Mengucapkan Selamat Natal Dianggap Amalan Baik
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Ucapan selamat natal sejak beberapa tahun ini menjadi kontroversi.
Sebagian kalangan membolehkan kaum muslimin untuk mengucapkan selamat
natal pada nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang digunakan dalam membolehkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al Mumtahanah: 8)
Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal
pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah
pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat
natal?
Semoga Allah menolong kami untuk menyingkap tabir manakah yang benar dan manakah yang keliru. Hanya Allah yang beri pertolongan.
Sebab Turun Ayat
Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Dalam hal ini ada
beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir[1]. Di antara pendapat
tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti
Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik[2] dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. Ini adalah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair.[3]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik“.
Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma’ mengatakan,
أَتَتْنِى أُمِّى رَاغِبَةً فِى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم –
فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – آصِلُهَا قَالَ « نَعَمْ »
“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya[4]. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab,
“Iya boleh”.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah
menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (Qs. Al Mumtahanah: 8)”[5]
Makna Ayat
Ibnu Jarir Ath Thobari -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menjalin hubungan dan berbuat adil dengan setiap orang dari agama lain yang tidak memerangi kalian dalam agama. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu“. Setiap orang yang mempunyai sifat dalam ayat ini patut bagi kita berlaku ihsan (baik) padanya. Tidak ada yang dispesialkan dari yang lainnya.”[6]
Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan, “Allah tidak
melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak
memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong
mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang
untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”[7]
Loyal (Wala’) pada Orang Kafir Itu Terlarang
Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai.[8] Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Larangan loyal terhadap orang kafir ini sudah diajarkan oleh kekasih Allah –Nabi Ibrahim ‘alaihis salam- dan kita pun selaku umat Islam diperintahkan untuk mengikuti jalan beliau.
Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ
مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا
بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Qs. Al Mumtahanah: 4)
Di samping ini adalah ajaran Nabi Ibrahim, larangan loyal (wala’) pada orang kafir juga termasuk ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Qs. Al Maidah: 51)
Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[9]
Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)
Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Sedangkan bersikap wala‘ pada orang kafir tidak diperkenankan sama sekali.
Fakhruddin Ar Rozi -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.”[10]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Berbuat baik, menyambung
hubungan kerabat dan berbuat ihsan (terhadap non muslim) tidaklah
melazimkan rasa cinta dan rasa sayang (yang terlarang) padanya.
Sebagaiman rasa cinta yang terlarang ini disebutkan dalam firman Allah,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (Qs. Al Mujadilah: 22). Ayat ini umum berlaku pada orang yang sedang memerangi dan orang yang tidak memerangi kaum muslimin. Wallahu a’lam.”[11]
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik pada orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. “[12]
Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim
Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam.
Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “‘Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan
mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan
beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar.
‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan
engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan
dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa
mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap
mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada
saudaranya[13] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.[14]
Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim.
Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.”[15]
Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat
yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai
kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah
memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Qs. Luqman: 15)
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (Qs. An Nisa: 1)
Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).“[16]
Oleh karenanya, silaturahmi dengan kerabat tetaplah wajib, walaupun
kerabat tersebut kafir. Jadi, orang yang mempunyai kewajiban memberi
nafkah tetap memberi nafkah pada orang yang ditanggung walaupun itu non
muslim. Karena memberi nafkah adalah bagian dari bentuk menjalin
silaturahmi. Sedangkan dalam masalah waris tidak diperkenankan sama
sekali. Karena seorang muslim tidaklah mewariskan hartanya pada orang
kafir. Begitu pula sebaliknya. Karena warisan dibangun di atas sikap
ingin menolong (nushroh) dan loyal (wala’).[17]
Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.
Al Bukhari membawakan sebuah bab dalam Adabul Mufrod dengan “Bab Tetangga Yahudi“dan beliau membawakan riwayat berikut.
Mujahid berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu ‘Amru
sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
“Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka
bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata,
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
“(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.”
“Abdullah bin ‘Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي
بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan
menetapkan hak waris kepadanya.”[18]
Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram[19]
Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat. Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ
أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al Mujadilah:
22). Wajib bagi setiap muslim memiliki rasa benci pada setiap orang
kafir dan musyrik karena mereka adalah orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya. Dikecualikan di sini adalah cinta yang bersifat tabi’at
seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik. Cinta
seperti ini dibolehkan.
Kedua: Menetap di negeri kafir. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ
قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ
قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا
فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً,إِلاَّ
الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ
يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً,فَأُوْلَـئِكَ عَسَى
اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراً
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri , (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.” (Qs. An Nisa’: 97-98)
Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:
- Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali dalam keadaan darurat.
- Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang benar.
Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat berikut:
- Memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya.
- Merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya.
- Mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam pada dirinya.
Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam
hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan
berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama
(ijma’).[20] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[21]
Oleh karena itu, perilaku tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam
perkara yang menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya
adalah mencukur jenggot dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri
khas mereka.
Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan
perayaan orang kafir, seperti membantu dalam acara natal. Hal ini
diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan Allah Ta’ala pun berfirman,
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al Maidah: 2)
Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka. Allah Ta’ala menceritakan mengenai sifat orang beriman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur,
dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya.” (Qs. Al Furqon: 72). Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur”
adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan
oleh Ar Robi’ bin Anas.[22] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk
orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak
menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, berarti
melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan
termasuk ‘aib[23].
Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir.
Bahkan diharamkannya hal ini berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para
ulama.
Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal
Perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahlu Dzimmah:
“Adapun
memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi
orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka
seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’,
atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.”
Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari
kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita
mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat
semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan
selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina,
atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut.
Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang
mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat
pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia
pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[24]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Ucapan selamat
hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama
kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[25]
Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[26] malah membolehkan
mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al
Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ‘nyleneh’
dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini muncul
karena tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan (berlaku baik) dan
wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut
adalah berbeda sebagaimana telah kami utarakan sebelumnya.
Pendapat ini juga sungguh aneh karena telah menyelisihi kesepakatan
para ulama (ijma’). Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu
diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.“(Qs. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.
Dari sini, kami merasa aneh jika dikatakan bahwa mengucapkan selamat natal pada orang nashrani dianggap sebagai masalah khilafiyah (beda pendapat). Padahal sejak masa silam, para ulama telah sepakat (berijma’) tidak dibolehkan mengucapkan selamat pada perayaan non muslim. Baru belakangan ini dimunculkan pendapat yang aneh dari Yusuf Qardhawi, cs. Siapakah ulama salaf yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini? Padahal sudah dinukil ijma’ (kata sepakat) dari para ulama tentang haramnya hal ini.
Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa
silam yang menganggap bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non
muslim termasuk bentuk berbuat baik (ihsan) dan dibolehkan, padahal
acara-acara semacam natalan dan perayaan non muslim sudah ada sejak
masa silam?! Di antara latar belakangnya karena tidak memahami surat
Mumtahanah ayat 8 dengan benar. Tidak memahami manakah bentuk ihsan
(berbuat baik) dan bentuk wala’ (loyal). Dan sudah kami utarakan bahwa
mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk wala’ dan
diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Dan namanya
ijma’ tidak pernah lepas dari dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana
seringkali diutarakan oleh para ulama. Hanya Allah yang memberi taufik.
Bentuk Interaksi yang Dibolehkan dengan Non Muslim[27]
Agar tidak disalahpahami, sekarang kami akan utarakan beberapa hal
yang mestinya diketahui bahwa hal-hal ini tidak termasuk loyal (wala’)
pada orang kafir. Dalam penjelasan kali ini akan dijelaskan bahwa ada
sebagian bentuk muamalah dengan mereka yang hukumnya wajib, ada yang
sunnah dan ada yang cuma sekedar dibolehkan.
Namun sebelumnya kita harus mengetahui lebih dulu bahwa orang kafir itu ada empat macam:
- Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum muslimin memiliki perjanjian.
- Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
- Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi jaminan keamanan oleh penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
- Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyari’atkan untuk memerangi orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka.[28]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah:
Pertama: Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi
dan kafir musta’man selama ia berada di negeri kaum muslimin sampai ia
kembali ke negerinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى
يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.
Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (Qs. At Taubah: 6)
Kedua: Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara
orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka berada di tengah-tengah
penerapan hukum Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Maidah: 8)
Ketiga: Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjenguknya.
Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah
Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya.
Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah)
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk
Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.“[29]
Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Qs. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam.”[30]
Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam, tanpa harus dipaksa.
Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau
surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat
puluh tahun.”[31]
Keenam: Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu
orang kafir (selain kafir harbi) ketika melakukan transaksi jual beli,
mengambil harta mereka tanpa jalan yang benar, dan wajib selalu
memegang amanat di hadapan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ
طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا
حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid,
mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya
atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka akulah
nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.”[32]
Ketujuh: Diharamkan seorang muslim menyakiti orang
kafir (selain kafir harbi) dengan perkataan dan dilarang berdusta di
hadapan mereka. Jadi seorang muslim dituntut untuk bertutur kata dan
berakhlaq yang mulia dengan non muslim selama tidak menampakkan rasa
cinta pada mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Qs. Al Baqarah: 83). Berkata yang baik di sini umum kepada siapa saja.
Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا زَالَ يُوصِينِى جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai aku kira tetangga tersebut akan mendapat warisan.“[33]
Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya adalah wa ‘alaikum.[34] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ
“Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.“[35]
Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.“[36]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan adalah:
Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama tidak membahayakan kaum muslimin.
Kedua: Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang
kafir yang membutuhkan seperti memberi sedekah kepada orang miskin di
antara mereka atau menolong orang sakit di antara mereka. Hal ini
berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.”[37]
Ketiga: Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang
kafir (seperti orang tua dan saudara) dengan memberi hadiah atau
menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Keempat: Dibolehkan memberi hadiah pada orang kafir
agar membuat mereka tertarik untuk memeluk Islam, atau ingin mendakwahi
mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Kelima: Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk
memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu sebagaimana boleh bertamu
pada orang kafir dan bukan maksud diundang. Namun jika seorang muslim
diundang orang kafir dalam acara mereka, maka undangan tersebut tidak
perlu dipenuhi karena ini bisa menimbulkan rasa cinta pada mereka.
Keenam: Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam
urusan dunia seperti melakukan transaksi jual beli yang mubah dengan
mereka atau mengambil ilmu dunia yang bernilai mubah yang mereka miliki
(tanpa harus pergi ke negeri kafir).
Ketujuh: Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi
wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah
wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si
suami dan anak-anaknya. Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu,
Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
مِنْ قَبْلِكُمْ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (Qs. Al Maidah: 5). Ingat, seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab hanyalah dibolehkan dan bukan diwajibkan atau dianjurkan. Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh pria muslim tetaplah seorang wanita muslimah.
Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana
pun baik ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan selain ahlul kitab
karena Allah Ta’ala berfirman,
لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Qs. Al Mumtahanah: 10)
Kedelapan: Boleh bagi kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk menghalangi musuh yang akan memerangi kaum muslimin. Namun di sini dilakukan dengan dua syarat:
- Ini adalah keadaan darurat sehingga terpaksa meminta tolong pada orang kafir.
- Orang kafir tidak membuat bahaya dan makar pada kaum muslimin yang dibantu.
Kesembilan: Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir.
Kesepuluh: Dibolehkan menyalurkan zakat kepada
orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar tertarik pada Islam,
sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, orang-orang yang ingin
dibujuk hatinya.” (Qs. At Taubah: 60)
Kesebelas: Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul perendahan diri pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah dari beberapa orang musyrik. Namun ingat, jika hadiah yang diberikan tersebut berkenaan dengan hari raya orang kafir, maka sudah sepantasnya tidak diterima.
***
Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Al Faqir Ilallah
Muhammad Abduh Tuasikal
Panggang, Gunung Kidul, 25 Dzulhijah 1430 H
Aqidah Ruh Perjuangan Kita
Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa fondasi merupakan perkara yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali mereka adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.
Yang kita bicarakan bukanlah sekedar semangat tanpa ilmu ataupun gerakan yang tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun yang sedang kita perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang membangun segala aktivitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman salafush shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang terlontar dari lisan mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Raja Yang Menguasai Kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang melandasi langkah-langkahnya dengan niat ikhlas dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saudara-saudaraku sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan kekuatan iman laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda Kahfi yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut kita teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami mengisahkan cerita mereka kepada kamu dengan benar, sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al Kahfi [18]: 13)
Sebagaimana pula di hari kiamat nanti Allah akan memberikan naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam aktivitas ibadah kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari)
Kebangkitan para pemuda dari berbagai belahan dunia untuk membela agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai pemandu perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa perhitungan yang matang, membabi-buta dan serampangan. Maka muncullah berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan, gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi yaitu para ulama.
Saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang kita dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat, perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama, karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua, kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu senangi akan tetapi Allah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. Al Qashash [28] : 56).
Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya, “Asas segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya segala keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya dan tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon kepada-Nya agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan juga mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya adalah karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat bahwa segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan pertolongan dari-Nya…” (Al Fawa’id, hal. 94).
Sesungguhnya perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana. Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan Allah menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan manusia yang pernah hidup di jagat raya ini. Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba. Dan Allah dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk membela agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah bukanlah karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki. Akan tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu hanya baik dari sisi lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga telah menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan dalam hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk hatinya. Allah ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. Al Hajj [22]: 32)
Ibnu Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah adalah perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/310).
Nah, bagaimana mungkin akan kita katakan bahwa para sahabat yang tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk untuk berkurban; mereka rela menyumbangkan apa yang mereka punyai demi dakwah Islam, bahkan di antara mereka ada juga yang rela menyerahkan tubuhnya sendiri untuk menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak panah orang-orang kafir dalam sebuah pertempuran, apakah akan kita katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang bersikap laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali menjadi kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim)
Apakah yang membedakan tubuh kita dengan tubuh para sahabat? Mereka punya kaki, tangan dan indera sebagaimana yang kita miliki. Mereka mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun mengeluarkannya. Mereka mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti mereka. Mereka makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum. Namun, ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat. Mereka memiliki keimanan laksana gunung. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman segenap penduduk bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat daripada timbangan iman mereka.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik, dan ilmu mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah akhlak dan jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. Al Baghawi dalam Syarh As Sunnah)
Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian sangat sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal bagi kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menganggapnya termasuk perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari)
Lihatlah para sahabat dengan segenap kemuliaan yang mereka sandang -di antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan seribu empat ratus orang lebih yang dijamin masuk surga- ternyata hati mereka sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.” Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan mudah mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan sebagian kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan enteng meninggalkan perkara sunnah, yang dengan santai menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih perkara yang lebih utama. Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit dengan bumi!
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat. Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat hati-hati bergetar dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati yang bergetar ketika disebutkan kebesaran Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُون
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka iman mereka bertambah. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. Al Anfal [8]: 2)
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam meraih kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala kemampuan yang ada untuk bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun popularitas. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُم
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al Hujurat [49]: 13)
Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…”(HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…”(HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…”(HR. Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin beramal sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan, “Orang-orang kaya memborong pahala. Padahal mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!
Para sahabat adalah orang-orang yang menjunjung tinggi sabda-sabda dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, namun kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar berkata lain!” (HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian orang pada masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada lagi yang berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang keabsahannya- sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga mereka mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan?. Ada pula orang-orang yang tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum muslimin, kekhilafahan, daulah dan ketenteraman seperti apakah yang kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan dengan kerancuan pemikiran dan penyimpangan manhaj (metode dalam berislam) semacam ini?!
Para sahabat adalah orang-orang yang mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak, tanpa menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya tentang makna istiwa’ Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang caranya adalah bid’ah.” (HR. Al Baghawi dalam Syarh As Sunnah)
Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan keberhasilan yang digapai oleh para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya pedang mereka, keberanian mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota badan.
Maka sekarang kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing: Di tengah derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak, perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku aqidah yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid dan lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian dia gunakan untuk menyadarkan hati kaum muslimin dari tidur panjang mereka, membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini (Al Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya karenanya.” (HR. Muslim)
Apakah sekarang kita bisa memimpikan berdirinya sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja banyak sekali di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai dengan syariat -terlebih khusus kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa mengangankan tegaknya daulah Islam apabila ternyata di tengah-tengah kita pornografi, kemaksiatan, perbuatan keji, kebid’ahan, dan kesyirikan dikerjakan dengan terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan, padahal di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan sarana? Apakah kita sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan kehidupan yang tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam dan mengobrak-abrik fondasi-fondasi agama berkeliaran dan mengumbar racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat: Mereka bela mati-matian aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka mengatakan kepada kita: Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)!
Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak tersadar bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat lagi menyimpang. Adakah seorang muslim yang mengatakan bahwa orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah sebagai orang yang berakhlak? Adakah seorang mukmin yang mengatakan bahwa orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syariat Nabi Muhammad adalah orang yang berakhlak?
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Nasihat Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan: Pahami Aqidah Terlebih Dulu
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan pernah ditanya:
“Pada masa-masa belakangan ini kita perhatikan para pemuda cenderung lalai dan malas mempelajari aqidah, enggan mendalaminya, dan sangat kurang mencurahkan perhatian mereka kepadanya. Mereka justru sibuk dengan urusan-urusan lain. Apakah nasihat Anda bagi para pemuda seperti mereka ini?”
Beliau menjawab: Saya menasihatkan kepada para pemuda dan kaum muslimin yang lainnya agar memberikan perhatian terhadap aqidah terlebih dulu sebelum segala sesuatu. Dikarenakan aqidah adalah landasan yang menjadi penopang tegaknya seluruh amal, untuk diterima atau ditolak. Apabila aqidah tersebut benar dan sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was salam dan secara khusus bersesuaian dengan ajaran sang penutup para rasul yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua amalan itu akan diterima jika amal-amal tersebut ikhlas untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan sesuai dengan syariat Allah dan rasul-Nya. Sedangkan apabila aqidah itu rusak atau sesat dikarenakan dibangun di atas sikap membebek dan taklid kepada nenek moyang dan leluhur semata, atau karena aqidah itu ternodai kesyirikan, apabila demikian maka amal-amal tersebut akan tertolak dan tidak akan diterima barang sedikitpun, meskipun pelakunya ikhlas dan benar-benar menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Hal itu dikarenakan Allah tidak akan menerima amalan kecuali apabila ikhlas untuk mengharap wajah-Nya yang mulia serta benar yaitu sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu barang siapa yang menginginkan keselamatan bagi dirinya serta menghendaki amal-amalnya diterima dan sangat ingin menjadi seorang muslim yang sejati maka wajib baginya untuk menaruh perhatian besar terhadap masalah aqidah, yaitu dengan cara memahami aqidah yang benar serta hal-hal yang bertentangan dengannya, yang dapat membatalkannya dan bisa menggerogotinya, sampai dia bisa membangun amal-amalnya di atas aqidah tersebut. Dan hal itu tidak akan bisa dicapai tanpa mempelajarinya dari para ulama serta para pemilik pengetahuan yang mendalam yang mengambil ilmu tersebut dari kalangan pendahulu umat ini.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, sesunguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan minta ampunlah atas dosamu dan dosa kaum beriman yang lelaki maupun yang perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Bahkan Imam Al-Bukhari telah membuat sebuah judul bab khusus di dalam kitabnya di mana beliau berkata, ‘Bab Ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan’. Dan beliau menyitir ayat yang mulia ini. “Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah,” di dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala memulai dengan ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, saling mewasiatkan dalam hal kebenaran dan saling mewasiatkan dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)
Di dalamnya Allah menjanjikan keselamatan dari kerugian bagi orang yang memenuhi empat kriteria:
Kriteria pertama: iman, yang itu berarti memiliki keyakinan yang benar. Kriteria kedua: amal shalih serta ucapan yang shalih. Disebutkannya ucapan dan amal shalih sesudah iman merupakan gaya bahasa penyebutan kata yang khusus setelah kata yang bersifat umum; sebab amal adalah bagian dari iman, penyertaan ini bertujuan untuk menunjukkan agungnya kedudukan amal.
Kriteria ketiga: dan saling menasihati dalam kebenaran, yaitu mereka berdakwah ilallah, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Setelah mereka memperhatikan kepentingan diri mereka sendiri terlebih dahulu, dan setelah mereka mengerti jalan yang benar maka mereka pun kemudian mengajak orang lain untuk menjalani hal itu, sebab seorang muslim itu juga dibebani tugas untuk mendakwahi manusia kepada ajaran Allah subhanahu wa ta’ala, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.
Dan mereka saling menasihatkan untuk menetapi kesabaran, inilah kriteria yang keempat, yaitu bersabar dalam menghadapi resiko lelah dan kesulitan dalam menjalani perkara tersebut. Tidak ada kebahagiaan bagi seorang muslim kecuali apabila dia telah merealisasikan keempat kriteria ini.
Adapun menaruh perhatian besar terhadap wawasan/tsaqafah umum dan berita-berita surat kabar dan juga ucapan-ucapan orang dan berbagai peristiwa di dunia, maka sesungguhnya hal itu boleh saja ditelaah apabila seorang insan telah benar-benar mewujudkan tauhid dan membenahi aqidah, barulah dia bisa melihat-lihat hal-hal tersebut dalam rangka mengenali kebaikan dan keburukan, atau dalam rangka memperingatkan umat dari kejelekan-kejelekan dan seruan-seruan kesesatan yang bertebaran di masyarakat. Akan tetapi hal itu dapat dilakukannya apabila dia telah mempersenjatai diri dengan ilmu, serta keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang memaksakan diri menelaah persoalan dan berita koran semacam itu atau menyelami dunia politik namun dalam keadaan tanpa berbekal ilmu yang benar tentang aqidahnya dan tanpa bekal ilmu tentang ajaran agamanya, maka sebenarnya perbuatannya itu tidak akan bermanfaat baginya barang sedikitpun. Bahkan dia telah menyibukkan diri dalam suatu urusan yang tidak ada faedahnya baginya, dan dia tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang batil.
Kebanyakan orang yang tidak mengerti aqidah dan terlalu mencurahkan perhatian mereka untuk mengurusi persoalan-persoalan semacam ini telah terjerumus dalam kesesatan dan bahkan menyesatkan orang. Mereka telah membuat pengaburan kepada manusia, hal itu terjadi karena sebenarnya mereka tidaklah memiliki ilmu dan keterangan yang bisa dipakai untuk memilah antara yang berbahaya dengan yang bermanfaat, mana yang harus diambil dan mana yang harus ditinggalkan serta bagaimanakah cara untuk mengatasi persoalan. Oleh sebab itu muncullah berbagai kejanggalan serta kekaburan pada kebanyakan orang. Itu semua terjadi disebabkan mereka menerjuni persoalan tsaqafah dan dunia perpolitikan sementara mereka tidak mempunyai bekal ilmu tentang aqidah mereka dan pemahaman yang bersumber dari ajaran agama mereka, sehingga akhirnya mereka menyangka suatu kebenaran sebagai kebatilan, dan sebaliknya; menyangka suatu kebatilan sebagai kebenaran.
Sumber: Al Muntaqa min Fatawa Al Fauzan, jilid 1, islamspirit.com
***
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id