Mengikuti Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah Teroris (1)
Sanggahan kepada yang mencemooh cadar, jenggot dan celana cingkrang
Para pembaca yang semoga selalu mendapatkan taufik dan rahmat Allah ta’ala. Saat ini kaum muslimin terlihat begitu bersemangat dalam beragama. Berbeda dengan masa orde baru dahulu, saat ini umat Islam terlihat sudah mulai perhatian dengan ajaran agamanya. Kita banyak melihat di jalan-jalan, wanita-wanita sudah banyak yang memakai jilbab. Walaupun memang ada pula yang cuma sekedar menutup kepala, namun ini sudah menunjukkan adanya kemajuan dibanding beberapa tahun yang silam. Di samping itu sangat sering kita melihat pula beberapa di antara mereka memakai penutup wajah (cadar). Namun sayang, masyarakat sering mencemooh wanita yang berpakaian seperti ini. Sampai-sampai sebagian orang malah menyebut pakaian seperti itu sebagai pakaian ‘ninja‘.
Juga masih banyak contoh lain seperti di atas. Misalnya saja orang yang berjenggot dijuluki ‘kambing’. Atau orang yang celananya cingkrang (di atas mata kaki) disebut ‘celana kebanjiran’. Bahkan lebih parah lagi orang-orang yang modelnya semacam ini disebut ‘teroris’ dan wanita-wanita yang bercadar disebut istri-istri teroris.
Yang perlu kita tanyakan adalah apakah julukan seperti ini diperbolehkan dalam agama ini atau mungkin dipermasalahkan. Semoga tulisan ini dapat menjawab pertanyaan ini dengan cara mengembalikannya dan menimbangnya melalui timbangan yang paling adil yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mungkin Sebagian Orang Belum Tahu
Sering sekali kita melihat sebagian orang malah mencemoohkan orang yang sebenarnya adalah orang-orang yang komitmen dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang dicemoohkan ini di antaranya adalah orang yang memakai cadar dan diberi gelar dengan ’si ninja’. Juga orang yang berjenggot dikatakan ‘kambing’. Atau pun orang yang memakai celana di atas mata kaki dikatakan ‘Mas celananya kebanjiran ya!’. Masih banyak sebutan yang lain untuk orang-orang semacam ini, bahkan menyebut mereka sebagai ‘teroris’. Sebaiknya kita bahas terlebih dahulu ketiga hal tersebut agar kaum muslimin tidak salah sangka bahwa hal ini bukan merupakan bagian dari syariat Islam.
Mengenai Cadar (Penutup Wajah)
Perlu diketahui bahwasanya menutup wajah itu memiliki dasar dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlepas apakah menutup wajah merupakan suatu yang wajib ataukah mustahab (dianjurkan). Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para wanita,
لاَ تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبِسُ الْقَفَّازِيْنَ
“Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos tangan.” (HR. Bukhari, An Nasa’i, Al Baihaqi, Ahmad dari Ibnu Umar secara marfu’ -yaitu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari bawah lekuk mata ke bawah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan surat An Nur ayat 59 berkata, “Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukkan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”
Sebagai bukti lainnya juga, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ummahatul Mukminin (Ibunda orang mukmin yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) biasa menutup wajah-wajah mereka. Di antara riwayat tersebut adalah :
- Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata, “Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat berihram dan sebelum menutupi wajah, kami menyisir rambut.” (HR. Hakim. Dikatakan oleh Al Hakim: hadits ini shohih. Hal ini juga disepakati oleh Adz Dzahabi)
- Dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata, “Saya pernah melihat Aisyah melakukan thowaf mengelilingi ka’bah dengan memakai cadar.” (HR. Ibnu Sa’ad dan Abdur Rozaq. Semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Ibnu Juraij yang sering mentadlis dan dia meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ‘an/dari)
- Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata, “Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan Shofiyah kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.” (HR. Ibnu Sa’ad)
Juga hal ini dipraktekkan oleh orang-orang sholeh, sebagaimana terdapat dalam riwayat berikut.
Dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya, “Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekaligus menutup wajahnya. Lalu, kami katakan kepadanya, ‘Semoga Allah merahmati engkau…’” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Sanad hadits ini shohih)
Riwayat-riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa praktek menutup wajah sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengenakannya bahkan hal ini juga dilakukan oleh wanita-wanita sholehah sepeninggal mereka. (Lihat penjelasan ini di kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, 104-109, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah, Media Hidayah’)
Lalu bagaimana hukum menutup wajah itu sendiri? Apakah wajib atau mustahab (dianjurkan)? Berikut kami akan sedikit menyinggung mengenai hal tersebut.
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab 33: 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur 24 : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan).
(Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim, hal. 14 dan Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah‘)
Mengenai Jenggot
Jenggot (lihyah) adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu. Jadi, semua rambut yang tumbuh pada dagu, di bawah dua tulang rahang bawah, pipi, dan sisi-sisi pipi disebut lihyah (jenggot) kecuali kumis. (Lihat Minal Hadin Nabawi I’faul Liha, ‘Abdullah bin Abdul Hamid dengan edisi terjemahan ‘Jenggot Yes, Isbal No‘, hal. 17)
Memelihara dan membiarkan jenggot juga merupakan syariat Islam dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Marilah kita lihat bagaimana bentuk fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjenggot.
Dari Anas bin Malik -pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah laki-laki yang berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Kulitnya tidaklah putih sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutus beliau sebagai Rasul di saat beliau berumur 40 tahun, lalu tinggal di Makkah selama 10 tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama 10 tahun pula, lalu wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya hanya terdapat 20 helai rambut yang sudah putih.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, Muhammad Nashirudin Al Albani, hal. 13, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)
Lihatlah saudaraku, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat di atas dengan sangat jelas terlihat memiliki jenggot.
Adapun hukum memelihara jenggot adalah wajib karena dalam hadits-hadits yang ada digunakan kata perintah. Menurut kaedah dalam Ilmu Ushul Fiqh,”Al Amru lil wujub“yaitu perintah menunjukkan suatu kewajiban. Perhatikanlah hadits-hadits berikut ini.
Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى »
“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Muslim no. 623)
Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى »
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)
Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) kumis.” (HR. Muslim no. 624)
Hadits keempat, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ »
“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 626)
Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى »
“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893)
Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ »
“Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kesimpulannya ada lima riwayat yang menggunakan lafazh,
« أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا »
Semua lafazh tersebut bermakna membiarkan jenggot tersebut sebagaimana adanya.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘alam Muslim, 1/416, Mawqi’ Al Islam-Maktabah Syamilah 5)
Di samping hadits-hadits yang menggunakan kata perintah di atas, memelihara jenggot juga merupakan sunnah fithroh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ »
“Ada sepuluh macam fitroh, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Muslim no. 627)
Jika seseorang mencukur jenggot, berarti dia telah keluar dari fitrah yang telah Allah fitrohkan bagi manusia. Allah ta’ala berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada penggantian pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum 30 : 30)
Selain dalil-dalil di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat tidak suka melihat orang yang jenggotnya dalam keadaan tercukur.
Ketika Kisra (penguasa Persia) mengutus dua orang untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menemui beliau dalam keadaan jenggot yang tercukur dan kumis yang lebat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihat keduanya. Beliau bertanya,”Celaka kalian! Siapa yang memerintahkan kalian seperti ini?” Keduanya berkata, “Tuan kami (yaitu Kisra) memerintahkan kami seperti ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan tetapi, Rabb-ku memerintahkanku untuk memelihara jenggotku dan menggunting kumisku.” (HR. Thabrani, Hasan. Dinukil dari Minal Hadin Nabawi I’faul Liha)
Lihatlah saudaraku, dari dalil-dalil yang ada dapat dilihat bahwasanya memelihara jenggot dan memendekkan kumis adalah suatu yang wajib dan bukanlah mustahab yaitu sekedar anjuran. Dalam hadits yang telah kami bawakan menunjukkan bahwa memelihara jenggot adalah suatu perintah dan berarti wajib. Juga hal ini dilakukan untuk menyelisihi orang-orang musyrik dan Majusi serta perbuatan ini adalah fitrah manusia yang dilarang untuk diubah.
Berdasar hadits-hadits di atas, memelihara jenggot tidak selalu Nabi kaitkan dengan menyelisihi orang kafir. Hanya dalam beberapa hadits namun tidak semua, Nabi kaitkan dengan menyelisihi Musyrikin dan Majusi. Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa perintah memelihara jenggot dikaitkan dengan menyelisihi Yahudi.
Namun sebaliknya, kaum muslimin saat ini (entah karena belum tahu atau sudah tahu namun mengabaikan karena masih menganggap hanya sekedar anjuran) dalam kesehariannya malah melakukan hal sebaliknya yaitu memanjangkan kumis dan memotong habis jenggot.
Sedikit Kerancuan Jika ada yang berkata, “Sekarang ini orang-orang Cina, para biksu, dan Yahudi ortodok juga memanjangkan jenggot. Kalau demikian memakai jenggot juga dapat dikatakan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir. Sehingga sekarang kita harus menyelisihi mereka dengan mencukur jenggot.”
Jawaban dari pernyataan di atas telah dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, hal. 220, karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ini sungguh kekeliruan yang besar. Karena larangan ini berkaitan dengan memelihara jenggot. Jika saat ini orang-orang kafir menyerupai kita, maka tetap saja kita tidak boleh berpaling dari apa yang telah diperintahkan walaupun mereka menyamai kita. Di samping memelihara jenggot untuk menyelisihi orang kafir, memelihara jenggot adalah termasuk fitrah (yang tidak boleh diubah sebagaimana penjelasan di atas -pen). Sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ada sepuluh fitrah, di antaranya memelihara (membiarkan) jenggot’. Maka dalam masalah memelihara jenggot ada dua perintah yaitu untuk menyelisihi orang kafir dan juga termasuk fitrah.”
Juga jawaban lebih memuaskan lagi dapat dilihat pada dua Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia, semacam komite fatwa MUI di Indonesia)
Fatwa Pertama Fatwa no. 2258.
Pertanyaan: “Saya pernah mendengar bahwa memelihara (membiarkan) jenggot adalah wajib. Apakah pendapat ini benar? Jika ini benar, aku mohon agar dijelaskan mengenai sebab wajibnya hal ini. Dari yang saya ketahui ketika membaca salah satu buku bahwa sebab wajibnya memelihara jenggot adalah karena kita diharuskan melakukan yang berkebalikan dengan apa yang dilakukan orang kafir (maksudnya kita diperintahkan menyelisihi orang kafir -pen). Akan tetapi saat ini orang-orang kafir malah memelihara jenggot, sehingga saya merasa tidak puas dengan alasan ini. Aku mohon agar aku diberi penjelasan mengenai sebab kenapa kita diperintahkan memelihara jenggot?”
Jawaban:
Alhamdulillah wahdah wash sholatu was salamu ‘ala rosulihi wa aalihi wa shohbihi wa sallam. Wa ba’du
Sesungguhnya memelihara (membiarkan) jenggot adalah wajib dan mencukurnya adalah haram. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan selainnya dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Selisilah orang musyrik, biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” Begitu juga dalam riwayat Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (Hal ini berarti) terus menerus dalam mencukur jenggot termasuk al kabair (dosa besar). Maka wajib bagi seseorang untuk menasihati orang yang mencukur jenggot dan mengingkarinya. …
Dan bukanlah maksud menyelisihi majusi dan orang musyrik adalah menyelisihi mereka di semua hal termasuk di dalamnya adalah hal yang benar yang sesuai dengan fitrah dan akhlak yang mulia. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan menyelisihi mereka adalah menyelisihi apa yang ada pada mereka yang telah menyimpang dari kebenaran dan yang telah keluar dari fitrah yang selamat serta akhlak yang mulia.
Dan sesuatu yang telah diselisihi oleh orang majusi, orang musyrik, dan orang kafir lainnya adalah dalam masalah mencukur jenggot. Dengan melakukan hal ini, mereka telah menyimpang dari kebenaran dan keluar dari fitrah yang bersih serta telah menyelisihi ciri khas para Nabi dan Rasul. Maka menyelisihi mereka dalam hal ini adalah wajib yaitu dengan memelihara (membiarkan) jenggot dan memendekkan kumis. Hal ini dilakukan dalam rangka mengikuti petunjuk para Nabi dan Rasul dan mengikuti apa yang dituntunkan oleh fitrah yang bersih (selamat). Telah terdapat dalil pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Ahmad, Muslim dan lainnya) …
Jika (pada saat ini) orang kafir malah memelihara jenggot, maka ini bukan berarti boleh bagi kaum muslimin untuk mencukur jenggot mereka. Sebagaimana dalam penjelasan di atas bahwasanya bukanlah yang dimaksudkan adalah menyelisihi mereka dalam segala hal. Namun, yang dimaksudkan adalah menyelisihi mereka pada hal-hal yang mereka telah menyimpang dari kebenaran dan telah keluar dari fitrah yang selamat.
Wa billahit tawfiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota: Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodayan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq Afifi
Ketua: Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz
Fatwa Kedua Fatwa no. 4988 (yang sengaja kami ringkas agar tidak terlalu panjang)
Memelihara jenggot termasuk tuntutan fitrah sebagaimana terdapat pada kurun pertama dan juga hal ini merupakan syariat Nabi-nabi terdahulu sebagaimana merupakan syariat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah umum bagi semua makhluk dan wajib bagi mereka untuk melaksanakannya hingga hari kiamat. Allah telah berfirman mengenai Nabi Musa dan saudaranya Harun ‘alaihimas salam serta kepada kaumnya Bani Israil ketika mereka menyembah anak sapi,
وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِنْ قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي (90) قَالُوا لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى (91) قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا (92) أَلَّا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي (93) قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي (94)
“Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Tuhan) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan ta’atilah perintahku”. Mereka menjawab: “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami”. Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” Harun menjawab’ “Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku. sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”.” (QS. Thaha: 90-94)
Maka lihatlah, memelihara jenggot adalah sesuatu yang disyariatkan pada syariat Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam. Kemudian Nabi Isa ‘alaihis salam membenarkan ajaran yang ada pada Taurat, maka lihyah (jenggot) juga merupakan syariat Nabi Isa ‘alaihis salam. Mereka semua (Nabi Musa, Harun dan Isa) adalah para rasul Bani Israil yaitu Yahudi dan Nasrani. Jadi, tatkala orang Yahudi dan Nasrani meninggalkan memelihara jenggot, maka mereka telah salah (rusak) sebagaimana mereka telah rusak tatkala meninggalkan ajaran tauhid dan syariat Nabi-nabi mereka. Mereka juga telah menggugurkan perjanjian yang seharusnya mereka ambil yaitu untuk mengimani Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa saja dari Yahudi dan Nasrani yang kembali pada ajaran yang sesuai dengan syariat setiap Nabi di antaranya adalah memelihara jenggot, maka kita tidaklah menyelisihi mereka dalam hal ini karena mereka telah kembali kepada sebagian kebenaran. Sebagaimana pula kita tidaklah menyelisihi mereka jika mereka kembali pada tauhid dan kembali beriman kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan jika memang mereka beriman, kita akan menolong (menguatkan) mereka dan memujinya disebabkan keimanan ini serta kita akan saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Wa billahit tawfiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota: Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodayan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq Afifi
Ketua: Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz
Demikianlah Fatwa Kedua Lajnah Ad Da’imah. Semoga perkataan ulama dan fatwa-fatwa di atas bisa menjawab sedikit kerancuan yang menyebar di tengah-tengah masyarakat.
Catatan Tambahan:
Kami sedikit akan menyinggung masalah kumis. Apakah kumis harus dipotong habis ataukah cukup dipotong pendek? Berikut ini adalah intisari dari perkataan Al Qodhi Iyadh yang dinukil oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim, 1/416.
Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa kumis harus dicukur habis karena hal ini berdasarkan makna tekstual (zhohir) dari hadits yang menggunakan lafazh ahfuu dan ilhakuu. Inilah pendapat ulama-ulama Kufah. Ulama lainnya melarang untuk mencukur habis kumis. Ulama-ulama yang berpendapat demikian menganggap bahwa lafazh ihfa’, jazzu, dan qossu adalah bermakna sama yaitu memotong kumis tersebut hingga nampak ujung bibir. Sebagian ulama lainnya memilih antara dua cara ini, boleh yang pertama, boleh juga yang kedua.
Pendapat yang dipilih oleh An Nawawi dan insya Allah inilah pendapat yang kuat dan lebih hati-hati adalah memendekkan kumis hingga nampak ujung bibir. Wallahu a’lam bish showab.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
(Penuntut Ilmu di Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Mengikuti Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah Teroris (3)
Mengenai Celana Di Atas Mata Kaki
Celana di atas mata kaki juga adalah merupakan sunnah dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata:
سَمِعْتُ عَمَّتِي، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ: بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ: « اِرْفَعْ إِزَارَكَ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ: « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ‘Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)
Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« هَذَا مَوْضِعُ الإِزَارِ فَإِنْ أَبِيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبِيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِْزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ »
“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)
Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis.
Bagaimana hukum menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki? Lihatlah hadits-hadits yang kami bawakan berikut ini yang sengaja kami bagi menjadi dua bagian. Hal ini sebagaimana kami ikuti dari pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’ pada Bab Satrul ‘Awrot.
1. Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ »
“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِنَّ الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)
Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shahih Muslim.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ »
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,
« خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ »
“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ »
“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.
2. Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ »
“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)
Dari hadits-hadits di atas terdapat dua bentuk menjulurkan celana dan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Kasus yang pertama -sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu menjulurkan celana di bawah mata kaki (isbal) dengan sombong. Hukuman untuk kasus pertama ini sangat berat yaitu Allah tidak akan berbicara dengannya, juga tidak akan melihatnya dan tidak akan disucikan serta baginya azab (siksaan) yang pedih. Bentuk pertama ini termasuk dosa besar.
Kasus yang kedua adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan neraka.
Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Hurairah pada kasus kedua ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut.
« إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ – أَوْ لاَ جُنَاحَ – فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِى النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ »
“Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shogir, 921)
Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus pertama dan kedua berbeda.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana tanpa sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa hadits Abu Hurairah pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdullah Ali Bassam di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -semoga Allah merahmati mereka-.
Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang menunjukkan adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri dibedakan hukum di antara dua kasus ini.
Sedikit Kerancuan
Lalu bagaimana jika ada yang berdalil dengan perbuatan Abu Bakr di mana Abu Bakr dahulu pernah menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah mendapat pertanyaan semacam ini, lalu beliau memberikan jawaban sebagai berikut.
Adapun yang berdalil dengan hadits Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, maka kami katakan tidak ada baginya hujjah (pembela atau dalil) ditinjau dari dua sisi.
Pertama, Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Sesungguhnya salah satu ujung sarungku biasa melorot kecuali jika aku menjaga dengan seksama.” Maka ini bukan berarti dia melorotkan (menjulurkan) sarungnya karena kemauan dia. Namun sarungnya tersebut melorot dan selalu dijaga. Orang-orang yang isbal (menjulurkan celana hingga di bawah mata kaki -pen) biasa menganggap bahwa mereka tidaklah menjulurkan pakaian mereka karena maksud sombong. Kami katakan kepada orang semacam ini: Jika kalian maksudkan menjulurkan celana hingga berada di bawah mata kaki tanpa bermaksud sombong, maka bagian yang melorot tersebut akan disiksa di neraka. Namun jika kalian menjulurkan celana tersebut dengan sombong, maka kalian akan disiksa dengan azab (siksaan) yang lebih pedih daripada itu yaitu Allah tidak akan berbicara dengan kalian pada hari kiamat, tidak akan melihat kalian, tidak akan menyucikan kalian dan bagi kalian siksaan yang pedih.
Kedua, Sesungguhnya Abu Bakr sudah diberi tazkiyah (rekomendasi atau penilaian baik) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sudah diakui bahwa Abu Bakr tidaklah melakukannya karena sombong. Lalu apakah di antara mereka yang berperilaku seperti di atas (dengan menjulurkan celana dan tidak bermaksud sombong -pen) sudah mendapatkan tazkiyah dan syahadah (rekomendasi)?! Akan tetapi setan membuka jalan untuk sebagian orang agar mengikuti ayat atau hadits yang samar (dalam pandangan mereka -pen) lalu ayat atau hadits tersebut digunakan untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Allah-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa yang Allah kehendaki. Kita memohon kepada Allah agar mendapatkan petunjuk dan ampunan. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul Aqidah, hal. 547-548).
Sebagai penutup dari pembahasan isbal ini, kami akan membawakan sebuah kisah yang menceritakan sangat perhatiannya salaf (sahabat) dengan masalah ini, sampai-sampai di ujung kematian masih memperingatkan hal ini.
Dalam shohih Bukhari dan shohih Ibnu Hibban, dikisahkan mengenai kematian Umar bin Al Khaththab setelah dibunuh seseorang ketika shalat. Lalu orang-orang mendatanginya di saat menjelang kematiannya. Lalu datanglah pula seorang pemuda. Setelah Umar ngobrol sebentar dengannya, ketika dia beranjak pergi, terlihat pakaiannya menyeret tanah (dalam keadaan isbal). Lalu Umar berkata,
رُدُّوا عَلَىَّ الْغُلاَمَ
“Panggil pemuda tadi!” Lalu Umar berkata,
ابْنَ أَخِى ارْفَعْ ثَوْبَكَ ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ ،
“Wahai anak saudaraku. Tinggikanlah pakaianmu! Sesungguhnya itu akan lebih mengawetkan pakaianmu dan akan lebih bertakwa kepada Rabbmu.”
Jadi, masalah isbal (celana menyeret tanah) adalah perkara yang amat penting. Jika ada yang mengatakan ‘kok masalah celana saja dipermasalahkan?’ Maka cukup kisah ini sebagai jawabannya. Kita menekankan masalah ini karena salaf (sahabat) juga menekankannya. -semoga kita dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.-
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
(Penuntut Ilmu di Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Mengikuti Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah Teroris (4)
Hati-Hatilah Dengan Lisan
Dari penjelasan yang dipaparkan di atas, kami rasa sudah cukup jelas bahwa memelihara jenggot, memakai cadar bagi muslimah dan memakai celana di atas mata kaki termasuk ajaran atau sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pantaskah orang yang mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan teroris atau Amrozi? Atau pantaskah pula dikatakan kepada orang yang memakai cadar dengan panggilan ‘ninja’ atau istri teroris; atau kepada orang yang celananya cingkrang (di atas mata kaki) dengan sebutan ‘celana kebanjiran’; atau orang yang berjenggot disebut ‘kambing’?
Perhatikanlah saudaraku, sesungguhnya karena lisan seseorang bisa terjerumus dalam jurang kebinasaan. Lihatlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ketika berbicara dengan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.
« أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ». قُلْتُ بَلَى يَا نَبِىَّ اللَّهِ قَالَ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ « كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا ». فَقُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ « ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ».
“Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku: “Iya, wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah ini”. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda: “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi no. 2825. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih)
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِى بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِى النَّارِ
“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kalimat yang dia anggap itu tidaklah mengapa, padahal dia akan dilemparkan di neraka sejauh 70 tahun perjalanan karenanya.” (HR. Tirmidzi no. 2484)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ »
“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.” (HR. Bukhari no. 6478)
« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim no.7673)
Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini beliau mengatakan, “Ini semua merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
« مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ »
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.”
Itulah manusia, dia menganggap perkataannya seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang bukan sepele. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur 24: 15)
Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.
Mengolok-olok Orang Yang Komitmen Dengan Ajaran Islam
Allah ta’ala berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut. Disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”
(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”
Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah):
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9 : 65-66).
Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath Thobariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad min Asbabin Nuzul mengatakan bahwa sanad Ibnu Abi Hatim hasan)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dinukil dari Imam Syafi’iy bahwa beliau ditanyakan mengenai orang yang bersenda gurau dengan ayat-ayat Allah ta’ala. Beliau mengatakan bahwa orang tersebut kafir dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)” -Demikianlah dinukil dari Ash Shorim Al Maslul ‘ala Syatimir Rosul-
Ayat di atas menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah, Rasulullah dan ayat-ayat Allah adalah suatu bentuk kekafiran. Dan barang siapa mengolok-olok salah satu dari ketiga hal ini, maka dia juga telah mengolok-olok yang lainnya (semuanya). (Lihat Kitab At Tauhid, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 59)
Perlu diketahui bahwa mengolok-olok Allah dan agama-Nya ada dua bentuk :
Pertama, yang bentuknya jelas dan terang-terangan sebagaimana terdapat dalam kisah turunnya surat At Taubah ayat 65-66.
Kedua, yang bentuknya sindiran dan isyarat seperti isyarat mata atau menjulurkan lidah.
Dan termasuk dalam mengolok-olok adalah mengolok-olok orang yang komitmen dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti mengatakan, ‘agama itu bukanlah pada tampilan rambut’. Perkataan ini dimaksudkan untuk mengejek orang-orang yang berjenggot. Atau termasuk juga ucapan-ucapan yang lainnya yang hampir sama. (Lihat Kitab At Tauhid, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 62)
Berikut ini kami akan menukilkan perkataan ulama lainnya untuk mendukung pernyataan di atas.
Perkataan Pertama Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar dan faqih di Saudi Arabia pernah ditanyakan, “Apakah termasuk dalam dua ayat yang disebutkan sebelumnya (yaitu surat At Taubah ayat 65-66 -pen) bagi orang-orang yang mengejek dan mengolok-olok orang yang memelihara jenggot dan yang komitmen dengan agama ini?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Mereka yang mengejek orang yang komitmen dengan agama Allah dan yang menunaikan perintah-Nya, jika mereka mengejek ajaran agama yang mereka laksanakan, maka ini termasuk mengolok-olok mereka dan mengolok-olok syariat (ajaran) Islam. Dan mengolok-olok syariat ini termasuk kekafiran.
Adapun jika mereka mengolok-olok orangnya secara langsung (tanpa melihat pada ajaran agama yang dilakukannya baik itu pakaian atau jenggot), maka semacam ini tidaklah kafir. Karena seseorang bisa saja mengolok-olok orang tersebut atau perbuatannya. Namun setiap orang seharusnya berhati-hati, jangan sampai dia mengolok-olok para ulama atau orang-orang yang komitmen dengan Kitabullah dan Sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul ‘Aqidah, hal. 120)
Perkataan Kedua Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah, pernah menjabat ketua Lajnah Da’imah (semacam Komite Fatwa MUI) dan juga pakar hadits, pernah ditanyakan, “Saat ini banyak di tengah masyarakat muslim yang mengolok-olok syariat-syariat agama yang nampak seperti memelihara jenggot, menaikkan celana di atas mata kaki, dan selainnya. Apakah hal ini termasuk mengolok-olok agama yang membuat seseorang keluar dari Islam? Bagaimana nasihatmu terhadap orang yang terjatuh dalam perbuatan seperti ini? Semoga Allah memberi kepahaman padamu.”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya dan syariat-Nya termasuk dalam kekafiran sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)
Termasuk dalam hal ini adalah mengolok-olok masalah tauhid, shalat, zakat, puasa, haji atau berbagai macam hukum dalam agama ini yang telah disepakati.
Adapun mengolok-olok orang yang memelihara (memanjangkan) jenggot, yang menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) atau semacamnya yang hukumnya masih samar, maka ini perlu diperinci lagi. Tetapi setiap orang wajib berhati-hati melakukan perbuatan semacam ini.
Kami menasihati kepada orang-orang yang melakukan perbuatan olok-olok seperti ini untuk segera bertaubat kepada Allah dan hendaklah komitmen dengan syariat-Nya. Kami menasihati untuk berhati-hati melakukan perbuatan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan syariat ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaklah seseorang takut akan murka dan azab (siksaan) Allah serta takut akan murtad dari agama ini sedangkan dia tidak menyadarinya. Kami memohon kepada Allah agar kami dan kaum muslimin sekalian mendapatkan maaf atas segala kejelakan dan Allah-lah sebaik-baik tempat meminta. Wallahu waliyyut taufiq. (Lihat Kayfa Nuhaqqiqut Tauhid, Madarul Wathon Linnashr, hal.61-62)
Perkataan ketiga Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia, semacam komite fatwa MUI di Indonesia) no. 4127 tentang mengolok-olok hijab (jilbab) muslimah.
Pertanyaan :
Apa hukum orang yang mengolok-olok wanita yang memakai hijab (jilbab) syar’i dengan menjuluki bahwa wanita semacam itu adalah ifrit (setan) atau dijuluki ‘kemah yang bergerak’ atau ucapan olok-olok lainnya?
Jawaban :
Barang siapa mengejek muslimah atau seorang muslim yang berpegang teguh dengan syariat Islam maka dia kafir. Baik mengejek tersebut terhadap hijab (jilbab) muslimah yang menutupi dirinya sesuai tuntunan syariat atau boleh jadi dalam masalah lainnya. Hal ini dikarenakan terdapat riwayat dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Seorang laki-laki ketika perang Tabuk berkata di suatu majelis (kumpulan) : Aku tidak pernah melihat semisal ahli baca al-Qur’an (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, pen) yang paling perutnya buncit, sering berdusta dengan lisannya, dan paling takut (pengecut) ketika bertemu musuh.” Lalu ada seseorang yang berkata :’Engkau dusta. Engkau adalah munafik. Sungguh, aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian berita ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan turunlah ayat mengenai mereka. Lalu Abdullah bin ‘Umar berkata, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kakinya tersandung batu sembari berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami tadi hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan (dengan membawakan ayat yang turun tadi, pen), “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At Taubah 9: 65-66)
(Dalam ayat di atas) Allah menjadikan ejekan kepada orang mukmin adalah ejekan kepada Allah, ayat-Nya dan Rasul-Nya. Semoga Allah memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya serta shahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’
Anggota: Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodayan
Wakil Ketua: Abdur Rozaq Afifi
Ketua: Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz
Setelah diketahui bahwa bentuk mengolok-olok atau mengejek orang yang berkomitmen dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk kekafiran, maka seseorang hendaknya menjauhinya. Dan jika telah terjatuh dalam perbuatan semacam ini hendaknya segera bertaubat. Semoga firman Allah Ta’ala berikut bisa menjadi pelajaran.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Az Zumar 39: 53)
Jika seseorang bertaubat dari berbagai macam dosa termasuk berbagai hal yang dapat mengeluarkannya dari Islam dan dia melakukan hal ini dengan memenuhi syarat-syaratnya, maka taubatnya tersebut akan diterima.
Adapun syarat taubat adalah:
- Taubat dilakukan dengan ikhlas dan bukan riya’ atau sum’ah (ingin dipuji orang lain).
- Menyesal dengan dosa yang telah dilakukan.
- Tidak terus-menerus dalam dosa. Jika meninggalkan yang wajib, segeralah melaksanakannya dan jika melakukan sesuatu yang haram, segeralah meninggalkannya.
- Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut di waktu akan datang.
- Taubat tersebut dilakukan pada saat waktu diterimanya taubat yaitu sebelum kematian datang dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat. (Lihat pembahasan syarat Taubat di Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin)
Kategori: Manhaj
Mengikuti Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah Teroris (5)
Marilah Mengagungkan dan Melaksanakan Ajaran Nabi
Kita dapat melihat dalam beberapa ayat telah dijelaskan mengenai pentingnya menaati dan mengagungkan ajaran (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam serta bahaya meninggalkannya. Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An Nisa’ 4: 80)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur 24: 63)
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An Nur 24: 54)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (1) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu , sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al Hujuraat 49: 2). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini adalah adab yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya yang beriman ketika berinteraksi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hendaklah mereka menghormati dan mengagungkannya.”
Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu seolah-olah inilah nasehat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
« فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ »
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
“Aku tidaklah biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.” (Lihat Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar ini shohih)
Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah, 1/246, mengomentari perkataan Abu Bakar di atas, beliau rahimahullah mengatakan, “Inilah, wahai saudaraku! Orang yang paling shiddiq (paling jujur) seperti ini saja masih merasa takut dirinya akan menyimpang jika dia menyelisihi sedikit saja dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana lagi dengan orang yang mengejek Nabi dan perintahnya (ajarannya), membanggakan diri dengan menyelisihinya, mencemooh petunjuknya (ajarannya). -Kita memohon kepada Allah agar terjaga dari kesalahan dan agar terselamatkan dari amal yang jelek-
Imam Syafi’iy rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Barang siapa menolak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia telah berada dalam jurang kebinasaan.”
Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “Sunnah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah perahu/kapal Nabi Nuh. Siapa saja yang menaikinya (melaksanakan petunjuk Nabi) pasti akan selamat, sedangkan yang menyelisihinya pasti akan tenggelam.” (Dinukil dari Ta’zhimus Sunnah, hal. 13-17, Abdul Qoyyum As Sahyabaniy)
Dari ayat, hadits, dan perkataan para ulama di atas, nampak jelas bahwa seorang muslim hendaknya selalu mengagungkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menaatinya dan mengikutinya. Itulah sikap seorang muslim yang benar, bukan malah mengejek dan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan agama ini. Seharusnya seorang muslim mencela orang yang tidak shalat, mencela wanita-wanita yang tidak memakai jilbab atau yang memakai jilbab tetapi cuma sekedar aksesoris dan bukan menutupi aurat yang wajib ditutupi. Kenapa kaum muslimin malah sebaliknya? Kenapa malah mencela orang yang seharusnya tidak dicela? Ini adalah suatu pencelaan yang tidak adil.
Kisah-Kisah Orang yang Meremehkan Ajaran Nabi
Berikut kami akan membawakan kisah-kisah orang yang meremehkan atau tidak mau mengindahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akibat yang mereka peroleh di dunia. Sebagian kisah ini diperoleh dari Sunan Ad Darimi pada Bab ‘Disegerakannya hukuman di dunia bagi orang yang meremehkan perkataan Nabi dan tidak mengagungkannya’.
Kisah Pertama: Kerabat dekat tidak mau diajak bicara lagi karena meremehkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang khodzaf
Khodzaf adalah melempar batu atau kerikil antara dua jari telunjuk atau antara ibu jari dan jari telunjuk atau antara bagian luar jari tengah dan bagian dalam ibu jari. Inilah sebagian pengertian khodzaf sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 15/412.
Dari Sa’id bin Jubair dari Abdullah bin Mughoffal, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang khodzaf Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
« إِنَّهَا لاَ تَصْطَادُ صَيْداً وَلاَ تَنْكِى عَدُوًّا، وَلَكِنَّهَا تَكْسِرُ السِّنَّ وَتَفْقَأُ الْعَيْنَ »
“Binatang buruan itu tidak bisa ditangkap dengan khodzaf dan tidak bisa digunakan untuk memerangi musuh. Khodzaf itu hanya mematahkan gigi dan mencungkil mata.”
Kemudian seseorang -yang masih ada hubungan keluarga dengan Sa’id- mengambil sesuatu di tanah. Lalu dia berkata, “Lihatlah ini. Tahukah yang akan diperbuat?” Kemudian Sa’id mengatakan, “Bukankah aku telah memberitahukan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau menganggap remeh? Sungguh, aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”
Husain Salim Asad mengatakan bahwa hadits ini juga terdapat dalam shohih Bukhari-Muslim dan sanadnya shohih.
Kisah Kedua: Tidak mau diajak bicara lagi karena meremehkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Qotadah, beliau berkata bahwa Ibnu Sirin mengatakan kepada seseorang sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia mengatakan, “Akan tetapi si A mengatakan demikian dan demikian.” Lalu Ibnu Sirin mengatakan, “Saya mengatakan kepadamu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kamu malah berkata si A mengatakan demikian dan demikian? Aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”
Husain Salim Asad mengatakan bahwa jalur dari Sa’id bin Basyir, itu sanadnya berderajat hasan.
Kisah Ketiga: Tertimpa kecelakaan karena tidak mau menghiraukan hadits Nabi yang melarang keluar masjid setelah adzan
Abdurrahman bin Harmalah mengatakan, “Seorang laki-laki datang menemui Sa’id bin Al Musayyib untuk menitipkan sesuatu karena mau berangkat haji dan umroh. Lalu Sa’id mengatakan kepadanya, “Janganlah pergi, hendaklah kamu shalat terlebih dahulu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاءِ مِنَ الْمَسْجِدِ إِلاَّ مُنَافِقٌ إِلاَّ رَجُلٌ أَخْرَجَتْهُ حَاجَتُهُ وَهُوَ يُرِيدُ الرَّجْعَةَ إِلَى الْمَسْجِدِ »
“Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan kecuali orang munafik atau orang yang ada keperluan dan ingin kembali lagi ke masjid.”
Lalu orang ini mengatakan, “(Tetapi) teman-temanku sedang menunggu di Al Harroh.” Lalu dia keluar (dari masjid). Belum lagi Sa’id menyayangkan kepergiannya, tiba-tiba dikabarkan orang ini telah jatuh dari kendaraannya sehingga pahanya patah.”
Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
Tambahan kisah berikut, kami peroleh dari sumber rujukan lainnya.
Kisah Keempat: Diperintahkan makan dengan tangan kanan namun enggan
Terdapat sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Muslim.
عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ حَدَّثَنِى إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِشِمَالِهِ فَقَالَ « كُلْ بِيَمِينِكَ ». قَالَ لاَ أَسْتَطِيعُ قَالَ « لاَ اسْتَطَعْتَ ». مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ
Dari Ikrimah bin ‘Ammar, (beliau berkata) Iyas bin Salamah bin Al Akwa’ telah berkata bahwa ayahnya mengatakan kepadanya (yaitu) ada seorang laki-laki makan dengan tangan kirinya di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Lalu dia mengatakan, “Aku tidak mampu.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau memang tidak akan mampu”. Tidak ada yang menghalanginya untuk menaati Nabi kecuali rasa sombong. Akhirnya, dia tidak bisa lagi mengangkat tangan kanannya ke mulut. (HR. Muslim no. 5387)
An Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim mengatakan, “Perkataan ‘Tidaklah ada yang menghalanginya kecuali rasa sombong’, ini bukan berarti dia adalah munafik. Karena semata-mata ada rasa sombong dan menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah mengharuskan adanya nifak dan kekufuran dalam diri seseorang. Akan tetapi perbuatan ini adalah maksiat, mengingat perintah itu adalah perintah yang harus diperhatikan.”
Kisah Kelima: Menganggap remeh sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun tidur di malam hari
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il At Taimiy -dalam penjelasan beliau terhadap shohih Muslim- berkata, “Aku telah membaca di sebagian kisah (hikayat) mengenai sebagian ahli bid’ah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِى الإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاَثًا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Jika salah seorang di antara kalian bangun tidur, maka janganlah dia mencelupkan tangannya di dalam bejana sampai dia mencucinya tiga kali terlebih dahulu, karena dia tidak tahu di manakah tangannya bermalam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam rangka mengejek, ahli bid’ah ini berkata, “Ya, saya tahu ke mana tangan saya bermalam di ranjang!!” Lalu tiba-tiba pada saat pagi, dia dapati tangannya berada dalam dubur sampai pergelangan tangan.
At Taimiy berkata, “Oleh karena itu hendaklah seseorang berhati-hati untuk meremehkan sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kondisi-kondisi yang menuntut diam. Lihatlah apa yang terjadi pada orang ini karena akibat dari perbuatannya.” (Bustanul ‘Arifin li An Nawawi. Dinukil dari Ta’zimus Sunnah, hal. 19-20, Darul Qosim)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
(Penuntut Ilmu di Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Kategori: Manhaj
Mengikuti Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah Teroris (6)
Walaupun Badai Menghadang, Tetaplah Berpegang Teguh Dengan Agama Ini
Ketahuilah saudaraku… zaman yang kita hidup saat ini sungguh sangat memberatkan. Setiap orang yang menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti akan mendapatkan cemoohan. Malah orang yang bergelimang dengan kemaksiatan dan bid’ah itulah yang sering mendapatkan pujian.
Jika kita lihat, kaum muslimin malah sering mencemooh orang yang berpegang teguh dengan ajaran Islam. Orang yang bercadar dibilang ‘ninja’. Orang yang berjenggot dibilang ‘kambing’. Orang yang celananya cingkrang (di atas mata kaki) dibilang ‘kebanjiran’. Bahkan orang-orang seperti ini dimasukkan ke dalam aliran sesat seperti orang yang celananya cingkrang malah dikatakan LDII (yang dulu bernama LEMKARI dan telah dinyatakan sebagai aliran sesat oleh MUI).
Tetapi kami sangat mengherankan. Tidak ada orang yang mencela artis yang goyang ‘ngebor’, yang berpose telanjang di majalah-majalah. Malah yang dicela dan diejek adalah orang-orang yang memakai jilbab atau memakai cadar yang melaksanakan ajaran Nabi.
Begitu juga yang sering dicemooh adalah orang yang berjenggot dengan gelaran ‘kambing’. Malah orang yang sering mencukur jenggot dan tentu saja dengan mengeluarkan biaya yang termasuk pemborosan tidak dicela.
Orang yang memakai celana di atas mata kaki juga demikian, sering sekali dicemooh. Padahal celana di atas mata kaki akan membuat celana semakin bersih dan terhindar dari najis sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sudah kami bawakan sebelumnya. Orang-orang yang celananya biasa menyeret tanah biasanya tidak dicela, padahal model celana semacam itu lebih mudah terkena najis.
Itulah keadaan dunia saat ini. Semua serba terbalik. Pemikiran manusia saat ini sudah tak karuan. Yang baik dibilang jelek dan yang jelek dibilang baik.
Oleh karena itu, banyak di antara saudara-saudara kami yang sebelumnya memang istiqomah dengan agama ini perlahan-lahan pun melepaskan agamanya. Di antara sebabnya adalah adanya berbagai cemoohan dari masyarakat.
Di antara saudara-saudara kami sebelumnya sangat bersemangat sekali memakai celana di atas mata kaki dan memelihara lihyah (jenggot) sehingga terlihat begitu gagah dengan salah satu tanda kepriaannya. Namun dikarenakan adanya teguran dari orang tua yang belum memahami agama; atau karena tidak mendapatkan suasana lingkungan yang mendukung dengan seringnya bergaul bersama orang-orang yang fasik; atau dikarenakan pula tuntutan dunia kerja yang mengharuskan mencukur jenggot dan celana tidak boleh cingkrang, maka di antara saudara kami -yang kami sangat merindukan mereka kembali kepada kebenaran yang mereka pegang dahulu- secara berangsur-angsur menghilangkan ajaran Nabi pada dirinya. -Na’udzu billahi mindzalik-
Tulisan terakhir ini adalah lembaran yang kami sengaja sajikan kepada saudara-saudara kami, agar mereka hendaknya kembali ke jalan yang dulu mereka tempuh.
Saudaraku … sebagian ayat dan hadits agar seorang muslim harus berpegang teguh dengan ajaran Nabi telah kami jelaskan. Selanjutnya perhatikanlah hadits berikut, semoga kalian mendapatkan petunjuk dan hidayah dari Allah Ta’ala.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuliskan surat kepada Mu’awiyah. Isinya sebagai berikut.
سَلاَمٌ عَلَيْكَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ ». وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ.
“Salam untukmu. Amma Ba’du. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa mencari ridho Allah dengan membuat manusia murka, maka Allah akan bereskan urusannya dengan sesama manusia. Tetapi barang siapa mencari ridho manusia dengan membuat Allah murka maka Allah akan serahkan orang tersebut kepada manusia’ Wassalamu ‘alaika.” (HR. Tirmidzi. Dalam As Silsilah Ash Shohihah, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Al Qoulul Mufid mengatakan, “Apabila seseorang mencari ridho Rabbnya dengan niat yang tulus, maka Allah akan ridho kepadanya karena dialah yang paling mulia dari hamba-Nya… karena hati seseorang di antara dua jari dari jari-jemari Allah ta’ala. Allah-lah yang membolak-balikkan hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. …Dan barang siapa yang mencari ridha manusia namun membuat Allah murka, maka hasilnya adalah dia akan mendapatkan lawan dari maksudnya tersebut.”
Oleh karena, itu sabarlah saudaraku dengan cemoohan yang ada. Janganlah engkau menanggalkan ajaran Nabimu sehingga membuat Allah murka. Cobalah menjelaskan kepada orang tuamu bahwa ajaran yang kamu pegang adalah ajaran Nabi dan ajaran yang benar, bukan aliran sesat. Jelaskanlah hal ini dengan lemah lembut sebagaimana pada firman Allah Ta’ala,
وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan ucapkanlah kepada mereka (kedua orang tua0 perkataan yang mulia.” (QS. Al Isro’ 17: 23)
Dalam tafsir Al Jalalain ditafsirkan dengan ‘ucapkanlah perkataan yang indah dan lemah-lembut’.
Carilah pula teman-teman yang dapat mendukungmu bisa istiqomah. Lihatlah para shahabat Nabi bisa istiqomah karena mereka sering bergaul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Ali ‘Imran 3: 101)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)” (QS. At Taubah 9: 119)
Dalam sebuah hadits yang hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« إِنَّ مِنَ النَّاسِ نَاسًا مَفَاتِيْحَ لِلْخَيْرِ وَمَغَالِيْقَ لِلشَّرِّ »
“Sesungguhnya di antara manusia ada orang-orang yang keberadaan mereka sebagai pembuka (pintu) kebaikan dan penutup (pintu) kejelekan.” (HR. Ibnu Majah, Al Baihaqi. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani). Oleh karena itu, bergaullah dengan orang-orang sholih yang selalu membuka pintu-pintu kebaikan dan mengajarkannya.
Dan kami nasihatkan pula, jika memang tempat kerja yang dicari menawarkan agar jenggot dicukur atau celana diturunkan, maka janganlah terima pekerjaan semacam itu. Ingatlah rezeki Allah itu luas. Masih banyak pekerjaan lain yang bisa dicari. Mengapa kita harus mengorbankan akhirat untuk mendapatkan dunia yang hina? Allah Ta’ala berfirman,
وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأولَى
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” (QS. Adh Dhuha 93: 4)
Ibnu Katsir mengatakan, “Dan negeri akhirat itu lebih baik bagimu dari negeri dunia ini. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud di dunia (meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat, pen). Sebagaimana telah diketahui dalam sejarahnya bahwa tatkala beliau disuruh memilih di akhir hidupnya antara hidup kekal di dunia sampai akhirnya kemudian masuk surga ataukah memilih karunia di sisi Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya memilih apa yang ada di sisi Allah karena dunia adalah hina (daniyah).”
Agar tetap diteguhkan hati ingatlah sebuah do’a yang selalu dibaca oleh Nabi. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa,
« يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ »
“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ (HR. Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dishahihkan oleh Adz Dzahabi, lihat pula Shohihul Jami’)
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rezeki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Yogyakarta, pada siang hari, hari ke-29 bulan Shofar tahun 1429 H bertepatan dengan hari ‘ied umat Islam setiap pekannya, Jum’at, 07-03-08
Semoga Allah menerima dan membalas amalan ini.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
(Penuntut Ilmu di Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Akal dan Agama Mana yang Mengatakan Ngebom Itu Jihad?!
Beberapa tahun yang silam pernah terjadi pengeboman dan perusakan di kota Riyadh, saat itulah Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr angkat suara, “Alangkah miripnya kata tadi malam dengan semalam. Sesungguhnya peristiwa pemboman dan perusakan di kota Riyadh dan senjata-senjata lain yang digunakan di kota Makkah maupun Madinah pada awal tahun ini (1424 H, sekitar tahun 2003) merupakan hasil rayuan setan yang berupa bentuk meremehkan atau berlebih-lebihan dalam beragama. Sejelek-jeleknya perbuatan yang dihiasi oleh setan adalah yang mengatakan bahwa pengeboman dan perusakan adalah bentuk jihad. Akal dan agama mana yang menyatakan membunuh jiwa, memerangi kaum muslimin, memerangi orang-orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin, membuat kekacauan, membuat wanita-wanita menjanda, menyebabkan anak-anak menjadi yatim, dan meluluhlantakkan bermacam bangunan sebagai jihad(?)”
Selanjutnya kita akan melihat berbagai ayat dan hadits yang menjelaskan bahwa syariat-syariat terdahulu juga menjelaskan hukuman keras terhadap pembunuhan. Juga akan dijelaskan pula mengenai bahaya akibat membunuh sesama muslim, hukum bunuh diri dan hukum membunuh orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin.
Beratnya Hukuman Pembunuhan Menurut Syariat Terdahulu
Allah Ta’ala berfirman mengenai kedua anak Adam yang saling membunuh,
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah. Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.” (Qs. Al Maidah: 30)
Begitu pula hukuman keras bagi Bani Israel yang membunuh seorang manusia, Allah Ta’ala berfirman,
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. Al Maidah: 32)
Bahkan bagi anak Adam yang membunuh saudaranya, dia akan terus menanggung dosa orang-orang sesudahnya yang melakukan pembunuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا . وَذَلِكَ لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
“Tiada pembunuhan yang terjadi karena kezhaliman melainkan anak Adam yang pertama (yakni Qabil) yang akan menanggung dosa pembunuhan tersebut karena dialah yang pertama kali melakukannya.” (HR. Bukhari no. 32 dan Muslim no. 1677)
Harga Darah Seorang Muslim
Membunuh seorang muslim adakalanya dengan cara yang dibenarkan dan adakalanya tidak demikian. Membunuh dengan cara yang dibenarkan adalah jika pembunuhan tersebut melalui qishash atau hukuman had. Sedangkan membunuh tidak dengan cara yang benar bisa saja secara sengaja atau pun tidak.
Mengenai pembunuhan dengan cara sengaja, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An Nisa’: 93)
Begitu pula Allah menyebutkan siksaan yang begitu pedih dan berlipat-lipat dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا , يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا , إِلا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Furqan: 68-70)
Masalah darah adalah masalah antar sesama yang akan diselesaikan pertama kali di hari perhitungan nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِى الدِّمَاءِ
“Perkara yang pertama kali akan diperhitungkan antara sesama manusia pada hari kiamat nanti adalah dalam masalah darah.” (HR. Bukhari no. 6864 dan Muslim no. 1678)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan.” Kemudian ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, apa dosa-dosa tersebut? ” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan (di antaranya), “Berbuat syirik, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa jalan yang benar, memakan hasil riba …” (HR. Bukhari no. 6857 dan Muslim no. 89)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Musnahnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbutuhnya seorang muslim.” (HR. Muslim, An Nasa’i dan At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2439, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الأَرْضِ اِشْتَرَكُوْا فِي دَمِّ مُؤْمِنٍ لَأَكَّبَهُمُ اللهُ فِي النَّارِ
“Seandainya penduduk langit dan bumi bersekongkol untuk membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan menelungkupkan mereka ke dalam neraka.” (HR. At Tirmidzi. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2442, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih lighoirihi)
Dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا فَاغْتَبَطَ بِقَتْلِهِ لَمْ يَقْبَلِ اللهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً
“Barangsiapa membunuh seorang mukmin lalu dia bergembira dengan pembunuhan tersebut, maka Allah tidak akan menerima amalan sunnah juga amalan wajibnya.” (HR. Abu Daud. Shahih At Targhib wa At Tarhib no.2450, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, 6/252)
Adapun untuk pembunuhan terhadap seorang mukmin secara tidak sengaja, maka Allah telah memerintahkan untuk membayar diat dan kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tidak sengaja, dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An Nisaa’: 92)
Balasan bagi Seorang Muslim yang Bunuh Diri
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا , وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. An Nisa’: 29-30)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Contohnya adalah orang yang mati bunuh diri karena mencekik lehernya sendiri atau mati karena menusuk dirinya dengan benda tajam. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الَّذِى يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُهَا فِى النَّارِ ، وَالَّذِى يَطْعُنُهَا يَطْعُنُهَا فِى النَّارِ
“Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan benda tajam, maka di neraka dia akan menusuk dirinya pula dengan cara itu.” (HR. Bukhari no. 1365)
Hukum Membunuh Orang Kafir
Orang-orang kafir yang haram untuk dibunuh adalah tiga golongan:
- Kafir dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah/upeti yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin)
- Kafir mu’ahad (orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati)
- Kafir musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin).
Sedangkan orang kafir selain tiga di atas yaitu kafir harbi, itulah yang boleh diperangi.
Berikut kami tunjukkan beberapa dalil yang menunjukkan haramnya membunuh tiga golongan kafir di atas secara sengaja.
[Larangan membunuh Kafir Dzimmi yang telah menunaikan jizyah]
Allah Ta’ala berfirman,
قَاتِلُوا الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلا بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Qs. At Taubah: 29)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. “ (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Larangan membunuh Kafir Mu'ahad yang telah membuat kesepakatan untuk tidak berperang]
Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Dosa orang yang membunuh kafir mu’ahad tanpa melalui jalan yang benar”. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)
[Larangan Membunuh Kafir Musta'man yang telah mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin]
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Qs. At Taubah: 6)
Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ
“Dzimmah kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun).” (HR. Bukhari dan Muslim)
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan dzimmah dalam hadits di atas adalah jaminam keamanan. Maknanya bahwa jaminan kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui). Oleh karena itu, siapa saja yang diberikan jaminan keamanan dari seorang muslim maka haram atas muslim lainnya untuk mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam jaminan keamanan.” (Syarh Muslim, 5/34)
Adapun membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian dengan kaum muslimin secara tidak sengaja, Allah Ta’ala telah mewajibkan adanya diat dan kafaroh sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An Nisaa’: 92)
Setan Akan Merasuk Melalui Dua Pintu
Pada dasarnya setan akan merasuk ke dalam tubuh seorang muslim melalui dua pintu, dengan maksud membujuk dan menyesatkan mereka.
Pintu pertama, ditemukan pada orang yang sering lalai dan gemar berbuat maksiat. Setan akan memasukinya melalui pintu maksiat dan syahwat. Setan akan menghiasi manusia melalui jalan ini sehingga mereka akan semakin jauh dari ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.
Pintu kedua, ditemukan pada orang yang taat beragama lagi ahli ibadah. Setan akan memasukinya melalui pintu bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama dan sikap melampaui batas. Setan akan menghiasinya bahwa perbuatan ghuluw yang dia lakukan adalah baik, dengan tujuan agar agamanya rusak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela perbuatan ghuluw sebagaimana yang menimpa ahli kitab. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلا الْحَقَّ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (Qs. An Nisa’: 171)
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَ الغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Jauhilah sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama karena penyebab hancurnya umat-umat sebelum kalian adalah karena ghuluw dalam beragama.” (HR. Al Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Memperturutkan Hawa Nafsu dan Mengikuti Ayat yang Masih Samar
Di antara bentuk tipu daya setan untuk orang-orang yang selalu bertindak ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama adalah setan menghiasi mereka agar memperturutkan hawa nafsu. Mereka akhirnya salah dalam beragama dan enggan bertanya pada para ulama. Oleh karena itu, mereka tidak memperoleh ilmu dan keyakinan yang benar serta jauh dari petunjuk para ulama sehingga mereka tetap berada dalam kesesatan dan tertipu oleh bujuk rayu setan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (Qs. Muhammad: 14)
Allah Ta’ala juga berfirman,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (Qs. Ali Imran: 7)
Syeikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di -rahimahullah- menjelaskan, “Yang dimaksud ayat muhkam di sini adalah ayat yang jelas maknanya, tidak ada di dalamnya kesamaran dan kerancuan. Dan ayat muhkam inilah tempat rujukan bagi ayat-ayat yang masih samar (mutasyabih). Ayat muhkam inilah yang mendominasi dan paling banyak dalam Al Qur’an.”
Lalu Syeikh As Sa’di –semoga Allah selalu merahmati beliau- menjelaskan pula, “Di antara ayat-ayat Al Qur’an juga ada yang mutasyabih (masih samar). Kesamaran ini terjadi pada kebanyakan orang karena masih mujmal (global)-nya ayat tersebut. Atau mungkin tertangkap pada sebagian benak orang, namun bukan makna tersebut yang dimaksudkan.
Ringkasnya, dalam Al Qur’an ada ayat-ayat yang bersifat muhkam, jelas maknanya bagi setiap orang. Namun ada pula ayat yang masih samar bagi sebagian orang. Maka wajib bagi setiap muslim untuk membawa ayat-ayat mutasyabih (yang masih samar) kepada ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya). Jika jalan seperti ini yang ditempuh, maka setiap ayat akan saling menjelaskan satu dan lainnya, sehingga tidak mungkin ada ayat-ayat yang saling bertentangan.”
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas, beliau pun bersabda,
فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ، فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ ، فَاحْذَرُوهُمْ
“Jika engkau melihat ada orang yang mengikuti hal yang masih samar (mutasyabih), inilah orang-orang yang Allah sebut telah menyimpang. Oleh karena itu, waspadalah terhadap orang-orang semacam itu.” (HR. Bukhari no. 4547 dan Muslim no. 2665)
Agar mendapat petunjuk, kembalilah pada ulama. Hal ini dibuktikan pada kisah 2000 orang Khawarij yang mengikuti petunjuk orang yang berilmu yakni Ibnu ‘Abbas sehingga mereka pun selamat dan sisanya yang tidak mau mengikuti akhirnya ditumpas karena berpaham sesat. Jadi dengan ilmu dan mau mengikuti arahan para ulama, itulah yang akan membuat setiap muslim terselamatkan dari kejahatan dan musibah.
Allah Ta’ala sendiri telah memerintahkan kita untuk bertanya pada orang yang berilmu jika kita tidak mengetahui, di antara contohnya adalah kita meminta penjelasan mereka mengenai ayat yang masih samar di benak kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. An Nahl: 43)
Penutup
Hendaklah setiap muslim merasa takut kepada Allah apalagi dalam masalah darah seorang muslim dan masalah orang yang tidak pantas ditumpahkan darahnya.
فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Al Baqarah: 24)
Rujukan:
- Biayyi ‘Aqlin wa Diinin Yakuunu At Tafjiiru wa At Tadmiiru Jihaadan [?], Syeikh Abdul Muhsin bin Hamad Al Abbad Al Badr, http://islamspirit.com
- Shahih At Targhib wa At Tarhib, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif – Riyadh
- Syarh Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam
- Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Syeikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuas
Akar Terorisme di Tubuh Umat (bag. 1)
Terorisme seringkali ditudingkan kepada umat Islam. Sebagian orang yang cemburu kepada agamanya mengira bahwa tudingan itu hanya sekedar propaganda barat untuk menjatuhkan harga diri kaum muslimin di mata dunia internasional. Sehingga mereka senantiasa menuduh barat (baca: Amerika, khususnya Yahudi) sebagai dalang di balik semua peristiwa semacam ini. Sebagian lagi justru sebaliknya, mengira bahwa terorisme -dengan melakukan pengeboman di tempat-tempat umum- merupakan bagian dari jihad fi sabilillah dan tergolong amal salih yang paling utama. Sehingga mereka beranggapan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah sosok mujahid dan mati syahid. Itulah sekilas dua cara pandang yang bertolak belakang mengenai berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di negeri-negeri Islam atau di negeri kafir yang banyak menelan korban warga sipil.
Terlepas dari apa yang mereka sangka, sebenarnya kita bisa melihat dengan kaca mata yang adil dan objektif bahwa di samping adanya makar musuh-musuh Islam dari luar, sebenarnya kita juga menghadapi musuh-musuh dalam selimut yang berupaya meruntuhkan kekuatan umat dari dalam. Salah satu di antara mereka adalah sekte Khawarij di masa silam dan para penganut pemikiran sekte tersebut di masa kini yang gemar melakukan aksi teror dengan mengatasnamakan jihad. Mereka menampakkan diri sebagai kaum muslimin yang punya komitmen terhadap agama, berpenampilan seperti layaknya orang-orang salih dan taat, dan bersikap seakan-akan membela ajaran Islam, namun sebenarnya mereka sedang melakukan upaya penghancuran Islam dari dalam, sadar ataupun tidak!
Sejarah Hitam Sekte Khawarij
Tidakkah kita ingat sejarah hitam kaum Khawarij yang diabadikan di dalam kitab-kitab hadits? Sebuah sekte yang diperselisihkan status keislamannya oleh para ulama (yang kuat mereka tidak dikafirkan, lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/390 dan 393]). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ciri khas pandai membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, suka mengusung slogan keadilan dan pembelaan rakyat yang tertindas guna menghalalkan pemberontakan kepada penguasa muslim. Berawal dari kedangkalan berpikir mereka, akhirnya hal itu menyeret mereka ke jurang kebid’ahan yang mengerikan. Mereka bunuhi umat Islam sementara para pegiat kemusyrikan justru mereka biarkan.
Munculnya sosok pengacau yang bengis namun berpenampilan salih seperti itu pernah terjadi di masa hidup Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma. Ketika itu, ada sebagian penduduk Bashrah yang terseret pemahaman Qadariyah -menolak takdir- yang diusung oleh sekelompok orang yang pandai membaca al-Qur’an dan memiliki banyak wawasan keilmuan dengan tokoh mereka Ma’bad al-Juhani, sebagaimana disebutkan di bagian awal kitab al-Iman dalam Shahih Muslim. Yahya bin Ya’mar -sang periwayat hadits ini- mengadukan problematika umat yang terjadi di masyarakatnya kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma,
أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ – وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ – وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لاَ قَدَرَ وَأَنَّ الأَمْرَ أُنُفٌ
“Wahai Abu Abdirrahman! Sesungguhnya di tengah-tengah kami muncul sekelompok orang yang suka membaca al-Qur’an dan mengumpulkan berbagai jenis ilmu -lalu dia menceritakan sebagian keadaan mereka lainnya- namun mereka menyangka bahwa takdir itu tidak ada dan segala urusan terjadi dengan sendirinya.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim. Cet. 1427 penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.27)
Nah, berikut ini kami nukilkan sebagian hadits yang mengisahkan tentang kekejian manhaj kaum Khawarij dan sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat dalam menghadapi mereka. Agar jelas bagi siapa saja bahwa sikap ulama Ahlus Sunnah as-Salafiyun dalam memerangi Khawarij dan pemikiran mereka bukanlah karena motif menjilat penguasa atau mencari muka di hadapan mereka, namun hal itu mereka lakukan semata-mata demi ‘melanjutkan kehidupan Islam’ sebagaimana yang mereka inginkan, dan tentu saja dengan cara meneladani metode perjuangan generasi terbaik dari umat ini.
Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,
أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِى ثَوْبِ بِلاَلٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِى النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ. قَالَ « وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ». فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنه دَعْنِى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ. فَقَالَ « مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّى أَقْتُلُ أَصْحَابِى إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ».
“Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ji’ranah -nama tempat- sepulangnya beliau dari -peperangan- Hunain, ketika itu di atas kain Bilal terdapat perak yang diambil sedikit demi sedikit oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibagikan kepada orang-orang. Kemudian lelaki itu mengatakan, ‘Hai Muhammad, berbuat adillah!’. Maka Nabi menjawab, ‘Celaka kamu! Lalu siapa lagi yang mampu berbuat adil jika aku tidak berbuat adil. Sungguh kamu pasti telah celaka dan merugi jika aku tidak berbuat adil.’ Maka Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu berkata, ‘Biarkanlah saya wahai Rasulullah untuk menghabisi orang munafiq ini.’ Maka beliau bersabda, ‘Aku berlindung kepada Allah, jangan sampai orang-orang nanti mengatakan bahwa aku telah membunuh para sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar darinya sebagaimana keluarnya anak panah yang menembus sasaran bidiknya.’” (HR. Muslim)
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/389] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Sesungguhnya di belakang orang ini akan muncul suatu kaum yang rajin membaca al-Qur’an namun tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka membunuhi umat Islam dan justru meninggalkan para pemuja berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari sasaran bidiknya. Apabila aku menemui mereka, niscaya aku akan membunuh mereka dengan cara sebagaimana terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Di dalam hadits ini terkandung dorongan untuk memerangi mereka -yaitu Khawarij- serta menunjukkan keutamaan Ali radhiyallahu’anhu yang telah memerangi mereka.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/391] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)
Mereka bukanlah orang yang malas beribadah, bahkan mereka adalah sosok yang menakjubkan dalam ketekunan dan kesungguhan beribadah. Namun di sisi yang lain, mereka telah menyimpang dari manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sehingga membuat mereka layak menerima ancaman dan hukuman yang sangat-sangat berat, yaitu hukum bunuh!
Dalam teks riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka,
فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ
“Sesungguhnya orang ini -Dzul Khuwaishirah, gembong Khawarij, pent- akan memiliki pengikut-pengikut yang membuat salah seorang di antara kalian meremehkan sholatnya apabila dibandingkan dengan sholat mereka, dan meremehkan puasanya apabila dibandingkan dengan puasa mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di akhir masa ini nanti sekelompok orang yang umurnya masih muda-muda dan lemah akalnya. Apa yang mereka ucapkan adalah perkataan manusia yang terbaik. Mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama seperti halnya anak panah yang melesat dari sasaran bidiknya. Apabila kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya dengan terbunuhnya mereka maka orang yang membunuhnya itu akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Hadits ini menegaskan wajibnya memerangi Khawarij dan pemberontak negara, dan hal itu merupakan perkara yang telah disepakati oleh segenap ulama.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/397] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)
Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu -salah seorang bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- menceritakan bahwa ketika terjadi pemberontakan kaum Haruriyah (Khawarij) sedangkan saat itu dia bersama pihak Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, mereka -kaum Khawarij- mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Maka Ali bin Abi Thalib pun menanggapi ucapan mereka dengan mengatakan, “Itu adalah ucapan yang benar namun dipakai dengan maksud yang batil…” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)
Dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan tentang betapa buruknya mereka,
هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ
“Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu)
Keamanan Adalah Nikmat yang Harus Disyukuri
Ketahuilah saudaraku -semoga Allah membimbing kita berjalan di atas jalan yang lurus- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membuat keonaran dan kekacauan di masyarakat. Nabi memerintahkan untuk taat kepada penguasa muslim selama bukan dalam hal maksiat dan melarang rakyat memberontak kepada mereka sezalim apapun mereka -selama mereka masih sholat dan tidak melakukan kekafiran yang nyata yang kita memiliki bukti yang sangat jelas atasnya- serta melarang dari tindakan mengobral aib-aib pemerintah di muka umum. Itu semua disyari’atkan demi terpeliharanya sebuah nikmat yang agung yaitu stabilitas keamanan negara dan ketentraman umum.
Keamanan adalah nikmat yang agung dan harus dipelihara, tidakkah kita ingat doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada Rabbnya,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ
“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini aman tentram, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung…’” (Qs. Ibrahim: 35)
Yang dimaksud ‘negeri’ dalam ayat di atas adalah tanah suci Mekah (lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Aayil Qur’an [17/ 17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)
Doa meminta keamanan ini pun dikisahkan di dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa; ‘Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini aman tentram dan curahkanlah rezeki kepada penduduknya dari berbagai jenis buah-buahan, yaitu kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara mereka…’” (Qs. al-Baqarah: 126)
Maka Allah pun kabulkan doa beliau, sebagaimana dalam firman-Nya,
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ
“Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok.” (Qs. al-Ankabut: 67)
Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah meriwayatkan dari Mujahid tentang tafsiran surat Ibrahim ayat 35 di atas bahwa beliau mengatakan, “…Allah mengabulkan doa beliau, yaitu dengan menjadikan negeri tersebut (Mekah) aman, mencurahkan rezeki kepada penduduknya dengan berbagai jenis buah-buahan, menjadikan beliau sebagai sosok imam/pemimpin teladan, menjadikan keturunanannya sebagai orang yang mendirikan sholat, dan Allah pun mengabulkan permintaannya…” (Jami’ al-Bayan [17/17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)
Allah juga memerintahkan untuk mensyukuri nikmat keamanan dengan beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman,
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ
“Maka hendaknya mereka beribadah kepada Rabb pemilik rumah/Ka’bah ini, yaitu yang telah memberikan makanan kepada mereka sehingga terbebas dari kelaparan, dan memberikan keamanan kepada mereka sehingga terlepas dari cekaman ketakutan.” (Qs. Quraisy: 3-4)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengaruniakan kepada mereka keamanan dan murahnya segala sesuatu diperoleh di sana, maka semestinya mereka mengesakan-Nya semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah dan tidak justru menyembah kepada selain-Nya, entah itu berujud patung, sesembahan tandingan, ataupun berhala dalam bentuk apa saja.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/593] cet. 1417 Penerbit Dar al-Fikr)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Rezeki yang melimpah ruah dan rasa aman dari cekaman ketakutan termasuk nikmat keduniaan yang paling besar, yang sudah semestinya melahirkan sikap dan perilaku bersyukur kepada Allah ta’ala.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1305] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Maka ayat yang mulia di atas mengajarkan kepada kita untuk mensyukuri nikmat keamanan, sedangkan bentuk syukur yang paling agung -bahkan yang menjadi pokoknya- adalah dengan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam beribadah. Termasuk dalam realisasi rasa syukur ini adalah dengan memelihara keamanan dan tidak merusaknya dengan berbagai bentuk teror dan kekacauan.
Oleh karena itulah, dakwah tauhid yang diserukan oleh para ulama Ahlus Sunnah di sepanjang jaman senantiasa memperhatikan hal ini yaitu terjaganya keamanan dan ketentraman umum serta keselamatan umat dari kekacauan politik dan sosial serta menyingkirkan ambisi-ambisi pribadi atau golongan yang ingin meraih tampuk kekuasaan -walaupun dengan tujuan memberantas kemungkaran-. Sebab dengan stabilitas keamanan itulah akan muncul manfaat yang meluas bagi masyarakat secara umum dan umat Islam pada khususnya, dan Ahlus Sunnah terlebih khusus lagi.
Tidakkah anda ingat kisah kesabaran Imam Ahmad bin Hanbal -salah seorang imam Ahlus Sunnah- semoga Allah merahmatinya? Beliau rela disiksa dan menahan kejamnya hukuman penguasa yang zalim. Beliau tidak mengajak ribuan pengikutnya untuk berdemonstrasi serta memberontak kepada penguasa tatkala itu, padahal beliau berada di pihak yang benar. Karena tekanan itu pula, beliau terpaksa mendekam di dalam penjara selama tiga masa pemerintahan. Ingatlah juga, kesabaran para sahabat ketika menghadapi kekejaman al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Kenapa penderitaan yang sedemikian berat itu rela mereka tanggung? Hal itu tidak lain dikarenakan mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa maslahat yang didapatkan dengan tidak memberontak dan tetap berada di bawah satu kepimpinan yang sah dan diakui merupakan salah satu sebab utama keamanan dan stabilitas negara.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang fajir dan siapa pun yang menduduki tampuk khilafah, yang umat manusia telah bersatu di bawah kekuasaannya dan ridha kepadanya. Demikian juga terhadap orang yang berhasil menggulingkan kekuasaan mereka dengan pedang/senjata sehingga merebut posisi khalifah dan dijuluki sebagai Amirul Mukminin.” (Ushul as-Sunnah yang dicetak bersama Syarah Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafzihahullah, hal. 51 Penerbit Dar al-Minhaj cet. 1428 H)
Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu’anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah! Bagaimana pendapat anda jika ada pemimpin-pemimpin yang menguasai kami yang meminta agar hak-hak mereka dipenuhi namun mereka menghalangi kami dari mendapatkan hak-hak kami, maka apakah yang anda perintahkan kepada kami di saat seperti itu?” Maka beliau pun berpaling darinya. Lalu dia pun bertanya kembali kepada beliau dan beliau pun berpaling darinya. Lalu dia bertanya untuk kedua atau ketiga kalinya maka al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu’anhu pun menariknya seraya mengatakan (ketika itu Nabi hadir dan tidak mengingkari ucapannya, pent),
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Tetaplah kamu mendengar dan taat. Sesungguhnya dosa yang mereka lakukan itu adalah tanggungan mereka, dan wajib bagi kalian menunaikan apa yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Dalam hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan bahwa akan muncul sesudah beliau wafat para pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan Sunnah beliau. Di antara mereka terdapat orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan yang menjelma di dalam tubuh manusia. Mendengar hal itu Huzdaifah pun bertanya, “Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah, jika saya menemui hal itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya- bersabda,
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Tetaplah kamu mendengar dan patuh kepada pemimpin, meskipun punggungmu harus dipukuli dan hartamu diambil. Kamu harus bersikap mendengar dan patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi bersabda,
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ « لاَ مَا صَلَّوْا ». أَىْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ.
“Sesungguhnya akan menguasai kalian pemimpin-pemimpin yang kalian kenali kekeliruan mereka dan kalian pun mengingkarinya. Barang siapa yang membenci hal itu sungguh dia telah berlepas diri darinya. Dan barang siapa yang mengingkari sungguh telah selamat. Akan tetapi yang salah ialah apabila orang justru meridhai dan setia mengikuti kekeliruannya.” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya kami perangi saja mereka itu?” Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih melaksanakan sholat.” Arti ungkapan di atas adalah, “Barang siapa yang membenci dengan hatinya dan mengingkari dengan hatinya.” (HR. Muslim)
an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak mampu menghilangkan kemungkaran maka dia tidak berdosa semata-mata karena dia bersikap diam. Akan tetapi dia menjadi berdosa apabila dia meridhainya, tidak mau membencinya dengan hati, atau justru dengan setia mengikutinya.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [6/485] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)
Camkanlah hadits-hadits di atas baik-baik, wahai para pemuda!
Pikirkanlah masak-masak dampak yang akan muncul di esok hari sebagai akibat dari tindakan kita…
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Akar Terorisme di Tubuh Umat (bag. 2)
Menyingkirkan Gangguan dari Jalan Merupakan Bagian Iman
Iman itu memiliki pokok dan cabang-cabang. Ia bisa bertambah hingga mencapai taraf kesempurnaan. Dan ia juga bisa berkurang hingga menghilang dari diri seseorang. Semakin besar ketaatan yang dilakukan dan kemaksiatan yang ditinggalkan maka iman akan bertambah berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas amalan. Semakin besar kemaksiatan yang dilakukan dan kewajiban yang ditinggalkan maka iman akan berkurang berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas kemaksiatan. Syari’at Islam yang indah ini telah menjadikan tauhid sebagai pokok keimanan, ucapan yang sopan dan menjauhkan dari segala sebab yang dapat mencelakakan sebagai cabang-cabang dan penyempurna baginya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ini adalah lafaz Muslim)
Kalau menyingkirkan gangguan semisal duri dari jalan merupakan bagian dari iman, sebuah amal salih yang diperintahkan, maka bagaimanakah lagi dengan menyelamatkan nyawa-nyawa manusia yang terancam oleh ledakan bom yang bukan pada tempatnya?!
Sebagaimana halnya rasa malu menjadi bagian dari iman. Rasa malu itulah yang akan mencegah manusia dari melakukan hal-hal yang menjatuhkan kehormatan mereka. Berbeda keadaannya dengan orang yang telah menipis atau lenyap rasa malunya, maka maksiat terang-terangan seperti pamer aurat (baca: tidak mengenakan jilbab dengan benar) dan meninggalkan sholat pun seolah-olah perkara yang ringan dan biasa.
Kita tidak hanya bersedih dengan teror yang dilakukan oleh sebagian pemuda ingusan dengan bom bunuh diri dan aksi-aksi perusakan ala berandalan. Namun, kita juga bersedih dengan aksi ‘teror’ bertubi-tubi yang dilakukan oleh para wanita tak tahu malu yang berjalan kesana kemari, mengobral harumnya minyak wangi di tengah kaum lelaki dan memajang aurat-aurat mereka di layar-layar televisi. Kalau teror yang pertama merusak agama pelakunya dan merenggut nyawa orang lain, maka teror yang kedua ini merusak akhlak para pemuda dan menyeret dirinya sendiri ke jurang kenistaan. Aduhai, betapa banyak pemuda dan pemudi yang terjerumus ke dalam dua jurang tersebut. Wahai Rabb kami, sesungguhnya keduanya telah menyesatkan banyak orang, maka jauhkanlah kami dan anak keturunan kami darinya…
Tipu Daya Syaithan
Saudaraku, ada satu hal yang perlu kita ingat baik-baik. Sesungguhnya syaitan yang bersumpah untuk menyesatkan dan menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus tidak hanya memiliki satu jurus untuk melemahkan lawannya. Seribu satu trik dan cara akan dia tempuh untuk mengajak umat manusia agar bersama-sama dengannya menjadi penghuni tetap neraka Jahannam. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya dia hanya akan mengajak kelompok/pengikutnya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Fathir: 6)
Salah satu bentuk tipu daya syaithan kepada bani Adam adalah dengan menghias-hiasi kebatilan dan kemaksiatan agar tampak seolah-olah sebagai kebenaran dan kebaikan. Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka itu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan nafsu.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)
Bahkan, Allah ta’ala juga telah memberitakan dalam firman-Nya,
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Maka apakah sama orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatannya itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Fathir: 8)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Syaithan menghias-hiasi perkara buruk dan memperindahnya di mata manusia ‘lalu menganggap baik perbuatan itu’ dibandingkan dengan orang yang diberi petunjuk oleh Allah menuju jalan dan agama yang lurus, apakah sama antara ini dengan itu? Orang yang pertama, melakukan kejelekan namun melihat kebenaran sebagai kebatilan dan melihat kebatilan sebagai kebenaran. Orang yang kedua, melakukan kebaikan dan melihat kebenaran sebagai kebenaran, dan batil tetap sebagai kebatilan…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/944] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Seperti contohnya, kejadian yang menimpa sebagian pemuda yang terbius oleh paras yang elok dan menawan. Ada di antara mereka yang mengangankan bahwa kecintaan dan kasih sayangnya kepada seorang amrad (pemuda yang belum tumbuh rambut wajahnya atau yang wajahnya mirip perempuan) atau kepada seorang perempuan bukan mahram (baca: pacarnya) semata-mata dia lakukan ikhlas karena Allah ta’ala, bukan untuk melakukan kekejian, dan dia hanya ingin berteman atau menjalin persaudaraan dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk bentuk tipu daya syaithan. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka perbuat dengan menyukai rupa-rupa tersebut, mencium, atau bersenang-senang dengan memandanginya adalah ikhlas karena Allah. Mereka menganggapnya sebagai pendekatan diri kepada Allah, ketaatan kepada-Nya dan bentuk akhlak mulia. Padahal, sesungguhnya keyakinan mereka itu merupakan kesesatan dan penyimpangan yang paling besar dan pemutarbalikan ajaran agama. Mereka menganggap sesuatu yang dibenci Allah sebagai sesuatu yang disukai-Nya. Perbuatan mereka itu tergolong syirik dan termasuk dalam kategori mengangkat thaghut sebagai sesembahan selain Allah. Bahkan, yang lebih parah lagi -akibat kebodohan mereka yang sangat- mereka menyangka bahwa saling tolong menolong dalam melakukan perbuatan keji itu merupakan bentuk kerjasama dalam kebaikan. Mereka berdalih ingin mendapatkan pahala dengan membantu meringankan kesulitan sesama saudaranya, padahal di balik itu semua tersimpan keinginan-keinginan yang terlarang dan dicela oleh agama! (diambil dengan peringkasan dan sedikit tambahan dari penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya yang menakjubkan Ighatsat al-Lahfan, cet. Dar Thaibah hal. 642)
Apabila golongan pemuda di atas tertipu oleh bujukan syaitan yang bernama syahwat, maka golongan pemuda yang lain -yang menjadi supporter dan partisipan bom bunuh diri- tergoda oleh bujukan syaitan yang bernama syubhat. Mereka mengira bahwa jerih payah mereka dengan membakar semangat para pemuda melalui podium-podium untuk memerangi orang kafir secara membabi buta, dengan merakit bom, merekrut sukarelawan dan menyusun rencana-rencana rahasia, membuat gerakan bawah tanah, menyelundupkan bom ke dalam hotel atau lokasi-lokasi wisata, diuber-uber polisi dan intelejen, dan pada akhirnya meledakkan bom dengan mengatasnamakan agama merupakan sebuah taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah). Sampai-sampai pekik takbir yang biasa terdengar dari lisan penyembelih kurban pun mereka kumandangkan dengan penuh semangat sebagai ungkapan suka cita atas kematian saudaranya dan melayangnya nyawa-nyawa yang tidak tahu-menahu apa-apa. Wallahul musta’aan wa ilaihil musytaka! (Kepada Allah lah kita memohon pertolongan dan mengadukan permasalahan)
Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membunuh seorang mu’ahad (orang kafir yang dilindungi oleh ikatan perjanjian dari pemerintah muslim, pent) maka dia tidak akan mencium baunya surga. Padahal baunya bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhuma)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai hukuman aksi bunuh diri,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu maka kelak dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin adh-Dahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Alangkah tepat gambaran yang diberikan Allah ta’ala tentang orang-orang seperti mereka,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usaha mereka di dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa mereka sedang melakukan kebaikan yang semestinya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)
Seperti itu pulalah yang terjadi pada pelopor kebid’ahan di masa silam semisal Khawarij dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka di sepanjang masa. Mereka mengira sedang menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman. Padahal, sebenarnya mereka itulah orang-orang yang menebarkan kerusakan dan kezaliman di alam semesta. Mereka mengaku membela agama, padahal tindakan mereka justru merobohkan dan mencemarinya. Mirip sekali karakter orang-orang seperti ini dengan sifat kaum munafikin yang diceritakan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian melakukan perusakan di atas muka bumi.’ Maka mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami ini hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah para perusak, akan tetapi mereka tidak menyadari.” (Qs. al-Baqarah: 11-12)
Reaksi yang Salah
Dengan mencermati beberapa keterangan di atas, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa salah satu sebab utama munculnya aksi-aksi bom bunuh diri dan perusakan tempat-tempat umum dengan mengatasnamakan jihad adalah racun pemikiran Khawarij yang bercokol di dada sebagian pemuda yang ‘cetek’ pemahaman agamanya. Mereka sama sekali tidak berjalan di bawah bimbingan para ulama Rabbani. Semangat mereka membara, namun ilmu yang mereka miliki tidak cukup untuk menopang cita-citanya. Niat mereka mungkin baik, namun cara yang mereka tempuh jelas-jelas menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah serta pemahaman salafus shalih.
Akibatnya, musuh-musuh dari luar Islam pun dengan mudah menyamaratakan bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan agama yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka ingin menanamkan kesan kepada publik bahwa siapa saja yang ingin menegakkan kembali syari’at Islam dan tauhid maka mereka pasti identik dengan terorisme dan gemar membuat kekacauan. Oleh sebab itu mereka pun melekatkan gelaran Islam Fundametalis kepada kelompok mana saja yang bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana yang diraih oleh para pendahulu mereka, tidak terkecuali kepada Ahlus Sunnah as-Salafiyun. Sayangnya, sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti juga ikut-ikutan latah menuduh saudaranya yang mengikuti Sunnah Nabi dan berupaya untuk menebarkan dakwah tauhid sebagai aliran sesat dan menyimpang gara-gara penampilan mereka yang mirip dengan tokoh-tokoh teroris yang dimunculkan fotonya di media-media massa. Semata-mata karena beberapa helai jenggot dan secarik cadar maka julukan teroris pun dengan enteng dilekatkan kepada mereka. Padahal memelihara jenggot dan memakai cadar termasuk tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di sini bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakannya secara panjang lebar.
Kembalikan Semuanya Kepada al-Kitab dan as-Sunnah!
Saudaraku sekalian, ternyata isu terorisme ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Di sana bermain kepentingan musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan, dari dalam maupun dari luar. Dari yang terang-terangan memusuhi maupun yang berpenampilan shalih dan shalihah. Maka waspadalah dari penyimpangan pemikiran dan penyikapan yang salah terhadap kenyataan ini. Marilah kita tundukkan akal dan perasaan kita kepada bimbingan Rabb alam semesta yang telah digariskan di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (Qs. an-Nisaa’: 59)
Beribadah kepada Allah tidak cukup dengan modal semangat tanpa ilmu. Bukankah kita masih ingat sebuah kaidah yang ditorehkan oleh Amirul Mukminin fil Hadits Imam Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilm, beliau membuat bab dengan judul yang indah, “Ilmu sebelum berkata dan berbuat”. Dakwah Islam yang diserukan oleh Nabi dan para pengikut setianya bukanlah dakwah yang dibangun di atas kejahilan/kebodohan, namun ia adalah dakwah yang ditegakkan di atas bashirah/ilmu. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah (hai Muhammad): Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas bashirah, demikianlah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku.” (Qs. Yusuf: 108)
Semoga Allah ta’ala berkenan mengampuni dosa-dosa kita, dan menyadarkan para pemuda dari ketergelinciran mereka akibat jeratan syubhat maupun rayuan syahwat. Kepada Allah sematalah kita meminta pertolongan dan perlindungan. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permintaan. Saya pun memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha mulia, semoga Allah membimbing para pemimpin negeri ini untuk menegakkan dakwah tauhid dan memberantas kemusyrikan, mengibarkan panji-panji Sunnah dan meluluh lantakkan sarang-sarang kebid’ahan, menyuburkan negeri ini dengan ketaatan serta membersihkannya dari berbagai kotoran kemaksiatan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Selesai disusun di Yogyakarta,
Kamis, 8 Sya’ban 1430 H
Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya dan kaum muslimin
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Teroris Bukan Mujahid dan Bukan Pula Mujtahid!
Kaum muslimin, semoga Allah membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Di hari-hari ini kita bisa melihat dengan mata kepala kita, bagaimana sejarah perjuangan umat Islam kembali dinodai oleh ulah oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan Islam dan jihad. Dengan seenaknya mereka melakukan tindak pengeboman, penghancuran, serta berupaya untuk mengacaukan ketentraman negeri kaum muslimin dengan kedok jihad dan ijtihad. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.
Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,
Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka
Begitulah kurang lebih keadaan mereka. Dengan tanpa malu-malu, mereka mengaku sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid. Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an! Di manakah akal mereka?
Orang-orang yang salah sangka
Saudaraku sekalian, marilah kita renungkan barang sejenak fenomena yang menyayat hati ini. Para pemuda yang jahil/tidak mengerti syari’at Islam dengan mudahnya ditipu oleh mujahid dan mujtahid gadungan. Sehingga akhirnya nyawa mereka sendiri pun mereka relakan -dengan aksi bom bunuh diri- untuk memperjuangkan apa yang mereka kira sebagai sebuah jihad dan pengorbanan untuk agama. Aduhai, alangkah malang nasib mereka. Tidakkah mereka ingat akan sebuah firman Allah yang menceritakan keadaan orang-orang seperti mereka, yang bersusah payah melakukan suatu usaha dan menyangka telah mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi agamanya. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang paling merugi amalnya. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah melakukan sesuatu kebaikan dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib, ad-Dhahhak dan para ulama lainnya bahwa golongan yang termasuk dalam cakupan ayat ini adalah kaum Haruriyah/Khawarij. Meskipun ayat ini juga mencakup celaan bagi Yahudi dan Nasrani. Sehingga Ibnu Katsir menyimpulkan, “Sesungguhnya ayat ini berlaku umum bagi siapa saja yang beribadah kepada Allah namun tidak di atas jalan yang diridhai Allah. Dia menyangka bahwa dia berada di pihak yang benar dan amalnya akan diterima. Padahal, sebenarnya dia adalah orang yang bersalah dan amalnya tertolak.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/151-152])
Haram bicara agama tanpa ilmu!
Saudaraku sekalian, sesungguhnya kemuliaan Islam ini akan ternoda tatkala orang yang bukan ahlinya berbicara tentang sesuatu yang menyangkut ajaran agama. Tidakkah kita ingat firman Allah ta’ala,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah angkat bicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah)
Ruwaibidhah bukanlah mujtahid. Mujtahid berbicara dengan ilmu, sedangkan Ruwaibidhah berbicara dan berfatwa dengan kejahilan/kebodohan mereka. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim hendak memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian benar maka dia memperoleh dua pahala. Adapun apabila dia akan memutuskan sesuatu lalu berijtihad kemudian tersalah maka dia akan memperoleh satu pahala.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-I’tisham bil Kitab wa Sunnah dari Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhu)
al-Hafizh Ibnu Hajar menukil keterangan dari Ibnul Mundzir, beliau mengatakan, “Seorang hakim yang tersalah itu mendapat pahala sesungguhnya hanyalah apabila dia adalah seorang alim/yang berilmu tentang ijtihad kemudian dia pun berijtihad. Adapun apabila dia bukanlah seorang yang alim/berilmu maka dia tidak mendapatkan pahala.” Bahkan apabila dia nekad memutuskan dan mengeluarkan fatwa tanpa ilmu maka dia berdosa, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebelum menukil ucapan Ibnul Mundzir di atas. Beliau juga menukil keterangan dari al-Khatthabi bahwa seorang yang berijtihad akan diberi pahala jika dirinya memang telah memiliki alat-alat/ilmu untuk berijtihad. Orang seperti itulah yang apabila tersalah masih bisa diberi toleransi (lihat Fath al-Bari [13/364])
Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan -dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).
Terlebih lagi, untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir, dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).
Berbuat dosa kok mengharap pahala?
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang melakukan bom bunuh diri dan menyuruh orang lain untuk bunuh diri? Padahal Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (Qs. an-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu alat/senjata maka dia akan disiksa dengannya kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin ad-Dhahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)
Ketika mengomentari ulah sebagian orang yang nekad melakukan bom bunuh diri dengan alasan untuk menghancurkan musuh, maka Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hanya saja kami katakan, orang-orang itu yang kami dengar melakukan tindakan tersebut, kami berharap mereka tidak disiksa seperti itu sebab mereka adalah orang-orang yang jahil/bodoh dan melakukan penafsiran yang keliru. Akan tetapi, tetap saja mereka tidak memperoleh pahala, dan mereka bukan orang-orang yang syahid dikarenakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak diijinkan oleh Allah, akan tetapi mereka telah melakukan apa yang dilarang oleh-Nya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, dinukil dari al-Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu Utsaimin, hal. 109)
Di manakah letak ilmu pada diri orang yang membunuh nyawa orang kafir tanpa hak? Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah dan Kitab ad-Diyat dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, lafaz ini ada di dalam Kitab al-Jizyah)
al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh kafir mu’ahad- termasuk kategori dosa besar. Meskipun seorang muslim tidak mesti dihukum bunuh sebagai akibat dari kejahatan itu (Faidh al-Qadir [6/251] as-Syamilah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حتَّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلَهَ إلاَّ الله، وأَنَّ مُحَمَّداً رسولُ اللهِ، ويُقيموا الصَّلاةَ ، ويُؤْتُوا الزَّكاةَ ، فإذا فَعَلوا ذلكَ ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهُم وأَموالَهُم، إلاَّ بِحَقِّ الإسلامِ ، وحِسَابُهُم على اللهِ تَعالَى
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan alasan haq menurut Islam, dan hisab mereka terserah pada Allah ta’ala.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah menerangkan bahwa di dalam kata-kata “apabila mereka telah melakukannya maka terjagalah darah dan harta mereka dariku” terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu hartanya boleh diambil dan darahnya boleh ditumpahkan. Dan orang yang dimaksud di dalam hadits ini adalah kafir harbi, yaitu orang kafir yang sedang terlibat peperangan dengan pasukan kaum muslimin. Oleh sebab itu misalnya jika anda mengambil harta seorang kafir harbi maka tidak ada hukuman bagi anda. Adapun orang kafir mu’ahad, kafir musta’man dan kafir dzimmi -ketiganya bukan kafir harbi,pen- maka mereka semua tidak boleh diperangi (lihat Syarah Arba’in, hal. 63)
Berjihadlah!
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya seorang mujahid sejati adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya untuk melakukan ketaatan kepada Allah -termasuk di dalamnya memerangi orang kafir dengan cara yang benar-, bukan dengan melakukan perbuatan dosa dan pelanggaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ
“Orang yang berjihad adalah orang yang berjuang menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu dinilai sahih oleh al-Albani dalam as-Shahihah [549] as-Syamilah)
Tanyakanlah kepada dirimu: Bukankah Nabi melarang membunuh orang kafir tanpa hak? Bukankah kita wajib taat kepada beliau? Bukankah ketaatan kepada Nabi itu pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah? Lalu dengan alasan apa kita menghalalkan darah yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ditumpahkan? Apakah kita merasa berada di atas agama yang lebih baik dan lebih hebat daripada agama yang diajarkan oleh Rasulullah? Jawablah wahai orang-orang yang masih memiliki akal dan hati nurani!
Sejak kapan membunuh orang kafir tanpa hak disebut jihad? Sejak kapan meledakkan gedung-gedung umum yang menimbulkan jatuhnya korban tanpa pandang bulu disebut sebagai jihad? Tanyakanlah kepada mereka yang sok menjadi mujtahid dan membolehkan ‘jihad’ ala teroris semacam itu: ijtihad ulama manakah yang membolehkan seorang muslim membunuh dirinya dan meledakkan bangunan umum yang berakibat melayangnya nyawa-nyawa tak bersalah? Atau barangkali yang mereka sebut sebagai ulama mujtahid itu memang bukan ulama alias Ruwaibidhah? Waspadalah -wahai para pemuda- dari tipu daya, silat lidah, dan penampilan mereka!
Ingatlah, sesungguhnya jihad yang diridhai Allah adalah jihad di jalan-Nya yang lurus, bukan di jalan yang menyimpang. Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang/berjihad di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik/ihsan.” (Qs. al-’Ankabut: 69)
al-Baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata tentang tafsiran ayat ini, “Yaitu orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di dalam ketaatan kepada Kami niscaya Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan untuk meraih pahala dari Kami.” (Ma’alim at-Tanzil [6/256] as-Syamilah)
Maka marilah kita berjihad di atas ketaatan, bukan di atas kedurhakaan!
Hati-hatilah dari al-Qa’adiyah masa kini!
al-Qa’adiyah merupakan salah saktu sekte Khawarij yang memiliki ideologi Khawarij, hanya saja mereka tidak memilih sikap memberontak. Meskipun demikian, mereka menganggap pemberontakan sebagai perkara yang baik, tidak boleh diingkari, bahkan berpahala! Dengan kata lain -dalam bahasa sekarang- mereka menilai bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka -dengan menimbulkan kekacauan dan mengancam penguasa; bom bunuh diri dan semisalnya- bukan perkara yang salah, alias hasil ijtihad yang harus dihargai dan layak untuk diberi pahala [?!] Sampai-sampai salah seorang tokoh mereka di negeri ini berkata, “Menurut saya mereka adalah mujahid. Dan apa yang mereka lakukan itu merupakan hasil ijtihad mereka. Walaupun saya tidak sependapat dengan -hasil ijtihad- mereka.” Inilah ucapan gembongnya Khawarij di negeri ini!
Ketika menjelaskan biografi ringkas Imran bin Hitthan -salah seorang perawi hadits yang terseret paham Khawarij- Ibnu Hajar berkata, “al-Qa’adiyah adalah salah satu sekte dari kelompok Khawarij. Mereka berpendapat sebagaimana pendapat Khawarij, namun mereka tidak ikut melakukan pemberontakan. Akan tetapi mereka menghias-hiasi/menilai baik perbuatan itu.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Sebelumnya, Ibnu Hajar juga menukil ucapan Abul Abbas al-Mubarrid, “Imran bin Hitthan adalah gembong kelompok al-Qa’adiyah dari aliran Shafariyah. Dia adalah khathib/orator dan penya’ir di kalangan mereka.” (Hadyu as-Sari, hal. 577). Imran bin Hitthan inilah yang meratapi kematian Abdurrahman bin Muljam -sang pembunuh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu- dengan untaian bait-bait sya’irnya yang heroik. Dikisahkan bahwa pada akhir hidupnya dia kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan paham Khawarij, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Zakariya al-Mushili di dalam Tarikh al-Mushil (lihat Hadyu as-Sari, hal. 577,578, lihat juga Tahdzib at-Tahdzib [8/128] as-Syamilah)
Ibnu Hajar mengatakan,
والقَعَدية الذين يُزَيِّنون الخروجَ على الأئمة ولا يباشِرون ذلك
“al-Qa’adiyah adalah orang-orang yang menghias-hiasi perbuatan pemberontakan kepada para pemimpin -umat Islam- dan mereka tidak ikut terjun langsung dalam tindakan tersebut.” (Hadyu as-Sari, hal. 614 cet Dar al-Hadits)
as-Syahrastani mengatakan,
كل من خرج على الإمام الحق الذي اتفقت الجماعة عليه يُسمى خارجياً سواء كان الخروج في أيام الصحابة على الأئمة الراشدين أو كان بعدهم على التابعين بإحسان والأئمة في كل زمان
“Setiap orang yang memberontak kepada pemimpin yang sah yang disepakati oleh rakyat sebagai pemimpin mereka maka dia disebut sebagai Khariji (kata tunggal dari Khawarij). Sama saja apakah dia melakukan pemberontakan itu di masa sahabat masih hidup kepada para pemimpin yang lurus atau setelah masa mereka yaitu kepada para tabi’in yang senantiasa mengikuti pendahulu mereka dengan baik serta para pemimpin umat di sepanjang masa.” (al-Milal wa an-Nihal [1/28] as-Syamilah)
Salah satu pemikiran Khawarij yang berkembang saat ini -terutama di kalangan sebagian pemuda Islam yang bersemangat tapi tanpa ilmu- adalah pendapat yang membolehkan -tidak harus- untuk memberontak kepada pemimpin muslim yang zalim (lihat mukadimah kitab al-Khawarij wal Fikru al-Mutajjaddid karya Syaikh Abdul Muhsin bin Nashir al-Ubaikan, hal. 6). Sebagaimana pula keterangan semacam ini pernah kami dengar dari perkataan Syaikh Abdul Malik Ramadhani dalam sebuah rekaman video ceramah beliau ketika memberikan pelajaran kitab asy-Syari’ah karya Imam al-Ajurri.
Inilah sekelumit nasihat dan pelajaran bagi kita semua. Semoga masih ada telinga yang mau mendengar dan hati yang masih mau menerima kebenaran. Sebagian sumber tulisan ini kami ketahui dari buku Madarik an-Nazhar fi as-Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, serta buku Mereka adalah Teroris susunan Ust. Luqman Ba’abduh, semoga Allah menerima amal kita dan mereka, serta mengampuni dosa kita dan mereka.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan karuniakanlah kepada kami ketaatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami yang salah itu salah, dan karuniakanlah kepada kami keteguhan sikap untuk menjauhinya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 17 Sya’ban 1430 H
***
Penulis: Ustadz Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Solusi Menghadapi Terorisme (Solusi 1-2)
Oleh: Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
Berikut ini, kami akan mengetengahkan kepada para pembaca, beberapa solusi yang merupakan dasar-dasar penting dalam menanggulangi masalah terorisme dan bagaimana cara menjaga negara dan masyarakat dari bahaya terorisme tersebut.
Satu : Menyeru kaum muslimin untuk berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dan kembali kepada keduanya dalam segala perkara.
Tidak diragukan bahwa kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah kesejahteraan dan kemulian umat,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thoha : 123-124)
Dan berpegang teguh kepadanya adalah tonggak keselamatan dan benteng dari kehancuran,
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” (QS. Ali ‘Imran : 103)
Dan segala masalah yang dihadapi oleh umat akan bisa terselesaikan dengan merujuk kepada Al-Qur‘an dan As-Sunnah,
“Tentang sesuatu apapun kalian berselisih maka putusannya kembali kepada Allah.” (QS. Asy-Syûra : 10)
Al-Qur‘an dan As-Sunnah adalah kebenaran mutlak yang merupakan rahmat dan kebaikan untuk seluruh manusia. Segala kebaikan telah dijelaskan dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah, demikian pula segala kejelekan diterangkan obat dan penyelesaiannya dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Siapa-siapa yang berpegang dengannya, maka merekalah yang akan dijayakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam hadits ‘Umar bin Khaththôb radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَيَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat (derajat) suatu kaum karena kitab ini dan merendahkan yang lainnya karenanya.” [1]
Dua : Penegasan wajibnya memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf Shôlih.
Para shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik mereka itulah yang disebut Salaf Shôlih. Para shahabat adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk mendampingi Rasul-Nya dalam menyebarkan dan memperjuangkan agama ini. Mereka adalah orang-orang yang paling memahami Al-Qur‘an dan As-Sunnah; kandungan, maksud, penafsiran, penempatan dan pendalilannya. Karena itu telah datang nash-nash yang sangat banyak menjelaskan kewajiban mengikuti jalan mereka dan menempuh agama di atas cahaya mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa keridhaan dan sorga hanyalah didapatkan oleh orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka sorga-sorga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 100)
Dan Allah menjadikan keimanan para shohabat sebagai lambang kebenaran dan petunjuk,
“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kalian). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqorah : 137)
Bahkan Allah ‘Azza Dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memuji tiga generasi pertama umat ini dalam sabdanya,
خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya”. [2]
Bahkan lebih dari itu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyatakan,
النُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ النُجُوْمُ أَتَى السَّمَاءُ مَا تُوْعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ وَأَصْحَابِيْ أَمَنَةٌ لأُمَّتِيْ فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِيْ أَتَى أُمَّتِيْ مَا يُوْعَدُوْنَ
“Bintang-bintang adalah kepercayaan bagi langit, bila bintang telah lenyap maka akan datang kepada langit apa yang diancamkan terhadapnya. Dan saya adalah kepercayaan bagi shahabatku, jika saya telah pergi maka akan datang kepada shahabatku apa yang diancamkan terhadapnya. Dan para shahabatku adalah kepercayaan umatku, bila para shahabatku telah pergi, maka akan datang kepada umatku apa yang diancamkan terhadapnya.” [3]
Dan kita diperintah untuk merujuk kepada pemahaman mereka pada saat terjadi perselisihan atau fitnah, sebagaimana dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً ذَرِفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُوْلُ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهُدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى الله وَالسَّمْعَ وَالطَّاعَةَ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهْدِيْيِنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“(Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) menasehati kami dengan suatu nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata kami berlinang dan hati-hati kami bergetar. Maka seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Saya mewasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan agar kalian mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun yang menjadi (pemimpin) atas kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena sesungguhnya siapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan kepada sunnah para khalifah yang mendapat hidayah dan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah terhadap perkara yang baru dalam agama. Karena sesungguhnya semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.” [4]
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Telah tetap kewajiban mengikuti para ‘ulama Salaf rahmatullahi ‘alaihim berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan di kalangan ulama)…” [5]
[1] Hadits riwayat Muslim no. 817 dan Ibnu Majah no. 218.
[2] Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 2652, 3651, 6429, 6658, Muslim no. 2533, At-Tirmidzy no. 3868 dan Ibnu Majah no. 2362. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhary no. 2651, 3659, 6428, 6695, Muslim no. 2553, Abu Daud no. 2657, At-Tirmidzy no. 2226-2227, 2307 dan An-Nasa`i 7/17 dari ‘Imran bin Al-Hushain radhiyallahu ‘anhu. Dan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 2534. Serta dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Muslim no. 2536.
[3] Hadits Abu Mûsa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 2531.
[4] Hadits riwayat Ahmad 4/ 126, Ad-Darimy no. 95, Abu Daud no. 4607, At-Tirmidzy no. 2681, Ibnu Majah no. 42-44, Ibnu Hibban no. 5, Al-Hakim 1/96-97, Ath-Thobarany 18/no. 617-624, 642 dan dalam Al-Ausath 1/no. 66, Al-Baihaqy 10/114, Tammam dalam Fawa`id-nya no. 255, 355, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/220-221, 10/114-115 dan dalam Syu’abul Îman 6/66 dan Al-Lalaka`iy dalam Syarah Ushûl I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/74 no. 79. Dishohîhkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohîhah no. 937, 2735 dan Al-Wadi’iy dalam Ash-Shohîh Al-Musnad 2/75-76 (cet. Pertama).
[5] Baca Dzammut Ta`wîl hal. 28-36.
Sumber: http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/solusi-menghadapi-terorisme-solusi-1-2.html
Solusi Menghadapi Terorisme (Solusi 3-5)
Tiga : Komitment terhadap Jama’ah kaum muslimin dan Imam mereka.
Jama’ah kaum muslimin adalah kaum muslimin dibawah kepemimpinan seorang Imam (penguasa) muslim dalam sebuah negara.
Dan sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta‘ala bahwa letak kebahagiaan dan kesejahteraan manusia adalah bila mereka bersatu di bawah seorang pemimpin, yang tanpa hal tersebut pasti akan berlaku hukum rimba, dimana yang lemah menjadi mangsa yang kuat. Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan,
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS. Al-Baqarah : 251)
Berkata Ibnul Mubarak (w. 181 H) rahimahullah, “Sebagai rahmat dan kemurahan-Nya, Allah menolak masalah yang rumit dari agama kita dengan penguasa. Andaikata bukan karena penguasa niscaya tidak akan ada jalan yang aman bagi kita, dan yang lemah dari kita pasti menjadi mangsa bagi yang kuat.” [1]
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menegaskan bahwa komitment terhadap Jama‘ah kaum muslimin dan Imam mereka adalah salah satu jalan keselamatan pada saat terjadi berbagai fitnah yang membahayakan kaum muslimin, sebagaimana diterangkan dalam hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِيْ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِيْ تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِيْ إِنْ أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجْرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Manusia bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan, saya khawatir kejelekan itu akan menimpaku, maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam kejahiliyaan dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?” Beliau menjawab, “Iya.” Kemudian saya bertanya, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan,” Beliau menjawab, “Iya, dan telah ada asapnya.” Saya bertanya, “Apakah asapnya?” Beliau menjawab, “Suatu kaum yang mengambil petunjuk selain dari petunjukku, ada yang engkau anggap baik dari mereka dan ada yang engkau ingkari.” Kemudian saya bertanya, “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan.” Beliau menjawab, “Iya, da’i-da’i yang menyeru ke pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang menjawab seruan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke dalamnya.” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkanlah mereka kepada kami?” Beliau menjawab, “Mereka adalah dari kulit kita juga dan berbicara dengan lisan-lisan kita.” Saya berkata, “Apa perintahmu kepadaku jika saya mendapati hal tersebut?” Beliau bersabda, “Engkau komitmen terhadap Jama’ah kaum muslimin dan Imam mereka.” Saya berkata, “Jika kaum muslimin tidak mempunyai Jama‘ah dan Imam.” Beliau berkata, “Tinggalkan seluruh firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian menjemputmu dan engkau di atas hal tersebut.” [2]
Empat : Menanamkan pemaham ketaatan kepada penguasa dalam hal yang ma’ruf.
Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa` : 59)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكَ السَمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ
“Wajib atas kamu untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan sulit maupun mudah, bersemangat atau terpaksa, walaupun ia berlaku sewenang-wenang terhadap kamu.” [3]
Dan dalam hadits lain, beliau menyatakan,
اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبْشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ
“Mendengarlah dan taatlah walaupun dijadikan penguasa atas kalian seorang budak Habasyi seakan-akan kepalanya adalah kismis (anggur kering).” [4]
تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Kamu mendengar dan taat kepada penguasa walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taatlah.” [5]
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَأْمُرُنَا ؟ قَالَ : تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi kesewenang-wenangan dan banyak perkara yang kalian ingkari. Mereka (shahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah apa yang engkau perintahkan pada kami?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah kewajiban atas kalian (terhadap penguasa) dan mintalah hak kalian pada Allah.” [6]
Dan hadits-hadits dalam hal ini mutawatir, diriwayatkan dari puluhan shahabat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Karena itu salah prinsip dasar syari‘at Islam adalah taat kepada penguasa dalam hal yang ma’ruf berdasarkan nash-nash di atas dan kesepatakan para ulama dari dahulu hingga sekarang.
Dan tidak diragukan bahwa prinsip dasar ini merupakan salah satu tonggak kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia. Dan dengannya akan tercipta keamanan dan kejayaan suatu negara.
Sebaliknya, menelantarkan prinsip yang agung ini adalah sebab malapetaka dan kehancuran yang tengah melanda umat pada banyak negara Islam pada hari-hari ini.
Lima : Mendekatkan umat kepada para ulama mereka.
Allah Al-Hakîm Al-‘Alîm mengisahkan tentang Qarun dalam firman-Nya,
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang bersabar. Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS. Al-Qashosh : 79-81).
Karena itulah Imam Hasan Al-Bashry (w. 110 H) berkata, “Sesungguhnya bila fitnah itu datang akan diketahui oleh setiap ‘alim (ulama), dan apabila telah terjadi, barulah orang-orang yang jahil mengetahuinya.” [7]
Dan penyelesaian masalah-masalah besar yang menimpa umat adalah kembali kepada ulama,
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa` : 83)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan,
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Berkah itu bersama orang-orang tua (ulama) kalian.” [8]
Dan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan suatu hakikat yang telah terbukti di berbagai masa setelahnya,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ صَالِحِيْنَ مُتَمَاسِكِيْنَ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمْ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ هَلَكُوْا
“Manusia masih akan senantiasa sebagai orang yang sholeh lagi berpegang teguh (kepada agamanya) sepanjang ilmu datang kepada mereka dari para shahabat Muhammad shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan orang-orang tua (ulama) mereka. Maka apabila (ilmu) datang kepada mereka dari orang-orang kecil maka binasalah mereka.” [9]
[1] Dibahasakan secara bebas dari dua bait syair beliau yang masyhur dalam buku-buku yang memuat biografi beliau.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. 3606, 7084 dan Muslim no. 1847.
[3] Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 1836 dan An-Nasa`i 7/140.
[4] Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 693, 696, 7142 dan Ibnu Majah no. 2680.
[5] Hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim no. 1837 dan Abu Daud no. 4244.
[6] Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 3603, 7052, Muslim no. 1843 dan At-Tirmidzy no. 2195.
[7] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam Tarîkh-nya 4/321 dan Ibnu Sa‘ad dalam Ath-Thobaqat 7/165-166.
[8] Telah berlalu takhrijnya.
[9] Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud, ‘Abdurrazzaq dan lain-lainnya. Lihat takhrîjnya dalam kitab Madarik An-Nazhor hal. 161 karya Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhôny.
Sumber: http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/solusi-menghadapi-terorisme-solusi-3-5.html