmad 6626, Hakim 1/554, Abu Nu’aim 8/161 dari
jalan Huyaiy bin Abdullah dari Abdurrahman Al-hubuli dari Abdullah bin
‘Amr, dan sanadnya hasan. Al-Haitsami berkata di dalam Majmu’ Zawaid
3/181 setelah menambah penisbatannya kepada Thabrani dalam Al-Kabir :
“Dan perawinya adalah perawi shahih”
Faedah : Hadits ini dan yang semisalnya dari hadits-hadits yang telah
warid yang menyatakan bahwa amalan itu berjasad, wajib diimani dengan
keimanan yang kuat tanpa mentahrif atau mentakwilnya, karena
demikianlah manhajnya salafus shalih, dan jalannya mereka tidak
diragukan lebih selamat, lebih alim dan bijaksana (tepat).
Cukuplah bagimu bahwa itu adalah salah satu syarat iman. Alla Ta’ala berfirman.
(yang artinya) : “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugrahkan
kepada mereka” [Al-Baqarah : 3]
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=299
Introspeksi Diri di Bulan Ramadhan
Penulis: Al Ustadz Muslim Abu Ishaq
Shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Apabila datang Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu
dalam Shahih-nya kitab Ash-Shaum, bab Hal Yuqalu Ramadhan au Syahru
Ramadhan no. 1898, 1899. Dikeluarkan pula dalam kitab Bad‘ul Khalqi,
bab Shifatu Iblis wa Junuduhu no. 3277. Adapun Al-Imam Muslim
rahimahullahu dalam Shahih-nya membawakannya dalam kitab Ash-Shaum, dan
diberikan judul babnya oleh Al-Imam An-Nawawi, Fadhlu Syahri Ramadhan
no. 2492.
Pintu Kebaikan Terbuka, Pintu Kejelekan Tertutup
Kedatangan Ramadhan akan disambut dengan penuh kegembiraan oleh insan
beriman yang selalu merindukan kehadirannya dan menghitung-hitung hari
kedatangannya. Banyak keutamaan yang dijanjikan untuk diraih dan
didapatkan di bulan mulia ini, di antaranya seperti tersebut dalam
hadits yang menjadi pembahasan kita dalam rubrik ‘Hadits’ kali ini. Dan
keutamaan yang tersebut dalam hadits di atas didapatkan sejak awal
malam Ramadhan yang mubarak sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِرَمَضَانَ صُفِّدَتِ
الشَّيَاطِيْنُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ
فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ. وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ
يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ
أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ
النَّارِ، وَ ذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ
“Apabila datang awal malam dari bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin
yang sangat jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup tidak ada satu
pintupun yang terbuka, sedangkan pintu-pintu surga dibuka tidak ada
satu pintupun yang ditutup. Dan seorang penyeru menyerukan: ‘Wahai
orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang
menginginkan kejelekan tahanlah.’ Dan Allah memiliki orang-orang yang
dibebaskan dari neraka, yang demikian itu terjadi pada setiap malam.”
(HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 682 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya
no. 1682, dihasankan Asy-Syaikh Albani rahimahullahu dalam Al-Misykat
no. 1960)
Pada bulan yang penuh barakah ini, kejahatan di muka bumi lebih sedikit, karena jin-jin yang jahat dibelenggu dan diikat, sehingga mereka tidak bebas untuk menyebarkan kerusakan di tengah manusia sebagaimana hal ini dapat mereka lakukan di luar bulan Ramadhan. Di hari-hari itu kaum muslimin tersibukkan dengan ibadah puasa yang dengannya akan mematahkan syahwat. Juga mereka tersibukkan dengan membaca Al-Qur`an dan ibadah-ibadah lainnya. (Al-Mirqah, Asy-Syaikh Mulla ‘Ali Al-Qari pada ta’liq Al-Misykat 1/783, hadits no. 1961)
Ibadah-ibadah ini akan melatih jiwa, membersihkan dan mensucikannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan
kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Karena amal shalih banyak dilakukan, demikian pula ucapan-ucapan yang
baik berlimpah ruah, ditutuplah pintu-pintu jahannam dan dibuka
pintu-pintu surga. (Shifatu Shaumin Nabiyyi n fi Ramadhan, hal. 18-19)
Makna ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas
صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ adalah setan itu dibelenggu. Dan yang
dimaksudkan dengan setan di sini adalah مَرَدَةُ الْجِنِّ sebagaimana
tersebut dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Kata مَرَدَةٌ
adalah bentuk jamak (lebih dari dua) dari kata الْمَارِدُ yaitu
الْعَاتِي الشَّدِيْدُ , maknanya yang sangat angkuh, durhaka, bertindak
sewenang-wenang lagi melampaui batas (lihat An-Nihayah fi Gharibil
Hadits). Sehingga yang dibelenggu hanyalah setan dari kalangan jin yang
sangat jahat, adapun setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran.
Kita perlu nyatakan hal ini, kata Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i rahimahullahu, agar jangan sampai engkau mengatakan: “Kami mendapatkan beberapa perselisihan dan fitnah di bulan Ramadhan (lalu bagaimana dikatakan setan-setan itu dibelenggu sementara kejahatan tetap ada? -pent.).” Kita jawab bahwa yang dibelenggu adalah setan dari kalangan jin yang sangat jahat. Sedangkan setan-setan yang kecil dan setan-setan dari kalangan manusia tetap berkeliaran tidak dibelenggu. Demikian pula jiwa yang memerintahkan kepada kejelekan, teman-teman duduk yang jelek dan tabiat yang memang senang dengan fitnah dan pertikaian. Semua ini tetap ada di tengah manusia, tidak terbelenggu kecuali jin-jin yang sangat jahat. (Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 163)
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullahu berkata dalam Shahih-nya (3/188): “Bab penyebutan keterangan bahwa hanyalah yang diinginkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ hanyalah jin-jin yang jahat, bukan semua setan. Karena nama setan terkadang diberikan kepada sebagian mereka (tidak dimaukan seluruhnya).”
Di bulan yang mubarak ini ada malaikat yang menyeru kepada kebaikan
dan menyeru untuk mengurangi kejelekan sebagaimana dalam lafadz hadits:
وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ
“Wahai orang yang menginginkan kebaikan kemarilah. Wahai orang-orang yang menginginkan kejelekan tahanlah.”
Hadits-hadits tentang Keutamaan Ramadhan
Selain hadits di atas, banyak lagi hadits lain yang berbicara tentang
keutamaan Ramadhan. Di antaranya akan kita sebutkan berikut ini:
1. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dalam keadaan iman dan
mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR.
Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim no. 1778)
2. Dari ‘Imran bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
الله، وَأَنَّكَ رَسُوْلَ اللهِ، وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ،
وَأَدَّيْتُ الزَّكاةَ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، فَمِمَّنْ أَنَا؟ قَالَ: مِنَ
الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Wahai Rasulullah, apa pendapat anda bila aku bersaksi bahwasanya tidak
ada sesembahan yang benar kecuali Allah saja dan aku bersaksi bahwa
engkau adalah Rasulullah, aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan
zakat dan puasa di bulan Ramadhan, maka termasuk dalam golongan manakah
aku?” Rasulullah menjawab: “Engkau termasuk golongan shiddiqin dan
syuhada.” (HR. Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih
keduanya, dan lafadz yang disebutkan adalah lafadz Ibnu Hibban.
Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Targhib
wat Tarhib no. 989)
3. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيْهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ
فِيْهِ أَبْوَابُ الْجَحِيْمِ وَتُغَلُّ فِيْهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِيْنِ،
لِلَّهِ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ
خَيْرُهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Telah datang pada kalian Ramadhan bulan yang diberkahi. Allah
Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas kalian untuk puasa di bulan ini.
Pada bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu langit dan ditutup pintu-pintu
neraka serta dibelenggu setan-setan yang sangat jahat. Pada bulan ini
Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang
diharamkan untuk mendapatkan kebaikan malam itu maka sungguh ia telah
diharamkan.” (HR. Ahmad, 2/385, An-Nasa`i no. 2106, dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i. Lihat Shahih
At-Targhib wat Tarhib no. 985, Al-Misykat no. 1962)
4. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةَ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ
إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتُنِبَتِ
الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya dan Ramadhan ke
Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara keduanya, apabila
dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 549)
Cukuplah kiranya keutamaan bagi Ramadhan dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala memilihnya di antara bulan-bulan yang ada untuk Allah Subhanahu
wa Ta’ala turunkan kitab-Nya yang mulia di bulan berkah tersebut, di
malam yang penuh kemuliaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan)
Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil.”
(Al-Baqarah: 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu pada malam Qadar (malam kemuliaan).” (Al-Qadar: 1)
Puasa Semestinya membuahkan Takwa
Hikmah disyariatkannya puasa dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan
kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata: “Perkara takwa yang dikandung puasa di antaranya:
- Orang yang puasa meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
haramkan kepadanya berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya, sementara
jiwa itu condong kepada perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Semua
itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, mengharapkan pahala-Nya. Ini termasuk takwa.
- Orang yang puasa melatih jiwanya untuk merasakan pengawasan Allah
Subhanahu wa Ta’ala (muraqabatullah), maka ia meninggalkan apa yang
diinginkan jiwanya padahal ia mampu melakukannya, karena ia mengetahui
pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya.
- Puasa itu menyempitkan jalan setan, karena setan itu berjalan pada
anak Adam seperti peredaran/aliran darah. Dan puasa akan melemahkan
jalannya sehingga mengecilkan perbuatan maksiat.
- Orang yang puasa umumnya memperbanyak amalan ketaatan sementara amalan ketaatan termasuk perangai takwa.
- Orang yang kaya jika merasakan tidak enaknya lapar maka mestinya ia
akan memberikan kelapangan/memberi derma kepada orang-orang fakir yang
tidak berpunya. Ini pun termasuk perangai takwa. (Taisir Al-Karimir
Rahman, hal. 86)
Dengan demikian sungguh tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa seharusnya momentum Ramadhan dijadikan langkah awal untuk memperbaiki iman dan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk kemudian iman dan takwa itu terus dipupuk dan dirawat di bulan-bulan selanjutnya. Dan jangan dibiarkan terpisah dari jiwa dan raga hingga datang jemputan dari utusan Ar-Rahman (malaikat maut). Khususnya kita –penduduk negeri ini– seharusnya berkaca diri berkaitan dengan segala petaka yang menimpa negeri kita, demikian pula musibah yang datang terus menerus, lagi susul menyusul. Tidaklah semua ini menimpa kita kecuali karena dosa-dosa kita dan jauhnya kita dari iman serta takwa kepada Al-Khaliq.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena
perbuatan tangan/ulah manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan
yang benar.” (Ar-Rum: 41)
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيْرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka hal itu disebabkan oleh
perbuatan tangan kalian sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar dari
kesalahan-kesalahan kalian.” (Asy-Syura: 30)
Musibah yang menimpa negeri ini berupa gempa, tsunami, meletusnya
gunung berapi, tanah longsor, semburan lumpur panas, dan sebagainya
bukanlah karena kesialan penguasa/pemerintah sebagaimana tuduhan
orang-orang dungu atau pura-pura dungu. Namun justru karena dosa-dosa
yang ada di negeri ini. Terlepas apakah bencana ini karena rekayasa
asing yang ingin menjatuhkan dan menghancurkan negeri ini sebagaimana
analisa sebagian orang, atau murni musibah tanpa rekayasa, toh semuanya
ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai teguran bagi kita
agar kembali kepada-Nya. Bangkit dari lumpur hitam dosa dan maksiat,
untuk kemudian bertaubat dan mohon ampun kepada-Nya.
Yang sangat disesalkan, di antara penduduk negeri ini banyak yang tidak sadar dari maksiat mereka dengan musibah yang menimpa. Mereka malah melakukan praktik-praktik kesyirikan, membuat sesajen penolak bala yang dipersembahkan kepada roh-roh penguasa laut, penguasa gunung, penguasa darat, dan sebagainya. Na’udzubillah min dzalik!!!
Sehubungan dengan momentum Ramadhan sebagai bulan untuk menambah iman dan takwa, serta terkait dengan banyaknya musibah yang menimpa negeri ini, bagus sekali untuk kita nukilkan nasihat dari Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkenaan dengan musibah yang menimpa anak Adam, khususnya gempa bumi [1]. Mudah-mudahan nasehat ini bisa menjadi renungan bagi anak negeri ini.
Beliau rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha
Memiliki hikmah Maha Mengetahui terhadap apa yang Dia putuskan dan
tetapkan, sebagaimana Dia Maha Memiliki Hikmah lagi Maha Mengetahui
dalam apa yang Dia syariatkan dan perintahkan. Dia menciptakan apa yang
diinginkan-Nya berupa tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dia tetapkan hal itu
untuk menakut-nakuti hamba-Nya dan mengingatkan mereka tentang hak-Nya
dan memperingatkan mereka dari kesyirikan, penyelisihan terhadap
perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya.”
Selanjutnya beliau menyatakan: “Tidaklah diragukan bahwa gempa yang
terjadi pada hari-hari ini di banyak tempat/negeri merupakan sejumlah
tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dengannya Allah
Subhanahu wa Ta’ala hendak menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Seluruh
musibah gempa yang terjadi dan perkara lainnya yang membuat
kemudharatan para hamba dan menyebabkan gangguan bagi mereka, adalah
disebabkan kesyirikan dan maksiat.”
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Tidaklah satu kebaikan menimpamu melainkan itu dari Allah dan tidaklah
satu kejelekan menimpamu melainkan karena ulah dirimu sendiri.”
(An-Nisa`: 79)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullahu berkata: “Yang wajib dilakukan
oleh seluruh muslimin adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, istiqamah di atas agamanya dan berhati-hati dari seluruh
perkara yang dilarang berupa syirik dan maksiat. Sehingga mereka
memperoleh pengampunan, kelapangan, keselamatan di dunia dan di akhirat
dari seluruh kejelekan, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak dari
mereka seluruh musibah, lalu menganugerahkan kepada mereka setiap
kebaikan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُوْنَ
“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa niscaya Kami
bukakan bagi mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka
malah mendustakan maka Kami pun menyiksa mereka disebabkan apa yang
dulunya mereka upayakan.” (Al-A’raf: 96)
Kemudian Syaikh menukilkan ucapan Al-’Allamah Ibnul Qayyim
rahimahullahu: “Di sebagian waktu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan
bumi untuk bernapas panjang. Ketika itu terjadilah gempa/goncangan yang
besar, sehingga menimbulkan ketakutan pada hamba-hamba-Nya, lalu mereka
kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencabut diri dari
maksiat, tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyesali
diri, sebagaimana ucapan sebagian salaf ketika terjadi gempa bumi:
‘Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian.’ Ketika terjadi gempa di kota
Madinah, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkhutbah dan memberi
nasehat kepada penduduk Madinah dan beliau berkata: ‘Kalau gempa ini
terjadi lagi, aku tidak akan tinggal bersama kalian di Madinah ini.’
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menasehatkan:
“Ketika terjadi gempa bumi dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa
Ta’ala lainnya, gerhana, angin kencang dan banjir, yang wajib dilakukan
adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tunduk menghinakan
diri kepada-Nya dan memohon maaf/kelapangan-Nya serta memperbanyak
mengingat-Nya dan istighfar pada-Nya. Sebagaimana ucapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika terjadi gerhana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Apabila kalian
melihat gerhana maka berlindunglah kalian dengan zikir/mengingat Allah,
berdoa kepada-Nya dan istighfar.”
Disenangi pula untuk memberikan kasih sayang kepada fakir miskin dan
bersedekah kepada mereka dengan dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي اْلأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Orang-orang yang menyayangi (memiliki sifat rahmah) akan dirahmati
oleh Ar-Rahman. Sayangilah orang yang ada di bumi niscaya Yang di
langit akan merahmati kalian.” [2]
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“Siapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi/dirahmati.” [3]
Diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau
mengirim surat kepada gubernur-gubernurnya ketika terjadi gempa agar
mereka bersedekah.
Termasuk sebab kelapangan dan keselamatan dari semua kejelekan
adalah agar pemerintah bersegera mengambil tangan rakyatnya dan
mengharuskan mereka untuk berpegang dengan kebenaran dan menjalankan
syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada mereka serta amar ma’ruf nahi
mungkar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ
وَرَسُوْلَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ
“Kaum mukminin dan mukminat sebagian mereka adalah wali/kekasih bagi
sebagian yang lain. Mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan
melarang dari yang mungkar, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat
dan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah yang akan dirahmati
Allah.” (At-Taubah: 71)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ
اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ
عَلَى معْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ.
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ.
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Siapa yang melepaskan seorang mukmin dari satu bencana/kesulitan dunia
niscaya Allah akan melepaskannya dari satu bencana di hari kiamat.
Siapa yang memberi kemudahan bagi orang yang sedang kesulitan niscaya
Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Siapa
yang menutup kejelekan/cacat seorang muslim, Allah pun akan menutup
cacatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang
hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” [4]
Demikian nasehat dari Asy-Syaikh Ibnu Baz –semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan melapangkan
beliau di kuburnya, amin–. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati
penduduk negeri ini dan menghilangkan musibah dari mereka serta memberi
taufik kepada mereka agar bertaubat dan kembali kepada agama-Nya yang
benar. Semoga penduduk negeri ini mengambil pelajaran yang berharga di
bulan mubarak ini, bulan Ramadhan nan penuh keberkahan, menambah iman
dan takwa mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga mereka menjadi
, orang-orang yang dibebaskan dari api neraka. Allahumma amin.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote :
1. Dinukil secara ringkas dari kitab Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/148-152.
2. HR. At-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 922
3. HR. Al-Bukhari no. 7376
4. HR. Muslim no. 6793
( http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=374)
Penentuan Awal Bulan Hijriyah
Penulis: Al Ustadz Qomar ZA
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata.
Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti ?
Disini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.
Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang
mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia
harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan
tidak bisa dipungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan
tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang
kuat perbedaan tersebut tidak dianggap.
Asy-Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini
ketika ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?
Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan tidak
menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalam memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci
pada masalah itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidak
mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal
itu. (Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)
Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana
seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah
haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya
kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir
batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang
lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib
berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara
keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan
termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)
Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu
daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka
mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa ini adalah madzhab jumhur ulama. Beliau berkata:
“Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur
ini, diantara mereka adalah Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagaimana
dalam Majmu’ Fatawa juz 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan
Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhatun Nadiyyah dan selain mereka.
Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya dan ini tidak
bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum
(yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa
penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas
radiyallahu ‘anhum tetap memakai ru’yah penduduk Madinah sampai puasa
30 hari atau sampai melihat hilal-red) karena beberapa alasan yang
telah disebut oleh Asy-Syaukani rahimahullah. Dan mungkin alasan yang
paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum datang
dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di
daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada
mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal
sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama
orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal
sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah
(problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu
‘anhu yang berbunyi:
صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ
“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena
melihatnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no.
902-red]
dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya, mencakup semua
yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negeri atau daerah mana
saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu
Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa (25/107).
Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .
Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir karena yang demikian bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hal. 398)
Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas
masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya,
walaupun berdasarkan ru’yah?
Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa
ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah
atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah dalam masalah pemerintah: “Mereka
mengurusi lima urusan kita, shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied,
perbatasan dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak
kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalim dan curang. Demi
Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari
apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8)
Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani
sebagaimana akan nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini
bukan tugas atau urusan individu atau kelompok tapi ini adalah urusan
pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits
dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya
kalian dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR.
At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shohihah, no. 224)
Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: ”At-Tirmidzi
berkata setelah menyebutkan hadits itu: ‘Sebagian ahlul ilmi
menafsirkan hadits ini, mengatakan bahwa maknanya adalah berpuasa dan
berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72): “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Dan wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul Adha).”
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu ada bantahan atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya satu orang saksi jika melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”
Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu riwayat At-Tirmidzi: “Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk masuk di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut, bahkan perkara itu diserahkan kepada pemerintah dan jama’ah masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak menetapkan untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk mengikuti jama’ah masyarakat.”
Saya (Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam
hadits, dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha yang
berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah
karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari
raya). Maka ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha terangkan bahwa pendapatnya itu
tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia,
lalu ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri
adalah ketika orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
Saya katakan (Al-Albani): “Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran,
yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka
serta menjauhkan mereka dari dari pendapat-pendapat pribadi yang
menceraiberaikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat
pribadi –walaupun itu benar dari sisi pandangnya- dalam ibadah yang
sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan diantara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.
Diantara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan diantaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memperhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak, yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin karena sesungguhnya tangan Allah Ta’ala bersama jamaah.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)
Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah ditanya:
”Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah
dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan
manusia?”
Beliau menjawab: “Alhamdulillah, jika dia melihat hilal maka berpuasa
atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan
ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta
berbuka kecuali bersama manusia. Maka dalam hal ini ada tiga pendapat
dan tiga riwayat dari Al-Imam Ahmad:
1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah madzhab Asy-Syafi’i.
2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama
manusia. Dan itu yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu
Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat : berdasarkan sabda Nabi
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian
adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah tatkala
kalian menyembelih.” Riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan
gharib, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan ia
menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. “(Hadits ini dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)
At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika
kalian berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.”
(At-Tirmidzi mengatakan bahwa (hadits ini) hasan gharib)
Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini
dengan perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan
berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu:
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian
adalah hari kalian menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf,
semua tanah Mina adalah tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah
adalah tempat menyembelih, dan semua tanah jam’ (Muzdalifah) adalah
tempat wuquf.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah
dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)
Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah Ta’ala mengaitkan
hukum-hukum syar’i dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan)
seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih. Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Allah Ta’ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah Ta’ala berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa
hari tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa
yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih
baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(Al-Baqarah: 183-185)
Allah Ta’ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum
muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan
untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak
mengetahuinya yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah
hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan
suara padanya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak
orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/ terkenal diantara
manusia. Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa
barangsiapa yang melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu
puasa dan bulan Ramadhan telah masuk bagi dirinya. Malam itu termasuk
malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak
melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul,
berarti ia harus meng-qadha puasa. Begitu pula -menurut qiyas- pada
bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun
pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada
yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal (lebih dahulu)
berarti melakukan wuquf sendirian tanpa jamaah haji yang lain, lalu
hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah, dan ber-tahallul
tanpa jamaah haji yang lain.
Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bertolak belakangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).
Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya
diantara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun
yang melihatnya 10 orang tapi tidak dikenal diantara manusia di daerah
itu, karena persaksian mereka ditolak atau karena mereka tidak
mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang
lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak
shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa
kecuali bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi n:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah
ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala
kalian menyembelih.”
Oleh karena itu Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan dalam riwayatnya:
“Berpuasa bersama imam dan jamaah muslimin dalam keadaan udara cerah
maupun mendung.” Beliau juga mengatakan: “Tangan Allah bersama
Al-Jamaah”.
Atas dasar ini muncullah perbedaan hukum awal bulan. Apakah itu berarti
(awal) bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah Ta’ala
menerangkan yang demikian itu dalam firman-Nya:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (Al-Baqarah: 185)
Allah Ta’ala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang
menyaksikan bulan (waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa
dilakukan kecuali pada bulan yang telah terkenal (sebagaimana
keterangan makna syahr yang telah lalu) diantara manusia sehingga bisa
tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak
menyaksikannya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian
melihatnya maka berbukalah padanya dan puasalah dari rembulan kepada
rembulan.”
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah
manusia. Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang
tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya
ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini,
seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa
hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka
ia tidak wajib meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat
dari Al-Imam Ahmad.
(Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak
tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat
itu wajib menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti
pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak
diperintah untuk meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih. Dan hadits
mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam.
(Majmu’ Fatawa, 25/114-118)
Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam
melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang
lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun
tidak diakui pemerintah?
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab dalam Majmu’ Fatawa (15/202-208):
Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal
Dzulhijjah akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah
boleh mereka melakukan puasa yang nampaknya tanggal 9 padahal
hakekatnya adalah tanggal 10?
Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah)
yang nampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya
tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar
ada. Karena dalam kitab-kitab Sunan dari shahabat Abu Hurairah
Radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bahwasanya
beliau berkata:
صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah
ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala
kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan
At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)
Dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha ia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda: “Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan
Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. At-Tirmidzi dan
beliau katakan ini yang diamalkan menurut para imam kaum muslimin
seluruhnya)
Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggl 10 karena
salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), dengan kesepakatan
para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka
wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam
masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang nampak, wuqufnya juga sah
dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Malik dan
Ahmad serta yang lainnya.
‘Aisyah Radiyallahu ‘anha berkata:
إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِي يَعْرِفُهُ النَّاسُ
“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”
Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah Ta’ala menggantungkan
hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah Ta’ala
berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar
kalian beruntung.” (Al-Baqarah: 189)
Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur diantara manusia maka berarti bulan belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa
jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan,
sama saja apakah ini nampak dan masyhur di kalangan manusia dan mereka
mengumumkannya ataupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan
terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang
harus. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah
ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala
kalian menyembelih.”
Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka
dan ‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak
berakibat adanya hukum. Dan berpuasa pada hari yang diragukan apakah
itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada
pertentangan diantara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum
ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah
terbit hilal ataukah belum?
(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang
mereka ragukan padanya, dengan kesepakatan para imam. Dan hari syak
(yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa padanya adalah
awal Ramadhan karena pada asalnya adalah Sya’ban [1].
Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua perkara:
Pertama, seandainya seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia
dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka,
apakah dia berbuka atau tidak?
Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok
orang yang ia ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah
-buatnya- serta hari nahr adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah
ini -yang tidak diketahui manusia (secara umum)- atau hari Arafah dan
nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?
Adapun masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal maka tidak
boleh berbuka dengan terang-terangan sesuai dengan kesepakatan ulama.
Kecuali jika ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau
safar. Kemudian, apakah ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan
sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat diantara ulama, yang paling benar
adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Dan ini adalah
yang masyhur dari madzhab Al-Imam Malik dan Ahmad.
Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara
sembunyi-sembunyi seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan
Asy-Syafi’i.
Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada jaman ‘Umar Radiyallahu ‘anhu
melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak.
Tatkala berita yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada
yang berbuka: “Kalau bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu
dengan pukulan.” [2]
Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia
berbuka padanya yaitu hari ‘Ied (hari raya) sedang hari yang orang
tersebut -yang melihat hilal sendiri- berpuasa padanya bukanlah
merupakan hari raya yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang
manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya beliau Shallallahu
‘alaihi wassalam melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr
(qurban) (dengan sabdanya): ”Adapun salah satunya adalah hari
berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian
dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa
padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa padanya. Dan hari
yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas dengan
masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat
Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)
Masalah kedua, seandainya seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka
dia tidak boleh melakukan wuquf sebelum hari yang nampak buat manusia
yang lain adalah tanggal 8 Dzulhijjah walaupun berdasarkan ru’yah
adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam
hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini
seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya
(sendirian).
Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah
hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian
orang-orang yang adil, mungkin karena meremehkannya dalam masalah
menyelidiki keadilan para saksi, atau ia menolak lantaran ada
permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab
yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang
yang mengaku bahwa dia melihatnya.
Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya,
keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan
hilal, baik dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya ataupun salah
ataupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan
tidak terkenal di mana manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum
tetap) -padahal telah terdapat dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam masalah para imam:
يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat)
itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk
kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari dari Abu Hurairah z)
Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung
muslimin yang mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a’lam.
Footnote :
1. Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban
jika hilal belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan
kesepakatan (ijma’) umat. Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat
dan tabi’in membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian
beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab
atau yang lainnya, maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia
telah dihujat oleh ijma’. (Fathul Bari, 4/123)
2. Riwayat Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui
jalan Abu Qilabah Al-Jarmi dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radiyallahu
‘anhu dan Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar Radiyallahu ‘anhu
berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah rahimahullah
tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293
Mengawali dan mengakhiri Bulan Ramadhan
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
Menjelang Bulan Ramadhan
1. Menghitung hari bulan Sya’ban
Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan
memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan
hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika
melihat hilal bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : “Puasalah kalian
karena melihat hilal (bulan baru, red) dan berbukalah karena melihat
hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga
puluh hari.” (HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).
Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Janganlah kalian puasa hingga
melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban.”
(HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080))
Dari Adi bin Hatim Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh.” (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah).
2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak [yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed]
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda : “Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah.” (HR Muslim (573 – mukhtashar dengan muallaqnya).
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam, barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim.” (Yaitu, hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, ed). (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686), Ibnu Majah (3334), An Nasa’I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala’l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi’I mudallis dan dia telah ‘an’anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta’liqu Ta’liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.
3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah.” (HR An Nasa’I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah para riwayat An Nasa’I, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim.”
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab “Menjelang Bulan Ramadhan”, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia )