Kategori: Akhlaq dan Nasehat
Tuntutlah Ilmu Syar’i Secara Ta’shili
Menuntut ilmu syar’i merupakan amal yang sangat mulia, bahkan seorang yang pergi menuntut ilmu seperti halnya orang yang pergi berjihad sampai ia kembali. Namun perbuatan yang baik ini jika tidak diiringi dengan metode belajar yang benar justru akan menjadi tidak teratur dan semrawut. Maka dari itu sangat penting bagi setiap penuntut ilmu untuk memperhatikan bagaimanakah cara belajarnya.
Ilmu Didapat Secara Bertahap
Seseorang yang tidak sabar ingin menelaah seluruh judul buku/kitab kerapkali berbuntut pada kebosanan dan dan akhirnya malah putus. Semangatnya begitu membara di awal, tetapi setelah itu padam tanpa bekas. Jadi sebenarnya apa masalahnya? Masalahnya adalah metode pembelajaran yang tidak berjenjang dan tidak memprioritaskan penguatan kaidah dasar (ta’shili), yaitu bertahap dimulai dari tahap awal kemudian meningkat ke jenjang yang lebih tinggi dan seterusnya. Dan adalah seorang yang cerdas ia mengambil ilmu sedikit demi sedikit sesuai dengan kadar kemampuannya, dengan semangat juang yang tinggi. Karena ilmu itu seperti tangga, untuk bisa mencapai bagian puncak dari tangga maka ia harus memanjat dari bawah terlebih dahulu, jika ia mamaksakan untuk langsung menuju puncak, maka ia tidak akan mampu atau akibatnya ia akan celaka.
Ketahuilah, jika engkau tergesa-gesa ingin memasukkan seluruh pelajaranmu, niscaya engkau justru akan kehilangan seluruhnya, karena ilmu didapat seiring dengan berjalannya siang dan malam, seteguk demi seteguk dengan penuh kesabaran, bukan sekali dua kali duduk atau sekali dua kali baca. Ingatlah firman Allah, “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
Mulailah dari yang Paling Penting
Dalam Ilmu dien, maka seseorang harus menguasai dasar yang kokoh sebagai bekal baginya untuk mendalami Ilmu syariat. Barangsiapa tidak memulai dari hal yang mendasar/pokok, maka ia tidak akan mendapatkan cabangnya. Hal terpenting yang harus engkau pelajari saat ini adalah ilmu tauhid, karena tauhidlah sumber kebahagiaan dunia dan akherat. Selain itu, kenalilah lawan dari tauhid yaitu syirik dengan perinciannya. Sebab jika engkau tidak kenal dengan syirik maka secara tidak sadar engkaupun jatuh di dalamnya.
Bergurulah!!
Adakalanya seseorang belajar ilmu syar’i hanya dari buku yang ia baca semata. Metode ini memiliki beberapa sisi negatif, di antaranya yaitu butuh waktu yang lama, ilmunya lemah, dan kadang kita jumpai seseorang yang seperti ini banyak terjatuh dalam kesalahan karena lemahnya pemahaman atau karena buku yang dibacanya sesat dan menyesatkan. Dengan adanya guru, maka dialah yang akan membimbingmu dan membetulkanmu jika engkau salah dan waktu yang engkau butuhkan untuk belajar menjadi lebih singkat.
Hendaklah seseorang melihat kepada siapa ia mengambil ilmu, carilah guru yang berakidah dan bermanhaj sebagaimana para sahabat, memegang teguh sunnah Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam, jauh dari hawa nafsu, lepas dari kebid’ahan dan memiliki cara mengajar yang baik.
(Disarikan dari Kitabul-Ilmi Syaikh Utsaimin dan dari kajian-kajian ilmiah)
***
Penulis: Abu Sa’id Satria Buana
Artikel www.muslim.or.id
Adab-Adab Penuntut Ilmu
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah, amma ba’du. Para pembaca yang budiman, menuntut ilmu agama adalah sebuah tugas yang sangat mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.” (HR. Bukhari) Oleh sebab itu sudah semestinya kita berupaya sebaik-baiknya dalam menimba ilmu yang mulia ini. Nah, untuk bisa meraih apa yang kita idam-idamkan ini tentunya ada adab-adab yang harus diperhatikan agar ilmu yang kita peroleh membuahkan barakah, menebarkan rahmah dan bukannya malah menebarkan fitnah atau justru menyulut api hizbiyah. Wallaahul musta’aan.
ADAB PERTAMA
Mengikhlaskan Niat untuk Allah ‘azza wa jalla
Yaitu dengan menujukan aktivitas menuntut ilmu yang dilakukannya untuk mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat, sebab Allah telah mendorong dan memotivasi untuk itu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19). Pujian terhadap para ulama di dalam al-Qur’an juga sudah sangat ma’ruf. Apabila Allah memuji atau memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu bernilai ibadah.
Oleh sebab itu maka kita harus mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, yaitu dengan meniatkan dalam menuntut ilmu dalam rangka mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh persaksian/gelar demi mencari kedudukan dunia atau jabatan maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah ‘azza wa jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” yakni tidak bisa mencium aromanya, ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang menuntut ilmu memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmu, pengajian dan sebagainya, maka niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat yang benar.
ADAB KEDUA
Bertujuan untuk Mengangkat Kebodohan Diri Sendiri dan Orang Lain
Dia berniat dalam menuntut ilmu demi mengangkat kebodohan dari dirinya sendiri dan dari orang lain. Sebab pada asalnya manusia itu bodoh, dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah lah yang telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan kemudian Allah ciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati supaya kalian bersyukur.” (QS. An Nahl: 78). Demikian pula niatkanlah untuk mengangkat kebodohan dari umat, hal itu bisa dilakukan dengan pengajaran melalui berbagai macam sarana, supaya orang-orang bisa memetik manfaat dari ilmu yang kau miliki.
ADAB KETIGA
Bermaksud Membela Syariat
Yaitu dalam menuntut ilmu itu engkau berniat untuk membela syariat, sebab kitab-kitab yang ada tidak mungkin bisa membela syariat (dengan sendirinya). Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali si pembawa syariat. Seandainya ada seorang ahlul bid’ah datang ke perpustakaan yang penuh berisi kitab-kitab syariat yang jumlahnya sulit untuk dihitung lantas dia berbicara melontarkan kebid’ahannya dan menyatakannya dengan lantang, saya kira tidak ada sebuah kitab pun yang bisa membantahnya. Akan tetapi apabila dia berbicara dengan kebid’ahannya di sisi orang yang berilmu demi menyatakannya maka si penuntut ilmu itu akan bisa membantahnya dan menolak perkataannya dengan dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh sebab itu saya katakan: Salah satu hal yang harus senantiasa dipelihara di dalam hati oleh penuntut ilmu adalah niat untuk membela syariat. Manusia kini sangat membutuhkan keberadaan para ulama, supaya mereka bisa membantah tipu daya para ahli bid’ah serta seluruh musuh Allah ‘azza wa jalla.
ADAB KEEMPAT
Berlapang Dada Dalam Masalah Khilaf
Hendaknya dia berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan yang ada di antara para ulama itu bisa jadi terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka kalau seperti ini maka perkaranya jelas. Yang demikian itu tidak ada seorang pun yang menyelisihinya diberikan uzur. Dan bisa juga perselisihan terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran diberikan uzur. Dan perkataan anda tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan anda dalam masalah itu, seandainya kita berpendapat demikian niscaya kita pun akan katakan bahwa perkataannya adalah argumen yang bisa menjatuhkan anda.
Yang saya maksud di sini adalah perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Adapun orang yang menyelisihi jalan salaf seperti dalam permasalahan akidah maka dalam hal ini tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menyelisihi salafush shalih, akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau menjadikannya sebagai penyebab permusuhan dan kebencian.
Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furu’iyyah (cabang), hendaknya yang satu mengajak saudaranya untuk berdiskusi dengan baik dengan didasari kehendak untuk mencari wajah Allah dan demi memperoleh ilmu, dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap, bahkan terkadang terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara mereka. Keadaan seperti ini tentu saja membuat gembira musuh-musuh Islam, sedangkan perselisihan yang ada di antara umat ini merupakan penyebab bahaya yang sangat besar, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfaal: 46)
ADAB KELIMA
Beramal Dengan Ilmu
Yaitu hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab, maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu, seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk membinasakannya. Oleh karenanya terdapat sebuah hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “al-Qur’an adalah hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.”
ADAB KEENAM
Berdakwah di Jalan Allah
Yaitu dengan menjadi seorang yang menyeru kepada agama Allah ‘azza wa jalla, dia berdakwah pada setiap kesempatan, di masjid, di pertemuan-pertemuan, di pasar-pasar, serta dalam segala kesempatan. Perhatikanlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul tidaklah hanya duduk-duduk saja di rumahnya, akan tetapi beliau mendakwahi manusia dan bergerak ke sana kemari. Saya tidak menghendaki adanya seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi penyalin tulisan yang ada di buku-buku, namun yang saya inginkan adalah mereka menjadi orang-orang yang berilmu dan sekaligus mengamalkannya.
ADAB KETUJUH
Bersikap Bijaksana (Hikmah)
Yaitu dengan menghiasi dirinya dengan kebijaksanaan, di mana Allah berfirman yang artinya, “Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberi hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak.” (QS. al-Baqarah: 269). Yang dimaksud hikmah ialah seorang penuntut ilmu menjadi pembimbing orang lain dengan akhlaknya dan dengan dakwahnya mengajak orang mengikuti ajaran agama Allah ‘azza wa jalla, hendaknya dia berbicara dengan setiap orang sesuai dengan keadaannya. Apabila kita tempuh cara ini niscaya akan tercapai kebaikan yang banyak, sebagaimana yang difirmankan Tuhan kita ‘azza wa jalla yang artinya, “Dan barang siapa yang diberikan hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang amat banyak.” Seorang yang bijak (Hakiim) adalah yang dapat menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Maka sudah selayaknya, bahkan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersikap hikmah di dalam dakwahnya.
Allah ta’ala menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah di dalam firman-Nya yang artinya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. an-Nahl: 125). Dan Allah ta’ala telah menyebutkan tingkatan dakwah yang keempat dalam mendebat Ahli kitab dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendebat ahlu kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang-orang zhalim diantara mereka.” (QS. al-’Ankabuut: 46). Maka hendaknya penuntut ilmu memilih cara dakwah yang lebih mudah diterima oleh pemahaman orang.
ADAB KEDELAPAN
Penuntut Ilmu Harus Bersabar Dalam Menuntut Ilmu
Yaitu hendaknya dia sabar dalam belajar, tidak terputus di tengah jalan dan merasa bosan, tetapi hendaknya di terus konsisten belajar sesuai kemampuannya dan bersabar dalam meraih ilmu, tidak cepat jemu karena apabila seseorang telah merasa jemu maka dia akan putus asa dan meninggalkan belajar. Akan tetapi apabila dia sanggup menahan diri untuk tetap belajar ilmu niscaya dia akan meraih pahala orang-orang yang sabar; ini dari satu sisi, dan dari sisi lain dia juga akan mendapatkan hasil yang baik.
ADAB KESEMBILAN
Menghormati Ulama dan Memosisikan Mereka Sesuai Kedudukannya
Sudah menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada-dada mereka dalam menghadapi perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka, dan hendaknya hal itu dihadapinya dengan penuh toleransi di dalam keyakinan mereka bagi orang yang telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) tapi keliru, ini catatan yang penting sekali, sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orang-orang dengan cela yang telah mereka dengar, ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja termasuk dosa besar maka menggunjing orang berilmu lebih besar dan lebih berat dosanya, karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syar’i yang dibawanya.
Sedangkan apabila orang-orang telah menjauh dari orang alim itu atau harga diri mereka telah jatuh di mata mereka maka ucapannya pun ikut gugur. Apabila dia menyampaikan kebenaran dan menunjukkan kepadanya maka akibat gunjingan orang ini terhadap orang alim itu akan menjadi penghalang orang-orang untuk bisa menerima ilmu syar’i yang disampaikannya, dan hal ini bahayanya sangat besar dan mengerikan. Saya katakan, hendaknya para pemuda memahami perselisihan-perselisihan yang ada di antara para ulama itu dengan anggapan mereka berniat baik dan disebabkan ijtihad mereka dan memberikan toleransi bagi mereka atas kekeliruan yang mereka lakukan, dan hal itu tidaklah menghalanginya untuk berdiskusi dengan mereka dalam masalah yang mereka yakini bahwa para ulama itu telah keliru, supaya mereka menjelaskan apakah kekeliruan itu bersumber dari mereka ataukah dari orang yang menganggap mereka salah ?! Karena terkadang tergambar dalam pikiran seseorang bahwa perkataan orang alim itu telah keliru, kemudian setelah diskusi ternyata tampak jelas baginya bahwa dia benar. Dan demikianlah sifat manusia, “Semua anak Adam pasti pernah salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang senantiasa bertaubat”. Adapun merasa senang dengan ketergelinciran seorang ulama dan justru menyebar-nyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga menimbulkan perpecah belahan maka hal ini bukanlah termasuk jalan Salaf.
ADAB KESEPULUH
Berpegang Teguh Dengan Al Kitab dan As Sunnah
Wajib bagi penuntut ilmu untuk memiliki semangat penuh guna meraih ilmu dan mempelajarinya dari pokok-pokoknya, yaitu perkara-perkara yang tidak akan tercapai kebahagiaan kecuali dengannya, perkara-perkara itu adalah :
1. Al-Qur’an Al-Karim
Oleh sebab itu wajib bagi penuntut ilmu untuk bersemangat dalam membacanya, menghafalkannya, memahaminya serta mengamalkannya karena al-Qur’an itulah tali Allah yang kuat, dan ia adalah landasan seluruh ilmu. Para salaf dahulu sangat bersemangat dalam mempelajarinya, dan diceritakan bahwasanya terjadi berbagai kejadian yang menakjubkan pada mereka yang menunjukkan begitu besar semangat mereka dalam menelaah al-Qur’an. Dan sebuah kenyataan yang patut disayangkan adalah adanya sebagian penuntut ilmu yang tidak mau menghafalkan al-Qur’an, bahkan sebagian di antara mereka tidak bisa membaca al-Qur’an dengan baik, ini merupakan kekeliruan yang besar dalam hal metode menuntut ilmu. Karena itulah saya senantiasa mengulang-ulangi bahwa seharusnya penuntut ilmu bersemangat dalam menghafalkan al-Qur’an, mengamalkannya serta mendakwahkannya, dan untuk bisa memahaminya dengan pemahaman yang selaras dengan pemahaman salafush shalih.
2. As Sunnah yang shahihah
Ia merupakan sumber kedua dari sumber syariat Islam, dialah penjelas al-Qur’an al Karim, maka menjadi kewajiban penuntut ilmu untuk menggabungkan antara keduanya dan bersemangat dalam mendalami keduanya. Penuntut ilmu sudah semestinya menghafalkan as-Sunnah, baik dengan cara menghafal nash-nash hadits atau dengan mempelajari sanad-sanad dan matan-matannya, membedakan yang shahih dengan yang lemah, menjaga as-Sunnah juga dengan membelanya serta membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan Ahlu bid’ah guna menentang as-Sunnah.
ADAB KESEBELAS
Meneliti Kebenaran Berita yang Tersebar dan Bersikap Sabar
Salah satu adab terpenting yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah tatsabbut (meneliti kebenaran berita), dia harus meneliti kebenaran berita-berita yang disampaikan kepadanya serta mengecek efek hukum yang muncul karena berita tersebut. Di sana ada perbedaan antara tsabaat dan tatsabbut, keduanya adalah dua hal yang berlainan walaupun memiliki lafazh yang mirip tapi maknanya berbeda. Ats tsabaat artinya bersabar, tabah dan tidak merasa bosan dan putus asa. Sehingga tidak semestinya dia mengambil sebagian pembahasan dari sebuah kitab atau suatu bagian dari cabang ilmu lantas ditinggalkannya begitu saja. Sebab tindakan semacam ini akan membahayakan bagi penuntut ilmu serta membuang-buang waktunya tanpa faedah. Dan cara seperti ini tidak akan membuahkan ilmu. Seandainya dia mendapatkan ilmu, maka yang diperolehnya adalah kumpulan permasalahan saja dan bukan pokok dan landasan pemahaman. Contoh orang yang hanya sibuk mengumpulkan permasalahan itu seperti perilaku orang yang sibuk mencari berita dari berbagai surat kabar dari satu koran ke koran yang lain. Karena pada hakikatnya perkara terpenting yang harus dilakukan adalah ta’shil (pemantapan pondasi, ilmu ushul) dan pengokohannya serta kesabaran untuk mempelajarinya.
Dengan perantara nama-nama-Mu yang terindah dan sifat-sifat-Mu yang tertinggi ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba. Begitu banyak nikmat telah hamba sia-siakan. Umur, kesempatan, waktu luang, kesehatan dan keamanan. Semuanya telah Engkau curahkan, namun aku selalu lalai dan tidak pandai mensyukuri pemberian-Mu. Ya Allah bimbinglah hamba-Mu ini, untuk meraih kebahagiaan pada hari di mana tidak ada lagi hari sesudahnya, ketika kematian telah disembelih di antara surga dan neraka. Ketika para penduduk surga semakin bergembira dan para penghuni neraka bertambah sedih dan merana. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, dan lindungilah kami dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami mohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.
***
Adab-adab ini disadur dari Thiibul Kalim al-Muntaqa Min Kitaab al-’Ilm Li Ibni Utsaimin karya Abu Juwairiyah oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
Nasihat Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin Bagi Penuntut Ilmu
Ikhlas Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh pernah ditanya: “Bagaimanakah cara agar bisa ikhlas dalam menuntut ilmu?”
Beliau menjawab:
Ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa dicapai dengan beberapa hal:
Pertama, belajar dengan niat melaksanakan perintah Alloh. Karena Alloh telah memerintahkannya, Alloh berfirman (yang artinya),
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang hak selain Alloh dan mintalah ampun atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Dan Alloh subhanahu wa ta’ala juga mendorong orang supaya menuntut ilmu. Sedangkan dorongan Alloh atas sesuatu memberikan konsekuensi kecintaan dan keridhoan Alloh terhadap hal itu.
Kedua, belajar dengan niat menjaga syariat Alloh. Karena menjaga syariat Alloh hanya bisa dilakukan dengan mempelajari dan menghafalkannya, dan bisa juga dengan mencatat.
Ketiga, belajar dengan niat untuk melindungi syariat dan membelanya. Karena seandainya tidak ada ulama niscaya syariat tidak akan terlindungi. Dan tidak ada seorang pun yang menjadi pembelanya. Oleh sebab itu, misalnya, kita dapati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama yang lainnya bersikap lantang memusuhi ahli bid’ah dan membeberkan kebatilan bid’ah-bid’ah mereka, maka kami berkeyakinan bahwa mereka itu memperoleh kebaikan (pahala) banyak sekali.
Keempat, belajar dengan niat mengikuti syariat Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena tidak mungkin bisa mengikuti syariat beliau kecuali bila sudah mengetahui isi syariat ini.
Kelima, belajar dengan niat menghilangkan kebodohan dari dirimu sendiri dan orang lain (Diambil dari Kitabul ‘Ilmi, hal. 199, cetakan Daar Ats Tsuraya).
Pandai Memanfaatkan Waktu
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga pernah ditanya: Apakah saran anda tentang pemanfaatan waktu dan bagaimana cara menjaganya agar tidak terbuang sia-sia?
Beliau menjawab:
Para penuntut ilmu sudah semestinya menjaga waktunya agar tidak terbuang sia-sia. Sedangkan penyia-nyiaan waktu itu memiliki beberapa bentuk:
Pertama, tidak mau mengingat-ingat pelajaran dan tidak membaca lagi apa yang sudah pernah dipelajari.
Kedua, duduk-duduk bersama dengan teman-temannya dan membicarakan permasalahan yang sia-sia dan tidak berfaedah.
Ketiga, ini merupakan yang paling berbahaya bagi penuntut ilmu. Yaitu dia tidak punya keinginan selain membuntuti ucapan orang, si anu bilang demikian, si itu bilang begini. Apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, padahal perkara itu tidak penting bagi dirinya. Tak diragukan lagi bahwa perbuatan ini jelas termasuk tanda kelemahan Islam di dalam dirinya. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مِن حُسْنِ إسلام المرء تركه ما لا يَعنيه
“Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah mau meninggalkan perkara yang tidak penting baginya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)
Menyibukkan diri dengan kabar yang tersebar dari mulut ke mulut serta terlalu banyak bertanya adalah perbuatan menyia-nyiakan waktu. Pada hakikatnya ini adalah penyakit. Apabila penyakit itu sudah menjangkiti seseorang dan menjadi tekadnya yang terbesar -kita mohon keselamatan darinya kepada Alloh- maka terkadang hal itu menimbulkan permusuhan dengan orang yang sebenarnya tidak layak untuk dimusuhi, atau membela orang yang sebenarnya tidak layak untuk dibela, hanya gara-gara terlalu memperhatikan urusan tersebut, sampai-sampai membuatnya lalai untuk menimba ilmu. Dia berdalih bahwa hal itu dilakukannya demi memperjuangkan kebenaran. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Akan tetapi perbuatan ini justru membuat diri seseorang disibukkan dengan urusan yang tidak penting baginya.
Adapun apabila tiba-tiba datang berita tanpa kau cari-cari dan tanpa kau minta maka setiap orang juga menerima berita, namun tidaklah hal itu membuat mereka sibuk dengannya, dan itu juga tidak menjadi keinginannya yang terbesar. Sebab hal ini tentu saja akan menyibukkan penuntut ilmu dan menjadikan urusannya berantakan, bahkan bisa menyebabkan terbukanya pintu hizbiyah (fanatisme kelompok) sehingga menimbulkan perpecahan.” (Diterjemahkan dari Kitabul ‘Ilmi, hal. 205 Daar Ats Tsuraya).
***
Dialihbahasakan oleh: Abu Muslih Ari Wahyudi
Murojaah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Keutamaan Ilmu dan Ahlinya (1)
Segala puji untuk Allah Rabb seru sekalian alam, segala akibat baik
akan didapatkan oleh orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan salam
semoga senantiasa tercurah kepada hamba dan utusan-Nya serta makhluk
terbaik pilihan-Nya di antara semua makhluk, orang kepercayaan
pengemban wahyu-Nya, seorang Nabi, pemimpin dan tuan kita Muhammad bin
Abdillah. Begitu pula semoga pujian dan keselamatan itu terlimpah
kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan semua pengikut yang
menempuh jalannya serta mengambil petunjuk dengan petunjuknya hingga
datangnya hari kiamat. Amma ba’du.
Berikut ini untaian kalimat yang ringkas tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ahlinya. Sesungguhnya dalil-dalil syari’at dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan dengan jelas tentang keutamaan ilmu dan bertafaqquh (mendalami) ilmu agama, dan juga keutamaan lain berupa kebaikan yang sangat agung dan pahala yang sangat besar, sebutan yang indah, dan akibat yang terpuji bagi orang yang dibersihkan niatnya oleh Allah dan mendapatkan anugerah taufik dari-Nya..
Dalil dari Al-Qur’an
Dalil-dalil yang menyinggung hal ini sangat banyak dan sudah banyak diketahui orang. Cukuplah untuk menunjukkan kemuliaan ilmu dan ahlinya yaitu Allah ‘azza wa jalla telah menjadikan mereka sebagai salah satu saksi dalam hal keesaan-Nya, dan juga Allah mengabarkan bahwa mereka itulah orang-orang yang benar-benar memiliki rasa takut kepada Allah.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak selain Dia, begitu juga para malaikat mempersaksikan yang demikian itu, begitu pula ahli ilmu, demi menegakkan keadilan, tidak ada sesembahan yang hak selain Dia Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 18)
Di dalam ayat ini Allah menjadikan persaksian malaikat dan ahli ilmu untuk turut mempersaksikan keesaan-Nya Yang Maha suci. Yang dimaksud dengan ahli ilmu ialah orang-orang yang memiliki ilmu tentang Allah, orang-orang yang memahami agama-Nya dan mempunyai rasa takut kepada-Nya Yang Maha suci dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya, selalu mematuhi aturan dan batasan yang digariskan-Nya.
Hal itu sebagaimana tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir [35] : 28).
Dan telah diketahui pula bahwasanya setiap muslim pasti memiliki rasa takut kepada Allah, setiap mukmin juga pasti merasa takut kepada Allah. Akan tetapi rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para ahli ilmu, dan pemuka tertinggi mereka ialah para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam kemudian diikuti oleh orang-orang sesudah mereka yaitu para ulama sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing.
Para ulama, mereka itulah pewaris para Nabi. Rasa takut kepada Allah adalah benar adanya. Sedangkan rasa takut yang sempurna hanya ada pada diri ahli ilmu yang mengenal Allah dan memiliki bukti-bukti kuat tentang keesaan-Nya, mengetahui kesempurnaan Nama-nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan menyadari betapa agung hak yang dimiliki-Nya yang Maha suci lagi Maha tinggi. Dan para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam adalah orang-orang terdepan di antara mereka, kemudian diikuti sesudahnya oleh ahli ilmu dengan berbagai macam tingkatan pemahaman mereka dalam ilmu tentang Allah dan agama-Nya. Sudah sepantasnya bagi setiap alim dan penuntut ilmu untuk senantiasa memperhatikan perkara ini dan merasa takut kepada Allah di mana pun dia berada serta berusaha untuk terus mendekatkan dirinya kepada Allah dalam semua urusannya, baik ketika menuntut ilmu, ketika mengamalkan ilmu, menyebarkan ilmu, dan dalam setiap aspek kewajiban terhadap Allah dan kewajiban yang menjadi hak hamba yang harus ditunaikan olehnya.
Dalil dari As Sunnah
Terdapat sebuah hadits dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahihain dari hadits Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.”
Hadits yang agung ini memiliki banyak hadits pendukung dari sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ini menunjukkan bahwasanya salah satu ciri kebaikan dan tanda kebahagiaan ialah seorang hamba diberikan kepahaman dalam hal agama Allah.
Setiap penuntut ilmu yang ikhlas di perguruan tinggi manapun atau di ma’had ‘Ilmi manapun, atau di tempat yang lainnya hendaknya menjadikan pemahaman seperti inilah yang dicari dan diinginkannya. Oleh sebab itu kita memohon kepada Allah agar mereka mendapatkan taufik dan hidayah untuk menggapainya dan tercapai tujuan yang dicita-citakannya.
Dan barangsiapa yang justru berpaling dari mempelajari ilmu agama maka itu merupakan salah satu ciri bahwa Allah menghendaki buruk pada dirinya, laa haula wa laa quwwata illa billah.
Perumpamaan Ilmu dan Hidayah yang Dibawa Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya perumpamaan wahyu yang diberikan Allah kepadaku yang mencakup petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang turun membasahi bumi. Sehingga ada di antara tanahnya yang bisa menerima air dengan baik dan bisa menumbuhkan berbagai macam rumput dan tanam-tanaman. Dan ada juga tanah yang keras dan hanya bisa menampung air saja sehingga dengan perantaranya Allah memberikan kemanfaatan bagi orang-orang. Mereka bisa minum, memberikan minum pada ternak serta menyirami tanah pertanian. Akan tetapi, ada juga tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan juga tidak bisa menumbuhkan rumput-rumputan. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham dalam agama Allah serta memberikan manfaat bagi orang lain dengan ilmu yang diturunkan Allah kepadaku, dia berilmu dan juga mengajarkan ilmunya, serta perumpamaan orang yang sama sekali tidak mau memperhatikan ilmu tersebut serta tidak mau menerima petunjuk Allah yang Allah mengutusku dengan membawanya.”
Maka para ulama yang mendapatkan taufik untuk mengemban ilmu ini terbagi ke dalam dua tingkatan:
Tingkatan Pertama
Orang-orang yang meraih ilmu, mengamalkannya, mendalaminya, dan bisa menarik berbagai kesimpulan hukum darinya. Mereka terlahir menjadi para Hafizh (penghafal hadits) dan Fuqaha (ahli fikih). Mereka menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada orang-orang, dan mereka bisa memahamkan orang lain, memberikan pencerahan dan faedah kepada mereka. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai mu’allim (pengajar) dan ada yang menjadi muqri’ (pembaca), serta ada juga yang menjadi da’i ilallah ‘azza wa jalla atau menjadi mudarris (guru) yang mengajarkan ilmu dan profesi-profesi lainnya yang merupakan bentuk-bentuk pengajaran dan penularan pemahaman.
Tingkatan Kedua
Orang-orang yang mampu menghafalkan ilmu dan menyampaikannya kepada para ulama lain yang sudah dibukakan pemahaman ilmu baginya sehingga mereka bisa menarik berbagai kesimpulan hukum dari berita yang didapatkannya.
Maka dengan begitu kedua kelompok ini sama-sama memperoleh pahala dan ganjaran yang sangat besar dan melimpah serta bisa memberikan manfaat luas kepada umat.
Adapun kebanyakan orang yang ada, perumpamaan mereka itu ialah seperti tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan tidak mampu menumbuhkan rerumputan. Hal itu terjadi disebabkan mereka sengaja berpaling, lalai serta tidak mau menaruh perhatian terhadap ilmu.
Oleh sebab itu maka para ulama dan penuntut ilmu yang aktif dalam berbagai aktifitas penyebaran ilmu syar’i memiliki kebaikan yang sangat banyak serta berada di atas jalan yang lurus. Segala puji bagi Allah untuk itu. Dan itu hanya berlaku bagi orang yang mendapatkan taufik dari Allah sehingga bisa mengikhlaskan niat dan bersungguh-sungguh dalam belajar.
Maka berdatanganlah para penuntut ilmu syar’i secara beramai-ramai untuk mendalami agama Allah dan berjuang untuk bisa meraih pencerahan dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meliputi petunjuk dan ilmu pengetahuan. Dan hendaknya mereka saling berlomba untuk menuntutnya.
Dan juga hendaknya mereka bersabar dalam meniti jalan tersebut, karena mereka harus merasakan keletihan dan menghadapi berbagai kesulitan. Hal ini dikarenakan sesungguhnya ilmu itu tidak akan bisa digapai apabila dicari dengan tubuh yang selalu bersantai-santai. Akan tetapi dibutuhkan kesungguh-sungguhan, kesabaran, dan kemauan untuk menanggung rasa letih.
Inilah yang diucapkan oleh Imam Muslim rahimahullah di dalam kitab Shahih beliau dalam bab-bab tentang Mawaqit (Waktu-Waktu Shalat) yang terdapat di dalam Kitab Shalat. Ketika beliau membawakan sekian banyak sanad, di antara riwayat yang beliau sebutkan adalah perkataan Yahya bin Abi Katsir rahimahullah. Yahya mengatakan, “Ilmu tidak akan bisa diraih dengan banyak mengistirahatkan badan.” Maksud beliau rahimahullah dengan ungkapan ini ialah sebagai catatan yang harus diingat bahwasanya untuk menggali ilmu dan mendalami agama itu sangat diperlukan kesabaran dan keteguhan.
Selain itu diperlukan perhatian, pemeliharaan waktu, dan harus senantiasa diiringi dengan keikhlasan dalam beramal karena Allah dan menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu maka keberadaan berbagai kegiatan daurah ilmiah yang di dalamnya diajarkan ilmu syar’i dan juga keberadaan masjid-masjid yang di sana diadakan berbagai halaqah ilmiyah syar’iyah memiliki peranan yang sangat penting. Faedah yang bisa digali darinya juga amat besar. Karena sarana-sarana seperti itu memang dipersiapkan untuk menyebarkan kemanfaatan bagi orang banyak dan bisa menguraikan berbagai macam kesulitan yang mereka hadapi. Orang-orang yang telah mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu sangat diharapkan meraih kebaikan dan pelajaran yang banyak serta manfaat yang bisa disebarluaskan.
Tidaklah seyogyanya bagi orang yang sudah diberikan anugerah berupa ilmu oleh Allah kemudian dia justru memisahkan diri dari upaya untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada umat manusia dan tidak ikut berusaha menanamkan pemahaman agama (yang benar) kepada mereka atau mengingatkan mereka tentang Allah, hak-Nya serta hak hamba-hamba-Nya.
Dia bisa saja menempuh cara mengajar, atau pengambilan keputusan di dalam peradilan (apabila dia adalah seorang hakim, pent), atau dengan memberikan nasihat dan peringatan, atau sekedar saling mengingat-ingat isi pelajaran bersama sahabat dan saudara-saudaranya pada saat terjadi pertemuan-pertemuan yang bersifat umum maupun yang khusus.
Peranan Para Ulama Dalam Menyebarkan Ilmu
Demikian pula, sudah semestinya bagi para ulama untuk turut bergabung dalam upaya menyebarkan ilmu melalui berbagai media informasi yang tersedia, karena dengan cara itu faedah yang didapatkan sangatlah besar, dan ilmu yang disampaikan akan bisa menjangkau segala penjuru bumi sejauh yang dikehendaki oleh Allah.
Kebaikan sangat besar yang dicapai dengan menempuh metode semacam itu sudah sangat diketahui. Begitu pula dengan cara demikian maka kaum muslimin yang bisa merasakan manfaatnya semakin bertambah luas. Terlebih lagi pada masa sekarang ini, kebutuhan akan hal itu adalah sangat mendesak, bahkan di sepanjang masa hal itu selalu diperlukan. Hanya saja pada masa kita sekarang ini kebutuhan tersebut semakin memuncak karena begitu sedikitnya ilmu yang tersebar dan betapa banyaknya ajakan yang ditebarkan oleh para penyeru kebatilan.
Oleh sebab itulah sudah menjadi kewajiban bagi para ulama yang telah mendapatkan rezeki ilmu dari Allah untuk berani mengambil risiko dan menanggung beban kesulitan untuk berupaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang banyak melalui media-media tersebut.
Mereka bisa ikut andil dalam upaya ini dengan bentuk pengambilan keputusan (dalam mahkamah/pengadilan), memberikan pelajaran, mendakwahkan agama Allah ‘azza wa jalla maupun cara lainnya yang menyangkut urusan-urusan kaum muslimin. Sehingga akan tercapailah manfaat yang begitu besar dan buah yang sangat agung sebagai hasil dari upaya ini.
Peranan Penuntut Ilmu Dalam Dakwah
Seorang penuntut ilmu pun hendaknya menuntut ilmu dalam rangka memberikan manfaat bagi dirinya, untuk menyingkirkan kebodohannya serta dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan amalan yang diridhai-Nya dengan didasari keterangan dan pemahaman yang baik. Dengan menuntut ilmu dia juga bisa berpartisipasi dalam menyebarkan manfaat bagi orang banyak. Yaitu untuk mengeluarkan mereka dari berbagai macam kegelapan menuju cahaya.
Selain itu, dengan ilmunya itu maka apa yang diputuskannya akan bisa menyelesaikan berbagai kesulitan yang dihadapi oleh mereka. Dia akan mampu melakukan perbaikan di antara mereka. Dia akan sanggup mengajari orang yang belum tahu di antara mereka. Dia pun akan bisa ikut serta membimbing orang-orang yang tersesat di antara mereka. Dia akan bisa memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar kepada mereka, dan manfaat-manfaat lainnya.
Sehingga peranan penuntut ilmu itu bisa merambah ke dalam medan yang sangat banyak, tidak terbatas pada masalah-masalah tertentu saja. Apalagi bagi seseorang yang berkedudukan sebagai qadhi atau hakim.
Karena seorang qadhi yang sanggup bersabar dengan taufik dari Allah niscaya dia akan bisa terjun untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Apabila bersama dengan penuntut ilmu maka dia juga bisa berperan di sana. Apabila diserahi profesi peradilan ia juga bisa berperan di sana. Dia akan bersama dengan para pengajar. Dia akan bersama para pengajak kepada yang ma’ruf dan pencegah yang mungkar. Dia akan bersama dengan para da’i ilallah ‘azza wa jalla atau bersama para pelaku perbaikan dan urusan-urusan kaum muslimin yang lainnya.
Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus mempersiapkan diri untuk mengurusi amanah yang dibebankan kepadanya dan dia harus siap menanggung berbagai kesulitan di dalam membela agama Allah. Hendaknya dia bercita-cita tinggi. Sebagaimana dahulu para Salafush Shalih yang mendahului kita -semoga Allah merahmati mereka semua- berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyebarkan manfaat kepada umat manusia.
Wasiatku kepada ulama dan para penuntut ilmu serta untuk setiap muslim dan muslimah ialah agar mereka bersabar dalam menjalani hal ini.
Hendaknya mereka terus berupaya bersungguh-sungguh dalam meniti jalan kebenaran. Hendaknya mereka pandai memanfaatkan waktu yang ada. Dan supaya mereka memperbanyak kegiatan dalam rangka saling mengingat ilmu di antara mereka untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang terasa sulit bagi sebagian mereka. Sehingga dengan demikian akan terkumpullah berbagai pengetahuan yang akan membuahkan kebaikan bagi mereka dan insya Allah juga bagi kaum muslimin. Hendaknya hal itu juga disertai dengan semangat penuh untuk memperbaiki niat dan ikhlas dalam mengerjakan segala macam amal untuk mendekatkan diri hamba kepada Rabbnya, dan bersemangat dalam segala hal yang bisa mendatangkan kemanfaatan untuk orang banyak.
Di antara perkara yang bisa mendatangkan manfaat bagi orang banyak dan bisa menjadi jalan keluar berbagai persoalan dan menjadi sebab tersebarnya keadilan ialah mengembalikan urusan kepada ahli ilmu dan pemilik bashirah yang memiliki kedalaman rasa takut kepada Allah Yang Maha suci dalam menyelesaikan sengketa peradilan yang terjadi di antara manusia serta untuk mengajarkan ilmu kepada mereka.
Dan sudah termasuk hal yang diketahui bahwasanya fungsi peradilan (yang beliau maksud adalah peradilan atau mahkamah syari’at, pent) adalah tergolong amal yang akan mendatangkan pelipatgandaan pahala dari Allah dan meninggikan derajat bagi orang-orang yang dikaruniai keikhlasan niat oleh Allah dan juga bagi mereka yang mendapatkan anugerah ilmu yang bermanfaat serta bermaksud baik bagi kepentingan kaum muslimin.
Meskipun kedudukan tersebut memang cukup mengandung risiko dan para Salafush Shalih kita senantiasa merasa enggan untuk mendudukinya serta merasa khawatir apabila mendapatkannya. Akan tetapi kondisi masyarakat berubah-ubah, begitu pula pergiliran waktu tidaklah seragam.
Pada masa seperti ini umat manusia sangat membutuhkan orang yang benar-benar alim dan bisa memutuskan urusan di antara orang-orang dengan landasan ilmu yang kuat serta senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya dalam rangka menemukan solusi untuk permasalahan-permasalahan mereka.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Keutamaan Ilmu dan Ahlinya (2)
Bahaya Apabila Urusan Tidak Dipegang Oleh Ahli Ilmu
Oleh karena itu tidak seyogyanya bagi seorang ahli ilmu yang dipercaya untuk menjadi hakim yang mengadili di antara manusia serta telah dianugerahi ilmu dan bashirah oleh Allah sementara kebutuhan umat sangat memuncak kemudian menolak jabatan kehakiman yang ditawarkan kepadanya.
Akan tetapi sudah menjadi kewajiban baginya untuk menerima tawaran
itu dan menyiapkan diri untuk segera beramal dengan ilmunya serta
menerapkan apa yang diinginkan orang darinya. Dan dengan ilmunya itulah
dia akan bisa mendatangkan banyak kebaikan bagi umat manusia. Hendaknya
dia juga memohon taufik dan pertolongan dari Rabbnya.
Namun apabila ternyata dia tidak sanggup dan memandang dirinya belum mampu untuk memenuhinya maka dia bisa meminta toleransi untuk mundur atau terus menerimanya. Adapun orang yang sengaja menyia-nyiakan kesempatan baik maka yang demikian itu tidak pantas baginya. Karena kesempatan ini merupakan sebuah pintu yang seharusnya dibuka oleh ahli ilmu dan ahli iman yang memiliki kesanggupan demi menebarkan manfaat bagi umat manusia.
Bahkan sudah semestinya para ulama mempunyai cita-cita yang tinggi dan niat yang bersih serta berkeinginan kuat untuk memberikan manfaat bagi kaum muslimin, demi menyelesaikan berbagai kesulitan mereka, supaya nantinya posisi tersebut tidak dipegang oleh orang yang bodoh.
Karena apabila ahli ilmu sudah pergi niscaya yang menggantikannya adalah orang-orang yang bodoh, dan itu sudah pasti. Kalau tidak ini ya itu. Oleh sebab itu keberadaan para hakim yang bisa memutuskan berbagai persoalan dan mengadili dengan benar di antara mereka adalah sangat dibutuhkan. Kalau orang-orang baik bisa menangani posisi tersebut maka itulah kebaikan, akan tetapi kalau mereka tidak mau menanganinya maka orang-orang selain merekalah yang akan mendudukinya.
Oleh sebab itulah sudah menjadi kewajiban bagi ulama dan bagi setiap orang yang memiliki rasa takut kepada Allah untuk mempertimbangkan baik-baik hal ini dengan senantiasa mengharap curahan pahala dari sisi Allah. Dan hendaknya dia harus bersabar dan tabah dalam melaksanakan tugas seraya mengharapkan pahala dari sisi Allah ‘azza wa jalla.
Terdapat hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara tiba-tiba dari hati-hati manusia. Akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mencabut nyawa para ulama satu demi satu. Sampai datanglah suatu saat ketika tidak ada lagi orang yang alim maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin yang bodoh-bodoh. Maka mereka pun ditanya tentang berbagai masalah, kemudian merekapun berfatwa tanpa ilmu. Sehingga mereka sendiri sesat dan juga menyesatkan orang lain.” (HR. Al Bukhari dan Muslim di dalam kedua kitab Shahih mereka dari hadits Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma)
Dengan demikian jelaslah bagi para ulama dan ahli iman tentang betapa besar bahaya dan akibat buruk yang muncul apabila ulama yang baik sudah lenyap atau apabila mereka sengaja meninggalkan perannya dan malah memberikannya kepada orang lain. Dan tidaklah tersembunyi bagi kita bahwasanya apabila seorang alim itu -entah menjabat sebagai hakim atau yang lainnya- berijtihad dan benar niscaya dia akan memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad dan terjatuh dalam kesalahan maka dia mendapatkan satu pahala. Sebagaimana hal itu sudah tercantum dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka sebenarnya tidak ada bahaya bagi dirinya apabila dia senantiasa bersikap jujur, ikhlas dan serius mencari kebenaran. Yang dikhawatirkan sebenarnya ialah orang-orang yang menerjuni dunia peradilan dengan tidak sebagaimana mestinya, juga orang yang berfatwa dengan landasan kebodohan, atau orang yang mengadili dengan tindakan curang.
Hal itu sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Ada tiga macam hakim. Dua di antaranya berada di neraka dan satu berada di surga. Adapun yang berada di surga ialah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengannya. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran akan tetapi malah memutuskan perkara dengan curang maka dia berada di neraka. Kemudian seorang hakim yang memutuskan perkara di kalangan umat manusia dengan landasan kebodohan maka dia juga di neraka.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan Al Hakim)
Adapun orang yang berusaha mencari kebenaran dan bersungguh-sungguh dalam menerapkannya serta mengusahakan tersebarnya manfaat bagi kaum muslimin maka dia berada di antara dua posisi; kalau tidak mendapat dua pahala, ya mendapat satu pahala, sebagaimana sudah diterangkan terdahulu di dalam hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetaplah Bertakwa dan Memelihara Keikhlasan
Kemudian aku juga hendak berpesan kepada seluruh saudaraku umat Islam secara umum serta kepada para ahli ilmu dan pelajar secara khusus begitu juga kepada diriku sendiri untuk senantiasa bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap urusan, juga untuk beramal dengan ilmu yang sudah kita miliki dengan cara menunaikan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah kepada kita dan supaya menjauhi berbagai hal yang diharamkan-Nya.
Karena seorang penuntut ilmu adalah menjadi teladan bagi orang yang lainnya dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu pada semua kondisinya; baik tatkala berada dalam sidang peradilan maupun bukan, ketika berada di jalan maupun ketika berada di rumah, dalam pergaulan dan perkumpulannya dengan sesama manusia, ketika mengendarai angkutan, ketika berada di bandara, dan dalam semua situasi yang dialaminya. Sehingga seharusnya dia adalah contoh dalam kebaikan.
Wajib bagi dirinya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan mendakwahi manusia untuk mengikuti kebaikan dengan perkataan dan perbuatannya secara beriringan. Sehingga dia akan tampak jelas di antara manusia dengan ilmu dan keutamaan yang dimilikinya dan perjalanan hidupnya yang lurus serta metode yang diterapkannya yang berada di atas manhaj Nabawi yang dititi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, semoga Allah meridhai mereka, dan mereka juga sangat menaruh perhatian yang dalam untuk memberikan kejelasan bagi umat tanpa diiringi maksud untuk menyombongkan diri di hadapan mereka.
Seorang alim maupun bukan, sesungguhnya berada di tepi bahaya yang sangat menakutkan. Terkadang bahaya itu datang karena riya’, terkadang timbul dari sisi kesombongan, dan terkadang bersumber dari sebab lain atau maksud-maksud buruk lainnya. Maka kewajiban baginya adalah bertakwa kepada Allah dan mengikhlaskan amalan untuk-Nya. Dan hendaknya dia selalu mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh urusannya.
Dan hendaknya dia menjadi orang yang tawadhu’ di hadapan hamba-hamba Allah, tidak bersikap sombong kepada mereka dengan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada dirinya dan tidak diberikan kepada kebanyakan orang. Maka hendaknya dia bersyukur kepada Allah karenanya. Dan salah satu bentuk syukur kepada Allah ialah dengan bersikap tawadhu’, tidak sombong. Termasuk bentuk syukur kepada Allah adalah menyebarkan ilmu di masjid-masjid atau di tempat-tempat lain. Sehingga seorang hakim bisa berceramah di hadapan orang banyak apabila dia sedang dibutuhkan oleh mereka. Atau dengan cara mengajari para penuntut ilmu serta berdakwah ilallah dan turut serta beramar ma’ruf nahi munkar. Dan ia juga bersungguh-sungguh untuk berupaya memperbaiki kondisi kaum muslimin. Dia juga bisa berhubungan langsung dengan pihak pemerintah dan mengangkat permasalahan yang dalam pandangannya itu bisa mendatangkan kebaikan demi menasihati mereka. Sehingga hakim tersebut akan senantiasa bergulat dalam memperjuangkan bermacam-macam kemaslahatan umat Islam, dan dalam segala hal yang bisa memberikan manfaat untuk mereka, demi menunaikan kewajibannya dan mengangkat kepentingan Islam dan para pemeluknya.
Pelajari Al-Qur’an Dengan Baik
Selain itu saya juga berpesan kepada saudara-saudaraku semuanya, terutama para ahli ilmu dan pelajar supaya menaruh perhatian besar terhadap al-Qur’an al-Karim. Karena ia adalah Kitab paling agung dan Kitab paling mulia yang telah memuat sebaik-baik ilmu pengetahuan dan ilmu yang paling bermanfaat seluruhnya, sebagaimana hal itu sudah tidak tersamar lagi. Al-Qur’an itulah pembantu terkuat sesudah Allah ‘azza wa jalla untuk bisa menopang upaya mendalami ilmu agama dan memahami seluk beluknya, dan juga untuk memupuk rasa takutnya kepada Allah ‘azza wa jalla. Ia juga menjadi sarana pendukung dalam rangka meneladani orang-orang baik.
Oleh sebab itu aku mewasiatkan kepada semuanya dan juga kepada diriku sendiri untuk menaruh perhatian besar terhadap Kitab yang agung ini dengan cara merenungkan dan memahami makna-maknanya serta untuk memperbanyak membacanya di waktu siang maupun malam. Dan hendaknya kita selalu kembali merujuk kepadanya dalam memecahkan segala urusan.
Dan hendaknya menelaah perkataan-perkataan ulama tafsir dalam memahami ayat-ayat yang belum dimengerti maksudnya, karena itu merupakan sarana terbaik untuk membantu memahami Kitabullah. Karena Kitab ini merupakan kitab yang terbaik, kitab yang paling utama dan kitab yang paling benar maka Allah Yang Maha suci pun berfirman tatkala menyifatinya, “Sesungguhnya al-Qur’an ini akan menunjukkan kepada yang lebih lurus.” (QS. Al Israa’ [17]: 9)
Allah ‘azza wa jalla juga berfirman, “Dan Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab sebagai penjelas segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi umat Islam.” (QS. An Nahl [16]: 89)
Allah jalla wa ‘ala juga berfirman, “Katakanlah, Ia (al-Qur’an) merupakan petunjuk dan obat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushshilat [41]: 44)
Allah Yang Maha suci juga berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang kami luputkan dari dalam Al-Kitab.” (QS. Al An’am [6]: 38)
Oleh sebab itulah maka sudah selayaknya bagi seluruh kaum muslimin dan muslimat dan terutama bagi ahli ilmu untuk mempelajarinya dengan penuh perhatian dan menggigitnya dengan gigi-gigi geraham mereka, dan berusaha keras dalam merenungkan, memahami dan mengamalkan isinya, dan juga dengan melihat penafsiran-penafsiran yang diberikan para ulama tentang masalah yang terasa sulit dipahami. Hal ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Inilah Kitab yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh membawa barakah agar direnungkan ayat-ayatnya dan orang-orang yang berpikir mau mempelajarinya.” (QS. Shaad [38]: 29)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman, “Apakah mereka tidak mau merenungkan Al-Qur’an, ataukah di atas hati mereka terdapat gembok-gembok yang menguncinya?” (QS. Muhammad [47]: 25)
Pelajarilah As Sunnah
Kemudian sesudah itu hendaknya ia juga mempelajari Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, memperhatikan dan berusaha menghafal sebagiannya sejauh yang mudah untuk dihafalkannya. Dengan tetap senantiasa memperbanyak mengulang dan menelaah hadits-haditsnya. Terutama hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah akidah serta perkara lain yang wajib dikerjakan oleh hamba yang sudah terkena beban syari’at. Dan juga mempelajari Sunnah Nabi tentang amal diri pribadinya sendiri, karena hal itu lebih dekat jangkauannya dan lebih wajib baginya untuk menaruh perhatian tentangnya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Katakanlah, Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran [3]: 31)
Dan tidak ada jalan untuk bisa mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sempurna melainkan dengan cara mempelajari hadits-hadits beliau, dengan menaruh perhatian terhadap hadits dan juga tetap menaruh perhatian terhadap Kitabullah ‘azza wa jalla secara beriringan.
Aku nasihatkan kepada para ahli ilmu dan para pelajar agar mencurahkan perhatian kepada kitab-kitab hadits, dengan banyak membacanya, mengajarkannya dan mengulang-ulanginya. Dan kitab yang paling utama di antaranya adalah Dua Kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, red), kemudian diikuti oleh Enam Kitab Induk yang lainnya (yaitu Sunan Abu Dawud, An-Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah, red) kemudian disertai kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan Ad-Darimi, dan kitab-kitab hadits lainnya yang sudah cukup populer. Semoga Allah melipatgandakan pahala bagi para penulisnya. Semoga Allah membalas jasa yang mereka sumbangkan kepada kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.
Membaca Kitab Para Ulama yang Terpercaya
Kemudian hendaknya mereka juga membaca karya-karya ulama yang dikenal berakidah lurus dan memiliki perbendaharaan ilmu yang luas dan sarat dengan dalil-dali syari’at. Di antara mereka yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Al ‘Allamah Ibnul Qayyim dan Al Hafizh Ibnu Katsir, rahmatullaahi ‘alaihim jamii’an. Mereka ini sudah sangat pakar dalam bidangnya. Mereka telah berhasil menyebarkan sekian banyak ilmu di tengah kaum muslimin dan membeberkan kepada orang-orang tentang hakekat Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan disertai dalil-dalilnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Beberapa kitab Syaikhul Islam yang paling utama ialah Minhajus-Sunnah, Majmu’ Fatawa, Muthabaqatu Sharihil ‘Aql li Shahihil Manqul, Al-Jawab Ash-Shahih fi Raddi ‘ala Man Baddala Diin Al-Maasih, dan kitab-kitab berfaedah lainnya serta kitab-kitab yang mencakup penjelasan tentang akidah yang shahihah dan hukum-hukum serta bantahan bagi musuh-musuh Islam. Beberapa kitab Ibnul Qayyim yang paling utama adalah Ath-Thuruq Al-Hukmiyah, I’laamul Muwaqqi’iin, Zaadul Ma’aad. Kitab-kitab ini memiliki urgensi yang sangat besar, apalagi bagi para hakim dan pemberi fatwa.
Demikian pula hendaknya mengkaji kumpulan fatwa para Imam Dakwah yang diberi nama dengan Durarus Saniyah. Kitab tersebut telah merangkum banyak risalah dan tanya jawab yang sarat faidah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, para muridnya dan pengikut-pengikutnya, semoga Allah merahmati mereka semuanya. Begitu pula fatwa-fatwa guru kami Al ‘Allamah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy-Syaikh rahimahullah. Karya beliau itu sudah meliputi ilmu yang cukup luas dan banyak mengandung pelajaran yang sangat berharga.
Maka aku menasihatkan kepada kalian untuk mengkaji kitab-kitab ini sesudah Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena di dalamnya terdapat kandungan ilmu yang sangat banyak dan pengantar menuju segala kebaikan. Dan demikian pula halnya terhadap kitab-kitab lain yang berfaedah dan bermanfaat yang juga menaruh perhatian dalam mengemukakan dalil-dalil seperti Syarhul Muhadzdzab, Al-Muhalla dan kitab-kitab yang lainnya yang memfokuskan kepada pemahaman dalil dan membawakan perkataan para ulama. Sehingga itu semua merupakan kitab terpenting yang selayaknya dikaji oleh para ulama dan penuntut ilmu, baik yang menjabat sebagai hakim maupun bukan.
Aku memohon kepada Allah dengan perantara Nama-Nama-Nya Yang Terindah dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha tinggi supaya memberikan taufik kepada kita dan semua kaum muslimin untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.
Dan semoga Allah mengaruniakan kepada kita semua niat yang ikhlas, kesabaran dan pemahaman dalam hal agama serta menggapai kemenangan yaitu berhasil mendapatkan hasil yang terpuji ketika di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Allah ta’ala Maha Murah lagi Maha Mulia.
Sebagaimana aku juga memohon kepada-Nya Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi untuk memberikan taufik kepada para pemegang urusan (pemerintah) kita dan seluruh pemerintah kaum muslimin.
Semoga Allah membaikkan para pembantu mereka, serta menolong mereka dalam menunaikan setiap kebaikan, membela kebenaran dengan kekuasaan mereka, meluluhlantakkan kebatilan dengan kekuasaan mereka. Dan semoga Allah menolong mereka dalam upaya menegakkan hukum Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala aspek kehidupan. Semoga Allah melindungi kita, melindungi mereka dan melindungi semua umat Islam dari kejelekan hawa nafsu kita dan keburukan amal-amal kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Shalawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para Sahabatnya.
Alhamdulillaahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat
selesai diterjemahkan dengan penambahan sub judul dari penerjemah, dari artikel beliau yang berjudul Fadhlul ‘Ilmi wa Syarfu Ahlihi dari mauqi’ (website) beliau,
Yogyakarta, Jum’at 30 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriah
***
Penulis: Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Ilmu Melahirkan Amalan
Keutamaan Ilmu
Imam Ahmad mengatakan, “Menuntut ilmu dan mengajarkannya lebih utama daripada berjihad dan amal sunnah lainnya.” Karena ilmu itu adalah asas dan pokok segala urusan, bahkan dia merupakan ibadah paling agung serta kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang paling ditekankan. Bahkan dengan ilmulah Islam dan kaum muslimin tetap hidup.
Adapun ibadah-ibadah sunnah hanya akan memberikan manfaat bagi diri pelakunya sendiri dan tidak mengenai orang lain. Ilmu itulah warisan yang ditinggalkan para Nabi dan cahaya yang akan menerangi hati. Orang yang mewarisinya adalah golongan Allah dan pembela-Nya, mereka adalah orang yang paling utama di sisi Allah, paling dekat dengan-Nya, paling takut kepada-Nya serta paling tinggi derajatnya.” (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 11)
Ibarat Pohon yang Tak Berbuah
Namun ingat, bahwa ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang membuahkan amalan, itulah ilmu yang bermanfaat.
Syaikh Abdurrahman bin Qasim An Najdi rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu dicari demi mencapai sesuatu yang lain. Fungsi ilmu ibarat sebatang pohon, sedangkan amalan seperti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh.
Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama untuk menyalakan api neraka.
Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,
Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala. (lihat Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Ancaman Bagi Orang yang Berilmu Tapi Tidak Beramal
Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al Watr mengatakan, “Di dalam al-Qur’an Allah ta’ala sering sekali menyebutkan amal shalih beriringan dengan iman. Allah juga mencela orang-orang yang mengatakan apa-apa yang mereka tidak kerjakan. Dan Allah mengabarkan bahwa perbuatan seperti itu sangat dimurkai-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)
Di dalam shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan hadits Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan ada seseorang yang didatangkan kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Isi perutnya terburai, sehingga ia berputar-putar sebagaimana berputarnya keledai yang menggerakkan penggilingan. Penduduk neraka pun berkumpul mengerumuninya. Mereka bertanya, ‘Wahai fulan, apakah yang terjadi pada dirimu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’. Dia menjawab, ‘Dahulu aku memerintahkan kalian berbuat baik akan tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kemungkaran sedangkan aku sendiri justru melakukannya’.”
Oleh sebab itu ilmu harus diamalkan. Shalat harus ditegakkan. Zakat juga harus ditunaikan, dan lain sebagainya. Karena sesungguhnya Allah tidak memiliki tujuan lain dalam menciptakan makhluk kecuali supaya mereka beribadah kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 56)” (Lihat Taisirul Wushul, hal. 10)
Berilmu Tidak Beramal Menyerupai Kaum Yahudi
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Maksud perkataan beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab), “Beramal dengannya” adalah beramal dengan perkara-perkara yang dituntut oleh ilmu ini, yaitu beriman kepada Allah, menaati-Nya dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Beramal dengan ibadah yang khusus maupun ibadah yang berdampak keluar. Ibadah yang khusus seperti shalat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah yang berdampak keluar ialah seperti beramar ma’ruf dan nahi munkar, berjihad di jalan Allah dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya amal adalah buah ilmu. Barang siapa yang beramal tanpa ilmu maka dia telah menyerupai orang Nasrani. Dan barang siapa yang berilmu tapi tidak beramal maka dia telah menyerupai orang Yahudi.” (Lihat Syarhu Tsalatsatul Ushul, hal. 22)
Belum Layak Disebut ‘Alim Jika Belum Beramal
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Ilmu tidaklah dituntut melainkan supaya diamalkan. Yaitu dengan mewujudkan ilmu dalam praktek nyata, yang tampak dalam bentuk pola pikir seseorang dan perilakunya. Terdapat nash-nash syari’at yang mewajibkan untuk mengikuti ilmu dengan amalan dan agar akibat dari ilmu yang dipelajari muncul pada diri orang yang menuntut ilmu. Dan terdapat ancaman yang keras terhadap orang yang tidak beramal dengan ilmunya. Dan begitu pula bagi orang yang tidak memulai perbaikan dari dirinya sendiri sebelum memperbaiki diri orang lain. Dan dalil-dalil tentang hal itu sudah sangat populer dan dikenal.
Sungguh indah ucapan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang ‘Aalim itu masih dianggap Jaahil (bodoh) apabila dia belum beramal dengan ilmunya. Apabila dia sudah mengamalkan ilmunya maka jadilah dia seorang yang benar-benar ‘Aalim.”
Ini adalah ungkapan yang sangat tepat. Karena apabila seseorang memiliki ilmu, akan tetapi dia tidak mengamalkan ilmu tersebut maka dia tetaplah disebut jahil. Sebab tidak ada perbedaan antara keadaan dirinya dengan keadaan orang yang jahil. Apabila dia berilmu tetapi tidak mengamalkannya maka orang yang alim itu belumlah pantas disebut sebagai orang berilmu yang sesungguhnya, kecuali bila di sudah beramal dengan ilmunya.” (Hushulul Ma’mul, hal. 16)
Beramal Adalah Sarana Mempertahankan Ilmu
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Kemudian perlu dimengerti pula bahwa sebenarnya beramal itu juga termasuk penyebab ilmu tetap ada dan bertahan. Oleh sebab itulah, dapat anda jumpai bahwa orang yang beramal dengan ilmunya akan mudah mengeluarkan ilmunya kapanpun dia mau.
Adapun orang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmu yang didapatkannya sangat cepat hilang. Sebagian ulama salaf mengatakan, “Dahulu kami mencari sarana pendukung dalam rangka menghafalkan hadits dengan cara mengamalkannya.”
Selain itu, ulama lain mengatakan, “Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang diketahuinya niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu lain yang belum dia ketahui. Dan barang siapa yang tidak beramal dengan ilmu yang sudah diketahuinya maka sangat dikhawatirkan Allah akan melenyapkan ilmu yang dimilikinya.”
Perkataan ini dianggap hadits oleh sebagian orang, padahal sebenarnya itu bukan hadits. Sebab itu hanyalah ungkapan yang disebutkan Syaikhul Islam rahimahullah. Makna dari kalimat ‘Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dimilikinya’ adalah Allah akan menambahkan keimanan dan menyinari pandangan mata hatinya serta membukakan baginya berbagai jenis ilmu dan cabang-cabangnya.
Oleh sebab itulah anda temukan orang alim yang senantiasa beramal terus mendapatkan peningkatan dan memperoleh limpahan barakah dari Allah dalam hal waktu dan ilmunya. Dalil pernyataan ini terdapat di dalam kitabullah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tetap mencari petunjuk maka Allah akan tambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah anugerahkan kepada mereka ketakwaan.” (QS. Muhammad [47]: 17)
Asy Syaukani mengatakan, “Artinya Allah pasti akan menambahkan kepada mereka keimanan, dan ilmu serta bashirah dalam beragama. Sehingga maknanya orang-orang yang mencari hidayah dengan meniti jalan kebaikan, beriman kepada Allah, dan mengamalkan perintah-Nya niscaya Allah akan tambahkan keimanan, ilmu dan bashirah dalam beragama kepada mereka”. Maka seorang muslim hendaknya mengenali urgensi mengamalkan ilmu.” (Hushulul Ma’mul, hal. 17)
Ilmu Akan Menjadi Pembela Atau Penentangmu
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Dan hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.”
Ini bukan hanya berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut.
Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu.” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)
Hukum Bila Ilmu Tidak Diamalkan
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata, “Beramal dengan ilmu itu ada yang apabila ditinggalkan menyebabkan kekafiran, ada pula yang menyebabkan terjatuh dalam kemaksiatan, dan ada pula yang membuat dirinya terjatuh dalam perkara yang makruh, dan ada juga yang apabila ditinggalkan boleh. Lantas bagaimanakah maksudnya ?
Ilmu itu terbagi menjadi beberapa bagian. Ilmu tentang tauhid, yaitu meyakini bahwasanya Allah sajalah yang berhak diibadahi. Maka apabila seorang hamba mengetahui ilmu ini lalu tidak beramal dengan ilmu ini sehingga dia berbuat syirik kepada Allah jalla wa ‘ala maka ilmunya itu tidak akan bermanfaat baginya. Maka pada saat semacam itu bagi dirinya meninggalkan amalan menyebabkan dia kafir.
Dan terkadang bisa dikategorikan maksiat yaitu misalnya apabila seseorang mengetahui bahwa khamr haram diminum, dijual, dibeli, memberikan, memintanya, dan seterusnya. Kemudian dia menyelisihi ilmu yang dimilikinya padahal dia mengetahui keharamannya, tetapi dia tetap nekat melakukannya. Maka tindakannya ini dikategorikan kemaksiatan. Artinya dia telah terjatuh dalam dosa besar.
Dalam pembahasan ini, ada pula ilmu yang apabila tidak diamalkan dihukumi sebagai hal yang makruh. Seperti contohnya apabila seseorang mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat dengan tata cara tertentu yang termasuk sunnah-sunnah shalat kemudian dia tidak mengamalkannya maka ini makruh hukumnya. Karena dia telah meninggalkan sebuah amal sunnah, bukan wajib. Sehingga hukum meninggalkannya adalah makruh saja sedangkan mengamalkannya hukumnya mustahab.
Dan terkadang beramal dengan ilmu itu mubah saja begitu pula mubah meninggalkannya. Seperti perkara-perkara mubah dan adat dan semacamnya. Seperti misalnya apabila sampai kepada kita hadits bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian dengan model tertentu, atau cara berjalan beliau adalah demikian dan demikian. Perkara-perkara ini adalah perkara manusiawi dan kebiasaan saja, sebagaimana sudah kita pelajari bahwa hal seperti ini tidak termasuk perkara yang kita diperintahkan untuk menirunya. Sehingga tidak mengerjakannya adalah mubah sebab seorang muslim memang tidak diperintahkan untuk meniru perkara-perkara semacam ini. Yaitu perkara-perkara seperti tata cara berjalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, suaranya, atau hal-hal lain yang termasuk perkara manusiawi dan kebiasaan saja yang dilakukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mengamalkan hal itu mubah saja. Dan terkadang bisa juga diberi pahala apabila disertai niat ingin meneladani beliau. Karena itulah maka meninggalkan amal dalam hal ini juga mubah…” (Syarh Kitab Tsalatsatul Ushul, hal. 5)
Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Penuntut Ilmu Sejati
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Ustaimin rahimahullah menyebutkan bahwa salah satu adab yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang dimiliki. Beliau mengatakan, “Sudah seyogyanya penuntut ilmu beramal dengan ilmunya, baik yang terkait dengan masalah akidah, akhlak, adab maupun muamalah. Karena sesungguhnya inilah buah ilmu dan hasil yang bisa dipetik darinya.
“Seseorang yang membawa ilmu itu seperti orang yang membawa senjata. Bisa jadi senjata itu membelanya atau justru berbalik mengenai dirinya. Oleh sebab itulah terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Al-Qur’an adalah hujjah pembelamu atau yang menjatuhkanmu.” (HR. Muslim). Al-Qur’an akan membelamu jika kamu beramal dengannya. Dan dia akan berubah menjadi musuhmu apabila kamu tidak mengamalkannya…” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 32)
Mengamalkan Ilmu Adalah Ciri Da’i Sejati
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Salah satu akhlak dan sifat yang semestinya bahkan wajib dimiliki oleh da’i adalah beramal dengan isi dakwahnya. Dan hendaknya dia bisa menjadi teladan yang baik dalam perkara yang didakwahkannya. Bukan termasuk orang yang mengajak kepada sesuatu kemudian meninggalkannya. Atau melarang sesuatu tetapi kemudian dia sendiri justru melakukannya. Ini adalah keadaan orang-orang yang merugi, kita berlindung kepada Allah darinya.
Adapun keadaan orang-orang yang beriman dan beruntung adalah menjadi da’i kebenaran, mereka mengamalkan ajakannya, bersemangat melakukannya, bersegera mengerjakannya serta berusaha menjauhi perkara yang dilarangnya. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak mengerjakannya. Sungguh besar murka Allah atas perkataan kalian terhadap sesuatu yang kalian sendiri tidak kerjakan.” (QS. Ash Shaff [61]: 2-3)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman dalam konteks celaan terhadap kaum Yahudi karena mereka menyuruh orang untuk berbuat baik sementara mereka sendiri melupakan diri sendiri, “Apakah kalian menyuruh orang untuk mengerjakan kebaikan sedangkan kalian melupakan kewajiban diri kalian sendiri. Padahal kalian juga membaca Al Kitab. Tidakkah kalian memahami.” (QS. Al Baqarah [2]: 44)…” (Wujuubu Da’wah ilallaah wa Akhlaaqu Du’aat, hal. 52)
Mengamalkan Ilmu Adalah Bagian dari Shirathal Mustaqim
Setiap kali shalat kita senantiasa memohon petunjuk kepada Allah agar diberi hidayah menuju dan meniti jalan yang lurus atau shirathal mustaqim. Apakah yang dimaksud shirathal mustaqim ?
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)
Kemudian Allah memperjelas hakikat shirathal mustaqim ini di dalam ayat berikutnya, “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al Fatihah)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Shirathalladziina an’amta ‘alaihim adalah jalan para Nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’ dan orang-orang shalih. “Bukan” jalan “orang-orang yang dimurkai” yaitu orang-orang yang telah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya, seperti halnya orang Yahudi dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka. Bukan pula jalan “orang-orang yang sesat” yaitu orang-orang yang meninggalkan kebenaran di atas kebodohan dan kesesatan, seperti halnya orang Nasrani dan orang lain yang memiliki ciri seperti mereka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39)
Oleh sebab itulah kita dituntunkan untuk selalu meminta hidayah kepada Allah; baik hidayah ilmu (hidayatul irsyad) maupun hidayah amal (hidayatu taufiq) minimal 17 kali sehari semalam.
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Seandainya bukan karena betapa besar kebutuhan hamba untuk meminta hidayah sepanjang siang dan malam tentulah Allah tidak akan menuntunnya untuk melakukan hal itu.
Karena sesungguhnya seorang hamba senantiasa membutuhkan bimbingan Allah ta’ala pada setiap saat dan keadaan. Yaitu supaya dia memperoleh ketegaran di atas hidayah, mengokohkan diri di dalamnya, mendapatkan pencerahan, hidayah semakin bertambah dan terus menerus menyertai dirinya.
Karena seorang hamba tidak bisa menguasai barang sedikitpun manfaat maupun mudharat bagi dirinya sendiri, kecuali sebatas yang diinginkan Allah. Sehingga Allah ta’ala pun membimbingnya agar meminta petunjuk pada setiap waktu, yang dengan sebab itu Allah akan membentangkan pertolongan, ketegaran dan taufik kepadanya.
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala untuk selalu meminta petunjuk, karena Allah menjamin akan mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya. Terlebih lagi apabila orang yang meminta sedang berada dalam keadaan terjepit dan sangat merasa butuh kepada Allah, di waktu siang maupun malam… (Tafsir Ibnu Katsir, I/37-38)
Wallahul muwaffiq.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu
Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul’ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.
Penulis teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.
Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf.
Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:
- Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.
- Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.
- Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.
- Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.
- Senantiasa didengar doanya.
- Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.
- Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.
- Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.
- Selalu mengharapkan akhirat.
- Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.
- Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.
- Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.
- Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.
- Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.
Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:
- Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.
- Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.
- Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.
- Tidak dikabulkan doanya.
- Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.
- Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.
- Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.
- Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.
- Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.
- Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.
- Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.
- Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.
Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu… Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),
من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (*)
*) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu:
من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار
***
اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين
Maraji’:
- Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah
- Shahih Muslim, Dar As-Salam
- Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif
***
Penulis: Ustadz Said Yai Ardiansyah (Mahasiswa Fakultas Hadits, Jami’ah Islamiyah Madinah, Saudi Arabia)
Artikel www.muslim.or.id
Kebanyakan Manusia Tidak Berilmu
Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia yang artinya, “Itulah janji Allah. Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum [30]: 6)
Ibnu Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya, “Sedangkan firman-Nya ta’ala ‘Itulah janji Allah. Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya.’ Artinya: Inilah yang Kami beritakan kepadamu hai Muhammad, bahwasanya Kami benar-benar akan memenangkan Romawi dalam melawan Persia, itulah janji yang benar dari Allah, sebuah berita yang jujur dan tidak akan meleset. Hal itu pasti terjadi. Karena ketetapan Allah yang telah berlaku menuntut-Nya untuk memenangkan salah satu kelompok yang lebih dekat kepada kebenaran di antara dua kubu yang saling memerangi. Dan Allah pasti akan memberikan pertolongan kepada mereka. ‘Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’, artinya mereka tidak mengetahui hukum kauniyah Allah serta perbuatan-perbuatan-Nya yang sangat cermat dan selalu bergulir di atas prinsip keadilan.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)
Kemudian Allah ta’ala berfirman tentang mereka -yaitu kebanyakan manusia- yang artinya, “Mereka mengetahui sisi lahiriyah kehidupan dunia, akan tetapi terhadap perkara akhirat mereka lalai.” (QS. Ar Ruum [30]: 7)
Ibnu Katsir kembali memaparkan, “Artinya kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu kecuali dalam urusan dunia, tata cara menggapainya, tetek bengeknya serta perkara apa saja yang ada di dalamnya. Mereka adalah orang-orang yang cerdas dan pandai tentang bagaimana cara meraup dunia serta celah-celah untuk bisa mendapatkannya. Namun mereka lalai terhadap hal-hal yang akan mendatangkan manfaat untuk mereka di negeri akhirat. Seolah-olah akal mereka lenyap. Seperti halnya orang yang tidak memiliki akal dan pikiran.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)
Ibnu Abbas menjelaskan tentang makna ayat yang mulia ini, “Maksudnya adalah orang-orang kafir. Mereka itu mengetahui bagaimana cara untuk memakmurkan dunia akan tetapi dalam masalah-masalah agama mereka bodoh.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/168)
Sekelumit Tentang Keutamaan Ilmu
Pertama: Meningkatkan Derajat
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu di antara kalian beberapa derajat. Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al Mujadilah [58]: 11).
Al Hafizh menjelaskan, “Ada yang mengatakan tentang tafsirannya adalah: Allah akan mengangkat kedudukan orang beriman yang berilmu dibandingkan orang beriman yang tidak berilmu. Dan pengangkatan derajat ini menunjukkan adanya sebuah keutamaan…” (Fathul Bari, 1/172). Beliau juga meriwayatkan sebuah ucapan Zaid bin Aslam mengenai ayat yang artinya, “Kami akan mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf [12]: 76). Zaid mengatakan, “Yaitu dengan sebab ilmu.” (Fathul Bari, 1/172)
Ibnu Katsir menyebutkan di dalam tafsirnya sebuah riwayat dari Abu Thufail Amir bin Watsilah yang menceritakan bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah bertemu dengan Umar bin Khattab di ‘Isfan (nama sebuah tempat, pen). Ketika itu Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Umar pun berkata kepadanya, “Siapakah orang yang kamu serahi urusan untuk memimpin penduduk lembah itu?”. Dia mengatakan, “Orang yang saya angkat sebagai pemimpin mereka adalah Ibnu Abza; salah seorang bekas budak kami.” Maka Umar mengatakan, “Apakah kamu mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Dia pun menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya dia adalah orang yang pandai memahami Kitabullah, mendalami ilmu waris, dan juga seorang hakim.” Umar radhiyallahu’anhu menimpali ucapannya, “Adapun Nabi kalian, sesungguhnya dia memang pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah akan mengangkat kedudukan sekelompok orang dengan sebab Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian lainnya karena kitab ini pula.’ (HR. Muslim).
Kedua: Nabi Diperintahkan Berdoa untuk Mendapatkan Tambahan Ilmu
Di dalam Kitabul Ilmi Bukhari membawakan sebuah ayat yang artinya, “Wahai Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha [20]: 114). Kemudian Al Hafizh menjelaskan, “Ucapan beliau: Firman-Nya ‘azza wa jalla, ‘Wahai Rabbku tambahkanlah kepadaku ilmu’. Memiliki penunjukan yang sangat jelas terhadap keutamaan ilmu. Sebab Allah ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan untuk apapun kecuali tambahan ilmu. Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i; yang dengan ilmu itu akan diketahui kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf untuk menjalankan ajaran agamanya dalam hal ibadah ataupun muamalahnya, juga ilmu tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, dan hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, menyucikan-Nya dari segenap sifat tercela dan kekurangan. Dan poros semua ilmu tersebut ada pada ilmu tafsir, hadits dan fiqih…” (Fathul Bari, 1/172)
Ketiga: Perintah Bertanya Kepada Ahli Ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci memerintahkan untuk bertanya kepada mereka (ahli ilmu) dan merujuk kepada pendapat-pendapat mereka. Allah juga menjadikannya sebagaimana layaknya persaksian dari mereka. Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu kecuali para lelaki yang Kami wahyukan kepada mereka: bertanyalah kepada ahli dzikir apabila kalian tidak mempunyai ilmu.’ (QS. An Nahl [16]: 43). Sehingga makna ahli dzikir adalah ahli ilmu yang memahami wahyu yang diturunkan Allah kepada para nabi.” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 24)
Keempat: Kebenaran Akan Tampak Bagi Ahli Ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah Yang Maha Suci memberitakan mengenai keadaan orang-orang yang berilmu; bahwa merekalah orang-orang yang bisa memandang bahwa wahyu yang diturunkan kepada Nabi dari Rabbnya adalah sebuah kebenaran. Allah menjadikan hal ini sebagai pujian atas mereka dan permintaan persaksian untuk mereka. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang diberikan ilmu bisa melihat bahwa wahyu yang diturunkan dari Rabbmu itulah yang benar.” (QS. Saba’ [34]: 6).” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 24)
Kelima: Segala Sifat Terpuji Bersumber dari Ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Dan tidaklah diragukan bahwasanya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Dan semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 101)
Kebahagiaan Ilmu
Ibnul Qayyim mengatakan, “Adapun kebahagiaan ilmu, maka hal itu tidak dapat kamu rasakan kecuali dengan cara mengerahkan segenap kemampuan, keseriusan dalam belajar, dan niat yang benar. Sungguh indah ucapan seorang penyair yang mengungkapkan hal itu,
Katakanlah kepada orang yang mendambakan
Perkara-perkara yang tinggi lagi mulia
Tanpa mengerahkan kesungguhan
Berarti kamu berharap sesuatu yang mustahil ada
Penyair yang lain mengatakan,
Kalau bukan karena faktor kesulitan
Tentunya semua orang bisa menjadi pimpinan
Sifat dermawan membawa risiko kemiskinan
Sebagaimana sifat berani membawa risiko kematian
(Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 111)
Beliau juga mengatakan, “Berbagai kemuliaan berkaitan erat dengan hal-hal yang tidak disenangi (oleh hawa nafsu, pen). Sedangkan kebahagiaan tidak akan bisa dilalui kecuali dengan meniti jembatan kesulitan. Dan tidak akan terputus jauhnya jarak perjalanan kecuali dengan menaiki bahtera keseriusan dan kesungguh-sungguhan. Muslim mengatakan di dalam Sahihnya, Yahya bin Abi Katsir berkata: ‘Ilmu tidak akan diraih dengan tubuh yang banyak bersantai-santai.’ Dahulu ada yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang menginginkan hidup santai (di masa depan, pen) maka dia akan meninggalkan banyak bersantai-santai’.” (Al ‘Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 112)
Inilah sekelumit pelajaran dan motivasi bagi para penuntut ilmu. Semoga yang sedikit ini bisa menyalakan semangat mereka dalam berjuang membela agama-Nya dari serangan musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya pada masa yang penuh dengan fitnah semacam ini kehadiran para penuntut ilmu yang sejati sangat dinanti-nanti. Para penuntut ilmu yang berhias diri dengan adab-adab islami, yang tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia dengan segala kepalsuan dan kesenangannya yang fana. Para penuntut ilmu yang bisa merasakan nikmatnya berinteraksi dengan al-Qur’an sebagaimana seorang yang lapar menyantap makanan. Para penuntut ilmu yang senantiasa berusaha meraih keutamaan di waktu-waktunya. Para penuntut ilmu yang bersegera dalam kebaikan dan mengiringi amalnya dengan rasa harap dan cemas. Para penuntut ilmu yang mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas kecintaannya kepada segala sesuatu. Bergegaslah, sambut hari esokmu dengan ilmu! Janganlah kau larut dalam arus kebanyakan orang yang tidak berilmu.
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya di hari yang tidak berguna lagi harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Wisma As Sunnah, Sabtu 11 Jumadil Ula 1429
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Nasihat Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin: Manakah yang Lebih Utama?
Para pembaca yang budiman semoga Allah merahmati saya dan anda semua. Dalam menghadapi realita yang ada terkadang kita dihadapkan kepada dua pilihan yang terasa sulit untuk ditentukan. Melakukan ini ataukah yang itu. Apabila pilihan yang satu diambil maka ada perkara penting dan maslahat yang luput dari kita. Namun sebaliknya, apabila kita meninggalkannya kita juga akan kehilangan sesuatu yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mungkin bisa jadi lebih banyak mengundang pahala.
Nah, di antara segepok persoalan yang dihadapi oleh umat ini kami ingin mengangkat dua buah permasalahan yang akhir-akhir ini mulai banyak diabaikan oleh orang. Masalah pertama terkait dengan jihad di medan perang membela agama Allah. Sedangkan masalah kedua terkait dengan keberadaan orang-orang yang shalih di daerah yang subur dengan kemaksiatan dan kejahatan. Disamping itu ada sebuah pelajaran dakwah yang sangat berharga yang disampaikan Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin untuk kita semua. Sudah seyogyanya kita merenungkan dan mengambil pelajaran dari nasihat beliau rahimahullahu wa askanahu fil jannah (semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di dalam surga). Selamat menyimak.
Masalah Pertama: Manakah yang lebih utama, menekuni ilmu ataukah terjun ke medan jihad di jalan Allah?
Ketika menjawab pertanyaan ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun ilmu karena keberadaannya sebagai ilmu maka dia itu lebih utama daripada berjihad di jalan Allah. Karena seluruh umat manusia senantiasa memerlukan ilmu. Sehingga Imam Ahmad pun mengatakan, ‘Ilmu itu tidak akan bisa ditandingi oleh apapun, yaitu bagi orang yang niatnya benar.’ Selain itu hukum jihad tidaklah mungkin menjadi sesuatu yang wajib ‘ain secara terus menerus. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, ‘Dan tidak selayaknya orang-orang yang beriman itu pergi berjihad semuanya.’ (QS. At Taubah: 22). Seandainya hukumnya adalah fardhu ‘ain maka niscaya dia akan menjadi kewajiban yang ditanggung oleh setiap komponen umat Islam. ‘Karena seharusnya ada sekelompok orang dari setiap kaum.’ (QS. At Taubah: 122), artinya hendaknya ada sebagian orang yang tetap tinggal, ‘Dalam rangka mendalami ilmu agama, dan juga agar mereka bisa memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali (dari berjihad), supaya mereka berhati-hati.’ (QS. At Taubah: 122)
“Meskipun demikian hukum ini berbeda-beda penerapannya tergantung dengan individu pelakunya dan keadaan waktu yang dialami. Sehingga bisa jadi kepada seseorang kita katakan bahwa yang lebih utama bagi anda adalah berjihad. Dan kepada orang lain kita katakan bahwa yang lebih utama bagi anda adalah menekuni ilmu. Apabila dia tergolong orang yang gagah berani dan kuat serta penuh semangat dan kurang begitu cerdas maka maka amal yang lebih utama baginya adalah berjihad karena itulah yang lebih cocok baginya. Sedangkan apabila ternyata dia adalah seseorang yang cerdas dan kuat hafalannya serta memiliki kekuatan dalam berargumentasi maka amal yang lebih utama baginya adalah menekuni ilmu. Hal ini apabila ditinjau dari sisi pelakunya.
Adapun apabila dilihat dari sisi waktu, maka apabila kita berada pada masa dimana para ulama saat itu jumlahnya sudah banyak sementara kawasan perbatasan sangat membutuhkan para penjaga garis perbatasan maka ketika itu yang lebih utama adalah terjun ke medan jihad. Adapun apabila kita berada pada suatu masa dimana saat itu begitu banyak kebodohan dan kebid’ahan yang banyak bertebaran dan mencuat ke permukaan di tengah-tengah masyarakat maka ketika itu yang lebih utama adalah menekuni ilmu.
Dengan demikian di sana terdapat tiga perkara yang harus diperhatikan baik-baik oleh para penuntut ilmu, yaitu:
Pertama, berbagai kebid’ahan yang sudah mulai menampakkan kejelekan-kejelekannya.
Kedua, fatwa yang dikeluarkan tanpa ilmu.
Ketiga, terjadinya perdebatan dalam banyak masalah yang tidak berlandaskan ilmu.
Dan apabila ternyata tidak bisa ditemukan alasan lain yang bisa menguatkan mana yang lebih baik maka menekuni ilmu itulah yang lebih utama.” (Syarah Arba’in, hal. 16).
Ilmu Adalah Pemimpin Amal
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.
Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Bukti bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)” Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.” (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)
Keutamaan ilmu syar’i yang luar biasa
Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.
Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia
Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)
Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.
Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku.” Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.
Ketiga, ilmu adalah warisan para Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Keempat, orang yang berilmu yang akan mendapatkan seluruh kebaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.” (Majmu’ Al Fatawa, 28/80)
Ilmu yang wajib dipelajari lebih dahulu
Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.
Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.
Penutup
Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
من عبد الله بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,
مَنْ فَسَدَ مِنْ عُلَمَائِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ الْيَهُودِ وَمَنْ فَسَدَ مِنْ عِبَادِنَا كَانَ فِيهِ شَبَهٌ مِنْ النَّصَارَى
“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)
Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.
Alhamdulilllahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
21 Jumadil Ula 1430 H
Al Faqir Ilallah
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri China
Setiap orang pasti telah mengetahui perkataan ini.
اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ
“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.”
Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang akan dipanen tidak semua bisa dimakan, ada yang sudah matang dan keadaannya baik, namun ada pula buah yang dalam keadaan busuk.
Begitu pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut hadits bisa kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah hafalannya, sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga membuat hadits tersebut tertolak atau tidak bisa digunakan. Itulah yang akan kita kaji pada kesempatan kali ini yaitu meneliti keabsahan hadits di atas sebagaimana penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang akan kami nukil pada posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia dan termasuk pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau rahimahullah pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Semoga Allah memberi kemudahan dalam hal ini.
Penjelasan Derajat Hadits
Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.
Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya ‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-hadits yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam‘ pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau tersebut, beliau mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khotib Al Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya (dho’ifnya) riwayat ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih-, beliau menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).
Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga bisa naik ke derajat hasan.
Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits ini dari banyak jalan. Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits ini ada yang lemah (wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).
Dengan demikian semakin jelaslah bagi para penuntut ilmu mengenai status hadits ini. Mayoritas ulama menilai hadits ini sebagai hadits dho’if (lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini adalah hadits yang bathil. Sedangkan Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu).
Adapun perkataan Al Mizziy yang mengatakan bahwa hadits ini bisa diangkat hingga derajat hasan karena dilihat dari banyak jalan, pendapat ini tidaklah bagus (kurang tepat). Alasannya, karena banyak jalur dari hadits ini dipenuhi oleh orang-orang pendusta, yang dituduh dusta, suka memalsukan hadits dan semacamnya. Sehingga hadits ini tidak mungkin bisa terangkat sampai derajat hasan.
Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan bahwa sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih (dinilai baik). Maka kita terlebih dahulu melacak jalur yang dikatakan sholih ini sampai jelas status dari periwayat-periwayat dalam hadits ini. Namun dalam kasus semacam ini, penilaian negatif terhadap hadits ini (jarh) lebih didahulukan daripada penilaian positif (ta’dil) dan penilaian dho’if terhadap hadits lebih harus didahulukan daripada penilaian shohih sampai ada kejelasan shohihnya hadits ini dari sisi sanadnya. Dan syarat hadits dikatakan shohih adalah semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).
Seandainya Hadits Ini Shohih
Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China. Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’ –seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk menuntut ilmu agama walaupun sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu agama sangat urgen sekali. Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh dengan mengilmui agama ini dan mengamalkannya.
Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam hadits ini mengenai keutamaan negeri China. Namun, karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini jika hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa sudah sangat jelas dan gamblang bagi yang betul-betul merenungkannya.
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 22/233-234, Asy Syamilah
Keterangan:
- Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
- Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
- Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
Pangukan, Sleman, 13 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Permisalan Ilmu Dengan Hujan (Ghoits) (1)
Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab “Orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu.” An Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim pada Bab “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya.”
Ilmu dan Petunjuk Dimisalkan Dengan Ghoits (Hujan)
Ilmu yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Ilmu tersebut dimisalkan dengan ghoits yaitu hujan yang bermanfaat, tidak rintik dan tidak pula terlalu deras. Ghoits dalam Al Qur’an dan As Sunnah sering digunakan untuk hujan yang bermanfaat berbeda dengan al maa’ dan al mathr yang sama-sama bermakna hujan. Adapun al mathr, kebanyakan digunakan untuk hujan yang turun dari langit, namun untuk hujan yang mendatangkan bahaya. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ
“Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu.” (QS. Asy Syu’ara: 173)
Sedangkan mengenai ghoits, Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ
“Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur.” (QS. Yusuf: 49) (Asbaabu Ats Tsabat ‘ala Tholabul ‘Ilmi, 1/2)
Ilmu, Sebab Hidupnya Hati
Ibnul Qoyyim –rahimahullah- mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan ilmu (wahyu) yang beliau bawa dengan hujan karena ilmu dan hujan adalah sebab adanya kehidupan. Hujan adalah sebab hidupnya jasad. Sedangkan Ilmu adalah sebab hidupnya hati. Hati sendiri dimisalkan dengan lembah. Sebagaimana hal ini terdapat pada firman Allah Ta’ala,
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.” (QS. Ar Ro’du: 17).” (Zaadul Muhajir, hal. 37)
Berbagai Macam Tanah
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada tiga jenis tanah. Tanah pertama adalah tanah yang baik yang dapat menyerap air sehingga tumbuhlah tanaman dan rerumputan.
Tanah kedua adalah tanah yang disebut ajadib. Tanah ini hanya bisa menampung air sehingga dapat dimanfaatkan orang lain (untuk minum, memberi minum pada hewan ternak dan dapat mengairi tanah pertanian), namun tanah ajadib ini tidak bisa menyerap air.
Kemudian tanah jenis terakhir adalah tanah yang disebut qii’an. Tanah ini tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air. Sehingga tanah ini tidak bisa menumbuhkan tanaman. (Lihat Syarh Muslim, 15/46-47 dan Muro’atul Mafaatih, 1/247-248)
Manusia Bertingkat-Tingkat Dalam Mengambil Faedah Ilmu
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “Adapun makna hadits dan maksudnya, di dalamnya terdapat permisalan bagi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan al ghoits (hujan yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadits ini bahwa tanah itu ada tiga macam, begitu pula manusia.
Jenis pertama adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah tersebut menjadi hidup setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan tanaman. Akhirnya, manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak, dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitu pula manusia jenis pertama. Dia mendapatkan petunjuk dan ilmu. Dia pun menjaganya (menghafalkannya), kemudian hatinya menjadi hidup. Dia pun mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dia miliki pada orang lain. Akhirnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.
Jenis kedua adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. Tanah ini menahan air sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Manusia dan hewan ternak dapat mengambil manfaat darinya.
Begitu pula manusia jenis kedua. Dia memiliki ingatan yang bagus. Akan tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. Dia juga kurang bagus dalam menggali faedah dan hukum. Dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan dan mengamalkannya. Manusia jenis ini memiliki banyak hafalan. Ketika orang lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya; dia datang menghampiri manusia jenis ini, maka dia pun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak hafalan tersebut. Orang lain mendapatkan manfaat darinya,sehingga dia tetap dapat memberi manfaat pada yang lainnya.
Jenis ketiga adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh di atasnya. Tanah jenis ini tidak dapat menyerap air dan tidak pula menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.
Begitu pula manusia jenis ketiga. Manusia jenis ini tidak memiliki banyak hafalan, juga tidak memiliki pemahaman yang bagus. Apabila dia mendengar, ilmu tersebut tidak bermanfaat baginya. Dia juga tidak bisa menghafal ilmu tersebut agar bermanfaat bagi orang lain.” (Syarh Muslim, 15/47-48)
Qurtubhi dan selainnya –rahimahumullah- mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil permisalan terhadap ajaran agama yang beliau bawa dengan al ghoits yang turun ketika sangat dibutuhkan (ketika tanah dalam keadaan tandus, pen). Begitu pula keadaan manusia sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana tanah dapat menghidupkan daerah yang tandus, begitu pula dengan ilmu agama (ilmu syar’i) dapat menghidupkan hati yang mati. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan orang yang mendengar wahyu dengan berbagai macam tanah yang mendapat air hujan.
Di antara manusia ada yang berilmu, gemar mengamalkam ilmunya dan mengajarkan ilmunya. Orang seperti ini sebagaimana halnya tanah yang subur yang dia bisa memanfaatkan untuk dirinya yaitu untuk minum dan yang lainnya juga bisa memanfaatkannya. Juga ada sebagian manusia lainnya yang mengumpulkan banyak ilmu di masanya, namun dia jarang melakukan amalan nafilah (sunnah) atau juga tidak memahami secara mendalam ilmu yang dia miliki, akan tetapi dia mengajarkan ilmu yang dia kumpulkan tersebut pada yang lainnya. Orang kedua ini seperti tanah yang dapat menampung air, lalu dapat dimanfaatkan oleh manusia. Orang semacam ini termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Semoga Allah membaguskan seseorang yang mendengar sabdaku, kemudian dia menyampaikannya sebagaimana dia mendengarnya.”
Ada pula orang jenis lain yang mendengar ilmu, namun dia tidak menghafalkannya, tidak mengamalkannya dan tidak pula menyampaikannya kepada orang lain. Inilah orang yang dimisalkan dengan tanah tandus yang tidak bisa menampung atau seringkali membahayakan lainnya.
Hadits ini adalah permisalan untuk dua kelompok yang dipuji karena keduanya memiliki kesamaan (yaitu memberi manfaat bagi orang lain, pen). Sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok yang tercela yang tidak dapat mendatangkan manfaat. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 1/177)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Permisalan Ilmu Dengan Hujan (Ghoits) (2)
Siapakah Manusia yang Disebutkan dalam Hadits Ini?
Manusia jenis pertama adalah penerus para Rasul ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Mereka inilah yang menegakkan agama ini dengan ilmu, ‘amal dan dakwah (mengajak kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya). Merekalah pengikut para nabi yang sebenarnya. Mereka inilah yang diibaratkan dengan tanah yang baik, hatinya senantiasa bersih. Tanah seperti ini dapat menumbuhkan tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Dia dapat memperoleh manfaat, begitu juga manusia dapat memperoleh manfaat darinya.
Orang-orang seperti inilah yang menggabungkan ilmu dalam agama dan
kekuatan dalam berdakwah. Merekalah yang disebut pewaris para Nabi
sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُوْلِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan al basho-ir.” (QS. Shaad: 45). Yang dimaksud al basho-ir adalah mengetahui kebenaran. Dan dengan kekuatan, ilmu tersebut dapat disampaikan dan didakwahkan pada yang lainnya.
Manusia jenis pertama ini memiliki kekuatan hafalan, pemahaman yang bagus dalam masalah agama, dan memiliki kemampuan dalam tafsir. Kemampuan inilah yang membuat tumbuh banyak rerumputan di tanah tersebut. Sehingga hal ini yang membuat mereka lebih utama dari manusia jenis kedua.
Manusia jenis kedua adalah hufaazh (para penghafal hadits) dan dia menyampaikan apa yang didengar. Kemudian orang lain mendatangi manusia jenis ini dan mereka mengambil faedah darinya. Mereka termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نَضَّرَِ اللهُ اِمْرَءًا سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يَبْلُغَهُ غَيْرُهُ ، فَإِنَّهُ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ ، وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
“Semoga Allah memberi nikmat kepada orang yang mendengar sabdaku, kemudian dia menghafalkannya dan menyampaikannya pada yang lain. Betapa banyak orang yang menyampaikan hadits, namun dia tidak memahaminya. Terkadang pula orang yang menyampaikan hadits menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ath Thobroni. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Manusia jenis kedua ini termasuk kalangan yang menghafal hadits, namun mereka kurang dalam mengambil faedah darinya. Bahkan orang lain yang mengambil ilmu dari mereka kadang lebih paham.
Siapakah contoh dari kedua jenis manusia di atas?
Cobalah kita bandingkan berapa banyak hafalan Abu Hurairah dengan Ibnu Abbas? Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyampaikan hadits-hadits tersebut sebagaimana yang dia dengar. Beliau terus belajar siang dan malam. Jika dibandingkan dengan Ibnu ‘Abbas, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas tidaklah lebih dari 20 hadits. Namun lihatlah keluasan ilmu yang Ibnu ‘Abbas miliki dalam masalah tafsir dan menggali faedah-faedah ilmu, sungguh sangat luas dan mendalam sekali.
Setelah Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, para ulama juga terbagi menjadi dua. Kelompok pertama adalah hufaazh (yang banyak meriwayatkan hadits). Kelompok kedua adalah yang banyak menggali faedah, hukum dan memiliki pemahaman mendalam terhadap hadits.
Yang termasuk kelompok pertama adalah Abu Zur’ah, Abu Hatim, Bundar, Muhammad bin Basyar, ‘Amr An Naqid, ‘Abdur Rozaq, Muhammad bin Ja’far, Sa’id bin Abi ‘Arubah. Mereka inilah yang banyak meriwayatkan hadits, namun sedikit dalam menggali faedah dan hukum dari hadits yang mereka bawa.
Kelompok kedua adalah seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Al Awza’iy, Ishaq, Imam Ahmad bin Hambal, Al Bukhari, Abu Daud, dan Muhammad bin Nashr Al Maruzi. Mereka inilah orang-orang yang banyak mengambil faedah dan memiliki pemahaman mendalam terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua kelompok ini adalah manusia yang paling berbahagia dengan wahyu Allah dan sabda Rasul-Nya. Mereka adalah orang menerima dan menoleh pada kedua hal tersebut. Namun di antara keduanya memiliki perbedaan yaitu yang satu memiliki pemahaman lebih mendalam dari yang lainnya. Akan tetapi, keduanya sama-sama memberikan manfaat pada orang lain.
Manusia jenis ketiga adalah bukan termasuk yang pertama dan kedua yaitu mereka yang tidak mau menerima petunjuk Allah dan tidak mau menoleh pada wahyu. Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah,
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqon: 44) (Lihat Zaadul Muhajir, hal. 38 dan Shahih Al Wabilush Shayib, hal. 111-115)
Penutup
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan,
وفي هذا الحديث أنواع من العلم منها ضرب الأمثال ومنها فضل العلم والتعليم وشدة الحث عليهما وذم الإعراض عن العلم والله أعلم
“Dalam hadits ini, terdapat beberapa pelajaran di antaranya adalah permisalan petunjuk dan ilmu. Juga di dalamnya adalah terdapat pelajaran mengenai keutamaan ilmu dan orang yang mengajarkan ilmu serta dorongan untuk memiliki ilmu syar’i dan mendakwahkannya. Dalam hadits ini juga terdapat celaan terhadap orang yang menjauhi dari ilmu syar’i. Wallahu a’lam.” (Syarh Muslim, 15/48)
Inilah penjelasan singkat mengenai hadits Matsalu Maa Ba’atsaniyallahu …. Sungguh, jika seseorang betul-betul merenungkannya tentu dia akan termotivasi untuk mempelajari ilmu syar’i (ilmu agama), mempelajari aqidah yang benar dan ajaran nabi yang shahih, juga dia akan termotivasi untuk menjaga dan menghafalkan ilmu tersebut. Juga agar dia mendapatkan keutamaan lebih dan tentu saja hal ini lebih urgent, yaitu hendaknya seseorang berusaha memahami apa yang dia ilmui sehingga dapat bermanfaat untuk dirinya sendiri. Setelah itu, hendaklah setiap muslim dapat menjadi insan yang selalu bermanfaat kepada orang lain.
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain.” (Al Jaami’ Ash Shogir, no. 11608)
Manfaat yang dapat diberikan adalah dengan mendakwahkan ilmu, baik melalui hafalan yang dimiliki atau ditambah lagi dengan pemahaman mendalam terhadap ilmu tersebut. Sungguh sangat banyak cara untuk belajar dan berdakwah saat ini, bisa melalui berbagai macam media seperti media cetak atau pun dunia maya (dunia internet). Namun janganlah seseorang menjadi orang yang tercela karena enggan mempelajari ilmu syar’i, enggan mengamalkan dan enggan mendakwahkannya.
Semoga Allah memberikan kita keistiqomahan dalam mencari ilmu diin ini. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan sholeh.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
- Asbaabu ats tsabat ‘ala tholabul ‘ilmi, Qismul ‘Ilmi wad Da’wah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh, Asy Syamilah
- Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhariy, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Abul Fadhl Al ‘Asqolaniy Asy Syafi’iy. Darul Ma’rifah, Beirut
- Muro’atul Mafaatih, Abul Hasan ‘Ubaidullah bin Muhammad bin Abdus Salam bin Khon bin Muhammad bin Amanullah bin Hisaamuddin Ar Rohmani Al Mubarakfuri, Idoratul Buhuts wal ‘Ilmiyyah wad Da’wah wal Ifta’
- Shahih Al Wabilush Shayib min Al Kalimith Thoyib li Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, Dar Ibnul Jauziy.
- Syarh Muslim, Abu Zakaria Yahya bi Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, Beirut
- Zaadul Muhajir (Ar Risalah At Taabukiyah), Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, A Maktabah At Tijariyah
28 Jumadil Ula 1430 H
Al Faqir Ilallah
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Aku Takkan Lupakan Ilmu (1)
Merupakan nikmat dan anugerah yang besar bagi seorang muslim dapat berjalan di atas kebenaran, mencari ridha Allah dan menggapai surga-Nya kelak. Dalam perjalanan seorang muslim, tak jarang dirinya lupa sehingga perlu diingatkan, kadang juga ia lalai sehingga membutuhkan teguran, belum lagi apabila ia keliru sehingga ia mencari pelita yang dapat meluruskan langkah dan arahnya. Berikut ini penulis mengajak dirinya dan ikhwah sekalian untuk merenungi lagi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan pemahaman Salafush Shalih. Menyegarkan kembali ingatan kita bersama tentang kemuliaan ibadah melalui tholabul ilmi (menuntut ilmu syar’i), agar semangat tak menjadi surut, terlebih di hadapan berbagai ujian dan cobaan kehidupan duniawi. Semoga dapat bermanfaat khususnya bagi diri penulis dan bagi seluruh pembaca, amin…
Saudaraku…, Islam menjelaskan kedudukan yang tinggi nan mulia tentang
keutamaan ilmu. Banyak ayat dan hadits serta perkataan serta kisah
teladan para ulama salaf yang menunjukkan hal ini. Di antaranya adalah:
Menggapai Kemuliaan Dengan Ilmu Syar’i
Allah Ta’ala berrfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ath Thabari rahimahullah berkata, “Allah mengangkat derajat orang beriman yang berilmu di hadapan orang beriman yang tidak berilmu karena keutamaan ilmu mereka (jika mereka mengamalkan ilmu tersebut, pent).” (Tafsir Ath-Thabari, QS Al-Mujadilah: 11)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Yaitu derajat yang tinggi dengan kemuliaan di dunia dan pahala di akherat.” (Tafsir Asy-Syaukani; QS Al-Mujadilah: 11)
Suatu hari Nafi’ bin Abdul Harits mendatangi Amirul Mukminin (Umar bin Al Khattab) di daerah ‘Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’).
Umar bertanya, “Siapa yang engkau jadikan penggantimu -sementara waktu- bagi penduduk Mekah?”
Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.”
Umar bertanya, “Siapa Ibnu Abza?”
Nafi’ menjawab, “Seorang budak.”
Umar bertanya kembali, “Engkau telah memberikan kepercayaan tersebut kepada seorang budak [?]“
Nafi’ mengatakan, “Sesungguhnya budak tersebut adalah seorang hafizh Al-Qur’an dan sangat mengilmui faraidh (yakni hukum-hukum islam)”
Kemudian Umar berkata, “Sungguh
Nabi kalian telah berkata: “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat
sebagian manusia dengan Al-Qur’an dan merendahkan sebagian yang lain
karenanya.” (Shahih Muslim: 817)
Ibrahim Al-Harbi berkata: Seseorang bernama ‘Atha’ bin Abi Rabah adalah budak berkulit hitam, milik seorang wanita penduduk Mekah. Hidung ‘Atha’ pesek seperti kacang (sangat kecil). Suatu hari, Sulaiman bin Abdul Malik sang Amirul Mukminin bersama kedua anaknya mendatangi ‘Atha’ yang sedang shalat. Setelah selesai dari shalatnya ia menyambut mereka. Masih saja mereka asyik bertanya kepada ‘Atha tentang manasik haji kemudian Sulaiman berkata kepada kedua anaknya “Wahai anak-anakku, jangan kalian lalai dari menuntut ilmu. Sungguh aku tidak akan lupa telah berada di hadapan seorang budak hitam (yang berilmu ini)”
Dalam kisah yang lain Ibrahim Al-Harbi berkata, “Muhammad bin Abdurrahman Al-Auqash adalah seorang yang lehernya sangat pendek sampai masuk ke badannya sehingga kedua bahunya menonjol keluar. Dengan penuh perhatian dan kasih sayang ibunya berpesan, “Wahai anakku, sungguh kelak setiap kali engkau berada di sebuah majelis engkau akan selalu ditertawakan dan direndahkan, maka hendaklah engkau menuntut ilmu karena ilmu akan mengangkat derajatmu.” Ternyata (ia mematuhi pesan ibunya, pent) sehingga suatu saat dipercaya menjadi Hakim Agung di Mekah selama dua puluh tahun.” (Lihat Tarikh Baghdad 2: 309, Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah 1: 501-502)
Al-Muzani berkata, “Aku pernah mendengar Imam Syafi’i berkata: ‘Barangsiapa mempelajari Al-Qur’an maka akan mulia kehormatannya. Barangsiapa mendalami ilmu fikih maka akan agung kedudukannya, barangsiapa mempelajari bahasa (arab) maka akan lembut tabiatnya. Barangsiapa mempelajari ilmu berhitung maka akan tajam nalarnya dan banyak idenya. Barangsiapa banyak menulis hadits maka akan kuat hujjahnya. Barangsiapa yang tidak menjaga dirinya, maka tidak akan bermanfaat ilmunya.’ (Diriwayatkan dari Imam Syafi’i dari beberapa jalan, lihat Miftah Daris Sa’adah 1: 503)
Menuntut Ilmu Adalah Jalan Menuju Surga
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu (syar’i), maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga.” (HR. Muslim no: 2699 dari Abi Hurairah)
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR Tirmidzi no: 2323, Ibnu Majah no: 4112 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no: 186 dari Anas)
Dengan Menuntut Ilmu Segala Pintu Kebaikan, Maghfirah, dan Pahala Akan Dilimpahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan diberikan kepahaman tentang agama.” (HR Bukhari 1: 150-151, 6: 152, dan Muslim 1037 dari Mu’awiyah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila anak cucu Adam meninggal dunia maka terputus semua amalannya kecuali dari tiga hal: [1] shadaqah jariyah, [2] ilmu yang bermanfaat, dan [3] anak shalih yang mendoakannnya.” (HR Muslim 1631 dari Abi Hurairah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “…dan sesungguhnya para Malaikat akan merendahkan sayap-sayap mereka bagi penuntut ilmu sebagai tanda ridha terhadap apa yang mereka lakukan. Sungguh seorang yang berilmu akan dimintakan ampun baginya oleh semua yang ada di langit dan bumi sampai pun ikan di lautan. Keutamaan seorang yang berilmu atas seorang ahli ibadah bagaikan keistimewaan bulan di hadapan bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang dapat mengambilnya, sungguh ia telah meraih bagian yang banyak.” (HR Abu Daud no: 3641-2, At-Tirmidzi no: 2683, Ibnu Majah no: 223, dishahihkan Ibnu Hibban no: 80)
Ilmu ini adalah anugerah. Oleh karena itu, mari kita bersama menjaganya dengan baik. Mengikhlaskan hati mensucikan niat agar Allah menambahnya serta melimpahkan berkah di dalamnya, وقل رب زدني علما “Dan katakan, Wahai Rabb tambakanlah bagiku ilmu.” (QS Thoha: ayat 114)
Jangan sampai kemurniannya terkotori dengan bisikan ambisi materi atau buaian kemewahan duniawi. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kita dengan dalam sebuah hadits, “Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dicari untuk mengharapkan wajah Allah, namun ternyata ia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan satu tujuan dunia, maka ia tidak akan mencium wanginya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Daud no: 3664 dengan sanad yang shahih, Ibnu Majah no: 252, Ibnu Hibban no: 89, dll)
Kiat Menjaga Ilmu
Para ulama salaf menjelaskan bahwa di antara kiat menjaga kenikmatan mulia ini adalah dengan:
1. Selalu bersemangat dalam menuntut ilmu dan tidak merasa bosan
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang tidaklah berhasil menuntut ilmu (dengan baik) apabila dia selalu merasa bosan, seakan tidak membutuhkannya. Akan tetapi, seseorang akan berhasil menuntut ilmu jika melakukannya dengan perjuangan dan susah payah, penuh semangat dan hidup prihatin.” (Hilayatul Auliya karya Abu Nu’aim; 9: 119, Al-Madkhal karya Al-Baihaqi; no: 513, Tadribur Rawi karya As-Suyuthi; 2: 584)
Dalam Diwannya beliau juga membawakan syair
أخي لن تنال العلم إلا بستـتة # سأنبيك عن تفصيلها ببيان # ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة # وصحبة أستاذ وطول زمان
Wahai saudaraku…, engkau takan mendapatkan ilmu melainkan dengan (memperhatikan) enam hal… Aku akan menyebutkannya secara rinci: [1] harus memiliki kecerdasan, [2] memiliki semangat, [3] bersungguh-sungguh, [4] membutuhkan biaya/materi, [5] mendapat bimbingan guru (ustadz), dan [6] membutuhkan waktu yang panjang. (Diwan Asy-Syafi’i)
2. Mengamalkan ilmu yang telah kita dapatkan
Amr bin Qays berkata, “Jika sampai kepadamu suatu ilmu, maka amalkanlah meskipun hanya sekali.” (Hilyatul Auliya karya Abu Nu’aim 5: 102)
Imam Waki’ berkata, “Jika engkau hendak menghafal satu ilmu (hadits), maka amalkanlah!” (Tadribur Rawi karya As-Suyuthi 2: 588)
Imam Ahmad berkata, “Tidaklah aku menulis suatu hadits melainkan aku telah mengamalkannya. Sehingga suatu ketika aku mendengar hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijamah (bekam) dan memberikan upah kepada ahli bekam (Abu Thaybah) satu dinar, maka aku melakukan hijamah dan memberikan kepada ahli bekam satu dinar pula.” (Ibnul Jauzi menyebutkannya dalam Manaqib Ahmad, hal: 232)
3. Senantiasa mengingat dan mengulang-ulang ilmu
Ali bin Abi Thalib berkata, “Ingat-ingatlah (ilmu) hadits. Sungguh jika kalian tidak melakukannya maka ilmu akan hilang.” (Al-Muhadditsul Fashil karya Ar-Ramahurmuzi hal: 545)
Ibnu ‘Abbas berkata, “Mengulang-ulang ilmu di sebagian malam lebih aku cintai daripada menghidupkan malam (dengan shalat malam) (Sunan Ad-Darimi; 1: 82 dan 149)
Az-Zuhri berkata, “Gangguan ilmu adalah lupa dan sedikitnya muraja’ah (mengulang-ulang).” (Sunan Ad-Darimi, 1: 150)
***
Penulis: Ustadz Rizal Yuliar Putrananda, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Aku Takkan Lupakan Ilmu (2)
Saudaraku… Kita perlu mengingat kembali sebuah hadits yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menggambarkan bagaimana Allah akan mencabut ilmu dari kehidupan dunia ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan merenggutnya dari para manusia, namun ilmu itu dicabut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan lagi seorang ‘alim, maka manusia akan menjadikan para pembesar mereka dari kalangan orang-orang bodoh yang ditanya (tentang agama) lantas orang-orang bodoh itu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR Al-Bukhari: 1: 174-175, Muslim no: 2673, At-Tirmidzi 2652)
Dalam hadits yang lain, beliau bersabda, “Sesungguhnya
di antara tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan
semakin merajalela, zina nampak di mana-mana, khamr diminum, kaum pria
menjadi sedikit dan kaum wanita menjadi lebih banyak….” (Shahih dengan beberapa jalannya, Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam Sahih: kitab “nikah” dari hadits Hafsh bin Umar dan kitab “ilmu”, demikian pula halnya Muslim dalam Shahih-nya: 4: 256, dan selain mereka)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Sungguh keberadaan agama Islam dan keberlangsungan dunia ini adalah dengan keberadaan ilmu agama, dengan hilangnya ilmu akan rusaklah dunia dan agama. Maka kokohnya agama dan dunia hanyalah dengan kekokohan ilmu.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 500)
Al-Auza’i berkata bahwa Ibnu Syihab Az-Zuhri menyatakan, “Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan. Sementara ilmu diangkat dengan cepat. Kekokohan ilmu adalah keteguhan bagi agama dan dunia. Hilangnya ilmu adalah kehancuran bagi itu semua.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud 817, dan Ibnu ‘Abdil Bar dalam Al-Jami’ 1018)
Saudaraku…
Yakinlah bahwa di antara kunci kebahagiaan dunia dan akherat adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Itulah yang akan menumbuhkan khasyyah dan sikap takut kepada Allah, merasa diawasi sehingga waspada terhadap semua ancaman Allah. Semua itu tidaklah didapatkan kecuali dengan ilmu syar’i. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya hanyalah para ulama yang memiliki khasyyah kepada Allah.” (QS. Fathir: 28)
Ath-Thabari berkata, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, menjaga diri dari adzab dengan menjalankan ketaatan kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Mereka mengetahui bahwa Allah Maha Mampu melakukan segala sesuatu, maka mereka menghindar dari kemaksiatan yang akan menyebabkan murka dan adzab Allah…” (Lihat Tafsir Ath-Thabari QS Fathir; ayat: 28)
‘Abdullah bin Mas’ud dan Masruq berkata, “Cukuplah ilmu membuat seseorang takut kepada Allah, dan sebaliknya kebodohan menyebabkan seseorang lalai dari mengenal Allah.”
Al-Baghawi menyebutkan bahwa seseorang memanggil dan berkata kepada Sya’bi, “Wahai ‘aalim berfatwalah.” Sya’bi menjawab, “Sesungguhnya seorang ‘alim adalah yang memiliki khasyyah (rasa takut) kepada Allah.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhud hal: 15, dan Ahmad dalam Az-Zuhud hal: 858 dan Lihat Tafsir Al-Baghawi QS Fathir; ayat: 28)
Syaikh As-Sa’di berkata dalam tafsir dari Surat Al-Faaathir ayat 28, “Ayat ini adalah dalil keutamaan ilmu, karena ilmu akan menumbuhkan sikap khasyyah (takut) kepada Allah. Orang yang takut kepada Allah adalah orang yang akan mendapatkan kemuliaan Allah sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Itu hanya bagi orang-orang yang memiliki khasyyah kepadaNya.” (Lihat Tafsir As-Sa’di QS Fathir, ayat: 28)
Dengan ilmu kita dapat menumbuhkan sikap khasyyah kepada Allah dan itulah muraqabah yang akan membimbing langkah-langkah kita menuju ridha Allah.
Sufyan berkata, “Barangsiapa yang berharap (kebahagiaan) dunia dan akherat, hendaklah ia menuntut ilmu syar’i.”
An-Nadhr bin Syumail berkata, “Barangsiapa yang ingin dimuliakan di dunia dan akherat, hendaklah ia menuntut ilmu syar’i. Cukuplah menjadi kebahagiaan bagi dirinya jika ia dipercaya dalam perkara agama Allah, serta menjadi perantara antara seorang hamba dengan Allah.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 503-504)
Mu’adz bin Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu syar’i karena mempelajarinya di jalan Allah adalah khasyyah, memperdalamnya adalah ibadah, mengulang-ulangnya adalah tasbih (memuji Allah), membahas (permasalahan-permasalahannya) adalah jihad, mengajarkannya kepada yang belum mengetahuinya adalah shadaqah, dengan ilmulah Allah diketahui dan disembah, dengannya Allah diesakan dalam tauhid, dan dengannya pula diketahui yang halal dan yang haram…” (Hilayatul Auliya karya Abu Nu’aim 1: 239, Al-Ajmi’ oleh Ibnu ‘Abdil Bar 1: 65)
Seorang penyair berkata:
Ilmu adalah harta dan tabungan yang tak akan habis… Sebaik-baik teman yang bersahabat adalah ilmu…
Terkadang seseorang mengumpulkan harta kemudian kehilangannya… Tidak
seberapa namun meninggalkan kehinaan dan perseteruan… Adapun penuntut
ilmu, ia selalu membuat iri (ghibthah) banyak orang… Namun dirinya
tidak pernah merasa takut akan kehilangannya… Wahai para penuntut ilmu,
betapa berharga hartamu itu… yang tak dapat dibandingkan dengan emas
ataupun mutiara….. (Diterjemahkan dari Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 507)
Karenanya, Luqman berwasiat kepada putranya, “Wahai anakku, duduklah bersama para ulama, dekatilah mereka dengan kedua lututmu. Sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati yang mati dengan pelita “hikmah” sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang gersang dengan air hujan.” (Riwayat Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ 2: 1002). Hikmah yang beliau maksud adalah yang Allah sebutkan dalam firmanNya (QS Al-Baqarah: 269) yang artinya, “Allah menganugerahkan “hikmah” kepada yang Allah kehendaki, barangsiapa telah diberikan hikmah maka ia telah diberikan banyak kebaikan…” Qutaibah dan Jumhur ulama berkata “hikmah adalah mengetahui yang haq dengan sebenarnya serta mengamalkannya. Itulah ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.” (Miftah Daris Sa’adah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah: 1: 227)
Imam Ahmad berkata, “Manusia lebih membutuhkan ilmu dibandingkan makan dan minum, karena makanan dan minuman dibutuhkan manusia satu atau dua kali dalam satu hari. Akan tetapi, ilmu senantiasa dibutuhkan seorang manusia setiap saat (selama nafasnya berhembus)”…(Thabaqat Al-Hanabilah; 1: 146)
Saudaraku, Belum Terlambat dan Tidak Ada Kata Malu
‘Aisyah berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak terhalangi oleh rasa malu untuk mempelajari semua perkara agama ini.”
Mujahid juga berkata, “Seorang pemalu atau sombong tidaklah dapat menuntut ilmu. Yang satu terhalangi dari menuntut ilmu oleh rasa malunya. Sementara yang satu lagi terhalangi oleh kesombongannya.” (Al-Bukhari menyebutkannya secar mu’allaq dalam Shahih-nya 1: 229)
Mari bersama-sama kita membangkitkan semangat menuntut ilmu syar’i agar dengannya kita mendapatkan pelita nan bercahaya, menerangi setiap amalan hidup kita, membimbing setiap pola pikir dan langkah kita, memperbaiki setiap niat hati kita, membuat kita senantiasa takut karena merasa diawasi oleh Allah. Jika ilmu itu telah sampai maka jangan kita melupakannya dan mari kita berlomba untuk mengamalkannya.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Ilmu membisikkan pemiliknya untuk diamalkan. Jika ia menjawab panggilan bisikan itu, maka ilmu akan tetap ada. Namun jika ia tidak menjawab panggilan itu, maka ilmu akan pergi.” (Iqtidhaul ‘Ilmil amal karya Al-Khathib: hal 41)
Semoga Allah melimpahkan taufiqNya kepada kita untuk ikhlas dalam menuntut ilmu, beramal dan berdakwah di jalan-Nya. Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hambaMu yang mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia serta akherat dengan ilmu, amin…
***
Penulis: Ustadz Rizal Yuliar Putrananda, Lc.
Artikel www.muslim.or.id