Keutamaan Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawwal
Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia
mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka
(dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.”[1]
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan puasa sunnah enam hari di
bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia agung dari Allah kepada
hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala puasa setahun
penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti[2].
Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:
Pahala perbuatan baik akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadhan ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari, pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari, yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah)[3].
Keutamaan ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan sebulan penuh dan telah mengqadha/membayar (utang puasa Ramadhan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di bulan) Ramadhan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadhan diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa Syawwal[4].
Meskipun demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa Ramadhan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa Ramadhan[5].
Lebih utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan tidak berturut-turut.[6]
Lebih utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Idhul Fithri, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan untuk mengerjakannya jika ditunda[7].
Melakukan puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda kesempurnaan imannya[8].
Ibadah-ibadah sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih[9].
Tanda diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal ibadah lain setelahnya[10].
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HSR Muslim (no. 1164).
[2] Lihat kitab Ahaadiitsush Shiyaam, Ahkaamun wa Aadaab (hal. 157).
[3] Lihat kitab Bahjatun Naazhirin (2/385).
[4] Pendapat ini dikuatkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti’ (3/100), juga syaikh Sulaiman ar-Ruhaili dan para ulama lainnya.
[5] Lihat keterangan syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitab “Ahaadiitsush shiyaam” (hal. 159).
[6] Lihat kitab asy Syarhul Mumti’ (3/100) dan Ahaadiitsush Shiyaam (hal. 158).
[7] Lihat kitab Ahaadiitsush Shiyaam, Ahkaamun wa Aadaab (hal. 158).
[8] Ibid (hal. 157).
[9] Ibid (hal. 158).
[10] Ibid (hal. 157).
Lima Faedah Puasa Syawal
Alhamdulillah, kita saat ini telah berada di bulan Syawal. Kita juga sudah mengetahui ada amalan utama di bulan ini yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Apa saja faedah melaksanakan puasa tersebut? Itulah yang akan kami hadirkan ke tengah-tengah pembaca pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.
Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[1]
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.
Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:
- Puasanya dilakukan selama enam hari.
- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]
Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[8]
Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]
Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.
Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”[13]
Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja. [14]
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,
بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها
“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun.” Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.
Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[15]
Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]
Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori
[2] Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.
[3] QS. Al An’am ayat 160.
[4] HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007.
[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/6, Mawqi’ At Tafaasir,
Asy Syamilah dan Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di, hal. 282, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
[6] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas]
[7] -idem-
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]
[9] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10/139-141
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[12] HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820.
[13] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 394-395.
[14] Pembahasan berikut kami olah dari Latho-if Al Ma’arif, hal. 396-400
[15] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783
[16] Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.
[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 399.
Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal
Penulis: Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts wal Ifta’
Dalil-dalil tentang Puasa Syawal
Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang
berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka
itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu
Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]
Hukum Puasa Syawal
Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan
bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan
banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak
hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam
memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu
menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan
menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf
biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah
perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah
yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang
tidak mengetahui.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]
Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung
setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id,
dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama
bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini
(hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari
Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya
secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang
memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga
diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits
tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah
juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]
Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: ‘Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]
2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan
“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]
Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ?
Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun.”
Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)
Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa
menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu
tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan
belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya
bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan.
Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari
itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan
bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha
kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal
diharuskan terus menerus atau tidak ?
Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul
dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa
sepanjang tahun” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) : “..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” [Thaha : 84]
Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit”
Tidak disyari’atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.
Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari
Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam
hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat
pahala puasa enam hari Syawal ?
Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa di bulan
Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka
seakan-akan ia berpuasa setahun”
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa
Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam
hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan
pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) :
“Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan
Syawal sama dengan dua bulan”
Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.
Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang
istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari
Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?
Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat
suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin
suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan
seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi
suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin
mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis
kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang
istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau
menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu
berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat
lainnya.
Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami
Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?
Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak
musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tidak
halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya
kecuali dengan seizinnya” dalam riwayat lain disebutkan : “kecuali
puasa Ramadhan”
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau
suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak
bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama
pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari
Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di
bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari
‘Arafah, puasa ‘Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.
(Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=383
Zakat Fitrah seperti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
Penulis: Syaikh Salim & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
1. Hukumnya
Zakat Fitri ini (hukumnya) wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma:“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia].”194)[HR Bukhari (3/291) dan Muslim (984) dan tambahannya pada Muslim]
Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri.”195)[Riwayat Abu Daud (1622) dan An Nasa’I (5/50), padanya ada Al Hasan ber-‘an’anah. Dan hadits sebelumnya sebagai syahid]
Sebagian Ahlul ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah mansukh oleh
hadits Qais bin Sa’ad bin Ubadah, ia berkata: “Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum
diturunkannya (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkannya (kewajiban)
zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami,
tetapi kami mengerjakan (mengeluarkan zakat fithri).”
Al Hafidz Rahimahullah menjawab sangkaan tersebut dengan perkataannya
(3/368): “bahwa pada sanadnya ada rawi yang tidak dikenal196) [Akan
tetapi hadits tersebut mempunyai penguat, dan dikeluarkan oleh An
Nasa’I (5/49) dan Ibnu Majah (1/585) dan Ahmad (6/6), Ibnu Khuzaimah
(4/81) dan Al Hakim (1/410) dan Al Baihaqi (4/159) dari beberapa jalan,
dan sanadnya shahih] dan kalaupun dianggap shahih tidak ada dalil yang
menunjukkan atas naskh (diahapusnya) hadits Qais yang menunjukkan
wajibnya zakat fithri, mungkin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
mencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya suatu
kewajiban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain.”
Imam Al Khathabiy Rahimahullah berkata dalam Ma’alimus Sunan (2/214): “Ini tidak menunjukkan hilangnya kewajiban zakat fithri, tetapi hanya menunjukkan tambahan dalam jenis ibadah, tidak mengharuskan dimansukhknya hukum sebelumnya, kedudukan zakat harta (sebagaiman) kedudukan zakat fithri (yaitu) berkaitan dengan riqab (orang per-orang).”
2. Siapa yang Wajib Zakat ?
Zakat fithri wajib atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun hamba. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar Radhiallahu anhuma: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu gantang kurma, atau satu gantang gandum atas hamba dan orang yang merdeka, kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin.”197)[HR Bukhari (3/291) dan Muslim (984)]
Sebagian Ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang
kafir karena hadits Abu Hurairah Radhiallahu anhu: “Hamba tidak ada
zakatnya kecuali zakat fithri.”198) [HR Muslim (982)]
Hadits ini umum, sedang hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits
khusus jadi penentu hadits umum. Yang lain berkata, “Tidak wajib atas
orang yang puasa karena hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan zakat fithri,
pensuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan
(memberi) makanan bagi orang yang miskin.”199) [Telah lewat takhrijnya]
Imam Al Khathabiy dalam Ma’alimus Sunan (3/214) menegaskan: “Zakat fithri wajib atas orang yang puasa yang kaya atau orang fakir yang mendapatkan makanan dari dia, jika ‘illat diwajibkannya karena pensucian, maka seluruh orang yang puasa butuh akan hal itu, jika berserikat dalam ‘illat berserikat pula dalam hukum.”
Al Hafidz menjawab (3/369): “Pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, zakat fithri diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa seperti diketahui keshahihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari.”
Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithri wajib juga atas janin, tetapi kami tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai anak kecil atau besar, baik menurut masyarakat maupun istilah.
3. Macam Zakat Fithri
Zakat Fithri dikeluarkan berupa satu gantang gandum, satu gantang kurma, satu gantang susu, satu ganang anggur kering atau salt (sejenis gandum yang tidak berkulit), karena hadits Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu anhu: “Kami mengeluarkan zakat (pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam) satu gantang makanan, satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu kering, satu gantang anggur kering.”200) [HR Bukhari (3/294) dan Muslim (985)]
Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mewajibkan atu gantang gandum, satu gantang korma dan satu gantang salt.”201) [Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/80) dan Al Hakim (1/409-410)
Telah ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Sa’id Al
Khudri, ada yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang
selain itu, namun yang paling kuat (yang membuat hati ini tenang)
lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk hinthah dan jenis
lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh para sahabat
berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menyuruh kami untuk
mengeluarkan zakat Ramadhan satu gantang makanan dari anak kecil,
besar, budak dan orang yang merdeka. Barangsiapa yang memberi salt
(sejenis gandum yang tidak berkulit) akan diterima, aku mengira beliau
berkata, “Barangsiapa yang mengeluarkan berupa tepung akan diterima,
barangsiapa yang mengeluarkan berupa adonan, diterima.”202)
[Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah (4/180), sanadnya hasan]
Dari beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Zakat fithri satu gantang makanan, barangsiapa yang membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt (gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering diterima, aku mengira beliau berkata: “yang membawa adonan diterima.”203) [Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah (4/180), sanadnya hasan]
Adapun hadits-hadits yang menafikan adanya hinthah (gandum) atau bahwasanya Mu’awiyah Radhiallahu anhu berpendapat untuk mengeluarkan dua mud dari samara (gandum) Syam, dan bahwa satu mud hinthah itu melebihi yang ada di sini. Ini dikuat-kan oleh perkataan Abu Sa’id: “Dulu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu yang dikeringkan dan korma.”204) [Telah lewat takhrijnya]
Yang membantah seluruh dalil orang yang menyelisihi kita adalah satu pembahasan yang akan datang ketika menjelaskan takaran zakat fithri, menurut hadits-hadits yang shahih yang menegaskan adanya hinthah bahwa dua mud hinthah sama dengan satu gantang anggur, agar kaum muslimin yang mendudukkkan sahabat sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa pendapat Mua’wiyah bukanlah ijtihad hasil dari pemikiran sendiri, tetapi berdasarkan hadita marfu’ sampai kepada Rasululllah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
4. Ukuran Zakat Fithri
Seorang muslim diperbolehkan zakat fithri sesuai dengan jenis yang
disebutkan tadi, mereka ikhtilaf tentang hinthah, ada yanga mengatakan
setengah gantang ini yang rajih, dan yang paling sahahih berdasarkan
sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam:
“Tunaikanlah satu gantang gandum atau korma, untuk dua orang satu
gantang dari gandum atas orang merdeka, hamba, anak kecil atau
besar.”205) [Riwayat Abu Daud (2340), Nasa’I (7/281), Al Baihaqi (6/31)
dari Ibnu Umar dengan sanad shahih].
Gantang yang teranggap adalah gantangnya penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: “Timbangan yang teranggap adalah timbangannya Ahlu Mekah, dan kiloan yang teranggap adalah kiloan-nya orang madinah.”206) [Riwayat Abu Daud (2340), Nasa’I (7/281), Al Baihaqi (6/31) dari Ibnu Umar dengan sanad shahih]
5. Siapakah yang harus dibayar zakatnya?
Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang dibawah tanggungannya, baik anak kecil maupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak, berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiallahu anhuma: “kami diperintah oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam (mengeluarkan) shadaqah fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan hamba dari orang-orang yang membekalinya.”207) [Dikeluarkan oleh Daruquthni (2/141) dan Ibnu Umar dengan sanad dhaif (lemah). Dan dikeluarkan Al Baihaqi (4/161) dari jalan yang lain dari Ali, dan sanadnya terputus. Dan padanya ada jalan yang mauquf dari Ibnu Umar pada Inu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf (4/37) dengan sanad shahih. Maka -dengan jalan-jalan ini- maka haditsnya menjadi hasan]
6. Kemana Disalurkannya
Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”208) [Telah lewat takhrijnya]. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa (2/71-78) serta murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya yang bagus Zaadul Ma’ad (2/44).
Sebagian Ahlul ilmi berpendapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membentahnya pada kitab yang telah disebutkan baru saja, maka lihatlah kitab tersebut, karena hal itu sangat penting.
Termasuk amalan sunah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk diberikan kepada yang berhak –pent). Sungguh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mewakilkan kepada Abu Hurairah Radhiallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah mengkhabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan.”209) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/396)]
Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar Radhiallahu anhuma mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintahan, pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum ‘Iedul Fithri, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/83) dari jalan Abdul Warits dari Ayyub, aku katakan: “Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu gantang?” Berkata Ayyub: “Apabila petugas telah duduk (bertugas).” Aku katakan: “Kapankah petugas itu mulai bertugas?” Beliau menjawab: “Satu hari atau dua hari sebelum “Idul Fithri.”
7. Waktu Penunaian Zakat
Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju sholat ‘Id dan tidak bleh diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya, kecuali satu atau dua hari (sebelum ‘Id)210) [Lihat pada kitab Ahkamul ‘Idain fis Sunnah Al Muthaharah karya Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cet.maktabah Al Islamiyah] berdasarkan perbuatan Ibnu Umar Radhiallahu anhuma –berdasarkan kaidah rawi hadits diketahui dengan makna riwayatnya- maka apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma: “… Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan shadaqah dari beberapa shadaqah (yang ada).”211) [Telah lewat takhrijnya]
8. Hikmah Zakat
Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan zakat sebagai pensucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan ) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma yang telah lalu.
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab “Zakat Fitrah”. Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia)
Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=777