Syi’ah Mencela Sahabat Nabi
Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, di antara aqidah Ahlus Sunnah adalah kita mencintai para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka. Kita juga tidak boleh berlepas diri (antipati) terhadap seorang pun dari mereka. Kita membenci orang yang membenci dan menjelek-jelekkan mereka. Kita pun hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka adalah bagian dari agama, begian dari iman, dan salah satu bentuk ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan sikap melampaui batas. (Aqidah Ath-Thohawiyyah).
Sahabat, Generasi Terbaik Umat Islam
Setelah kedudukan sebagai Nabi, tidak ada lagi kedudukan yang lebih tinggi dan lebih mulia dibanding kedudukan suatu kaum yang telah diridhai Allah untuk mendampingi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menjadi pembela agama-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi sesudahnya, dan sesudahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada diri sahabat telah terkumpul kelebihan dan keutaman yang banyak. Mereka adalah orang yang lebih dahulu masuk Islam. Mereka adalah orang yang mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berhijrah dan berperang, serta melindungi beliau. Mereka berjihad menghadapi musuh ketika cuaca sangat terik menyengat, padahal mereka sedang berpuasa. Mereka pula yang menyebarkan agama Islam ini ke berbagai wilayah. Oleh karena itu, umat Islam ini telah sepakat bahwasannya para sahabat radhiyallahu ‘anhum lebih mulia daripada orang setelah mereka dari umat ini, dalam segi ilmu, amal perbuatan, pembenaran, dan persahabatan dengan Rasulullah.
Karena tingginya kedudukan para sahabat pula, sampai-sampai harta yang mereka sumbangkan, demi mencari keridhaan Allah dalam situasi dan kondisi sesulit apapun, merupakan suatu amal yang tidak mungkin terjadi pada seorang pun dari umat ini dan tidak pula semisal ukuran pahalanya. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, kalau salah seorang di antara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka nilainya tidak akan mencapai satu mud (segenggam tangan) salah seorang mereka, dan tidak juga separuhnya.” (HR. Bukhari)
Syi’ah, Musuh Umat Islam
Namun sayangnya, telah muncul suatu kelompok (agama) yang menamakan dirinya dengan Syi’ah. Mereka mengaku muslim, akan tetapi mereka sangat membenci para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka mengkritik, mengecam, dan akhirnya berani mencela beberapa tokoh dari sahabat, serta merendahkan martabat mereka. Apabila mereka menyebutkan salah seorang sahabat, bukannya mengatakan radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya) untuk mendoakan mereka, tetapi justru mengatakan la’natullah ‘alaihi (Semoga Allah melaknatnya). Bahkan yang lebih parah lagi, mereka sampai mengkafirkan seluruh sahabat kecuali beberapa orang saja, seperti Salman Al Farisi, Miqdad Al Aswad, dan Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhum. Untuk mendukung pemikirannya ini, mereka juga berani membuat hadits-hadits palsu tentang kejelekan sahabat tertentu atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal, ketika mereka mencela sahabat, secara tidak langsung mereka juga telah mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena jika para sahabat itu kafir dan fasik, jelas hal itu mencela Rasulullah. Karena agama seseorang itu tergantung pada agama teman-temannya. Seseorang bisa dicela gara-gara temannya, jika temannya itu jelek. Secara tidak langsung pula, mereka telah mencela Allah. Allah telah memilih dan mempercayakan risalah yang paling utama kepada Rasulullah, padahal pergaulan beliau adalah dengan orang-orang kafir?! Oleh karena itu kita meyakini bahwa celaan kepada sahabat adalah kedustaan besar kepada para sahabat, permusuhan kepada Allah, Rasul-Nya, dan syariat-Nya.
Salah seorang sahabat yang menjadi korban kejahatan orang-orang Syi’ah adalah Mu’awiyah bin Abu Sofyan radhiyallahu ‘anhu. Keharuman nama dan sejarah perjalanan beliau yang begitu indah dalam kitab-kitab hadits dan sejarah yang terpercaya, telah dinodai oleh goresan tangan para pendusta yang memutarbalikkan sejarah. Ironisnya, virus pemikiran yang sangat keji ini telah lama subur dalam buku-buku pendidikan sejarah pada berbagai tingkatan madrasah di negeri kita. Sehingga semenjak dini anak-anak telah dibina untuk membenci seorang sahabat bernama Mu’awiyah. Dalam gambaran mereka, Mu’awiyah adalah musuh bebuyutan Khalifah Ali bin Abi Thalib! Mu’awiyah adalah seorang yang menghalalkan darah saudaranya hanya karena ambisi kekuasaan! Dan gambaran-gambaran mengerikan lainnya. Mereka telah tertipu dengan hadits-hadits palsu tentang celaan terhadap Mu’awiyah buatan orang Syi’ah yang memang terkenal pendusta.
Sejahat itulah orang-orang Syi’ah dalam membenci dan mencela beliau. Padahal, beliau adalah salah seorang sahabat Nabi. Bahkan, beliau dikenal termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk penulis wahyu untuk Rasulullah. Sampai-sampai Rasulullah telah berdoa untuk beliau, “Ya Allah, jadikanlah dia penunjuk dan yang diberi petunjuk. Tunjukilah dia, dan berilah manusia petunjuk karenanya.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Adz-Dzahabi. Hadits hasan shahih)
Demikianlah sedikit penjelasan tentang keutamaan sahabat Rasulullah dan kekejian kaum Syi’ah yang mencela sahabat. Akhirnya, ya Allah saksikanlah bahwa kami mencintai sahabat Nabi-Mu dan berlepas diri dari perilaku kaum Syi’ah yang mencela para sahabat Nabi-Mu.
***
Catatan Redaksi:
Ikhwah sekalian, tulisan ringkas di atas merupakan sedikit dari kesesatan dan kejahatan agama Syi’ah (Rafdhoh). Ketahuilah wahai saudaraku, risalah agama Islam sampai kepada kita melalui perantara para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para sahabatlah yang mendampingi dan berjuang dengan mengorbankan segala harta dan jiwa mereka membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyebarkan dakwah Islam dan menegakkan kalimat tauhid Laa ilaaha illallah. Para sahabat lah yang telah membenarkan risalah yang dibawakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika kaum kafir dan musyrik mendustakannya. Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji para sahabat di dalam kitab-Nya yang mulia Al-Qur’anul Karim. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memuji para sahabatnya di dalam hadits-hadits beliau. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, para sahabat lah yang meneruskan risalah keislaman ini, mereka menyebar ke seluruh dunia dalam rangka mengajak umat manusia kepada Islam. Dan sekarang, para anak cucu Majusi (agama Syi’ah Rafidhoh) telah lancang mencela, melaknat, dan mengkafirkan para sahabat -radhiallahu ‘anhum ajma’in-. Secara tidak langsung para anak cucu majusi (agama Syi’ah) telah mengkafirkan seluruh kaum muslimin karena islam yang kita anut ini sampai kepada kita melalui dakwah para sahabat yang notabene telah dikafirkan oleh agama Syi’ah!
Oleh karena itu wahai saudaraku, janganlah kita tertipu oleh slogan-slogan kosong agama Syi’ah yang ingin membentuk opini “Kesatuan antara Sunni dan Syi’ah”. Slogan tersebut adalah slogan kosong yang lahir dari kelicikan para anak cucu majusi tersebut. Ketika mereka minoritas di suatu negara, mereka berusaha mengambil hati kaum muslimin di negara tersebut dengan menampakkan topeng mereka dan menyembunyikan borok mereka di balik itu, sehingga seolah-olah yang terlihat adalah hal-hal yang baik. Tidaklah heran, karena salah satu aqidah mereka adalah taqiyyah, yaitu menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa-apa yang mereka sembunyikan di hati mereka. Ya, sama persis dengan aqidahnya orang-orang munafik! Jika slogan “Kesatuan antara Sunni dan Syi’ah” berhasil mereka bentuk, maka mereka para anak cucu majusi tersebut akan semakin leluasa menancapkan kuku-kuku kesesatan mereka kepada kaum muslimin. Waspadalah saudaraku, waspadalah! jagalah aqidah kita dan aqidah keluarga-keluarga kita dari cengkeraman aqidah sesat agama Syi’ah! Janganlah kita lengah walau sekejap! marilah kita bahu membahu sesuai dengan kemampuan kita, menjelaskan kepada ummat tentang bahaya Syi’ah.
Related Website:
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai agama Syi’ah, silakan buka website www.hakekat.com yang menjelaskan hakekat tersembunyi agama Syi’ah.
***
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel www.muslim.or.id
Biarkan Syi’ah Bercerita Tentang Kesesatan Agamanya (1)
Prolog
Segala puji bagi Allah Robb semesta alam, sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, istri-istrinya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti jalannya hingga hari akhir nanti.
Enam tahun yang silam di salah satu pesantren terbesar di Indonesia, penulis menjadi salah satu peserta dauroh yang diadakan oleh Jami’ah Islamiyah Madinah. Kebetulan ada suatu kisah yang tidak terlupakan hingga detik ini. Seperti biasanya, sebelum pelajaran dimulai, para dosen (baca: masyayikh) mengabsen peserta dauroh satu persatu. Hingga sampai ke suatu nama, dosen tersebut mengernyitkan dahinya dan terheran-heran, nama itu adalah Ayatullah Khomeini, (kebetulan dia salah seorang teman akrab penulis di pesantren). Dosen itu bertanya, “Kamu sunni (termasuk golongan ahlus sunnah)?”, dengan tenangnya peserta itu menjawab, “Iya”, “Mengapa kamu pakai nama dedengkot Syiah?”, “Karena bapak ana ngasih nama seperti itu”, sahutnya. Setelah dialog singkat itu sang dosen minta agar teman kami tersebut mengganti namanya.
Penulis -dengan lugunya- berkata dalam hati, “Memangnya kenapa sich nggak boleh pakai nama tokoh Syi’ah tersebut? Masa gitu saja dipermasalahkan! Toh dia juga salah satu pejuang besar dunia?!”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan; setahun kemudian penulis diberi kesempatan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menuntut ilmu di kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tepatnya di Jami’ah Islamiyah. Di situlah wawasannya mulai terbuka sedikit demi sedikit, pengetahuannya tentang kelompok-kelompok yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam sedikit demi sedikit mulai bertambah. Hingga terbelalaklah matanya tatkala mengetahui hakikat kelompok Syi’ah. Dan hilanglah sudah keheran-heranan dia enam tahun yang silam, mengapa sang dosen pengajar dauroh itu begitu ‘ngotot’-nya minta agar peserta Ayatullah Khomeini mengganti namanya.
Maka, dalam rangka menyampaikan ilmu walaupun hanya sedikit, juga berhubung semakin menjamur dan larisnya ajaran itu di tanah air kita, penulis merasa berkewajiban untuk menyampaikan sedikit dari apa yang diketahuinya tentang agama yang satu ini. Tulisan ini ditranskrip, diterjemahkan dan diringkas dari sebuah ceramah ilmiah dalam suatu kaset yang berjudul “Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib” (Beberapa renungan beserta para da’i penyeru persatuan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah) yang disampaikan oleh Syaikh Abdullah as-Salafy. Kaset ini bukan hanya membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama klasik Syi’ah saja, tapi juga membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka yang suaranya sempat terekam dalam kaset, dan jatuh ke tangan Ahlusunnah(*). Kami ucapkan kepada para pembaca yang budiman, Selamat menikmati!
(*) Perkataan-perkataan ulama klasik mereka kami sebutkan dengan referensinya beserta nomor jilid dan halamannya. Bagi yang menginginkan bukti otentik fakta-fakta tersebut bisa merujuk ke kitab Ulama asy-Syi’ah Yaqulun, Watsaiq Mushawwarah Min Kutub asy-Syi’ah, yang diterbitkan oleh Markaz Ihya Turots Alul Bait. Adapun perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka jika terdapat dalam suatu kaset, maka kami sebutkan dengan kata-kata, “Dengarlah perkataan fulan…” Suara asli mereka bisa didengarkan dalam kaset Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib.
FAKTA PERTAMA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlul Bait (keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ahlul bait adalah: keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far dan Abbas. Tidak diragukan lagi (menurut Ahlus Sunnah) bahwa istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait (keluarga) nya.
Ahlusunnah mencintai dan mengasihi ahlul bait, mencintai dan mengasihi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka (Ahlusunnah) juga meyakini bahwa tidak ada yang ma’shum melainkan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara keyakinan mereka juga: wahyu telah terputus dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak seorang pun dari para manusia yang telah mati bangkit kembali sebelum hari kiamat. Jadi, kita Ahlusunnah menjunjung tinggi keutamaan ahlul bait dan selalu mendoakan mereka agar senantiasa mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lupa kita juga berlepas diri dari musuh-musuh mereka.
Di pihak lain, orang-orang Rafidhah (Rafidhah adalah salah satu julukan kelompok Syi’ah. Julukan ini disebutkan oleh ulama kontemporer mereka Al Majlisy dalam kitabnya Bihar al-Anwar hal 68, 96 dan 97. Kata-kata Rafidhah berasal dari fi’il rafadha yang berarti menolak. Adapun asal muasal mengapa mereka digelari Rafidhah, ada berbagai versi. Antara lain:
- Karena mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar.
- Versi lain mengatakan karena mereka menolak agama Islam. (lihat Maqalat al-Islamiyin, karya Abu al-Hasan al-Asy’ary jilid I, hal 89).
Selain berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka dengan mengatakan bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari para nabi dan para rasul, mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di dalam diri para imam, hingga mengeluarkan mereka dari batas-batas kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling rusak dan paling kufur.
Di antara sikap ekstrem mereka, klaim mereka bahwa para imam mengetahui hal-hal yang gaib, dan mereka mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi, tidak terkecuali. Mereka mengetahui apa-apa yang ada dalam hati, apa-apa yang ada dalam tulang belakang kaum pria dan apa-apa yang ada dalam rahim kaum wanita. Mereka juga mengetahui apa yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat.
Al Kulainy dalam kitabnya al-Kaafi -yang mana ini merupakan kitab yang paling shahih menurut Rafidhah-, dia telah mengkhususkan di dalamnya bab-bab yang menguatkan sikap ekstrem tersebut. Contohnya: di jilid I, hal 261, dia berkata, “Bab bahwasanya para imam mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang, serta bahwasanya tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari pengetahuan mereka.” Dia juga telah meriwayatkan dalam halaman yang sama dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa mereka mendengar Abu Abdillah ‘alaihis salam (yang dia maksud adalah Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa-apa yang ada di langit dan di bumi, aku mengetahui apa-apa yang ada di dalam surya dan aku mengetahui apa yang telah lalu serta yang akan datang.”
Dia juga berkata dalam jilid I, hal 258, “Bab bahwasanya para imam mengetahui kapan mereka akan mati dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kemauan mereka sendiri.”
Di antara bukti-bukti sikap ekstrem orang-orang Syi’ah, klaim mereka para imam memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini semau mereka; mereka bisa menghidupkan orang yang telah mati, juga menyembuhkan orang yang buta, orang yang terkena kusta, kemudian dunia akhirat milik para imam, mereka berikan kepada siapa saja sesuai dengan kehendak mereka.
Al-Kulainy di jilid I, hal 470 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bashir bahwa ia bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Apakah kalian pewaris nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Benar!” Lantas aku bertanya lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pewaris para nabi mengetahui apa yang mereka ketahui?” “Benar!”, jawabnya. Aku kembali bertanya, “Mampukah kalian menghidupkan orang yang sudah mati dan menyembuhkan orang yang buta dan orang yang terkena penyakit kusta?” “Ya, dengan izin Allah”, sahutnya.”
Husain bin Abdul Wahab dalam kitabnya ‘Uyun al-Mu’jizat hal 28 bercerita bahwasanya, Ali pernah berkata kepada sesosok mayat yang tidak diketahui pembunuhnya, “Berdirilah -dengan izin Allah- wahai Mudrik bin Handzalah bin Ghassan bin Buhairah bin ‘Amr bin al-Fadhl bin Hubab! Sesungguhnya Allah dengan izin-Nya telah menghidupkanmu dengan kedua tanganku!” Maka berkatalah Abu Ja’far Maytsam, Sesosok tubuh itu bangkit dalam keadaan memiliki sifat-sifat yang lebih sempurna dari matahari dan bulan, sembari berkata, “Aku dengar panggilanmu wahai yang menghidupkan tulang, wahai hujjah Allah di kalangan umat manusia, wahai satu-satunya yang memberikan kebaikan dan kenikmatan. Aku dengar panggilanmu wahai Ali, wahai Yang Maha Mengetahui.” Maka berkatalah amirul-mu’minin, “Siapakah yang telah membunuhmu?” Lantas orang tersebut memberitahukan pembunuhnya.
Berkata al-Kasany dalam kitabnya ‘Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din jilid II, hal 597, “Semua makhluk diciptakan untuk mereka (para imam), dari mereka, karena mereka, dengan mereka dan akan kembali kepada mereka. Karena -tanpa diragukan lagi- Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia dan akhirat hanya untuk mereka. Dunia dan akhirat untuk mereka dan milik mereka. Para manusia adalah budak-budak mereka!”
Dengarlah salah seorang syaikh mereka Baqir al-faly yang mengatakan bahwasanya Nabiyullah Isa ‘alaihis salam mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali rodhiallahu ‘anhu, “Wahai para manusia, beberapa hari yang lalu telah dirayakan hari kelahiran Isa al-Masih, yang telah mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali bin Abi Thalib!”
Berkata Imam mereka Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya Al-Hukumah al- Islamiyah hal 52, “Sesungguhnya para Imam memiliki kedudukan terpuji, derajat yang tinggi dan kekuasaan terhadap alam semesta, di mana seluruh bagian alam ini tunduk terhadap kekuasaan dan pengawasan mereka.”
Sulaim bin Qois dalam kitabnya hal 245 dengan ‘gagahnya’ berdusta dengan perkataannya, Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali, “Wahai Ali, sesungguhnya engkau adalah ilmu pengetahuan Allah yang paling agung sesudahku, engkau adalah tempat bersandar yang paling besar di hari kiamat. Barang siapa bernaung di bawah bayanganmu niscaya akan meraih kemenangan. Karena hisab (penghitungan amal) para makhluk berada di tanganmu, tempat kembali mereka adalah kepadamu. Mizan (timbangan amalan), shirath (jalan yang mengantarkan para hamba ke surga), dan al-mauqif (tempat berkumpulnya semua makhluk di hari akhir) semua itu adalah milikmu. Maka barang siapa yang bersandar kepadamu, niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelisihimu niscaya akan celaka dan binasa! Ya Allah, saksikanlah 3x!”
Na’udzubillah…
Dengarlah Basim al-Karbalaiy menghasung dan mendorong orang-orang Rafidhah untuk pergi ke kuburan Ali radhiallahu ‘anhu dan meminta kesembuhan darinya, berihram dan thawaf di sekitar kuburannya, “Wahai yang berada di bawah kubah putih di kota Najaf! Wahai Ali! Barang siapa yang berziarah ke kuburanmu dan meminta kesembuhan darimu niscaya dia akan sembuh!”
Di dalam kitab Wasail ad-Darojat karangan ash-Shaffar (hal 84), Abu Abdillah berkata: Konon Amirul Mu’minin pernah berkata, “Aku adalah ilmu Allah, aku adalah hati Allah yang sadar, aku adalah mulut Allah yang berbicara, aku adalah mata Allah yang melihat, aku adalah pinggang Allah, aku adalah tangan Allah.”
Na’uzubillah dari ghuluw ini!
Dengarlah Muhsin al-Khuwailidy dalam khotbah kufurnya di mana dia melekatkan kepada Ali sifat-sifat rububiyah Allah, “Dan di antara khutbah-khutbahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku mempunyai semua kunci hal-hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya sesudah Rasulullah kecuali aku. Aku-lah penguasa hisab, aku pemilik sirath dan mauqif, aku pembagi (distributor) surga dan neraka dengan perintah Robb-ku. Akulah yang menumbuhkan dedaunan dan mematangkan buah-buahan. Akulah yang memancarkan mata air dan mengalirkan sungai-sungai. Akulah yang menyimpan ilmu, akulah yang meniupkan tiupan pertama yang mengguncangkan alam, akulah sang petir, akulah shaihah. Aku adalah Al Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Akulah asma al-husna yang para hamba diperintahkan untuk berdoa dengannya. Akulah yang memiliki sangkakala dan yang membangkitkan manusia dari dalam kubur. Akulah penguasa hari kebangkitan. Akulah yang menyelamatkan Nuh, yang menyembuhkan Ayub. Akulah yang menegakkan langit dengan perintah Tuhanku. Akulah si pemegang keputusan yang tidak dapat diubah, hisab para makhluk berada di tanganku. Para makhluk menyerahkan urusannya kepadaku. Akulah yang mengokohkan gunung-gunung yang menjulang tinggi, yang memancarkan mata air, dan yang menciptakan alam semesta. Akulah yang membangkitkan para mayat, yang menurunkan kuburan. Akulah yang memberi cahaya matahari, bulan dan bintang. Akulah yang membangkitkan hari kiamat, yang mengetahui hal yang telah lalu dan yang akan datang. Akulah yang membinasakan para raja lalim terdahulu dan yang melenyapkan negeri-negeri. Akulah yang menciptakan gempa, yang membuat gerhana matahari dan bulan. Aku pula yang menghancurkan fir’aun-fir’aun dengan pedangku ini. Akulah yang ditugasi Allah untuk melindungi orang-orang lemah dan Allah perintahkan mereka taat kepadaku.”
Dalam kitab Kasyf al-Yaqin Fi Fadhail Amir al-Mu’minin karya Hasan bin Yusuf bin al- Muthahhir al-Hilly (hal 8) disebutkan, Akhthab Khawarizm meriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tatkala Allah ciptakan Adam dan Dia tiupkan ruh-Nya ke dalamnya, Adam bersin lantas mengucapkan, “Alhamdulillah!” Maka Allah mewahyukan padanya, “Engkau telah memuji-Ku wahai hamba-Ku, demi kekuatan dan keagungan-Ku kalau bukan karena dua hamba yang akan Kutempatkan mereka di dunia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu wahai Adam!” Serta merta Adam bertanya, “Mereka berdua dari keturunanku?”, “Betul wahai Adam. Angkatlah kepalamu dan lihatlah!” Maka Adam mengangkat kepalanya, dan ternyata telah tertulis di atas ‘Arsy, “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah, Muhammad nabi kasih sayang dan Ali penegak hujjah. Barang siapa yang mengetahui hak Ali maka dia akan suci dan bahagia, dan barang siapa yang taat kepadanya meskipun dia berbuat maksiat kepada-Ku akan Kumasukkan ke dalam surga. Aku bersumpah demi kepekerkasaan-Ku; barang siapa yang tidak taat kepada Ali meskipun dia taat kepada-Ku, niscaya akan Kumasukkan ke dalam neraka!”
Lihatlah wahai para hamba Allah, bagaimana dia mengedepankan ketaatan kepada Ali di atas ketaatan kepada Allah!!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 33): Pengarang buku Masyariq al-Anwar telah meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Mufadhal bin ‘Amr: Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah ‘alaihis salaam tentang perihal sang imam; bagaimana ia bisa tahu apa yang ada di penjuru bumi, padahal ia berada di rumah yang tertutup? Lantas ia menjawab, “Wahai Mufadhal, sesungguhnya Allah telah menciptakan di dalam diri mereka 5 ruh:
- Ruh kehidupan, yang dengannya dia bisa memukul dan naik.
- Ruh kekuatan, yang dengannya dia bisa bangkit.
- Ruh syahwat, yang dengannya dia bisa makan dan minum.
- Ruh keimanan, yang dengannya dia memerintahkan dan berbuat adil.
- Ruh kudus, yang dengannya dia mengemban kenabian. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berpindahlah ruh kudus ke tubuh sang imam, maka dia tidak akan pernah lalai dan lengah. Dengan ruh itulah dia bisa melihat apapun yang ada di penjuru dunia. Tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari sang imam. Dia bisa mengetahui semua yang ada di langit semesta, sekecil dan selirih apapun dia. Barang siapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka dia bukanlah seorang imam!”
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 30), Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku bersama Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api dan akulah yang menjadikan api itu dingin serta menyelamatkan. Aku juga bersama Nuh di kapalnya lantas akulah yang menyelamatkan dia dari ketenggelaman. Aku juga bersama Musa, lantas aku ajarkan Taurat kepadanya. Aku jugalah yang menjadikan Isa berbicara saat dia masih dalam buaian, kemudian kuajarkan Injil padanya. Akulah yang bersama Yusuf di dalam sumur, lantas kuselamatkan dia dari tipu daya saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani, kemudian aku hembuskan angin baginya.”
Lantas apa yang tersisa untuk Allah?! Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Ziarah Makam Husain Lebih Utama Dari Haji Ke Baitullah
Dalam kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid I, hal 371) dan di dalam kitab al-Mazar karangan al-Mufid (hal 58) disebutkan: Dari Yunus bin Dzobyan, berkata Abu Abdillah, “Barang siapa yang ziarah ke makam Husain pada malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Idul Fitri dan malam hari Arafah dalam satu tahun, niscaya Allah akan tuliskan baginya pahala 1000 ibadah haji yang mabrur, 1000 ibadah umrah yang diterima dan akan dikabulkan baginya 1000 doa yang berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan dia di dunia dan akhirat.”
Bahkan menurut orang-orang Rafidhah, para penziarah makam Husain itu lebih utama daripada orang-orang yang berada di padang Arafah. Dalam kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid X,hal 361) dan kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid VI, hal 42) disebutkan: Dari Ali bin Asbath, dari sebagian sahabat-sahabat kami, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam bahwa dia ditanya, “Benarkah Allah mendahulukan ‘menengok’ para peziarah makam Ali bin Husain ‘alaihi salam sebelum ‘menengok’ orang-orang yang berada di padang Arafah?”, “Betul” jawabnya. Lantas dia kembali ditanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Karena di antara orang-orang yang berada di padang Arafah terdapat anak-anak hasil perzinaan, adapun para penziarah makam Husain seluruhnya suci tidak ada satupun anak hasil perzinaan.” (Bagaimana mungkin mereka menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil perzinaan, padahal zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan salah satu ritual ibadah yang paling utama?!! (-pen).
Na’udzubillah!
Dalam kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid V, hal 372) disebutkan: Dari Zaid asy-Syahham, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam berkata, “Barang siapa yang ziarah makam Abu Abdillah (Husain) ‘alaihis salam pada hari ‘Asyura sedang dia mengetahui hak-haknya, seakan-akan dia telah menziarahi Allah di ‘Arsy-Nya.”
Na’udzubillah dari ghuluw dan kesesatan ini!
–bersambung insya Allah–
***
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen, Lc. (Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)
Artikel www.muslim.or.id
Biarkan Syi’ah Bercerita Tentang Kesesatan Agamanya (2)
FAKTA KEDUA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Al Quran.
Semua umat Islam telah berijma’ bahwasanya kitab Allah selalu terjaga dari pengubahan, penambahan ataupun pengurangan. Ia terjaga dengan penjagaan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Para ulama besar Ahlusunnah telah menegaskan bahwa barang siapa yang meyakini di dalam Al Quran terdapat tambahan atau kekurangan, maka sesungguhnya ia telah dianggap keluar dari agama Islam (murtad). Akidah ini sudah amat sangat masyhur dan mutawatir di kalangan Ahlusunnah, sampai-sampai tidak lagi dibutuhkan seseorang untuk mendatangkan dalil-dalil tentangnya. Berkata Ibnu Qudamah dalam kitab Lum’ah al-I’tiqad (hal 19), “Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat Islam, bahwa barang siapa yang mengingkari satu surat, atau satu kata, atau satu huruf dari Al Quran yang telah disepakati, maka sesungguhnya dia telah kafir.”
Syi’ah dan Keyakinan Mereka Tentang Tahrif (distorsi, pengubahan) Al Quran
Ulama-ulama Syi’ah yang paling menonjol yang berpendapat bahwa Al Quran telah mengalami distorsi adalah: Al-Kulainy, al-Qummy, al-Mufid, ath-Thobarsy, al-Kaasyany, al-Jazairy, al-Majlisy, al-’Amily, al-Khuu’iy, dan masih banyak yang lainnya.
Pertama:
Mari kita mulai dari al-Kulainy pengarang kitab al-Kaafi, kitabnya yang paling terpercaya di kalangan orang-orang Rafidhah. Pengarang berkata dalam jilid II, hal 634, ((Dari Hisyam bin Salim dari Abu Abdillah ‘alaihis salam ia berkata, “Sesungguhnya Al Quran yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiri dari 17.000 ayat”)). Padahal sepengetahuan kita ayat-ayat Al Quran hanya berjumlah 6.000 ayat lebih sedikit. Riwayat kedua disebutkan dalam (jilid I, hal 228). Riwayat ketiga disebutkan dalam (jilid I, hal 228).
Riwayat keempat disebutkan dalam jilid I, hal 229: ((Dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah ia berkata, “Sesungguhnya yang berada di tangan kami adalah mushaf Fathimah. Tahukah kalian apa itu mushaf Fathimah?” Aku bertanya, “Apa itu mushaf Fathimah?” Ia menjawab, “Mushaf Fathimah tebalnya tiga kali lipat Al Quran kalian. Demi Allah tidak ada satu huruf pun dari Al Quran kalian, disebutkan di dalam mushaf Fathimah!”)).
Kedua:
Di antara ulama Rafidhah yang berpendapat bahwa Al Quran telah mengalami distorsi; Ali bin Ibrahim al-Qummy yang berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 36): ((Di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110). Berkata Abu Abdillah kepada yang membaca ayat ini, “Umat yang terbaik, lantas membunuh amirul mukminin Hasan dan Husain bin Ali ‘alaihima salam??” Lantas ada yang bertanya, “Bagaimana sebenarnya ayat tersebut diturunkan wahai putra Rasulullah?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan: (Kalian para imam terbaik yang dilahirkan untuk manusia)”)).
Ketiga:
Ni’matullah al-Jazairy dalam jilid II, hal 363.
Keempat:
Al-Faidl al-Kaasyaany salah seorang ahli tafsir mereka yang tersohor dan pengarang Tafsir ash-Shafy, berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 49), ((Kesimpulan yang dapat diambil dari berita-berita ini dan riwayat-riwayat lainnya yang berasal dari ahlul bait ‘alaihis salam bahwasanya Al Quran yang ada di hadapan kita ini tidaklah sempurna, sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Di dalamnya ada yang diubah dan banyak pula yang telah dihapus; seperti nama Ali dari berbagai ayat, lafadz aalu (keluarga) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nama-nama kaum munafikin dan hal-hal lainnya. Juga Al Quran tersebut tidak sesuai dengan susunan yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam)).
Kelima:
Ahmad bin Manshur Ath-Thabarsy dalam kitabnya al-Ihtijaj (jilid I, hal 55) telah menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tatkala menceritakan kisah-kisah yang berkenaan dengan dosa-dosa dalam Al Quran, Allah telah menyebutkan secara terang-terangan nama para pelaku dosa tersebut. Akan tetapi para sahabat telah menghapus nama-nama tersebut, jadilah kisah-kisah itu disebutkan tanpa nama-nama pelakunya.
Keenam:
Berkata Muhammad bin Baqir Al Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid 89, hal 66): ((Bab distorsi dalam ayat-ayat Al Quran, sehingga tidak sesuai lagi dengan apa yang diturunkan oleh Allah)).
Ketujuh:
Muhammad bin Muhammad an-Nu’man yang dijuluki al-Mufid dalam kitabnya Awaail al- Maqaalaat (hal 91).
Kedelapan:
Abul Hasan Al ‘Aamily dalam muqaddimah kedua dari kitab tafsirnya Mira’ah al-Anwar wa Misykaah al-Asraar (hal 36) menyatakan, ((Ketahuilah, sesungguhnya Al Haq yang kita tidak bisa elakkan -berdasarkan kabar-kabar yang mutawatir ini dan lainnya- bahwa Al Quran yang ada di hadapan kita, telah diubah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya orang-orang yang mendapatkan tugas untuk menyampaikan Al Quran telah menghapus banyak kata-kata dan ayat-ayat)).
Kesembilan:
Abul Qasim al-Khuu’iy (Ulama kontemporer syiah) dalam kitabnya al-Bayan (hal 236).
Dengarlah Adnan al-Waa’il yang memberikan contoh salah satu distorsi yang dialami Al Quran: ((Ketika turun ayat (yang artinya) “Hai para rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang Ali. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya. Allah memelihara kamu dari gangguan manusia.” (QS Al Maaidah: 67)).
FAKTA KETIGA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai para sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummahatul mu’minin.
Keutamaan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tingginya kedudukan serta derajat mereka, sudah merupakan sesuatu yang diketahui oleh semua orang. Hal itu juga termasuk hal-hal yang diketahui dari agama Islam secara dharurah. Ini disebabkan karena melimpahnya dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, baik dari Al Quran maupun As Sunnah. Sekarang bukan waktunya untuk menyebutkan semua dalil-dalil itu, akan tetapi barangkali kami akan menyebutkan sebagian saja:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
((مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً)) الفتح:29
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka, tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29)
Ayat yang mulia ini mencakup seluruh sahabat karena mereka semua bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menguatkan apa yang telah lalu: hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim; dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari dari Abu Sa’id dia berkata: ((Pada suatu saat terjadi suatu masalah antara Khalid bin Walid dengan Abdurrahman bin ‘Auf, lantas Khalid memaki Abdurrahman. Ketika mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memaki salah seorang dari sahabatku, sesungguhnya jika salah seorang dari kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan dapat menyamai (pahala) satu genggam atau setengah genggam (nafkah) salah seorang dari mereka.” Hadits ini juga mencakup seluruh sahabat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memaki salah seorang dari sahabatku.”
Syi’ah dan Penghinaan Mereka Terhadap Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam kitab ar-Raudhah min al-Kafi (hal 245) disebutkan, ((Dari Hanan, dari bapaknya, dari Abu Ja’far ‘alaihis salam, ia berkata, “Sesungguhnya para manusia telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya tiga orang.” Lantas aku bertanya: “Siapakah tiga orang itu?” Dia menjawab: “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifary dan Salman al-Farisy.”)).
Ash-Shafy dalam tafsirnya (jilid V, hal 28) berkata, ((Dari Abdurrahman bin Katsir, dari Abu Abdillah, dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad: 25). Dia berkata, “fulan dan fulan”, yang dia maksud adalah Abu Bakar dan Umar)).
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 53), ((Telah diriwayatkan dalam berita-berita khusus bahwa tatkala Abu Bakar sholat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menggantungkan berhala di lehernya, dan sujudnya adalah untuk berhala itu)). Na’udzubillah dari kedustaan ini!
Dengarlah salah seorang syaikh orang Syi’ah yang tanpa tedeng aling-aling melaknat Ash Shiddiq, ((Para ulama Syi’ah telah bersaksi bahwa ada riwayat-riwayat valid yang kevalidannya melahirkan dalil-dalil atas si penjahat Abu Bakar, hal tersebut karena adanya dia di masjid dan kembalinya dia dari pasukan pertama. Kedua melanggar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga tidak sholatnya dia bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melaknat Abu Bakar! Dengarlah wahai siapa yang berkata, Tidak boleh melaknat. Semoga Allah melaknat Abu Bakar!, semoga Allah melaknat Abu Bakar!, semoga Allah melaknat Abu Bakar! Dan semoga Allah melaknat Umar dan para pembangkang lainnya! Semoga Allah melaknat siapa saja yang tidak rela dengan dilaknatnya mereka! Kebencian-kebencian umat ini…)).
Dengan busuknya Ni’matullah al-Jazary berkata dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 63), ((Konon Umar terkena penyakit di duburnya dan tidak bisa disembuhkan kecuali dengan air mani para lelaki)).
Berkata Zainudin al-Bayadhy dalam kitabnya ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim (jilid III, hal 129), ((Sebenarnya Umar itu telah menyembunyikan kekufuran dan memperlihatkan keislaman)).
Dalam kitab al-Anwar an-Nu’maniyah milik Ni’matullah al-Jazairy (jilid I, hal 81) disebutkan, ((Telah disebutkan dalam riwayat-riwayat khusus bahwasanya syaitan dibelenggu dengan 70 belenggu dari besi jahanam lantas digiring ke padang mahsyar, tiba-tiba sesampainya di sana dia melihat seseorang di depannya yang ditarik oleh malaikat azab dan di lehernya terdapat 120 belenggu dari belenggu-belenggu jahanam, dengan terheran-heran syaitan itu mendekat lantas bertanya, “Apa yang dikerjakan orang yang amat malang ini hingga siksaannya jauh lebih berat dariku? Padahal aku telah menyesatkan para makhluk hingga aku masukkan mereka ke dalam pintu-pintu kebinasaan.” Maka berkatalah Umar (Maksudnya makhluk malang yang dibelenggu dengan 120 rantai neraka jahanam adalah amirul mu’minin Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu! Qaatalahumulloh! -pen) kepada si syaitan, “Tidak ada yang kukerjakan melainkan hanya merampas kekhilafahan Ali bin Abi Thalib.”)).
Di antara yang dituduhkan gerombolan orang-orang Rafidhah terhadap amirul mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu; apa yang disebutkan oleh Zainuddin al-Bayadhy dalam kitabnya ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim (jilid III, hal 30), ((Pada suatu saat di zaman Utsman didatangkan seorang perempuan untuk dihukum hadd, lantas oleh Utsman perempuan tersebut dizinai terlebih dahulu baru kemudian diperintahkan untuk dirajam)).
Belum puas Rafidhah dengan tuduhan keji ini, bahkan dalam kitab yang sama dan halaman yang sama disebutkan bahwa Utsman itu termasuk orang-orang yang dipermainkan (para laki-laki) dan bertingkah laku seperti perempuan, serta suka main rebana.
Dengarlah bagaimana Hasan ash-Shaffar berbangga karena Rafidhah-lah yang telah membunuh Utsman radhiallahu ‘anhu, ((Sesungguhnya Syiah-lah yang telah membunuh Utsman, semoga Allah memberikan pahala yang baik buat mereka)).
Al-Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid XXX, hal 237) berkata, ((Kisah-kisah yang menerangkan kekafiran Abu Bakar dan Umar, penyelewengan mereka, serta pahala orang yang melaknat dan berlepas diri dari mereka dan dari bid’ah-bid’ah mereka amat sangat banyak untuk disebutkan dalam satu jilid atau dalam buku yang berjilid-jilid lainnya)).
Muhammad al-’Ayasyi dalam tafsirnya (jilid III, hal 20) surat an-Nahl:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS. An Nahl: 90)
Al-’Ayasyi berkata: Al- Fahsyaa (perbuatan keji) yaitu yang pertama (maksudnya Abu Bakr), al-Munkar (kemungkaran) yaitu yang kedua (maksudnya Umar al-Faruq), al-Baghy (permusuhan) yaitu yang ketiga (maksudnya: Utsman bin Affan).
Semoga Allah meridhai seluruh shahabat.
Bahkan al-Majlisy dalam (jilid XXX, hal 235) menukil dari Tafsir al-Qummy dalam firman Allah ta’ala,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
“Katakanlah: aku berlindung dari Rabb al Falaq.”
Al-Falaq adalah kawah di Jahanam, seluruh penghuni neraka memohon perlindungan kepada Allah darinya karena saking panasnya, lantas kawah itu minta izin untuk bernafas, maka diizinkanlah, akibatnya terbakarlah neraka jahanam. Dan di dalam kawah tersebut ada sebuah peti yang mana penghuni kawah tersebut memohon perlindungan kepada Allah darinya karena saking panasnya. Peti itulah yang dinamakan Tabut. Di dalam Tabut itu ada enam orang terdahulu dan enam orang yang hidup setelah zaman mereka. Adapun enam orang yang hidup setelah zaman mereka adalah: nomor pertama, kedua, ketiga dan keempat. Nomor pertama maksudnya Abu Bakar, yang kedua maksudnya Umar, yang ketiga Utsman dan yang keempat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhum.
Al-Majlisy berkata dalam (jilid XXX, hal 237), ((Keterangan tentang dua orang Arab badui yang pertama dan kedua -yakni Abu Bakar dan Umar-, yang tak pernah beriman kepada Allah sekejap mata pun)). Wa la haula wa la quwwata illa billah!
Belum cukup Rafidhah sampai sini, bahkan mereka melampaui batas hingga ‘menyerang’ Ummahatul Mukminin. Berkata Ja’far Murtadho dalam bukunya Hadits al-Ifk (hal 17), ((Sesungguhnya kami meyakini, sebagaimana (keyakinan) para ulama-ulama besar kami pakar pemikiran dan penelitian, bahwa isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpeluang untuk kafir sebagaimana istri Nuh dan istri Luth)), dan yang dimaksud istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah ‘Aisyah. Hasyim al-Bahrany berkata dalam tafsirnya al-Burhan (jilid IV, hal 358) surat at-Tahrim, ((Berkata Syarafuddin an-Najafy, “Diriwayatkan dari Abu Abdillah ‘alaihis salam bahwa dia berkata dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.” (QS. At Tahrim: 10)
Perumpamaan ini Allah buat untuk Aisyah dan Hafshah, karena keduanya demo terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuka rahasianya)).
Ali bin Ibrahim al-Qummy berkata, ((Lantas Allah membuat perumpamaan untuk ‘Aisyah dan Hafshah dan berkata, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba-hamba kami, lalu kedua istri itu berkhianat.” Demi Allah yang dimaksud dengan berkhianat tidak lain hanyalah berzina (na’udzubillah). Niscaya akan dilakukan hukum had atas fulanah (yang dia maksud adalah ‘Aisyah) atas apa yang dikerjakannya di jalan Bashrah. Dikisahkan bahwa fulan (yang dia maksud Thalhah) mencintai ‘Aisyah. Tatkala ‘Aisyah akan safar ke Bashrah, berkatalah Thalhah, “Kamu itu tidak boleh safar kecuali dengan mahram.” Lantas Aisyah mengawinkan dirinya dengan fulan, dalam suatu naskah disebutkan dengan Thalhah)).
Berkata Muhammad al-’Ayasyi dalam tafsirnya (jilid XXXII, hal 286) surat Ali Imran, dari Abdush Shamad bin Basyar dari Abi Abdillah radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Tahukah kalian Nabi itu meninggal atau dibunuh? Sesungguhnya Allah berfirman,
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
“Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad).” (QS. Ali Imran: 144). Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diracuni sebelum wafatnya, dan mereka berdualah yang meracuninya (yakni ‘Aisyah dan Hafshah)! Sesungguhnya dua perempuan tersebut dan bapak mereka adalah sejahat-jahat ciptaan Allah! Wa la haula wa la quwwata illa billah!
Belum cukup al-Majlisy sampai di situ, bahkan dia berkata dalam kitabnya Bihar al-Anwar (jilid XXXII, hal 286), ((Dari Salim bin Makram dari bapaknya ia berkata, Aku mendengar Abu Ja’far ‘alaihis salam berkata di dalam firman Allah,
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتاً وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil perlindungan-perlindungan selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah, dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba.” (QS. Al Ankabut: 41). Laba-laba itu adalah al-Humaira (Aisyah-pen). Kenapa dimisalkan dengan laba-laba? karena dia adalah binatang yang lemah dan membuat sarang yang lemah; begitu pula al-Humaira (yakni Aisyah), dia itu binatang yang lemah, lemah kedudukan dan akal serta agamanya. Hal itu menjadikan pendapatnya lemah dan akalnya yang tolol, hingga melakukan pelanggaran dan permusuhan terhadap Tuhannya. Persis dengan sarang laba-laba yang lemah!))
–bersambung insya Allah–
***
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen, Lc. (Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah)
Artikel www.muslim.or.id
Biarkan Syi’ah Bercerita Tentang Kesesatan Agamanya (3)
FAKTA KEEMPAT: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlusunnah.
Tuhan Orang Syi’ah Beda Dengan Tuhan Ahlusunnah
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 278), ((Sesungguhnya kami (kaum Syi’ah) tidak pernah bersepakat dengan mereka (Ahlusunnah) dalam menentukan Allah, nabi maupun imam. Sebab mereka (Ahlusunnah) mengatakan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan yang menunjuk Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai pengganti Muhammad sesudah beliau wafat. Kami (kaum syi’ah) tidak setuju dengan Tuhan model seperti ini, juga kami tidak setuju dengan model nabi yang seperti itu. Sesungguhnya Tuhan yang memilih Abu Bakar sebagai pengganti nabi-Nya, bukanlah Tuhan kami. Dan nabi model seperti itu pun bukan nabi kami!)). Na’udzubillah dari kekufuran dan kesesatan ini!!!
Pengertian an-Naashib Dalam ‘Kamus’ Rafidhah
An-Nawaashib mufradnya naashib. Definisinya menurut Ahlusunnah adalah: Orang-orang yang mengalahkan serta melaknat Ali dan keluarganya. Sedangkan definisinya versi orang-orang Syi’ah: An-Nawashib adalah Ahlusunnah yang mencintai Abu Bakar, Umar dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya radhiallahu ‘anhum.
Husain Aal ‘Ushfur ad-Darraz al-Bahrany dalam kitabnya al-Mahasin an-Nafsaniyah Fi Ajwibati al-Masail al-Khurasaniyah (hal 147) berkata, ((Berita-berita yang bersumber dari para imam ‘alaihis salam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan an-Nashib adalah yang biasa dipanggil dengan julukan Sunni)). Dia juga berkata, ((Tidak perlu lagi dipermasalahkan bahwa yang dimaksud dengan an-Nashibah adalah Ahlusunnah)).
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid II, hal 306-307), ((Adapun orang Nashibi, kondisi dan hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka bisa dijelaskan dalam dua hal: Pertama, siapakah yang dimaksud dengan an-Nashib yang diceritakan dalam berbagai riwayat mereka itu lebih jahat dari orang Yahudi, Nashrani dan Majusi. Yang juga mereka itu kafir dan najis menurut ijma’ para ulama imamiyah… Dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di antara ciri khas orang-orang Nawashib adalah: mendahulukan selain Ali atasnya)). Perkataan orang satu ini menunjukkan bahwa setiap yang mendahulukan kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman sebelum kepemimpinan Ali radhiallahu ‘anhu, maka dia adalah Nashibi menurut versi orang-orang Rafidhah; padahal orang-orang Nashibi itu menurut mereka lebih jahat dari orang Yahudi, Nashrani dan Majusi, bahkan dianggap kafir dan najis!!! Na’udzubillah!!
Kaum Rafidhah Menghalalkan Harta dan Nyawa Ahlusunnah
Berkata Yusuf al-Bahrany dalam kitabnya al-Hadaaiq an-Naadhirah Fii Ahkaam al-’Itrah ath- Thaahirah (jilid XII, hal 323), “Sesungguhnya anggapan bahwa an-Nashib itu muslim, dan juga anggapan bahwa agama Islam tidak membolehkan untuk mengambil harta mereka, ini semua tidak sesuai dengan ajaran kelompok yang benar (maksudnya Syi’ah -pen) mulai dari dahulu sampai sekarang, yang mana mereka itu mengatakan bahwa an-Nashib itu kafir dan najis serta boleh diambil hartanya bahkan dibenarkan untuk dibunuh.”
Dalam kitab Wasail asy-Syi’ah karangan al-Hur al-’Amily (jilid XVIII, hal 463) disebutkan, ((Berkata Dawud bin Farqad, Aku bertanya kepada Abu Abdillah ‘alaihis salam, “Apa pendapatmu tentang an-Nashib?” Dia menjawab, “Halal darahnya (nyawanya -pen) tapi aku bertaqiyyah (Lihat maksud dari istilah taqiyyah di epilog dari tulisan ini -pen). darinya. Seandainya engkau bisa membunuhnya dengan cara meruntuhkan suatu tembok atasnya atau kamu tenggelamkan dia, supaya tidak ketahuan bahwa kamulah pembunuhnya, maka lakukanlah!”)). Aku bertanya lagi, “Lantas bagaimana dengan hartanya?” Dia menjawab, “Musnahkanlah hartanya semampumu!”)).
Dalam kitab ar-Raudhah min al-Kafi (hal 285) disebutkan, ((Dari Abu Hamzah, Aku bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Sebagian kawan-kawan kami memfitnah dan menuduh yang tidak-tidak terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka?” Dia menjawab, “Lebih baik engkau tinggalkan perbuatan itu! Demi Allah wahai Abu Hamzah sesungguhnya seluruh manusia adalah anak-anak pelacur kecuali para pendukung kita!!”)). Yang dia maksud adalah: bahwa semua manusia adalah anak-anak hasil perzinaan kecuali orang-orang Syi’ah (Bagaimana mungkin mereka menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil perzinaan, padahal zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan salah satu ritual ibadah yang paling utama?!! -pen). Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Orang-Orang Rafidhah Mengkafirkan Golongan Ahlusunnah
Al-Faidl al-Kasyany dalam kitabnya Minhaj an-Najah (hal 48) berkata, “Barang siapa yang mengingkari keimaman salah seorang dari mereka (yakni para imam yang dua belas) maka sesungguhnya dia itu sama dengan orang yang mengingkari kenabian seluruh para nabi.”
Berkata al-Maamaqaany dalam kitabnya Taudhih al-Maqaal (jilid I, hal 208), “Kesimpulan yang dapat diambil dari kitab-kitab, bahwa setiap yang tidak bermazhab itsna ‘asyar (syi’ah) akan diterapkan baginya hukum orang kafir dan musyrik di akhirat.”
Dengarlah orang-orang Rawafidh yang terang-terangan melaknat para ulama Islam seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Samahah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah: “Ini syeikh Bin Baz, kalian anggap dia itu syaikh?! Wahai orang-orang yang najis!, orang-orang yang kotor!, wahai para pengikut Ibnu Taimiyyah si anjing itu! Wahai para pengikut Bin Baz al-Munafiq si buta mata dan hati! Semoga Allah melaknat dia!!! Semoga Allah melaknat dia!! Anjing kalian ikuti?!, kalau bukan karena kalian binatang niscaya kalian tidak akan mengikuti binatang, babi seperti Bin Baz!!!)). Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Keyakinan Rafidah Mengenai Al-Mahdi Yang Dinanti-nantikan
Ahlusunnah meyakini bahwa di akhir zaman nanti akan muncul seorang dari ahlul bait, Allah kokohkan dengannya agama Islam, dia berkuasa tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman. Bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya, langit menurunkan hujannya, harta melimpah ruah tanpa batas.
Adapun Rafidhah, maka telah terjadi kontradiksi dalam keyakinan mereka tentang al-Mahdi; terkadang mereka mengingkari lahirnya al-Mahdi sebagaimana yang dikatakan oleh al-Kulainy dalam kitabnya Ushul al-Kafi (jilid I, hal 505), Ibnu Baabawaih al-Qummy dalam kitabnya Kamaal ad-Din Wa Tamaam an-Ni’mah (hal 51), juga al-Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid 50, hal 329), bahwa al-Mahdi tidak akan dilahirkan, sebab harta warisan ayah al-Mahdi yang bernama al-Hasan al-’Askary sudah terlanjur dibagi-bagi.
Akan tetapi terkadang mereka mengatakan bahwa al-Mahdi telah dilahirkan, akan tetapi dia masih bersembunyi di suatu tempat yang bernama gua as-Saamuroi, dan akan muncul kelak di akhir zaman untuk membantu Syi’ah dan membunuhi musuh-musuh mereka dari kalangan Ahlusunnah.
Agar kerancuan itu lenyap, akan kita sebutkan perbedaan-perbedaan antara Mahdinya orang Islam dengan Mahdi yang diklaim oleh orang Rafidhah.
Pertama, Mahdinya orang Islam bernama Muhammad bin Abdullah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Namanya (al-Mahdi -pen) sama dengan namaku, dan nama bapaknya (al-Mahdi -pen) juga sama dengan nama bapakku.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzy, serta dishahihkan oleh al-Albany dalam Misykaat al-Mashabih). Adapun Mahdi yang diakui oleh orang Rafidhah bernama Muhammad bin al-Hasan al-’Askary sebagaimana yang disebutkan oleh al-Arbaly dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah (jilid III, hal 226).
Kedua, Mahdinya orang Islam belum dilahirkan hingga sekarang dan dia akan dilahirkan di akhir zaman. Adapun mahdinya orang Rafidhah sesungguhnya telah dilahirkan pada tahun 255 H. Berkata al-Arbaly dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah (jilid III, hal 236), “Al-Mahdi lahir pada malam pertengahan Sya’ban tahun 255 H, lantas tatkala berumur lima tahun dia masuk gua as-Samuroi di Irak. Dan sekarang dia masih hidup.” Jadi sejak tahun itu sampai hari ini mahdi khurafatnya orang Rafidhah sudah berumur 1168 tahun!!!
Ini syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir berusaha keras untuk membuktikan adanya al-Mahdi khurafat mereka, “Manusia itu bisa saja hidup ribuan tahun, ditambah lagi kita tidak mengetahui umur yang disebutkan dalam Al Quran. Sedangkan umur 70 tahun, 60 tahun, 80 tahun, itu semua umur alami. Umur itu tidak ada yang tahu panjangnya kecuali Allah. Mungkin saja seseorang hidup seumuran Nuh. Nuh hidup 3000 tahun. Ilmu mutakhir membuktikan bahwa tidak ada suatu hal yang menghalangi panjangnya umur seseorang, seandainya Allah menghendaki. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena Allah menciptakanmu tidak hanya untuk hidup 60 tahun kemudian kamu mati, seandainya jika memang belum ada sebab-sebab kematian. Para ilmuwan berkata: Seandainya manusia selalu berada di atas metode ilmiah yang tepat di dalam makannya, minumnya, pakaiannya, tidurnya dan bangunnya, niscaya dia bisa hidup ribuan tahun!”
Ketiga, Mahdinya orang Islam dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keturunan al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu, adapun mahdi yang diklaim oleh Rafidhah itu keturunan al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu.
Keempat, Mahdinya orang Islam tinggal selama 7 tahun, adapun Mahdi yang diklaim oleh Rafidhah tinggal selama 70 tahun.
Kelima, Mahdinya orang Islam memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Adapun Mahdinya orang Rafidhah, sesungguhnya dia akan membunuhi orang-orang Islam musuh-musuh Rafidhah, bahkan dia akan menghidupkan kembali ash-Shiddiq dan al-Faaruq; Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, kemudian menyalib keduanya, juga mencambuk Aisyah dengan cambukan had. Sebagaimana disebutkan dalam kitab ar-Raj’ah karangan Ahmad al-Ahsaa’iy (hal 161).
Bahkan Mahdinya Rafidhah banyak melakukan pembunuhan di muka bumi ini terutama orang-orang Quraisy. Sampai-sampai mereka berkata: bahwasanya al-Mahdi akan membunuh dua pertiga dari penduduk bumi.
Demi Allah, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah pekerjaan al-Masih ad-Dajjal! Bahkan dalam Bihaar al-Anwar (jilid 52, hal 354) disebutkan, ((Telah diriwayatkan dari Abu Ja’far ‘alaihis salam bahwa dia berkata: Hingga kebanyakan manusia berkata: “Dia bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad, seandainya dia dari keluarga Muhammad, niscaya dia itu akan bersikap lemah lembut.”)).
Keenam, Mahdinya orang Islam menegakkan syariatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun mahdinya yang diklaim Rafidhah dia akan menegakkan hukum keluarga Dawud, bahkan akan menyeru Allah dengan nama Ibraninya. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Ushul al-Kaafi (jilid I, hal 398).
Ketujuh, Mahdinya orang Islam Allah turunkan dengannya hujan, lantas bumi menumbuhkan tetumbuhannya. Adapun Mahdinya Rafidhah maka akan menghancurkan Ka’bah, Masjidil Haram, Masjid Nabawi bahkan akan menghancurkan semua masjid (yang ada di muka bumi -pen). Sebagaimana yang disebutkan oleh ath-Thusy dalam kitabnya al-Gharib (hal 472).
Kedelapan, Mahdinya orang Islam memerangi Yahudi dan Nasrani, sampai agama betul-betul menjadi milik Allah semata, dan dia beserta nabi Isa akan membunuh Dajjal. Adapun Mahdinya orang-orang Rafidhah maka dia akan berdamai dengan orang Yahudi dan Nasrani, lantas menghalalkan darah orang Islam dan membalas dendam terhadap mereka. Sebagaimana diterangkan al-Majlisy dalam kitabnya Bihar al-Anwar (jilid 52, hal 376).
Dengan demikian hilanglah ketidakjelasan perbedaan antara dua mahdi. Dan tidak mungkin Mahdinya orang Islam dengan Mahdinya orang Rafidhah itu satu.
–bersambung insya Allah–
***
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen (Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)
Artikel www.muslim.or.id
Biarkan Syi’ah Bercerita Tentang Kesesatan Agamanya (4)
Fakta Kelima: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Hari ‘Asyura.
Pada hari ‘Asyura orang-orang Islam menunaikan ibadah puasa, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Kitab-kitab orang Rafidhah juga memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyura, akan tetapi anehnya orang-orang Rafidhah sendiri mengingkari puasa tersebut, bahkan menuduh bahwa orang-orang kerajaan Umawi-lah yang membuat-buat riwayat-riwayat palsu yang menghasung puasa ‘Asyura.
Setiap tahun, pada hari-hari bulan Muharam, terutama tanggal sepuluh, orang-orang Rafidhah melakukan perbuatan-perbuatan ‘aib yang memalukan; mulai dari memakai pakaian hitam, mengadakan majelis-majelis Al Husainiyah, mengadakan ceramah-ceramah dan perkumpulan-perkumpulan yang diselingi dengan pelaknatan terhadap Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan anaknya Yazid serta kepada bani Umayyah secara keseluruhan. Juga mereka menganiaya diri mereka sendiri dan memukuli diri mereka dengan rantai dan pedang. Serta masih banyak penyelewengan-penyelewengan syariat lainnya, yang mana itu semua dengan dalih mengungkapkan rasa bela sungkawa dan berkabung atas kematian Husain radhiallahu ‘anhu.
Dengarlah syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir yang melegalisir aksi orang-orang Rafidhah pada hari ‘Asyura, “Jangan kalian dengar orang yang berkata bahwa memukul-mukul kepala dengan rantai, menampar dan menangis itu haram, sesungguhnya mereka itu tidak paham agama Islam. Pada asalnya sesuatu itu diharamkan seandainya membahayakan, kalau membahayakan baru bisa dikatakan haram, dan ini tidak ada hubungannya dengan memukul-mukul kepala dan memukul-mukul kaki, siapa bilang itu haram? Mengharamkan sesuatu butuh dalil, karena pada asalnya segala sesuatu itu hukumnya halal!!”
Inilah ulama kita yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang mengingkari bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran Rafidhah pada hari-hari ‘Asyura dengan perkataannya, “Orang yang menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari penebusan dosa dan hari berkabung, sebagaimana orang-orang Rafidhah yang pada hari itu mereka memukul-mukul dada-dada dan tubuh-tubuh mereka serta memukul-mukul diri mereka dengan besi, mencaci maki dan melaknat. Ini semua merupakan sebagian dari kebodohan, kesesatan serta kebid’ahan mereka yang tercela. Kita memohon kepada Allah keselamatan dari itu semua. Niyahah (ratapan), memukul-mukul pipi, serta merobek-robek pakaian, tetap merupakan perbuatan mungkar, kapan saja dan di mana saja sampai pun pada hari di mana Husain terbunuh, atau di saat musibah apapun. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan itu dan bersabda, ‘Tidak termasuk dari golongan kami: orang-orang yang memukul-mukul pipi dan merobek-robek pakaian serta menyeru dengan seruan jahiliyah.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Allah melaknat ash- Shaliqah, al-Haliqah serta asy-Syaqqah.’ Ash-Shaliqah: adalah orang yang meraung-raung ketika terjadi musibah, al-Haliqah: yang menggundul rambutnya, asy-Syaqqah: yang merobek-robek pakaiannya. Ini semua merupakan kemungkaran, na’udzubillah!. Orang-orang Rafidhah memperbolehkan aksi-aksi tersebut dengan dalih bahwa itu ungkapan dukungan terhadap ahlul bait dan sebagai ungkapan kesedihan. Padahal dengan aksi-aksi tersebut mereka telah menyakiti diri mereka sendiri dan menjadikan Allah murka terhadap perbuatan buruk tersebut, sebab aksi itu telah menyelisihi syariat dan merupakan bid’ah yang mungkar.”
Bagaimana mungkin kita bisa bersatu dengan orang-orang yang selalu mencekoki masyarakatnya setiap tahun dengan perasaan dendam dan dengki terhadap Ahlusunnah, dengan dalih bahwa Ahlusunnah-lah yang telah membunuh Husain. Padahal kitab-kitab Syi’ah dipenuhi riwayat-riwayat yang membuktikan bahwa orang Syia’h Kufah-lah yang telah mengkhianati Husain radhiallahu ‘anhu, sebagaimana sebelumnya mereka telah berkhianat kepada saudara dan bapaknya.
Dalam kitab Maqtal al-Husain karya Abdul Razak al-Mukrim (hal 175) disebutkan: ((Bahwa Husain radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya merekalah yang telah mengkhianatiku, lihatlah surat-surat yang berasal dari Kufah ini! Sesungguhnya merekalah yang telah membunuhku!”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab Muntaha al-Aamal Fi Tarikh an-Nabiy wa al-Aal (jilid I, hal 535).
Bahkan referensi Syi’ah yang tersohor Muhsin al-Amin dalam A’yaan asy-Syi’ah (jilid I, hal 32) berkata, “Kemudian 20.000 penduduk Irak yang telah membai’at Husain mengkhianatinya dan meninggalkannya, padahal tali bai’at masih tergantung di leher mereka. Kemudian mereka membunuh al-Husain.”
Dalam kitab al-Ihtijaj karangan ath-Thabarsy (hal 306) disebutkan, ((Bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan julukan Zainal Abidin berkata: “Wahai para manusia, demi Allah tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian-lah yang telah menulis surat terhadap bapakku, lantas kalian tipu dia?! Kalian telah berjanji dan membai’at bapakku lantas kalian bunuh dan terlantarkan dia?! Celakalah kalian atas apa yang telah kalian lakukan. Bagaimana kelak kalian bisa memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau kelak berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku dan kalian rusak kehormatanku, sesungguhnya kalian bukanlah dari golongan kami!’”)).
Dalam kitab Maqtal al-Husain karangan Murtadha ‘Ayyad (hal 83) dan dalam kitab Nafs al-Mahmum karangan ‘Abbas Al Qummy (hal 357) disebutkan, ((Tatkala Imam Zainal Abidin rahimahullah lewat dan melihat orang Kufah menangis dan meratap (berkabung atas meninggalnya Husain), beliau membentak mereka seraya berkata, “Kalian meratapi diri kami??! Lantas siapakah yang membunuh kami? (kalau bukan kalian?? -pen)”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab al-Ihtijaj karya ath-Thabarsy (hal 304).
Dengarlah ulama kita Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang menerangkan kejadian yang sebenarnya tentang Husain radhiallahu ‘anhu, juga menerangkan sikap Ahlusunnah terhadap fitnah tersebut: “Tatkala Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu mendengar berita tentang kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh Yazid bin Mu’awiyah, beliau keluar dari Mekkah menuju Irak, dengan tujuan menyatukan kalimat kaum muslimin di atas kebaikan serta menegakkan syariat Islam. Sebagian saudara-saudaranya dari para sahabat telah menasihatinya agar tidak pergi, tapi beliau berijtihad untuk berangkat. (Tatkala mendengar keberangkatan al-Husain) Ubaidullah bin Ziyad mengutus pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’id bin Abi Waqqas, hingga terjadilah peperangan antara dua pihak. Orang-orang yang bersama Husain saat itu sedikit sekali yaitu keluarga dia. Maka terbunuhlah Husain dan banyak korban berjatuhan dari orang-orang yang bersamanya di suatu tempat yang bernama Karbala. Ubaidullah bin Ziyad telah bersalah karena perbuatannya, sebenarnya Husain sudah berkehendak pulang dan meninggalkan fitnah, atau pergi ke Yazid, atau pergi ke daerah sekitar. Akan tetapi pasukan tersebut terus memerangi dia sampai akhirnya membunuh dia dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk melindungi dia. Hingga terbunuhlah Husain dalam keadaan terzalimi dan tidak bersalah. Maka terjadilah musibah besar yang membuka pintu keburukan yang besar! nas’alullah al-’afiyah!”
Mereka (Ubaidullah dkk) telah berbuat salah dengan perbuatan mereka tersebut, semoga Allah meridhai Husain dan memberi rahmat kepadanya, kepada kita serta kepada semua kaum Muslimin. Semoga Allah membalas orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan itu dengan balasan yang setimpal. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan-kejahatan Rafidhah dan perbuatan-perbuatan mereka yang hina, serta Allah kembalikan mereka ke pangkuan Islam dan petunjuk.
Epilog
Para pembaca yang budiman, setelah kita melakukan ‘pengembaraan’ dari satu referensi ke referensi yang lain yang berada di perpustakaan kelompok Syi’ah, penulis ingin menarik perhatian para pembaca kepada dua perkara penting yang erat kaitannya dengan pembahasan kita kali ini.
Dua hal itu adalah:
Pertama- Kami rasa setiap yang membaca makalah ini akan bisa langsung menarik kesimpulan betapa sesatnya kelompok yang satu ini, bahkan dia bisa mengatakan bahwa yang menganut keyakinan tersebut di atas tidak lagi bisa dianggap beragama Islam. (Bahkan ada salah seorang awam yang tatkala membaca awal makalah ini, tidak bisa mengeluarkan kata-kata kecuali hanya: “Ini kelompok dholal (sesat) banget sich!”).
Yang ingin kami jelaskan di sini: Sedemikian sesatnya kelompok Syi’ah ini, masih ada -sampai detik ini- orang-orang yang berusaha dengan gigihnya untuk menyatukan antara Syi’ah dan Ahlusunnah di bawah satu payung, dan mengatakan bahwa perbedaan kita dengan Syi’ah hanyalah seperti perbedaan antara empat mazhab Ahlusunnah; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Entah karena mereka tidak tahu kesesatan Syi’ah atau karena pura-pura tidak tahu. Wallahua’lam… Kalau tidak tahu kenapa berbicara, bukankah orang yang tidak tahu sebaiknya diam saja? Kalaupun tahu kenapa tidak menerangkan hakikat kelompok Syi’ah itu kepada pengikutnya??
Berikut penulis bawakan statemen-statemen pembesar kelompok pergerakan ini yang terang-terangan berusaha menyatukan antara Ahlusunnah dan Syi’ah (Silahkan baca: ibid hal: 238-268, dan al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim bin Sulthan al-’Adnani, hal: 68-71)
Mari kita mulai dengan perkataan pendiri kelompok ini Hasan al-Banna rahimahullah, “Ketahuilah bahwa Ahlusunnah dan Syi’ah semuanya termasuk kaum muslimin, mereka disatukan dengan kalimat La ilaaha illAllah wa anna Muhammadan Rasulullah (Padahal syahadat orang Syi’ah mereka tambahi dengan: wa anna ‘aliyyan waliyyullah washiyyu rasulillah wa khalifatuhu bila fashl. Silahkan lihat cover buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, karya as-Sayyid Mandzur Husain -pen), ini adalah inti aqidah, Sunah dan Syi’ah sepakat di dalamnya, dan di atas kesucian. Adapun perkara khilaf antara keduanya, maka itu termasuk perkara-perkara yang bisa kita dekatkan antara keduanya.” (Dzikrayat La Mudzakkirat hal 249-250).
Umar at-Tilmisani rahimahullah berkata dalam suatu makalah dia asy-Syi’ah Wa as-Sunnah, “Usaha penyatuan antara Syi’ah dan Sunnah merupakan kewajiban para ahli fikih zaman ini.” (Majalah ad-Da’wah al-Mishriyyah edisi 105, Juli 1985 M). Dalam kitabnya yang lain disebutkan, “Syi’ah itu suatu kelompok yang kira-kira mirip dengan empat mazhab dalam Ahlusunnah… Memang di sana ada berbagai perbedaan, akan tetapi mungkin untuk dihilangkan, seperti: nikah mut’ah, jumlah istri seorang muslim -dan itu terdapat di sebagian sekte kelompok mereka- dan lain sebagainya. Yang mana perbedaan-perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadikan perpecahan antara Sunnah dan Syi’ah.” (Al-Mulham al-Mauhub Hasan al-Banna, Umar Tilmisani).
Berkata Dr. Muhammad al-Ghazali rahimahullah, “Betul, saya termasuk orang yang berkepentingan dalam usaha penyatuan antara mazhab-mazhab Islam. Saya selalu bekerja keras dan terus-menerus di Kairo. Saya berteman dengan Muhammad Taqy al-Qummy, Muhammad Jawad Mughniyah, dan ulama-ulama besar Syi’ah yang lain.” (Mauqif ‘Ulama al-Muslimin hal 21-23).
Bahkan tatkala gembong Syi’ah abad ini Ayatullah al-Khomeini (orang yang ‘merestui’ pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar (Karena dia merestui buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, as-Sayyid Mandzur Husain, yang di dalamnya terdapat doa shanamai quraisy, yang dipenuhi dengan cacian dan laknatan kepada ash-Shiddiq dan al-Faruq)) berhasil melakukan revolusi di Iran, tokoh-tokoh organisasi pergerakan ini berbondong-bondong mengucapkan selamat dan bahkan mendukung kepemimpinannya:
Berkata Al Maududi rahimahullah, “Sesungguhnya revolusi al-Khomeini adalah revolusi yang islami, dipelopori oleh jama’ah islamiyah dan para pemuda yang dididik dalam tarbiyah islamiyah di kancah pergerakan Islam. Maka seluruh kaum muslimin dan gerakan-gerakan Islam berkewajiban untuk mendukung revolusi ini dengan dukungan yang sebesar-besarnya, serta bekerjasama dengan mereka di segala aspek.” (Asy-Syaqiqani, hal 3. dan Mauqif Ulama al-Muslimin, hal 48).
Fathi Yakan rahimahullah berkata, “Dan di dalam sejarah Islam baru-baru ini, terdapat bukti atas perkataan yang kami ucapkan. Bukti itu adalah: percobaan revolusi islami yang ada di Iran; percobaan yang diperangi oleh setiap kekuatan kafir di muka bumi ini, dan masih terus diperangi, karena revolusi ini islami dan tidak memihak ke timur maupun ke barat.” (Abjadiyat at-Tashawwur al-Haraki Li al-’Amal al-Islami, hal 148).
Bahkan at-Tandzim ad-Dauly Lijama’ati al-Ikhwan al-Muslimin (Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin) telah menerbitkan memorandum yang berisi, “Dengan ini, Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin menyeru setiap pemimpin organisasi pergerakan Islam di Turki, Pakistan, India, Indonesia, Afghanistan, Malaysia, Philipina dan organisasi Ikhwanul Muslimin di negeri-negeri Arab, Eropa dan Amerika untuk mengirim utusan mereka guna membentuk suatu delegasi yang akan diberangkatkan ke Teheran dengan menggunakan pesawat khusus. Dengan tujuan untuk menemui al-Imam Ayatullah al-Khomeini, dalam rangka menekankan dukungan pergerakan Islam yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin, Hizb as-Salamah Turki, al-Jama’ah al-Islamiyah di Pakistan, al-Jama’ah al-Islamiyah di India, Jama’ah Partai Masyumi di Indonesia, Angkatan Belia Islam Malaysia, al-Jama’ah al-Islamiyah di Philipina. Pertemuan itu merupakan salah satu tanda kebesaran Islam dan kemampuannya untuk mencairkan perbedaan-perbedaan ras, kebangsaan dan mazhab…” (Majalah al-Mujtama’ al-Kuwaitiyah, edisi 434, 25/2/1979).
Wahai para pembaca yang budiman, apakah perbedaan itu berhasil dicairkan dengan cara menundukkan setiap perbedaan pendapat di bawah Al Quran dan As Sunnah, atau dengan cara diam dan pura-pura cuek dengan segala macam bentuk perbedaan, entah itu klaim bahwa Al Quran tidak sempurna, pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar, atau tuduhan yang dilontarkan kepada Ummul Mu’minin Aisyah bahwa dia telah berzina, serta dosa-dosa besar lainnya???!! Allahulmusta’an wa ‘alaihit tuklan…
Kedua- Barangkali ada di antara kita -setelah membaca makalah ini- semangatnya berkobar untuk menasihati orang-orang Syi’ah, entah itu di Madinah atau di kampungnya. Bisa jadi -dan itu memang sudah terjadi- tatkala kita ungkapkan fakta-fakta tersebut di atas, mereka akan menjawab, “Itu semua tidak ada dalam ajaran Syi’ah!” Kalau itu jawaban mereka apa langkah kita selanjutnya?
Perlu diketahui bersama, bahwa orang Syi’ah mempunyai suatu ’senjata’ yang bernama taqiyyah (Silahkan lihat: Min ‘Aqaid asy-Syi’ah, Abdullah bin Muhammad as-Salafy, hal: 32-33). Salah seorang ulama kontemporer mereka mendefinisikan taqiyyah dengan perkataannya, “Taqiyyah adalah mengucapkan atau berbuat sesuatu yang tidak engkau yakini, dengan tujuan untuk melindungi diri dan harta dari marabahaya, atau agar harga dirimu terjaga.” (Asy-Syi’ah Fi al-Mizan, Muhammad Jawad Mughniyah, hal 48).
Al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi (hal 482-483) menyebutkan, ((Abu Abdilah berkata, “Wahai Abu Umar, sesungguhnya 9/10 agama kita terletak di dalam taqiyyah, barang siapa yang tidak bertaqiyyah maka dia dianggap tidak mempunyai agama!!”)).
Jadi orang-orang Syi’ah menganggap bahwa taqiyyah itu hukumnya wajib. Maka kalau ada di antara mereka yang mengingkari fakta-fakta ini, ketahuilah bahwa mereka sedang bertaqiyyah alias berbohong. Wallahua’lam, semoga bermanfaat! dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan…
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajmain.
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Madinah An-Nabawiyah)
Selasa, 20 Muharram 1426 H
***
Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen (Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)
Artikel www.muslim.or.id
Awas Syi’ah Mengancam Kita!
Mayoritas kaum muslimin menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan membingungkan. Kesulitan ini terpulang kepada banyak hal. Di antaranya karena kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah menurut mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas. Tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana ia berkembang, tidak melihat bagaimana masa lalunya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari sini, sangat banyak di antara kaum muslimin yang meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya.
Ia tidak memandang bahwa perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah bukan pada
masalah furu’ (parsial) saja, akan tetapi banyak juga menyinggung
masalah ushul (fundamental).
Hal lain yang menyulitkan untuk menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah; bahwa mayoritas kaum muslimin tidak bersikap realistis dan praktis. Mereka sekedar berangan-angan dan berharap tanpa mengkaji…
Dengan bahasa yang sok logis, sebagian kaum muslimin mengatakan: “Lho, mengapa harus terjadi perselisihan? Ayolah kita duduk bersama dan melupakan perselisihan di antara kita… yang Sunni meletakkan tangannya di atas yang Syi’i dan berjalan sama-sama. Toh kita semua juga beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari kiamat?”
Orang ini lalai bahwa masalah yang sesungguhnya jauh lebih rumit dari ini…
Sebagai contoh, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir namun menghalalkan khamr (miras) atau zina misalnya, hukumnya kafir. Menghalalkan maksudnya memandang bahwa hal tersebut boleh-boleh saja, dan mengingkari pengharamannya dalam Al Qur’an atau Sunnah Nabi.
Nah berangkat dari asumsi ini, kita akan melihat hal-hal yang sangat berbahaya dalam sejarah kaum Syi’ah, yang mengharuskan para ulama Islam untuk merenung kembali dan menentukan sudut pandang Islam terhadap bid’ah-bid’ah kaum Syi’ah yang demikian besar.
Hal lain yang turut merumitkan masalah ini adalah; banyaknya luka Islam di mayoritas negeri kaum muslimin, di samping banyaknya yang memusuhi mereka dari kalangan Yahudi, Nasrani, kaum salibis, komunis, Hindu dan sebagainya.
Dari sini, sebagian mereka yang ‘intelek’ memandang agar kita jangan membuka front permusuhan baru. Hal ini bisa saja dibenarkan jika front tersebut mulanya tertutup lalu kita berusaha membukanya. Namun jika sejak semula telah terbuka lebar dan serangan mereka datang siang dan malam, maka mendiamkan hal tersebut berarti suatu kehinaan…
Kita tidak perlu lagi mengulang pertanyaan yang sering dilontarkan kebanyakan orang: “Apakah mereka (Syi’ah) lebih berbahaya dari Yahudi?”
Sebab hakikat dari pertanyaan ini adalah untuk membungkam lisan mereka yang sadar akan penderitaan umat, sekaligus membikin kikuk mereka yang berusaha menjaga dan melindungi kaum muslimin.
Saya akan menyanggah mereka dan mengatakan kepada mereka: “Memang apa salahnya kalau umat Islam menghadapi dua bahaya yang mengintai secara bersamaan? Apakah muslimin Ahlussunnah yang mencari-cari alasan untuk menyerang Syi’ah, ataukah realita di lapangan membuktikan berulang kali bahwa merekalah yang memulai serangan?”
Kita menyaksikan gencarnya serangan Syi’ah terhadap umat Islam, dan saya rasa realita kita saat ini tak jauh berbeda dengan masa lampau. Bahkan saya bersaksi bahwa sejarah akan mengulangi dirinya, dan generasi muda akan mewarisi dendam kesumat nenek moyang mereka.
Tak ada kebaikan sedikit pun yang bisa diharapkan dari kelompok yang menganggap bahwa 99% sahabat Nabi adalah bejat, mengingat hal itu merupakan pengingkaran yang nyata akan sabda Rasulullah e:
“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي”
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku.” (HR. Bukhari no 3451 dan Muslim no 2533)
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
Realita Syi’ah –dari dulu sampai sekarang- adalah amat sangat menyakitkan…
Mari kita tengok kembali beberapa masalah yang akan menjadikan visi kita lebih jelas, sehingga dapat membantu kita untuk menentukan sikap paling tepat yang mesti kita ambil terhadap Syi’ah; lalu kita tahu: lebih baik bicara ataukah diam saja!
PERTAMA:
Semua orang tahu bahwa sikap Syi’ah terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Al Faruq, Utsman Dzin Nuurain, lalu isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama Aisyah radhiallahu ‘anha
hingga para sahabat secara umum, sebagaimana yang dinyatakan
terang-terangan oleh referensi dan narasumber mereka yang telah mereka
yakini; adalah bahwa para sahabat tadi adalah orang-orang fasik dan
murtad. Mayoritas mereka telah sesat dan berusaha menyembunyikan serta
menyelewengkan ajaran Islam.
Dari sini apakah kita harus mengawasi dan diam saja ‘demi menghindari fitnah’?
Fitnah apakah yang lebih besar dari pada menuduh generasi teladan sebagai masyarakat ‘bejat dan pendusta’?!?
Marilah kita merenungi sama-sama perkataan bijak salah seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:
“إذا لَعَنَ آخرُ هذه الأمَّة أوَّلها، فَمَنْ كان عنده علمٌ فليظْهره، فإنَّ كاتم ذلك ككاتم ما أُنزل على محمدٍ صلى الله عليه وسلم”.
“Bila umat Islam di akhir zaman mulai melaknat pendahulunya, maka siapa saja yang berilmu hendaklah menunjukkan ilmunya. Bila ia menyembunyikan, maka ia seperti yang menyembunyikan ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Nisbat riwayat ini kepada Nabi sanadnya dha’if, namun riwayat ini adalah dari perkataan Jabir bin Abdillah)
Bisakah Anda menangkap kedalaman makna ucapan ini?
Hujatan terhadap generasi sahabat bukan sekedar hujatan terhadap mereka yang telah tiada… tidak juga seperti ucapan sebagian orang bahwa: “Hujatan tersebut tidak berbahaya bagi para sahabat, karena mereka telah masuk Surga meski Syi’ah tidak suka.” Akan tetapi bahaya besar di balik ucapan ini ialah karena hujatan terhadap para sahabat pada hakikatnya adalah hujatan terhadap Islam secara langsung. Sebab kita tidak mendapatkan ajaran Islam kecuali melalui para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Kalau berbagai hujatan yang menimbulkan keraguan akan akhlak, niat, dan perbuatan para sahabat dibiarkan; lantas agama model apa yang akan kita anut?
Hilanglah agama kita kalau kita terima semua itu… hilanglah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran beliau.
Justeru kita bertanya kepada Syi’ah: “Al Qur’an apa yang kalian baca sekarang? Bukankah yang menyampaikannya adalah mayoritas sahabat yang kalian hujat? Bukankah yang berjasa mengumpulkannya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, yang kalian anggap berbuat licik untuk menjadi khalifah? Lantas mengapa ia tidak merubah-rubah Al Qur’an sebagaimana merubah-rubah Sunnah menurut tuduhan kalian?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:
“عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المهديين مِنْ بَعْدِي”.
“Kalian wajib berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat hidayah sepeninggalku.” (HR. Tirmidzi no 2676, Ibnu Majah no 42 dan Ahmad no 17184)
Jadi, Sunnah Khulafa’ur Rasyidien adalah bagian tak terpisahkan dari
agama Islam. Hukum dan sikap yang diputuskan oleh Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali adalah hujjah (dalil) bagi setiap muslim, kapan, di mana
pun, dan sampai hari kiamat… lantas bagaimana mungkin hujatan terhadap
mereka kita biarkan?!
Sebab itulah, ulama-ulama kita yang mulia demikian berang bila
mendengar ada orang yang berani menghujat sahabat. Imam Ahmad bin
Hambal misalnya, beliau pernah mengatakan:
إذا رأيت أحدًا يذكر أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بسوءٍ، فاتهمه على الإسلام
“Kalau engkau mendapati seseorang berani menyebut para sahabat dengan tidak baik, maka tuduhlah dia sebagai musuh Islam.” (Ash Sharimul Maslul ‘ala Syaatimir Rasul 3/1058 oleh Ibnu Taimiyyah)
Al Qadhi Abu Ya’la (salah seorang fuqaha mazhab Hambali) mengatakan: “Para fuqaha sepakat bahwa orang yang mencaci-maki para sahabat tak lepas dari dua kondisi: kalau dia menghalalkan hal tersebut maka dianggap kafir, namun jika tidak menghalalkannya maka dianggap fasik (bejat)” (Ibid, 3/1061)
Abu Zur’ah Ar Razi (salah seorang pakar hadits yang wafat th 264 H) mengatakan:
“إذا رأيتَ الرجلَ ينتقص من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فاعلم أنّه زنديق”
“Kalau engkau mendapati seseorang mengkritik sahabat Nabi saw, maka ketahuilah bahwa dia itu Zindiq (munafik).” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal 49 oleh Al Khatib Al Baghdadi)
Sedangkan Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa menganggap bahwa para sahabat telah murtad sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali segelintir orang yang jumlahnya tak sampai belasan orang, atau menganggap fasik (bejat) mayoritas sahabat; maka orang ini kekafirannya tidak diragukan lagi.” (Ash Sharimul Maslul 3/1110 oleh Ibnu Taimiyyah)
Sikap yang keras terhadap para penghujat sahabat ini, tak lain adalah karena para sahabatlah yang menyampaikan agama ini kepada kita. Kalau salah seorang dari sahabat dihujat, berarti Islam jadi meragukan. Mengingat banyaknya pujian yang Allah berikan kepada mereka dalam Al Qur’an, maupun dalam Sunnah Nabi-Nya, jelaslah bahwa orang yang menghujat para sahabat berarti mendustakan ayat-ayat dan hadits yang cukup banyak tadi.
Mungkin ada yang berkata: “Lho, kami tidak pernah mendengar si Fulan dan si Fulan yang Syi’ah itu menghujat para sahabat?”
Kepada mereka, kami ingin agar memperhatikan poin-poin berikut:
Pertama: Kaum Syi’ah Itsna Asyariyah pada dasarnya meyakini bahwa para sahabat telah bersekongkol melawan Ali bin Abi Thalib, Ahlul Bait, dan Imam-imam yang diyakini oleh mereka. Intinya, tidak ada seorang Syi’i pun (baik di Iran, Irak, maupun Lebanon) melainkan ia meyakini kefasikan para sahabat. Sebab jika mereka menganggap para sahabat adalah orang shalih, hancurlah rukun iman mereka sebagai Syi’ah. Jadi, telah menjadi suatu keniscayaan pabila setiap orang Syi’ah baik pejabat, ulama, maupun rakyat jelata untuk bersikap tidak hormat kepada para sahabat, dan tidak menerima agama yang mereka bawa dalam bentuk apa pun.
Kedua: Tokoh-tokoh Syi’ah senantiasa mengelak untuk menampakkan kebencian mereka kepada para sahabat, meski terkadang nampak juga dalam sebagian statemen atau perilaku mereka, sebagaimana firman Allah:
لَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
“Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Qs Muhammad: 30)
Banyak di antara kita yang menyaksikan debat antara DR. Yusuf Al Qardhawi dengan Rafsanjani (mantan presiden Iran) di TV Al Jazeera. Kita sama-sama menyaksikan bagaiman Rafsanjani selalu mengelak dari setiap usaha DR. Qardhawi agar ia menyebut sahabat dan ummahatul mukminin (isteri-isteri Nabi) dengan baik.
Dan ketika Khamenei (pemimpin Revolusi Iran sekarang) ditanya tentang hukum mencaci-maki para sahabat, dia tidak mengatakan bahwa hal itu keliru atau haram. Namun ia menjawab secara dusta dengan berkata: “Semua perkataan yang mengakibatkan perpecahan di antara kaum muslimin pasti diharamkan dalam syari’at.” Intinya, haramnya mencaci-maki sahabat menurutnya ialah karena hal itu menimbulkan perselisihan di antara kaum muslimin, bukan karena haram menurut syari’at, sebagaimana yang dilansir oleh koran Al Ahraam Mesir tanggal 23 November 2006.
Ketiga: Kita harus waspasa terhadap akidah ‘taqiyyah’ (bermuka dua) yang menurut syi’ah adalah sembilan persepuluh dari agama mereka. Artinya, mereka biasa mengatakan perkataan yang bertentangan dengan keyakinan mereka selama mereka belum berkuasa. Namun setelah berkuasa mereka akan menampakkan jati dirinya terang-terangan.
Dalam sejarah Syi’ah, kita menyaksikan bahwa tatkala mereka menguasai beberapa wilayah Daulah Abbasiyah yang Sunni di Irak, Mesir, Afrika Utara (Maghrib) dan semisalnya; mereka langsung terang-terangan menghujat para sahabat, dan menjadikan hal itu sebagai pokok agama mereka.
Jadi, jelaslah bagi kita dari sini akan pentingnya menjelaskan hakikat Syi’ah terhadap para sahabat yang mulia. Kalau tidak, maka orang yang menyembunyikan kebenaran ini ibarat syaithan yang bisu, dan sikap ini akan mengakibatkan kehancuran Islam…
KEDUA:
Bahaya Doktrinasi Syi’ah di Dunia Islam…. tidak diragukan lagi bahwa doktrinasi Syi’ah (tasyayyu’)
demikian gencar dilakukan di berbagai negara Islam. Ia tidak hanya
marak di tempat asalnya seperti Iran, Irak dan Lebanon, namun kini
berlangsung sangat kuat di Bahrain, Emirat Arab, Suriah, Yordania,
Saudi Arabia, Mesir, Afghanistan, Pakistan dan negara-negara muslim
lainnya… (Termasuk Indonesia yang dalam lima tahun terakhir meningkat
secara drastis, lewat tokoh-tokoh mereka macam Jalaluddin Rakhmat, Quraish Shihab dan sebagainya. Bahkan menurut pengamatan sebagian pihak, jumlah murid Kang Jalal mencapai lebih dari 10 juta! –pent)
Parahnya lagi, banyak orang yang menganut pemikiran-pemikiran Syi’ah tanpa mengira bahwa mereka adalah Syi’ah. Bahkan setelah menulis beberapa artikel ini, kami –yaitu Dr. Raghib Sirjani- mendapat banyak e-mail yang penulisnya mengaku Sunni, namun isinya penuh dengan pemikiran dan gaya Syi’ah.
Kita juga tidak menutup mata akan perang global yang ditujukan kepada para sahabat lewat media massa (Yakni media massa di Mesir tempat penulis tinggal -pent) dan saluran-saluran televisi di negeri-negeri Sunni. Yang paling masyhur ialah hujatan salah satu koran Mesir terhadap Siti Aisyah radhiallahu ‘anha beberapa hari terakhir. Demikian pula perang yang dilancarkan terhadap Shahih Bukhari, termasuk acara televisi yang dibawakan oleh wartawan terkenal dan selalu mengkritik para sahabat dalam setiap episode.
Masalah semakin rumit dan tidak bisa didiamkan, mengingat adanya perkawinan silang antara manhaj (metode) Syi’ah dengan Tasawuf, dengan klaim bahwa keduanya mencintai Ahlul bait.
Dan kita semua tahu bahwa faham tasawuf demikian merebak di banyak negara di dunia. Dan faham ini telah terjangkiti virus bid’ah, khurafat dan kemunkaran yang demikian banyak, dan bertemu dengan Syi’ah dalam hal mengultuskan Ahlul bait. Dari sini, penyebaran Syi’ah sangat mudah ditebak seiring dengan menyebarnya tarekat-tarekat Sufi.
KETIGA:
Kondisi di Irak demikian mencekam. Pembunuhan muslimin Ahlussunnah
tersebab identitas mereka adalah fenomena biasa yang sering terjadi.
Sekjen ulama Ahlussunnah di Irak yang bernama Harits Adh Dhaary
menyebutkan bahwa ada lebih dari 100 ribu muslim Sunni yang tewas di
tangan Syi’ah sejak th 2003 hingga 2006. Ditambah proses deportasi yang
terus menerus di beberapa lokasi demi mempermudah kekuasaan Syi’ah di
sana. Dan mayoritas mereka yang dideportasi (diusir) keluar dari Irak
adalah Ahlussunnah; dan ini menyebabkan perubahan susunan masyarakat
yang sangat berbahaya akibatnya nanti.
Pertanyaannya sekarang: “Apakah fitnah yang timbul ketika membahas masalah Syi’ah lebih berbahaya dari fitnah terbunuhnya sekian banyak warga Ahlussunnah tadi? Lantas sampai kapan masalah ini harus didiamkan? Padahal semua orang tahu betapa solidnya dukungan Iran dalam pembersihan mereka yang beridentitas Sunni?”
KEEMPAT:
Ambisi Iran terhadap Irak demikian besar, bahkan hal nampak nyata.
Mengingat kedua negara sebelumnya pernah terlibat perang sengit selama
8 tahun penuh, dan sekarang jalannya terbuka lebar bagi Iran. Apalagi
Irak memiliki nilai religius penting bagi kaum Syi’ah, mengingat adanya
wilayah-wilayah suci di sana, termasuk enam makam Imam Syi’ah. Di Najaf
terdapat makam Ali bin Abi Thalib, lalu di Karbala’ terdapat kuburan
Husein, dan di Baghdad terdapat makam Musa Al Kadhim dan Muhammad Al
Jawwad, tepatnya di wilayah Al Kadhimiyyah. Sedangkan di Samarra
terdapat makam Muhammad Al Hadi dan Hasan Al ‘Askari; dan masih banyak
kuburan-kuburan palsu lain yang diklaim sebagai kuburan para Nabi
seperti Adam, Nuh, Hud dan Shalih di Najaf; namun semuanya palsu.
Selain Ambisi Iran terhadap Irak yang sangat berbahaya, Amerika juga mendukung terwujudnya ambisi tersebut. Kita semua menyaksikan bagaimana pemerintahan Syi’ah bentukan Amerika di Irak. Sandiwara saling tuduh antara Amerika dan Iran sudah tidak mempan lagi sekarang, sebab tidak pernah terlintas dalam benak Amerika untuk menyerang Iran sama sekali, akan tetapi yang sangat mencemaskan bukanlah ambisi untuk menguasai minyak atau kekayaan Irak saja, bukan pula sekedar memperluas kekuasaan Syi’ah; namun parahnya mereka menjadikan kebrutalan dan sadisme tersebut sebagai bagian dari agama mereka. Sebab Syi’ah menuduh para sahabat dan pengikut mereka dari kalangan Ahlussunnah sebagai musuh-musuh Ahlulbait dan menjulukinya dengan naashibah atau nawaashib. Padahal kita lebih menghargai Ahlulbait daripada mereka.
Mereka lalu mengeluarkan vonis-vonis mengerikan atas tuduhan tersebut. Misalnya Khumaini yang mengatakan: “Pendapat yang lebih kuat ialah memasukkan nawashib sebagai ahlul harbi (lawan perang), yang hartanya halal di mana pun didapati, dan dengan cara apa pun.” (Tahrirul Wasilah 1/352 oleh Al Khumaini)
Lalu tatkala imam mereka yang bernama Muhammad Shadiq Ar Ruhani ditanya tentang hukum orang yang mengingkari keimaman dua belas imam, dia mengatakan sesuatu yang sangat aneh: “Sesungguhnya imamah (jabatan imam) lebih tinggi dari nubuwah (kenabian) dan kesempurnaan agama ini ialah dengan menjadikan Amirul mukminin alaihissalam sebagai imam; Allah ta’ala berfirman: alyauma akmaltu lakum dienakum (pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu). Maka siapa yang tidak mempercayai keimaman dua belas imam niscaya ia akan mati dalam kekafiran” (Lihat fatwa ini dalam link berikut: www.imamrohani.com/fatwa-ar/viewtopic.php)
Khumaini dalam bukunya Al Hukumatul Islamiyyah mengatakan bahwa para imam akan mencapai kedudukan yang tidak pernah dicapai oleh malaikat terdekat maupun rasul sekalipun. Karenanya, tidak mengakui keimaman menurut mereka lebih berat dari pada tidak mengakui kenabian, dan inilah tafsiran atas pengkafiran Syi’ah atas Ahlussunnah, yang diikuti dengan penghalalan darah mereka di Irak dan negeri-negeri lainnya. Oleh karena itu, Irak harus dimasukkan dalam kekuasaan mereka karena banyaknya tempat-tempat ’suci’ mereka yang masih dikuasai oleh orang-orang yang mereka anggap kafir.
KELIMA:
Ancaman langsung tak berhenti di Irak saja, namun ambisi mereka terus
meningkat untuk menguasai daerah sekitarnya. Mereka menganggap Bahrain
sebagai bagian dari Iran, sebagaimana pernyataan kepala pemeriksa umum
Ali Akbar Nathiq Nuri di kantor pemimpin revolusi saat peringatan 30
tahun revolusi Iran. Ia mengatakan: “Bahrain pada dasarnya adalah
propinsi Iran yang keempat belas, yang diwakili oleh seorang legislatif
di majelis permusyawaratan Iran.” (Lihat situs al jazirah berikut:
www.aljazeera.net/NR/exeres/684338CB-837A-4879-8C7A-1A1B995DD286.htm)
Kita juga tahu bahwa Iran menduduki tiga pulau milik Emirat Arab di teluk Arab, dan jumlah mereka makin bertambah di Emirat hingga nisbahnya mencapai 15% dari total jumlah penduduk, dan menguasai pusat-pusat perdagangan terutama di Dubai.
Demikian pula kondisinya di Arab Saudi yang tidak statis; sebab sejak revolusi Iran tahun 1979, berbagai gangguan stabilitas terjadi berulang kali di Arab Saudi. Bahkan itu terjadi langsung setelah revolusi Iran, dengan munculnya demonstrasi Syi’ah di Qathif dan Saihat (dua wilayah Saudi), yang paling gencar di antaranya adalah tanggal 19 November 1979.
Masalah pun kadang semakin parah hingga berubah menjadi tindak anarkhis dan kejahatan di Baitullah Makkah. Sebagaimana yang terjadi pada musim haji tahun 1987 dan 1989. Bahkan pasca jatuhnya pemerintahan Saddam Husein, sekitar 450 tokoh Syi’ah di Saudi mengajukan proposal kepada putera mahkota ketika itu, yaitu Pangeran Abdullah dan meminta agar diberi jabatan-jabatan tinggi di dewan parlemen, jalur diplomasi, badan militer dan keamanan, serta menambah jumlah mereka di majelis syuro.
Bahkan Ali Syamkhani, yang merupakan penasehat tertinggi masalah militer bagi pimpinan umum revolusi Iran mengatakan, bahwa bila Amerika menyerang proyek nuklir Iran, maka Iran tidak sekedar membalas dengan menyerang fasilitas milik Amerika di teluk, namun akan menggunakan rudal-rudal balistiknya untuk menyerang target-target strategisnya di teluk Arab. Pernyataan ini dilansir oleh majalah Times Inggris pada hari Ahad 10 November 2007.
Inikah semuanya?
Tidak… namun masih banyak sekali hal-hal yang belum kami sebutkan.
Dalam tulisan ini kami baru menyebutkan lima poin yang menjelaskan
bahaya Syi’ah dan gentingnya masalah ini. Dan masih ada lima poin lagi
yang tak kalah penting yang akan saya sampaikan dalam tulisan
berikutnya atas izin Allah. Dan setelah itu kami akan paparkan metode
paling tepat untuk mengatasi kondisi yang sangat berbahaya ini.
Masalah Syi’ah bukanlah catatan kaki dalam sejarah umat Islam, hingga pantas untuk ditinggalkan atau ditunda… namun ia merupakan masalah yang menduduki prioritas utama bagi umat Islam.
Kita semua mengetahui bagaimana Palestina dibebaskan dari tangan kaum Salibis lewat tangan Shalahuddien; dan itu tidak terjadi kecuali setelah beliau membebaskan Mesir dari kekuasaan Syi’ah Ubeidiyyah. Dan ketika itu Shalahuddien tidak mengatakan bahwa perang salib harus lebih diprioritaskan daripada menyingkirkan kekuasaan Syi’ah dari Mesir. Hal itu karena beliau yakin bahwa kaum muslimin tidak akan mendapat pertolongan kecuali bila akidah mereka bersih dan tentara mereka ikhlas.
Shalahuddien juga tidak memaksa rakyat Mesir untuk berperang bersamanya demi target utamanya (yaitu pembebasan Palestina), kecuali setelah membebaskan mereka dari belenggu-belenggu Syi’ah Ubeidiyyah.
Apa yang kami sebutkan tentang Mesir di masa Shalahuddien sama dengan yang kami sebutkan tentang Irak sekarang, demikian pula dengan setiap negara yang terancam oleh Syi’ah… dan kita harus mengambil pelajaran dari sejarah!
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
***
Sumber: www.albrhan.com
Artikel www.muslim.or.id
Dokumen Rahasia Agama Syi’ah Imamiyah
Inilah DOKUMEN RAHASIA sekte agama Syiah, tentang misi jangka panjang mereka (50 th), untuk menegakkan kembali dinasti Persia yang telah runtuh oleh Islam berabad-abad lamanya, sekaligus membumi-hanguskan negara-negara Ahlus Sunnah, musuh bebuyutan mereka. Dokumen ini disebarkan oleh Ikatan Ahlus Sunnah di Iran, begitu pula majalah-majalah di berbagai negara Ahlus Sunnah (ISLAM), termasuk diantaranya Majalah al-Bayan, edisi 123, Maret 1998.
Karena naskah yang tersebar adalah naskah dalam bahasa arab, maka kami
terjemahkan ke dalam bahasa indonesia, agar orang yang tidak mampu
berbahasa arab pun bisa memahami isi naskah tersebut.
Sekarang kami persilahkan Anda membaca terjemahannya:
((Bila kita tidak mampu untuk mengusung revolusi ini ke negara-negara tetangga yang muslim, tidak diragukan lagi yang terjadi adalah sebaliknya, peradaban mereka -yang telah tercemar budaya barat- akan menyerang dan menguasai kita.
Alhamdulillah, -berkat anugerah Allah dan pengorbanan para pengikut imam yang pemberani- berdirilah sekarang di Iran, Negara Syiah Itsna Asyariyyah (syiah pengikut 12 imam), setelah perjuangan berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, -atas dasar petunjuk para pimpinan syi’ah yang mulia- kita mengemban amanat yang berat dan bahaya, yakni: menggulirkan revolusi.
Kita harus akui, bahwa pemerintahan kita adalah pemerintahan yang berasaskan madzhab syi’ah, disamping tugasnya melindungi kemerdekaan negara dan hak-hak rakyatnya. Maka wajib bagi kita untuk menjadikan pengguliran revolusi sebagai target yang paling utama.
Akan tetapi, karena melihat perkembangan dunia saat ini dengan aturan UU antar negaranya, tidak mungkin bagi kita, untuk menggulirkan revolusi ini, bahkan bisa jadi hal itu mendatangkan resiko besar yang bisa membahayakan kelangsungan kita.
Karena alasan ini, maka -setelah mengadakan tiga pertemuan, dan menghasilkan keputusan, yang disepakati oleh hampir seluruh anggota-, kami menyusun strategi jangka panjang 50 tahun, yang terdiri dari 5 tahapan, setiap tahapan berjangka 10 tahun, yang bertujuan untuk menggulirkan revolusi islam ini, ke seluruh negara-negara tetangga, dan menyatukan kembali dunia Islam (dengan men-syi’ah-kannya).
Karena bahaya yang kita hadapi dari para pemimpin Wahabiah dan mereka yang berpaham ahlus sunnah, jauh lebih besar dibandingkan bahaya yang datang dari manapun juga, baik dari timur maupun barat, karena orang-orang Wahabi dan Ahlus Sunnah selalu menentang pergerakan kita. Merekalah musuh utama Wilayatul Fakih dan para imam yang ma’shum, bahkan mereka beranggapan bahwa menjadikan faham syi’ah sebagai landasan negara, adalah hal yang bertentangan dengan agama dan adat, dengan begitu berarti mereka telah memecah dunia Islam menjadi dua kubu yang saling bermusuhan.
Atas dasar ini:
Kita harus menambah kekuatan di daerah-daerah berpenduduk Ahlus Sunnah di Iran, khususnya kota-kota perbatasan. Kita harus menambah masjid-masjid dan husainiyyat kita di sana, disamping menambah volume dan keseriusan dalam pengadaan acara-acara peringatan ritual syi’ah.
Kita juga harus menciptakan iklim yang kondusif, di kota-kota yang dihuni oleh 90-100 persen penduduk Ahlus Sunnah, agar kita bisa mengirim dalam jumlah besar kader-kader syi’ah dari berbagai kota dan desa pedalaman, ke daerah-daerah tersebut, untuk selamanya tinggal, kerja, dan bisnis di sana.
Dan merupakan kewajiban negara dan instansinya, untuk memberikan perlindungan langsung kepada mereka yang diutus untuk menempati daerah itu, dengan tujuan agar dengan berlalunya waktu, mereka bisa merebut jabatan pegawai di berbagai kantor, pusat pendidikan dan layanan umum, yang masih di pegang oleh kaum Ahlus Sunnah.
Strategi yang kami buat untuk pengguliran revolusi ini, -tidak seperti anggapan banyak kalangan- akan membuahkan hasil, tanpa adanya kericuhan, pertumpahan darah, atau bahkan perlawanan dari kekuatan terbesar dunia. Sungguh dana besar yang kita habiskan untuk mendanai misi ini, tak akan hilang tanpa timbal-balik.
Teori Memperkuat Pilar-pilar Negara:
Kita tahu, bahwa kunci utama untuk menguatkan pilar-pilar setiap negara, dan perlindungan terhadap rakyatnya, berada pada tiga asas utama:
Pertama: Kekuatan yang dimiliki oleh pemerintahan yang sedang berkuasa.
Kedua: Ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh para ulama dan penelitinya.
Ketiga: Ekonomi yang terfokus pada kelompok pengusaha pemilik modal.
Apabila kita mampu menggoncang pemerintahan, dengan cara memunculkan perseteruan antara ulama dan penguasanya, atau memecah konsentrasi para pemilik modal di negara itu, dengan menarik modalnya ke negara kita atau negara lain, tak diragukan lagi, kita telah menciptakan keberhasilan yang gemilang dan menarik perhatian dunia, karena kita telah meruntuhkan tiga pilar tersebut.
Adapun rakyat jelata setiap negara, yang berjumlah rata-rata 70-80 persen, mereka hanyalah pengikut hukum dan kekuatan yang menguasainya. Mereka disibukkan oleh tuntutan hidupnya, untuk mencari rizki, makan dan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, mereka akan membela siapa pun yang sedang berkuasa. Dan untuk mencapai atap setiap rumah, kita harus menaiki tangga utamanya.
Tetangga-tetangga kita dari kaum Ahlus Sunnah dan Wahabi adalah: Turki, Irak, Afganistan, Pakistan, dan banyak negara kecil di pinggiran selatan, serta gerbangnya negara teluk persia, yang tampak seakan negara-negara yang bersatu, padahal sebenarnya berpecah-belah. Daerah-daerah ini, adalah kawasan yang sangat penting sekali, baik di masa lalu, maupun di masa-masa yang akan datang. Ia juga ibarat kerongkongan dunia di bidang minyak bumi. Tidak ada di muka bumi ini kawasan yang lebih sensitif melebihinya. Para penguasa di kawasan ini memiliki taraf hidup yang tinggi, karena penjualan minyak buminya.
Kategori Penduduk di Kawasan Ini
Penduduk di kawasan ini terbagi dalam tiga golongan:
Pertama: Penduduk baduwi dan padang pasir, yang telah ada sejak beratus-ratus tahun lalu.
Kedua: Pendatang yang hijrah dari berbagai pulau dan pelabuhan, yang telah hijrah sejak zaman pemerintahan Syah Isma’il as-Shofawi, dan terus berlangsung hingga zamannya Nadirsyah Afsyar, Karim Khan Zind, Raja al-Qojar, dan keluarga al-Bahlawi. Dan telah banyak perjalanan hijrah dari waktu ke waktu, sejak mulainya revolusi Islam.
Ketiga: Mereka yang berasal dari negara arab lainnya, dan kota-kota pedalaman Iran.
Adapun lahan bisnis, perusahaan ekspor impor dan kontraktor, biasanya dikuasai oleh selain penduduk asli. Sedangkan penduduk asli, kebanyakan mereka hidup dari menyewakan lahan dan jual-beli tanah. Mengenai para keluarga penguasa, biasanya mereka hidup dari gaji pokok penjualan minyak buminya.
Adapun kerusakan masyarakat, budaya, banyaknya praktik yang menyimpang dari islam, itu sangat jelas terlihat. Karena mayoritas penduduk negara-negara ini, telah larut dalam kenikmatan dunia, kefasikan dan perbuatan keji. Banyak dari mereka yang mulai membeli perumahan, saham perusahaan, dan menyimpan modal usahanya di Eropa dan Amerika, khususnya di Jepang, Inggris, Swedia, dan Swiss, karena kekhawatiran mereka akan runtuhnya negara mereka di masa-masa mendatang. Sesungguhnya dengan menguasai negara-negara ini, berarti kita telah menguasai setengah dunia.
Beberapa Tahapan Dalam Menggulirkan Revolusi Ini
Untuk menjalankan misi panjang 50 tahun ini, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah: memperbaiki hubungan kita dengan negara-negara tetangga, dan harus ada hubungan yang kuat dan sikap saling menghormati, antara kita dengan mereka. Bahkan kita juga harus memperbaiki hubungan kita dengan Irak, setelah perang berakhir dan Sadam Husein jatuh, karena menjatuhkan seribu kawan itu lebih ringan, dibanding menjatuhkan satu lawan.
Dengan adanya hubungan politik, ekonomi dan budaya antara kita dengan mereka, tentunya akan masuk sekelompok kader dari Iran ke negara-negara ini, sehingga memungkinkan kita untuk mengirim para duta secara resmi, yang pada hakekatnya adalah pelaksana program revolusi ini, selanjutnya kita akan tentukan misi khusus mereka saat menugaskan dan mengirimkannya.
Janganlah kita beranggapan bahwa 50 tahun adalah waktu yang panjang, karena kesuksesan langkah kita ini benar-benar membutuhkan perencanaan yang berkelanjutan hingga 20 tahun. Sungguh tersebarnya paham syi’ah, yang kita rasakan di banyak negara saat ini, bukanlah buah dari perencanaan 1 atau 2 hari.
Dulunya kita tidak memiliki seorang pun pegawai di negara manapun, apalagi kader dengan jabatan menteri, wakil negara dan presiden. Bahkan dulunya banyak kelompok, seperti Wahabiah, Syafi’iah, Hanafiah, Malikiah, dan Hanbaliah, memandang kita sebagai kelompok yang murtad dari Islam, sehingga pengikut mereka telah berkali-kali mengadakan pemusnahan kaum syi’ah secara massal. Memang benar kita tidak merasakan pahitnya hari-hari itu, tetapi nenek moyang kita pernah merasakannya. Kehidupan kita hari ini adalah buah dari gagasan, pemikiran dan langkah mereka. Mungkin juga kita tidak akan hidup di masa depan, akan tetapi revolusi dan madzhab kita akan tetap ada.
Untuk menunaikan misi ini, tidaklah cukup hanya dengan mengorbankan hidup, atau apapun yang paling berharga sekalipun, akan tetapi juga membutuhkan pemrograman yang telah matang dikaji.
Harus ada perencanaan untuk masa depan, walaupun untuk 500 tahun ke depan, apalagi hanya 50 tahun saja. Karena kita adalah pewaris berjuta-juta syuhada’, yang gugur di tangan setan-setan yang mengaku muslim, darah mereka terus mengalir dalam sejarah, sejak meninggalnya Rasul hingga hari ini. Dan cucuran darah itu tidak akan kering, sehingga setiap orang yang mengaku muslim, meyakini hak Ali dan keluarga Rasulullah, mengakui kesalahan nenek moyang mereka, dan mengakui syi’ah sebagai pewaris utama ajaran Islam.
Beberapa Tahapan Penting Dalam Perjalanan Misi Ini
Tahap Pertama (sepuluh tahun pertama):
Kita tidak ada masalah dalam menyebarkan madzhab syi’ah di Afganistan, Pakistan, Turki, Iran dan Bahrain. Karena itu, kita akan menjadikan tahapan sepuluh tahun kedua, sebagai tahapan pertama di 5 negara ini.
Sedangkan tugas para duta kita di belahan negara lain adalah tiga hal:
Pertama: Membeli lahan tanah, perumahan dan perhotelan.
Kedua: Menyediakan lapangan pekerjaan, kebutuhan hidup dan fasilitasnya kepada para pengikut paham syi’ah, agar mereka mau hidup di rumah yang dibeli, sehingga bertambah banyak jumlah penduduk yang sepaham dengan kita.
Ketiga: Membangun jaringan dan relasi yang kuat dengan para pemodal di pasar dagang, dengan para pegawai kantor, khususnya mereka yang menjabat sebagai kepala tinggi, dengan tokoh publik dan dengan siapapun yang memiliki hak keputusan penuh di berbagai instansi negara.
Di sebagian negara-negara ini, ada beberapa daerah, yang sedang dalam proyek pengembangan, bahkan di sana ada rencana proyek pengembangan untuk puluhan desa, kampung, dan kota kecil lainnya. Tugas wajib para duta yang kita kirim adalah membeli sebanyak mungkin rumah di desa itu, untuk kemudian dijual dengan harga yang pantas kepada orang yang mau menjual hak miliknya di pusat kota. Sehingga dengan langkah ini, kota yang padat penduduknya bisa kita rebut dari tangan mereka.
Tahap Kedua (sepuluh tahun kedua):
Kita harus mendorong masyarakat syi’ah untuk menghormati UU, taat kepada para pelaksana UU dan pegawai negara, serta berusaha mendapatkan surat ijin resmi untuk berbagai acara ritual syi’ah, pendirian masjid, dan husainiyyat. Karena surat ijin resmi tersebut, akan kita ajukan sebagai tanda bukti resmi di masa-masa mendatang untuk mengadakan berbagai acara dengan bebas.
Kita juga harus berkonsentrasi pada kawasan yang tinggi tingkat kepadatan penduduknya, untuk kita jadikan sebagai tempat diskusi tentang masalah-masalah (syiah) yang sangat sensitif.
Para duta syi’ah, -pada dua tahapan ini- diharuskan untuk mendapatkan kewarganegaraan dari negara yang ditempatinya, dengan memanfaatkan relasi atau hadiah yang sangat berharga sekalipun. Mereka juga harus mendorong para kadernya agar menjadi pegawai negeri, dan segera masuk -khususnya- dalam barisan militer negara.
Pada pertengahan tahap kedua: Harus dihembuskan -secara rahasia dan tidak langsung- isu bahwa ulama Ahlus Sunnah dan Wahabiah adalah penyebab kerusakan di masyarakat, dan berbagai praktek menyimpang syariat yang banyak terjadi di negara itu. Yaitu melalui selebaran-selebaran yang berisi kritikan, dengan mengatas-namakan sebagian badan keagamaan atau tokoh Ahlus Sunnah dari negara lain. Tak diragukan lagi, ini akan memprovokasi sejumlah besar rakyat negara itu, sehingga pada akhirnya mereka akan menangkap pimpinan agama atau figur Ahlus Sunnah yang dituduh itu, atau kemungkinan lain; rakyat negara itu akan menolak isi selebaran itu, dan para ulamanya akan membantahnya dengan sekuat tenaga. Dan setelah itu kita munculkan banyak huru hara, yang akan berakibat pada diberhentikannya penanggung jawab masalah itu, atau digantikannya dengan staf yang baru.
Langkah ini, akan menyebabkan buruknya kepercayaan pemerintah kepada seluruh ulama di negaranya, sehingga menjadikan mereka tidak bisa menyebarkan agama, membangun masjid dan pusat pendidikan agama. Selanjutnya pemerintah akan menganggap seluruh ajakan yang berbau agama sebagai bentuk pelanggaran terhadap peraturan negara.
Ditambah lagi, akan berkembang rasa benci dan saling menjauh antara penguasa dengan ulama di negara itu, sehingga Ahlus Sunnah dan Wahabiyah akan kehilangan pelindung mereka dari dalam, padahal tidak mungkin ada orang yang melindungi mereka dari luar.
Tahap Ketiga (sepuluh tahun ketiga):
Pada tahap ini, telah terbangun jaringan yang kuat, antara duta-duta kita dengan para pemilik modal dan pegawai atasan, diantara mereka juga banyak yang telah masuk dalam barisan militer dan jajaran pemerintahan, yang bekerja dengan penuh ketenangan dan hati-hati, tanpa ikut campur dalam urusan agama, sehingga kepercayaan penguasa lebih meningkat lagi dari sebelumnya.
Pada tahapan ini, di saat berkembangnya perseteruan, perpecahan, dan iklim yang memanas antara penguasa dengan ulama, maka diharuskan kepada sebagian ulama terkemuka syiah yang telah menjadi penduduk negara itu, untuk mensosialisasikan keberpihakan mereka kepada penguasa negara itu, khususnya pada musim-musim ritual keagamaan (syi’ah), sekaligus menampakkan bahwa syi’ah adalah aliran yang tak membahayakan pemerintahan mereka. Apabila situasi memungkinkan mereka untuk bersosialisasi melalui media informasi yang ada, maka janganlah ragu-ragu memanfaatkannya untuk menarik perhatian para penguasa, sehingga mereka senang dan menempatkan kader kita pada jabatan pemerintahan, dengan tanpa ada rasa takut atau cemas dari mereka.
Pada tahapan ini, dengan adanya perubahan yang terjadi di banyak pelabuhan, pulau, dan kota lainnya di negara kita, ditambah dengan devisa perbankan kita yang terus meningkat, kita akan merencanakan langkah-langkah untuk menjatuhkan perekonomian negara-negara tetangga. Tentu saja para pemilik modal dengan alasan keuntungan, keamanan dan stabilitas ekonomi, akan mengirimkan seluruh rekening mereka ke negara kita; dan ketika kita memberikan kebebasan kepada semua orang, dalam menjalankan seluruh kegiatan ekonominya, dan pengelolaan rekening banknya di negara kita, tentunya negara mereka akan menyambut rakyat kita, atau bahkan memberikan kemudahan dalam kerjasama ekonomi.
Tahap Keempat (sepuluh tahun keempat):
Pada tahap ini, telah terhampar di depan kita fenomena; dimana banyak negara yang para penguasa dan ulamanya saling bermusuhan, pebisnis yang hampir bangkrut dan lari, serta masyarakat yang tak aman, sehingga siap menjual hak miliknya dengan separo harga sekalipun, agar mereka bisa pindah ke daerah yang aman.
Di saat terjadinya kegentingan inilah, para duta kita akan menjadi pelindung bagi hukum dan para penguasanya. Apabila para duta itu bekerja dengan sungguh-sungguh, tentunya mereka akan mendapatkan jabatan terpenting dalam pemerintahan dan kemiliteran, sehingga dapat mempersempit jurang pemisah antara para pemilik perusahaan yang ada dengan para penguasa.
Keadaan seperti ini, memungkinkan kita untuk menuduh mereka yang bekerja dengan tulus untuk penguasa sebagai para penghianat negara, dan ini akan menyebabkan diberhentikannya mereka atau bahkan diusir dan diganti dengan kader kita.
Langkah ini akan membuahkan dua keuntungan, pertama: Pengikut kita akan mendapat kepercayaan yang lebih baik dari sebelumnya. Kedua: Kebencian ahlus sunnah akan semakin meningkat, karena meningkatnya kekuatan syi’ah di berbagai instansi negara. Ini akan mendorong ahlus sunnah untuk meningkatkan langkah menentang penguasa. Di saat seperti itu, kader-kader kita harus bersanding membela penguasa, dan mengajak masyarakat untuk berdamai dan tetap tenang. Dan pada saat yang bersamaan, mereka akan membeli kembali rumah dan barang yang semula akan mereka tinggalkan.
Tahap Kelima (sepuluh tahun terakhir):
Pada sepuluh tahun kelima, tentunya iklim dunia telah siap menerima revolusi, karena kita telah mengambil tiga pilar utama dari mereka, yang meliputi: keamanan dan ketenangan dan kenyamanan. Sedangkan pemerintahan yang berkuasa, akan menjadi seperti kapal ditengah badai dan nyaris tenggelam, sehingga menerima semua masukan yang akan menyelamatkan jiwanya.
Di saat seperti ini, kita akan memberikan masukan melalui beberapa tokoh penting dan terkenal, untuk membentuk himpunan rakyat dalam rangka memperbaiki keadaan negara, dan kita akan membantu penguasa untuk mengawasi berbagai instansi dan mengamankan negara. Tak diragukan lagi, tentunya mereka akan menerima usulan itu, sehingga para kader pilihan kita akan mendapatkan hampir keseluruhan kursi di dalamnya. Kenyataan ini tentu akan menyebabkan larinya para pengusaha, ulama dan pegawai setia pemerintahan, sehingga kita akan dapat menggulirkan revolusi islam kita, ke berbagai negara, tanpa menimbulkan peperangan atau pertumpahan darah.
Seandainya, pada sepuluh tahun terakhir, rencana ini tidak membuahkan hasil, kita tetap bisa mengadakan revolusi rakyat dan merebut kekuasaan dari tangan penguasa.
Apabila penganut syi’ah adalah penduduk, penghuni dan rakyat negara itu, maka berarti kita telah menunaikan kewajiban, yang bisa kita pertanggung-jawabkan di depan Allah, agama, dan madzhab kita. Bukan tujuan kita untuk mengantarkan seseorang kepada tampuk pimpinan, tetapi tujuan kita hanyalah menggulirkan revolusi, sehingga kita mampu mengangkat bendera kemenangan agama tuhan ini, dan menampakkan nilai-nilai kita di seluruh negara. Selanjutnya kita mampu maju melawan dunia kafir dengan kekuatan yang lebih besar, dan menghias alam dengan cahaya Islam dan ajaran syi’ah, sampai datangnya imam Mahdi yang dinantikan))
–selesai sudah naskah misi revolusi itu–
Lihatlah wahai para pembaca… betapa busuknya rencana mereka… betapa besarnya kebencian mereka terhadap Ahlus Sunnah… Kita sekarang tahu bahwa Syi’ah bukanlah sekedar aliran paham biasa, akan tetapi ia sekarang berubah menjadi aliran pergerakan politik yang bisa merongrong eksistensi negara.. Lihatlah bagaimana mereka merencanakan pengguliran revolusi sedikit demi sedikit, bagaimana mereka menjadikan dutanya sebagai alat penyebar aliran, sekaligus alat politiknya.
Subhanallah… semoga Allah menyelamatkan kita Ahlus Sunnah wal Jama’ah (ISLAM) dari tipu daya mereka.
Allah berfirman (yang artinya): “Mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas dengan tipu daya. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya…” (Qs Ali Imron: 54)
Semoga tulisan ini bisa menyadarkan mereka yang menyuarakan, perlunya pendekatan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah.
Sungguh mengherankan, adakah yang masih mengharapkan kebaikan dari kaum yang selalu berbohong atas Allah dan Rasul-Nya… Adakah yang masih ingin membangun kerukunan dengan kaum yang meyakini bahwa Al-Qur’an sudah tidak orisinil lagi… Adakah yang masih mengharapkan bersanding dengan kaum yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman, bahkan seluruh Sahabat Rasul, kecuali tiga saja (Salman al-Farisy, Miqdad dan Abu Dzar)… Adakah yang masih berprasangka baik kepada kaum yang menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selama hidupnya telah berzina dengan Aisyah… Adakah Ahlus Sunnah yang masih menganggap baik kaum yang telah membunuh ratusan bahkan ribuan ulama Ahlus Sunnah di Iran dan negara lainnya… Adakah Ahlus Sunnah yang masih toleran dengan kaum yang tidak mengizinkan satu pun masjid Ahlus Sunnah di Teheran Ibu kota Iran…. Sungguh tidak pernah habis rasa heran ini melihat kenyataan yang ada di lapangan…
Mungkin banyak diantara kita yang tidak melihat bukti nyata dari omongan diatas… mungkin ada yang mengatakan bahwa fakta di atas adalah sebatas tuduhan yang tak beralasan… tapi ingatlah bahwa diantara inti ajaran kaum Syi’ah adalah TAKIYAH, yakni: membohongi publik untuk keselamatan diri… ingatlah bahwa bohong semacam itu dalam akidah mereka adalah amalan ibadah yang berpahala… Ingatlah hadits palsu yang selalu mereka gembar-gemborkan: “Tidak punya agama, siapa pun yang tidak menerapkan takyiah.”
Ternyata selama ini, kita tidak melihat kejanggalan yang ada pada mereka, disebabkan takiyah (baca: kebohongan) mereka kepada kita… Ternyata selama ini tidak terlihat perbedaan yang mendasar antara kita dan mereka, karena tabir tebal yang mereka gunakan untuk menutupi kebusukan batin… Tapi itulah, sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga… Selincah-lincah kuda berlari pasti akan terpeleset juga… Inilah diantara bukti semerbaknya bau busuk mereka… Alhamdulillah.. awwalan wa aakhiron berkat Allah azza wa jall terbuka juga misi rahasia jangka panjang mereka…
Subhanakallahumma wa bihamdika… wa tabaarakasmuk wa ta’ala jadduk… wa laa ilaaha ghoiruk…
***
Sumber artikel: http://www.albayan-magazine.com/sereah.htmPenerjemah: Addariny
Dipublikasi ulang oleh muslim.or.id dengan beberapa editin
Hegemoni Syi’ah
Dapat dipastikan bahwa banyak dari pembaca kaget saat membaca
sejarah perkembangan Syi’ah. Tentunya kami tidak menulis sejarah untuk
sekedar tambah wawasan, akan tetapi agar mengambil ‘ibrah dan
pelajaran, lalu dapat berinteraksi dengan berbagai krisis yang
menyelimuti kita dengan cara lebih baik dan visi yang lebih jelas.
Oleh karenanya, mengabaikan sejarah tadi merupakan kejahatan terhadap
generasi mendatang. Kita seakan menutup diri dari cahaya saat enggan
mempelajari akar masalah ini, apalagi kita telah diperintah jauh
sebelumnya untuk mempelajari kisah umat-umat terdahulu dan menerapkan
pelajaran yang dikandungnya pada realita kita sekarang.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Maka ceritakanlah kisah-kisah tersebut agar mereka berfikir.” (Qs. Al A’raf: 176)
Karenanya, masalah ini semestinya tidak berhenti pada sekedar menceritakan, namun harus direnungkan pula. Kemudian menentukan langkah apa yang mesti kita ambil untuk memahami realita dan membangun masa depan kita.
Pertama-tama, saya ingin membuka artikel ini dengan dua peringatan penting:
Pertama, agar anda memahami dan mendapat faedah dari artikel ini, anda harus membaca artikel sebelumnya tentang pokok keyakinan Syi’ah. Sebab di sana ada akar sejarah perkembangan mereka, dan pokok-pokok akidah mereka yang membantu anda untuk memahami kronologi yang terjadi di lapangan.
Kedua, sampai saat ini saya baru sekedar membacakan sejarah dan menyampaikan riwayat-riwayat yang shahih. Saya belum memberi ulasan final yang menjelaskan bagaimana sikap kita yang sebenarnya terhadap Syi’ah, dan bagaimana hubungan yang mesti dijalin. Tema yang penting ini akan kusendirikan dalam tulisan berikutnya atas izin Allah. Dan menurutku sangat besar manfaatnya bagiku bila mendapat opini para pembaca tentang bentuk hubungan yang mesti terjalin antara kita dan mereka (syi’ah), terutama jika berangkat dari latar belakang sejarah dan agama yang telah kami jelaskan.
Kembali ke masalah Syi’ah…
Pasca wafatnya Hasan Al ‘Askari (yang dinobatkan sebagai imam ke-11
oleh mereka), Syi’ah memasuki masa kebingungan besar yang terkenal
dalam sejarah dengan periode ‘hairatusy syi’ah’. Dalam masa tersebut
mereka saling terpecah menjadi banyak firqah (sekte), dan setiap firqah
memoles agamanya semaunya demi mendapat keuntungan politis yang lebih
baik… dan konon firqah yang paling terkenal adalah firqah “itsna
‘asyariyah” (12 imam), yang telah kita singgung dalam tulisan
sebelumnya.
Namun firqah Itsna Asyariah ini bukanlah satu-satunya di lapangan, di sampingnya juga tumbuh firqah lain yang lebih berbahaya. Munculnya firqah yang satunya ini pernah menjadi malapetaka bagi umat Islam. Firqah ini bernama Isma’iliyyah.
Syi’ah Isma’iliyah telah sesat terlampau jauh hingga mayoritas ulama mengeluarkannya dari Islam. Munculnya sekte Isma’iliyah adalah lewat skenario hebat seorang Yahudi yang ingin membuat makar bagi umat Islam, orang tersebut bernama Maimun Al Qaddah.
Mulanya orang ini menampakkan diri sebagai muslim dan mendekati Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bahkan berteman akrab dengannya. Muhammad bin Isma’il termasuk ahlul bait, karena merupakan cucu dari Ja’far Ash Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah Itsna Asyariyah. Ayahnya adalah Isma’il, saudara Musa Al Kazhim yang notabene imam ketujuh menurut Syi’ah Itsna Asyariyah.
Maimun telah melakukan sesuatu yang luar biasa, yang menunjukkan
betapa jahatnya makar dia terhadap umat Islam. Tujuan makar tersebut
ialah menghancurkan Islam walau sekian abad kemudian setelah
kematiannya! Maimun menamakan anaknya dengan nama anak Muhammad bin
Isma’il, yaitu Abdullah. Ia berwasiat kepada sang anak agar kelak
menamai anak cucunya dengan nama-nama anak cucu Muhammad bin Isma’il.
Hingga suatu ketika nanti kaum Yahudi tersebut akan mengklaim dirinya
sebagai ahlul bait anak cucu Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq!
Bahkan tidak sekedar itu, mereka kelak akan mengklaim bahwa Al Imamah
Al Kubra (kepemimpinan terbesar) yang seharusnya memimpin umat Islam
seluruhnya, haruslah dari keturunan Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq,
bukan dari keturunan Musa Al Kazhim bin Ja’far Ash Shadiq sebagaimana
yang diklaim oleh Syi’ah Itsna Asyariyah. Maimun si Yahudi akhirnya
mendapatkan cita-citanya… firqah Isma’iliyah pun berkembang, dan anak
cucunya mulai meracik pemikiran dan keyakinan sesat mereka yang
bertentangan dari A-Z dengan akidah Islam. Keyakinan terburuk mereka di
antaranya ialah bahwa Allah menitis kepada Imam mereka saat itu, hingga
mereka menganggapnya sebagai Ilah. Mereka juga meyakini adanya
reinkarnasi arwah, alias bahwa arwah yang telah tiada, lebih-lebih
arwah para imam akan hidup kembali di tubuh orang lain yang masih
hidup. Mereka meyakini bahwa semua imam mereka akan kembali ke dunia
setelah wafat. Di samping itu mereka juga sangat liberal dan menganggap
halal semua maksiat. Mereka terang-terang menghujat sahabat, bahkan
menghujat Rasulullah yang kepadanya mereka menisbatkan diri.
Di antara misi terbesar mereka ialah melakukan pembunuhan tersembunyi
terhadap tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah di dunia Islam, dan kami
akan menjelaskan betapa besar sepak terjang mereka selanjutnya.
Dakwah Isma’iliyah dengan segala pemikiran merusaknya pun semakin marak. Ia tersebar di tengah-tengah kaum muslimin yang bodoh dan memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap ahlul bait. Mereka berhasil meyakinkan sejumlah orang bodoh tadi bahwa mereka adalah anak cucu Rasul (?)! Sejumlah besar orang keturunan Persia juga terlibat dalam dakwah mereka yang menampakkan keislaman, namun menyembunyikan kemajusian.
Di antara orang Persi tadi adalah Husein Al Ahwazi, yang tergolong pendiri dan da’i Ismai’iliyah paling terkenal. Ia konon beraktivitas di wilayah Basrah, dan di sana ia berkenalan dengan tokoh yang sangat jahat dalam sejarah Islam, namanya Hamdan bin Asy’ats.
Orang terakhir ini asal usulnya masih diperselisihkan… ada yang bilang bahwa ia majusi asal Persia, namun ada yang bilang dia yahudi asal Bahrain. Hamdan bin Asy’ats lalu menjuluki dirinya dengan nama ‘Qirmith’, dan seiring dengan berjalannya waktu ia membentuk kelompok khusus yang dinisbatkan kepadanya. Kelompok ini bernama ‘Qaramithah’ yang merupakan cabang dari Isma’iliyah meski sebenarnya lebih berbahaya lagi.
Sekte Qaramithah meyakini bahwa harta dan wanita adalah milik bersama. Mereka menghalalkan semua kemunkaran seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian dan merekalah yang bertindak sebagai perampas, perampok, dan penyamun. Lalu secara ikut-ikutan, seluruh penyamun dan pemberontak pun bergabung dengan mereka, hingga mereka menjadi salah satu firqah yang paling berbahaya dalam sejarah umat Islam.
Semua perkembangan ini –dan perkembangan-perkembangan lain yang belum dijelaskan– terjadi di paruh kedua abad 3 hijriyah. Kemudian setelah itu muncul lagi firqah-firqah besar yang masing-masing mengaku paling benar. Mereka saling berselisih dalam hal akidah, prinsip, hukum-hukum dan semuanya. Ketiga firqah tadi; yaitu Syi’ah Itsna Asyariyah, Syi’ah Ismai’iliyah, dan Syi’ah Qaramithah, sama-sama memusuhi Ahlussunnah di samping juga saling bermusuhan satu sama lain karena tidak puas dengan keyakinan pihak lain. Hal ini wajar mengingat ketiganya tumbuh dari hawa nafsu dan bid’ah dalam agama.
Sampai periode ini, semua firqah tadi sekedar gerakan-gerakan yang menimbulkan kekacauan dalam tubuh umat Islam, dan belum memiliki kekuasaan yang mampu mengatur jalannya sejarah. Tapi seiring berakhirnya abad ketiga hijriyah dan permulaan abad keempat, kondisi mulai berubah drastis dan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya…
Konon yang paling awal mencapai kekuasaan dari ketiga firqah tadi adalah sekte Qaramithah, mengingat mereka lah yang paling ganas dan buas. Salah seorang da’i mereka yang bernama Rustum bin Husein berhasil mendirikan daulah Qaramithah di Yaman. Ia lalu menyurati orang-orang di berbagai tempat dan mengajak mereka kepada akidahnya. Bahkan suratnya ada yang sampai ke wilayah Maghrib (Maroko & sekitarnya)! Akan tetapi daulah ini segera lenyap seiring dengan munculnya Qaramithah model lain, yaitu di Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Bahrain (Bahrain tempo dulu bukan kerajaan Bahrain yg ada sekarang, tapi mencakup sebelah timur Jazirah Arab). Di wilayah ini berdirilah daulah Qaramithah yang sangat mengancam eksistensi kaum muslimin. Mereka melakukan pembantaian terhadap jemaah haji, dan yang paling sadis di antaranya ialah serbuan mereka ke Masjidil Haram saat hari tarwiyah (8 Dzulhijjah) tahun 317 H. Di sana mereka membantai jemaah haji dalam mesjid, dan mencuri Hajar Aswad setelah menghancurkannya!
Mereka lalu mengirim Hajar Aswad tadi ke ibukota daulah mereka di daerah Hajar, timur jazirah Arab dan Hajar Aswad tetap berada di sana selama 22 tahun penuh, hingga akhirnya dikembalikan ke Ka’bah tahun 339 H!
Sedangkan sekte Isma’iliyah mendapatkan bumi maghrib sebagai lahan subur mereka. Di sana pemikiran Rustum bin Husein yang tadinya menguasai Yaman mulai berkembang. Hal itu terjadi lewat seseorang yang bernama Abu Abdillah Asy Syi’i. Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte alias Isma’iliyah dan Qaramithah sama-sama menganggap Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq sebagai imam; karenanya, salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubeidullah bin Husein bin Ahmad bin Abdillah bin Maimun Al Qaddah mendapat kesempatan emas untuk mendirikan daulah di Maghrib. Ia berangkat ke Maghrib dan bersama sejumlah pengikutnya mengumumkan berdirinya daulah Isma’iliyah, lalu menjuluki dirinya dengan nama Al Mahdi. Ia mengaku sebagai imamnya ajaran Isma’iliyah, dan mengaku sebagai anak cucu Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, dan mengatakan bahwa imam-imam sebelumnya dari leluhurnya hingga Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq konon bersembunyi selama ini.
Ia berusaha menarik simpati masyarakat dengan menamakan daulahnya dengan daulah Fathimiyah, yang secara dusta mengaku keturunan Fathimah binti Rasulillah! Padahal asal usulnya adalah Yahudi!!
Dakwahnya berkembang pesat memanfaatkan kebodohan dan simpati masyarakat terhadap hakikat mereka. Mereka mulai melebarkan sayap kekuasaanya hingga mencakup Afrika Utara. Mereka menyebarkan berbagai bid’ah, kemunkaran, dan caci makian terhadap sahabat. Mereka mengatakan bahwa roh-roh dapat menitis dan reinkarnasi, dsb. Ekspansi daulah ini berhasil menguasai Mesir pada tahun 359 H, lewat salah seorang panglima mereka yang bernama Jauhar As Siqilli Al Isma’iliy di masa Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy. Inilah nama yang tepat untuk mereka: ‘al ubeidy’, nisbat kepada Ubeidillah Al Mahdi; dan bukannya ‘al Fathimiy’!
Al Mu’izz lidienillah Al Ubeidy lalu masuk ke Mesir dan mendirikan kota Cairo. Ia juga menguasai mesjid Al Azhar demi menyebarkan faham Syi’ah Isma’iliyah di sana. Ia membantai ulama-ulama Ahlussunnah dan menampakkan caci makian terhadap para sahabat. Hal itu terus dilanjutkan oleh imam-imam Isma’iliyah setelahnya. Bahkan sebagian dari mereka lebih gila lagi dengan mengaku sebagai Ilah, seperti Al Haakim biamrillah. Mereka konon banyak membangun mesjid untuk menyebarkan pemikiran mereka. Mereka tetap menguasai Mesir, Syam, dan Hijaz selama dua abad, hingga kebusukan mereka akhirnya dihapus oleh Shalahuddien Al Ayyubi pada tahun 567 H, dan beliau membebaskan Mesir dari kekuasaan sekte Isma’iliyah.
Adapun firqah ketiga yaitu sekte Itsna Asyariyah, meskipun sarat dengan berbagai macam bid’ah, mereka relatif lebih ringan bahayanya dibanding dua firqah sebelumnya. Mereka mengaku beriman kepada Allah (?) kepada Rasul-Nya (?) dan kepada hari kebangkitan, namun membikin bid’ah-bid’ah dan kemunkaran besar yang menjijikkan dalam agama. Sebagian da’i mereka berhasil merasuki sejumlah keluarga besar di wilayah Persia dan Irak, hingga akibatnya mereka dapat mencapai kekuasaan di berbagai daerah.
Mereka berhasil merasuki keluarga Bani Saman yang berasal dari Persia hingga keluarga ini menjadi syi’ah, dan mereka konon menguasai banyak wilayah di Persia (Iran yg sekarang). Daulah Bani Saman ini berlangsung sejak tahun 261 H hingga 389 H, akan tetapi kesyi’ahan mereka baru nampak di awal abad keempat hijriyah kira-kira.
Mereka juga merasuki keluarga Bani Hamdan yang berasal dari Arab, dari kabilah Bani Tighlab yang mulanya menguasai wilayah Mosul di Irak sejak tahun 317 H hingga 369 H. Kekuasaan mereka terus berkembang hingga meliputi kota Halab (Aleppo, Suriah) pada tahun 333 hingga 392 H. Sedangkan penetrasi mereka yang paling berbahaya ialah terhadap keluarga Bani Buwaih yang berasal dari Persia. Mereka berhasil mendirikan sebuah daulah di wilayah Persia, lalu berkembang hingga akhirnya menguasai khilafah Abbasiyah tahun 334 H, dengan tetap membiarkan Khalifah Bani Abbas di pusatnya agar tidak memicu pemberontakan kaum muslimin Ahlussunnah terhadap mereka. Selama lebih dari seratus tahun penuh mereka menguasai khilafah Abbasiyah, dari tahun 334 hingga 447 H, hingga muncullah orang-orang Turki Seljuk yang bermazhab Ahlussunnah, dan menyelamatkan Irak dari kekuasaan syi’ah ini.
Dalam rentang waktu tersebut, kaum syi’ah menampakkan betapa besar dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlussunnah dan khalifah mereka. Mereka bahkan menulis caci-makian terhadap sahabat di gerbang-gerbang mesjid. Mereka bahkan mencaci Abu Bakar dan Umar secara nyata dalam khutbah-khutbah mereka, dan ini merupakan periode yang sangat menyedihkan dalam sejarah kita umat Islam.
Sebagaimana yang kita saksikan, abad keempat memang murni abad syi’ah. Kaum Syi’ah Buwaihiyun berhasil menguasai sejumlah wilayah Iran dan seluruh wilayah Irak. Sedangkan kaum Samaniyun menguasai Iran timur, sejumlah wilayah Afghanistan dan timur dunia Islam. Adapun Hamdaniyun menguasai wilayah antara Mosul hingga Aleppo, dan Qaramithah menguasai timur Jazirah Arab, dan kadang-kadang sampai ke Hijaz, Damaskus, dan Yaman. Adapun daulah Ubeidiyyah (yang sering disebut Fathimiyah), maka lebih liar lagi… mereka berhasil menguasai Afrika Utara bahkan mencaplok Palestina, Suriah dan Lebanon!
Di akhir abad keempat hijriyah, daulah Qaramithah runtuh. Lalu di pertengahan abad kelima hijriyah (th 447), daulah Bani Buwaih juga sirna. Sedangkan daulah Isma’iliyah Ubeidiyah tetap eksis hingga pertengahan abad keenam (th 567 H), dan dengan begitu dunia Islam kembali ke kuasaan Ahlussunnah di seluruh wilayahnya, meskipun dakwah kaum Syi’ah Itsna Asyariyah tetap ada di sejumlah wilayah Persia dan Irak, namun tanpa kekuasaan.
Kondisi tetap seperti itu hingga tahun 907 H, ketika Isma’il Ash Shafawi mendirikan daulah Syi’ah Shafawiyah Itsna Asyariyah di Iran. Istilah ’shafawiyah’ ialah nisbat kepada leluhurnya yang bernama Shafiyuddin Al Ardabiliy, seorang keturunan Persia yang wafat tahun 729 H. Daulah ini semakin melebarkan kekuasaannya, dan menjadikan kota Tabriz (yg terletak di barat laut Iran sekarang) sebagai ibukotanya. Daulah Shafawiyah terlibat perang sengit dengan tetangganya, yaitu Khilafah Turki Utsmani yang bermazhab Sunni. Kaum Shafawiyyin bahkan bersekutu dengan orang-orang Portugis untuk melawan Utsmaniyyin dan berhasil menduduki sejumlah wilayah di Irak yang semula dikuasai Utsmaniyyin. Mereka hampir berhasil menyebarkan faham syi’ah di sana, kalau saja Sultan Turki Utsmani yang bernama Saliem I berhasil mengalahkan mereka dalam sebuah pertempuran besar yang bernama Perang Jaldeiran tahun 920 H. Sultan Saliem I berhasil memukul telak mereka dan mengusir mereka dari Irak.
Hari-hari terus berlalu dan perseteruan berlanjut antara Shafawiyyin
dan Utsmaniyyin. Sebagian besar pertempuran mereka terpusat di bumi
Irak, dan hal ini berlanjut selama lebih dari dua abad. Daulah
Shafawiyah berkuasa di Iran sejak tahun 907-1148 H, kemudian jatuh pada
pertengahan abad ke-18 masehi, tepatnya tahun 1735. Akibatnya, Iran
terpecah menjadi beberapa wilayah yang diperebutkan antara Turki
Utsmani, Rusia, Afghanistan dan beberapa panglima perang bawahan Sultan
Abbas III, yang merupakan Sultan terakhir daulah Shafawiyah.
Daulah Utsmaniyah pun mulai memasuki periode lemahnya… ia dikeroyok
oleh kaum Eropa dan Rusia, dan hal ini mengakibatkan lemahnya kekuasaan
Utsmani terhadap wilayah barat Iran. Wilayah ini silih berganti
dipimpin oleh banyak pemimpin, namun mereka selalu loyal kepada orang
Barat. Sesekali mereka loyal kepada Inggeris yang menguasai India dan
Pakistan, sesekali kepada Perancis, dan di lain waktu kepada Rusia.
Pada tahun 1193 H/1779 M, Agha Muhammad Gajar mengambil alih kekuasaan di Iran. Ia berasal dari keturunan Persia dan bermazhab syi’ah meski cenderung kepada sekulerisme. Dia tidak mengajak orang kepada mazhab Itsna Asyariyah dan tidak memerintah dengan ajaran tersebut. Kekuasaan Iran silih berganti dipegang oleh anak cucunya dengan luas wilayah yang mengalami pasang-surut. Mereka konon menggunakan gelar ‘Shah’, hingga keluarga ini jatuh saat Reza Pahlevi mengadakan pemberontakan terhadap mereka tahun 1343 H/1925 M.
Reza Pahlevi lalu mengumumkan dirinya sebagai Shah Iran atas bantuan Inggeris. Akan tetapi Inggeris lalu menjatuhkannya tahun 1941 M karena perselisihan di antara mereka. Inggeris mencopotnya dan menggantinya dengan puteranya yang bernama Muhamad Reza Pahlevi, yang menjadi penguasa sekuler Iran hingga tahun 1399 H/1979 M. Setelah itu bangkitlah Revolusi Syi’ah Itsna Asyariyah yang dipimpin oleh Khomeini untuk mengembalikan kekuasaan syi’ah di wilayah Persia (Iran).
Demikianlah kisah kekuasaan syi’ah atas dunia Islam sejak munculnya firqah-firqah syi’ah hingga zaman kita sekarang. Dari ini semua, jelaslah bagi kita bahwa gerakan-gerakan syi’ah seluruhnya muncul dalam bentuk pemberontakan dan konfrontasi terhadap pemerintahan Sunni. Mereka selalu memakai ‘baju agama’ dengan mengaku cinta kepada ahlul bait atau mengaku keturunan ahlul bait. Kita juga menyaksikan bahwa dalam seluruh periode tadi tidak pernah sekalipun terjadi pertempuran antara firqah-firqah syi’ah tadi dengan musuh-musuh Islam; baik terhadap kaum Salibis Rusia, Inggeris, Perancis dan Portugis, maupun terhadap kaum Tartar (Mongol) dan lainnya. Akan tetapi yang kita saksikan adalah kerjasama nyata yang terjadi berulang kali antara syi’ah dengan musuh-musuh Islam sepanjang sejarah.
Pun demikian, kita tidak menyalahkan generasi yang sekarang akibat kesalahan leluhur mereka, namun kita mendiskusikan akidah, pemikiran, dan manhaj mereka yang sama persis dengan akidah, pemikiran, dan manhaj leluhur mereka. Inilah problem utama dan akar masalahnya… Selama mereka semua meyakini bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh keturunan tertentu, dan meyakini bahwa Imam-imam mereka itu ma’shum, dan menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat beserta ummahatul mu’minin… selama itu semua masih mereka lakukan, maka kita tidak boleh berprasangka baik kepada mereka. Akan tetapi kita mesti mengatakan bahwa anak cucu masih mengikuti ajaran leluhurnya…
Menurut Anda, bagaimana sikap kita terhadap syi’ah? Bagaimana kita harus bermuamalah dengan mereka? Adakah sebaiknya kita diamkan mereka atau kita jelaskan apa adanya? Apakah sebaiknya kita acuhkan masalah ini ataukah kita pelajari? Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan berikutnya…
Semoga Allah memuliakan Islam dan kaum muslimin…
***
Penulis: Dr. Ragheb Sirjani
Penerjemah: Abo Hozaifah Al Atsary
Artikel www.muslim.or.id