Kamis, 04 Februari 2010 - 02:43:11, Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc |
Kategori : Khazanah |
Al-Hayiy [Print View] [kirim ke Teman] |
Di
antara Al-Asma’ul Husna adalah Al-Hayiy. Artinya, yang memiliki sifat
Al-Hayaa’, yang berarti malu. Sehingga makna Al-Hayiy adalah Yang Maha
pemalu. Dalam hadits dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ “Sesungguhnya Allah Maha pemalu dan pemurah. Dia malu bila seorang lelaki mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1488 dan At-Tirmidzi no. 3556 dan beliau mengatakan hasan gharib. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi) Dari Ya’la radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang mandi di tempat terbuka tanpa memakai sarung. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan mengucapkan pujian serta sanjungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian berkata: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha pemalu dan Maha menutupi. Dia mencintai sifat malu dan sifat menutupi, maka bila seseorang dari kalian mandi hendaklah dia menutup diri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4012 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud. Lihat juga Al-Irwa’ no. 2335) Ibnu Qayyim rahimahullahu mengatakan: Dan Dialah Yang Maha pemalu, maka Dia tidak akan membeberkan aib hamba-Nya Saat dia terang-terangan melakukan kemaksiatan, Namun justru Dia lontarkan tirai menutupinya Memang Dia Maha menutupi dan pemberi ampunan Asy-Syaikh Muhammad Khalil Al-Harras menjelaskan: “Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat penyebutan sifat malu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti dalam hadits (Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu di atas). Juga seperti dalam ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tiga orang yang mendapati majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَمَّا أَحَدُهُمْ فَآوَى إِلَى اللهِ فَآوَاهُ اللهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللهُ مِنْهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ “Salah seorang dari mereka berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun melindunginya. Yang lain, dia malu sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala pun malu darinya. Adapun yang lainnya lagi, dia berpaling sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berpaling darinya.”1 Sifat malu Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat yang pantas bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak seperti sifat makhluk. Di mana sifat malu pada makhluk mengandung perubahan dan kelemahan yang memengaruhinya yaitu ketika dia merasa khawatir dari sesuatu yang aib atau tercela. Bahkan sifat malu Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya meninggalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keluasan rahmat-Nya dan kesempurnaan kedermawanan-Nya, kemurahan-Nya serta keagungan ampunan dan kelembutan-Nya. Sementara seorang hamba terang-terangan bermaksiat kepada-Nya padahal dia sangat butuh kepada-Nya dan paling lemah di hadapan-Nya. Bahkan dia memakai nikmat-nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kesempurnaan sifat ketidakbutuhan-Nya kepada makhluk dan kesempurnaan sifat kemampuan-Nya, Dia malu untuk menyingkap tabir aib hamba-Nya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupinya dengan sebab-sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala persiapkan untuk menutupinya. Lalu setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan dan mengampuninya seperti dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mendekatkan kepada-Nya seorang mukmin lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupkan pada dirinya penutupnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya kepadanya: “Apakah kamu tahu dosa ini? Apakah kamu tahu dosa ini?” Maka hamba itu pun mengatakan: “Ya, wahai Rabbku.” Sehingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala meminta dia mengakui dosanya lalu dia pun yakin bakal hancur, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan kepadanya: “Aku telah tutup dosa itu padamu di dunia. Dan pada hari ini aku ampuni kamu.”2 Demikian pula Dia malu untuk menyiksa seorang yang berada dalam agama Islam sampai beruban, dan malu dari hamba-Nya yang berdoa menengadahkan dua tangannya, lalu mengembalikannya dalam keadaan hampa. Karena Allah Maha pemalu dan menutupi, maka Dia menyukai pada diri hamba-Nya sifat malu dan tidak mengumbar aib. Maka barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga membenci orang yang terang-terangan dengan kefasikan (maksiat)nya serta terang-terangan dengan kekejiannya. Di antara orang yang paling Allah Subhanahu wa Ta’ala benci adalah orang yang bermalam melakukan maksiat dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupinya, lalu dia sendiri yang membuka tutup aib itu di pagi harinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengancam orang-orang yang suka tersebarnya kekejian di tengah-tengah kaum muslimin, bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat. Dalam hadits disebutkan: كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ “Semua umatku diberi maaf kecuali orang-orang yang terang-terangan (dengan dosanya).” Buah mengimani nama Allah Al-Hayiy Dengan mengimani nama Allah Al-Hayiy maka kita mengetahui keluasan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemurahan-Nya. Sementara hamba-hamba-Nya justru terus berbuat maksiat tanpa rasa malu kepada Dzat Yang Maha pemalu, tentu yang demikian sangat dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan mengimaninya, kita mengetahui bahwa sifat malu adalah sifat yang terpuji dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, hendaknya kita juga menjaga sifat itu pada diri kita, dan senantiasa kita tumbuhkan pada diri kita serta anak keturunan kita juga anak didik kita. Terlebih di masa ini, di mana sifat malu tersebut hampir punah pada diri kawula muda baik perempuannya terlebih laki-lakinya. Suatu hal yang teramat dibenci Allah Yang Maha pemalu. Sehingga dengan hilangnya rasa malu, tak ada beban lagi bagi mereka untuk bergaul bebas dengan lawan jenis, bercanda ria, berjalan bersama, dan lebih dari itu. Malu rasanya mengungkapkannya... Sungguh hal yang sangat memprihatinkan kita bersama. Inikah sebagian hasil pendidikan umum? Cobalah para guru dan para pendidik mengkaji ulang metode dan lingkungan pendidikan mereka, demi meraih ridha Allah Yang Maha pemalu serta demi masa depan moral dan agama anak-anak muslimin. 1 Shahih, HR. Al-Bukhari no. 66 dan Muslim. Hadits di atas adalah lafadz Al-Bukhari. Asy-Syaikh Al-Harras menyebutkan dengan lafadz yang sedikit berbeda. 2 Shahih, HR. Al-Bukhari no. 183 dengan lafadz Al-Bukhari, Asy-Syaikh Al-Harras menyebutkan dengan lafadz yang sedikit berbeda. |
Kategori: Aqidah
Mengenal Nama dan Sifat Allah
Pembaca yang budiman, ilmu tentang mengenal Alloh dan Rosul-Nya merupakan ilmu yang paling mulia. Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan objek yang dipelajarinya.” Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan yang paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan tentang Alloh di mana tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata, Robb semesta alam.
Ilmu Tentang Alloh Adalah Pokok dari Segala Ilmu
Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal Alloh, dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya, niscaya dia akan lebih jahil terhadap yang selainnya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Alloh, lalu Alloh menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.” (Al-Hasyr: 19). Ketika seseorang lupa terhadap dirinya, dia pun tidak mengenal hakikat dirinya dan hal-hal yang merupakan kemaslahatan (kebaikan) bagi dirinya. Bahkan ia lupa dan lalai terhadap apa saja yang merupakan sebab bagi kebaikan dan kemenangannya di dunia dan di akhirat. Maka, jadilah dia seperti orang yang ditinggalkan dan ditelantarkan, yang berstatus seperti binatang ternak yang dilepas dan dibiarkan pergi sekehendaknya, bahkan mungkin saja binatang ternak lebih mengetahui kepentingan dirinya daripadanya.
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata, “Manusia yang paling sempurna ibadahnya adalah seorang yang beribadah kepada Alloh dengan semua nama dan sifat-sifat Alloh yang diketahui oleh manusia”. Beliau juga berkata, “Yang jelas, bahwa ilmu tentang Alloh adalah pangkal segala ilmu dan sebagai pokok pengetahuan seorang hamba akan kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatannya di dunia dan di akhirat.” (Miftaah Daaris Sa’aadah).
Hampir Setiap Ayat Dalam Al-Qur’an Menyebutkan Nama dan Sifat Alloh
Alloh telah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan sifat-sifat-Nya yang paling mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rosul-Nya. Bahkan kita jumpai, hampir pada setiap ayat Alqur’an yang kita baca selalu berakhir dengan peringatan atau penyebutan salah satu dari nama-nama Alloh atau salah satu dari sifat-sifat-Nya. Sebagai contoh, firman Alloh yang artinya, “…Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5) dan juga firman-Nya yang artinya, “…Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 17)
Hal ini semua disebabkan karena nama-nama yang terbaik dan sifat-sifat yang mulia ini memiliki daya pengaruh dan membekas dalam hati seorang yang mengetahui-Nya, hingga ia selalu merasa terawasi oleh Alloh dalam segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, sempurnalah rasa malunya dari bermaksiat kepada Alloh.
Yang Paling Takut Kepada Alloh Adalah yang Paling Mengenal Alloh
Semakin tinggi pengetahuan seorang hamba kepada Robb-nya, maka ia akan semakin takut kepada-Nya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama.” (Faathir: 28)
Orang yang paling mengenal dan paling mengetahui Alloh adalah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau senantiasa dalam keadaan takut dari perbuatan durhaka terhadap Robb-nya, dan tentu kita telah mengetahui siapa beliau. Karena Alloh telah memerintahkannya untuk mengatakan, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku takut akan adzab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Robbku’.” (Al-An’aam: 15)
Sebab, ahli tauhid yang benar-benar mengenal Alloh memandang bahwa kemaksiatan itu, meskipun kecil, ibarat sebuah gunung yang sangat besar. Karena mereka mengetahui keagungan Dzat (Rabb) yang Maha Esa serta Maha Kuasa dan mengenal hak-hak-Nya, oleh sebab itu, mereka menjadi orang-orang yang paling takut kepada-Nya di antara manusia.
Kebodohan Akan Keagungan Alloh Adalah Induk Kemaksiatan
Dari Abul ‘Aliyah, beliau pernah bercerita bahwa para Shahabat Rosululloh mengatakan, “Setiap dosa yang dikerjakan seorang hamba, penyebabnya adalah kejahilan.” (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir, dengan sanad yang shahih)
Imam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata, “Setiap pelaku kemaksiatan adalah seorang jahil dan setiap orang yang takut kepada-Nya adalah seorang alim yang taat kepada Alloh. Dia menjadi seorang yang jahil hanya karena kurangnya rasa takut yang dimilikinya, kalau saja rasa takutnya kepada Alloh sempurna, pastilah dia tidak akan bermaksiat kepada-Nya.”
Syirik merupakan kemaksiatan yang terbesar di antara maksiat yang ada. Tidaklah manusia berbuat syirik kecuali memang karena ia bodoh dalam pengenalannya terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, ketika Nabi Nuh ‘alaihis salaam mengajak kaumnya (kepada tauhid) lalu mereka menolaknya, maka beliau pun mengetahui bahwa penolakan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan mereka akan kebesaran Alloh. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Alloh?” (Nuuh: 13). Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Kalian tidak mengetahui keagungan atau kebesaran-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui beberapa jalan yang saling menguatkan)
Apa yang dikatakan di atas sangat beralasan, karena seandainya manusia mengenal Alloh dengan sebenarnya, niscaya mereka tidak terjerat dalam kesyirikan mempersekutukan Alloh dengan sesuatu. Sebab, segala kebaikan berada di tangan-Nya, maka bagaimana mungkin mereka bersandar kepada selain-Nya?
Nama Alloh Semuanya Husna
Nama-nama Alloh semuanya husnaa, maksudnya, mencapai puncak kesempurnaannya. Karena nama-nama itu menunjukkkan kepada pemilik nama yang mulia, yaitu Alloh Subhaanahu wa Ta’ala dan juga mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada cacat sedikit pun ditinjau dari seluruh sisinya. Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Hanya milik Alloh-lah nama-nama yang husna.” (Al-A’roof: 18)
Kewajiban kita terhadap nama-nama Alloh ada tiga, yaitu beriman dengan nama tersebut, beriman kepada makna (sifat) yang ditunjukkan oleh nama tersebut dan beriman dengan segala pengaruh yang berhubungan dengan nama tersebut. Maka, kita beriman bahwa Alloh adalah Ar-Rohiim (Yang Maha Penyayang), memiliki sifat rahmah (kasih sayang) yang meliputi segala sesuatu dan menyayangi semua hamba-Nya.
Nama dan Sifat Alloh Tidak Dibatasi Dengan Bilangan Tertentu
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu ghaib di sisi-Mu.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim, shahih). Tidak ada seorang pun yang dapat membatasi dan mengetahui apa yang masih menjadi rahasia Alloh dan menjadi perkara yang ghaib.
Adapun sabda beliau, “Sesungguhnya Alloh memiliki 99 nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan faham maknanya, niscaya masuk syurga.” (HR. Bukhari-Muslim) tidak menunjukkan pembatasan nama-nama Alloh dengan bilangan sembilan puluh sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya nama-nama Alloh yang 99 itu, mempunyai keutamaan bahwa siapa saja yang menhafal dan memahaminya akan masuk syurga.
Demikianlah, semoga kita benar-benar mengenal Alloh dengan sebenar-benar pengenalan dan mengagungkan Alloh dengan sebenar-benar pengagungan sehingga bisa menyelamatkan kita dari berbuat syirik kepada-Nya.
***
Penulis: Abu Ibrohim M. Saifudin HakimArtikel www.muslim.or.i
Sikap Seorang Muslim Terhadap Ayat dan Hadist Tentang Asma dan Sifat Allah
Sungguh Alloh subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan kepada kita bahwasanya Dia mempunyai ilmu yang sempurna, mengetahui apa yang yang ada pada diri-Nya dan apa yang ada pada selain-Nya, sebagaimana firman Alloh subhanahu wa ta’ala yang artinya: “Katakanlah, apakah kamu lebih mengetahui ataukah Alloh?” (al-Baqoroh: 140). Berita yang datang dari Alloh subhanahu wata’ala merupakan sebenar-benar berita, yang wajib bagi seorang muslim untuk membenarkannya, Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Alloh.” (an-Nisa’: 87). Kemudian Alloh subhanahu wa ta’ala menurunkan al-Qur’an ini kepada manusia yang paling mulia Muhammad shollallohualaihi wasallam melalui malaikat yang paling mulia Jibril ‘alaihissalam.
Oleh karena itulah hendaknya sikap seorang muslim ketika mendengar apa yang datang dari Alloh subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya yang mulia Muhammad shollallohualaihi wasallam, bersikap tunduk dan pasrah, menerima dengan lapang dada, dan yang demikian itu merupakan sikap orang-orang yang beriman, yaitu apabila datang kepada mereka perintah dari Alloh dan Rosul-Nya mereka mengatakan “kami mendengar dan kami taat”. Maka demikian juga ketika mendengar ayat dan hadits yang berbicara tentan nama dan sifat Alloh subhanahu wa ta’ala sikap kita adalah tunduk dan menerimanya.
Sikap Manusia Ketika Mendengar Ayat dan Hadits Tentang Asma’ dan Sifat Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Ada dua golongan manusia ketika mendengar ayat dan hadits asma’ dan sifat, dari kedua golongan tersebut ada golongan yang selamat dan ada golongan yang menyimpang dari kebenaran, dua golongan tersebut adalah:
1. Golongan orang-orang yang mendalam ilmunya.
Sikap mereka ketika mendengar apa yang datang dari Alloh dan Rosul-Nya, tentang asma’ dan sifat adalah dengan menerimanya dan tunduk kepadanya. Karena mereka yakin apa yang datang dari Alloh dan Rosul-Nya merupakan kebenaran, baik hal tersebut sudah bisa diterima akal maupun belum. Mereka berkata: “Semua itu datangnya dari Rabb kami”. Mereka mengembalikan setiap ayat-ayat yang mutasyaabih (samar bagi sebagian orang) kepada ayat-ayat yang muhkam (jelas). Sebagaimana firman Alloh subhanahu wa ta’ala yang artinya: “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.’” (ali-Imron: 7)
Karena secara akal, mustahil bagi Alloh subhanahu wa ta’ala menurunkan suatu kitab atau Rosululloh shollallohualaihi wasallam menyampaikan satu perkataan yang ditujukan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia, lalu tidak menjelaskan permasalahan yang sangat penting dalam kitab tersebut, sedang kita mengetahui bahwasanya permasalahan yang dianggap kecil oleh manusia yaitu bagaimana adab ketika buang air saja ada penjelasannya apalagi tentang asma’ dan sifat Alloh subhanahu wa ta’ala yang merupakan ilmu yang paling mulia dan paling dibutuhkan oleh seorang hamba hal ini tentunya bertentangan dengan sifat hikmah Alloh subhanahu wa ta’ala. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “(Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Alloh) Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.” (Hud: 1)
2. Golongan Ahlu Zaigh.
Yaitu orang-orang yang lebih condong kepada kesesatan. Mereka sukanya mencari ayat-ayat yang mutasyaabih dengan tujuan untuk membuat fitnah di tengah manusia. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat yang mutasyaabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Alloh.” (ali-Imron: 7)
Cara mereka ini bertentangan dengan sikap Salafush Sholih, menyelisihi kehendak Alloh dan Rosul-Nya, mengambil sebagian ayat dan meninggalkan sebagian ayat yang lain. Dasar dari semua itu adalah karena mereka lebih menuruti hawa nafsunya daripada kehendak Alloh dan Rosul-Nya. Hanya kepada Alloh kita memohon agar kita tidak termasuk orang-orang yang condong kepada kesesatan.
Rujukan:
- Ta’liq Mukhtashor Kitab Lum’atul I’tiqod al Haadi ilaa Sabilili Rosyaad.
- Taqriibu Tadmuriyyah, al Qowaa’idul Mutsla, Karya Syaikh Muhammad bin Sholih ‘al Utsaimin.
***
Penulis: Didik Abul Abbas
Artikel www.muslim.or.id