Rabu, 24 Februari 2010 - 19:50:04, Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harist | ||||||||||
Kategori : Jejak | ||||||||||
Perang Hunain, bag 2 [Print View] [kirim ke Teman] | ||||||||||
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dari Makkah pada hari Sabtu di bulan Syawwal tahun ke delapan hijrah. Menyusun barisan muslimin Setelah mendekati wilayah pertahanan musuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai menyusun barisan para sahabatnya dan menyerahkan bendera kepada beberapa orang Muhajirin dan Anshar: - Bendera Muhajirin dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu - Bendera juga dipegang oleh ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu - Satu bendera diserahkan kepada Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu - Bendera Khazraj dipegang oleh Hubaib bin Al-Mundzir radhiyallahu ‘anhu - Sedangkan bendera Aus dipegang oleh Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyusun barisan kabilah-kabilah ‘Arab dan menyerahkan bendera kepada mereka. Pada waktu itu beliau mengenakan dua lapis baju perang, topi baja, dan menaiki bighalnya, Duldul. Di bagian depan pasukan, beliau menempatkan Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu. Sementara itu, Malik bin ‘Auf mengirimkan mata-matanya mengintai kekuatan kaum muslimin beserta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para pengintai itu kembali dalam keadaan ketakutan dan menyarankan agar pasukan Hawazin kembali. Malik menjadi marah dan menuduh mereka pengecut serta menahan mereka di dekatnya agar tidak menimbulkan keresahan di tengah-tengah pasukan. Serangan mendadak Begitu tiba di Hunain dan mulai menyusuri lembah, masih dalam keremangan subuh, pasukan Hawazin secara serempak dan tiba-tiba menyerang kaum muslimin yang belum bersiap sepenuhnya. Ternyata pasukan Hawazin telah bersembunyi lebih dahulu di balik-balik bukit lembah Hunain. Mereka betul-betul menjalankan strategi Duraid bin Ash-Shimmah untuk melakukan serangan mendadak dan serempak. Mendapat serangan mendadak ini, meskipun tersentak, kaum muslimin dapat juga melakukan pembalasan dan menyerang mereka dengan hebat. Akhirnya pasukan musuh kewalahan dan melarikan diri serta meninggalkan kaum muslimin dengan ghanimah yang cukup banyak. Kejadian ini mungkin persis dengan peristiwa Uhud, sebelum mereka dihabisi oleh pasukan berkuda yang ketika itu dipimpin oleh Khalid bin Al-Walid. Kaum muslimin akhirnya sibuk dengan ghanimah, lupa jalannya pertempuran dan lengah, padahal musuh belum ditumpas seluruhnya, dan mereka masih bersembunyi. Melihat keadaan ini, pasukan musuh mulai melancarkan serangan mematikan. Ratusan panah dan tombak bahkan batu-batu meluncur bagai hujan yang sangat deras menyerang kaum muslimin. Jeritan kematian berkumandang, pekik kesakitan terdengar riuh. Sebagian pasukan muslimin melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran. Mereka terus berlari kocar-kacir meninggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa gelintir sahabatnya, di antaranya Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sementara itu, kendali bighal beliau dipegang oleh saudaranya Abu Sufyan bin Al-Harits bersama ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhuma. Pasukan kaum muslimin semakin terdesak. Kekalahan mulai membayang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan peristiwa ini: لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (wahai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (At-Taubah: 25) Pasukan berkuda Bani Sulaim mulai tercerai-berai, lari meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu diikuti orang-orang Makkah dan yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengambil posisi di sebelah kanan sambil memanggil: “Wahai kaum muslimin, ke sini! Aku Rasulullah. Aku Muhammad bin ‘Abdullah!” Tapi tak ada yang menoleh. Orang-orang berlarian, kecuali beberapa gelintir sahabat dan ahli bait beliau, seperti ‘Ali, ‘Abbas, Abu Sufyan, Fadhl bin ‘Abbas, dan lainnya. Di saat yang genting itu, orang-orang yang masih menyimpan dendam terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencoba mengambil kesempatan untuk membunuh beliau diam-diam. Ibnu Ishaq mengisahkan dalam Sirahnya: Syaibah bin ‘Utsman Al-Hajibi bercerita: “Setelah pembebasan kota Makkah, aku ikut bersama Quraisy menuju Hawazin, dengan harapan dapat membunuh Muhammad (n), agar akulah yang menuntaskan dendam Quraisy. Aku katakan: ‘Seandainya tidak tersisa satu pun Arab dan ajam melainkan mengikutinya, niscaya aku tetap tidak akan mengikutinya, selama-lamanya’.” Setelah kedua pasukan mulai saling serang, aku pun menghunus pedang sambil mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih di atas bighalnya. Ketika aku mulai mengayunkn pedang, tiba-tiba berkelebat selarik api menyambar bagai kilat. Aku menutupi mata karena takut melihat api tersebut. Rasulullah (n) menoleh ke arahku lalu memanggilku: “Wahai Syaib, mendekatlah!” Aku pun mendekati beliau lalu (beliau) mengusap dadaku dan berdoa: “Ya Allah, lindungilah dia dari setan.” Sungguh, demi Allah. Saat itu juga beliau berbalik menjadi orang yang lebih aku cintai dari penglihatan dan pendengaranku serta diriku sendiri. “Mendekatlah dan seranglah musuh-musuh itu,” kata beliau. Aku pun maju menyerang dan sungguh, seandainya aku bertemu ayahku waktu itu juga tentu aku tikamkan pedangku ke tubuhnya. Akhirnya, aku pun selalu menyertai beliau sampai pasukan berkumpul kembali. Aku mendekatkan bighal kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga beliau duduk di atasnya. Beliau pun bergabung dengan pasukan muslimin. Ketika aku masuk ke dalam tenda beliau, beliau berkata kepadaku: “Wahai Syaib, apa yang diinginkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dirimu lebih baik daripada apa yang engkau inginkan untuk dirimu sendiri.” Keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Kembali ke kancah pertempuran. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam peperangan selalu di barisan depan, berseru memanggil para sahabatnya: “Wahai kaum muslimin, kemari! Aku Muhammad bin ‘Abdillah.” Tetapi tidak ada yang menoleh memerhatikan beliau. Setiap orang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri dari serangan mendadak yang dilancarkan pasukan Hawazin. Kaum muslimin betul-betul bercerai-berai. Jumlah banyak yang mereka banggakan tak sedikitpun menolong. Memang kenyataannya demikian. Kemenangan dalam sebuah pertempuran bukan ditentukan oleh jumlah kekuatan dan perbekalan serta keahlian perang semata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249) Kemenangan dan pertolongan itu murni dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ “Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali ‘Imran: 126) Dengan diapit Abu Sufyan dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menuju ke arah barisan pertahanan musuh. Bahkan dengan sengaja beliau berseru lantang: أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبٌ أنَاَ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ Aku adalah Nabi, tidak dusta Aku putra ‘Abdul Muththalib Pernyataan ini membuat beliau menjadi sasaran empuk panah dan tombak musuh yang menyerbu dengan derasnya. Karena seruan beliau ini seolah-olah memberitahukan kepada musuh siapa dan di mana kedudukan beliau. Pasukan musuh yang memang berambisi melenyapkan beliau dan menumpas dakwah beliau mengarahkan panah serta tombak mereka kepada beliau. Derasnya panah dan tombak musuh tidak membuat luntur semangat beliau. Bahkan beberapa sahabat yang menyertai beliau semakin merapat ke dekat beliau. Kemenangan sesudah kekalahan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ثُمَّ أَنْزَلَ اللهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ “Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir.” (At-Taubah: 26) Melihat pasukan muslimin semakin lemah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Abbas untuk berseru lantang: “Wahai ‘Abbas, panggil para pengikut Bai’at Ridhwan (Ash-habus Samurah).” ‘Abbas mulai berseru: “Wahai orang-orang Anshar yang menampung dan membela. Wahai kaum Muhajirin yang bersumpah setia di bawah pohon. Ini Muhammad masih hidup, kemari!” ‘Abbas mengulangi seruannya: “Wahai Ash-habus Samurah. Wahai penghafal Surat Al-Baqarah!” Teriakan ‘Abbas menggema mengalahkan dentingan pedang dan tombak yang beradu. Menembus ke dalam jantung mereka yang mengerti arti panggilan itu. Serta-merta dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, terbangkitlah semangat kaum muslimin. Bagaikan sapi betina yang meradang melihat anaknya terancam bahaya, prajurit muslimin berbalik menyambut seruan ‘Abbas: “Labbaik, labbaik.” Mereka yang berada di atas kuda dan untanya berusaha membelokkan unta dan kudanya ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di tengah-tengah kepungan musuh. Tapi kuda dan unta itu menolak kembali bersama tuannya. Akhirnya, mereka lemparkan pedang, tombak dan perisai ke tanah, lalu mereka lepaskan tunggangan mereka. Sedangkan mereka segera berlari mengikuti suara ‘Abbas menembus kepungan musuh terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perlahan tapi pasti, mulai terkumpul kembali seratus orang di sekitar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungut beberapa butir kerikil lalu melemparkannya ke arah musuh sambil berkata: “Wajah-wajah buruk.” Muka yang terkena lemparan menjadi hitam. Perang semakin memuncak. Ternyata pasukan musuh tidak berani berhadapan langsung dengan pasukan kaum muslimin. Keadaan pun berbalik. Pasukan muslimin yang tadi melarikan diri, mulai merapat ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pertempuran sengit semakin berkobar. Satu demi satu korban dari pihak musuh mulai bertambah. Ali bin ‘Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menewaskan lebih dari 40 orang. Sementara Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu terluka cukup berat. Kali ini, Malik bin ‘Auf dan pasukannya benar-benar kewalahan. Kekalahan mulai nampak. Mental pasukannya sudah jatuh. Akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan harta dan keluarga mereka. Jatuhlah ke tangan kaum muslimin ribuan tawanan perang yang terdiri dari anak-anak dan kaum wanita. Juga puluhan ribu ternak, lebih dari 40.000 ekor kambing, 24.000 ekor unta, serta ribuan uqiah perak. Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu menceritakan: “Sungguh sebelum kekalahan musuh ini, aku melihat ada orang-orang yang berperang seperti bayangan hitam yang turun dari langit, jatuh ke tengah-tengah kami. Aku lihat seperti kawanan semut hitam memenuhi perut lembah, dan ternyata akhirnya mereka kalah. Aku tidak sangsi kalau mereka adalah malaikat.” Setelah menempatkan ghanimah tersebut di tempat yang aman, mulailah kaum muslimin menyiapkan senjata untuk mengejar musuh yang melarikan diri. Kaum musyrikin yang dipimpin Malik bin ‘Auf berlari menuju Thaif dan menyusun pasukan di Authas. Ketika mereka di Authas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan dipimpin oleh Abu ‘Amir Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Terjadi pertempuran dan Abu ‘Amir terkena panah musuh dan gugur sebagai syahid. Bendera pasukan dipegang oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Dia pun memerangi mereka dengan hebat dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memenangkan mereka. Malik bin ‘Auf terus melarikan diri berlindung ke benteng Tsaqif. Membagi ghanimah Sengaja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunggu beberapa hari dengan harapan ada pihak Hawazin yang datang masuk Islam, meminta tawanan dan harta mereka. Namun sudah ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ghanimah berupa harta itu menjadi hak kaum muslimin. Kemudian mulailah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagikan ghanimah yang diperoleh dalam perang Hunain itu. Beliau memberi harta itu kepada orang-orang yang dilunakkan hati mereka kepada Islam. Abu Sufyan diberi seratus ekor unta dan 40 uqiyah perak. Dia berkata: “Putraku Yazid?” Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Beri dia seratus ekor unta dan 40 uqiyah perak.” Abu Sufyan menukas: “Anakku, Mu’awiyah?” Akhirnya Mu’awiyah juga menerima jumlah yang sama. Setelah itu, beliau memberi Hakim bin Hizam seratus ekor unta dan dia minta seratus lagi, beliau memberinya. Kemudian An-Nadhr bin Al-Harits bin Kaladah menerima seratus ekor unta. Kemudian beberapa orang lainnya dari pembesar Quraisy. Ghanimah yang dibagikan itu hampir mencapai 14.850 ekor unta, yang diambil dari khumus. Termasuk yang ada dalam ghanimah tersebut adalah Asy-Syaima’, saudara perempuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu susuan. Ketika dia dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menerangkan siapa dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya apa tanda buktinya. Asy-Syaima’ mengatakan bahwa di bagian punggungnya masih ada bekas gigitan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia dahulu menggendong beliau. Setelah beliau mengenalnya, beliau menghormatinya, membentangkan kainnya dan mendudukkannya di atas kain itu lalu memberinya pilihan. Asy-Syaima’ masuk Islam dan memilih pulang ke kampung halamannya. Oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia diberi sepasang budak yang kemudian mereka nikahkan. Wallahu a’lam. Setelah itu beliau perintahkan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu menghitung kambing dan jumlah pasukan. Baru kemudian beliau bagikan kepada pasukan. Setiap orang menerima empat ekor unta dan empat puluh ekor kambing. Kalau dia dari pasukan berkuda, dia menerima 12 ekor unta dan 120 ekor kambing. Wallahu a’lam. | ||||||||||
Biografi Ringkas Imam Nawawi
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata: “Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: “Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: “Kenapa !?” Beliau menjawab: “Karena berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata: “Pecat ia dari semua jabatannya!” Para pembantu raja berkata: “Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: “Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Raj apun menjawab: “Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
- Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
- Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
- Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
- Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Secara umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat Allah Subhanah. Beliau kadang men-ta’wil dan kadang-kadang tafwidh. Orang yang memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan-nukilan dari para ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan di dalamnya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau dan menjawab: “Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafara lahu-.
Catatan: Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 4/1470, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra 8/395, dan Syadzaratudz Dzahab 5/354
***
Disusun Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
Artikel www.muslim.or.id